sense of emptiness - Forum | Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya

advertisement
SENSE OF EMPTINESS
(Charles Taylor dan Taoisme)
Dewasa ini, hampir pasti setiap orang tidak akan menginginkan yang namanya
penderitaan, kemiskinan, pengalaman kesedihan, pengalaman pahit, pengalaman getir
dan sejenisnya. Manusia, siapa pun dia, pasti selalu menghindari pengalamanpengalaman seperti itu. Namun, manusia entah dia beragama atau tidak, yang berTuhan atau Atheis, pasti akan mengalaminya. Dalam pengalaman seperti itu, manusia
kerap kali bertanya, apa artinya hidup ini? Bukan tidak mungkin, dalam konteks
pengalaman seperti itu, kesadaran religius sungguh-sungguh ditantang dan didesak
untuk menstrukturisasi satu pola hidup yang membawa setiap orang untuk memaknai
setiap pengalaman.1 Lantas kita juga bertanya, bagaimana manusia memaknai hidup
religius dalam pengalaman emptiness? Apakah hidup religius masih bergema dan
bermakna di hadapan realitas seperti itu? Telaah filosofis yang dipaparkan oleh
penulis dalam paper ini mencoba untuk menggali makna hidup religius dalam korelasi
pemikiran Charles Taylor dan Taoisme.
Modernitas
Karakter yang khas dari modernitas adalah bahwa modernitas selalu berusaha
mencari dasar segala pengetahuan tentang „apa-nya‟ realitas dan menempatkan
kembali ke subjek yang mengetahui. Usaha modernitas untuk menemukan dasar
segala pengetahuan tentang „apa-nya‟ realitas ternyata tidak menyingkapkan secara
total akan realitas. Realitas itu tetap utuh dan kompleks. Modernitas merupakan
bagian dari proses sejarah dunia dan umat manusia. Keterpurukan kondisi umat
manusia bukan hanya disebabkan karena "penyalahgunaan" peran agama oleh
penganutnya saja, tetapi yang tak kalah hebat juga dipengaruhi oleh sisi negatif
modernitas. Tarik-menarik antara tradisi (agama) dan modernitas menjadi wacana
yang masih hangat untuk selalu diperdebatkan. Ada kesan bahwa agama bertolak
belakang dengan modernitas. Benturan antara modernitas dan nilai-nilai tradisi serta
agama memang bukan sesuatu yang mudah untuk diatasi. Benturan itu disebabkan
kecenderungan modernitas menggeser dan menggantikan norma-norma agama yang
sudah mengakar di masyarakat. Inilah bahaya manusia sekular. G. J. Holyoake
mengatakan bahwa “Secularism is an ethical system founded on the principle of
natural morality and independent of revealed religion or supernaturalism”.2
Kecenderungan modernitas untuk menggeser norma-norma agama dapat kita
lihat pada pemikiran kaum humanis. Kaum humanis berusaha menempatkan atau
seringkali memosisikan humanisme sebagai pandangan hidup. Humanisme berusaha
menempatkan manusia di pusat hidupnya. Allah dinomorduakan dan disingkirkan dari
dunia. Pandangan seperti ini sudah merasuk alam pikir manusia dewasa ini. Orang
merasa bahwa tidak ada tempat lagi bagi Tuhan di dunia. Yang riil dan berarti
hanyalah dunia. Sedangkan, yang lain adalah khayalan manusia. Sikap ini
disebut sekularisme.
Pada zaman pencerahan (Aufklarung), agama ditantang oleh perkembangan
“Humanisme baru”. Pada awalnya, aliran ini berkembang sejalan dengan
perkembangan Kristinitas. Namun, lambat laun mereduksi nilai-nilai kemanusiaan
1
Bdk. Paul Budi Kleden dan Adrianus Sunarko, (ed.,), Dialektika Sekularisasi-Diskusi HABERMASRATZINGER dan Tanggapan, Maumere: Ledalero, 2010, hlm. 24.
2
Grolier International, dalam The Encyclopedia Americana vol. 24, 1980, hlm. 521.
21
dengan melepaskan dimenis atau aspek religiusitas.3 Humanisme baru berusaha
memutlakkan sifat-sifat kemanusiaan. Unsur-unsur rohani dan ilahi disangkal.
Pada era modern atau post-modern, manusia memasuki dunia baru, dunia yang
begitu berbeda dengan tatanan dunia sebelumnya. Dalam kehidupan di dunia baru ini
manusia mengalami proses transformasi yang sangat signifikan, begitu cepat dan
mencengangkan. Dunia baru yang digambarkan di sini tampak jelas lewat kehadiran
sains dan teknologi canggih yang membuat segala sesuatu menjadi mudah, tidak
berjarak dan tidak tersekat oleh waktu, ruang dan tempat. Sains dan teknologi tidak
lain dari produk ratio manusia. Akan tetapi, peradaban agung manusia yang ditandai
oleh perkembangan sains dan teknologi, justru mengakibatkan kekeringan atau
kelaparan spiritual. Kelaparan spiritual atau rohani dalam modernisasi sekular tampak
jelas dalam kebutuhuan-kubutuhan konkret terutama dalam menjawabi persoalan
mengenai penderitaan dan kejahatan. Fakta di mana terdapat kejahatan, penderitaan
dalam pengalaman harian manusia yang diselimuti oleh perasaan cemas, takut dan
gentar di hadapan bencana, perasaan tidak nyaman di hadapan kekeringan spiritual,
menjadi alasan bagi Charles Taylor untuk menemukan makna hidup religius dalam
senses of emptiness.
