SENSE OF EMPTINESS (Charles Taylor dan Taoisme) Dewasa ini, hampir pasti setiap orang tidak akan menginginkan yang namanya penderitaan, kemiskinan, pengalaman kesedihan, pengalaman pahit, pengalaman getir dan sejenisnya. Manusia, siapa pun dia, pasti selalu menghindari pengalamanpengalaman seperti itu. Namun, manusia entah dia beragama atau tidak, yang berTuhan atau Atheis, pasti akan mengalaminya. Dalam pengalaman seperti itu, manusia kerap kali bertanya, apa artinya hidup ini? Bukan tidak mungkin, dalam konteks pengalaman seperti itu, kesadaran religius sungguh-sungguh ditantang dan didesak untuk menstrukturisasi satu pola hidup yang membawa setiap orang untuk memaknai setiap pengalaman.1 Lantas kita juga bertanya, bagaimana manusia memaknai hidup religius dalam pengalaman emptiness? Apakah hidup religius masih bergema dan bermakna di hadapan realitas seperti itu? Telaah filosofis yang dipaparkan oleh penulis dalam paper ini mencoba untuk menggali makna hidup religius dalam korelasi pemikiran Charles Taylor dan Taoisme. Modernitas Karakter yang khas dari modernitas adalah bahwa modernitas selalu berusaha mencari dasar segala pengetahuan tentang „apa-nya‟ realitas dan menempatkan kembali ke subjek yang mengetahui. Usaha modernitas untuk menemukan dasar segala pengetahuan tentang „apa-nya‟ realitas ternyata tidak menyingkapkan secara total akan realitas. Realitas itu tetap utuh dan kompleks. Modernitas merupakan bagian dari proses sejarah dunia dan umat manusia. Keterpurukan kondisi umat manusia bukan hanya disebabkan karena "penyalahgunaan" peran agama oleh penganutnya saja, tetapi yang tak kalah hebat juga dipengaruhi oleh sisi negatif modernitas. Tarik-menarik antara tradisi (agama) dan modernitas menjadi wacana yang masih hangat untuk selalu diperdebatkan. Ada kesan bahwa agama bertolak belakang dengan modernitas. Benturan antara modernitas dan nilai-nilai tradisi serta agama memang bukan sesuatu yang mudah untuk diatasi. Benturan itu disebabkan kecenderungan modernitas menggeser dan menggantikan norma-norma agama yang sudah mengakar di masyarakat. Inilah bahaya manusia sekular. G. J. Holyoake mengatakan bahwa “Secularism is an ethical system founded on the principle of natural morality and independent of revealed religion or supernaturalism”.2 Kecenderungan modernitas untuk menggeser norma-norma agama dapat kita lihat pada pemikiran kaum humanis. Kaum humanis berusaha menempatkan atau seringkali memosisikan humanisme sebagai pandangan hidup. Humanisme berusaha menempatkan manusia di pusat hidupnya. Allah dinomorduakan dan disingkirkan dari dunia. Pandangan seperti ini sudah merasuk alam pikir manusia dewasa ini. Orang merasa bahwa tidak ada tempat lagi bagi Tuhan di dunia. Yang riil dan berarti hanyalah dunia. Sedangkan, yang lain adalah khayalan manusia. Sikap ini disebut sekularisme. Pada zaman pencerahan (Aufklarung), agama ditantang oleh perkembangan “Humanisme baru”. Pada awalnya, aliran ini berkembang sejalan dengan perkembangan Kristinitas. Namun, lambat laun mereduksi nilai-nilai kemanusiaan 1 Bdk. Paul Budi Kleden dan Adrianus Sunarko, (ed.,), Dialektika Sekularisasi-Diskusi HABERMASRATZINGER dan Tanggapan, Maumere: Ledalero, 2010, hlm. 24. 2 Grolier International, dalam The Encyclopedia Americana vol. 24, 1980, hlm. 521. 21 dengan melepaskan dimenis atau aspek religiusitas.3 Humanisme baru berusaha memutlakkan sifat-sifat kemanusiaan. Unsur-unsur rohani dan ilahi disangkal. Pada era modern atau post-modern, manusia memasuki dunia baru, dunia yang begitu berbeda dengan tatanan dunia sebelumnya. Dalam kehidupan di dunia baru ini manusia mengalami proses transformasi yang sangat signifikan, begitu cepat dan mencengangkan. Dunia baru yang digambarkan di sini tampak jelas lewat kehadiran sains dan teknologi canggih yang membuat segala sesuatu menjadi mudah, tidak berjarak dan tidak tersekat oleh waktu, ruang dan tempat. Sains dan teknologi tidak lain dari produk ratio manusia. Akan tetapi, peradaban agung manusia yang ditandai oleh perkembangan sains dan teknologi, justru mengakibatkan kekeringan atau kelaparan