Penguatan Kelembagaan Tercecer Kps: 10-09-07 Empat dari lima negara paling makmur di dunia adalah negara-negara kesejahteraan (welfare state) yang memiliki tradisi kuat dalam menerapkan sistem pasar sosial. Mereka adalah Norwegia (urutan teratas), Swiss (2), Denmark (3), dan Swedia (5). Di posisi keempat adalah Amerika Serikat. Negara ini merupakan penganut demokrasi liberal dan sistem pasar bebas atau belakangan ini populer dengan sebutan neoliberal. Keempat negara Eropa paling makmur tersebut juga menduduki posisi sangat terhormat dalam pencapaian indeks pembangunan manusia (IPM). Lebih istimewa lagi, tingkat ketimpangan pendapatan di sana sangat rendah, bahkan tergolong paling merata di dunia. Perbandingan pendapatan 10 persen penduduk terkaya dengan 10 persen penduduk termiskin hanya antara 6 dan 9 kali lipat. Ini berbeda dengan di Amerika Serikat yang mencapai 16 kali lipat. Indeks ketimpangan—yang diukur dengan koefisien gini—di Denmark, Norwegia, dan Swedia rata-rata hanya 0,25 (sangat baik). Sebaliknya, di Amerika Serikat relatif buruk, yakni 0,41. Faktor terpenting yang menyebabkan perbedaan antara negara-negara Eropa yang menganut welfare state dan Amerika Serikat yang menganut pasar bebas adalah kerangka kelembagaan (institutional framework). Walaupun kedua kubu sama-sama memiliki kelembagaan yang kuat, titik pijak atau landasan filosofisnya sangat kontras. Kedua kubu menghasilkan tingkat kemakmuran yang tinggi, tetapi dengan "wajah kemanusiaan" cukup kontras. Banyak bukti empirik menunjukkan bahwa kelembagaan merupakan penentu utama kesejahteraan dan pertumbuhan jangka panjang. Memang terbukti bahwa negara/kawasan yang memiliki landasan kelembagaan lebih baik pada masa lalu adalah negara/kawasan yang sekarang lebih makmur. Kelembagaan yang lebih baik, paling tidak, menghasilkan dua hal. Pertama, segala lapisan masyarakat memperoleh ruang gerak yang luas untuk berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi produktif. Kedua, para elite, politisi, dan kelompok-kelompok kekuatan lain tak bisa leluasa mengambil alih atau "merampok" pendapatan dan investasi pihak lain. Hampir tak ada ruang bagi praktik-praktik patron-klien ataupun pemburuan rente. Berpikir keras Pembangunan kelembagaan di Indonesia sangat tertinggal. Akibatnya, jangankan merata dan sejahtera, sedikit makmur pun tidak. Ketimbang membayangkan Indonesia masuk menjadi negara terbesar kelima di dunia pada tahun 2030 dengan segala "kementerengan" lainnya, seperti 30 perusahaan Indonesia masuk ke dalam Fortune 500, 10 besar tujuan wisata dunia, dan berpendapatan perkepala sebesar 18.000 dollar AS, lebih baik kita berpikir keras dulu untuk memperkokoh kelembagaan. Bukankah kejayaan masa depan ditentukan keakuratan kita membaca kondisi sekarang dan mendesain kelembagaan sebagai landasan untuk memacu diri? Bukannya kita tak mampu untuk mewujudkan mimpi-mimpi indah yang besar, tapi apa gunanya kalau sebagian besar rakyat tak bisa menikmati kebahagiaan? Mari kita mulai dari beberapa yang mendasar dulu. Arus deras penolakan masyarakat terhadap berbagai kebijakan pemerintah merupakan pertanda kuat betapa kelembagaan yang melandasi kebijakan-kebijakan pemerintah sangatlah rapuh. Ambil contoh kenaikan tarif jalan tol. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005, Pasal 68 berbunyi, "Evaluasi dan penyesuaian tarif tol dilakukan setiap 2 (dua) tahun sekali... dengan formula tarif baru = tarif lama (1 + inflasi)". Jadi, kenaikan tarif tol setiap dua tahun adalah amanat perundang-undangan, sesuatu yang diwajibkan. Karena, hampir mustahil bagi negara berkembang seperti Indonesia menikmati penurunan tingkat harga-harga umum atau deflasi. Lebih konyol lagi, formula tarif baru hanya memperhitungkan satu unsur, yaitu inflasi. Sekadar perbandingan, formula penentuan tarif Transmilenio, bus di kota Bogota, sangat terinci, yaitu QSTxFT = (SCMLi x Kmi) + (CF x PasF) + (CC x QST) + (%Tr x QST x FT) + (%MxQST x FT). Penyesuian tarif juga ditetapkan dengan rumusan baku yang terinci dan transparan. Tanpa harus menjelaskan simbol-simbol tersebut satu demi satu, kita memperoleh gambaran "miskin" kita dalam pembangunan kelembagaan. Rumusan tersebut telah pula memasukkan unsur pencadangan dana agar penyesuaian tarif tak terjadi secara mendadak. Kasus pemailitan PT Dirgantara Indonesia menambah keyakinan kita bahwa sudah sangat mendesak bagi negeri ini untuk menata kelembagaan sesegera mungkin secara sangat serius. Bagaimana mungkin pemerintah menegakkan hukum terhadap rakyat dan dunia usaha kalau pemerintah sendiri selalu cedera janji, melanggar hukum. Jika kita biarkan ketaktertataan terus berlangsung, lambat laun kita akan dihadapkan pada keadaan mendekati chaos, karena pemerintah dan DPR bertindak dengan selera sesaat, jangka pendek, tanpa wawasan. Mana mungkin pemerintah mampu memenuhi tuntutan berbagai kalangan, kasus per kasus, yang tak jarang bertolak belakang. Akhirnya, pemerintah bingung sendiri dan justru menjauhi persoalan, seperti kasus terkatung-katungnya peraturan pemerintah tentang pesangon. Tanpa kelembagaan yang kuat, pencanangan visi sekalipun tak banyak manfaatnya karena sepenuhnya akan berwujud mimpi. Ironis betul kalau kita hanya cuma bisa mimpi.