BAB II Tinjauan Pustaka dan Kerangka Pemikiran

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1
Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu ukuran kuantitatif yang
menggambarkan perkembangan suatu perekonomian dalam suatu tahun tertentu
apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya (Sukirno, 2007). Perkembangan
tersebut dinyatakan dalam bentuk persentase perubahan PDRB pada suatu tahun
dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Ada tiga komponen utama dalam pertumbuhan ekonomi dari setiap bangsa
(Todaro & Smith, 2006):
1). Akumulasi modal, yang meliputi semua bentuk atau jenis investasi baru yang
ditanamkan pada tanah, peralatan fisik, dan modal atau sumber daya manusia.
2). Pertumbuhan
penduduk
yang
pada
tahun-tahun
berikutnya
akan
memperbanyak jumlah angkatan kerja.
3). Kemajuan teknologi.
Pertumbuhan ekonomi belum tentu melahirkan pembangunan ekonomi
dan peningkatan kesejahteraan (pendapatan) masyarakat. Hal tersebut disebabkan
karena bersamaan dengan terjadinya pertumbuhan ekonomi akan berlaku pula
pertambahan penduduk. Apabila tingkat pertumbuhan ekonomi selalu rendah dan
tidak melebihi tingkat pertambahan penduduk, pendapatan rata-rata masyarakat
(pendapatan per kapita) akan mengalami penurunan. Sedangkan apabila dalam
jangka panjang pertumbuhan ekonomi sama dengan pertambahan penduduk,
maka perekonomian negara tersebut tidak mengalami perkembangan (stagnan)
dan tingkat kemakmuran masyarakat tidak mengalami kemajuan. Dengan
demikian, salah satu syarat penting yang akan mewujudkan pembangunan
ekonomi adalah tingkat pertumbuhan ekonomi harus melebihi tingkat
pertambahan penduduk (Sukirno, 2007).
Teori pertumbuhan ekonomi semakin berkembang dari masa ke masa.
Beberapa teori pertumbuhan ekonomi yang menonjol sebagaimana diuraikan
Todaro dan Smith (2006) adalah model pertumbuhan neoklasik dan model
pertumbuhan endogen.
12
2.1.1 Model Pertumbuhan Neoklasik
Teori pertumbuhan neo-klasik dimotori oleh Harrod-Domar dan Robert
Solow. Menurut Jhingan (2010) model pertumbuhan Harrod dan Domar atau lebih
dikenal
dengan
model
pertumbuhan
Harrod-Domar
merupakan
model
pertumbuhan Keynesian yang secara luas banyak diaplikasikan pada negaranegara sedang berkembang. Domar mengkonstruksi teorinya dengan menekankan
peran
ganda
investasi
dalam
proses
pertumbuhan
ekonomi.
Investasi
memengaruhi permintaan agregat melalui proses investment multiplier dan dalam
jangka panjang merupakan proses akumulasi modal yang akan menambah stok
kapital
dan
meningkatkan
kapasitas
produksi
sehingga
investasi
juga
memengaruhi penawaran agregat. Domar menjelaskan tentang tingkat investasi
yang diperlukan agar peningkatan permintaan agregat setara dengan kapasitas
produksi sehingga pemanfaatan kapasitas penuh dapat dipertahankan.
Pertumbuhan permintaan agregat sama dengan investasi (I) dikalikan
dengan besaran multiplier (1/s). Sedangkan pertumbuhan kapasitas produksi
(penawaran agregat) sama dengan investasi (I) dibagi rasio kapital output (k).
Melalui manipulasi matematis diperoleh laju pertumbuhan investasi yang
diperlukan agar dapat menyamakan laju pertumbuhan permintaan agregat dengan
laju pertumbuhan penawaran, yaitu sebesar rasio MPS (Marjinal Propensity to
Save = s) terhadap COR (Capital Output Ratio = k) atau dapat dinyatakan dengan
persamaan berikut:
∆/ ∆/ ∆/ /
(2.1)
keterangan:
∆Y/ Y = laju pertumbuhan permintaan agregat atau output
∆K/K = laju peningkatan stok kapital (penawaran agregat)
∆I/I
= laju peningkatan investasi
Model pertumbuhan neoklasik selanjutnya dimotori oleh Solow. Model
Solow menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan rangkaian kegiatan
yang bersumber pada manusia, akumulasi modal, pemakaian teknologi modern
dan output, guna mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan.
Model Solow menganggap input tenaga kerja dan modal memakai asumsi skala
yang terus berkurang (diminishing returns) jika keduanya dianalisis secara
13
terpisah, sedangkan jika keduanya dianalisis secara bersamaan memakai asumsi
skala hasil tetap (Constant Returns To Scale) (Todaro & Smith, 2006). Secara
ekonomi, model pertumbuhan Solow menunjukkan bagaimana pertumbuhan
persediaan modal, pertumbuhan angkatan kerja, dan kemajuan teknologi
berinteraksi dalam perekonomian, serta bagaimana pengaruhnya terhadap output
barang dan jasa suatu negara secara keseluruhan (Mankiw, 2007).
Asumsi fungsi produksi bersifat skala hasil tetap yang digunakan Solow
menunjukkan bahwa output akan meningkat dengan proporsi yang sama apabila
kapital dan tenaga kerja digandakan dan input-output yang baru digunakan
sepenting input yang telah ada (Mankiw, 2007). Tenaga kerja dan pengetahuan
diasumsikan tidak memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Dari
anggapan tersebut model Solow diformulasikan sebagai suatu hubungan
fungsional dimana output per tenaga kerja efektif sebagai fungsi dari kapital per
tenaga kerja efektif, yaitu:
y = f(k)
(2.2)
keterangan :
y = output per tenaga kerja efektif (Y/AL)
k = kapital per tenaga kerja efektif (K/AL)
Y = output
K = kapital,
L = tenaga kerja,
A = efektivitas tenaga kerja (pengetahuan),
AL = tenaga kerja efektif (labor augmented)
Investasi aktual dan Investasi break-even
Investasi break even
(δ+n+g)k
Investasi aktual
sf(k)
Modal per pekerja efektif, k
0
k*
Sumber: Mankiw (2007)
Gambar 2.1 Investasi Aktual dan Break-even
14
Dalam model Solow, output nasional yang diperoleh hanya digunakan
untuk dua tujuan yaitu konsumsi dan investasi. Bagian output yang digunakan
untuk tujuan investasi berasal dari tabungan. Melalui proses akumulasi modal,
satu unit investasi menghasilkan satu unit tambahan kapital baru, sedangkan
kapital yang lama akan mengalami penyusutan. Tingkat perubahan stok kapital
per unit tenaga kerja efektif merupakan selisih antara perubahan investasi aktual
dengan perubahan investasi break-even, yaitu investasi yang diperlukan untuk
mengimbangi
pertumbuhan
tenaga
kerja
dan
ilmu
pengetahuan
serta
menggantikan penyusutan kapital yang lama sehingga jumlah stok kapital per
tenaga kerja efektif yang ada tetap terpelihara.
Stok kapital per tenaga kerja efektif akan berada pada posisi pertumbuhan
ekonomi yang berimbang (the balance growth path) ketika perubahan investasi
aktual sama besarnya dengan perubahan investasi break-even. Apabila tingkat
stok kapital per tenaga kerja efektif rendah, investasi aktual per unit tenaga kerja
efektif lebih besar dari investasi break-even dan tingkat produktivitas stok kapital
per tenaga kerja efektif sangat tinggi sehingga jumlahnya meningkat ke posisi
stok kapital per tenaga kerja efektif keseimbangan atau laju pertumbuhannya
positif (gambar 2.1). Sebaliknya pada tingkat stok kapital per tenaga kerja efektif
yang tinggi, investasi aktual per unit tenaga kerja lebih kecil dari investasi breakeven dan tingkat produktivitas stok kapital per tenaga kerja efektif sangat rendah
sehingga jumlahnya menurun ke posisi stok kapital per tenaga kerja
keseimbangan atau laju pertumbuhannya negatif. Dengan demikian stok kapital
per tenaga kerja efektif selalu konvergen ke posisi keseimbangannya di titik k*.
Setelah konvergensi tercapai, laju pertumbuhan stok kapital per tenaga
kerja efektif mencapai nol karena pada posisi keseimbangan perubahan investasi
aktual sama dengan perubahan investasi break-even. Pada posisi ini stok kapital
total, tenaga kerja efektif dan output total tumbuh pada tingkat yang sama yaitu
sebesar jumlah pertumbuhan tenaga kerja efektif dan pertumbuhan ilmu
pengetahuan. Stok kapital per tenaga kerja dan total output per tenaga kerja
tumbuh sebesar pertumbuhan ilmu pengetahuan.
Solow menjelaskan bahwa perekonomian senantiasa akan konvergen
secara otomatis menuju pertumbuhan yang berimbang, yaitu suatu situasi dimana
15
setiap variabel tumbuh pada tingkat yang konstan. Pada pertumbuhan yang
berimbang, pertumbuhan output per tenaga kerja hanya ditentukan oleh tingkat
kemajuan teknologi. Hal ini menunjukkan pentingnya kemajuan teknologi dalam
proses pertumbuhan ekonomi menurut Solow.
2.1.2 Model Pertumbuhan Endogen
Model pertumbuhan endogen dikembangkan untuk melengkapi teori
pertumbuhan ekonomi neo-klasik. Model pertumbuhan neo-klasik berargumen
bahwa pertumbuhan output didorong oleh tingkat perkembangan teknologi. Tanpa
perkembangan teknologi, tidak akan ada pertumbuhan jangka panjang. Tetapi
karena penyebab perkembangan teknologi tidak dijelaskan dalam model Solow,
sehingga dasar terjadinya pertumbuhan masih kurang jelas. Karena Solow
menganggap teknologi sebagai faktor eksogen dalam proses pertumbuhan maka
model pertumbuhannya tidak memperhatikan bagaimana mendorong kemajuan
teknologi melalui proses belajar (learning by doing), investasi dalam penelitian
dan akumulasi pengetahuan (Capello, 2007).
Teori pertumbuhan endogen pada awalnya berkembang dalam dua cabang
pemikiran yang bertumpu pada pentingnya sumber daya manusia sebagai kunci
utama dalam perekonomian, yaitu:
1. Pemikiran yang percaya bahwa knowledge stock adalah sumber utama bagi
peningkatan produktivitas ekonomi.
2. Pemikiran yang menekankan pada pentingnya learning by doing dan human
capital dengan introduksi hal-hal baru (yang bersifat eksternal) dalam
perekonomian merupakan faktor pendorong bagi peningkatan produktivitas
perekonomian.