spiritual. Kelaparan spiritual atau rohani dalam modernisasi sekular tampak jelas dalam kebutuhuan-kubutuhan konkret terutama dalam menjawabi persoalan mengenai penderitaan dan kejahatan. Fakta di mana terdapat kejahatan, penderitaan dalam pengalaman harian manusia yang diselimuti oleh perasaan cemas, takut dan gentar di hadapan bencana, perasaan tidak nyaman di hadapan kekeringan spiritual, menjadi alasan bagi Charles Taylor untuk menemukan makna hidup religius dalam senses of emptiness. *** Senses of emptiness membangkitkan kesadaran setiap orang untuk mentransendensikan diri di hadapan pengalaman penderitaan, kejahatan, kemiskinan dan sejenisnya. Akan tetapi, pada saat yang sama, di hadapan pengalaman kehilangan, pengusiran, kejahatan, kebutaan atau pengalaman berada di persimpangan hidup dan emptiness juga melahirkan rasa frustrasi dan kecewa akan kenyataan dunia seperti itu. Kita tidak mungkin mengelak dan membendungnya. Semuanya itu bukan hanya bersumber dari setan-setan atau roh-roh, kata Charles Taylor, tetapi juga dari kejahatan dan penderitaan yang menghantam dunia. Jikalau kita lengah terhadap peristiwa-peristiwa seperti itu, kita akan diseret ke dalam rasa putus asa yang mendalam. Ketika manusia berhadapan dengan dunia yang diwarnai kelaparan, pembunuhan, penyakit dan sebagainya, hidup manusia akan semakin ditekan. Dalam pengalaman seperti itu, Charles Taylor mengajak kita untuk memaknainya sampai pada dimensi religius. Dalam artian, pengalaman-pengalaman seperti itu harus dirangkul dan menjadi bagian dari diri kita sendiri. Di sinilah terpancar makna hidup religius yang mendalam. Namun, di sisi lain manusia selalu ingin mengalami „kepenuhan atau fullness‟. Kata „kepenuhan‟ mau mengatakan segalanya ada, tidak ada yang kurang, tidak mengalami kelaparan, sakit, derita dan sebagainya. Pada poin ini, emptiness bertentangan dengan fullness. Pemaknaan akan pengalaman emptiness seakan-akan menampik kemapanan manusia yang mengalami fullness, sebab dalam pengalaman emptiness, manusia diajak untuk masuk dan bergumul dengan pengalaman itu sendiri. Emptiness adalah gambaran disposisi manusia yang kehilangan segala-galanya, tetapi pada saat yang sama, ia berkata “Tuhan sungguh besar atau Allah itu Mahakuasa”. Produk dari kesadaran akan pengalaman emptiness menempatkan nilai hidup manusia pada taraf yang lebih tinggi yakni aspek religius. Akan tetapi, persoalan yang sering melanda kaum beriman dewasa ini adalah bahwa kualitas hidup religius seringkali diukur dari keseringan pergi ke Gereja, Masjid, Wihara dan sebagainya. Religiusitas akhirnya dikategorikan pada tempat ibadah (lokalitas) atau praktik keagamaan. Pertanyaan yang patut kita lontarkan di sini ialah dalam dunia sekular dewasa ini, 3 A. Sudiarja, Agama (di Zaman) Yang Berubah, Yogyakarta: Kanisius, 2000, hlm. 129. 22 apakah religiusitas masih dominan? Lalu, di manakah tempat religiusitas dalam dunia sekular? *** How to life? Pertanyaan ini mengantar kita untuk masuk dalam ranah pencarian filosofis akan kedirian dan eksistensi manusia. Salah satu filosof yang menguraikan tentang eksistensi manusia adalah Paul Recoeur. Pandangan filosofis mengenai eksistensi manusia dipondasikan pada pemahaman bahwa manusia memahami dirinya sendiri tidak secara langsung, tetapi melalui karya-karya dan pengalaman-pengalaman di mana manusia mengungkapkan aneka ekspresi tentang dirinya sendiri. Salah satu pengalaman itu adalah penderitaan. Penderitaan merupakan bagian (par excellence) dari kekurangan yang terdapat dalam diri manusia. How to life mau mengatakan sebuah pola konstruksi keseharian hidup manusia yang tidak luput dari pengalaman penderitaan. Bahwasannya, hidup ini tidak berjalan secara mekanik, yang teratur rapi dan kaku. Makna hidup bukan terletak pada konstruksi lahiriah. Bukan juga terletak pada apa yang tampak secara fisik atau yang artifisial. Pemaknaan hidup memiliki pondasi pada pengalaman keseharian. Dalam pengalaman keseharian itu, seperti dikatakan oleh David Tracy dalam bukunya Blessed Rage for Order-The New Pluralism in Theology, kita dituntut untuk „self-transcendence‟.4 Poin