***
Senses of emptiness membangkitkan kesadaran setiap orang untuk
mentransendensikan diri di hadapan pengalaman penderitaan, kejahatan, kemiskinan
dan sejenisnya. Akan tetapi, pada saat yang sama, di hadapan pengalaman kehilangan,
pengusiran, kejahatan, kebutaan atau pengalaman berada di persimpangan hidup dan
emptiness juga melahirkan rasa frustrasi dan kecewa akan kenyataan dunia seperti itu.
Kita tidak mungkin mengelak dan membendungnya. Semuanya itu bukan hanya
bersumber dari setan-setan atau roh-roh, kata Charles Taylor, tetapi juga dari
kejahatan dan penderitaan yang menghantam dunia. Jikalau kita lengah terhadap
peristiwa-peristiwa seperti itu, kita akan diseret ke dalam rasa putus asa yang
mendalam. Ketika manusia berhadapan dengan dunia yang diwarnai kelaparan,
pembunuhan, penyakit dan sebagainya, hidup manusia akan semakin ditekan. Dalam
pengalaman seperti itu, Charles Taylor mengajak kita untuk memaknainya sampai
pada dimensi religius. Dalam artian, pengalaman-pengalaman seperti itu harus
dirangkul dan menjadi bagian dari diri kita sendiri. Di sinilah terpancar makna hidup
religius yang mendalam.
Namun, di sisi lain manusia selalu ingin mengalami „kepenuhan atau fullness‟.
Kata „kepenuhan‟ mau mengatakan segalanya ada, tidak ada yang kurang, tidak
mengalami kelaparan, sakit, derita dan sebagainya. Pada poin ini, emptiness
bertentangan dengan fullness. Pemaknaan akan pengalaman emptiness seakan-akan
menampik kemapanan manusia yang mengalami fullness, sebab dalam pengalaman
emptiness, manusia diajak untuk masuk dan bergumul dengan pengalaman itu sendiri.
Emptiness adalah gambaran disposisi manusia yang kehilangan segala-galanya, tetapi
pada saat yang sama, ia berkata “Tuhan sungguh besar atau Allah itu Mahakuasa”.
Produk dari kesadaran akan pengalaman emptiness menempatkan nilai hidup manusia
pada taraf yang lebih tinggi yakni aspek religius. Akan tetapi, persoalan yang sering
melanda kaum beriman dewasa ini adalah bahwa kualitas hidup religius seringkali
diukur dari keseringan pergi ke Gereja, Masjid, Wihara dan sebagainya. Religiusitas
akhirnya dikategorikan pada tempat ibadah (lokalitas) atau praktik keagamaan.
Pertanyaan yang patut kita lontarkan di sini ialah dalam dunia sekular dewasa ini,
3
A. Sudiarja, Agama (di Zaman) Yang Berubah, Yogyakarta: Kanisius, 2000, hlm. 129.
22
apakah religiusitas masih dominan? Lalu, di manakah tempat religiusitas dalam dunia
sekular?
***
How to life? Pertanyaan ini mengantar kita untuk masuk dalam ranah
pencarian filosofis akan kedirian dan eksistensi manusia. Salah satu filosof yang
menguraikan tentang eksistensi manusia adalah Paul Recoeur. Pandangan filosofis
mengenai eksistensi manusia dipondasikan pada pemahaman bahwa manusia
memahami dirinya sendiri tidak secara langsung, tetapi melalui karya-karya dan
pengalaman-pengalaman di mana manusia mengungkapkan aneka ekspresi tentang
dirinya sendiri. Salah satu pengalaman itu adalah penderitaan. Penderitaan merupakan
bagian (par excellence) dari kekurangan yang terdapat dalam diri manusia. How to life
mau mengatakan sebuah pola konstruksi keseharian hidup manusia yang tidak luput
dari pengalaman penderitaan. Bahwasannya, hidup ini tidak berjalan secara mekanik,
yang teratur rapi dan kaku. Makna hidup bukan terletak pada konstruksi lahiriah.
Bukan juga terletak pada apa yang tampak secara fisik atau yang artifisial. Pemaknaan
hidup memiliki pondasi pada pengalaman keseharian. Dalam pengalaman keseharian
itu, seperti dikatakan oleh David Tracy dalam bukunya Blessed Rage for Order-The
New Pluralism in Theology, kita dituntut untuk „self-transcendence‟.4 Poin ini
mengungkapkan sebuah komitmen radikal untuk berjuang melampaui seluruh
kedirian seseorang dan juga pemahaman masyarakat agar dapat masuk dalam
pengalaman itu sendiri. Menurut Charles Taylor, salah satu gejala yang muncul dalam
dunia sekular adalah orang memaknai hidup lewat life style.