Pemikiran bahwa stok pengetahuan merupakan salah satu faktor produksi
yang semakin meningkat dikembangkan oleh Romer. Tingkat pertumbuhan dapat
terus meningkat sesuai dengan kemampuan masing-masing negara dalam
meningkatkan dan menciptakan stok pengetahuan. Oleh karena itu negara maju
yang memiliki kemampuan menciptakan pengetahuan yang lebih cepat
dibandingkan dengan negara berkembang akan mengalami pertumbuhan ekonomi
16
yang lebih cepat. Hal ini sekaligus menolak teori konvergensi dari neo-klasik,
karena konvergensi tidak bisa secara otomatis terjadi dalam perekonomian.
Model Romer menekankan pada akumulasi pengetahuan dalam upaya
mencapai pertumbuhan jangka sehingga bisa mencapai kondisi konvergen. Oleh
karena itu variabel modal dalam pertumbuhan agregat neo-klasik sekarang sudah
memperhitungkan unsur akumulasi pengetahuan. Tiga elemen utama dalam model
Romer yaitu:
1. Adanya unsur eksternalitas, sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan.
2. Adanya peningkatan skala hasil yang semakin meningkat, yang menyebabkan
peningkatan spesialisasi dan pembagian kerja.
3. Semakin pendeknya waktu pemanfaatan ilmu pengetahuan, karena pesatnya
perkembangan di sektor riset.
Secara umum model Romer dirumuskan sebagai berikut:
Y
K α
Lα
K dengan 0 < α < 1; 0 < β < 1
β
(2.3)
Keterangan:
Yi : output produksi perusahaan i
Ki : stok modal
Li : tenaga kerja
K : stok pengetahuan/teknologi (technical knowledge) agregat.
K diasumsikan mempunyai efek menyebar yang positif terhadap produksi setiap
perusahaan.
Model pertumbuhan endogen berikutnya dikemukakan oleh Lucas melalui
model akumulasi human capital dengan learning theory. Learning theory
memasukkan unsur ekstemalitas yang terkandung dalam peningkatan kapital pada
proses produksi. Peningkatan capital akan meningkatkan stok publik knowledge,
sehingga secara keseluruhan proses produksi dalam skala yang bersifat increasing
return to scale.
Akumulasi modal manusia dapat dilakukan melalui pendidikan formal
maupun bukan jalur pendidikan formal (on the job traning). Eksternalitas yang
dihasilkan oleh investasi dalam pendidikan umum (termasuk kegiatan produksi)
serta investasi dalam beberapa kegiatan tertentu inilah yang menyebabkan proses
bersifat learning by doing.
17
Model yang dikembangkan oleh Lucas menggunakan dua jenis modal,
yaitu modal fisik dan modal manusia. Rumusan yang digunakan Lucas adalah
sebagai berikut:
Y AK α u H L α Hθ
(2.4)
Keterangan:
Yt : output produksi
A : konstanta
K : stok modal
L : tenaga kerja
u : waktu yang digunakan untuk pekerja untuk berproduksi
H : kualitas dari human capital yang merupakan rata-rata banyaknya
pengetahuaan yang dimiliki oleh pekerja.
Dengan Ht yang meningkat sejalan dengan ut maka fungsi produksi akan bersifat
Increasing Return To Scale dimana Ht bersifat eksternal yang bergantung pada
tingkat ketrampilan rata-rata tenaga kerja dalam perusahaan tersebut.
Sirojuzilam (2009) mengemukakan bahwa terdapat lima faktor penyebab
perbedaan pertumbuhan ekonomi antar wilayah, yaitu:
1. Kandungan sumber daya alam
Kegiatan produksi akan sangat dipengaruhi oleh faktor produksi yang dimiliki.
Suatu daerah yang kaya akan sumber daya alam akan lebih efisien dalam
memproduksi barang karena harga faktor input yang murah sehingga pada
gilirannya akan mampu mempercepat pertumbuhan ekonominya.
2. Kondisi geografis
Kondisi geografis suatu wilayah seperti perbedaan tingkat pertumbuhan dan
struktur
kependudukan,
ketenagakerjaan,
tingkah
tingkat
laku
pendidikan
dan
etos
dan
kerja
kesehatan,
kondisi
masyarakatnya
akan
memengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu wilayah.
3. Mobilitas barang dan jasa
Tidak lancarnya mobilitas barang dan jasa akan menyebabkan penumpukan
produksi di suatu wilayah sehingga akan menghambat pertumbuhan di
wilayah tersebut dan menyebabkan perekonomian di wilayah tersebut menjadi
kuran maju.
18
4. Derajat konsentrasi kegiatan ekonomi
Wilayah yang memiliki derajat konsentrasi ekonomi yang baik akan
mendorong peningkatan penyerapan tenagakerja dan tingkat pendapatan
masyarakat sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah
tersebut.
5. Alokasi dana pembangunan antar wilayah
Alokasi dana pembangunan atau investasi baik yang dilakukan oleh
pemerintah maupun swasta di suatu wilayah akan mendorong tumbuhnya
kegiatan di sektor produksi dan akan meningkatkan pendapatan sehingga
pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut dapat semakin tinggi.
2.2
Kesenjangan PDRB per Kapita Regional
Kesenjangan mengacu pada standar hidup relatif dari masyarakat secara
keseluruhan (Sutarno dan Kuncoro, 2003). Kesenjangan regional disebabkan
adanya perbedaan faktor potensi wilayah sejak awal. Perbedaan potensi inilah
yang menyebabkan kemampuan suatu daerah dalam melaksanakan pembangunan
ekonomi di wilayahnya menjadi berbeda. Arsyad (2010) menyebutkan bahwa
teori kutub pertumbuhan yang dikemukakan oleh Perroux menyebutkan bahwa
pertumbuhan tidak muncul di berbagai daerah dalam waktu yang bersamaan.
Pertumbuhan hanya terjadi di tempat-tempat yang merupakan pusat pertumbuhan
dengan intensitas yang berbeda. Terjadinya ketimpangan antar daerah ini
membawa implikasi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat antar daerah yang
pada akhirnya menyebabkan ketimpangan pendapatan.
Perbedaan kemajuan antar daerah berarti adanya perbedaan kemampuan
untuk tumbuh sehingga
yang timbul adalah ketidakmerataan. Kuznets
menganalisis pola-pola pertumbuhan historis di negara-negara maju dan
mengemukakan bahwa pada tahap awal pertumbuhan distribusi pendapatan
cenderung memburuk namun pada tahapan berikutnya distribusi pendapatan akan
semakin membaik. Kondisi inilah yang kemudian dikenal dengan hipotesis
“Kurva U Terbalik” (Todaro & Smith, 2006). Hipotesis ini dihasilkan melalui
kajian empiris terhadap pola pertumbuhan ekonomi terhadap trade off antara
pertumbuhan dan pemerataan. Seiring dengan kemajuan pembangunan ekonomi
19
maka setelah mencapai tahap tertentu trade off tersebut akan menghilang diganti
dengan hubungan korelasi positif antara pertumbuhan dan pemerataan.
Proses trade off ini banyak terjadi di negara sedang berkembang, ketika
proses pembangunan dilaksanakan maka ketimpangan semakin meningkat. Hal ini
disebabkan karena pada waktu proses pembangunan baru dimulai di negara
sedang berkembang, kesempatan dan peluang pembangunan yang umumnya
dimanfaatkan oleh daerah-daerah yang kondisi pembangunannya sudah lebih
baik.
Sedangkan
daerah-daerah
yang masih
terbelakang tidak mampu
memanfaatkan peluang yang ada karena keterbatasan prasarana dan sarana serta
rendahnya kualitas sumber daya manusia. Hambatan ini tidak saja disebabkan
oleh faktor ekonomi, tetapi juga oleh faktor sosial budaya sehingga akibatnya
ketimpangan
pembangunan
antar
daerah
cenderung
meningkat
karena
pertumbuhan ekonomi cenderung lebih cepat di daerah dengan kondisinya lebih
baik, sedangkan daerah yang terbelakang tidak banyak mengalami kemajuan
(Sjafrizal, 2008).
Faktor-faktor penyebab ketimpangan pembangunan ekonomi (Emilia dan
Imelia, 2006), antara lain:
1) Konsentrasi kegiatan ekonomi wilayah
Ekonomi di daerah dengan konsentrasi tinggi cenderung tumbuh pesat,
sedangkan daerah yang memiliki tingkat konsentrasi ekonomi yang rendah
cenderung akan tumbuh dengan lambat.
2) Alokasi investasi
Teori pertumbuhan ekonomi dari Harrod Domar menerangkan hubungan
positif antara tingkat investasi dan laju pertumbuhan ekonomi. Artinya
apabila tingkat investasi suatu daerah rendah maka daerah tersebut akan
memiliki pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendapatan masyarakat per
kapita yang rendah karena tidak adanya kegiatan ekonomi yang produktif.
3) Tingkat mobilitas faktor produksi yang rendah antar daerah
Pertumbuhan ekonomi yang lambat disebabkan oleh kurang lancarnya
mobilitas faktor produksi seperti tenaga kerja dan capital antar daerah.
20
4) Perbedaan sumber daya alam antarwilayah
Kaum klasik menerangkan bahwa pembangunan ekonomi di daerah yang
kaya sumber daya alam (SDA) akan lebih maju dan masyakaratnya lebih
makmur dibandingkan dengan wilayah yang miskin SDA.
5) Perbedaan kondisi demografis antarwilayah
Jumlah dan pertumbuhan penduduk, pendidikan, kesehatan, disiplin dan etos
kerja masyarakat menjadi faktor yang membuat pertumbuhan ekonomi antar
wilayah menjadi berbeda. Faktor jumlah penduduk yang besar akan menjadi
faktor pendorong bagi pertumbuhan ekonomi sekaligus menjadi aset yang
potensial bagi produksi.
6)
Kurang lancarnya perdagangan antarwilayah
Lancar tidaknya perdagangan antar wilayah ditentukan oleh kondisi
transportasi dan komunikasi. Kelangkaan barang modal, input antara, bahan
baku akibat sarana transportasi dan komunikasi yang tidak baik akan
menyebabkan kegiatan ekonomi di suatu wilayah tidak berkembang dan tidak
dapat beroperasi secara optimal.
Salah satu indikator untuk melihat kesenjangan ekonomi regional adalah
melalui kesenjangan pendapatan per kapita. Pendekatan pendapatan per kapita
yang biasa digunakan adalah dengan PDRB per kapita. PDRB adalah nilai bersih
barang dan jasa-jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai kegiatan ekonomi di
suatu daerah dalam periode (Sasana, 2009). PDRB dapat menggambarkan
kemampuan suatu daerah mengelola sumber daya alam yang dimiliki suatu
daerah. Besaran PDRB yang dihasilkan oleh masing-masing daerah sangat
bergantung kepada potensi sumber daya alam dan faktor produksi daerah tersebut.
PDRB per kapita dapat dihitung dari PDRB harga konstan dibagi dengan jumlah
penduduk pada suatu wilayah. Keterbatasan dalam ketersediaan faktor-faktor
produksi dan sumber daya alam membuat besaran PDRB bervariasi antar daerah.