ini mengungkapkan sebuah komitmen radikal untuk berjuang melampaui seluruh kedirian seseorang dan juga pemahaman masyarakat agar dapat masuk dalam pengalaman itu sendiri. Menurut Charles Taylor, salah satu gejala yang muncul dalam dunia sekular adalah orang memaknai hidup lewat life style. Life style dalam dunia sekular tampil dalam aneka bentuk seperti, model pakaian yang menarik hati setiap insan, jenis musik, ekspresi pribadi yang cenderung vulgar. Fakta-fakta eksternal dunia sekular seperti itu merupakan kategori normatif yang dipakai oleh para konsumen dalam memahami diri atau mengerti diri. Harus diakui bahwa gaya hidup seperti ini merupakan produk ilmu pengetahuan dan teknologi. Ketika ilmu pengetahuan dan tekhnologi modern telah mengambil tempat yang duhulu ditempati oleh Gereja dan Agama, maka manusia berusaha menempatkan ilmu pengetahuan dan tekhnologi dalam pusat hidupnya.5 Yang transenden dijauhkan. Agama dilihat sebagai sesuatu yang asing. Bagaimana dengan Tuhan? Tuhan dilihat sebagai penghalang otonomitas manusia. Tuhan dipertanyakan dan bahkan ditolak. Dalam arti tertentu Tuhan tidak diperlukan lagi. Dengan kata lain, „Tuhan telah mati‟ seperti dikatakan oleh Nietzche. Lantas kita bertanya seperti St. Agustinus dalam uraian John D. Caputo, “Apa yang sebenarnya aku cintai, ketika aku mencintai Tuhanku?6 Agustinus mengatakan bahwa Cinta kasih saya dan anda kepada Tuhan merupakan tolak ukur dan satu-satunya tolak ukur cinta adalah cinta kasih tanpa tolak ukur.7 Keterpesonaan akan perkembangan sains dan teknologi yang berakhir pada peniscayaan terhadap ratio dan mereduksi realitas hidup religius membuat manusia memandang dan menghadirkan dunia dengan segala persoalannya sebagai realitas yang sederhana. Dari sini manusia mulai melihat segala realitas dan nilai-nilai yang terkandung dalam agama sebagai sesuatu yang absurd. Hal ini disebabkan oleh karena manusia menyadari sesuatu yang dijalankannya hanya sebatas rutinitas belaka atau 4 David Tracy, Blessed Rage for Order-The New Pluralism in Theology, San Francisco: Harper & Row, Publishers, 1817, hlm. 11. 5 Bdk. Pardoyo, Sekularisasi Dalam Polemik, Jakarta: Grafiti, 1993, hlm. 22. 6 John D. Caputo, Agama Cinta, Agama Masa Depan, Bandung: Mizan, 2003, hlm. 4. 7 Ibid., hlm. 7. 23 diukur dengan barometer cinta tertentu . Nilai-nilai atau aspek-aspek hidup religius dirasakan sebagai ritus yang bergerak, berputar bagaikan roda. Yang terjadi hari ini tidak berbeda dengan hari kemarin. Tidak ada sesuatu yang baru. Akar semuanya ini ialah karena manusia telah terkontaminasi oleh hal-hal yang mudah, menarik dan indah yang disuguhkan oleh dunia ini. Akibatnya, kehidupan religius dihayati dan dijalankan bak tarian sakratul maut. Jadi, life style akhirnya menjadi sebuah kebenaran budaya.8 *** Gaya hidup seperti itu muncul akhir abad ke-19, di mana setiap orang dengan caranya sendiri berusaha merealisasikan dirinya. Perealisasian diri melalui gaya hidup seperti itu dipandang sebagai sebuah cara untuk menemukan dan memaknai hidup dan dianggap sebagai sesuatu yang sangat penting. Dengan cara itu, seseorang bisa menyesuaikan diri dengan dunia di luar dirinya, misalnya, melalui masyarakat, generasi sebelumnya, kehidupan religius atau pun kekuatan politik. Jadi, keautentikan diri disempitkan pada kategori lahiriah. Menurut Charles Taylor, pemaknaan diri seperti itu juga berdampak pada hidup religius. Bahwasannya, ke-religiusitas-an direduksi pada „sesuatu‟ hal yang berasal dari societas. Charles Taylor mengatakan „do your own thing‟ and „be yourselves in the world of today‟.9 Ungkapan di atas sungguh-sungguh sarat akan makna. Dengan melakukan apa yang menjadi pergumulan hidup harian, maka seseorang akan menjadikan dirinya hari ini dan dunia saat ini menjadi bermakna. Dalam frasa „do your own thing‟, seseorang dituntut untuk menemukan dirinya sendiri, realisasi dirinya dan pembebasan atau pengosongan diri yang benar dan total. Jadi, pemaknaan diri atau menjadi diri sendiri bukanlah perkara hari esok, melainkan perkara saat ini dan di sini (Hic et Nunc). Demikian pula dengan hidup