Pengaruh Suku Bunga Deposito Dan Inflasi

advertisement
PENGARUH SUKU BUNGA DEPOSITO DAN INFLASI
TERHADAP JUMLAH DEPOSITO BERJANGKA
PADA BANK UMUM DI INDONESIA TAHUN 2004 - 2010
OLEH :
WAHYU PURNAMAHADI
H14114019
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
PENGARUH SUKU BUNGA DEPOSITO DAN INFLASI
TERHADAP JUMLAH DEPOSITO BERJANGKA
PADA BANK UMUM DI INDONESIA TAHUN 2004 - 2010
OLEH :
WAHYU PURNAMAHADI
H14114019
Skripsi
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ekonomi
pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
ii
RINGKASAN
WAHYU PURNAMAHADI. Pengaruh Suku Bunga Deposito dan Inflasi Terhadap
Jumlah Deposito Berjangka pada Bank Umum di Indonesia Tahun 2004-2010
(dibimbing oleh YETI LIS PURNAMADEWI)
Tabungan dan investasi memiliki peran yang penting dalam mendorong
pertumbuhan ekonomi. Salah satu bentuk tabungan sekaligus investasi yang banyak
diminati masyarakat adalah tabungan deposito. Inflasi merupakan salah satu faktor
penghambat penting tumbuhnya minat masyarakat terhadap tabungan deposito
berjangka, sedangkan suku bunga merupakan salah satu faktor pendorong tumbuhnya
deposito berjangka. Dalam skema kebijakan Inflation Targeting, kenaikan inflasi
biasanya langsung disikapi oleh pemerintah dengan kebijakan pengetatan moneter
melalui peningkatan suku bunga BI Rate. Dengan kebijakan ini diharapkan akan
direspon oleh dunia perbankan dengan menyesuaikan suku bunga bank, seperti suku
bunga kredit, tabungan, dan deposito. Namun seringkali terdapat kesenjangan antara
respon perbankan dengan harapan pemerintah. Hal ini disebabkan oleh perbedaan
pandangan antara pemerintah dan dunia perbankan dalam menyikapi fenomena inflasi
dan pengaruhnya terhadap akumulasi modal yang tersimpan dalam bentuk tabungan dan
deposito. Untuk itu dibutuhkan suatu penelitian yang komprehensif berdasarkan data
empiris yang ada mengenai seberapa besar pengaruh inflasi dan suku bunga deposito
terhadap perkembangan jumlah deposito berjangka.
Penelitian ini bertujuan menganalisis perkembangan deposito serta pengaruh
suku bunga deposito dan inflasi terhadap jumlah deposito yang terhimpun, periode
Januari 2004 sampai Desember 2010. Metode analisis yang digunakan adalah analisis
deskriptif dan model Generalized AutoRegressive Conditional Heteroscedasticity
(GARCH). Metode ini tidak memandang heteroskedastisitas sebagai suatu masalah,
tetapi justru memanfaatkan kondisi tersebut untuk membuat model, bahkan dengan
memanfaatkan heteroskedastisitas dalam error yang tepat, maka akan diperoleh estimator
yang lebih efisien.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah deposito berjangka cenderung
mengalami kenaikan. Pada bulan Januari 2004 tercatat sebesar 426,42 triliun rupiah,
kemudian berfluktuasi tetapi cenderung naik hingga pada bulan Desember 2010
jumlah deposito berada pada nilai 1.069,81 triliun rupiah. Jumlah deposito secara
signifikan dipengaruhi oleh inflasi dan suku bunga deposito, baik secara simultan
maupun parsial. Model yang terbentuk dari metode GARCH (1,1) menunjukkan bahwa
inflasi berpengaruh negatif terhadap deposito sedangkan suku bunga deposito
berpengaruh positif. Nilai koefisien inflasi sebesar -0,342, menunjukkan pengaruh yang
relatif kecil sebagai faktor pengurang bagi tumbuhnya deposito. Sedangkan suku bunga
deposito memiliki koefisien 13,793, yang artinya kenaikan suku bunga deposito akan
direspon oleh masyarakat dengan meningkatkan simpanan depositonya dalam jumlah yang
cukup berarti.Variabel inflasi dan suku bunga deposito mampu menjelaskan 31,25
persen atas perubahan dalam jumlah deposito yang terhimpun.
Kecilnya pengaruh variabel inflasi dan suku bunga deposito tersebut
disebabkan banyak faktor-faktor lain yang mempengaruhi keputusan masyarakat
dalam berinvestasi dalam bentuk deposito, seperti situasi keamanan dan politik dalam
negeri, kredibilitas sektor perbankan, situasi perekonomian internasional, dan lain
iii
sebagainya. Nilai R2 pada penelitian ini sejalan dengan hasil yang diperoleh pada
penelitian sebelumnya yang hanya menghasilkan nilai R2 yang juga relatif kecil. Tuti
(2006), menghasilkan nilai R2 sebesar 33,15 persen, sedangkan penelitian yang dilakukan
oleh Setyaningsih (1999) menghasilkan nilai R2 sebesar 36,33 persen. Dalam rangka
meningkatkan minat masyarakat untuk berinvestasi dalam bentuk deposito,
pemerintah dalam hal ini otoritas moneter, diharapkan lebih jeli menangkap
keinginan pasar, terutama dalam hal penetapan BI rate.
iv
Judul Skripsi : PENGARUH SUKU BUNGA DEPOSITO DAN INFLASI
TERHADAP JUMLAH DEPOSITO BERJANGKA PADA BANK
UMUM DI INDONESIA TAHUN 2004 - 2010
Nama
: Wahyu Purnamahadi
NIM
: H14114019
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Dr. Yeti Lis Purnamadewi, MSc
NIP. 19641018 199103 2 002
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Dedi Budiman Hakim, Ph.D
NIP. 19641022 198903 1 003
Tanggal Kelulusan :
v
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENARBENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA TULIS ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI
ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, November 2011
Wahyu Purnamahadi
H14114019
vi
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Wahyu Purnamahadi lahir di Jakarta pada tanggal 18 Mei 1980.
Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara dari Bapak Uha Wiria Atmadja
dan Ibu Kartini. Penulis menamatkan sekolah dasar pada SD Negeri Duren 7 Bekasi
Timur pada tahun 1991, kemudian melanjutkan ke SMP PGRI 1 Bekasi dan lulus pada
tahun 1994. Kemudian melanjutkan ke SMU Negeri 3 Bekasi dan tamat pada tahun
1997.
Setelah tamat SMU, pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di
Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta, program Diploma IV dan tamat pada
tahun 2001 dengan gelar Sarjana Sains Terapan (S.ST). Selama menempuh pendidikan
di STIS Jakarta penulis mengambil konsentrasi Statistika Ekonomi. Setelah lulus dari
STIS Tahun 2001, penulis langsung ditugaskan di BPS Kabupaten Bolaang
Mongondow, Propinsi Sulawesi Utara. Pada tahun 2010 penulis pindah tugas ke BPS
Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat.
Pada tahun 2011, penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan pendidikan
pada jenjang S-2 di Institut Pertanian Bogor. Saat ini sedang menjalani program Alih
Jenis S1 Ilmu Ekonomi sebagai persyaratan untuk melanjutkan studi di Sekolah
Pascasarjana Mayor Eknomi di Instuitut Pertanian Bogor.
vii
KATA PENGANTAR
Puja dan puji syukur yang tiada henti hanya terlimpah-curah kehadirat Allah Azza
wa Jalla atas segala rahmat, karunia dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Pengaruh Suku Bunga Deposito
dan Inflasi Terhadap Jumlah Deposito Berjangka Pada Bank Umum di Indonesia
Tahun 2004-2010” ini dengan baik. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Fakultas Ekonomi dan
Manajemen Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak yang
telah membantu penyelesaian penyusunan skripsi ini. Akhirnya, penulis berharap
semoga skripsi ini bermanfaat.
Bogor, November 2011
Wahyu Purnamahadi
H14114019
viii
UCAPAN TERIMA KASIH
Puja dan puji syukur yang tiada henti hanya terlimpah-curah kehadirat Allah SWT
atas segala rahmat, karunia dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan dan penulisan skripsi ini. Penulis berkewajiban mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan moral-spritual dan material
kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, khususnya kepada:
1.
Yohhanes Bambang Kristianto, M.A, sebagai Kepala Pusdiklat BPS beserta staf
dan jajarannya yang telah memberikan kepercayaan kepada penulis guna
melanjutkan studi ke IPB.
2.
Drs. Lukman Ismail, MA, sebagai Kepala BPS Propinsi Jawa Barat beserta staf
dan jajarannya yang telah memberikan dukungan yang sangat berharga kepada
penulis melanjutkan studi ke IPB.
3.
Dr. Yeti Lis Purnamadewi, M.Si, dosen manajemen Sekolah Paska Sarjana Ilmu
Ekonomi IPB yang juga bertindak sebagai dosen pembimbing, atas kesediaan dan
kesabaran dalam berdiskusi dan memberikan arahan penulis menyusun skripsi ini.
4.
Kedua orang tuaku tercinta yang selalu mendo’akan untuk kebaikan penulis dan
anak-cucunya. Restumu adalah kunci surga bagiku.
5.
Yang penuh kesabaran, ketabahan dan kesetiaan selalu memberi motivasi dan
menyemangatiku, Desi Nuraini Sitorus istriku tercinta, Belqis Salshabila
Purnamahadi buah hatiku, semoga Allah SWT senantiasa melindungi kalian.
Bersama kalian hidupku semakin berarti.
6.
Seluruh dosen program alih jenis S1 yang telah menyampaikan berbagai masukan
dan materi berharga selama proses perkuliahan dan penulisan skripsi ini.
7.
Seluruh rekan seperjuangan kelas BPS Batch IV, atas motivasi, kritik dan saran,
ide, gagasan, serta kebersamaan dalam penulisan skripsi ini.
ix
DAFTAR ISI
I.
DAFTAR TABEL………………………………………….…………..
xii
DAFTAR GAMBAR……………………………………….………….
xiii
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………..
xiv
PENDAHULUAN ………………………………………..……………
1
……….………………………………………..
1
……………………………………………..
5
………………………………………………..
7
………………………….………………….
7
1.5 Ruang Lingkup Penelitian ………………………………………..
8
……………………………………………..
10
…………………….………….………………..
10
2.1.1 Teori Tabungan dan Investasi Menurut Aliran Klasik …...
10
2.1.2 Teori Tabungan dan Investasi Menurut Aliran Keynes ......
13
2.1.3 Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Bunga
...………….
16
……………………. ……………………..
18
……………………………..……
23
2.3 Pengertian Deposito
…………..……………………………….
25
2.4 Penelitian Terdahulu
…………………………………………….
26
2.5 Kerangka Pemikiran
……………………………………………
30
………………………………………………………..
32
………………………………………
33
1.1 Latar Belakang
1.2 Perumusan Masalah
1.3 Tujuan Penelitian
1.4 Manfaat Penelitian
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Teori
2.1.4 Teori Inflasi
2.2 Pengertian dan Fungsi Bank
2.6 Hipotesis
III. METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Sumber Data ……..………………………………………. 33
3.2 Metode Analisis …………………………………………………
33
………………………………………..
33
3.2.2 Model AutoRegressive Conditional Heteroscedasticity
(ARCH) dan Genealized AutoRegressive Conditional
Heteroscedasticity (GARCH)
……………………………
34
……….
36
3.2.2.2 Kelebihan dan Keterbatasan Model ARCH-GARCH
37
3.2.1 Analisis Deskriptif
3.2.2.1 Prosedur Estimasi Model ARCH-GARCH
x
……………………..
38
……………………………….
39
3.2.3 Uji Akar-akar Unit (Unit Root Test)
3.2.4 Pengujian Asumsi Klasik
3.2.4.1 Normalitas ………………………………………….…. 39
…………………………
40
3.2.4.3 Homoskedastisitas
…………………………….
41
3.2.4.4 Nonotokorelasi
……………………………
42
……………………….
43
3.2.4.2 Non Multikolinieritas
3.2.5 Pengujian Kelayakan Model
2
3.2.5.1 Pengujian Koefesien Determinasi (R )
……..….
43
3.2.5.2 Pengujian Koefesien Regresi Simutan
…………
44
……………
44
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ……………………………………….
46
4.1 Analisis Perkembangan Jumlah Deposito Berjangka, Suku Bunga
Deposito dan Inflasi
………………………………………….
46
……………....
46
4.1.2 Perkembangan Suku Bunga Deposito Satu Bulan ……….…
50
………………………..……………
52
4.2 Pengaruh Suku Bunga Deposito dan Inflasi Terhadap Jumlah
Deposito Berjangka
…………………………………………
54
3.2.5.3 Pengujian Koefesien Regresi Parsial
4.1.1 Perkembangan Jumlah Deposito Berjangka
4.1.3 Perkembangan Inflasi
4.2.1 Pengujian Model
…………………………………
54
………………………….
54
4.2.1.1 Pengujian Asumsi Klasik
……………………… 57
4.2.2 Hasil Estimasi Pengaruh Suku Bunga Deposito dan Inflasi
Terhadap Jumlah Deposito Berjangka
………………….. 58
V. KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………………. 61
4.2.1.2 Pengujian Kelayakan Model
5.1 Kesimpulan …………………………………………………………
61
5.2 Saran… ……………………………………………………………..
62
………………………………………………….
63
……………………………………………………………
65
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xi
DAFTAR TABEL
Nomor
Hal
4.1
Koefisien Korelasi Antara Variabel Bebas ...........................................
55
4.2
White Heteroscedasticity Test ...............................................................
56
4.3
Tabel Output GARCH (1,1)
58
................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Hal
1.
Perkembangan Dana Pihak Ketiga pada Bank Umum di
Indonesia Tahun 2004-2010…………………………………………………
4
2.
Kurva Investasi dan Tabungan .......………………………………… 12
3.
Kerangka Pemikiran
4.
Perkembangan Jumlah Deposito Berjangka di Indonesia
Tahun 2004 ......……….................................................................... 46
5.
Perkembangan Jumlah Deposito Berjangka di Indonesia
Tahun 2005-2006 ...……..................................................................... 48
6.