Arsyad (2010) menjelaskan bahwa pendapatan per kapita memberikan
gambaran
tentang
kesejahteraan
masyarakat
di
banyak
negara
dan
menggambarkan perbedaan tingkat kesejahteraan masyarakat yang terjadi antar
negara. Semakin tinggi PDRB per kapita maka semakin sejahtera penduduk suatu
daerah dan jumlah penduduk miskin di daerah tersebut akan semakin berkurang.
21
Dengan pendapatan yang semakin tinggi maka seseorang akan semakin mampu
membayar berbagai pungutan yang ditetapkan oleh pemerintah.
Di dalam perekonomian suatu negara, setiap sektor yang ada tergantung
pada sektor yang lain, satu dengan yang lain saling memerlukan baik dalam
tenaga, bahan mentah maupun hasil akhirnya. Sektor industri memerlukan bahan
mentah dari sektor pertanian dan pertambangan, hasil sektor industri dibutuhkan
oleh sektor pertanian dan jasa-jasa. Menurut BPS (2008), angka PDRB dapat
diperoleh melalui tiga pendekatan yaitu pendekatan produksi, pendekatan
pendapatan dan pendekatan pengeluaran yang selanjutnya dijelaskan sebagai
berikut :
1. Menurut Pendekatan Produksi
PDRB adalah jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai
unit produksi yang berada di suatu wilayah/provinsi dalam jangka waktu
tertentu (satu tahun). Unit-unit produksi tersebut dalam penyajiannya
dikelompokkan menjadi 9 (sembilan) sektor atau lapangan usaha yaitu;
Pertanian, Pertambangan dan Penggalian, Industri Pengolahan, Listrik, Gas
dan Air Bersih, Bangunan, Perdagangan, Hotel dan Restoran, Pengangkutan
dan Komunikasi, Jasa Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan, Jasa-jasa.
2. Menurut Pendekatan Pendapatan
PDRB merupakan balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang
ikut serta dalam proses produksi di suatu wilayah dalam waktu tertentu. Balas
jasa faktor produksi adalah upah dan gaji, sewa tanah, bunga modal dan
keuntungan; sebelum dipotong pajak penghasilan dan pajak langsung lainnya.
PDRB mencangkup juga penyusutan neto. Jumlah semua komponen
pendapatan per sektor disebut sebagai nilai tambah bruto sektoral. PDRB
merupakan jumlah dari nilai tambah bruto seluruh sektor.
3. Menurut Pendekatan Pengeluaran
PDRB adalah penjumlahan semua komponen permintaan akhir yaitu:
a) Pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta yang tidak
mencari untung.
b) Konsumsi pemerintah.
c) Pembentukan modal tetap domestik bruto.
22
d) Perubahan stok.
e) Ekspor netto.
PDRB per kapita juga dapat dijadikan sebagai salah satu indikator guna
melihat keberhasilan pembangunan perekonomian di suatu wilayah. Perbedaan
faktor produksi dan sumber daya yang dimiliki setiap daerah akan menyebabkan
terjadinya kesenjangan PDRB per kapita antar daerah. Ketimpangan PDRB per
kapita antar daerah yang terjadi bisa diukur dengan indeks Williamson (Hartono,
2008). Penelitian yang dilakukan oleh Sjafrizal (1997) menunjukkan bahwa
ketimpangan ekonomi regional di Indonesia dari tahun 1971 sampai tahun 1990
berkisar antara 0,394 sampai 0,484. Artinya ada peningkatan ketimpangan
ekonomi regional walaupun masih relatif sedang. Studi yang dilakukan Hartono
(2008) menunjukkan bahwa ketimpangan pembangunan ekonomi antar daerah di
Provinsi Jawa Tengah yang dihitung dengan menggunakan indeks Williamson
pada tahun 1981-2005 semakin melebar.
Kenaikan pendapatan per kapita dapat tidak menaikkan standar hidup riil
masyarakat apabila pendapatan per kapita meningkat akan tetapi konsumsi per
kapita turun (Jhingan, 2010). Keadaan ini disebabkan oleh kenaikan pendapatan
tersebut hanya dinikmati oleh kelompok tertentu saja yaitu beberapa orang kaya
dan tidak oleh banyak orang miskin. Selain itu, rakyat lebih memilih untuk
meningkatkan tingkat tabungan mereka atau pemerintah lebih memilih untuk
menggunakan peningkatan pendapatan yang terjadi untuk membiayai keperluan
militer atau keperluan lain.
Penelitian tentang ketimpangan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi
di Provinsi Gorontalo yang dilakukan oleh Mopanga (2010) memperoleh hasil
bahwa sumber utama ketimpangan adalah perbedaan PDRB per Kapita, Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) dan rasio belanja insfrastruktur. Pertumbuhan
ekonomi mempunyai hubungan positif dengan ketimpangan pembangunan
(Indeks Gini).
Baransano (2011) melakukan penelitian tentang kesenjangan pembangunan
di Provinsi Papua Barat. Hasil analisis dengan Indeks Williamson dan Indeks
Theil menunjukkan kesenjangan pembangunan di provinsi tersebut berangsur
menurun (convergence). Sedangkan ketimpangan proporsional pada PDRB per
23
kapita, jumlah penduduk, alokasi dana perimbangan dan IPM secara signifikan
memengaruhi kesenjangan pembangunan wilayah.
Uppal dan Handoko (1986) melakukan penelitian untuk mengetahui
kesenjangan pendapatan antar daerah pada periode 1976-1980. Dengan
menggunakan indeks Williamson ditemukan bahwa ada tendensi penurunan
dalam kesenjangan pendapatan antar daerah pada periode tersebut. Faktor yang
cenderung menurunkan kesenjangan antar daerah adalah anggaran belanja
pemerintah dan transfer kepada provinsi.
Tadjoeddin (2003) melakukan studi yang terkait dengan kesenjangan
regional dan konflik-konflik di Indonesia. Hasil penelitiannya menunjukkan
bahwa dengan penghitungan Indeks Theil dan L, kontribusi daerah-daerah
kantong/kaya sekitar 60-70 persen dalam ketimpangan regional. Apabila daerahdaerah kaya tersebut dikeluarkan dari penghitungan maka ketimpangan regional
dalam output per kapita akan lebih rendah. Faktor-faktor yang mempengaruhi
formasi dan pembangunan daerah kaya adalah kelimpahan sumberdaya alam
seperti minyak, gas, mineral dan kehutanan yang menarik investor untuk
mengeksploitasi sumberdaya alam tersebut dan menghasilkan kapasitas output
yang sangat besar, selain itu
faktor pengambilan kebijakan, berdasarkan
keunggulan komparatif yang diperoleh dari lokasi yang strategis dan infrastruktur,
juga memiliki pengaruh dalam pembangunan daerah kaya.
Caska dan Riadi (2008) melakukan penelitian mengenai pertumbuhan dan
ketimpangan pembangunan ekonomi antardaerah di Provinsi Riau. Metode
penelitian yang digunakan adalah tipologi klassen, indeks ketimpangan
Williamson, indeks Entropi Theil, dan pembuktian kurva U terbalik Kuznets. Dari
hasil penelitian tersebut dapat diketahui bahwa di Provinsi Riau selama tahun
2003-2005 tingkat ketimpangan pendapatan antar daerahnya rendah. Sedangkan
hipotesis Kuznets tidak berlaku di Provinsi Riau selama periode tersebut.
Penelitian tentang kesenjangan pendapatan di Indonesia juga dilakukan
oleh
Akita
dan
Alisjahbana
(2002).
Penelitian
tersebut
menggunakan
menggunakan indeks Theil sebagai alat ukur kesenjangan pembangunan antar
wilayah. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kesenjangan daerah meningkat
secara signifikan pada tahun 1993-1997 sebagai akibat kesenjangan dalam
24
provinsi terutama di Riau, Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Pada tahun 1998,
kesenjangan menurun drastis hingga ke level tahun 1993-1994.
2.3
Desentralisasi Fiskal dan Pertumbuhan Ekonomi
Desentralisasi merupakan sebuah alat untuk mencapai salah satu tujuan
bernegara, khususnya dalam rangka memberikan pelayanan umum yang lebih
baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih
demokratis. Desentralisasi dapat diwujudkan dengan pelimpahan kewenangan
kepada tingkat pemerintahan di bawahnya untuk melakukan pembelanjaan,
kewenangan untuk memungut pajak (taxing power), terbentuknya Dewan yang
dipilih oleh rakyat, Kepala Daerah yang dipilih oleh DPRD, dan adanya bantuan
dalam bentuk transfer dari Pemerintah Pusat. Cakupan desentralisasi adalah
sebagai berikut:
a. Desentralisasi politik, pelimpahan kewenangan yang lebih besar kepada
daerah yang menyangkut aspek pengambilan keputusan, termasuk penetapan
standar dan berbagai peraturan.
b. Desentralisasi
administrasi,
merupakan
pelimpahan
kewenangan,
tanggungjawab, dan sumber daya antar berbagai tingkat pemerintahan.
c. Desentralisasi fiskal, merupakan pemberian kewenangan kepada daerah untuk
menggali sumber-sumber pendapatan, hak untuk menerima transfer dari
pemerintah yang lebih tinggi, dan menentukan belanja rutin dan investasi.
Desentralisasi fiskal merupakan salah satu komponen utama dari
desentralisasi, dimana apabila Pemerintah Daerah melaksanakan fungsinya dan
diberikan kebebasan dalam mengambil keputusan di sektor publik, maka harus
mendapat dukungan dari Pemerintah Pusat berupa subsidi/bantuan maupun
pinjaman dari Pemerintah Pusat serta sumber-sumber keuangan yang memadai,
baik yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Bagi Hasil Pajak dan
Bukan Pajak (Suparno, 2010). Pemerintah pada hakekatnya mengemban tiga
fungsi utama antara lain fungsi distribusi, alokasi dan stabilisasi (Stiglitz, 2000).
Fungsi Alokasi adalah peran pemerintah dalam mengalokasikan sumber daya
ekonomi agar tercipta secara efisien, yaitu adanya peran pemerintah dalam
menyediakan barang yang tidak bisa disediakan oleh pasar. Fungsi distribusi
25
adalah peran pemerintah dalam mempengaruhi distribusi pendapatan dan
kekayaan untuk menjamin adanya keadilan dalam mengaturan distribusi
pendapatan. Fungsi stabilisasi merujuk pada tindakan pemerintah dalam
mempengaruhi keseluruhan tingkat pengangguran, pertumbuhan ekonomi dan
harga. Dalam hal ini pemerintah menggunakan kebijakan anggaran untuk
mengurangi pengangguran, kestabilan harga dan tingkat pertumbuhan ekonomi
berkelanjutan. Apabila Pemerintah Daerah melaksanakan fungsinya secara efektif,
dan diberikan kebebasan dalam pengambilan keputusan penyediaan pelayanan di
sektor publik, maka mereka harus didukung sumber-sumber keuangan yang
memadai baik yang berasal dari pendapatan asli daerah (PAD) termasuk
surcharge of taxes, pinjaman, maupun dana perimbangan dari Pemerintah Pusat.