religius. Kekudusan atau kesempurnaan hidup tidak diperoleh ketika manusia beralih dari dunia ini dan mengalami persatuan dengan Allah atau dalam istilah Buddisme yakni satori (pencerahan) tetapi kekudusan dan kesempurnaan itu dicapai ketika manusia masuk dalam pengalaman emptiness. Pada poin inilah emptiness memiliki makna baru bahwa pergulatan hidup harian mengantar seseorang untuk menjadikan dunia saat ini sungguh-sungguh berarti dan bermakna. Sebagaimana yang sudah disinggung di atas bahwa life style adalah sebuah kebenaran budaya. Kebenaran budaya kontemporer tentu memiliki sejarah yang panjang. Kebenaran budaya diletakan di atas kontrol rasional dan pada saat yang sama kebenaran budaya itu dapat dikritik. Kritik tidak hanya dilontarkan terhadap kebenaran budaya, melainkan juga perealisasian diri manusia. Kita bisa menengok periode tahun 60-an. Banyak kritik yang dialamatkan kepada masyarakat pada periode sebelumnya. Masyarakat pada periode 50-an, dikecam karena tunduk pada normanorma sosial. Dengan patuh pada norma-norma sosial, maka karakter individu dan kreativitas pribadi akhirnya hancur. Dimensi perasaan dan spontanitas seakan-akan berjalan secara mekanik. Bertitik tolak dari hal itu, maka Paul Tillich mengatakan bahwa "kami berharap di antara kamu tidak ada yang patuh pada norma-norma sosial, demi kamu sendiri, bangsa, dan demi kemanusiaan”.10 Pernyataan Paul Tillich di atas merupakan sebuah bentuk kritikan terhadap penghayatan hidup atau pemaknaan hidup religius. Ke-religiusitas-an seseorang tidak 8 Charles Taylor, A Secular Age, Cambridge: The Belknap Press of Harvard University Press, 2007, hlm. 475. 9 Loc.Cit., 10 Ibid., hlm. 476. 24 terletak pada pemenuhan norma-norma sosial atau dogma atau hukum. Seperti dikatakan oleh Romo Armada Riyanto, bahwa „suatu ketakwaan kepada Tuhan tidak bisa sekedar direduksi pada pemenuhan delik-delik ketentuan hukum atau norma‟.11 Jikalau hidup hanya mengikuti apa yang sudah ditetapkan oleh norma atau hukum dalam masyarakat, maka hidup itu ibarat sebuah mesin yang berjalan secara mekanik. Sisi kreativitas dan indiviualitas direduksi pada norma sosial belaka. Contoh konkret seperti yang dibuat oleh David Brooks. David Brooks membuat sebuah sintesis antara kaum Borjuis dengan Bohemian.12 David Brooks melihat sisi lain dari kehidupan mereka, di mana mereka menolak hal yang paling penting yakni pengembangan pribadi dan perealisasian diri. Mereka memertahankan seksualitas dan sensualitas sebagai sesuatu yang baik dalam dirinya sendiri, tetapi di sisi lain, mereka tidak mengejar hal-hal yang penting demi memerbaiki diri. Dari contoh yang diangkat oleh David Brooks di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa makna emptiness tidak terletak pada kepenuhan atau fullness, melainkan pada keseimbangan nilai hidup yang dikejar. Emptiness yang memroduksi pengalaman keseharian, mengantar semua orang pada sebuah disposisi diri yang tidak hanya hidup di atas permukaan saja, melainkan juga masuk dalam kesadaran diri, inti diri yang paling dalam. Poin penting yang hendak dikatakan di sini adalah pengolahan diri. Emptiness menjadi berarti dan bermakna tatkala setiap orang mampu mengolah diri. Jikalau kita merujuk pada pengalaman keseharian manusia seperti penderitaan, kemiskinan, pengalaman getir, kejahatan, kehilangan segala-galanya karena musibah dan sejenisnya, maka pengalaman-pengalaman seperti ini tidak akan memiliki meaning apabila hanya berhenti pada pengalaman itu. Namun, ketika pengalaman itu disadari, lalu diolah, dicerna, direfleksikan dan kemudian dari kesadaran itu mencoba memberikan makna, maka sesungguhnya sense of emptiness membawa orang pada sebuah pencarian diri yang dalam untuk menemukan dirinya yang sesungguhnya, memerkaya secara emosional dan mendorong rasa percaya diri yang terus-menerus, sehingga akhirnya dapat membawa perubahan dan pertumbuhan hidup religius. Jadi, aktivitas keseharian membantu kita untuk bertumbuh dalam hidup religius. *** Dalam aktivitas kesehariannya, manusia dihadapkan pada sebuah pilihan dan emptiness memroduksi apa yang dinamakan dengan „choice‟ (pilihan). Kata „pilihan‟ di sini tidak memaksudkan sikap minimalis atau menggambarkan sikap penyerahan diri yang konyol pada fakta atau peristiwa yang sedang terjadi, melainkan terarah pada sebuah pergumulan pengalaman. Misalnya, seseorang menderita sakit berat divonis oleh dokter bahwa penyakitnya tidak akan disembuhkan dan ia pasti akan meninggal. Setelah si sakit mendengar pernyataan dokter seperti itu, dia tidak lantas berkata „ya, sudahlah. Saya menyerah saja. Kematian adalah pilihan terakhirku‟. Makna kata „memilih‟ tidak dalam arti seperti itu, melainkan dia masuk dalam pengalaman penderitaannya dan pada saat yang sama berkata „Aku memiliki Tuhan yang besar yang dapat mengubah semuanya ini‟. Memilih untuk bergumul dengan pengalaman penderitaannya itu merupakan sebuah pilihan yang „kosong‟. Hampir pasti semua orang tidak akan memilih yang namanya „kosong‟, karena „kosong‟ seringkali diidentikkan dengan tidak memiliki apa-apa, kesengsaraan, penderitaan dan sejenisnya. Namun, „kosong‟ mau mendeskripsikan sebuah kondisi yang bertentangan dengan fakta yang sebenarnya 11 12 E. Armada Riyanto, Berfilsafat Politik, Yogyakarta: Kanisius, 2011, hlm. 151. Bohemian: orang yang berkehidupan bebas, seperti seniman. 25 dihindari dan dijauhkan, tetapi fakta atau peristiwa itu justru dipeluk, digumuli, dibawa dalam kesadaran diri dan dirayakan setiap hari. Maka, ketika emptiness memroduksi sebuah pilihan (choice), maka emptiness membawa seseorang pada pemaknaan atas hidup. Emptiness akhirnya mengarahkan seseorang pada sebuah nilai hidup yang tinggi. Charles Taylor memberikan contoh mengenai „pilihan‟. Dalam dunia sekular, banyak orang menyerukan freedom, rights, respect, non-discrimination, dan sebagainya.13 Semuanya itu pasti didukung oleh setiap orang. Tentu saja, tak seorang pun yang tidak akan memilihnya, atau dibiarkan kosong. Akan tetapi, dalam praktik keseharian, orang belum sungguh-sungguh menghidupi semuanya itu sebagai sebuah nilai. Yang lebih fatal justru ketika mereka yang menyerukan kebebasan, keadilan, kesejahteraan bersama, tidak ada diskriminasi, malahan menyebarkan argumentasi yang menentang nilai-nilai hidup bersama. Mereka tidak memertimbangkan bagaimana dan di mana dapat mengaplikasikan semuanya itu. Jikalau kita melihat fenomena kehidupan religius sekarang, Gereja, Masjid, Wihara, Pura dan sebagainya, seringkali mengumbar kata-kata „ber-belaskasih-lah kepada sesama yang miskin, menderita. Kita harus ke Gereja hari Minggu, atau ke Masjid hari Jumat. Jadi, kualitas hidup religius seseorang hanya diukur dari seberapa banyak sumbangan yang diberikan kepada orang miskin, yang menderita, yang cacat atau seberapa sering dia menghadiri misa di Gereja pada hari Minggu, ikut kebaktian, ikut pertemuan pendalaman iman di lingkungan atau menjalankan solat Jumatan di Masjid. Namun, di sisi lain, mereka justru tidak menghidupi nilai-nilai keagamaan itu dalam keseharian. Sikap patuh dan takwa kepada Tuhan tidak dapat direduksi pada tindakan-tindakan yang artifisial atau hanya sekedar mematuhi delik-delik ketentuan hukum.14 Jadi, religiusitas harus menampilkan sense of emptiness. Taoisme Konsep dasar Taoisme ialah solidaritas alam dan manusia, yakni interaksi antara alam semesta dan masyarakat manusia.15 Apa itu Tao? Tao tidak dapat dijelaskan dengan medium bahasa, karena bahasa itu terbatas. Sebab, “Sang Tao yang dapat dibicarakan bukan Sang Tao abadi. Nama yang dapat dipahami bukan Nama abadi”. 16 Tao tidak cukup dibingkai dalam bahasa. Bahasa tidak sepenuhnya mewakili Tao. Bahasa manusia sangat terbatas pada ruang dan waktu. Namun, bagaimanapun juga kita tetap mendefinisikan Tao. Tao artinya jalan atau lorong, saluran, doktrin, atau garis.17 Inilah arti umum dari Tao. Dalam Taoisme, Tao berarti sumber dan prinsip berfungsinya apa saja yang ada.18 Taoisme pada mulanya merupakan suatu jawaban terhadap kondisi kemerosotan sosial zaman.19 Kemerosotan sosial yang dimaksud sangat berkaitan erat dengan pengalaman kemiskinan, kelaparan, ketamakan, gila harta dan sebagainya. Dalam pengalaman-pengalaman seperti itu, Lao Tze yang hidup sezaman Konghucu, mencoba menghadirkan kembali usaha konstruksi untuk memelihara dan membuat hidup manusia menjadi luhur dan agung.20 Usaha untuk memelihara dan membuat hidup manusia menjadi luhur dan agung adalah dengan mengikuti Tao. Di hadapan 13 Charles Taylor, Op. Cit., hlm. 479. Bdk. E. Armada Riyanto, Loc. Cit. 15 Lao Tze, Tao Te Ching-81 Filsafat Hidup Tao, Yogyakarta: New Diglossia, 2010, hlm. 22. 