Life style dalam dunia sekular tampil dalam aneka bentuk seperti, model
pakaian yang menarik hati setiap insan, jenis musik, ekspresi pribadi yang cenderung
vulgar. Fakta-fakta eksternal dunia sekular seperti itu merupakan kategori normatif
yang dipakai oleh para konsumen dalam memahami diri atau mengerti diri. Harus
diakui bahwa gaya hidup seperti ini merupakan produk ilmu pengetahuan dan
teknologi. Ketika ilmu pengetahuan dan tekhnologi modern telah mengambil tempat
yang duhulu ditempati oleh Gereja dan Agama, maka manusia berusaha menempatkan
ilmu pengetahuan dan tekhnologi dalam pusat hidupnya.5 Yang transenden dijauhkan.
Agama dilihat sebagai sesuatu yang asing. Bagaimana dengan Tuhan? Tuhan dilihat
sebagai penghalang otonomitas manusia. Tuhan dipertanyakan dan bahkan ditolak.
Dalam arti tertentu Tuhan tidak diperlukan lagi. Dengan kata lain, „Tuhan telah mati‟
seperti dikatakan oleh Nietzche. Lantas kita bertanya seperti St. Agustinus dalam
uraian John D. Caputo, “Apa yang sebenarnya aku cintai, ketika aku mencintai
Tuhanku?6 Agustinus mengatakan bahwa Cinta kasih saya dan anda kepada Tuhan
merupakan tolak ukur dan satu-satunya tolak ukur cinta adalah cinta kasih tanpa tolak
ukur.7
Keterpesonaan akan perkembangan sains dan teknologi yang berakhir pada
peniscayaan terhadap ratio dan mereduksi realitas hidup religius membuat manusia
memandang dan menghadirkan dunia dengan segala persoalannya sebagai realitas
yang sederhana. Dari sini manusia mulai melihat segala realitas dan nilai-nilai yang
terkandung dalam agama sebagai sesuatu yang absurd. Hal ini disebabkan oleh karena
manusia menyadari sesuatu yang dijalankannya hanya sebatas rutinitas belaka atau
4
David Tracy, Blessed Rage for Order-The New Pluralism in Theology, San Francisco: Harper & Row,
Publishers, 1817, hlm. 11.
5
Bdk. Pardoyo, Sekularisasi Dalam Polemik, Jakarta: Grafiti, 1993, hlm. 22.
6
John D. Caputo, Agama Cinta, Agama Masa Depan, Bandung: Mizan, 2003, hlm. 4.
7
Ibid., hlm. 7.
23
diukur dengan barometer cinta tertentu . Nilai-nilai atau aspek-aspek hidup religius
dirasakan sebagai ritus yang bergerak, berputar bagaikan roda. Yang terjadi hari ini
tidak berbeda dengan hari kemarin. Tidak ada sesuatu yang baru. Akar semuanya ini
ialah karena manusia telah terkontaminasi oleh hal-hal yang mudah, menarik dan
indah yang disuguhkan oleh dunia ini. Akibatnya, kehidupan religius dihayati dan
dijalankan bak tarian sakratul maut. Jadi, life style akhirnya menjadi sebuah
kebenaran budaya.8
***
Gaya hidup seperti itu muncul akhir abad ke-19, di mana setiap orang dengan
caranya sendiri berusaha merealisasikan dirinya. Perealisasian diri melalui gaya hidup
seperti itu dipandang sebagai sebuah cara untuk menemukan dan memaknai hidup dan
dianggap sebagai sesuatu yang sangat penting. Dengan cara itu, seseorang bisa
menyesuaikan diri dengan dunia di luar dirinya, misalnya, melalui masyarakat,
generasi sebelumnya, kehidupan religius atau pun kekuatan politik. Jadi, keautentikan
diri disempitkan pada kategori lahiriah.
Menurut Charles Taylor, pemaknaan diri seperti itu juga berdampak pada
hidup religius. Bahwasannya, ke-religiusitas-an direduksi pada „sesuatu‟ hal yang
berasal dari societas. Charles Taylor mengatakan „do your own thing‟ and „be
yourselves in the world of today‟.9 Ungkapan di atas sungguh-sungguh sarat akan
makna. Dengan melakukan apa yang menjadi pergumulan hidup harian, maka
seseorang akan menjadikan dirinya hari ini dan dunia saat ini menjadi bermakna.
Dalam frasa „do your own thing‟, seseorang dituntut untuk menemukan dirinya
sendiri, realisasi dirinya dan pembebasan atau pengosongan diri yang benar dan total.
Jadi, pemaknaan diri atau menjadi diri sendiri bukanlah perkara hari esok, melainkan
perkara saat ini dan di sini (Hic et Nunc). Demikian pula dengan hidup religius.
