B A B II KAJIANPUSTAKA 2.1. Teori Kekerasan Studi mengenai korban kekerasan/kejahatan sebagai fokus perhatian sebenarnya telah mendorong masyarakat dan negara guna lebih memperhatikan dan menyadari betapa pentingnya melindungi hak-hak dan memahami korban menurut perspektif korban. Kendati demikian, hal terpenting yang perlu dicatat bahwa betapa banyak korban berjatuhan akibat tindak kekerasan, tetapi mereka luput dari perhatian negara dan masyarakat karena hukuman terhadap pelaku misalnya tidak memberi rasa keadilan bagi korban. Kekerasan (violence) adalah suatu tindakan yang menyakitkan atau tindakan penyerangan yang menimbulkan luka, trauma, dan penderitaan yang berkepanjangan terhadap korban. Kekerasan terhadap wanita meliputi, kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan ekonomi, kekerasan seksual, kekerasan politik dan kekerasan sosial budaya. Dalam konteks ini kekerasan yang dialami oleh Tenaga Kerja Wanita Indonesia adalah kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual dan kekerasan ekonomi. Banyak data yang menunjukkan kekerasan yang dialami Tenaga Kerja Wanita Indonesia seperti pemukulan, penganiayaan, pelecehan seksual dan lain-lain dan dapat berakhir dengan kematian. Secara harfiah kekerasan diartikan sebagai sifat atau hal yang keras, kekuatan dan paksaan. Kekerasan merupakan serangan atau penyalahgunaan fisik tehadap Universitas Sumatera Utara seseorang ( Marshana Windu, 1992: 62-63 ). Dalam kajian sosiologi kekerasan dapat diartikan sebagai Istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik yang terbuka maupun yang tertutup, baik yang bersifat menyerang ataupun bertahan, yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain. Oleh karena itu ada empat jenis kekerasan yang diidentifikasikan : 1. Kekerasan Terbuka, yaitu kekerasan yang dapat dilihat secara langsung yaitu berupa kekerasan fisik, seperti pemukulan, dsb. 2. Kekerasan Tertutup, kekerasan tersembunyi atau yang dilakukan tidak secara langsung, seperti mengancam 3. Kekerasan Agresif, kekerasan yang dilakukan untuk mendapatkan sesuatu tujuan 4. Kekerasan Defensif, kekerasan yang dilakukan sebagai tindakan perlindungan diri ( tindakan bunuh diri yang dilakukan oleh bangsa Jepang yang dianggap sebagai tindakan moral). (T.Santoso, 2002:130-131 ) Hakekat alamiah yang melekat pada diri manusia, melahirkan persaingan antar sesama manusia. Dalam usaha memaksimalkan kebahagiaan dan meminimalisasikan penderitaan diri, manusia akan berhadapan dengan manusia lain. Maka ada sebagian manusia yang akan lebih berhasil mencapai lebih banyak kebahagiaan dan sedikit penderitaannya. Tetapi pada lain pihak sebagian besar manusia lainnya lebih banyak menderita daripada memperoleh bahagia. Mereka yang kalah dalam persaingan akan tersingkir, dan mereka yang menang akan berkuasa. Persaingan itu melahirkan stimulus untuk menggunakan kekuasaan dalam diri Universitas Sumatera Utara manusia. Dalam menghadapi persaingan manusia terdorong untuk menggunakan kekuasaan yang ada padanya. Kecenderungan itu semakin kuat melihat manusia pada dasarnya adalah makhluk pemburu kekuasaan. Berdasarkan asumsi itu kehidupan manusia akan selalu diwarnai dengan persaingan dan konflik kekuasaan. Kekuasaan merupakan alat yang ampuh digunakan dalam persaingan dan konflik. Tak heran jika manusia itu menjadi homo homoni lupus “serigala bagi serigala yang lain” (Ahmad Suhelmi, 2001:168-174). Objek kekerasan itu adalah bersifat fisik maupun barang yang dirusak oleh seseorang atau sekelompok orang terhadap seseorang atau kelompok lain. Implikasi dari perbuatan tersebut adalah hilangnya fungsi mekanis dan fungsi pemanfaatan suatu bentuk yang bersifat jasmani maupun rohani dan juga berhubungan dengan barang-barang dan hak-hak dari suatu individu atau kelompok. Akibat