16 Ibid.,, hlm. 53. 17 Budi Kusumohamidjojo, Sejarah Filsafat Tiongkok, Yogyakarta: Jalasutra, 2010, hlm. 146-147. 18 John M. Koller, Filsafat Asia, Donatus Sermada (Penterj.,), Maumere: Ledalero, 2010, hlm. 572. 19 Ibid., hlm. 569. 20 Ibid., hlm. 572. 14 26 pengalaman-pengalaman seperti itu, setiap orang diajak untuk mengikuti gerakan Tao dan berpedoman pada Tao. Dengan mengikuti dan berpedoman pada Tao, manusia akan mencapai kepenuhan hidup. Jadi, keluhuran dan keagungan hidup manusia bukan terletak pada penumpukan benda-benda material atau aktivitas membaca Kitab suci yang membawa ketenangan batin, melainkan ketika manusia tetap bergembiran, dan mengalami pembebasan dari pengalaman emptiness. Dalam konteks inilah, Tao juga berarti jalan. 21 ‟Jalan‟ merupakan sumber kepercayaan dan pemahaman manusia akan dirinya. Tao-lah yang menuntun orang untuk semakin mengenali dirinya. Semakin orang mengenali dirinya, ia semakin memahami nilai hidup yang terdalam. Dan semakin orang memahami nilai hidup terdalam, maka ia semakin memaknai setiap pergumulan dan pengalaman kesehariannya. Sebab, kalau kedalaman diri saja tidak dapat dipahami, maka mana mungkin hal lain bisa dipahami. Dalam konteks inilah kita dapat mengatakan bahwa makna emptiness dicapai ketika seseorang mengikuti Tao. Dan hanya melalui hidup yang selaras dengan Tao, orang dapat menghayati satu hidup yang memuaskan dan mengalami kepenuhan hidup.22 Lebih lanjut, Tao itu kosong.23 Artinya, Tao tidak memiliki karakter dalam dirinya. Lalu pertanyaanya ialah apakah karakter dari Tao? Tao merupakan sumber utama dan kondisi dari semua karakter. Inilah prinsip absolut pertama dari eksistensi dari Tao. Dalam arti inilah Tao adalah non-being (nir-ada).24 Tao sumber dari partikularitas, tetapi ia kosong dari partikularitas. Kekosongan sebagai sesuatu yang berguna dalam Tao. Dengan mengatakan kekosongan sebagai sesuatu yang berguna dalam Tao, kekosongan ini mau mendeskripsikan lokalitas Tao yang justru memiliki isi muatan yang tak terbatas dalam dirinya. Dengan demikian, kekosongan dalam Tao, tidak berarti kekosongan fisikal, tak memiliki sesuatu, hampa, dan sebagainya. Kekosongan (emptiness) dalam Tao memiliki arti kepenuhan, tak habis dilekang waktu dan usia. Dalam Taoisme kita juga mengenal apa yang dinamakan proses gerak balik sebagai gerakan Tao. Analogi sederhana untuk memahami pernyataan ini kita bisa menggunakan analogi udara. Ketika suasana atau suhu udara sangat panas, panas ini pasti akan berlalu. Suasana atau kondisi pasti akan berubah dari yang panas menjadi dingin, demikian pun sebaliknya. Tidak ada yang bersifat kekal. Gerak balik ini pun bisa diaplikasikan dalam konteks pola hidup manusia. Misalnya, sikap orang yang sombong dan congkak. Kesombongan dan kecongkakan pasti akan berubah dan yang menyusul adalah sikap rendah hati. Dari contoh di atas, yang hendak dikatakan dalam kaitan dengan pemaknaan mengenai sense of emptiness adalah bahwa ketika orang mengalami yang namanya penderitaan orang harus bersukacita dan bergembira, orang harus merayakan pengalaman itu dengan keceriaan sebagai bagian dari dirinya atau bagian dari kesehariaanya. Ini merupakan pergulatan dan pergumulan manusia yang tidak gampang. Sisi kehidupan yang paradoks, tetapi pada saat yang sama orang memaknainya sebagai sebuah pergumulan iman atau hidup religius. Jadi, dengan mengenal Tao yang menjadi satu dengan dunia berdebu berarti memahami bahwa Tao tidak bersifat transenden, tetapi imanen.25 21 To Thi Anh, Nilai Budaya Timur dan Barat- Konflik atau harmoni? Jakarta: Gramedia, 1985, hlm. 12. 22 John M. Koller, ibid., hlm. 572. 23 Ibid., hlm. 581. 24 Ibid., hlm. 577. 25 Ibid., hlm. 583. 