Kekudusan atau kesempurnaan hidup tidak diperoleh ketika manusia beralih dari
dunia ini dan mengalami persatuan dengan Allah atau dalam istilah Buddisme yakni
satori (pencerahan) tetapi kekudusan dan kesempurnaan itu dicapai ketika manusia
masuk dalam pengalaman emptiness. Pada poin inilah emptiness memiliki makna baru
bahwa pergulatan hidup harian mengantar seseorang untuk menjadikan dunia saat ini
sungguh-sungguh berarti dan bermakna.
Sebagaimana yang sudah disinggung di atas bahwa life style adalah sebuah
kebenaran budaya. Kebenaran budaya kontemporer tentu memiliki sejarah yang
panjang. Kebenaran budaya diletakan di atas kontrol rasional dan pada saat yang
sama kebenaran budaya itu dapat dikritik. Kritik tidak hanya dilontarkan terhadap
kebenaran budaya, melainkan juga perealisasian diri manusia. Kita bisa menengok
periode tahun 60-an. Banyak kritik yang dialamatkan kepada masyarakat pada periode
sebelumnya. Masyarakat pada periode 50-an, dikecam karena tunduk pada normanorma sosial. Dengan patuh pada norma-norma sosial, maka karakter individu dan
kreativitas pribadi akhirnya hancur. Dimensi perasaan dan spontanitas seakan-akan
berjalan secara mekanik. Bertitik tolak dari hal itu, maka Paul Tillich mengatakan
bahwa "kami berharap di antara kamu tidak ada yang patuh pada norma-norma sosial,
demi kamu sendiri, bangsa, dan demi kemanusiaan”.10
Pernyataan Paul Tillich di atas merupakan sebuah bentuk kritikan terhadap
penghayatan hidup atau pemaknaan hidup religius. Ke-religiusitas-an seseorang tidak
8
Charles Taylor, A Secular Age, Cambridge: The Belknap Press of Harvard University Press, 2007,
hlm. 475.
9
Loc.Cit.,
10
Ibid., hlm. 476.
24
terletak pada pemenuhan norma-norma sosial atau dogma atau hukum. Seperti
dikatakan oleh Romo Armada Riyanto, bahwa „suatu ketakwaan kepada Tuhan tidak
bisa sekedar direduksi pada pemenuhan delik-delik ketentuan hukum atau norma‟.11
Jikalau hidup hanya mengikuti apa yang sudah ditetapkan oleh norma atau hukum
dalam masyarakat, maka hidup itu ibarat sebuah mesin yang berjalan secara mekanik.
Sisi kreativitas dan indiviualitas direduksi pada norma sosial belaka. Contoh konkret
seperti yang dibuat oleh David Brooks.
David Brooks membuat sebuah sintesis antara kaum Borjuis dengan
Bohemian.12 David Brooks melihat sisi lain dari kehidupan mereka, di mana mereka
menolak hal yang paling penting yakni pengembangan pribadi dan perealisasian diri.
Mereka memertahankan seksualitas dan sensualitas sebagai sesuatu yang baik dalam
dirinya sendiri, tetapi di sisi lain, mereka tidak mengejar hal-hal yang penting demi
memerbaiki diri. Dari contoh yang diangkat oleh David Brooks di atas, kita dapat
menarik kesimpulan bahwa makna emptiness tidak terletak pada kepenuhan atau
fullness, melainkan pada keseimbangan nilai hidup yang dikejar. Emptiness yang
memroduksi pengalaman keseharian, mengantar semua orang pada sebuah disposisi
diri yang tidak hanya hidup di atas permukaan saja, melainkan juga masuk dalam
kesadaran diri, inti diri yang paling dalam.
Poin penting yang hendak dikatakan di sini adalah pengolahan diri. Emptiness
menjadi berarti dan bermakna tatkala setiap orang mampu mengolah diri. Jikalau kita
merujuk pada pengalaman keseharian manusia seperti penderitaan, kemiskinan,
pengalaman getir, kejahatan, kehilangan segala-galanya karena musibah dan
sejenisnya, maka pengalaman-pengalaman seperti ini tidak akan memiliki meaning
apabila hanya berhenti pada pengalaman itu. Namun, ketika pengalaman itu disadari,
lalu diolah, dicerna, direfleksikan dan kemudian dari kesadaran itu mencoba
memberikan makna, maka sesungguhnya sense of emptiness membawa orang pada
sebuah pencarian diri yang dalam untuk menemukan dirinya yang sesungguhnya,
memerkaya secara emosional dan mendorong rasa percaya diri yang terus-menerus,
sehingga akhirnya dapat membawa perubahan dan pertumbuhan hidup religius. Jadi,
aktivitas keseharian membantu kita untuk bertumbuh dalam hidup religius.
***
Dalam aktivitas kesehariannya, manusia dihadapkan pada sebuah pilihan dan
emptiness memroduksi apa yang dinamakan dengan „choice‟ (pilihan). Kata „pilihan‟
di sini tidak memaksudkan sikap minimalis atau menggambarkan sikap penyerahan
diri yang konyol pada fakta atau peristiwa yang sedang terjadi, melainkan terarah
pada sebuah pergumulan pengalaman. Misalnya, seseorang menderita sakit berat
divonis oleh dokter bahwa penyakitnya tidak akan disembuhkan dan ia pasti akan
meninggal. Setelah si sakit mendengar pernyataan dokter seperti itu, dia tidak lantas
berkata „ya, sudahlah. Saya menyerah saja. Kematian adalah pilihan terakhirku‟.