Perkembangan Jumlah Deposito Berjangka di Indonesia
Tahun 2007-2008
...…….............................................................. 49
7.
Perkembangan Suku Bunga Deposito di Indonesia
Tahun 2004-2010 ................................................................................ 51
8.
Perkembangan Inflasi di Indonesia Tahun 2004-2010............................................
53
……………………………………………… 31
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
1.
Hal
Jumlah Deposito, Suku Bunga Deposito, dan Inflasi
di Indonesia Tahun 2004 – 2010 ………………………………
69
71
……………………………………..............
2.
Uji Akar Unit pada Level
3.
Uji Akar Unit pada Pembeda ke-1
4.
77
Pengujian OLS dan Heteroskedastisitas ..................................................
5.
78
Pengujian Efek GARCH ............................................................................
6.
79
Model Estimasi GARCH (1,1) ............………………………………….
7.
Korelogram
8.
81
Pemeriksaan Normalitas dan Multikolinieritas ...……………....………
9.
82
Grafik Data Empiris dan Model Estimasi ................................................
74
…………………………..……..
80
.............................................................................................
xiv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembangunan ekonomi membutuhkan modal dasar sebagai alat untuk
menggerakkan perekonomian. Modal dasar pembangunan dapat berupa kekayaan
alam, sumberdaya manusia, teknologi, dan lain sebagainya. Diantara modal
pembangunan tersebut, faktor yang tidak kalah pentingnya adalah kemampuan
finansial suatu bangsa untuk membiayai proses pembangunannya dalam bentuk
investasi.
Proses pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi mutlak
membutuhkan investasi. Tingkat investasi bahkan acapkali dijadikan tolok ukur
dalam memprediksi tingkat pertumbuhan ekonomi yang akan dicapai. Semakin
besar investasi, semakin besar pula pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan dan
pada akhirnya akan mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Dalam model pertumbuhan Solow, dikatakan bahwa tingkat investasi sama
dengan tingkat tabungan. Sedangkan tingkat tabungan merupakan bagian
pendapatan yang tidak dibelanjakan. Semakin tinggi pendapatan, semakin besar
pula kemungkinan seseorang untuk menabung. Semakin banyak tabungan
masyarakat yang terkumpul, akumulasi modal semakin besar sehingga semakin
banyak investasi yang dapat dilaksanakan. Oleh karenanya, tingkat tabungan
sangat menentukan kemajuan suatu bangsa.
2
Indonesia
sebagai
negara
berkembang
masih
memiliki
tingkat
kesejahteraan penduduk yang relatif rendah. Oleh karena itu kebutuhan akan
pembangunan nasional sangatlah diperlukan untuk mengejar ketertinggalan
dibidang ekonomi dari negara-negara industri maju. Masih lemahnya kemampuan
partisipasi swasta dalam pembangunan ekonomi, mengharuskan pemerintah untuk
mengambil peran sebagai motor penggerak pembangunan ekonomi.
Menurut Mckinnon dan Shaw (1973), elemen terpenting dalam
pembangunan ekonomi adalah liberalisasi pasar keuangan. Dengan adanya
liberalisasi sektor keuangan akan menghilangkan distorsi yang terjadi di pasar
uang dan meningkatkan kemampuan sistem keuangan. Sistem keuangan yang
maju akan memperlancar pertumbuhan ekonomi. Untuk itu kebijakan pemerintah
haruslah secara langsung mendorong pertumbuhan sistem keuangan (Kuncoro,
1993).
Di banyak negara berkembang, sektor keuangan belum menunjukkan
kinerja yang optimal. Optimalisasi lembaga-lembaga keuangan diukur melalui
rasio antara jumlah kekayaan yang dinyatakan dengan uang (financial assets)
dengan Produk Domestik Bruto (Nasution, 1991). Bila rasio penggunaan uang
dalam suatu negara tinggi menunjukkan semakin besar serta semakin luas
kegiatan lembaga-lembaga keuangan maupun pasar uang. Hal tersebut juga
tercermin dari semakin beragamnya produk keuangan yang dihasilkan dan
digunakan dalam masyarakat.
Lembaga perbankan mempunyai peranan yang penting, bukan hanya
sebagai perantara finansial tetapi juga sebagai pihak yang membatasi, menilai dan
3
mendistribusikan resiko yang berkaitan dengan berbagai kegiatan finansial. Pada
mekanisme pasar, peranan ini memungkinkan terjadinya keseimbangan antara
keuntungan yang diperoleh dengan resiko yang dihadapi.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, “Bank adalah badan
usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk
lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup orang banyak. Definisi tersebut
menjelaskan salah satu fungsi bank sebagai financial intermediery.
Modal pembangunan yang berasal dari dalam negeri biasanya dihimpun
dari dana masyarakat dalam bentuk tabungan dan investasi. Lembaga perbankan
merupakan lembaga yang mempunyai potensi untuk menghimpun dana
masyarakat. Dana yang dihimpun dari masyarakat disebut dana pihak ketiga, yang
terdiri atas tabungan, giro, dan deposito. Setelah dikeluarkannya kebijakan
deregulasi sektor perbankan, banyak bank berdiri dan diberikan kebebasan dalam
menetapkan suku bunga deposito, bunga pinjaman, dan pengelolaan lainnya. Hal
tersebut mendorong pesatnya pertumbuhan dana pihak ketiga yang terhimpun dari
masyarakat.
Dilihat dari perkembangannya, dana pihak ketiga mengalami peningkatan
yang cukup berarti, khususnya dalam waktu tujuh tahun terakhir, seiring dengan
tumbuhnya perekonomian. Pada januari 2004 dana pihak ketiga yang terhimpun
sebesar 886,459 triliun rupiah, dan meningkat menjadi 2.338,824 triliun rupiah
pada desember tahun 2010. Artinya, dalam periode tersebut terjadi kenaikan
sebesar 163,84 persen.
4
DPK (Triliun Rupiah)
2500
2000
1500
Tabungan
Giro
1000
Deposito
500
Periode
0
Des'04
Des'05
Des'06
Des'07
Des'08
Des'09
Des'10
Sumber : Bank Indonesia (2011)
Gambar 1. Perkembangan Dana Pihak Ketiga pada Bank Umum di Indonesia Tahun 2004-2010
Dari jumlah dana pihak ketiga yang terkumpul, hampir separuhnya berasal
dari deposito, sedangkan sisanya bersumber dari tabungan dan giro. Deposito
merupakan simpanan yang pencairannya hanya dapat dilakukan pada jangka
waktu tertentu berdasarkan perjanjian nasabah dengan bank. Dilihat dari
komposisinya, dana pihak ketiga bank umum yang terhimpun pada desember
2010, terdiri dari deposito 45,74 persen, tabungan 31,35 persen, dan giro sebesar
22,91 persen. Maka dapat dikatakan bahwa deposito masih merupakan produk
yang digemari masyarakat yang ingin berinvestasi dengan resiko rendah.
Selain itu, salah satu daya tarik bagi masyarakat yang ingin menanamkan
modalnya dalam bentuk simpanan deposito adalah suku bunga deposito yang
ditawarkan. Suku bunga deposito menawarkan tingkat pengembalian dari dana
yang disimpan dalam periode tertentu. Dalam upaya menarik minat masyarakat,
5
bank-bank bersaing untuk menghimpun dana dari masyarakat melalui berbagai
cara, diantaranya adalah dengan menawarkan suku bunga deposito yang lebih
tinggi, peningkatan pelayanan melalui fasilitas on-line, mengeluarkan produkproduk berhadiah, dan lain sebagainya. Tujuannya adalah untuk menghimpun
dana sebanyak-banyaknya dari masyarakat untuk disimpan di banknya.
Disamping tingkat suku bunga yang ditawarkan, inflasi juga memegang
peran penting dalam mempengaruhi perilaku masyarakat untuk menabung. Inflasi
merupakan kenaikan harga barang dan jasa secara menyeluruh. Inflasi yang tinggi
akan mengurangi nilai riil dari uang yang disimpan. Oleh karenanya, tingkat
inflasi yang lebih tinggi dibandingkan suku bunga akan mengakibatkan nilai riil
uang dimasa depan akan menurun, dan pada gilirannya akan membuat masyarakat
enggan menyimpan dananya di bank. Selain itu, tingkat inflasi yang tinggi juga
akan meningkatkan kecenderungan masyarakat memegang uang sebagai motif
berjaga-jaga (precaution motive). Disinilah dibutuhkan kejelian dari pemerintah
melalui lembaga yang terkait untuk mengendalikan inflasi sehingga dapat
berdampak positif terhadap perekonomian.
1.2 Perumusan Masalah
Menurut Kwik Kian Gie (2004), Perekonomian Indonesia tidak pernah
tidak ditekan inflasi. Inflasi diatas level 7 persen per tahun merupakan fenomena
yang lazim terjadi di Indonesia, walaupun bagi sebagian negara maju level
tersebut sudah dikatakan tinggi. Namun inflasi yang terlampau rendah juga belum
tentu baik karena hal itu dapat berarti kurang bergairahnya perekonomian.
6
Sejak diberlakukannya kebijakan Inflation Targeting Framework pada Juli
2005, BI-rate resmi digunakan sebagai suku bunga acuan. Pemerintah melalui
Bank
Indonesia
menetapkan
target
inflasi
yang
diharapkan
dan
mengumumkannya ke masyarakat setiap bulan atau setiap selesai dilaksanakannya
rapat dewan gubernur BI. Penetapan target inflasi dibarengi dengan penetapan BIrate yang diharapkan segera direspon oleh dunia usaha khususnya kalangan
perbankan.
Perkembangan inflasi kerap menjadi alasan BI menaikkan atau
menurunkan BI-rate. Ketika inflasi tinggi, Bank Indonesia segera mengumumkan
kenaikan BI-rate, dan begitupun sebaliknya. Namun seringkali terjadi gap antara
pemerintah dan dunia usaha, dimana perubahan BI Rate tidak serta-merta direspon
oleh kalangan perbankan dengan merubah suku bunganya.
Seperti yang terjadi pada tahun 2005 dan 2008, ditengah kekhawatiran
pemerintah akan pelarian modal ke luar negeri pada saat inflasi tinggi sedangkan
suku bunga deposito lebih rendah dari inflasi, kalangan perbankan justru memiliki
pendapat berbeda. Kalangan perbankan berpendapat bahwa walaupun tingkat
inflasi lebih tinggi dari suku bunga deposito, pelarian modal tidak otomatis terjadi
selama stabilitas keamanan dan politik tetap stabil. Inflasi memang bisa menjadi
referensi bagi deposan, tetapi belum tentu hal itu membuat deposan menarik
seluruh dananya, yang dibutuhkan adalah penyesuaian tingkat suku bunga
terhadap inflasi (Manurung, 2004).
7
Berdasarkan uraian diatas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam
penelitian ini adalah:
1. Bagaimana perkembangan jumlah deposito yang terhimpun pada bank umum
di Indonesia?
2. Apakah tingkat inflasi dan suku bunga deposito berpengaruh terhadap jumlah
deposito pada bank umum di Indonesia, baik masing-masing maupun secara
bersama-sama?
3. Sampai sejauh mana pengaruh tingkat inflasi dan
suku bunga deposito
terhadap jumlah deposito pada bank umum di Indonesia?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Mengkaji perkembangan jumlah deposito pada bank umum di Indonesia.
2. Menganalisis pengaruh inflasi dan suku bunga deposito terhadap jumlah
deposito berjangka pada bank umum di Indonesia.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa :
1.
Memberikan dasar bagi pengambil kebjakan dalam penyusunan rencana dan
strategi yang baik dan terarah untuk digunakan sebagai referensi bagi peneliti
lain yang berkaitan dengan hubungan suku bunga deposito, inflasi dan jumlah
deposito.
2.
Bagi penulis merupakan tambahan khasanah pengetahuan dan wawasan
berharga yang disinkronkan dengan pengetahuan teoritis yang diperoleh dari
materi perkuliahan.
8
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada jumlah deposito berjangka yang
terhimpun pada bank umum di Indonesia, tidak mencakup yang terhimpun pada
Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Periode penelitian digunakan data bulanan mulai
bulan Januari tahun 2004 hingga bulan Desember 2010. Sumber data yang
digunakan diperoleh dari publikasi bulanan Bank Indonesia dan publikasi
indikator ekonomi semesteran Badan Pusat Statistik.
Periode tahun penelitian diambil berdasarkan pertimbangan untuk
meminimalisir pengaruh variabel nonekonomi terhadap gejolak variabel inflasi
dan suku bunga. Dimana periode tahun 2004 – 2010, diharapkan berada dibawah
satu rezim pemerintahan dengan kestabilan ekonomi dan politik yang cukup
terjaga. Dengan alasan tersebut diharapkan fluktuasi yang terjadi atas variabel
moneter seperti suku bunga dan inflasi merupakan fenomena ekonomi yang dapat
dijelaskan oleh teori-teori yang ada.
Suku bunga deposito yang digunakan adalah suku bunga berjangka satu
bulan yang diharapkan sudah dapat mewakili fluktuasi suku bunga deposito
berjangka lainnya. Selain itu, karena data series yang digunakan adalah data
bulanan, maka suku bunga deposito satu bulan diharapkan lebih cepat merespon
perubahan suku bunga BI Rate. Sedangkan untuk data inflasi, yang digunakan
adalah data inflasi bulanan (month to month) yang dihitung dan diterbitkan oleh
Badan Pusat Statistik setiap bulan. Data ini diharapkan dapat menggambarkan
fluktuasi harga barang dan jasa secara lebih cepat dan dapat menjelaskan
fenomena ekonomi dari sisi harga relatif.
9
Pemilihan variabel bebas, yakni inflasi dan suku bunga deposito
didasarkan kepada pertimbangan bahwa kedua variabel tersebut pada batas-batas
tertentu dapat diintervensi oleh kebijakan Bank Indonesia selaku otoritas moneter.