jauh dari tindakan ini adalah terbentuknya berbagai penderitaan oleh individu atau kelompok yang dibebani kekerasan itu. Menurut Johan Galtung kekerasan terjadi bila manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada dibawah realisasi potensialnya. Dalam diri manusia terdapat dua wilayah yang saling mempengaruhi yaitu wilayah potensial dan wilayah aktual. Wilayah potensial adalah realitas yang belum tampak dan terwujud, misalnya : cita-cita, mimpi, kehendak, bakat dan semua nilai yang di pegang dan di perjuangkan oleh orang yang bersangkutan. Wilayah aktual adalah realitas yang dapat disaksikan, dapat habis, dapat dilihat, didengar dan dirasakan. Kedua wilayah ini selanjutnya akan Universitas Sumatera Utara menimbulkan kekerasan yang dapat ditipologikan menjadi kekerasan langsung, kekerasan struktural dan kekerasan kultural ( I.Marshana windu, 1992;64-65). Kekerasan langsung adalah kekerasan yang dapat dirasakan secara langsung dengan panca indera. Kekerasan struktural merupakan kekerasan berbahaya karena bentuknya terselubung yang berada dibalik struktur kekerasan. Kekerasan kultural merupakan kekerasan yang berada pada wilayah aspek budaya, idiologi, IPTEK, bahasa dan seni yang biasa digunakan untuk melanggengkan kekerasan langsung maupun struktural. Pekerja migran perempuan sebagaimana juga dialami para pekerja di sektor industri dan pabrik sering mendapatkan perlakuan yang merugikan karena mereka “perempuan”. Pekerja perempuan diasosiasikan dengan berbagai anggapan, misalnya sebagai pekerja cadangan atau tambahan dan bukan pencari nafkah tambahan. Pembuatan kebijakan, majikan, agen tenaga kerja, dan anggota masyarakat sering memandang kerja perempuan sebagai pekerja rumah tangga sebagai kelanjutan yang wajar dari peran tradisional perempuan sebagai ibu dan pengurus keluarga tanpa dibayar, mengecilkan hubungan kontraktual antara majikan dan pekerja. Mereka tidak memperhatikan rentang dari kondisi pekerjaan yang mungkin dihadapi pekerja rumah tangga, termasuk ukuran fisik, tata letak, bahan bangunan dari rumah yang harus mereka bersihkan, jumlah individu yang mereka layani, termasuk anak-anak dalam rumah tangga sang majikan, serta beban kerja yang sering tumpang tindih antara membersihkan, memasak, mengasuh anak dan merawat orang tua. Pekerja sebagai pembantu rumah tangga yang notabene dilakukan oleh mayoritas perempuan sering kurang dihargai dan dianggap sepele. Mereka yang Universitas Sumatera Utara bekerja disektor ini adakalanya dianggap inferior karena pendidikannya rendah, tidak memiliki keterampilan khusus dan lebih diasosiasikan dengan peran melayani dan dianggap tidak bernilai. Penilaian-penilaian dan berbagai prasangka sebagaimana dijelaskan diatas membawa berbagai konsekuensi seperti upah rendah, menghadapi perlakuan semena-mena dan bahkan tindak kekerasan dengan berbagai bentuk. Tidak dapat dipungkiri bahwa kekerasan terhadap perempuan dapat terjadi dimana-mana. Kekerasan yang menimpa kaum perempuan dapat terjadi baik di lingkungan domestik maupun di lingkungan publik. Rentannya kaum perempuan sebagai Tenaga Kerja Wanita Indonesia terhadap tindak kekerasan ini sangat berpengaruh sehingga menimbulkan rasa ketakutan karena tindak kekerasan yang dialami oleh Tenaga Kerja Wanita Indonesia merupakan kekerasan publik yang bersifat lebih terbuka dan cepat terekspos keluar melalui media massa karena kekerasan ini dilakukan oleh orang-orang yang tidak saling kenal dan tidak adanya hubungan darah. Kekerasan yang dialami oleh kaum perempuan dalam lingkup publik ini banyak terjadi di lingkungan kerja, tempat perbelanjaan bahkan di jalanjalan. Kekerasan publik ini dapat berupa kekerasan ringan sampai kekerasan yang bersifat membahayakan bahkan sampai menghilangkan nyawa korban, seperti pemerkosaan dan pembunuhan terhadap Tenaga Kerja Wanita Indonesia. 