Salah satu model yang mendukung desentralisasi adalah The Tiebout
Model yang terkenal dengan ungkapannya "Love it or leave it" (Suparno, 2011).
Model tersebut menjelaskan bahwa tingkat dan kombinasi pembiayaan barang
publik bertaraf lokal dan pajak yang dibayar oleh masyarakat merupakan
kepentingan politisi masyakarat lokal dengan Pemerintah daerahnya. Masyarakat
akan memilih untuk tinggal di lingkungan yang anggaran daerahnya memenuhi
preferensi yang paling tinggi antara pelayanan publik dari Pemerintah daerahnya
dengan pajak yang dibayar oleh masyarakat. Ketika masyarakat tidak senang pada
kebijakan pemerintah lokal dalam pembebanan pajak untuk pembiayaan barang
publik bersifat lokal, maka hanya ada dua pilihan bagi warga masyarakat, yaitu
meninggalkan wilayah tersebut atau tetap tinggal di wilayah tersebut dengan
berusaha mengubah kebijakan pemerintah lokal melalui DPRD. Hipotesis tersebut
memberikan petunjuk bahwa terdapat potensi untuk mencapai efisiensi ekonomi
(maximizing social welfare) dalam penyediaan barang publik pada tingkat lokal.
Model Tiebout ini menunjukkan kondisi yang diperlukan untuk mencapai
efisiensi ekonomi dalam penyediaan barang publik yang bersifat lokal yang pada
gilirannya akan menciptakan kondisi yang dikenal sebagai "the market for local
services would be perfectly competitive" (Stiglitz, 2000). Disinilah arti penting
desentralisasi dalam pengambilan keputusan publik yang diperdebatkan antara
pemerintah lokal dengan DPRD.
26
Pelaksanaan desentralisasi fiskal akan berjalan dengan baik dengan
mempedomani hal-hal sebagai berikut:
a. Adanya Pemerintah Pusat yang kapabel dalam melakukan pengawasan dan
enforcement.
b. Terdapat keseimbangan antara akuntabilitas dan kewenangan dalam
melakukan pungutan pajak dan retribusi Daerah.
c. Stabilitas politik yang kondusif.
d. Proses pengambilan keputusan di daerah harus demokratis, dimana
pengambilan keputusan tentang manfaat dan biaya harus transparan serta
pihak-pihak yang terkait memiliki kesempatan mempengaruhi keputusankeputusan tersebut.
e.
Desain kebijakan keputusan yang diambil sepenuhnya merupakan tanggung
jawab masyarakat setempat dengan dukungan institusi dan kapasitas
manajerial yang diinginkan sesuai dengan permintaan pemerintah.
f.
Kualitas sumberdaya manusia yang kapabel dalam menggantikan peran
sebelumnya yang merupakan peran pemerintah pusat.
Desentralisasi fiskal mulai dilaksanakan di Indonesia sejak tanggal 1
Januari 2001. Pelaksanaan desentralisasi fiskal diatur dalam Undang-undang no
22 dan No 25 Tahun 1999 yang kemudian direvisi dengan Undang-Undang No 32
dan No 33 Tahun 2004. Undang-undang tersebut mengatur tentang desentralisasi
dan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.
Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal memberikan kewenangan kepada
pemerintah daerah untuk menggali pendapatan dan melakukan peran alokasi
secara mandiri dalam melaksanakan pembangunan di daerahnya. Adanya otonomi
dan desentralisasi fiskal diharapkan akan lebih memeratakan pembangunan
dengan mengoptimalkan potensi daerahnya masing-masing (Sasana, 2009).
Otonomi dan desentralisasi fiskal diharapkan mampu meningkatkan kemampuan
ekonomi daerah serta mengurangi kesenjangan antar daerah. Kebijakan ini
diharapkan akan memberikan dampak positif pada transformasi ekonomi,
transformasi tenaga kerja dan transformasi kelembagaan.
27
Menurut Barzelay (1991) , pemberian otonomi daerah melalui desentralisasi
fiskal memiliki tiga misi utama, yaitu:
1. Menciptakan efisiensi dan efektivitas dalam mengelola sumber daya daerah
yang dimiliki.
2. Meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan rakyat.
3. Menciptakan ruang yang lebih luas bagi masyarakat untuk bisa ikut
berpartisipasi dalam proses pembangunan.
Manfaat yang bisa diperoleh dari sistem desentralisasi fiskal tidak lantas
membuat sistem tersebut sebagai sistem terbaik untuk mencapai pembangunan
yang lebih baik. Menurut Prud’homme (1995) terdapat beberapa kelemahan yang
menyertai pelaksanaan otonomi daerah, diantaranya adalah menciptakan
kesenjangan antara daerah miskin dan daerah kaya karena potensi yang dimiliki
berbeda sejak awal, mengancam stabilitas ekonomi karena tidak efisiennya
kebijakan ekonomi makro, mengurangi efisiensi akibat kurang representatifnya
lembaga perwakilan rakyat, dan perluasan jaringan korupsi karena korupsi tidak
lagi hanya terjadi di pusat tapi sudah sampai ke daerah.
Desentralisasi fiskal menjadi suatu hal yang sangat penting dalam masa
otonomi daerah karena dengan kewenangan yang diberikan maka pemerintah daerah
dapat dengan bebas menentukan kebijakan-kebijakan fiskal yang dapat meningkatkan
pendapatan daerah. Salah satu jalan yang sering dilakukan pemerintah daerah untuk
mendongkrak pendapatannya adalah dengan meningkatkan pajak dan menarik
retribusi daerah (Suparno, 2010).
Menurut
Brodjonegoro
(2000),
desentralisasi
fiskal
merupakan
penyerahan wewenang fiskal kepada daerah yang meliputi : (1) self financing atau
cost recovery dalam pelayanan publik dalam bentuk restribusi daerah, (2)
cofinancing atau coproduction yaitu penggunaan jasa publik beradaptasi dalam
bentuk kontribusi kerja sama atau pembayaran jasa, (3) transfer dari pusat ke
daerah terutama yang berasal sumbangan umum, sumbangan khusus, sumbangan
darurat serta bagi hasil pajak dan non pajak, dan (4) kebebasan daerah untuk
melakukan pinjaman.
Desentralisasi
fiskal
diharapkan
dapat
meningkatkan
efektifitas
pembangunan dan penyediaan pelayanan umum karena semakin dekatnya
masyarakat dengan pemerintah sehingga mampu mengakomodasi kondisi
28
masyarakat dan wilayah yang heterogen. Desentralisasi fiscal memungkinkan
pemerintah daerah untuk memperoleh dua sumber dana untuk melakukan
pembangunan, yaitu yang berasal dari pendapatan asli daerahnya dan dana
transfer dari pusat. Dana transfer dari pusat diberikan sebagai dana perimbangan,
yaitu dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk
mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana
perimbangan bertujuan mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah pusat
dan pemerintah daerah, dan antar
pemerintah daerah. Dana perimbangan
digunakan untuk melakukan pengembangan ekonomi lokal, dana tersebut
bersumber dari:
1. Dana Bagi Hasil (DBH)
Dana bagi hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai
kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, misalnya dana
bagi hasil pajak (DBHP) dan dana bagi hasil bukan pajak (DBHBP).
2. Dana Alokasi Umum (DAU)
Dana alokasi umum adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-daerah
untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
3. Dana Alokasi Khusus (DAK)
Merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan
kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk mendanai kegiatan khusus yang
merupakan urusan daerah dan sesuai dengan perioritas nasional.
Suhartono (2005) melakukan penelitian tentang peranan transfer fiskal
dalam mengurangi kesenjangan antar daerah di Jawa Bagian Barat. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa kecenderungan pemerataan fiskal belum
mampu memeratakan pembangunan. Transfer fiskal merupakan instrumen
pemerataan antar daerah karena ketimpangan pembangunan berkaitan erat dengan
ketimpangan transfer.
Penelitian
yang
dilakukan
oleh
Brodjonegoro
(2001)
dengan
menggunakan model makro ekonometrik simultan untuk melihat dampak
desentralisasi fiskal terhadap perekonomian Indonesia. Hasil studi menunjukkan
29
bahwa dengan skema DAU, DBHSDA, dan Dana Bagi Hasil Pajak Penghasilan
(DBHPPh) maka disparitas ekonomi antar daerah akan semakin meningkat. Hal
ini ditunjukkan oleh meningkatnya angka indeks Williamson. Sedangkan untuk
pertumbuhan ekonomi daerah, dengan skema yang sama menghasilkan tingkat
pertumbuhan yang berbeda-beda antar daerah, daerah yang kaya sumber daya
alam dan menerima DAU tinggi menunjukkan tingat petumbuhan yang tinggi,
demikian sebaliknya.
Sasana (2005) melakukan penelitian mengenai dampak pelaksanaan
desentralisasi terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten/Kota Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta. Hasil penelitiannya menunjukan bahwa DBH mempunyai
hubungan positif dan berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan
ekonomi hanya di Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta. Dana alokasi umum
berpengaruh secara negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di
Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman, kabupaten Gunung Kidul dan Kota
Yogyakarta. DAK berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan
ekonomi di seluruh kabupaten/kota provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Daulay (2011) meneliti pengaruh dari pendapatan asli daerah (PAD), dana
alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK), dana bagi hasil (DBH),
Investasi Daerah (ID), Belanja Pengawai dan Belanja Modal terhadap
pertumbuhan ekonomi di kabupaten dan kota Provinsi Sumatra Utara. Hasil Hasil
penelitian menunjukkan bahwa PAD, DAK, DAU, DBH dan ID merupakan
faktor yang dominan sebagai pembentuk pertumbuhan ekonomi sedangkan
Belanja Pegawai dan Investasi Daerah tidak dapat digunakan sebagai faktor
pembentuk pertumbuhan ekonomi untuk periode tahun 2005-2008.
Penelitian mengenai pengaruh DAU, DAK terhadap pertumbuhan
ekonomi dan belanja modal sebagai variabel intervening pada kabupaten/kota di
Provinsi Sumatra Utara yang dilakukan oleh Muis (2012) untuk periode 20052008. Dengan analisis jalur diperoleh hasil bahwa DAU berpengaruh langsung
terhadap pertumbuhan ekonomi, DAK berpengaruh terhadap
ekonomi melalui belanja modal.
pertumbuhan
30
2.4
Investasi Pemerintah dan Pertumbuhan Ekonomi
Todaro dan Smith (2006) menyatakan bahwa sumber daya yang digunakan
untuk meningkatkan pendapatan dan konsumsi di masa yang akan datang disebut
investasi. Investasi juga merupakan tambahan bersih terhadap stok kapital yang
ada sehingga memunculkan akumulasi modal (Nanga, 2005).