27 Titik Temu Gagasan filosofis Charles Taylor mengenai sense of emptiness, kedengarannya seperti nihilisme atau satu penyangkalan total terhadap realitas dan arti dari realitas itu sendiri. Akan tetapi, emptiness bukanlah sebuah penyangkalan terhadap realitas. Justru sebaliknya, emptiness memroduksi pengalaman keseharian manusia. Pengalaman keseharian yang sama sekali tak dapat dimanipulasi oleh apa pun. Kesadaran akan realitas itu adalah manusia itu sendiri. Oleh karena itu, „isi‟ yang terkandung dalam pengalaman religius dan apa yang sering kita sebut sebagai pengalaman religius itu sendiri tidak lain adalah manusia itu sendiri. Manusia yang masuk dalam kesadarannya akan pengalaman yang melingkupinya. Manusia itu sendiri sebagai subjek dari pengalaman. Pandangan ini mau melawan konsep yang berkembang dalam dunia sekular yang beranggapan bahwa ketika manusia mengalami emptiness, maka kesadaran religius dan pengalaman ketergantungan manusia kepada Allah itu semata-mata proyeksi manusia. Jadi, sense of emptiness mau meruntuhkan konsep dunia sekular yang mengatakan bahwa “everything is matter, that God cannot exist”.26 Frasa “Everything is matter, that God cannot exist” merupakan sebuah penyangkalan terhadap eksistensi Allah. Eksistensi Allah di hadapan peradaban agung manusia selalu melahirkan konflik yang berkecamuk pada diri individu-individu yang menghidupinya. Ketika manusia dalam dunia modern selalu mengagung-agungkan rasionalitas sebagai tolok ukur dari segala sesuatu, sesungguhnya manusia tidak menampilkan dirinya secara bebas. Ia terbelenggu dalam rasionalitasnya. Hidup religius sungguh-sungguh dipolitisir oleh ratio yang dari waktu kewaktu selalu melahirkan ide-ide kreatif. Dengan meletakan segala sesuatu pada rationalitas, maka implikasinya, manusia tidak mau dibelenggu oleh agama, pola pemikiran religius dan bahkan oleh Tuhan. Kritik seperti ini, kita tahu dengan baik datangnya dari filsuf Feuerbach, Nietzche dan Sartre. Nietzche mengatakan bahwa manusia yang bebas dan berdaulat atas dirinya adalah manusia „super‟.27 Gagasan Nietzche tentang manusia super, tampaknya sudah merasuki pandangan atau konsep manusia dewasa ini mengenai hidup religius. Hidup religius sekarang bagi sebagian masyarakat modern telah kehilangan semangat komunalnya karena manusia selalu merationalisasikannya. Manakala manusia selalu mengedepankan rationya, maka penghayatan hidup religius menjadi sangat pribadi dan individualistik. Ketika penghayatan hidup religius menjadi pribadi dan bersifat individualistik, maka konsesi aksesif kearifan nilai-nilai religiusitas ditafsirkan secara subjektif. Ketika, dunia sekular menolak keberadaan Tuhan, Tao justru sebaliknya. Dalam Sang Taoisme, Tao itu imanen dan bukan transenden. Dalam artian bahwa Tao ada bersama manusia melalui interaksinya dengan alam semesta. Jikalau dikaitkan dengan hidup religius, makna hidup religius bukan sebuah teori yang mengawangawang, yang jauh di sana, melainkan yang hadir dalam pengalaman keseharian manusia. Jadi, ke-religius-an kita bukan terletak pada pengalaman puncak, pengalaman kepenuhan, tidak memiliki kekurangan apa pun, melainkan ketika hidup religius dimaknai dalam pengalaman emptiness. Pemenuhan diri melalui benda-benda, atau barang-barang material yang selalu diagung-agungkan oleh manusia dalam dunia sekular bukanlah sebuah kepenuhan diri yang sejati, kata Charles Taylor. Semuanya itu hanya mengelabui kita dan membawa kita pada ketamakan. Salah satu kritikan terhadap pandangan dunia sekular 26 Charles Taylor, Op. Cit., hlm. 602. Donatus Sermada, Pengantar Ilmu Perbandingan Agama, Malang: Pusat Publikasi Filsafat Teologi Widya Sasana, 2011, hlm. 100. 