2.2. Teori Feminis Marxis - Sosialis Kekerasan terhadap para pembantu rumah tangga dapat dianalisis oleh basic/frame teorinya Karl Marx, meski pada asalnya teori Marx menganalisis pada gejala konflik antar kelas sosial, khususnya pada masyarakat kapitalistik. Meski Universitas Sumatera Utara demikian, inti dari teori konflik Marx adalah, adanya kelompok sosial yang dominan, yaitu menguasai sumber-sumber produksi, dan karenanya kelompok ini menjadi kelompok yang mengeksploitasi kelompok lain. Struktur sosial yang patriarkhal (segalanya berpusat pada dominasi kaum pria) menempatkan pria menjadi superior dalam berbagai sektor: ekonomi, politik, pendidikan, dan sebagainya. Sementara kaum perempuan dalam struktur sosial demikian dijadikan sebagai kaum yang posisinya subordinat, padahal kaum perempuan juga termaksud produktif. Kaum perempuan ditempatkan sedemikian rupa melalui reproduksi sistem sosial untuk tergantung sama pria. Kekerasan dalam rumah tangga (yang dilakukan laki-laki) pada intinya dilakukan laki-laki untuk menunjukkan superioritasnya. Dalam banyak kasus, karena gambaran yang sudah termaterai perempuan sebagai kelas inferior, selalu dipaksa untuk tergantung dengan laki-laki, sehingga menjadi tidak berdaya. Begitu juga halnya didalam pekerjaan, dimana atasan selalu merasa dapat berbuat semaunya terhadap pekerjanya karena mereka menganggap bahwa kelas yang ada antara mereka itu tidak sama. Pembantu rumah tangga yang bekerja di dalam sektor domestik pun kerap menjadi korban yang paling lemah. Mereka kerap dieksploitasi dalam pekerjaannya oleh majikannya. Dan untuk mendapatkan haknya mereka tidak dapat berbuat apa-apa, karena di dalam pekerjaan yang mereka perankan majikan adalah penguasa. Konflik-konflik yang ada menurut Marx bermuara pada ketimpangan terutama yang berlatarbelakang ekonomi, terdapatnya kelas-kelas yang dominan dan kelas yang tertindas. Universitas Sumatera Utara Bukanlah kesadaran manusia yang menentukan eksistensi mereka, melainkan eksistensi sosial menentukan kesadaran mereka”. Komentar bahwa ”Pekerjaan perempuan tidak pernah selesai” bagi feminis Marxis adalah lebih dari sekedar ketidakseimbangan, komentar itu merupakan gambaran dari sifat pekerjaan perempuan. Karena itu feminis Marxis percaya bahwa untuk memahami mengapa perempuan tereksploitasi, sementara laki-laki tidak, maka kita perlu menganalisis hubungan antara status pekerjaan perempuan dan citra diri perempuan. Dalam teori ekonomi Marxis, feminis Marxis percaya bahwa pekerjaan perempuan membentuk pemikiran perempuan dan karena itu membentuk juga sifatsifat alamiah perempuan. Mereka juga percaya bahwa kapitalisme adalah suatu sistem hubungan kekuasaan yang eksploitatif (majikan mempunyai kekuasaan yang lebih besar, mengeksploitasi pekerja untuk bekerja lebih keras) dan hubungan pertukaran (bekerja untuk upah, hubungan yang diperjualbelikan). Feminisme Marxis menolak hubungan kontraktual antara pekerja dan majikan. Marx memandang bahwa tidak ada pilihan bebas yang dapat diambil oleh pekerja. Majikan mempunyai monopoli alat produksi, karena itu pekerja harus memilih antara dieksploitasi atau tidak punya pekerjaan sama sekali. Atas dasar pemikiran ini, feminis Marxis berpendapat bahwa pada kondisi dimana seseorang tidak mempunyai hal berharga untuk dijual lagi lebih dari dan diluar tubuhnya, kekuatan tawarnya di pasar menjadi terbatas. Berdasarkan teori kemasyarakatan, Marxis menganalisis bahwa kapitalis menciptakan jurang yang dalam (kelas) antara 2 kelompok yaitu pekerja (miskin dan Universitas Sumatera Utara tidak memiliki properti) dan majikan (hidup dalam kemewahan). Ketika dua kelompok ini, yang punya dan yang tidak, menjadi sadar akan dirinya sebagai kelas maka