Variabel-variabel moneter dan makroekonomi lain seperti PDB, nilai tukar, dan
suku bunga luar negeri tidak dimasukkan kedalam model, atas pertimbangan
bahwa variabel tersebut berada diluar jangkauan otoritas moneter untuk
mengendalikan. Sehingga penelitian hanya dikhususkan untuk meneliti pengaruh
dari variabel suku bunga deposito dan inflasi terhadap jumlah deposito yang
terhimpun pada bank umum di Indonesia.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1
2.1.1
Tinjauan Teori
Teori Tabungan dan Investasi Menurut Aliran Klasik
Menurut teori klasik, tabungan merupakan fungsi dari tingkat bunga
dimana pergerakan tingkat bunga pada perekonomian akan mempengaruhi
tabungan, secara matematis dapat ditulis S = f(i). Artinya, keinginan masyarakat
untuk menabung sangat bergantung pada tingkat bunga. Makin tinggi tingkat
bunga, semakin besar keinginan masyarakat untuk menabung atau masyarakat
akan terdorong untuk mengorbankan pengeluarannya untuk menambah besarnya
tabungan. Jadi tingkat bunga menurut pendapat klasik adalah balas jasa yang
diterima seseorang karena menabung/menyimpan uangnya atau hadiah yang
diterima seseorang karena menunda konsumsinya.
Investasi juga merupakan fungsi dari tingkat bunga. Semakin tinggi tingkat
bunga, semakin kecil keinginan masyarakat untuk melakukan investasi. Hal
tersebut dikarenakan keuntungan yang diharapkan dari investasi akan relatif kecil
terhadap tingkat bunga. Sebaliknya, apabila tingkat bunga rendah maka
keuntungan relatif dari investasi terhadap tingkat bunga yang dibayarkan akan
besar sehingga investasi akan meningkat. Karena tingkat bunga merupakan biaya
pinjaman dan pengembalian akibat meminjamkan dana ke pasar keuangan, maka
untuk memahami lebih baik tentang tingkat bunga dalam perekonomian dapat
dituliskan dalam persamaan berikut ini:
11
Y=C+I+G
(2.1)
Y–C–G=I
(2.2)
Y – C – G adalah output yang tersisa setelah permintaan konsumen dan
pemerintah terpenuhi; inilah yang disebut tabungan nasional (national saving)
atau ringkasnya tabungan (S). Dalam bentuk ini, identitas pos pendapatan nasional
manunjukkan bahwa tabungan sama dengan investasi. Untuk memahami identitas
ini secara lebih lengkap, kita bisa memacah tabungan nasional menjadi dua
bagian. Satu bagian menunjukkan tabungan sektor swasta dan bagian lain
menunjukkan tabungan pemerintah:
S = (Y – T – C) + (T – G) = I
(2.3)
Untuk melihat bagaimana tingkat bunga menyeimbangkan pasar keuangan,
substitusikan fungsi konsumsi dan fungsi investasi kedalam pos pendapatan
nasional:
Y – C(Y – T) – G = I(r)
(2.4)
Selanjutnya, nyatakan bahwa G dan T ditetapkan oleh kebijakan serta Y
ditetapkan oleh faktor-faktor produksi dan fungsi produksi.
(2.5)
(2.6)
Gambar 2 menunjukan tingkat keseimbangan suku bunga di pasar
keuangan. Ketika suku bunga berada pada level i1 (dibawah suku bunga
keseimbangan), masyarakat akan menabung lebih sedikit dan lebih banyak
membelanjakan uangnya. Pada kondisi ini tingkat tabungan berada pada S1
sedangkan tingkat investasi yang diinginkan sebesar I1. Artinya, terdapat
12
kelebihan permintaan untuk investasi sedangkan dana yang tersedia dalam bentuk
tabungan tidak mencukupi. Keadaan ini mendorong pelaku usaha bersedia untuk
membayar lebih atas dana yang dipinjamnya. Hal ini akan memberikan tekanan
pada naiknya suku bunga dan pada gilirannya akan meningkatkan tabungan.
Proses ini berlanjut terus hingga jumlah tabungan yang tersedia setara dengan
investasi yang diinginkan, yakni pada tingkat suku bunga i2, dimana jumlah
tabungan (S2) sama dengan Investasi (I2). Pada tingkat bunga ekuilibrium, hasrat
rumah tangga untuk menabung seimbang dengan hasrat perusahaan untuk
menanamkan modal dan jumlah dana pinjaman yang ditawarkan sama dengan
jumlah yang diminta.
i (interest rate)
S(r)
A
i2
i1
I(r)
S1
I2=S2
I1
Investasi, Tabungan, I, S
Sumber : Mankiw (2005)
Gambar 2. Kurva Investasi dan Tabungan
13
Teori Tingkat Bunga Fischer, terdapat dua tingkatan bunga, yaitu bunga
nominal dan bunga riil. Tingkat bunga yang dibayar oleh bank adalah tingkat
bunga nominal dan kenaikan dalam daya beli masyarakat adalah tingkat bunga
riil. Hubungan antara ketiga variabel tersebut dalam dinyatakan dalam persamaan
Fischer sebagai berikut:
r=i–π
(2.7)
dimana:
r = real interest rate (tingkat bunga riil)
i = nominal interest rate (tingkat bunga nominal)
π = tingkat inflasi
Tingkat bunga riil adalah tingkat bunga nominal dikurangi dengan tingkat
inflasi. Persamaan tersebut menunjukkan bahwa perubahan tingkat bunga dapat
terjadi karena adanya perubahan tingkat bunga riil atau perubahan tingkat inflasi.
2.1.2
Teori Tabungan dan Investasi Menurut Aliran Keynes
Keynes mengatakan bahwa tingkat bunga adalah balas jasa yang diterima
seseorang karena orang tersebut tidak menimbun uang atau balas jasa yang
diterima seseorang karena mengorbankan preferensi likuiditasnya. Menurut teori
preferensi likuditas, ada tiga motif yang mendasari seseorang memegang uang:
Pertama, motif transaksi. Permintaan uang untuk tujuan melakukan
transaksi. Permintaan uang ini sangat tergantung pada tingkat pendapatan
seseorang. Jika pendapatan mengalami peningkatan maka uang tunai yang ditahan
akan semakin besar, begitupun sebaliknya. Permintaan uang atas dasar motif ini
14
sangat dipengaruhi pula oleh tingkat harga. Bila tingkat harga mengalami
kenaikan (inflasi) akan mempengaruhi besarnya permintaan uang tunai untuk
tujuan transaksi.
Kedua, motif berjaga-jaga, yaitu tindakan seseorang untuk menyimpan
sebagian dari pendapatan atau kekayaan dalam bentuk uang tunai, karena banyak
pengeluaran yang tidak terduga sebelumnya. Besar kecilnya uang untuk motif ini
sangat ditentukan oleh besar kecilnya uang untuk transaksi. Semakin besar nilai
transaksi yang dilakukan oleh seseorang, maka semakin banyak uang yang
dibutuhkan untuk berjaga-jaga.
Ketiga, motif spekulasi. Disamping untuk memperlancar transaksi dan
untuk berjaga-jaga, tujuan orang memegang uang tunai juga dimaksudkan untuk
tujuan spekulasi. Uang untuk tujuan ini akan dipergunakan untuk membeli suratsurat berharga (obligasi) pada saat harganya murah dan akan menjualnya kembali
ketika harganya mahal.
Menurut Keynes, semakin besar liquidity prefefence seseorang, semakin
besar keinginan orang tersebut untuk menahan uang tunai, maka semakin besar
pula tingkat bunga yang diterima orang tersebut bilamana ia meminjamkan uang
tersebut kepada orang lain. Pendapat Keynes ini sangat berbeda dengan pendapat
aliran klasik, dimana tingkat bunga menurut teori klasik adalah premi yang
diterima karena menunda konsumsinya pada masa yang akan datang.
Permintaan uang mempunyai hubungan yang negatif dengan tingkat
bunga. Hubungan negatif antara permintaan uang dengan tingkat bunga ini dapat
diterangkan oleh Keynes. Dia mengatakan bahwa masyarakat mempunyai
15
pendapat tentang adanya tingkat bunga nominal. Bilamana tingkat bunga turun
dari tingkat bunga normal, dalam masyarakat ada suatu keyakinan akan naik suku
bunga masa yang akan datang. Bila masyarakat memegang obligasi (surat
berharga) pada saat suku bunga naik, pemegang obligasi tersebut akan mengalami
kerugian. Guna menghindari kerugian ini, tindakan yang dilakukan adalah
menjual obligasi yang dengan sendirinya akan mendapatkan uang tunai dan uang
tunai ini yang dipegang pada saat suku bunga naik. Hubungan inilah yang disebut
motif spekulasi permintaan uang tunai, karena masyarakat akan melakukan
spekulasi tentang obligasi di masa yang akan datang.
Teori Tingkat Bunga Keynes. Bunga adalah sebuah pembayaran untuk
menggunakan uang. Dalam teori preferensi likuiditas, Keynes menjelaskan
pandangannya mengenai bagaimana tingkat bunga ditentukan dalam jangka
pendek. Teori preferensi likuiditas adalah kerangka kurva LM. Teori ini memiliki
asumsi adanya penawaran uang riil tetap dan biasanya tidak tergantung oleh
tingkat bunga, yaitu:
(M/P)s = M/P
(2.8)
Bunga adalah salah satu determinan dalam memutuskan berapa banyak
uang yang ingin dipegang oleh seseorang. Ketika tingkat bunga naik, maka
masyarakat cenderung memilih sedikit memegang uang, sehingga:
(M/P)d = L(r)
(2.9)
Teori Loanable Funds. Teori loanable funds meramalkan dan
menganalisis perubahan suku bunga dengan menggunakan penawaran dan
permintaan dana sebagai dasarnya.
16
2.1.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Suku Bunga
Faktor-faktor utama yang mempengaruhi besar kecilnya penetapan suku
bunga, dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Kebutuhan dana
Faktor kebutuhan dana dikhususkan untuk dana simpanan, yaitu seberapa
besar kebutuhan dana yang diinginkan. Apabila bank kekurangan dana, sementara
permohonan pinjaman meningkat, maka yang dilakukan oleh bank agar dana
tersebut cepat terpenuhi adalah dengan meningkatkan suku bunga simpanan.
Namun peningkatan suku bunga simpanan akan pula meningkatkan suku bunga
pinjaman. Sebaliknya apabila dana yang ada dalam simpanan bank cukup banyak,
sementara permohonan pinjaman sedikit maka bunga simpanan akan turun.
2. Target laba yang diinginkan
Hal ini disebabkan target laga merupakan salah satu komponen dalam
menentukan besar kecilnya suku bunga pinjaman. Jika laba yang diinginkan besar
maka bunga pinjaman ikut besar dan demikian pula sebaliknya. Namun untuk
menghadapi persaingan, target laba dapat diturunkan seminimal mungkin.
3. Kualitas jaminan
Kualitas jaminan juga diperuntukkan untuk suku bunga pinjaman.
Semakin mudah jaminan dapat dicairkan, semakin rendah bunga kredit yang
dibebankan, dan sebaliknya.
4. Kebijakan pemerintah
Dalam menentukan bunga simpanan maupun bunga pinjaman, bank tidak
boleh melebihi batasan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Artinya ada
17
batasan maksimal dan minimal untuk suku bunga yang diizinkan. Tujuannya
adalah agar bank-bank dapat bersaing secara sehat.
5. Jangka waktu
Baik untuk bunga simpanan maupun bunga pinjaman, faktor jangka waktu
merupakan faktor yang sangat penting. Semakin panjang jangka waktu pinjaman,
maka akan semakin tinggi bunganya. Hal tersebut disebabkan besarnya
kemungkinan resiko macet dimasa mendatang.
6. Reputasi perusahaan
Reputasi perusahaan juga sangat menentukan suku bunga terutama untuk
bunga pinjaman. Perusahaan yang telah memiliki reputasi baik akan mudah
memperoleh kredit dengan bunga yang relatif lebih rendah.
7. Produk yang kompetitif
Produk yang kompetitif menentukan besar kecilnya suku bunga pinjaman.
Kompetitif maksudnya adalah produk yang dibiayai tersebut laku dipasaran.
Untuk produk yang kompetitif, bunga kredit yang diberikan relatif rendah jika
dibandingkan dengan produk yang kurang kompetitif. Hal ini disebabkan produk
yang kompetitif tingkat perputaran produknya tinggi sehingga pembayarannya
diharapkan lancar.
8. Hubungan baik
Biasanya bunga pinjaman dikaitkan dengan faktor kepercayaan kepada
seseorang atau perusahaan. Dalam praktiknya, bank menggolongkan nasabahnya
kedalam nasabah utama dan nasabah biasa. Penggolongan ini didasarkan pada
keaktifan serta loyalitas nasabah yang bersangkutan terhadap bank. Nasabah
18
utama biasanya mempunyai hubungan baik dengan pihak bank, sehingga dalam
penentuan suku bunganya berbeda dengan nasabah biasa. Nasabah yang memiliki
hubungan baik dengan bank tentu bunganya lebih rendah.
9. Persaingan
Dalam kondisi tidak stabil dan bank kekurangan dana, sementara tingkat
persaingan dalam memperebutkan dana masyarakat cukup ketat, maka bank-bank
harus berupaya untuk menarik minat masyarakat menyimpan dana di banknya.
Dalam kondisi ini dibutuhkan kejelian untuk menangkap informasi tentang suku
bunga yang diberikan oleh bank pesaing. Oleh karena itu dalam kondisi
persaingan, maka bank harus rela memangkas margin laba yang biasa
diperolehnya demi memperoleh nasabah.
2.1.4
Teori Inflasi
Inflasi adalah kecendrungan dari harga-harga untuk naik secara umum dan
terus-menerus dalam kurun waktu tertentu. Diartikan juga sebagai naiknya terus
menerus tingkat harga pada suatu perekonomian akibat kenaikan permintaan
agregat/penurunan penawaran agregat. Indeks harga konsumen adalah ukuran
tingkat harga sebagai indikator inflasi. IHK dihitung setiap bulan berdasar
perkembangan harga barang dan jasa yang dikonsumsi rumah tangga seluruh ibu
kota propinsi di Indonesia (Soebagiyo dan Prasetyawati, 2002).
Nopirin (1996), inflasi dapat digolongkan ke dalam tiga macam
penggolongan :
19
1.