27 28 adalah soal pemahaman mengenai kepenuhan hidup yang sejati. Kepenuhan hidup yang sejati tidak disempitkan pada barang atau benda-benda material, melainkan ketika seseorang mampu mentransendensikan pengalaman kesehariannya dan inilah yang menjadi tujuan hidup kita.28 Jikalau kepenuhan hidup hanya dipondasikan pada benda-benda atau barang, maka emptiness sebagai sebuah proses lahirnya eksistensi manusia yakni sebagai manusia religius akhirnya tidak memiliki meaning. Lalu, bagaimana dengan Taoisme? Kritik di atas, sejalan dengan konsep dalam ajaran Taoisme tentang keluhuran dan keagungan hidup manusia. Bahwasanya, keluhuran dan keagungan hidup manusia bukan terletak pada penumpukan bendabenda material, melainkan ketika manusia memaknai pengalaman kehampaan atau kekosongan, misalnya pengalaman kemiskinan, kehinaan, derita, sakit dan sebagainya. Pada poin inilah Tao sebagai „Jalan‟, menjadi petunjuk, pedoman dan tuntunan bagi manusia dalam mencapai keluhuran dan keagungan hidup, atau dalam bahasa Charles Taylor untuk mencapai kepenuhan hidup yang sejati atau kekudusan. Oleh karena itu, Charles Taylor mengatakan bahwa “kita harus mengorbankan barang-barang atau benda-benda, sebab yang jauh lebih bermakna adalah persahabatan yang sungguh-sungguh real dengan persoalan atau masalah serta usahausaha untuk menikmati gaya hidup yang benar-benar alami; sebab semuanya itu tidak akan berakhir; itu tidak akan dipenuhi oleh apapun sepanjang hidup.”29 Senada dengan itu, Han Yu beragumentasi bahwa Tao (Jalan) hidup adalah mengasihi manusia dan memerhatikan relasi yang pantas antara manusia.30 *** Dalam dunia sekular, apakah religiusitas masih dominan? Pertanyaan ini menghantar kita pada kenyataan bahwa religiusitas dihadapkan pada sebuah tantangan besar dalam dunia sekular. Sepak terjang dunia sekular sungguh-sungguh menghantam dimensi hidup religius. Berbagai hal yang menarik yang ditawarkan oleh dunia sekular seakan-akan menggiring manusia untuk terjun ke sana. Penemuan dan pencapaian yang mutakhir dalam ilmu pengetahuan dan tekhnologi, bukan tidak mungkin akan menggerogoti aspek religiusitas. Religiusitas akan masih dominan dalam dunia sekular, sejauh manusia memposisikan dirinya dalam kesadaran yang utuh akan pemaknaan hidup sejati. Itu berarti hidup tidak sekedar ikut arus zaman, tetapi lebih dari itu yakni bagaimana manusia memaknai dan menemukan nilai hidup religius dalam pengalaman emptiness. Kedua, di manakah tempat religiusitas dalam dunia sekular? Tempat religiusitas dalam dunia sekular berada pada medan pemaknaan pengalaman keseharian. Dalam pengalaman keseharian itulah, religiusitas mesti menampilkan sense of emptiness. Oleh karenanya, religiusitas pertama-tama bukanlah sebuah lokalitas, juga tidak tunduk pada norma-norma atau hukum, melainkan pada kekosongan. Pernyataan ini jelas bertentangan dengan konsep dunia sekular yang menempatkan kepenuhan diri yang sejati pada benda-benda atau barang-barang yang tampak secara artifisial. Senada dengan itu, identitas kekosongan Tao mengungkapkan keadaannya sebagai sesuatu yang absolut dan tidak tunduk pada delik-delik ketentuan yang sifatnya lahiriah. 28 Bdk. Charles Taylor, Op. Cit., hlm. 601. Loc. Cit., 30 John M. Koller, Op. Cit., hlm. 608. 29 29 DAFTAR PUSTAKA Anh, To Thi. Nilai Budaya Timur dan Barat- Konflik atau harmoni? Jakarta: Gramedia. 1985. Caputo, John D.. Agama Cinta, Agama Masa Depan, Bandung: Mizan. 2003. Kusumohamidjojo, Budi. Sejarah Filsafat Tiongkok. Yogyakarta: Jalasutra. 2010. Grolier International, dalam The Encyclopedia Americana vol. 24, 1980. Koller, John M. Filsafat Asia, Donatus Sermada (Penterj.,). Maumere: Ledalero. 2010. Kleden, Paul Budi dan Adrianus Sunarko, (ed.,). Dialektika Sekularisasi-Diskusi HABERMAS-RATZINGER dan Tanggapan. Maumere: Ledalero. 2010. Pardoyo. Sekularisasi Dalam Polemik. Jakarta: Grafiti. 1993. Riyanto, E. Armada. Berfilsafat Politik. Yogyakarta: Kanisius. 2011. Sudiarja, A. Agama (di Zaman) Yang Berubah. Yogyakarta: Kanisius. 2006. Sermada, Donatus. Pengantar Ilmu Perbandingan Agama. Malang: Pusat Publikasi Filsafat Teologi Widya. 2011. Tracy, David. Blessed Rage for Order-The New Pluralism in Theology. San Francisco: Harper & Row, Publishers. 1817. Taylor, Charles. A Secular Age. Cambridge: The Belknap Press of Harvard University Press. 2007. Tze, Lao. Tao Te Ching-81 Filsafat Hidup Tao. Yogyakarta: New Diglossia. 2010. Yu-Lan, Fung. Sejarah Filsafat Cina. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007. Fabianus Selatang Mahasiswa STFT Pasca Sarjana Semester III 30