Makna kata „memilih‟ tidak dalam arti seperti itu, melainkan dia masuk dalam
pengalaman penderitaannya dan pada saat yang sama berkata „Aku memiliki Tuhan
yang besar yang dapat mengubah semuanya ini‟.
Memilih untuk bergumul dengan pengalaman penderitaannya itu merupakan
sebuah pilihan yang „kosong‟. Hampir pasti semua orang tidak akan memilih yang
namanya „kosong‟, karena „kosong‟ seringkali diidentikkan dengan tidak memiliki
apa-apa, kesengsaraan, penderitaan dan sejenisnya. Namun, „kosong‟ mau
mendeskripsikan sebuah kondisi yang bertentangan dengan fakta yang sebenarnya
11
12
E. Armada Riyanto, Berfilsafat Politik, Yogyakarta: Kanisius, 2011, hlm. 151.
Bohemian: orang yang berkehidupan bebas, seperti seniman.
25
dihindari dan dijauhkan, tetapi fakta atau peristiwa itu justru dipeluk, digumuli,
dibawa dalam kesadaran diri dan dirayakan setiap hari. Maka, ketika emptiness
memroduksi sebuah pilihan (choice), maka emptiness membawa seseorang pada
pemaknaan atas hidup. Emptiness akhirnya mengarahkan seseorang pada sebuah nilai
hidup yang tinggi.
Charles Taylor memberikan contoh mengenai „pilihan‟. Dalam dunia sekular,
banyak orang menyerukan freedom, rights, respect, non-discrimination, dan
sebagainya.13 Semuanya itu pasti didukung oleh setiap orang. Tentu saja, tak seorang
pun yang tidak akan memilihnya, atau dibiarkan kosong. Akan tetapi, dalam praktik
keseharian, orang belum sungguh-sungguh menghidupi semuanya itu sebagai sebuah
nilai. Yang lebih fatal justru ketika mereka yang menyerukan kebebasan, keadilan,
kesejahteraan bersama, tidak ada diskriminasi, malahan menyebarkan argumentasi
yang menentang nilai-nilai hidup bersama. Mereka tidak memertimbangkan
bagaimana dan di mana dapat mengaplikasikan semuanya itu.
Jikalau kita melihat fenomena kehidupan religius sekarang, Gereja, Masjid,
Wihara, Pura dan sebagainya, seringkali mengumbar kata-kata „ber-belaskasih-lah
kepada sesama yang miskin, menderita. Kita harus ke Gereja hari Minggu, atau ke
Masjid hari Jumat. Jadi, kualitas hidup religius seseorang hanya diukur dari seberapa
banyak sumbangan yang diberikan kepada orang miskin, yang menderita, yang cacat
atau seberapa sering dia menghadiri misa di Gereja pada hari Minggu, ikut kebaktian,
ikut pertemuan pendalaman iman di lingkungan atau menjalankan solat Jumatan di
Masjid. Namun, di sisi lain, mereka justru tidak menghidupi nilai-nilai keagamaan itu
dalam keseharian. Sikap patuh dan takwa kepada Tuhan tidak dapat direduksi pada
tindakan-tindakan yang artifisial atau hanya sekedar mematuhi delik-delik ketentuan
hukum.14 Jadi, religiusitas harus menampilkan sense of emptiness.
Taoisme
Konsep dasar Taoisme ialah solidaritas alam dan manusia, yakni interaksi
antara alam semesta dan masyarakat manusia.15 Apa itu Tao? Tao tidak dapat
dijelaskan dengan medium bahasa, karena bahasa itu terbatas. Sebab, “Sang Tao yang
dapat dibicarakan bukan Sang Tao abadi. Nama yang dapat dipahami bukan Nama
abadi”. 16 Tao tidak cukup dibingkai dalam bahasa. Bahasa tidak sepenuhnya
mewakili Tao. Bahasa manusia sangat terbatas pada ruang dan waktu. Namun,
bagaimanapun juga kita tetap mendefinisikan Tao. Tao artinya jalan atau lorong,
saluran, doktrin, atau garis.17 Inilah arti umum dari Tao. Dalam Taoisme, Tao berarti
sumber dan prinsip berfungsinya apa saja yang ada.18
Taoisme
pada mulanya merupakan suatu jawaban terhadap kondisi
kemerosotan sosial zaman.19 Kemerosotan sosial yang dimaksud sangat berkaitan erat
dengan pengalaman kemiskinan, kelaparan, ketamakan, gila harta dan sebagainya.
Dalam pengalaman-pengalaman seperti itu, Lao Tze yang hidup sezaman Konghucu,
mencoba menghadirkan kembali usaha konstruksi untuk memelihara dan membuat
hidup manusia menjadi luhur dan agung.20 Usaha untuk memelihara dan membuat
hidup manusia menjadi luhur dan agung adalah dengan mengikuti Tao. Di hadapan
13
Charles Taylor, Op. Cit., hlm. 479.