Inflasi berdasarkan sifatnya
laju inflasi berbeda-beda antara negara satu dengan negara lainnya atau dalam
satu negara untuk kurun waktu yang berbeda. Atas dasar perkembangannya,
inflasi dapat dibedakan kedalam tiga kategori yaitu:
a. Creeping inflation (inflasi merayap), adalah inflasi tahap awal dengan
kenaikan harga secara lambat atau juga sering disebut dengan inflasi
lunak. Biasanya creefing inflation ditandai dengan inflasi yang rendah
(<10%/tahun). Kenaikan harga berjalan secara lambat dengan prosentase
yang kecil dalam jangka waktu yang relatif lama.
b. Galloping inflation, adalah inflasi menengah yang ditandai dengan
kenaikan harga yang cukup besar dan kadang-kadang berjalan dalam
waktu yang relatif pendek serta memiliki akselerasi, artinya harga-harga
minggu/bulan ini lebih tinggi dari minggu/bulan lalu dan seterusnya.
c. Hyper inflation, adalah kondisi inflasi yang paling parah akibatnya
terhadap perekonomian, harga-harga naik sampai lima atau enam kali.
Hyper inflation merupakan hal yang sering terjadi akibat tindakan
pemerintah untuk menutup defisit anggarang belanja dengan jalan
mencetak uang baru, sehingga jumlah uang beredar dimasyarakat tinggi
dan mengakibatkan laju inflasi bertambah tinggi.
Sedangkan menurut Boediono (1985), Ada berbagai cara untuk
menggolongkan macam inflasi berdasarkan tingkat keparahannya, yakni :
a. Inflasi ringan (dibawah 10% setahun)
b. Inflasi sedang (antara 10-30% setahun)
20
c. Inflasi tinggi (antara 30-100% setahun)
d. Hiperinflasi ( diatas 100% setahun)
2.
Inflasi berdasarkan asalnya
Inflasi dapat dibedakan menjadi inflasi yang berasal dari dalam negeri
(domestic inflation) dan inflasi yang berasal dari luar negeri (imported
inflation). Inflasi yang berasal dari dalam negeri adalah inflasi yang sumber
penyebabnya berasal dari keadaan perekonomian dalam negeri sendiri.
Timbulnya inflasi ini karena defisit anggaran belanja yang dibiayai dengan
percetakan uang yang baru, panen yang gagal dan sebagainya. Inflasi yang
berasal dari luar negeri adalah inflasi yang timbul karena kenaikan hargaharga di luar negeri, sehingga akan mempengaruhi barang-barang yang di
impor.
3.
Inflasi berdasarkan penyebabnya
Sebelum kebijaksanaan untuk mengatasi inflasi diambil, terlebih dahulu
diketahui faktor-faktor yang menyebabkan inflasi. Atas dasar ini kita bedakan
menjadi :
a. Inflasi yang timbul karena permintaan masyarakat akan berbagai barang
terlalu kuat. Sehingga antara jumlah barang dengan jumlah permintaan
berjalan tidak seimbang, akibatnya harga barang menjadi lebih tinggi atau
naik inflasi semacan ini disebut demand pull inflation.
b. Inflasi yang timbul karena kenaikan biaya produksi. Sehingga membawa
dampak bagi produsen dimana akan mengurangi keinginan mereka untuk
menjual hasil produksinya pada tingkat harga yang berlaku sebelumnya.
21
Berkurangnya penawaran yang tidak diikuti dengan pengurangan
permintaan yang sama besarnya akan menyebabkan kenaikan harga. Ini
disebut cost push inflation.
Akibat atau efek dari terjadinya inflasi bagi ekonomi adalah :
1.
Efek terhadap pendapatan (Equity Effect)
Efek inflasi terhadap pendapatan sifatnya tidak merata, ada yang
dirugikan tetapi ada pula yang diuntungkan dengan adanya inflasi.
Pihak-pihak yang dirugikan dengan adanya inflasi :
- Seseorang yang memperoleh pendapatan tetap.
- Seseorang yang menumpukkan kekayaan dalam bentuk uang kas.
- Seseorang yang memberikan pinjaman uang dengan bunga lebih rendah
dari laju inflasi.
2.
Efek terhadap output (Output Effect)
Inflasi yang mengakibatkan perubahan pada alokasi faktor produksi
melalui :
-
Kenaikan output. Dengan alasan bahwa dengan adanya inflasi dalam
tingkat yang rendah, maka permintaan akan barang cenderung naik
sehingga mendorong pengusaha untuk meningkatkan produksinya, dan
akibatnya harga barang tidak melonjak tinggi.
-
Penurunan output. Apabila inflasi mengalami kenaikan dan cenderung
kearah hiperinflasi maka kondisi perekonomian akan mengalami
kelesuhan karena harga barang cenderung naik sehingga terjadi penurunan
22
permintaan yang pada akhinya membawa dampak bagi produsen dalam
pengurangan jumlah produksinya.
3.
Efek terhadap efisiensi (Efficiency Effect).
Inflasi dapat membawa efek bagi perubahan alokasi faktor-faktor
produksi. Perubahan dapat terjadi melalui kenaikan permintaan akan berbagai
macam barang yang kemudian dapat mendorong terjadinya perubahan dalam
produksi beberapa barang tertentu. Beberapa ahli berpendapat bahwa dengan
adanya inflasi dapat mengakibatkan alokasi faktor produksi menjadi tidak
efisien. Secara garis besar inflasi adalah perubahan dalam pola distribusi
kekayaan dan pendapatan. Ada efek inflasi yang kurang nyata yaitu bahwa
umumnya orang-orang yang memegang asset liquid seperti uang tunai dan
deposito akan rugi karena penurunan daya beli asset tersebut. Sedangkan
orang yang mempunyai asset fisik seperti tanah akan menerima manfaat.
Dari sudut produksi, terdapat perbedaan yang penting antara efek inflasi
kecil dan efek inflasi besar. Umumnya para ekonom sependapat bahwa inflasi
kecil lebih baik daripada deflasi. Kesimpulan ini diperoleh dari beberapa
faktor. Salah satunya adalah untuk mencapai laju inflasi sama dengan nol atau
negatif, permintaan agregat harus dikurangi sampai sistemnya mengalami
pengangguran, atau untuk mencapai tingkat kegiatan ekonomi yang sesuai
dengan pekerjaan penuh (full employment). Kita mengalami inflasi karena
sumber-sumber yang harus dipakai dengan tenaga kerja, akan cenderung
lebih sedikit.
23
2.2
Pengertian dan Fungsi Bank
Bank komersial adalah badan usaha yang menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat
dalam bentuk kredit dan atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf
hidup rakyat banyak.
Berdasarkan jenisnya, bank hanya dibedakan menjadi dua, yaitu bank
umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Bank umum adalah bank yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip
syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Sedangkan Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam
kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. (pasal 1 UU
No. 10 tahun 1998). Perbedaan antara bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat
meliputi beberapa aspek, diantaranya; kegiatan usaha, permodalan, alokasi kredit,
badan hukum, kepemilikan, dan double principle.
Secara umum, fungsi bank adalah menghimpun dana dari masyarakat dan
menyalurkannya kembali kepada masyarakat untuk berbagai tujuan atau sebagai
financial intermediary. Secara lebih spesifik bank dapat berfungsi sebagai agent
of trust, agent of development, dan agent of services
a. Agent of trust
Dasar utama kegiatan perbankan adalah kepercayaan (trust), baik dalam
penghimpunan dana maupun penyaluran dana. Masyarakat akan mau
menitipkan dananya di bank apabila dilandasi adanya unsur kepercayaan.
24
Masyarakat percaya bahwa uangnya tidak akan disalahgunakan oleh bank,
uangnya akan dikelola dengan baik, bank tidak akan bangkrut dan pada saat
yang telah dijanjikan simpanan tersebut dapat ditarik kembali dari bank. Pihak
bank sendiri akan mau menempatkan atau menyalurkan dananya pada debitur
atau masyarakat apabila dilandasi adanya unsur kepercayaan. Pihak bank
percaya bahwa pihak debitur tidak akan menyalagunakan pinjamannya, debitur
akan mengelola dana pinjamannya dengan baik, debitur akan mempunyai
kemampuan untuk membayar pada saat jatuh tempo, dan debitur mempunyai
niat baik untuk mengembalikan pinjaman beserta kewajiban lainnya pada saat
jatuh tempo.
b. Agent of development
Kegiatan perekonomian masyarakat di sektor moneter dan sektor riil tidak
dapat dipisahkan. Kedua sektor tersebut selalu berinteraksi dan saling
mempengaruhi. Sektor riil tidak akan dapat berkinerja dengan baik apabila
sektor moneter tidak bekerja dengan baik. Kegiatan bank berupa berupa
penghimpunan dan penyaluran dana sangat diperlukan bagi lancarnya kerugian
perekonomian di sektor rill. Kegiatan bank tersebut memungkinkan masyarakat
melakukan kegiatan investasi, kegiatan distribusi, serta kegiatan konsumsi
barang dan jasa, mengingat bahwa kegiatan investasi-distribusi-konsumsi ini
tidak dapat dilepaskan dari adanya penggunaan uang. Kelancaran kegiatan
investasi-distribusi-konsumsi ini tidak lain adalah kegiatan pembangunan
perekonomian.
25
c. Agent of servies
Disamping melakukan kegiatan penghimpunan dan penyaluran dana, bank juga
memberikan penawaran jasa perbankan yang lain kepada masyarakat. Jasa
yang ditawarkan bank ini erat kaitannya dengan kegiatan perekonomian
masyarakat secara umum. Jasa ini antara lain dapat berupa jasa pengiriman
uang, penitipan barang berharga, pemberian jaminan bank, dan penyelesaian
tagihan.
Ketiga fungsi bank diatas diharapkan dapat memberikan gambaran yang
menyeluruh dan lengkap mengenai funsi bank dalam perekonomian, sehingga
bank tidak hanya dapat diartikan sebagai lembaga perantara keuangan (financial
intermediary institution).
2.3
Pengertian Deposito
Simpanan deposito dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
dinyatakan sebagai simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada
waktu tertentu berdasarkan perjanjian nasabah penyimpan dengan bank. Berbeda
dengan tabungan dan giro, simpanan deposito mengandung unsur jangka waktu
(jatuh tempo) yang lebih panjang dan dapat ditarik atau dicairkan hanya setelah
jatuh tempo. Begitu pula dengan suku bunga yang diberikan relatif lebih tinggi
dibanding dengan tabungan dan giro. Bunga disesuaikan dengan perkembangan
pasar dan biasa diberikan setiap bulan sesuai dengan tanggal jatuh temponya.
Tabungan deposito juga dapat berfungsi sebagai alat investasi jangka
panjang maupun jangka pendek. Dengan menginvestasikan uang dalam deposito
berjangka, nasabah mempunyai pilihan jatuh tempo dalam waktu satu, tiga, enam,
26
dua belas bulan atau dua puluh empat bulan. Nasabah akan dikenakan denda
(penalty) dengan tidak mendapat hasil apapun apabila mencairkan dana deposito
sebelum jatuh tempo. Dengan demikian, bila nasabah berniat menggunakan uang
tersebut dalam jangka pendek sebaiknya membuka tabungan. Karena dengan
membuka tabungan, dana sewaktu-waktu dapat diambil tanpa harus dikenakan
denda. Namun, perlu ketahui bahwa suku bunga tabungan yang diberikan
biasanya lebih kecil dari suku bunga deposito bank.
Uang yang simpan di bank dan memenuhi persyaratan tertentu, seratus
persen dijamin pemerintah dari resiko kegagalan bayar. Skema garansi tersebut
masih diberlakukan oleh pemerintah untuk jangka waktu yang belum dapat
ditentukan. Nasabah tidak perlu khawatir akan kehilangan uang yang disimpan
apabila bank tersebut ditutup atau diambil alih. Pemerintah akan bertanggung
jawab untuk memastikan bahwa uang nasabah akan dibayarkan kembali sesuai
dengan jumlah yang disimpan.
Deposito berjangka juga tersedia dalam mata uang asing, seperti dolar AS.
Dalam situasi ekonomi yang tidak pasti, seorang nasabah dapat memilih untuk
tidak menyimpan uang seluruhnya dalam bentuk tabungan deposito rupiah
melainkan juga dalam dollar AS. Hal ini didasarkan pada pertimbangan
kemungkinan anjloknya nilai mata uang rupiah dimasa depan disebabkan iklim
ekonomi dunia yang kian tidak pasti.
2.4
Penelitian Terdahulu
Wahyu Setyaningsih (1999). Berjudul “Analisis faktor-faktor yang
Mempengaruhi Deposito Berjangka Rupiah sesudah Deregulasi Perbankan 1 juni
27
1983 di Indonesia kurun waktu 1984-1998”. Penelitian ini menggunakan data
tahunan dari tahun 1984-1998. Variabel dependen yang digunakan adalah jumlah
deposito berjangka rupiah sedangkan variabel independennya adalah PDB riil
perkapita, suku bunga deposito berjangka, nilai tukar valas (Dollar AS terhadap
rupiah). Untuk pengujian yang digunakan model pendekatan PAM (Partial
Adjusment Model).
Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah PDB riil perkapita
dan suku bunga deposito berjangka rupiah sebelumnya berpengaruh positif dan
signifikan. Sedangkan kurs valuta dolar AS terhadap rupiah tidak berpengaruh
terhadap deposito berjangka rupiah. Dalam analisis hubungan antara variabel
dependen dan variabel independen pada penelitian ini membuktikan penggunaan
model regresi berganda non linier adalah tepat. Hasil uji asumsi klasik terdapat
model regresi yang menunjukkan tidak terdapat gejala multikolinearitas,
heteroskedatisitas, dan autokorelasi. Hasil estimasi PAM diperoleh bahwa
elastisitas jangka panjang lebih besar dari elastisitas jangka pendek. Artinya
dalam elastisitas jangka panjang sudah tidak dipengaruhi lagi oleh tingkat
deposito berjangka rupiah periode sebelumnya.