Investasi bisa dibagi menurut jenisnya. Pembagian tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Autonomus investment dan induced investment
Autonomus investment merupakan investasi yang tidak dipengaruhi oleh
pendapatan, tetapi dapat mengalami perubahan karena adanya perubahan pada
tingkat bunga, pendapatan nasional, kebijakan pemerintah, harapan para
pengusaha dan sebagainya. Sedangkan induced investment sangat dipengaruhi
oleh pendapatan, investasi akan meningkat seiring dengan peningkatan
pendapatan.
2. Public investment dan private investment
Public investment adalah investasi yang dilakukan oleh pemerintah, investasi
yang dilakukan bersifat resmi. Sedangkan private investment merupakan
investasi yang dilakukan oleh pihak swasta.
3. Domestic investment dan foreign investment
Domestic investment adalah penanaman modal dalam negri di dalam negri,
sedangkan
foreign
investment
merupakan
penanaman
modal
asing.
Penanaman modal asing diperlukan untuk mengolah faktor-faktor produksi
alam dan/atau faktor produksi tenaga manusia ketika faktor produksi modal
yang dimiliki tidak cukup untukmengolahnya.
Pemerintah daerah melakukan investasi dalam rangka untuk meningkatkan
pembangunan daerahnya (Indrawati, 2011). Dana yang digunakan untuk
melakukan investasi pemerintah bersumber dari anggaran yang dimiliki
pemerintah daerah atau penerimaan daerah. Besarnya anggaran suatu pemerintah
daerah akan menentukan kemampuan suatu daerah dalam berinvestasi untuk
membangun daerahnya. Investasi pemerintah dilakukan melalui pengeluaran
pembangunan/belanja modal. Investasi pemerintah umumnya menyangkut
31
akumulasi modal fisik yang memiliki peranan penting dalam pencapaian
pertumbuhan ekonomi di suatu daerah.
Selain investasi fisik, dalam rangka memacu pertumbuhan ekonomi
diperlukan juga investasi sumber daya manusia. Investasi modal manusia melalui
pendidikan diperlukan meskipun investasi pendidikan merupakan investasi jangka
panjang secara makro sehingga manfaat investasi ini baru bisa dipetik setelah
beberapa tahun (Atmanti, 2005).
Investasi pendidikan menjadi penting ketika semakin tinggi kualitas
sumber daya manusia maka semakin meningkat pula efisiensi dan produktivitas
suatu negara. Adanya investasi pendidikan telah membuat negara yang miskin
sumber daya alam bisa memacu pertumbuhan ekonominya (Atmanti, 2005).
Model Solow telah menjelaskan pentingnya investasi modal sumber daya manusia
dan peranan ilmu pengetahuan dalam memacu pertumbuhan ekonomi.
The New Growh Theory menjelaskan bahwa faktor manusia diperlakukan
sebagai salah satu faktor penting yang secara langsung mempengaruhi proses
pertumbuhan dan pembangunan ekonomi sebagaimana layaknya modal fisik.
Lucas (1996) dengan teori pertumbuhan endogennya menyatakan bahwa
pendidikan merupakan salah satu faktor pendorong pertumbuhan ekonomi.
Pendidikan akan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia sehingga akan
menghasilkan tenaga kerja yang produktif. Tenaga kerja yang produktif akan
menghasilkan output yang lebih banyak sehingga secara agregat akan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Sukirno (2007) menjelaskan bahwa investasi memberikan kesempatan
kepada masyarakat untuk terus meningkatkan kegiatan ekonomi dan kesempatan
kerja, meningkatkan pendapatan nasional dan meningkatkan kemakmuran
masyarakat. Fungsi penting dari investasi adalah:
1. Investasi akan meningkatkan permintaan agregat, pendapatan nasional dan
kesempatan kerja
2. Akumulasi modal sebagai akibat dari kegiatan investasi akan menambah
kapasitas produksi
3. Investasi akan menciptakan teknologi baru
32
Model pertumbuhan endogen menjelaskan bahwa hasil investasi akan
semakin tinggi bila produksi agregat di suatu negara semakin besar. Dengan
diasumsikan bahwa investasi swasta dan publik di bidang sumberdaya atau modal
manusia dapat menciptakan ekonomi eksternal (eksternalitas positif) dan memacu
produktivitas yang mampu mengimbangi kecenderungan ilmiah penurunan skala
hasil. Meskipun teknologi tetap diakui memainkan peranan yang sangat penting,
namun model pertumbuhan endogen menyatakan bahwa teknologi tersebut tidak
perlu ditonjolkan untuk menjelaskan proses terciptanya pertumbuhan ekonomi
jangka panjang. Implikasi yang menarik dari teori ini adalah mampu menjelaskan
potensi keuntungan dari investasi komplementer (complementary investment)
dalam modal atau sumberdaya manusia, sarana prasarana infrastruktur atau
kegiatan penelitian. Mengingat investasi komplementer akan menghasilkan
manfaat personal maupun sosial, maka pemerintah berpeluang untuk memperbaiki
efisiensi alokasi sumberdaya domestik dengan cara menyediakan berbagai macam
barang publik (sarana infrastruktur) atau aktif mendorong investasi swasta dalam
industri padat teknologi dimana sumberdaya manusia diakumulasikannya. Dengan
demikian model ini menganjurkan keikutsertaan pemerintah secara aktif dalam
pengelolaan investasi baik langsung maupun tidak langsung.
Penelitian yang dilakukan oleh Alkadri (1999) tentang sumber-sumber
pertumbuhan ekonomi di Indonesia menunjukkan bahwa variabel yang
berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi adalah bantuan luar negeri,
PMA, PMDN, pajak, pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan angkatan kerja
Yuliarmi (2008) melakukan penelitian tentang pengaruh konsumsi rumah
tangga, investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap PDRB Bali pada tahun
1994-2005. Dari penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa variabel-variabel
tersebut memiliki pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi di Bali.
Penelitian lainnya dilakukan oleh Rustiono (2008) untuk mengetahui
faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi di Jawa Tengah selama
periode 1985-2006. Hasil analisis menunjukkan bahwa realisasi PMA, realisasi
PMDN, angkatan kerja, dan pengeluaran pemerintah mempunyai hubungan yang
positif signifikan dengan pertumbuhan ekonomi di Jawa Tengah selama tahun
1985-2006.
33
Indrawati (2002) melakukan penelitian tentang peranan anggaran belanja
modal sebagai investasi pemerintah dalam perekonomian KTI tahun 2005-2009.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa peranan investasi pemerintah total
berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi di KTI. Selain itu, investasi
pemerintah memiliki hubungan yang substitusi dengan investasi swasta karena
investor swasta yang bersedia untuk berinvestasi pada daerah yang belum
berkembang masih sangat terbatas (memiliki return of investment yang lama atau
risk investment yang tinggi).
2.5
Investasi Pemerintah dan Konvergensi Ekonomi Regional
Konvergensi merupakan proses pertumbuhan ekonomi di negara-negara
atau wilayah-wilayah yang berbeda sedemikian rupa sehingga mengurangi gap
(kesenjangan) pendapatan, produktivitas, tingkat upah, dan berbagai indikator
ekonomi lainnya. Hal ini dapat berarti berkurangnya perbedaan PDB per kapita,
dan produktivitas (Ambramovitz, 1986), atau adanya tendensi negara-negara
miskin untuk mengejar ketertinggalan dari negara kaya karena pertumbuhan
ekonomi mereka yang mengagumkan (Barro & Sala-I-Martin, 1995).
Tingkat pertumbuhan jangka panjang ditentukan oleh variabel eksogen
pada kondisi mapan, dimana k, y dan c per kapita tidak tumbuh dan variabel
agregat K, Y dan C tumbuh pada tingkat laju pertumbuhan penduduk n, yang
dalam persamaan dasar model Solow-Swan dinyatakan dengan:
.
2.10
Dengan k negatif, maka:
# ′ $
" .
% 0
"
2.11
Ketika nilai k semakin kecil maka nilai /k lebih besar, ceteris paribus.
Hal ini menunjukkan bahwa perekonomian dengan modal per orang yang lebih
rendah akan tumbuh lebih cepat atau adanya kecenderungan konvergensi. Suatu
daerah atau negara yang mulai dengan rasio modal per tenaga kerja yang rendah
akan memiliki tingkat pertumbuhan /k per kapita yang lebih tinggi. Hipotesis
bahwa ekonomi yang miskin cenderung tumbuh lebih cepat per kapita
34
dibandingkan yang kaya tanpa melihat karakteristik perekonomian lainnya disebut
konvergensi mutlak atau konvergensi nonkondisional (Konvergensi merupakan
proses pertumbuhan ekonomi di negara-negara atau wilayah-wilayah yang
berbeda sedemikian rupa sehingga mengurangi gap (kesenjangan) pendapatan,
produktivitas, tingkat upah, dan berbagai indikator ekonomi lainnya. Hal ini dapat
berarti berkurangnya perbedaan PDB per kapita, dan produktivitas (Ambramovitz,
1986), atau adanya tendensi negara-negara miskin untuk mengejar ketertinggalan
dari negara kaya karena pertumbuhan ekonomi mereka yang mengagumkan
(Barro & Sala-I-Martin, 1995).
k
k(0)poor
k*poor k(0)rich
k*rich
Sumber: Barro dan Sala-i-Martin,1995.
Gambar 2.2 Konvergensi Bersyarat/Kondisional
Hal ini berbeda dengan konvergensi bersyarat (conditional convergence),
yang mengakomodasi heterogenitas perekonomian. Misalnya daerah yang
mempunyai stok kapital yang berbeda per jumlah penduduk atau memiliki tingkat
tabungan (saving rate) yang berbeda. Kondisi steady state ditentukan oleh
persimpangan si . f(k)/k dengan garis (n+δ), dimana spoor < srich dan k*poor < k*rich,
seperti dijelaskan sebelumnya bahwa pada kondisi awal k(0)poor < k(0)rich (Gambar
2.2). Secara empiris, dapat dijelaskan bahwa negara-negara yang mempunyai
tingkat pendapatan per kapita yang tinggi cenderung memiliki tingkat tabungan
yang lebih tinggi. Jika mereka mempunyai tingkat tabungan yang sama, maka
jarak antara si f(k)/k dengan garis (n+δ) akan lebih tinggi untuk daerah yang
35
miskin dan berlaku (/k)poor > ( /k)poor. Sebaliknya, apabila daerah kaya
memiliki tingkat tabungan yang lebih tinggi, perekonomian di daerah tersebut
akan tumbuh lebih cepat daripada daerah miskin. Oleh karena itu, model yang
digunakan untuk memprediksi konvergensi bersyarat menunjukkan bahwa daerah
dengan pendapatan per kapita awal yang lebih rendah akan menghasilkan tingkat
pertumbuhan per kapita yang lebih tinggi, tetapi dengan mengontrol faktor-faktor
yang mempengaruhi kondisi steady state (Quah, 1995).