Bdk. E. Armada Riyanto, Loc. Cit.
15
Lao Tze, Tao Te Ching-81 Filsafat Hidup Tao, Yogyakarta: New Diglossia, 2010, hlm. 22.
16
Ibid.,, hlm. 53.
17
Budi Kusumohamidjojo, Sejarah Filsafat Tiongkok, Yogyakarta: Jalasutra, 2010, hlm. 146-147.
18
John M. Koller, Filsafat Asia, Donatus Sermada (Penterj.,), Maumere: Ledalero, 2010, hlm. 572.
19
Ibid., hlm. 569.
20
Ibid., hlm. 572.
14
26
pengalaman-pengalaman seperti itu, setiap orang diajak untuk mengikuti gerakan Tao
dan berpedoman pada Tao. Dengan mengikuti dan berpedoman pada Tao, manusia
akan mencapai kepenuhan hidup. Jadi, keluhuran dan keagungan hidup manusia
bukan terletak pada penumpukan benda-benda material atau aktivitas membaca Kitab
suci yang membawa ketenangan batin, melainkan ketika manusia tetap bergembiran,
dan mengalami pembebasan dari pengalaman emptiness. Dalam konteks inilah, Tao
juga berarti jalan. 21
‟Jalan‟ merupakan sumber kepercayaan dan pemahaman manusia akan
dirinya. Tao-lah yang menuntun orang untuk semakin mengenali dirinya. Semakin
orang mengenali dirinya, ia semakin memahami nilai hidup yang terdalam. Dan
semakin orang memahami nilai hidup terdalam, maka ia semakin memaknai setiap
pergumulan dan pengalaman kesehariannya. Sebab, kalau kedalaman diri saja tidak
dapat dipahami, maka mana mungkin hal lain bisa dipahami. Dalam konteks inilah
kita dapat mengatakan bahwa makna emptiness dicapai ketika seseorang mengikuti
Tao. Dan hanya melalui hidup yang selaras dengan Tao, orang dapat menghayati satu
hidup yang memuaskan dan mengalami kepenuhan hidup.22
Lebih lanjut, Tao itu kosong.23 Artinya, Tao tidak memiliki karakter dalam
dirinya. Lalu pertanyaanya ialah apakah karakter dari Tao? Tao merupakan sumber
utama dan kondisi dari semua karakter. Inilah prinsip absolut pertama dari eksistensi
dari Tao. Dalam arti inilah Tao adalah non-being (nir-ada).24 Tao sumber dari
partikularitas, tetapi ia kosong dari partikularitas. Kekosongan sebagai sesuatu yang
berguna dalam Tao. Dengan mengatakan kekosongan sebagai sesuatu yang berguna
dalam Tao, kekosongan ini mau mendeskripsikan lokalitas Tao yang justru memiliki
isi muatan yang tak terbatas dalam dirinya. Dengan demikian, kekosongan dalam Tao,
tidak berarti kekosongan fisikal, tak memiliki sesuatu, hampa, dan sebagainya.
Kekosongan (emptiness) dalam Tao memiliki arti kepenuhan, tak habis dilekang
waktu dan usia.
Dalam Taoisme kita juga mengenal apa yang dinamakan proses gerak balik
sebagai gerakan Tao. Analogi sederhana untuk memahami pernyataan ini kita bisa
menggunakan analogi udara. Ketika suasana atau suhu udara sangat panas, panas ini
pasti akan berlalu. Suasana atau kondisi pasti akan berubah dari yang panas menjadi
dingin, demikian pun sebaliknya. Tidak ada yang bersifat kekal. Gerak balik ini pun
bisa diaplikasikan dalam konteks pola hidup manusia. Misalnya, sikap orang yang
sombong dan congkak. Kesombongan dan kecongkakan pasti akan berubah dan yang
menyusul adalah sikap rendah hati. Dari contoh di atas, yang hendak dikatakan dalam
kaitan dengan pemaknaan mengenai sense of emptiness adalah bahwa ketika orang
mengalami yang namanya penderitaan orang harus bersukacita dan bergembira, orang
harus merayakan pengalaman itu dengan keceriaan sebagai bagian dari dirinya atau
bagian dari kesehariaanya. Ini merupakan pergulatan dan pergumulan manusia yang
tidak gampang. Sisi kehidupan yang paradoks, tetapi pada saat yang sama orang
memaknainya sebagai sebuah pergumulan iman atau hidup religius. Jadi, dengan
mengenal Tao yang menjadi satu dengan dunia berdebu berarti memahami bahwa Tao
tidak bersifat transenden, tetapi imanen.25
21
To Thi Anh, Nilai Budaya Timur dan Barat- Konflik atau harmoni? Jakarta: Gramedia, 1985, hlm.
12.
22
John M. Koller, ibid., hlm. 572.
23
Ibid., hlm. 581.
24
Ibid., hlm. 577.
25
Ibid., hlm. 583.