Siti Fatimah Nurhayati (2002). Berjudul “Analisis Permintaan Deposito
Dalam Valuta Asing Pada Bank Swasta Nasional Di Indonesia” dari tahun 19852001. Variabel dependen yang digunakan adalah Permintaan Deposito dalam
Valuta Asing sedangkan variabel independennya adalah PDB, Suku Bunga
Deposito, kurs valuta asing (Rupiah terhadap Dollar AS) dan Libor.
28
Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian tersebut adalah bahwa
pengujian t menunjukkan ada 3 variabel yang berpengaruh terhadap simpanan
valuta asing di Indonesia yaitu variabel suku bunga deposito Rupiah berpengaruh
negatif pada jangka pendek dan positif dalam jangka panjang, suku bunga
internasional LIBOR berpengaruh positif dalam jangka panjang, sedangkan
variabel pendapatan perkapita riil dan kurs tidak berpengaruh.
Romauli Putri M. Marbun (2005). Berjudul “Analisis Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Perkembangan Jumlah Deposito Berjangka Pada Bank
Pemerintah di Sumatera Utara” dari tahun 1993 – 2003. Variabel dependen yang
digunakan adalah jumlah deposito pada bank-bank pemerintah di Propinsi
Sumatera Utara, sedangkan yang menjadi variabel independen adalah pendapatan
perkapita dan tingkat suku bunga deposito.
Kesimpulan yang diperoleh adalah bahwa pendapatan perkapita memiliki
pengaruh yang positif terhadap perkembangan jumlah deposito berjangka. Begitu
pula dengan tingkat suku bunga berpengaruh positif terhadap jumlah deposito
berjangka. Pengujian dilakukan dengan model regresi linier berganda dengan
koefisien determinasi sebesar 0,976.
Tuti (2006). Berjudul “Analisis Permintaan Deposito Berjangka Dalam
Negeri Pada Bank Umum di Indonesia” , periode tahun 1990 sampai 2004. Data
yang digunakan adalah data triwulanan. Penelitian ini ingin melihat hubungan
antara tingkat inflasi, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, dan suku bunga
deposito terhadap permintaan deposito dalam negeri pada bank umum di
Indonesia.
29
Model persamaan awal yang digunakan dalam penelitian ini adalah model
regresi dengan Partial Adjusment Model (PAM). Namun, karena pada model
regresi PAM itu tidak menghasilkan signifikansi pada variabel Y(-1), sehingga
model PAM ini tidak bisa dipakai selanjutnya untuk melakukan pegujian statistik
dan pengujian asumsi klasik. Untuk itu digunakan metode OLS dengan fungsi dan
persamaan regresi linier. Dari pengujian-pengujian yang dilakukan, ternyata hasil
estimasi masih menyimpang asumsi klasik yaitu mengandung heteroskedastisitas,
namun setelah diobati ternyata model regresi ini telah dinyatakan sehat dan
memenuhi asumsi klasik kembali.
Kesimpulan yang diperoleh adalah inflasi berpengaruh negatif dan
signifikan terhadap permintaan deposito dalam negeri, sedangkan perubahan nilai
tukar rupiah terhadap dolar AS berpengaruh positif dan signifikan terhadap
permintaan deposito. Variabel independen lainnya, yakni suku bunga deposito,
menunjukan pengaruh yang tidak signifikan.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya, yang pertama
adalah periode penelitian yang digunakan. Pada penelitian sebelumnya belum
didapai penelitian tentang jumlah deposito berjangka untuk periode tahun 2004 2010. Kedua, data series yang digunakan, pada penelitian sebelumnya
menggunakan
data
tahunan
dan
triwulanan,
sedangkan
penelitian
ini
menggunakan data bulanan. Ketiga, dalam hal variabel independen yang
digunakan. Penelitian sebelumnya, Wahyu Setyaniningsih (1999) menggunakan
PDB riil perkapita, suku bunga, dan kurs rupiah sebagai variabel independen,
sedangkan penelitian Siti Fatimah (2002) variabel independennya adalah PDB,
30
suku bunga, Kurs rupiah, dan suku bunga Libor. Keempat, perbedaannya terletak
pada metode pembentukan model yang digunakan. Pada penelitian-penelitian
sebelumnya, model estimasi yang digunakan adalah regresi linier berganda
dengan metode OLS dan Partial Adjustment Model (PAM), sedangkan penelitian
ini menggunakan regresi linier berganda dengan Metode Garch (1,1).
2.5
Kerangka Pemikiran
Inflasi dan suku bunga deposito diduga memiliki pengaruh terhadap
perkembangan jumlah deposito yang terhimpun, selain itu terdapat pula pengaruh
dari faktor lain seperti stabilitas keamanan dan politik dan tingkat suku bunga di
luar negeri. Tingkat inflasi itu sendiri merupakan fenomena yang terjadi sebagai
akibat dari kondisi makro ekonomi yang dipengaruhi oleh jumlah uang beredar,
nilai tukar, situasi ekonomi internasional dan lain-lain. Sedangkan suku bunga
deposito merupakan produk perbankan yang menjadi kewenangan masing-masing
bank untuk menetapkan berdasarkan perhitungan beban operasional, margin
keuntungan, tingkat kompetisi, dan lain-lain.
Pada saat Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan melalui instrumen
moneter yang dimilikinya, kebijakan tersebut akan mempengaruhi perekonomian
melalui berbagai jalur transmisi. Kebijakan OPT akan berimbas pada jumlah uang
beredar dan nilai tukar, sedangkan kebijakan BI Rate akan menjadi acuan
perbankan dalam menetapkan suku bunga tabungan maupun pinjaman. Dalam
kerangka kebijakan Inflation Targeting, dimana sasaran akhirnya adalah inflasi,
kebijakan moneter tersebut diharapkan akan direspon oleh dunia usaha, sehingga
dapat menghasilkan target inflasi yang diinginkan.
31
BANK INDONESIA
OPT
BI Rate
Instrumen Moneter
Respon
Perbankan &
Dunia Usaha
Kondisi Makro:
1. JUB
2. Nilai tukar
3. Situasi eko
internasional
4. dll
SUKU BUNGA
DEPOSITO
INFLASI
Respon Bank:
1. Beban Ops
2. Margin laba
3. Faktor resiko
4. Kompetisi
5. dll
JUMLAH
TABUNGAN
DEPOSITO
DEPOSITO
Stabilitas
keamanan dan
politik
Keterangan :
Didalam ruang lingkup penelitian
Diluar ruang lingkup penelitian
Suku bunga
Luar Negeri
INVESTASI
PERTUMBUHAN
EKONOMI
Gambar 3. Kerangka Pemikiran
32
Dengan tingkat inflasi dan suku bunga yang terkendali maka diharapkan
terjadi akumulasi tabungan masyarakat, salah satunya dalam bentuk deposito.
Tabungan masyarakat ini dapat dimanfaatkan sebagai sumber dana bagi investasi
untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
2.6
Hipotesis
Hipotesis yang disusun dalam penelitian ini adalah:
a.
H0 :
Suku bunga deposito tidak berpengaruh positif terhadap
jumlah deposito berjangka.
Ha :
Suku
bunga deposito berpengaruh positif
terhadap jumlah
deposito berjangka.
b.
H0 :
Inflasi tidak berpengaruh negatif terhadap terhadap jumlah
deposito berjangka.
Ha :
Kurs rupiah berpengaruh negatif terhadap jumlah deposito
berjangka.
c.
H0 :
Suku
bunga
deposito dan inflasi secara simultan
tidak
berpengaruh terhadap jumlah deposito berjangka.
Ha :
Suku bunga deposito dan inflasi secara simultan berpengaruh
terhadap jumlah deposito berjangka.
Keterangan :
H0 : Hipotesis Awal
Ha : Hipotesis Alternatif
33
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini dilakukan berdasarkan data series bulan yang dipublikasikan
oleh Bank Indonesia (BI) dan Badan Pusat Statistik (BPS), diantaranya adalah
Publikasi Tinjauan Kebijakan Moneter dan Statistik Perbankan Indonesia yang
diterbitkan bulanan. Selain itu terdapat pula data yang diperoleh dari Publikasi
Indokator Ekonomi yang diterbitkan oleh BPS. Jenis data yang dikumpulkan
meliputi :
-
Jumlah deposito pada bank Umum (bulanan)
-
Data inflasi m-t-m (bulanan)
-
Data suku bunga deposito 1 bulan (bulanan)
3.2 Metode Analisis
Metode analisis yang digunakan untuk mendukung dan mencapai tujuan
penelitian adalah analisis deskriptif dan model AutoRegressive Conditional
Heteroscedasticity
(ARCH)
dan
Generalized
AutoRegressive
Conditional
Heteroscedasticity (GARCH).
3.2.1 Analisis Deskriptif
Metode analisis deskriptif dilakukan untuk memberikan gambaran tentang
perilaku data setiap variabel yang akan diteliti. Variabel yang diteliti dalam
penelitian ini adalah jumlah deposito, tingkat suku bunga deposito satu bulan,
dan inflasi month to month selama periode Januari 2004 sampai Desember 2010.
34
3.2.2 Model AutoRegressive Conditional Heteroscedasticity (ARCH) dan
Generalized AutoRegressive Conditional Heteroscedasticity (GARCH)
Metode dalam penelitian ini menggunakan
Conditional
Heteroscedasticity
(ARCH)
dan
model AutoRegressive
Generalized
AutoRegressive
Conditional Heteroscedasticity (GARCH), yaitu suatu analisis yang digunakan
untuk mengetahui pengaruh satu atau beberapa variabel independen terhadap suatu
variabel dependen.
Salah satu asumsi yang mendasari estimasi regresi linier berganda dengan
metode OLS adalah residual harus bersifat konstan dari waktu ke waktu. Apabila
residual tidak bersifat konstan, maka terkandung masalah heteroskedastisitas. Pada
penelitian
ini
data
runtut
waktu
yang
diolah
menghasilkan
masalah
heteroskedastisitas. Oleh karena itu metode estimasi dengan menggunakan OLS
tidak dapat dilakukan, karena koefisien yang dihasilkan tidak bersifat BLUE (best
linier unbiased estimator). Sebagai jalan keluar, kini telah ada model yang khusus
digunakan untuk menghadapi kondisi seperti ini. Model tersebut dikenal dengan
ARCH (AutoRegresive Conditional Heteroscedasticity).
Kelebihan model ini dibandingkan dengan analisis regresi linear berganda
adalah model ini tidak memandang heteroskedastisitas sebagai suatu permasalahan,
tetapi justru memanfaatkan kondisi tersebut untuk membuat model, bahkan dengan
memanfaatkan heteroskedastisitas dalam error yang tepat, maka akan diperoleh
estimator yang lebih efisien (Nachrowi dan Usman, 2006).
Model ini dikembangkan oleh Robert Engle (1982) dan dimodifikasi oleh
Mills (1999). Dalam perkembangannya muncul variasi dari model ini, yang dikenal
dengan
nama
GARCH
(Generalized
AutoRegresive
Conditional
35
Heteroscedasticity), yang dikembangkan oleh tim Bollerslev (1986 dan 1994).
Dalam model ARCH, varian residual data runtut waktu tidak hanya
dipengaruhi oleh variabel independen, tetapi juga dipengaruhi oleh nilai residual
data itu sendiri. Model ARCH menggunakan dua persamaan berikut ini:
Yt = β0 + β1X1t + β2X2t + εt
(3.1)
(3.2)
Dengan Y adalah variabel dependen, X variabel independen (bisa ditambah sesuai
keperluan), ε adalah pengganggu atau residual,
adalah varian residual, dan
disebut sebagai komponen ARCH.
Ada berbagai bentuk ARCH dan GARCH, antara lain:
1. GARCH (1,1)
2. ARCH in Mean (M-ARCH)
3. Treshold ARCH (TARCH)
4. Eksponential ARCH/GARCH (E-(G)ARCH)
5. Simple asymmetric ARCH (SAARCH)
6. dan lain-lain.
Namun yang akan digunakan dalam penelitian ini dan menjadi model yang baik
untuk memprediksi variabel deposito adalah model GARCH (1,1). Persamaan dari
model ini adalah, sebagai berikut:
Yt = β0 + β1X1t + β2X2t + εt
(3.3)
(3.4)
dimana :
36
Yt = variabel dependen pada akhir bulan ke-t
Xit = variabel independen i pada akhir bulan ke-t (i = 1,2,3, ...)
βi = koefesien regresi berganda
εt
= error term ke-t
Sedangkan varian bersyarat
ω
, memiliki tiga bagian, yaitu
= rata-rata (mean)
= Volatilitas periode sebelumnya (disebut komponen ARCH)
= Varian periode sebelumnya (disebut komponen GARCH)
Hal yang menarik dalam persamaan ini tidak hanya peramalan dari Yt saja,
tapi juga peramalan varians
. Perubahan dalam varians sangat penting misalnya
dalam memahami pasar saham atau pasar keuangan.
3.2.2.1 Prosedur Estimasi Model ARCH-GARCH
Dalam mengaplikasikan model ARCH dan GARCH, langkah-langkah yang
dilakukan adalah, sebagai berikut:
1. Identifikasi efek ARCH
Dalam pemodelan ARCH-GARCH didahului dengan identifikasi apakah data
mengandung heteroskedastisitas. Dilanjutkan dengan melihat apakah terdapat
efek ARCH pada residunya.
2. Estimasi Model
Pada tahapan ini dilakukan simulasi beberapa model ragam dengan
menggunakan model rataan yang telah didapatkan. Kemudian dilanjutkan
dengan pendugaan parameter model untuk memilih model terbaik.
3. Evaluasi Model
37
Evaluasi model dilakukan dengan memperhatikan beberapa indikator, yaitu
apakah error sudah terdistribusi normal, dan apakah terdapat masalah
otokorelasi pada error-nya
4. Peramalan
Peramalan dilakukan dengan memasukkan parameter kedalam persamaan yang
diperoleh.
3.2.2.2 Kelebihan dan Keterbatasan Model ARCH-GARCH
Kelebihan model ARCH-GARCH dibandingkan dengan metode OLS
adalah, sebagai berikut :
1. Model ini tidak memandang heteroskedastisitas sebagai suatu masalah, namun
justru memanfaatkannya untuk membuat model.
