Mengantisipasi Risiko Pelemahan Rupiah

advertisement
12/18/2015
Mengantisipasi Risiko Pelemahan Rupiah | Selalu Ada Yang Baru

SIGN IN
|
SIGN UP
OPINI / KOLOM
Mengantisipasi Risiko Pelemahan Rupiah
16/06/15, 13:32 WIB
SUNARSIP
Ekonom The Indonesia Economic Intelligence (IEI)

Follow @sunarsip
 Bagikan via Facebook (0)
 Tweet (0)
FOLLOW US



 +1 (0)
AKHIR-AKHIR ini tren nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat
TERPOPULER
(AS) melemah. Tercatat, nilai tukar rupiah per 11 Juni 2015 melemah sebesar
6,76 persen (year-to-date/ytd) dibanding posisi 2 Januari 2015. Banyak
faktor yang menjadi penyebab pelemahan rupiah. Dari sisi eksternal,
rencana normalisasi kebijakan moneter bank sentral AS, The Fed, yang akan
menaikkan suku bunga acuannya (policy rate) telah mendorong terjadinya
pembalikan arus capital flow (reversal) modal asing sehingga memperlemah
nilai tukar rupiah.
Sedangkan dari sisi internal, rendahnya kinerja ekonomi dalam kuartal I
2015 serta tingginya laju inflasi memperlemah nilai tukar rupiah.
Pertumbuhan ekonomi kuartal I 2015 hanya 4,71 persen, melambat dari 5,01
persen pada kuartal sebelumnya. Angka kuartal I tersebut terendah sejak
kuartal IV 2009. Secara quarter-to-quarter (qtq), perekonomian mengalami
kontraksi 0,18 persen pada kuartal I 2015. Kondisi itu terbilang langka
karena di setiap kuartal I, secara qtq, ekonomi Indonesia biasanya tumbuh
positif meski tidak besar. Sementara itu, inflasi yang diproyeksikan dapat
ditekan ke level 4±1 persen, hingga Mei 2015 ini, masih bertengger di 7,15
persen (year-on-year/yoy). Tingginya inflasi, secara riil, juga ”memaksa”
nilai tukar rupiah harus melemah.
Pelemahan rupiah telah menimbulkan dampak yang luas bagi
perekonomian. Sisi positifnya, pelemahan rupiah meningkatkan ekspor.
Sayang, efek positif terhadap kenaikan ekspor tergerus akibat pelemahan
permintaan (demand) dan turunnya harga komoditas. Data dari Bank
Indonesia (BI), indeks harga 8 komoditas unggulan ekspor kita melemah
sekitar 18,64 persen pada kuartal I 2015. Di sisi lain, melemahnya
pertumbuhan ekonomi negara utama tujuan ekspor seperti Tiongkok juga
mengakibatkan ekspor kita belum pulih. Pada kuartal I 2015, ekspor masih
http://www2.jawapos.com/baca/opinidetail/18972/mengantisipasi­risiko­pelemahan­rupiah
1/5
12/18/2015
Mengantisipasi Risiko Pelemahan Rupiah | Selalu Ada Yang Baru
mengalami koreksi meski lebih rendah daripada koreksi di kuartal
sebelumnya. Untung, penurunan ekspor itu masih lebih rendah bila
dibandingkan dengan penurunan impornya sehingga neraca perdagangan
kita masih surplus USD 3,09 miliar pada kuartal I 2015.
Pelemahan rupiah telah mendorong aktivitas impor menjadi menurun
karena tingginya harga barang-barang impor. Pelemahan impor itu
memberikan dampak negatif bagi kegiatan investasi kita. Terlebih, kini
pemerintah sedang giat menggenjot kegiatan investasi di sektor
infrastruktur. Kegiatan investasi membutuhkan impor barang modal yang
besar. Ketika harga impor barang modal meningkat (akibat pelemahan
rupiah), kegiatan investasi pun terhambat. Dan terbukti, selama kuartal I
2015, investasi menurun menjadi 4,36 persen lebih rendah daripada kuartal
I 2014 sebesar 4,7 persen meskipun lebih tinggi daripada kuartal IV 2014
sebesar 4,27 persen.
Untuk mencegah pelemahan nilai tukar rupiah, BI mempertahankan BI rate
di posisi 7,5 pesen. Menurut BI, kebijakan itu sejalan dengan stance
kebijakan moneter yang dipertahankan tetap ketat untuk menjaga inflasi di
kisaran 4±1 persen pada 2015 serta mengarahkan defisit neraca berjalan ke
kisaran 2,5 persen–3 persen PDB dalam jangka menengah. Kebijakan BI
tersebut di satu sisi cukup berhasil menahan laju penurunan rupiah
terhadap USD. Itu terlihat dari pelemahan nilai tukar rupiah yang relatif