27
Titik Temu
Gagasan filosofis Charles Taylor mengenai sense of emptiness, kedengarannya
seperti nihilisme atau satu penyangkalan total terhadap realitas dan arti dari realitas itu
sendiri. Akan tetapi, emptiness bukanlah sebuah penyangkalan terhadap realitas.
Justru sebaliknya, emptiness memroduksi pengalaman keseharian manusia.
Pengalaman keseharian yang sama sekali tak dapat dimanipulasi oleh apa pun.
Kesadaran akan realitas itu adalah manusia itu sendiri. Oleh karena itu, „isi‟ yang
terkandung dalam pengalaman religius dan apa yang sering kita sebut sebagai
pengalaman religius itu sendiri tidak lain adalah manusia itu sendiri. Manusia yang
masuk dalam kesadarannya akan pengalaman yang melingkupinya. Manusia itu
sendiri sebagai subjek dari pengalaman. Pandangan ini mau melawan konsep yang
berkembang dalam dunia sekular yang beranggapan bahwa ketika manusia mengalami
emptiness, maka kesadaran religius dan pengalaman ketergantungan manusia kepada
Allah itu semata-mata proyeksi manusia. Jadi, sense of emptiness mau meruntuhkan
konsep dunia sekular yang mengatakan bahwa “everything is matter, that God cannot
exist”.26
Frasa “Everything is matter, that God cannot exist” merupakan sebuah
penyangkalan terhadap eksistensi Allah. Eksistensi Allah di hadapan peradaban agung
manusia selalu melahirkan konflik yang berkecamuk pada diri individu-individu yang
menghidupinya. Ketika manusia dalam dunia modern selalu mengagung-agungkan
rasionalitas sebagai tolok ukur dari segala sesuatu, sesungguhnya manusia tidak
menampilkan dirinya secara bebas. Ia terbelenggu dalam rasionalitasnya. Hidup
religius sungguh-sungguh dipolitisir oleh ratio yang dari waktu kewaktu selalu
melahirkan ide-ide kreatif. Dengan meletakan segala sesuatu pada rationalitas, maka
implikasinya, manusia tidak mau dibelenggu oleh agama, pola pemikiran religius dan
bahkan oleh Tuhan. Kritik seperti ini, kita tahu dengan baik datangnya dari filsuf
Feuerbach, Nietzche dan Sartre. Nietzche mengatakan bahwa manusia yang bebas
dan berdaulat atas dirinya adalah manusia „super‟.27 Gagasan Nietzche tentang
manusia super, tampaknya sudah merasuki pandangan atau konsep manusia dewasa
ini mengenai hidup religius. Hidup religius sekarang bagi sebagian masyarakat
modern telah kehilangan semangat komunalnya karena manusia selalu
merationalisasikannya. Manakala manusia selalu mengedepankan rationya, maka
penghayatan hidup religius menjadi sangat pribadi dan individualistik. Ketika
penghayatan hidup religius menjadi pribadi dan bersifat individualistik, maka konsesi
aksesif kearifan nilai-nilai religiusitas ditafsirkan secara subjektif.
Ketika, dunia sekular menolak keberadaan Tuhan, Tao justru sebaliknya.
Dalam Sang Taoisme, Tao itu imanen dan bukan transenden. Dalam artian bahwa Tao
ada bersama manusia melalui interaksinya dengan alam semesta. Jikalau dikaitkan
dengan hidup religius, makna hidup religius bukan sebuah teori yang mengawangawang, yang jauh di sana, melainkan yang hadir dalam pengalaman keseharian
manusia. Jadi, ke-religius-an kita bukan terletak pada pengalaman puncak,
pengalaman kepenuhan, tidak memiliki kekurangan apa pun, melainkan ketika hidup
religius dimaknai dalam pengalaman emptiness.
Pemenuhan diri melalui benda-benda, atau barang-barang material yang selalu
diagung-agungkan oleh manusia dalam dunia sekular bukanlah sebuah kepenuhan
diri yang sejati, kata Charles Taylor. Semuanya itu hanya mengelabui kita dan
membawa kita pada ketamakan. Salah satu kritikan terhadap pandangan dunia sekular
26
Charles Taylor, Op. Cit., hlm. 602.
Donatus Sermada, Pengantar Ilmu Perbandingan Agama, Malang: Pusat Publikasi Filsafat Teologi
Widya Sasana, 2011, hlm. 100.
27
28
adalah soal pemahaman mengenai kepenuhan hidup yang sejati. Kepenuhan hidup
yang sejati tidak disempitkan pada barang atau benda-benda material, melainkan
ketika seseorang mampu mentransendensikan pengalaman kesehariannya dan inilah
yang menjadi tujuan hidup kita.28 Jikalau kepenuhan hidup hanya dipondasikan pada
benda-benda atau barang, maka emptiness sebagai sebuah proses lahirnya eksistensi
manusia yakni sebagai manusia religius akhirnya tidak memiliki meaning.