2. Model ini tidak hanya menghasilkan peramalan dari Y, tapi juga peramalan
dari varians. Perubahan dalam varians sangat penting misalnya untuk
memahami pasar saham dan pasar keuangan.
Sedangkan keterbatasan model ini diantaranya adalah:
1. Model ARCH-GARCH digunakan dengan asumsi data harus mengandung
heteroskedastisitas pada varians-nya.
2. Model ini tidak mampu melihat transisi atau perubahan perilaku antara
volatilitas rendah dengan volatilitas tinggi.
3. Model ini mengasumsikan volatilitas dari error bersifat simetri, yaitu pengaruh
shock terhadap volatilitas sama besar ketika terjadi shock positif maupun
negatif.
38
3.2.3
Uji Akar-akar Unit (Unit Roots Test)
Sebelum mengestimasi data runtun waktu maka terlebih dahulu dilakukan
pengujian stasionaritas data untuk masing-masing variabel. Estimasi dengan data
yang tidak stasioner akan menimbulkan regresi palsu/spurious
regression
(Nachrowi dan Usman, 2006).
Sekumpulan data dinyatakan stasioner jika nilai rata-rata dan variannya
tidak mengalami perubahan secara sistematik sepanjang waktu, atau rata-rata dan
variannya konstan.
Dalam uji akar unit, hipotesis yang dibentuk adalah
Ho : ρ* = 0
(data mengandung akar unit/tidak stasioner)
Ha : ρ* < 0
(data tidak mengandung akar unit/stasioner)
Statistik ADF dihitung dengan:
ADF =
ρ*
(3.5)
SE (ρ*)
Data akan dikatakan menolak Ho artinya tidak mengandung akar unit atau sudah
stasioner jika nilai statistik uji Augmented Dickey-Fuller (ADF) lebih besar negatif
dari nilai kritis tabel Mackinnon atau nilai probability ADF-nya lebih kecil dari
nilai α = 0,05 pada tingkat kepercayaan 95 persen.
Jika pengujian akar unit pada level belum stasioner maka dilanjutkan
pada pengujian pembeda ke-1 (1st differencing) yaitu meregresikan bentuk
pembeda untuk setiap variabel dimana asumsi model dimodifikasi dengan
nilai lag dependen variabel ∆Y.
Yt = ψ1 Yt-1 + ψ2 Yt-2 + ... + ψp Yt-p + μt
(3.6)
39
atau
∆Yt = ψ* Yt-1 + ψ1 ∆Yt-1 + ψ2 ∆Yt-2 + ... + ψp-1 ∆Yt-p + μt
(3.7)
dimana :
ψ* = ψ1+ ψ2+ ... + ψp-1
= nilai koefesien
Penentuan besarnya k berdasarkan perkiraan banyaknya lag yang diperlukan
untuk membuat μt tidak berkorelasi satu sama lain atau sampai data sudah stasioner.
Hipotesis untuk pengujian pembeda adalah:
Ho : ψ* = 0
(data mengandung akar unit/tidak stasioner)
Ha : ψ* < 0
(data tidak mengandung akar unit/stasioner)
Data akan dikatakan menolak Ho artinya tidak mengandung akar unit atau sudah
stasioner jika nilai statistik uji Augmented Dickey-Fuller (ADF) lebih besar negatif
dari nilai kritis tabel Mackinnon atau nilai probability ADF-nya lebih kecil dari
nilai α = 0,05 pada tingkat kepercayaan 95 persen.
3.2.4 Pengujian Asumsi Klasik
Suatu model regresi dapat dikatakan sebagai model regresi terbaik apabila
memenuhi asumsi-asumsi regresi berikut:
3.2.4.1. Normalitas
Analisis regresi linier klasik mengasumsikan bahwa setiap error
berdistribusi normal. Pengujian dilakukan dengan hipotesis, sebagai berikut :
H0 : Error terdistribusi normal
H1 : Error tidak terdistribusi normal
Pengujian asumsi normalitas ini dilakukan dengan melihat nilai Jarque-
40
Berra-nya yang dibandingkan dengan nilai tabel Chi-Square
2
( χ ) dengan
besarnya “v” adalah sesuai dengan jumlah lag-nya. Jika nilai Jarque Berra-nya
lebih kecil dari nilai kritis tabelnya atau nilai probability lebih besar dari nilai α
yang ditetapkan, maka kesimpulan diperoleh adalah terima H0, yang artinya data
terdistribusi normal.
3.2.4.2 Nonmultikolinieritas
Multikolinieritas adalah kondisi adanya hubungan linier antar variabel
independen. Kondisi multikolinieritas ditunjukkan dengan berbagai informasi,
sebagai berikut:
1. Nilai R2 tinggi, tetapi variabel independen banyak yang tidak signifikan.
2. Dengan menghitung koefisien korelasi antar variabel independen. Apabila
koefisiennya rendah, maka tidak terdapat multikolinieritas.
3. Dengan
melakukan
regresi
auxiliary.
Regresi
ini
dilakukan
dengan
memperlakukan masing-masing variabel independen sebagai variabel dependen.
Apabila model kita memiliki multikolinieritas, akan memunculkan akibatakibat berikut ini:
1.
Estimator masih bersifat BLUE (Best Linier Unbiased Estimator), tetapi
memiliki varian dan kovarian yang besar, sehingga sulit dipakai sebagai alat
estimasi.
2.
Interval estimasi cenderung lebar dan nilai statistik uji t akan kecil, sehingga
menyebabkan variabel independen tidak signifikan secara statistik dalam
mempengaruhi variabel indepen.
Uji multikolinieritas adalah pengujian bahwa tidak ada hubungan yang
41
eksak/linier antar variabel independen. Metode yang digunakan untuk mendeteksi
multikolinieritas adalah dengan melihat nilai R2 otokorelasi (AC) tidak melebihi 0,5
baik + atau -.
3.2.4.3 Asumsi Homoskedastisitas
Salah satu asumsi regresi linier yang harus dipenuhi adalah homogenitas
variansi dari error. Homoskedastisitas berarti bahwa variansi dari erro bersifat
konstan, kebalikannya adalah kasus heteroskedastisitas, yaitu jika kondisi variansi
errornya tidak konstan. Heteroskedastisitas sering muncul pada data keuangan yang
bersifat runtut waktu.
-
Pada kondisi homoskedastisitas
Var (Yi) = Var (εi) = σ2 ; i = 1,2,……,n
-
(3.8)
Pada kondisi heteroskedastisitas
Var (Yi) = Var (εi) = σ2i ; i = 1,2,……,n
(3.9)
Pada model regresi kuadrat terkecil, jika asumsi homoskedastisitas tidak
terpenuhi, akibatnya adalah :
1.
Estimator metode kuadrat terkecil tidak memiliki varian yang minimum (tidak
lagi best), sehingga hanya memenuhi karakteristik LUE (linier unbiased
estimator). Meskipun demikian, estimator metode kuadrat terkecil masih
bersifat linier dan tidak bias.
2.
Perhitungan standard error tidak dapat lagi dipercaya kebenarannya, karena
varian tidak minimum. Varian yang tidak minimum mengakibatkan estimasi
regresi tidak efisien.
3.
Uji hipotesis yang didasarkan pada uji t dan uji F tidak dapat lagi dipercaya.
42
Pada penelitian ini pengujian kondisi heteroskedastisitas dideteksi dengan Uji
White Heteroscedasticity. Hipotesis yang diujikan adalah :
H0
: Residu bersifat homoskedastis
Ha
: Residu tidak bersifat homoskedastis
Hasil yang diperhatikan dari uji ini adalah nilai Obs*R-squared dan nilai
Obs*R-squared lebih kecil dari χ2 atau jika nilai
probabilitasnya. Jika nilai
probabilitasnya lebih besar dari α = 0,05, maka terima H0 atau tidak terjadi
heteroskedastisitas. Demikian pula sebaliknya.
3.2.4.4 Asumsi Nonotokorelasi
Otokorelasi dalam konsep regresi linier berarti komponen error berkorelasi
berdasarkan urutan waktu atau korelasi pada dirinya sendiri. Model regresi linier
klasik mengasumsikan bahwa otokorelasi tidak boleh terjadi, artinya covarian antara
εi dan εj sama dengan nol, atau secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut:
Cov (εi εj) = E{[ εi – E(εi)][ εj – E(εj)]}
= E(εi εj) = 0
(3.10)
;i≠0
Dengan asumsi bahwa E(εi) = E(εj) = 0
Artinya, komponen error εi yang berkaitan dengan data pengamatan ke-i tidak
dipengaruhi oleh εj yang berkaitan dengan pengamatan ke-j. dengan kata lain, regresi
klasik mensyaratkan bahwa pengamatan sang satu (yi) dengan pengamatan yang lain
(yj) saling bebas (independen).
Uji otokorelasi dapat diketahui dari nilai Durbin-Watson (DW). Jika nilai
DW hitung lebih besar dari nilai dU pada tabel DW, maka dapat disimpulkan tidak
terjadi otokorelasi. Hipotesis yang diuji adalah H0 = “Tidak terdapat otokorelasi
43
dalam model”. Daerah penolakan H0 dapat dijelaskan sebagai berikut :
I
II
III
IV
V
Tolak H0,
Otokorelasi
Positif
Tidak dapat
diputuskan
Terima H0, tidak
ada otokorelasi
Tidak dapat
diputuskan
Tolak H0,
Otokorelasi
negatif
0
dl
du
4-du
4-dl
4
-
Apabila nilai DW hitung terletak di daerah III, maka tidak ada otokorelasi.
-
Bila DW hitung terletak di daerah I, artinya ada otokorelasi positif.
-
Bila DW hitung terletak di daerah V, maka ada otokorelasi negatif.
-
Bila DW hitung terletak di daerah II dan IV, artinya tidak dapat diputuskan
(daerah ragu-ragu)
3.2.5
Pengujian Kelayakan Model
3.2.5.1 Pengujian Nilai Koefesien Determinasi ( R2 )
Koefesien determinasi adalah rasio dari jumlah kuadrat regresi dengan
jumlah kuadrat total. Kelayakan suatu model regresi dapat dilihat dari koefesien
determinasi (R2) yang menunjukkan proporsi variasi dalam variabel dependen yang
dijelaskan oleh variabel-variabel independen secara bersam-sama. R2 sangat
dipengaruhi
oleh
penambahan
jumlah
variabel
penjelas,
maka
untuk
menyesuaikannya digunakan adjusted R2 (R2adj), yang dirumuskan sebagai berikut:
(3.11)
atau
(3.12)
(3.13)
dimana :
44
0 < R2, R2adj < 1
2
Residual Sum of Square = RSS = ∑ei = ∑( Å·i
Explained Sum of Square = ESS = ∑( yi
Total Sum of Square = TSS = ∑ yi
– Ñž)2
– Å·i)2
2
3.2.5.2 Pengujian Koefesien Regresi Secara Simultan
Pengujian
koefesien
regresi
secara
simultan
dilakukan
dengan
menggunakan tabel ANOVA atau tabel Estimate Equation pada Eviews dengan
hipotesis sebagai berikut :
Ho : bi = 0, untuk semua i
Ha : sekurang-kurangnya satu bi ≠ 0 , i = banyak parameter
Statistiki uji F yang digunakan dalam pengujian koefesien regresi secara simultan
adalah :
(3.14)
Ho ditolak jika Fobs > Fα;(p-1)(n-p) yang berarti ada pengaruh dari variabel
independen terhadap variabel dependen yaitu indeks harga saham gabungan.
3.2.5.3 Pengujian Koefesien Regresi Secara Parsial
Pengujian koefesien regresi secara parsial menggunakan statistik uji t,
dengan hipotesis sebagai berikut:
Ho : bi = 0, (tidak ada pengaruh variabel X terhadap variabel Y)
Ha : bi ≠ 0, (ada pengaruh variabel X terhadap variabel Y)
45
Statistik uji :
(3.15)
Ho ditolak jika tobs > tα/2;(n-p) yang berarti ada pengaruh dari variabel independen
terhadap variabel dependen yaitu indeks harga saham gabungan
46
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Analisis Perkembangan Jumlah Deposito Berjangka, Suku Bunga
Deposito dan Inflasi
4.1.1 Perkembangan Jumlah Deposito Berjangka
Pada periode pengamatan, yaitu Januari 2004 hingga Desember 2010,
jumlah deposito berjangka yang terhimpun cenderung mengalami kenaikan.
Pada bulan Januari 2004 tercatat sebesar 426,42 triliun rupiah, kemudian
berfluktuasi tetapi cenderung naik hingga pada bulan Desember 2010 jumlah
deposito berada pada nilai 1.069,81 triliun rupiah.
Jumlah Deposito
(Triliun Rupiah)
450
425
400
375
Periode
350
Sumber : Bank Indonesia (2005)
Gambar 4. Perkembangan jumlah deposito berjangka tahun 2004
47
Pada periode sepanjang tahun 2004 hingga kuartal pertama tahun 2005,
jumlah deposito berjangka yang berhasil dihimpun oleh bank-bank di
Indonesia tidak mengalami peningkatan yang berarti bahkan cenderung
mengalami penurunan. Hal tersebut terlihat dari jumlah tabungan deposito
pada bulan desember 2004 dan maret 2005, masing-masing sebesar 420,99
triliun rupiah dan 421,66 triliun rupiah, lebih sedikit jika dibandingkan angka
bulan januari 2004. Berbagai peristiwa politik, seperti pemilihan umum
legislatif dan Pemilihan Presiden/Wakil Presiden secara langsung cukup
menyita perhatian masyarakat yang berimbas pada meningkatnya faktor resiko
investasi di dalam negeri. Ditambah lagi masih pada semester kedua 2004,
industri perbankan nasional diwarnai dengan terjadinya fraud (kecurangan)
yang berakhir dengan penutupan dua buah bank dan pencabutan izin usaha
sebuah bank kecil. Hal tersebut cukup membuat industri perbankan nasional
menjadi stagnan.
Pada paruh kedua tahun 2005, ditengah kekhawatiran pelaku usaha
akibat terus meroketnya harga minyak internasional dan kenaikan harga BBM
domestik, minat masyarakat terhadap tabungan deposito berjangka justru
meningkat mencapai jumlah 565,03 triliun rupiah pada bulan Desember 2005.