Teori konvergensi menyatakan bahwa tingkat kemakmuran yang dialami
oleh negara-negara maju dan negara-negara berkembang pada suatu saat akan
konvergen (bertemu pada satu titik). Ilmu ekonomi juga menyatakan bahwa akan
terjadi catching up effect, yaitu ketika negara-negara berkembang berhasil
mengejar negara-negara maju. Kondisi didasarkan pada asumsi bahwa negaranegara maju akan mengalami kondisi steady state, yaitu negara yang tingkat
pendapatannya tidak dapat meningkat lagi karena tambahan investasi tidak
menambah pendapatan. Keadaan ini terjadi karena seluruh biaya produksi sudah
tertutupi oleh investasi yang ada, sehingga tambahan tabungan di negara tersebut
tidak dapat dijadikan tambahan investasi.
Sementara negara maju diam, negara berkembang yang memiliki
tambahan investasi dapat terus menambah pendapatannya dan mengejar
pertumbuhan negara maju. Negara-negara yang sedang berkembang memiliki
tingkat investasi di bawah biaya produksi, sehingga tambahan tabungan di negara
tersebut akan dijadikan tambahan investasi dan akhirnya dapat menambah
pendapatan negara. Sementara pertumbuhan perekonomian negara-negara maju
mulai melambat, negara-negara berkembang akan terus mengejar, sehingga pada
suatu saat negara-negara maju dan negara-negara berkembang bertemu pada suatu
kondisi yang mapan.
Model Solow menunjukkan bahwa akumulasi modal tidak bisa
menjelaskan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan (Mankiw, 2007). Untuk
bisa menjelaskan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan maka model Solow
harus diperluas agar bisa mencakup pertumbuhan penduduk dan kemajuan
teknologi yang juga merupakan sumber dari pertumbuhan ekonomi.
36
Pertumbuhan penduduk yang tinggi diprediksi oleh model Solow akan
memperkecil PDB per kapita suatu negara. Perubahan pada tingkat pertumbuhan
populasi mirip dengan pertumbuhan perubahan pada tingkat tabungan,
mempunyai efek pada tingkat pendapatan per kapita , namun tidak memengaruhi
tingkat pendapatan per kapita pada kondisi mapan.
Investasi aktual dan
Investasi break-even
(δ+n2)k
(δ+n1)k
sf(k)
Modal per pekerja efektif, k
0
k2
*
k1
*
Sumber: Mankiw, 2007
Gambar 2.3 Dampak Pertumbuhan Populasi
Kenaikan tingkat pertumbuhan populasi akan menggeser garis yang
menunjukkan pertumbuhan populasi dan depresiasi ke atas. Kondisi mapan yang
baru memiliki tingkat modal per pekerja yang yang lebih rendah dari sebelumnya.
Model Solow memprediksi bahwa perekonomian dengan pertumbuhan penduduk
yang lebih tinggi akan mempunyai tingkat modal per pekerja dan pendapatan
yang lebih rendah.
Konsep utama konvergensi menurut Barro dan Sala-I-Martin (1995) ada
dua, yaitu:
1) Sigma (&) convergence
Konvergensi sigma ini merupakan ukuran yang paling konvensional dalam
mengukur ketimpangan antar daerah karena digunakan untuk mengukur
tingkat dispersi dari pendapatan riil per kapita antar daerah. Jika dispersi
pendapatan per kapita antar daerah menurun, maka bisa dikatakan terjadi
konvergensi pada pertumbuhan ekonomi. Begitupula sebaliknya, jika dispersi
37
pendapatan per kapita antar daerah meningkat maka dikatakan divergensi,
yang berarti perlambatan pertumbuhan ekonomi daerah miskin untuk
mengejar daerah kaya.
2) Beta (β) convergence.
Konvergensi terjadi manakala perekonomian daerah miskin cenderung
tumbuh lebih cepat dibandingkan daerah yang relatif kaya. Hal ini
mengindikasikan terdapatnya hubungan yang negatif antara pertumbuhan
pendapatan per kapita dan tingkat pendapatan per kapita pada awal periode.
Kegunaan beta convergence adalah untuk mengetahui pengaruh dari faktorfaktor yang diperkirakan menentukan tingkat konvergensi. Prosedur untuk
menguji beta convergence adalah dengan terlebih dahulu mencari tahu apakah
terdapat konvergen non kondisional (unconditional convergence) atau
konvergen absolut (absolute convergence), dan kemudian barulah menguji
konvergensi yang dapat dijelaskan atau konvergensi kondisional (conditional
convergence). Konvergensi absolut dilakukan dengan mengestimasi model
ekonometrika dimana variabel dependent awal periode (initial conditional)
sebagai satu-satunya variabel penjelas. Sedangkan konvergensi kondisional
dilakukan dengan mengikutsertakan sejumlah variabel penjelas dalam
pengujian selain variabel dependen awal periode.
Konvergensi sigma diukur dengan menggunakan ukuran dispersi yang
dalam hal ini adalah koefisien variasi dan standar deviasi dari nilai logaritma
variabel dependen. Sedangkan untuk menghitung β convergence adalah (Barro &
Sala-I-Martin, 1995):
1 ' ( 2.12
)
Keterangan: e-T adalah koefisien dari variabel initial level of per capita income
dan T adalah lama periode waktu.
Prahara (2010) melakukan penelitian tentang kesenjangan antar wilayah
terhadap pertumbuhan ekonomi di Kalimantan Barat tahun 2001-2008. Penelitian
tersebut menunjukkan bahwa berdasarkan konvergensi-β ditemukan bahwa terjadi
konvergensi PDRB per kapita walaupun konvergensi-α menunjukkan hasil yang
sebaliknya. Dengan konvergensi-β diketahui bahwa half-life of convergence pada
kelompok kabupaten perbatasan paling lambat akan tercapai dalam 143 tahun,
38
sedangkan untuk kelompok kabupaten bukan perbatasan diperlukan waktu 13
tahun, untuk kelompok kota perlu waktu 22 tahun, dan untuk seluruh Kalimantan
Barat diperlukan waktu 22 tahun.
Garcia dan Soelistianingsih (1998) melakukan penelitian tentang
konvergensi ekonomi di Indonesia pada periode 1973-1993 dengan melakukan
pengujian konvergensi absolute-β dan konvergensi bersyarat-β. Penelitian tersebut
menunjukkan bahwa dispersi pendapatan antar provinsi cenderung menurun dari
0,39 di tahun 1973 menjadi 0,30 pada tahun 1982, dan kembali meningkat
menjadi 0,33 di tahun 1983. Setelah tahun 1983 dispersi pendapatan antar
provinsi kembali menurun menjadi sekitas 0,28. Dengan menggunakan variabel
total kelahiran, tingkat pendidikan, rasio guru dan murid serta peranan sektor
minyak dan gas menunjukkan terjadinya konvergensi yang berkisar antara 2,10%
samapai dengan 4,50% selama tahun 1975-1993.
Garcia dan Soelistianingsih (1998) juga menganalisis kesenjangan daerah
untuk periode 1975-1993. Penelitian keduanya menunjukkan bahwa semua
provinsi tumbuh, tetapi semua provinsi tetap berada pada posisinya, dimana
provinsi terkaya dan termiskin di awal periode tetap menjadi provinsi terkaya dan
termiskin di akhir periode. Konvergensi-β menunjukkan tingkat konvergensi
absolute sebesar 2,4% dan tingkat konvergensi kondisional adalah 4,8% pada
tahun 1975-1993.
Wahyuni
(2011)
melakukan
penelitian
tentang
konvergensi
dan
ketimpangan wilayah pada 105 kabupaten/kota di Pulau Jawa dalam kurun waktu
2001-2009. Variabel dependen yang digunakan untuk melihat konvergensi adalah
menggunakan pendekatan PDRB per kapita dan pengeluaran perkapita per
kabupaten, sedangkan variabel independen yang digunakan adalah investasi dan
tenaga kerja. Hasil penelitiannya menyimpulkkan bahwa melalui pendekatan
PDRB perkapita dengan panel dinamis metode FD-GMM konvergensi pendapatan
wilayah kabupaten/kota di Pulau Jawa tidak terjadi, sedangkan berdasarkan
pendekatan pengeluaran rumahtangga perkapita ternyata konvergensi terjadi di
Jawa. Faktor-faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap ketimpangan
pendapatan wilayah dari hasil penelitian tersebut diantaranya share manufaktur,
pendidikan tenaga kerja, infrastruktur kesehatan, listrik, dan air bersih.
39
Penelitian yang dilakukan oleh Firdaus dan Yusop (2009) tentang
konvergensi pendapatan antar provinsi di Indonesia dengan menggunakan data
panel dinamis tahun 1983-2003 menyimpulkan bahwa proses konvergensi antar
provinsi terjadi di Indonesia. Kecepatan konvergensi di Indonesia hanya 0,29
persen, kondisi tersebut relatif sangat lambat dibandingkan dengan penelitian di
negara berkembang lainnya.
2.6
Faktor-faktor Pemacu Pertumbuhan PDRB per Kapita di Indonesia
Pertumbuhan PDRB per kapita sangat ditentukan oleh berbagai faktor
yang perlu diketahui secara rinci sifat-sifatnya. Dampak dari masing-masing
faktor tersebut perlu juga diteliti untuk mengetahui seberapa besar peranan dan
pengaruhnya dalam menentukan pertumbuhan PDRB per kapita suatu wilayah.
2.6.1 Investasi Pemerintah
Belanja modal adalah pengeluaran yang dilakukan dalam rangka
pembentukan modal yang sifatnya menambah aset tetap/inventaris yang
memberikan manfaat lebih dari satu periode akuntansi, termasuk di dalamnya
adalah pengeluaran untuk biaya pemeliharaan yang sifatnya mempertahankan atau
menambah masa manfaat, meningkatkan kapasitas dan kualitas aset. Belanja
modal sendiri terdiri dari:
1) Belanja Modal Tanah
Belanja modal tanah adalah pengeluaran/biaya yang digunakan untuk
pengadaan/pembelian/ pembebasan, penyelesaian, balik nama dan sewa tanah,
pengosongan, pengurugan, perataan, pematangan tanah, pembuatan sertifikat
dan pengeluaran lainya sehubungan dengan perolehan hak atas tanah
dimaksud dalam kondisi siap pakai.
2) Belanja Modal Peralatan dan Mesin
Belanja modal peralatan dan mesin adalah pengeluaran/biaya yang digunakan
untuk
pengadaan/penambahan/penggantian,
dan
peningkatan
kapasitas
peralatan dan mesin serta inventaris kantor yang memberikan manfaat lebih
dari dua belas bulan dan sampai peralatan dan mesin dimaksud dalam kondisi
siap pakai.