lebih baik daripada sejumlah mata uang emerging markets lainnya.
Namun, kebijakan BI itu juga telah memberikan dampak negatif bagi sektor
keuangan, khususnya perbankan. Sekalipun tekanan suku bunga mulai
mereda, ketatnya likuiditas perbankan masih mengakibatkan terjadinya
”perang suku bunga”. Suku bunga deposito bank-bank acuan LPS (suku
bunga pasar, SBP) sepanjang kuartal pertama 2015 masih mengalami
kenaikan sebesar 11 basis points (bps), meski menurun dibanding 17 bps pada
periode yang sama tahun lalu. Sejak awal April 2015, SBP menurun 10 bps.
Masih tingginya suku bunga simpanan itu harus ditanggung bank dalam
bentuk peningkatan biaya dana (cost of fund).
Tingginya suku bunga simpanan (deposito) mengakibatkan kemampuan
kredit (lending) perbankan juga menurun. Itu tecermin dari tingginya rasio
kredit terhadap simpanan (loan to deposit ratio/LDR). Per Maret 2015, posisi
LDR di level 87,6 persen. Itu berarti, ruang ekspansi tinggal sekitar 5 persen.
Kondisi perekonomian yang kurang kondusif mengakibatkan korporasi
menekan laju ekspansi (dan permintaan kredit), terlebih di saat suku bunga
kredit juga masih tinggi. Di sisi lain, tingkat bunga yang tinggi
mengakibatkan meningkatnya daya tarik deposito sebagai salah satu
alternatif investasi. Posisi itu mengakibatkan perbankan menanggung dua
risiko sekaligus: tingginya biaya dana dan melemahnya pendapatan bunga
dari sisi kredit.
Bukan hanya itu. Pelemahan ekonomi, tekanan nilai tukar, dan suku bunga
yang tinggi telah mengakibatkan meningkatnya kesulitan bagi para debitor
untuk memenuhi kewajibannya. Berdasar data, kredit yang dikategorikan
bermasalah (kolektibilitas 3–5) masih cenderung tinggi dengan tingkat
pertumbuhan rata-rata 26,6 persen sepanjang kuartal I 2015. Tingkat
http://www2.jawapos.com/baca/opinidetail/18972/mengantisipasi­risiko­pelemahan­rupiah
2/5
12/18/2015
Mengantisipasi Risiko Pelemahan Rupiah | Selalu Ada Yang Baru
pertumbuhan itu jauh di atas pertumbuhan rata-rata kredit yang
kolektibilitasnya lancar sebesar 10,6 persen. Pertumbuhan kredit
kolektibilitas ”perbatasan” (kolektibilitas 2) juga cukup tinggi (rata-rata
sebesar 23,7 persen) yang mengindikasikan ancaman kredit macet masih
signifikan dalam beberapa periode ke depan. Dengan kondisi seperti itu,
risiko yang dihadapi perbankan pun bertambah dari risiko likuiditas ke
risiko kredit.
Jelas bahwa efek dari pelemahan nilai tukar rupiah ini telah berada dalam
posisi yang cukup mengkhawatirkan. Terlebih, potensi pelemahan
diperkirakan masih terjadi seiring dengan tidak adanya kepastian terkait
dengan kebijakan kenaikan suku bunga AS. Kondisi ini harus diantisipasi,
baik oleh otoritas moneter, fiskal, maupun kebijakan sektoral pemerintah.
BI perlu mengevaluasi efektivitas kebijakan moneternya karena faktanya
beragam upaya dan kebijakan yang telah dilakukan terbukti belum mampu
mengangkat nilai tukar rupiah dan menekan laju inflasi. Pemerintah
(termasuk fiskal) juga perlu segera menyelesaikan problem internalnya
yang terbukti telah menghambat penyerapan kinerja anggarannya.
Sementara itu, dunia usaha (korporasi) sebaiknya tidak diam melihat situasi
terkait dengan ketidakjelasan prospek nilai tukar rupiah ini. Korporasi yang
memiliki eksposur tinggi terhadap impor dan utang luar negeri sebaiknya
segera melakukan langka-langkah mitigasi risiko terkait dengan nilai tukar,
salah satunya dengan melakukan transaksi lindung nilai (currency hedging).
(*)
BACA JUGA:
Rupiah dan Daya Saing Indonesia di Pasar MEA
Rupiah dalam Kompetisi Komoditas Global
Mencermati Pelemahan Rupiah
Rupiah dan Tumbangnya Dua Presiden
KOMENTAR
http://www2.jawapos.com/baca/opinidetail/18972/mengantisipasi­risiko­pelemahan­rupiah
3/5
Download