Jika dibandingkan dengan bulan desember tahun sebelumnya terjadi
peningkatan sebesar 34,22 persen. Hal ini sejalan dengan upaya kebijakan
yang diterapkan oleh Bank Indonesia melalui penerbitan BI-rate sebagai target
operasional dalam pengendalian inflasi sehingga pergerakan suku bunga
domestik lebih terarah. Pada akhir bulan Desember 2005 BI melakukan
48
kebijakan pengetatan moneter dengan menaikan suku bunga BI-rate mencapai
12,75 persen.
Jumlah Deposito
(Triliun Rupiah)
650
625
600
575
550
525
500
475
450
425
400
Periode
Sumber : Bank Indonesia (2007)
Gambar 5. Perkembangan jumlah deposito berjangka tahun 2005 – 2006
Perkembangan tabungan deposito berjangka pada bank-bank umum
pada periode tahun 2006 sampai 2007 relatif stabil ditengah tekanan
perekonomian internasional dan domestik yang terjadi. Pada akhir Desember
2006 jumlah dana pihak ketiga yang berasal dari tabungan deposito sebesar
615,16 triliun rupiah, meningkat 8,87 persen dibandingkan bulan Desember
tahun 2005. Sedangkan pada bulan Desember 2007 jumlah deposito yang
berhasil dihimpun mencapai 666,71 triliun rupiah atau meningkat sebesar 8,38
persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Penurunan gradual
tingkat suku bunga deposito sebagai respon dari kebijakan BI menurunkan BI
rate tidak banyak mempengaruhi likuiditas sektor perbankan.
49
Jumlah Deposito
(Triliun Rupiah)
850
825
800
775
750
725
700
675
650
625
600
Periode
Sumber : Bank Indonesia (2009)
Gambar 6. Perkembangan jumlah deposito berjangka tahun 2007 - 2008
Periode tahun 2008 masih diwarnai dengan isu harga minyak dunia
yang tinggi, hingga mencapai 150 US$/barel. Kondisi tersebut sangat
menyulitkan negara-negara pengimpor minyak, termasuk Indonesia. Untuk
mengantisipasi defisit APBN, pemerintah kembali mengurangi beban subsidi
BBM yang menyebabkan kenaikan harga BBM bersubsidi pada paruh
pertama tahun 2008. Pada rentang waktu ini, pertumbuhan jumlah deposito
berjangka yang terkumpul cenderung melambat, bahkan beberapa kali
mengalami penurunan. Namun pada paruh kedua tahun 2008, penghimpunan
dana pihak ketiga, termasuk deposito, mengalami peningkatan yang cukup
berarti seiring dengan meningkatnya suku bunga deposito yang mencapai
10,57 persen pada Desember 2008.
50
Faktor lain yang turut mendukung kenaikan DPK adalah kebijakan
pemerintah melalui Perppu pada Oktober 2008 untuk meningkatkan cakupan
penjaminan simpanan oleh LPS dari sebesar Rp. 100 juta menjadi Rp. 2 miliar
per nasabah per bank. Kebijakan tersebut dinilai cukup efektif untuk
mempertahankan dan bahkan mendorong peningkatan dana masyarakat di
perbankan. Besarnya deposito yang terkumpul oleh sektor perbankan pada
akhir tahun 2008 mencapai 824,7 triliun rupiah atau meningkat sebesar 23,7
persen dibandingkan bulan Desember tahun sebelumnya.
Pada periode tahun 2009, seiring dengan membaiknya perekonomian
domestik, dan mulai kondusifnya situasi perekonomian internasional,
perkembangan jumlah deposito mengalami peningkatan yang cukup berarti,
tercatat sebesar 899,78 triliun rupiah pada bulan Desember 2009. Jumlah ini
terus meningkat pada Desember 2010 menjadi 1.069,81 triliun rupiah atau
meningkat 18,9 persen dibandingkan tahun sebelumnya, sejalan dengan
pemulihan ekonomi di berbagai sektor.
4.1.2 Perkembangan Suku Bunga Deposito Satu Bulan
Pada awal periode penelitian, yakni Januari 2004, tingkat suku bunga
deposito 1 bulan sebesar 6,27 persen dan berfluktuasi setiap bulannya. Selama
periode penelitian 2004 - 2010, tercatat dua kali suku bunga deposito mencapai
puncak tertingginya. Yang pertama dimulai pada triwulan keempat tahun 2005,
ditandai dengan kenaikan harga BBM bersubsidi, tingkat suku bunga deposito
mencapai 10,43 persen dan terus merangkak naik hingga mencapai level 12,01
persen pada Januari 2006. Tingkat suku bunga deposito bertahan diatas level 10
51
persen berlangsung hingga periode bulan Oktober 2006. Selanjutnya pada periode
tahun 2007 hingga semester pertama 2008, tingkat suku bunga deposito relatif
stabil pada kisaran 6 - 8 persen. Periode puncak yang kedua terjadi pada
penghujung tahun 2008, tingkat suku bunga deposito mencapai level 10,75 persen,
namun beberapa bulan kemudian berangsur turun kembali.
Suku bunga
deposito (%)
14.00
12.00
10.00
8.00
6.00
4.00
2.00
Periode
0.00
Sumber : Bank Indonesia (2011)
Gambar 7. Perkembangan suku bunga deposito tahun 2004 – 2010
Perkembangan suku bunga deposito banyak dipengaruhi oleh suku
bunga SBI dan BI-rate yang merupakan instrumen kebijakan moneter bank
sentral. Pada periode akhir tahun 2005, sebagai imbas dari kenaikan harga
BBM, perekenomian mendapat tekanan yang kuat dari inflasi. Guna meredam
meningkatnya tekanan inflasi dan sebagai langkah antisipatif mengendalikan
tekanan inflasi ke depan, Bank Indonesia melanjutkan kebijakan moneter yang
cenderung ketat. Dalam RDG pada awal bulan Desember 2005, BI Rate
52
ditetapkan naik menjadi sebesar 12,75 persen. Kenaikan suku bunga instrumen
moneter tersebut direspon oleh kenaikan indikator suku bunga lainnya, seperti
suku bunga penjaminan, deposito, simpanan, dan kredit. Kenaikan suku bunga
dana tersebut mendorong pesatnya pertumbuhan volume simpanan masyarakat.
Pada akhir tahun 2010, suku bunga deposito terus mengalami tren
penurunan. Hal tersebut merupakan respon perbankan terhadap penurunan BI rate
pada level 6,5 persen. Pada periode ini, sektor perbankan domestik mengalami
kelebihan likuiditas yang disebabkan oleh derasnya aliran modal asing yang
masuk ke emerging market, termasuk Indonesia. Kelebihan likuiditas yang
didominasi oleh peningkatan dana pihak ketiga, seperti tabungan dan deposito,
sangat berarti bagi upaya penyehatan sektor perbankan dan pada gilirannya akan
berimbas kepada sektor riil melalui peningkatan investasi.
4.1.3 Perkembangan Inflasi
Pada awal periode penelitian, yakni bulan januari 2004, inflasi IHK (m-t-m)
tercatat sebesar 0,57 persen, dan mengalami tren penurunan pada bulan berikutnya
yang mencatat terjadinya deflasi sebesar -0,02 persen pada Februari 2004. deflasi ini
terjadi terutama disumbang oleh penurunan harga kelompok bahan makanan, dan
kelompok pendidikan, rekreasi, dan olahraga.
Besaran inflasi bulanan yang tercatat sepanjang periode penelitian (2004m1 :
2010m12) relatif stabil dengan fluktuasi dibawah 1persen perbulan. Nilai inflasi
bulanan menembus angka 1 persen hanya pada bulan-bulan tertentu saja, yakni
Desember dan Januari, terkait dengan perayaan hari raya dan tahun baru.
53
Inflasi (m-t-m) tertinggi yang terjadi pada periode penelitian, tercatat pada
bulan Oktober 2005, sebesar 8,7 persen, yang diakibatkan oleh kenaikan harga
BBM. Namun kondisi ini cepat diantisipasi oleh pemerintah melalui berbagai
program pengamanan, baik di sektor riil maupun sektor keuangan, seperti
peningkatan suku bunga BI-rate dan operasi pasar terbuka. Hasilnya, inflasi
kembali ke level yang dapat dikendalikan dan tidak berdampak buruk terhadap
perekonomian dalam jangka panjang.
Inflasi (%)
10.00
9.00
8.00
7.00
6.00
5.00
4.00
3.00
2.00
1.00
0.00
Periode
-1.00
Sumber : Bank Indonesia (2011)
Gambar 8. Perkembangan Inflasi Tahun 2004 – 2010
Secara umum dapat disimpulkan bahwa fluktuasi harga di dalam negeri
sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal, seperti harga minyak dunia, dan harga
komoditas impor, baik dalam bentuk bahan baku maupun bahan pangan.
Penerapan skema inflation targeting yang menjadi perhatian utama BI dirasakan
cukup efektif dalam meredam gangguan eksternal yang mengancam perekonomian
domestik. Sampai dengan bulan terakhir periode penelitian, yakni Desember 2010,
tercatat sebesar 0,92 persen.
54
4.2
Pengaruh Suku Bunga Deposito dan Inflasi Terhadap Jumlah Deposito
Berjangka
Analisis
deskriptif
di
atas
belum
memperlihatkan bagaimana
sebenarnya pengaruh inflasi dan suku bunga deposito terhadap perubahan jumlah
deposito berjangka. Analisis regresi ini digunakan untuk memperjelas dan
memperlihatkan bagaimana sebenarnya dan seberapa besar pengaruh variabelvariabel tersebut terhadap jumlah deposito yang terkumpul pada periode Januari
2004 hingga Desember 2010.
4.2.1
Pengujian Model
4.2.1.1 Pengujian Asumsi Klasik
a.
Pengujian Stasionaritas
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini yang berupa data runtun
waktu maka terlebih dahulu harus dilakukan pengujian stasionaritas data untuk
masing-masing variabel. Estimasi dengan data yang tidak stasioner akan
menyebabkan superinkonsistensi dan timbulnya regresi
palsu (spurious
regression), sehingga sebenarnya metode inferensia klasik tidak dapat diterapkan.
Berdasarkan pengujian stasionaritas dengan metode pengujian akar-akar unit
menunjukkan:
Variabel deposito dan suku bunga deposito pada pengujian level belum
stasioner yang ditunjukkan dengan statistik uji -1,44 dan -3,03 dan nilai probability
Augmented Dickey-Fuller (ADF) masing-masing 0,84 dan 0,13 yang lebih besar
dari α = 0.05. Pengujian dilanjutkan dengan uji akar-akar unit pada pembeda
ke-1 (1st differencing). Pada tahap uji pembeda ke-1 ini variabel deposito dan
55
suku bunga deposito menghasilkan nilai probability ADF masing-masing
0,000 dan 0,019 atau lebih kecil dari α = 0.05, sehingga variabel deposito dan
suku bunga deposito dapat dikatakan telah stasioner. Sedangkan variabel inflasi
pada pengujian level sudah menghasilkan nilai probability ADF lebih kecil
dari nilai α = 0.05 sehingga
memperlihatkan
bahwa
data inflasi
telah
stasioner. (lampiran 2 dan 3)
b.
Pengujian Kenormalan
Pengujian dilakukan dengan H0 adalah error data terdistribusi normal.
Berdasarkan output dengan menggunakan perangkat lunak Eviews 6 diperoleh
nilai Jarque-Berra sebesar 1,3168 dengan probabilitas 0,5177, angka ini lebih
besar dari nilai α = 0,05, sehingga kesimpulannya adalah terima H0, artinya pada
tingkat ketelitian 5 persen asumsi kenormalan terpenuhi.
c.
Pengujian Multikolinieritas
Pemeriksaan adanya multikolinieritas pertamakali dilakukan dengan melihat
nilai koefisien korelasi antar variabel bebasnya. Dari hasil output dapat dilihat nilai
koefisien korelasi yang rendah antar variabel bebas, yang menandakan bahwa
multikolinieritas tidak terjadi.
Tabel 4.1. Koefisien Korelasi Antarvariabel Bebas
CORRELATION
INFLASI
SBDEPO
INFLASI
1.000000
0.041683
SBDEPO
0.041683
1.000000
56
Selain itu, metode lain yang digunakan untuk mendeteksi multikolinieritas
adalah dengan melihat nilai r2 otokorelasi (AC) tidak melebihi 0,5 baik (+/-).
Pengujian
Collerogram-Q
Statistik
dapat
dibuktikan
bahwa
asumsi
nonmultikolinieritas terpenuhi dimana nilai AC tidak ada yang melebihi nilai
+/- 0,5 (lampiran 7)
d.
Pengujian Homoskedastisitas
Dengan menggunakan H0 adalah residu bersifat homoskedastis. Pengujian
Heteroskedastisitas dengan metode White Heteroscedasticity Test (cross term)
diperoleh nilai probabilitas Obs*R-squared = 0,000, atau lebih kecil dari nilai α
= 0,05, maka H0 ditolak, sehingga dapat disimpulkan bahwa residu tidak
bersifat homoskedastik. Dengan kata lain data tersebut mengandung masalah
heteroskedastisitas.
Tabel 4.2. Hasil Output White Heteroscedasticity Test
F-statistic
9.054622
Prob. F(5,78)
0.0000
Obs*R-squared
30.84972
Prob. Chi-Square(5)
0.0000
Scaled explained SS
14.86725
Prob. Chi-Square(5)
0.0109
e.
Pengujian Otokorelasi
Pemeriksaan adanya otokorelasi dilakukan dengan statistik uji Durbin-
Watson menunjukkan nilai DW hitung sebesar 1,704. Berdasarkan tabel D-W,
pada nilai n = 83 dan k=2, nilai dU=1,6928 dan dL=1,5942. Artinya, nilai DW
hitung lebih besar dari dU dan lebih kecil dari (4-dU), sehingga dapat disimpulkan
bahwa model terbebas dari masalah otokorelasi.
57
4.2.1.2 Pengujian Kelayakan Model
a.