40
3) Belanja Modal Gedung dan Bangunan
Belanja modal gedung dan bangunan adalah pengeluaran/biaya yang
digunakan untuk pengadaan/penambahan/penggantian, termasuk pengeluaran
untuk perencanaan, pengawasan dan pengelolaan pembangunan gedung dan
bangunan yang menambah kapasitas sampai gedung dan bangunan dimaksud
dalam kondisi siap pakai.
4) Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan
Merupakan pengeluaran atau biaya yang digunakan untuk melakukan
pengadaan/penambahan/penggantian/peningkatan,
pembangunan/pembuatan
serta perawatan dan termasuk pengeluaran untuk perencanaan, pengawasan
dan pengelolaan jalan irigasi dan jaringan yang menambah kapasitas sampai
jalan irigasi dan jaringan dimaksud dalam kondisi siap pakai.
5) Belanja Modal Fisik Lainya
Adalah pengeluaran/biaya yang digunakan untuk pegadaan/penambahan/penggantian/peningkatan pembangunan/pembuatan serta perawatan terhadap fisik
lainya yang tidak dapat dikategorikan dalam kriteria balanja modal tanah,
peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, dan jalan irigasi dan jaringan
termasuk dalam belanja ini adalah belanja kontrak sewa beli, pembelian
barang-barang kesenian, barang purbakala dan barang untuk museum, hewan
ternak dan tanaman, buku-buku dan jurnal ilmiah.
Brata (2002) melakukan penelitian di Jawa Tengah pada periode
1995/1996-1998/1999. Penelitian tersebut menganalisis pengaruh pengeluaran
pemerintah untuk pembangunan terhadap konvergensi pendapatan per kapita.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif antara
pendapatan per kapita awal dengan pertumbuhan selama periode pengamatan.
Komponen pengeluaran pemerintah
yang mempunyai pengaruh positif dan
signifikan terhadap pertumbuhan pendapatan per kapita adalah pengeluaran untuk
infrastruktur dan untuk pemerintah daerah. Dan pengaruh pengeluaran untuk
infrastruktur memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap pertumbuhan
pendapatan per kapita dibandingkan dengan pengeluaran untuk daerah.
41
2.6.2 Tenaga Kerja Berpendidikan Minimal SMA
Konsep angkatan kerja merujuk pada kegiatan utama yang dilakukan oleh
penduduk usia kerja selama periode tertentu. Angkatan kerja adalah penduduk
usia kerja yang bekerja, atau punya pekerjaan namun sementara tidak bekerja, dan
pengangguran. Indonesia menggunakan batas bawah usia kerja (economically
active population) 15 tahun (meskipun dalam survei dikumpulkan informasi mulai
dari usia 10 tahun) dan tanpa batas atas usia kerja. Penduduk usia kerja yang tidak
termasuk angkatan kerja mencangkup penduduk yang bersekolah, mengurus
rumah tangga atau melaksanakan kegiatan lainnya
Bekerja merupakan kegiatan ekonomi yang dilakukan seseorang dengan
maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan
paling sedikit 1 (satu) jam secara tidak terputus selama seminggu yang lalu.
Kegiatan bekerja ini mencakup, baik yang sedang bekerja maupun yang punya
pekerjaan tetapi dalam seminggu yang lalu sementara tidak bekerja, misalnya
karena cuti, sakit dan sejenisnya.
Konsep bekerja satu jam selama seminggu yang lalu digunakan dengan
pertimbangan untuk mencangkup semua jenis pekerjaan yang mungkin ada pada
suatu negara, termasuk di dalamnya adalah pekerjaan dengan waktu singkat
(short-time work), pekerja bebas, stand-by work dan pekerjaan yang tidak
beraturan lainnya. Kriteria satu jam juga dikaitkan dengan definisi bekerja dan
pengangguran yang digunakan, di mana pengangguran adalah situasi dari
ketiadaan pekerjaan secara total (lack of work) sehingga jika batas minimum dari
jumlah jam kerja dinaikan maka akan mengubah definisi pengangguran yaitu
bukan lagi ketiadaan pekerjaan secara total .
Seseorang dikatakan menganggur atau mencari pekerjaan apabila
termasuk penduduk usia kerja yang; (1) tidak bekerja, atau (2) sedang mencari
pekerjaan baik bagi mereka yang belum pernah bekerja sama sekali maupun yang
sudah pernah berkerja, atau (3) sedang mempersiapkan suatu usaha, atau (4) yang
tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin untuk mendapatkan
pekerjaan, atau (5) yang sudah memiliki pekerjaan tetapi belum mulai bekerja.
Tingkat pengangguran didefinisikan sebagai persentase dari angkatan kerja yang
tidak bekerja. Secara keseluruhan konsep statistik ketenagakerjaan yang
42
digunakan dalam Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) mengacu pada the
labor force concept yang disarankan International Labor Organization (ILO).
Menurut Sukirno (2004), berdasarkan keadaan yang menyebabkannya
pengangguran dibedakan menjadi tiga, yaitu:
1. Pengangguran friksional, yaitu pengangguran yang disebabkan oleh tindakan
seseorang pekerja untuk meninggalkan kerjanya dan mencari kerja yang lebih
sesuai dengan keinginannya.
2. Pengangguran struktural, yaitu pengangguran yang disebabkan oleh perubahan
struktur dalam perekonomian.
3. Pengangguran konjungtur, yaitu pengangguran yang disebabkan oleh
kelebihan pengangguran alamiah dan berlaku sebagai akibat pengurangan
dalam permintaan agregat.
Menurut
Sukirno
(2004),
pengangguran
akan
mengakibatkan
berkurangnya tingkat pendapatan masyarakat dan pada akhirnya akan mengurangi
tingkat kesejahteraan. Dengan menjadi pengangguran, masyarakat akan terjebak
dalam kemiskinan karena tidak memiliki pendapatan. Jika penganguran di suatu
negara sangat tinggi maka akan timbul berbagai ketidakstabilan politik dan sosial
yang akan memberikan dampak buruk pada tingkat kesejahteraan masyarakat
negara tersebut.
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pengangguran regional terdiri
dari labor supply, labor demand dan mekanisme upah sebagai market clearing.
Faktor perubahan demografi yang terdiri dari struktur umur, gender, pendidikan,
dependency ratio dan migrasi dapat menyebabkan terjadinya pengangguran
regional. Menurut Elhorst (2003), berdasarkan beberapa studi diperoleh hasil
bahwa pendidikan berpengaruh signifikan terhadap pengangguran. Alasannya
adalah orang yang berpendidikan tinggi akan cenderung lebih intensif mencari
kerja, orang yang berpendidikan tingga kurang rentan terhadap pemutusan
hubungan kerja (PHK) dan biasanya mereka yang berpendidikan tinggi memiliki
ketrampilan yang dibutuhkan oleh perekonomian karena teknologi yang terus
berkembang. Lucas (1996) dengan teori pertumbuhan endogennya menjelaskan
bahwa pendidikan merupakan salah satu faktor pendorong pertumbuhan ekonomi.
Pendidikan akan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia sehingga akan
43
menghasilkan tenaga kerja yang produktif. Tenaga kerja yang produktif akan
menghasilkan output yang lebih banyak sehingga secara agregat akan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Hartono
(2008)
dalam
penelitiannya
selama
periode
1981-2005
menunjukkan bahwa variabel rasio angkatan kerja bertanda negatif, artinya
ketimpangan penbangunan ekonomi di Jawa Tengah akan menurun seiring
dengan meningkatnya rasio angkatan kerja. Pertambahan jumlah angkatan kerja
yang diimbangi dengan peningkatan penyerapan angkatan kerja akan mendorong
kegiatan ekonomi untuk berjalan lebih baik dan ketimpangan ekonomi akan
menurun sehingga akan menurunkan tingkat ketimpangan antar daerah.
Pancawati (2000) dalam penelitiannya tentang pengaruh rasio kapitaltenaga kerja, tingkat pendidikan, stok kapital dan pertumbuhan penduduk
terhadap PDB Indonesia menunjukkan bahwa variabel pertumbuhan penduduk
berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan output sedangkan variabel-variabel
lainnya mempunyai pengaruh positif terhadap pertumbuhan output di Indonesia.
2.6.3 Modal Manusia Melalui Pendidikan dan Kesehatan
Pentingnya modal manusia dalam pembangunan dan pertumbuhan
ekonomi pertama kalinya dipelopori oleh Schultz (1962) yang menekankan
pentingnya investasi di bidang modal manusia. Sebelum Schultz menekankan
pentingnya faktor manusia dalam pertumbuhan dan pembangunan ekonomi,
kebanyakan ahli ekonomi lebih banyak memusatkan kajiannya pada peranan
modal fisik dan mengabaikan modal manusia. Model pertumbuhan yang
digunakan dalam setiap analisis cenderung memperlakukan modal manusia
sebagai faktor yang hanya memiliki pengaruh secara tidak langsung dalam
pertumbuhan, dimana faktor manusia dianggap tercakup dalam kemajuan teknikal
atau residual. Pergeseran perhatian para ahli ekonomi pembangunan dari peranan
modal fisik ke modal manusia telah mendorong timbulnya teori pertumbuhan
dengan paradigma baru yang dikenal sebagai new growth model. Dalam new
growth model, faktor manusia diperlakukan sebagai salah satu faktor penting yang
secara langsung mempengaruhi proses pertumbuhan dan pembangunan ekonomi
sebagaimana layaknya modal fisik.
44
Lucas (1996) dengan teori pertumbuhan endogennya menjelaskan bahwa
pendidikan merupakan salah satu faktor pendorong pertumbuhan ekonomi.
Pendidikan akan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia sehingga akan
menghasilkan tenaga kerja yang produktif. Tenaga kerja yang produktif akan
menghasilkan output yang lebih banyak sehingga secara agregat akan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Kualitas modal manusia bisa didekati dengan tingkat pendidikan,
kesehatan
maupun
indikator-indikator
lainnya
(Prahara,
2010).
Tingkat
pendidikan yang tinggi akan meningkatkan kemampuan penduduk untuk
menyerap dan mengelola sumber-sumber pertumbuhan ekonomi. Meskipun
demikian tingkat pendidikan yang tinggi harus dibarengi dengan tingkat kesehatan
yang baik pula sehingga akan membuat produktivitas semakin optimal. Penduduk
dengan tingkat pendidikan yang tinggi dan tingkat kesehatan yang baik
merupakan investasi penting untuk melakukan percepatan pertumbuhan ekonomi
sehingga akan mempercepat terjadinya konvergensi ekonomi di Indonesia.