perjuangan kelas secara tidak terhindarkan akan muncul dan pada akhirnya melucuti sistem yang menghasilkan kelas ini. Kelas tidak begitu saja muncul. Kelas muncul secara perlahan-lahan dibentuk oleh orang-orang yang berbagi kebutuhan dan keinginan yang sama. Pentingnya kelas tidak dapat diabaikan. Ketika sebagian kelompok manusia menyadari sepenuhnya kelompoknya sebagai kelas, kelompok ini mempunyai kesempatan yang besar untuk mencapai tujuan fundamentalnya. Ada kekuatan dalam jumlah. Kesadaran kelas menyebabkan orang-orang yang tereksploitasi untuk percaya bahwa mereka bebas untuk bertindak dan berbicara sama seperti orang-orang yang mengeksploitasinya. Bahwa apapun status perempuan di masa lalu, status itu diperoleh dari posisinya didalam rumah tangga, pusat produksi primitif. Sejalan dengan mulainya produksi di luar rumah yang melampaui produksi di dalam rumah, pembagian kerja tradisional berdasarkan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan, mempunyai makna sosial baru. Dengan semakin dianggap pentingnya pekerjaan dan produksi laki-laki, bukan saja nilai dan pekerjaan serta produksi perempuan menurun, melainkan status perempuan di dalam masyarakat juga menurun. Sesungguhnya perempuan merupakan kelas produktif yaitu kelas manusia yang bertanggung jawab atas produksi nilai guna sederhana dalam kegiatan yang diasosiasikan dengan rumah dan keluarga. Kunci bagi pembebasan perempuan adalah sosialisasi pekerjaan rumah tangga. Universitas Sumatera Utara Feminis sosialis menganalisis lebih jeli tentang ketidakadilan perempuan di dalam keluarga dan posisi subordinat perempuan akibat sistem patriarkhi, bukan semata-mata karena sistem kapitalis. Sistem kapitalis dapat dihancurkan jika sistem patriarki turut dihancurkan. Analisis Dalam teori Marxis tentang sifat manusia, Marxis melihat perempuan sama dengan laki-laki dalam menciptakan masyarakat yang ”membentuk” mereka seperti sekarang, artinya Marxis tidak melihat bahwa perempuan adalah bagian dari masyarakat yang ”dibentuk” oleh laki-laki dan masyarakat patriakal yang menyebabkan perempuan tereksploitasi dari dunia kerja dan di dalam keluarga. Masyarakat patriakhal menjadikan perempuan sebagai alat produksi, laki-laki sebagai pemilik atau pengguna alat. Kapitalis adalah laki-laki, yang memiliki cara pandang maskulin. Sehingga menyebabkan perempuan dalam masyarakat kapital hanya sebagai objek pekerja, laki-laki sebagai majikan melihat hasil produksi perempuan di luar rumah (publik) dan didalam rumah sebagai barang yang tidak bernilai guna. Secara sosial, ekonomi dan politik, laki-laki menyebabkan perempuan tereksploitasi. Bahwa dalam masyarakat kapitalis terjadi hubungan kekuasaan, tetapi tidak dikatakan juga terjadi hubungan pertukaran. Hubungan kekuasaan jelas terjadi antara perempuan sebagai pekerja dan laki-laki sebagai majikan. Hubungan pertukaran sebenarnya tidak pernah terjadi karena nilai guna yang ditukarkan dari hasil kerja (produksi) perempuan tidak pernah bernilai sama atau setara dengan hasil yang seharusnya diperoleh. Feminis Marxis dalam melihat sistem kontrak dalam pekerjaan, bahwa tidak ada kontrak kerja yang bebas atau benar-benar disepakati oleh perempuan sebagai pekerja. Bahwa kontrak yang dilakukan bukan pilihan bebas dan Universitas Sumatera Utara sadar dari perempuan, tekanan selalu ada pada posisinya sebagai pekerja. Pada posisi sebagai single parent, misalnya, dimana perempuan sebagai penanggung jawab tunggal keluarga dengan terpaksa harus menerima pekerjaan yang tidak sesuai dengan potensi intelektualitasnya dan tenaganya, untuk memenuhi kebutuhan produksi rumah tangganya. Perempuan pada berbagai kelas (borjuis-proletar) pasti mengalami ketidakseimbangan yang sama beratnya untuk persoalan di dalam rumah, namun akan berbeda pada