Lalu, bagaimana dengan Taoisme? Kritik di atas, sejalan dengan konsep dalam
ajaran Taoisme tentang keluhuran dan keagungan hidup manusia. Bahwasanya,
keluhuran dan keagungan hidup manusia bukan terletak pada penumpukan bendabenda material, melainkan ketika manusia memaknai pengalaman kehampaan atau
kekosongan, misalnya pengalaman kemiskinan, kehinaan, derita, sakit dan
sebagainya. Pada poin inilah Tao sebagai „Jalan‟, menjadi petunjuk, pedoman dan
tuntunan bagi manusia dalam mencapai keluhuran dan keagungan hidup, atau dalam
bahasa Charles Taylor untuk mencapai kepenuhan hidup yang sejati atau kekudusan.
Oleh karena itu, Charles Taylor mengatakan bahwa “kita harus mengorbankan
barang-barang atau benda-benda, sebab yang jauh lebih bermakna adalah
persahabatan yang sungguh-sungguh real dengan persoalan atau masalah serta usahausaha untuk menikmati gaya hidup yang benar-benar alami; sebab semuanya itu tidak
akan berakhir; itu tidak akan dipenuhi oleh apapun sepanjang hidup.”29 Senada
dengan itu, Han Yu beragumentasi bahwa Tao (Jalan) hidup adalah mengasihi
manusia dan memerhatikan relasi yang pantas antara manusia.30
***
Dalam dunia sekular, apakah religiusitas masih dominan? Pertanyaan ini
menghantar kita pada kenyataan bahwa religiusitas dihadapkan pada sebuah tantangan
besar dalam dunia sekular. Sepak terjang dunia sekular sungguh-sungguh
menghantam dimensi hidup religius. Berbagai hal yang menarik yang ditawarkan oleh
dunia sekular seakan-akan menggiring manusia untuk terjun ke sana. Penemuan dan
pencapaian yang mutakhir dalam ilmu pengetahuan dan tekhnologi, bukan tidak
mungkin akan menggerogoti aspek religiusitas. Religiusitas akan masih dominan
dalam dunia sekular, sejauh manusia memposisikan dirinya dalam kesadaran yang
utuh akan pemaknaan hidup sejati. Itu berarti hidup tidak sekedar ikut arus zaman,
tetapi lebih dari itu yakni bagaimana manusia memaknai dan menemukan nilai hidup
religius dalam pengalaman emptiness.
Kedua, di manakah tempat religiusitas dalam dunia sekular? Tempat
religiusitas dalam dunia sekular berada pada medan pemaknaan pengalaman
keseharian. Dalam pengalaman keseharian itulah, religiusitas mesti menampilkan
sense of emptiness. Oleh karenanya, religiusitas pertama-tama bukanlah sebuah
lokalitas, juga tidak tunduk pada norma-norma atau hukum, melainkan pada
kekosongan. Pernyataan ini jelas bertentangan dengan konsep dunia sekular yang
menempatkan kepenuhan diri yang sejati pada benda-benda atau barang-barang yang
tampak secara artifisial. Senada dengan itu, identitas kekosongan Tao
mengungkapkan keadaannya sebagai sesuatu yang absolut dan tidak tunduk pada
delik-delik ketentuan yang sifatnya lahiriah.
28
Bdk. Charles Taylor, Op. Cit., hlm. 601.
Loc. Cit.,
30
John M. Koller, Op. Cit., hlm. 608.
29
29
DAFTAR PUSTAKA
Anh, To Thi. Nilai Budaya Timur dan Barat- Konflik atau harmoni? Jakarta:
Gramedia. 1985.
Caputo, John D.. Agama Cinta, Agama Masa Depan, Bandung: Mizan. 2003.
Kusumohamidjojo, Budi. Sejarah Filsafat Tiongkok. Yogyakarta: Jalasutra. 2010.
Grolier International, dalam The Encyclopedia Americana vol. 24, 1980.
Koller, John M. Filsafat Asia, Donatus Sermada (Penterj.,). Maumere: Ledalero.
2010.
Kleden, Paul Budi dan Adrianus Sunarko, (ed.,). Dialektika Sekularisasi-Diskusi
HABERMAS-RATZINGER dan Tanggapan. Maumere: Ledalero. 2010.
Pardoyo. Sekularisasi Dalam Polemik. Jakarta: Grafiti. 1993.
Riyanto, E. Armada. Berfilsafat Politik. Yogyakarta: Kanisius. 2011.
Sudiarja, A. Agama (di Zaman) Yang Berubah. Yogyakarta: Kanisius. 2006.
Sermada, Donatus. Pengantar Ilmu Perbandingan Agama. Malang: Pusat Publikasi
Filsafat Teologi Widya. 2011.
Tracy, David. Blessed Rage for Order-The New Pluralism in Theology. San
Francisco: Harper & Row, Publishers. 1817.
Taylor, Charles. A Secular Age. Cambridge: The Belknap Press of Harvard
University Press. 2007.
Tze, Lao. Tao Te Ching-81 Filsafat Hidup Tao. Yogyakarta: New Diglossia. 2010.
Yu-Lan, Fung. Sejarah Filsafat Cina. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007.
Fabianus Selatang
Mahasiswa STFT Pasca Sarjana
Semester III
30
Download