Wibisono (2001) memasukkan pengaruh variabel-variabel tingkat
pendidikan yang berhasil ditamatkan, angka harapan hidup, tingkat fertilitas,
tingkat kematian bayi, terhadap pertumbuhan ekonomi regional. Dari hasil
estimasi yang dihasilkan, diperoleh hasil bahwa tingkat pendidikan dan angka
harapan hidup memiliki pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Prahara (2010) menunjukkan bahwa jumlah pengeluaran pemerintah untuk
pembangunan, angka melek huruf, angka harapan hidup, dan total panjang jalan
berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi di kabupaten perbatasan
selama tahun 2001-2008 di Kalimantan Barat. Sedangkan pada kelompok bukan
perbatasan, variabel yang berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi adalah
jumlah penduduk, rata-rata lama sekolah, angka harapan hidup dan total panjang
jalan. Pada kelompok kaya yang berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi
adalah variabel jumlah penduduk, angka melek huruf, rata-rata lama sekolah,
angka harapan hidup, dan produksi listrik yang disalurkan.
45
2.6.4 Infrastruktur Jalan dan Listrik
Kodoatie (2003) mendefinisikan infrastruktur sebagai fasilitas-fasilitas
fisik yang dikembangkan atau dibutuhkan oleh agen-agen publik untuk fungsifungsi pemerintahan dalam penyediaan air, tenaga listrik, pembuangan limbah,
transportasi dan pelayanan-pelayanan lainnya untuk memfasilitasi tujuan-tujuan
ekonomi dan sosial.
Sistem infrastruktur merupakan pendukung utama fungsi-fungsi sistem
sosial dan sistem ekonomi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Sistem
infrastruktur dapat didefinisiskan sebagai fasilitas-fasilitas atau struktur-struktur
dasar, peralatan-peralatan, instalasi-instalasi yang dibangun dan yang dibutuhkan
untuk berfungsinya sistem sosial dan sistem ekonomi masyarakat (Kodoatie
2003).
World Bank (1994) membagi infrastruktur menjadi tiga, yaitu:
1. Infrastruktur ekonomi, merupakan infrastruktur fisik yang diperlukan untuk
menunjang aktivitas ekonomi, meliputi publik utilities (tenaga, telekomunikasi,
air, sanitasi, gas), publik work (jalan, bendungan, kanal, irigasi dan drainase)
dan sektor transportasi (jalan, rel, pelabuhan, lapangan terbang dan
sebagainya).
2. Infrastruktur sosial, meliputi pendidikan, kesehatan, perumahan dan rekreasi.
3. Infrastruktur administrasi, meliputi penegakan hukum, kontrol administrasi dan
koordinasi.
Pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2005 tentang
Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur, menjelaskan beberapa jenis
infrasturktur yang penyediaannya diatur pemerintah, yaitu: infrastruktur
transportasi, infrastruktur jalan, infrastruktur pengairan, infrastruktur air minum
dan sanitasi, infrastruktur telematika, infrastruktur ketenagalistrikan, dan
infrastruktur pengangkutan minyak dan gas bumi.
Penggolongan infrastruktur tersebut diatas dapat dikategorikan sebagai
infrastruktur dasar, karena sifatnya yang dibutuhkan oleh masyarakat luas
sehingga perlu diatur oleh pemerintah. Pengertian diatur tidak sama dengan
dibangun oleh pemerintah, karena penyediaan infrastruktur tersebut dapat
dikerjasamakan pembangunan dengan badan usaha, seperti yang diatur dalam
46
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2005 Tentang Kerjasama
Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur.
Infrastruktur jalan, sebagai bagian dari infrastruktur dasar, merupakan
salah satu infrastruktur pengangkutan yang berperan dalam merangsang
pertumbuhan ekonomi karena ketersediaan jalan akan meminimalkan modal
komplementer dalam upaya mengefisienkan proses produksi dan distribusi.
Pembangunan prasarana jalan turut akan meningkatkan pertumbuhan wilayahwilayah baru dengan meningkatnya volume lalu lintas. Sebaiknya prasarana jalan
yang buruk dan rusak akan menghambat alokasi sumber daya, pengembangan
industri, pendistribusian faktor produksi, barang dan jasa, yang pada akhirnya
akan memengaruhi pendapatan. Ikhsan (2004) mengemukakan bahwa jalan raya
akan memengaruhi biaya variabel dan biaya tetap. Jika infrastruktur harus
dibangun sendiri oleh sektor swasta, maka biaya akan meningkat secara signifikan
dan menyebabkan cost of entry untuk suatu kegiatan ekonomi menjadi sangat
mahal sehingga kegiatan-kegiatan ekonomi yang sebetulnya secara potensial
mempunyai keunggulan komparatif menjadi tidak bisa terealisasikan karena tidak
tersedianya infrastruktur.
Selain jalan, infrastruktur listrik juga memiliki peranan penting dalam
pembangunan. Listrik menjadi kebutuhan pokok yang harus dipenuhi tidak hanya
untuk rumah tangga namun untuk kegiatan ekonomi lainnya khususnya industri.
Kebutuhan akan listrik menjadi semakin besar ketika peralatan rumah tangga,
peralatan kantor maupun kegiatan produksi lainnya semakin banyak mengunakan
listrik sebagai sumber energinya.
2.7
Kerangka Pemikiran
Pembangunan dalam lingkup negara tidak selalu mencapai hasil yang
diharapkan. Ada perbedaan pencapaian pertumbuhan ekonomi antar daerah.
Beberapa daerah mencapai pertumbuhan yang cepat sementara beberapa daerah
lain mengalami pertumbuhan yang lambat (Sutarno dan Kuncoro, 2003).
Perbedaan keberhasilan pembangunan yang dicapai setiap daerah
disebabkan oleh kurangnya sumber-sumber yang dimiliki, adanya kecenderungan
peranan modal (investor) memilih daerah perkotaan atau daerah yang mempunyai
47
sarana prasarana yang lengkap seperti prasarana perhubungan, jaringan listrik,
jaringan komunikasi, perbankan, asuransi dan ketersediaan tenaga trampil. Selain
itu adanya ketimpangan redistribusi pembagian pendapatan dari Pemerintah Pusat
kepada daerah juga menyebabkan pertumbuhan ekonomi antar daerah menjadi
berbeda (Pusat Penelitian Perencanaan Pembangunan, 1997).
Penelitian Garcia dan Soelistiningsih (1998) menunjukkan bahwa selama
tahun 1975-1995 telah terjadi ketimpangan pertumbuhan ekonomi antar wilayah
di KBI dan KTI, dimana pertumbuhan ekonomi antar wilayah di KTI jauh
tertinggal dibandingkan KBI. Selain itu Sasana (2001) juga menunjukkan bahwa
perkembangan PDRB selama 20 tahun terakhir (1975-1995) telah terjadi
pergeseran pangsa relatif terhadap PDB, yaitu adanya dominasi ekonomi Pulau
Jawa yang semakin besar. Selama tahun 2004-2010, Jawa menguasai
perekonomian dengan menyumbang lebih dari 50 persen PDB nasional secara
keseluruhan, diikuti oleh Sumatra dan pulau-pulau lainnya.
Karakteristik Jawa dan Sumatra yang padat penduduk ternyata tidak
membuat kedua pulau besar tersebut memiliki PDRB per kapita yang lebih rendah
dibandingkan dengan pulau lainnya. PDRB per kapita di Jawa dan Sumatra masih
yang termasuk yang tertinggi selama tahun 2004-2010. Perekonomian Indonesia
yang lebih banyak ditopang oleh Jawa menunjukkan bahwa ada kecenderungan
kesenjangan ekonomi antar pulau di Indonesia.
Pemerintah melalui otonomi daerah dan desentralisasi fiskal diharapkan
mampu mengintervensi kesenjangan ekonomi yang ada dengan mengoptimalkan
sumber daya yang dimilikinya melalui peningkatan investasi dan PDRB per
kapita. Intervensi pemerintah daerah bisa dilakukan dengan mengoptimalkan
penggunaan PAD dan dana transfer dari pusat yang dimiliki untuk meningkatkan
output daerah yang bersangkutan.
Melalui pengeluaran untuk pembangunan pemerintah daerah diharapkan
bisa lebih efektif dalam melakukan investasi publik. DAU dan DAK yang
diberikan pemerintah pusat bertujuan untuk mengurangi kesenjangan antar
wilayah bisa digunakan untuk melakukan investasi publik yang berkualitas di
setiap daerah. Selain itu tenaga kerja yang berpendidikan dan kesehatan yang baik
yang didukung dengan ketersediaan infrastruktur yang memadai akan
48
meningkatkan output suatu wilayah. Output yang tinggi akan memacu
pertumbuhan ekonomi suatu wilayah, khususnya wilayah-wilayah yang masih
rendah pertumbuhan ekonomi maupun PDRB per kapitanya.
Untuk mengetahui pengaruh investasi publik terhadap kesenjangan PDRB
per kapita antar pulau di Indonesia diperlukan suatu kajian mengenai hubungan
antara DAU, DAK untuk infrastruktur, investasi publik, dan kesenjangan PDRB
per kapita. Melalui penelitian ini akan diperoleh informasi yang dapat digunakan
sebagai salah satu bahan pertimbangan untuk pihak-pihak yang terkait guna
menurunkan kesenjangan ekonomi yang terjadi di Indonesia
sehingga
kesejahteraan masyarakat yang lebih merata dapat tercapai. Penelitian ini hanya
akan membahas mengenai pengaruh investasi pemerintah terhadap kesenjangan
PDRB per kapita, sedangkan investasi swasta tidak dianalisis (garis putus-putus).
Hal ini dikarenakan investasi pemerintah merupakan kondisi awal yang
diperlukan untuk menarik investasi swasta.
49
Bias Kebijakan Pembangunan Wilayah di Indonesia
-
Jawa menguasai lebih dari 50% PDB nasional Indonesia
PDRB dan PDRB per kapita di Jawa lebih tinggi dibandingkan pulau lainnya
Adanya kesenjangan
PDRB per kapita regional
antar pulau
Perekonomian di Indonesia
Pemerintah
Swasta
Indeks Williamson
Desentralisasi Fiskal
Penerimaan
PAD
Transfer
DAU
Pengeluaran
Rutin
Pembangunan
INVESTASI
Lainnya
Tenaga
kerja
Kesenjangan
Infrastruktur
Jalan dan listrik
Output
(PDRB per kapita, dll)
Analisis Investasi, PDRB per Kapita dan Kesenjangan
PDRB per kapita Regional antar pulau di Indonesia
Kesimpulan
Gambar 2.4 Kerangka pemikiran
Pendidikan
dan
kesehatan
50
2.8
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan teori-teori yang mendasari penelitian dan hasil penelitian-
penelitian sebelumnya maka hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini
adalah:
1. Dana transfer dari pemerintah pusat merupakan salah satu instrumen untuk
mengurangi kesenjangan PDRB per kapita di Indonesia.
2. Investasi pemerintah akan memacu pertumbuhan PDRB per kapita di
Indonesia sehingga kesenjangan ekonomi antar pulau maupun antar provinsi
bisa dieliminir.
Download