persoalan di tempat kerja. Perempuan miskin akan selalu menjadi pekerja, dan perempuan borjuis pasti sebagai majikan. Karena ada kesamaan rasa ketidakadilan dari dalam rumah yang bisa persis sama bentuknya dengan di tempat kerja, maka perempuan borjuis harusnya dapat merasakan penderitaan perempuan pekerja. Oleh karena itu, perempuan sebagai kekuatan tersendiri dalam masyarakat harus menyatukan energi positifnya dalam hubungan sisterhood yang kuat untuk merebut kembali kondisi yang membahagiakan bagi semua perempuan. Jenis ketidakadilan yang dirasakan perempuan ditempat kerja sebagai pekerja, bukan saja masalah upah kerja, namun perempuan dapat saja mengalami kekerasan seksual berupa pemaksaan hubungan seks yang dilakukan majikan terhadap pekerja, kekerasan psikis, dimana majikan dapat dengan sewenang-wenang memukul perempuan pekerja ketika hasil produksi yang diharapkan tidak sesuai, yang semuanya pasti berdampak pada psikologi perempuan. Dengan melihat ketidakadilan yang dirasakan oleh perempuan, maka Marx juga menguraikan keterasingan (Alienation), untuk melihat nasib perempuan. Dimana perempuan merasa diperlakukan tidak adil oleh kaum kapitalis maupun sistem Universitas Sumatera Utara patriarkhi, sehingga tidak memungkinkan atau menghalangi kaum perempuan terutama para Tenaga Kerja Wanita Indonesia yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga untuk mencapai nilai-nilai sosialnya sebagai perempuan dan manusia. Perempuan yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga merasa terasing dengan segala tindak dan perlakuan yang mereka dapatkan dari majikan ditempat mereka bekerja. Kekerasan yang dialami perempuan berlipat ganda ketika perempuan harus berperan ganda sebagai penghasil produk di rumah yang tidak mendapat dukungan dari laki-laki (suami). Sistem patriakhal harus dihapuskan untuk membebaskan perempuan dari ketidakadilan. Lingkungan yang pertama-tama harus diubah adalah rumah tangga sebagai pusat terjadinya ketidakadilan terhadap perempuan. Berbarengan dengan itu, sistem dan struktur negara kapitalis harus diubah. Perjuangan perempuan untuk adanya ”penghargaan” terhadap nilai tukar pekerjaan yang dilakukannya di dalam rumah dalam bentuk penyediaan fasilitas oleh negara harus didukung, misalnya penyediaan fasilitas kesehatan yang murah bagi perempuan, fasilitas pengasuhan anak di tempat kerja serta fasillitas lainnya yang dapat menunjang pekerjaan perempuan. Refleksi Teori feminis Marxis dan Sosialis jika direfleksikan pada posisi perempuan usaha kecil terhadap akses dan kontrolnya dalam keluarga, sangat memungkinkan perempuan sebagai pengelola usahanya (manajer) menjadi majikan terhadap usahanya sendiri. Namun sistem patriakhal dan cara pandang laki-laki yang belum berubah, membawa penderitaan baru bagi perempuan, dimana laki-laki sebagai suami (bukan Universitas Sumatera Utara pengelola usaha) justru bertindak sebagai majikan dan pengelola usaha bagi usaha yang dijalankan istrinya (perempuan). Laki-laki tetap memposisikan perempuan sebagai istri, yang dapat diatur menurut kehendaknya. Kepemilikan aset (usaha) adalah milik istri namun penguasaannya berada di tangan suami (laki-laki). Perempuan tidak memiliki kontrol terhadap usahanya. Dalam pengambilan keputusan tentang barang yang akan di jual dan hasil dari usaha, juga masih ditentukan dan diatur oleh laki-laki. Hak demikianlah yang dialami oleh mantan Tenaga Kerja Wanita Indonesia yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Dimana majikan merasa sebagai penguasa yang dapat memperlakukan hal apapun kepada pembantu perempuannya yang bekerja di dalam rumahnya. Para pembantu rumah tangga ini tidak dapat berbuat apa-apa, karena didalam pekerjaannya mereka kerap dianggap sebagai kaum yang tertindas. Universitas Sumatera Utara