Pengujian Nilai Koefisien Determinasi
Dari output model persamaan regresi menghasilkan R2 sebesar 0,3125 dan
R2adjusted sebesar 0,2614 dengan nilai Log-likelihood -313,8171. Hal ini
menunjukkan bahwa keragaman dalam perkembangan jumlah deposito yang
dapat dijelaskan oleh variabel inflasi dan suku bunga deposito adalah sebesar
31,25 persen saja. Kecilnya pengaruh ini karena dalam memutuskan
berinvestasi dalam bentuk deposito banyak faktor-faktor lain diluar variabel
model yang juga berpengaruh dan dijadikan dasar pertimbangan oleh investor
dalam berinvestasi dalam bentuk deposito. Faktor lain tersebut diantaranya adalah
situasi keamanan dan politik dalam negeri, kredibilitas sektor perbankan, situasi
perekonomian internasional, dan lain sebagainya.
Kecilnya nilai R2 sejalan dengan hasil yang diperoleh dari penelitian
penelitian sebelumnya yang juga hanya menghasilkan nilai R2 yang juga relatif kecil.
Tuti (2006) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Permintaan Deposito
Berjangka Dalam Negeri Pada Bank Umum di Indonesia, menghasilkan nilai R2
sebesar 33,15 persen. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Setyaningsih (1999)
menghasilkan nilai R2 sebesar 36,33 persen.
b.
Pengujian Koefisien Regresi Secara Simultan
Tabel output menunjukkan dengan tingkat kepercayaan 95 persen,
model persamaan linier sudah layak untuk menjelaskan hubungan antara variabel
independen dengan variabel dependen. Nilai F-statistic dari model persamaan
regresi sebesar 4,1571 lebih besar dari nilai kritis distribusi F(0,05:2,80) = 3,11.
58
Artinya, secara simultan inflasi dan suku bunga deposito berpengaruh terhadap
jumlah deposito yang terhimpun pada bank umum. Hasil yang sama juga
ditunjukkan oleh nilai Probabilitas F-statistic = 0,0001 yang lebih kecil dari α = 0,05.
c.
Pengaruh Koefisien Regresi Secara Parsial
Pada tingkat kepercayaan 95 persen, variabel inflasi berpengaruh
negatif dan signifikan terhadap jumlah deposito, sedangkan suku bunga deposito
berpengaruh positif dan signifikan terhadap jumlah deposito. Hal tersebut
ditunjukkan oleh nilai prob dari variabel inflasi dan suku bunga deposito, berturutturut 0,0178 dan 0,0004 yang lebih kecil dari nilai α=0,05.
4.2.2 Hasil Estimasi Pengaruh Suku Deposito dan Inflasi Terhadap Jumlah
Deposito Berjangka
Berdasarkan hasil pengolahan menggunakan program E-Views versi 6
dihasilkan output sebagai berikut:
Tabel 4.3. Hasil Output GARCH (1,1)
Variable
Coefficient
Std. Error
z-Statistic
Prob.
C
6.518249
0.932959
6.986638
0.0000
D(INFLASI)
-0.341740
0.945467
-1.361450
0.0178
D(SBDEPO)
13.79308
3.892986
3.543059
0.0004
R-squared
Adjusted R-squared
0.312563
0.261431
Hasil output E-Views 6 menghasilkan nilai koefisien dan probabilitas dari
masing-masing variabel serta nilai R-Squared dari model yang terbentuk.
Berdasarkan tabel diatas, model persamaan regresi dengan metode GARCH
(1,1) yang terbentuk adalah :
59
d(depo) = 6,518 - 0,342*d(inflasi) + 13,793*d(sbdepo)
Sedangkan var (et)-nya memiliki persamaan berikut :
Output model GARCH (1,1) menunjukkan bahwa model mempunyai
variabel bebas yang secara bersama-sama mempunyai pengaruh terhadap perubahan
deposito berjangka.
Selain itu dapat dinyatakan bahwa semua variabel bebas
mempunyai pengaruh yang signifikan. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa
tingkat inflasi dan suku bunga deposito mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadap
perubahan
deposito
berjangka.
Selain
itu,
persamaan
yang
menggambarkan pergerakan varians dari residual model juga menunjukkan bahwa
semua koefisien signifikan. Ini menunjukkan bahwa model GARCH (1,1) memang
layak digunakan . Interpretasi yang dihasilkan dapat dijabarkan, sebagai berikut:
-
Jika kedua variabel independen (inflasi, dan suku bunga deposito)
bernilai rendah sekali, maka jumlah deposito akan berubah sebesar 6,518
triliun rupiah.
-
Kenaikan 1 persen pada inflasi akan menyebabkan penurunan pada jumlah
deposito sebesar 0,342 triliun dengan asumsi faktor yang lain konstan.
-
Kenaikan 1 persen pada suku bunga deposito akan menyebabkan
kenaikan pada jumlah deposito sebesar 13,793 triliun dengan asumsi faktor
yang lain konstan.
Dari model yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa variabel inflasi
memiliki hubungan yang negatif dengan jumlah deposito. Artinya, kenaikan tingkat
inflasi akan menjadi faktor penghambat bagi tumbuhnya dana deposito masyarakat.
60
Kondisi ini sesuai dengan hasil penelitian-penelitian terdahulu yang menyatakan
bahwa inflasi berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan jumlah deposito berjangka.
Kecilnya pengaruh inflasi terhadap deposito yang tertangkap didalam model
disebabkan oleh cepatnya antisipasi suku bunga dalam menyikapi naiknya inflasi.
Berdasarkan data empiris yang ada, kenaikan inflasi langsung diimbangi dengan
kenaikan pada suku bunga yang menyebabkan deposito tidak mengalami penurunan
yang berarti. Selain itu, penelitian sebelumnya (Tuti, 2006) , juga menghasilkan
angka koefisien yang relatif kecil, yakni -1,29 untuk variabel inflasi. Artinya variabel
inflasi secara relatif memiliki pengaruh yang kecil terhadap jumlah deposito
berjangka yang terhimpun.
Variabel suku bunga deposito memiliki koefisien yang cukup besar, yakni
13,793, yang artinya kenaikan suku bunga deposito akan direspon oleh masyarakat
dengan meningkatkan simpanan depositonya dalam jumlah yang cukup berarti.
Namun jika dilihat secara persentase, nilai tersebut juga relatif kecil, yakni berkisar
0,65 persen, artinya kenaikan satu persen pada suku bunga akan berimbas pada
kenaikan jumlah deposito sebesar 0,65 persen. Hal tersebut merupakan fenomena
yang umum terjadi, khususnya di negara-negara berkembang yang tingkat
pendapatan masyarakatnya masih relatif rendah. Dimana kenaikan atau penurunan
suku bunga deposito tidak mempengaruhi keputusan masyarakat berpendapatan
rendah untuk menabung dalam bentuk deposito.
61
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan sebelumnya baik analisis
deskriptif maupun analisis inferensia dapat diambil kesimpulan:
1.
Jumlah deposito bulanan selama periode penelitian mengalami fluktuasi
namun
secara
umum mengalami kenaikan. Inflasi berfluktuasi namun
secara umum tetap stabil. Suku bunga deposito selama periode penelitian
mengalami fluktuasi.
2.
Perkembangan jumlah deposito secara simultan dipengaruhi oleh tingkat
inflasi, dan suku bunga deposito. Tingkat inflasi berpengaruh negatif dan
signifikan terhadap jumlah deposito sedangkan suku bunga deposito
berpengaruh positif dan signifikan terhadap jumlah deposito.
3.
Perubahan dalam jumlah deposito dapat dijelaskan oleh inflasi, kurs dan
suku bunga deposito sebesar 31,25 persen. Kecilnya variabel moneter di
atas dalam mempengaruhi jumlah deposito karena banyak informasi dan
faktor-faktor lain yang juga dijadikan bahan pertimbangan oleh para investor
dalam menanamkan investasinya di deposito.
62
5.2 Saran
1. Dalam rangka meningkatkan minat masyarakat untuk berinvestasi dalam
bentuk deposito, pemerintah dalam hal ini otoritas moneter, lebih jeli
menangkap keinginan pasar, terutama dalam hal penetapan BI rate.
2.
Diharapkan ada penelitian lain dengan metode berbeda dengan tujuan
memperkuat dan memperjelas hubungan antara faktor-faktor yang dipakai
dalam penelitian ini seperti kausalitas atau metode persamaan simultan.
63
DAFTAR PUSTAKA
Ajija, S. R., D. Wulansari, R. H. Setianto, dan M. R. Primanthi. 2010. Cara Cerdas
Menguasai Eviews. Penerbit Salemba Empat, Jakarta.
Bank Indonesia. 2004. Laporan Bulanan Ekonomi, Moneter dan Perbankan.
Edisi Januari 2004. BI, Jakarta.
. 2004. Laporan Bulanan Ekonomi, Moneter dan Perbankan. Edisi
Februari 2004. BI, Jakarta.
. 2004. Laporan Bulanan Ekonomi, Moneter dan Perbankan. Edisi Maret
2004. BI, Jakarta.
. 2004. Laporan Bulanan Ekonomi, Moneter dan Perbankan. Edisi April
2004. BI, Jakarta.
. 2004. Laporan Bulanan Ekonomi, Moneter dan Perbankan. Edisi Mei
2004. BI, Jakarta.
. 2004. Laporan Bulanan Ekonomi, Moneter dan Perbankan. Edisi Juni
2004. BI, Jakarta.
. 2004. Laporan Bulanan Ekonomi, Moneter dan Perbankan. Edisi Juli
2004. BI, Jakarta.
. 2004. Laporan Bulanan Ekonomi, Moneter dan Perbankan. Edisi
Agustus 2004. BI, Jakarta.
. 2004. Laporan Bulanan Ekonomi, Moneter dan Perbankan. Edisi
September 2004. BI, Jakarta.
. 2004. Laporan Bulanan Ekonomi, Moneter dan Perbankan. Edisi
Oktober 2004. BI, Jakarta.
. 2004. Laporan Bulanan Ekonomi, Moneter dan Perbankan. Edisi
November 2004. BI, Jakarta.
. 2004. Laporan Bulanan Ekonomi, Moneter dan Perbankan. Edisi
Desember 2004. BI, Jakarta.
. 2005. Laporan Bulanan Ekonomi, Moneter dan Perbankan. Edisi
Januari 2005. BI, Jakarta.
. 2005. Laporan Bulanan Ekonomi, Moneter dan Perbankan. Edisi
Februari 2005. BI, Jakarta.
. 2005. Laporan Bulanan Ekonomi, Moneter dan Perbankan. Edisi Maret
2005. BI, Jakarta.
. 2005. Laporan Bulanan Ekonomi, Moneter dan Perbankan. Edisi April
2005. BI, Jakarta.
. 2005. Laporan Bulanan Ekonomi, Moneter dan Perbankan. Edisi Mei
2005. BI, Jakarta.
64
. 2005. Laporan Bulanan Ekonomi, Moneter dan Perbankan. Edisi Juni
2005. BI, Jakarta.
. 2005. Laporan Kebijakan Moneter Triwulan II 2005. Edisi Juli 2005.
BI, Jakarta.
. 2005. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Agustus 2005. BI, Jakarta.
. 2005. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi September 2005. BI, Jakarta.
. 2005. Laporan Kebijakan Moneter Triwulan III 2005. Edisi Oktober
2005. BI, Jakarta.
. 2005. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi November 2005. BI, Jakarta.
. 2005. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Desember 2005. BI, Jakarta.
. 2006. Laporan Kebijakan Moneter Triwulan IV 2005. Edisi Januari
2005. BI, Jakarta.
. 2006. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Februari 2006. BI, Jakarta.
. 2006. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Maret 2006. BI, Jakarta.
. 2006. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi April 2006. BI, Jakarta.
. 2006. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Juni 2006. BI, Jakarta.
. 2006. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Juli 2006. BI, Jakarta.
. 2006. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Agustus 2006. BI, Jakarta.
. 2006. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi September 2006. BI, Jakarta.
. 2006. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Oktober 2006. BI, Jakarta.
. 2006. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi November 2006. BI, Jakarta.
. 2006. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Desember 2006. BI, Jakarta.
. 2007. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Januari 2007. BI, Jakarta.
. 2007. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Februari 2007. BI, Jakarta.
. 2007. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Maret 2007. BI, Jakarta.
. 2007. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi April 2007. BI, Jakarta.
. 2007. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Mei 2007. BI, Jakarta.
. 2007. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Juni 2007. BI, Jakarta.
. 2007. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Juli 2007. BI, Jakarta.
. 2007. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Agustus 2007. BI, Jakarta.
. 2007. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi September 2007. BI, Jakarta.
. 2007. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Oktober 2007. BI, Jakarta.
. 2007. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi November 2007. BI, Jakarta.
. 2007. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Desember 2007. BI, Jakarta.
65
. 2008. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Januari 2008. BI, Jakarta.
. 2008. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Februari 2008. BI, Jakarta.
. 2008. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Maret 2008. BI, Jakarta.
. 2008. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi April 2008. BI, Jakarta.
. 2008. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Mei 2008. BI, Jakarta.
. 2008. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Juni 2008. BI, Jakarta.
. 2008. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Juli 2008. BI, Jakarta.
. 2008. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Agustus 2008. BI, Jakarta.
. 2008. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi September 2008. BI, Jakarta.
. 2008. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Oktober 2008. BI, Jakarta.
. 2008. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi November 2008. BI, Jakarta.
. 2008. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Desember 2008. BI, Jakarta.
. 2009. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Januari 2009. BI, Jakarta.
. 2009. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Februari 2009. BI, Jakarta.
. 2009. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Maret 2009. BI, Jakarta.
. 2009. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi April 2009. BI, Jakarta.
. 2009. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Mei 2009. BI, Jakarta.
. 2009. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Juni 2009. BI, Jakarta.
. 2009. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Juli 2009. BI, Jakarta.
. 2009. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Agustus 2009. BI, Jakarta.
. 2009. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi September 2009. BI, Jakarta.
. 2009. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Oktober 2009. BI, Jakarta.
. 2009. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi November 2009. BI, Jakarta.
. 2009. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Desember 2009. BI, Jakarta.
. 2010. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Januari 2010. BI, Jakarta.
. 2010. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Februari 2010. BI, Jakarta.
. 2010. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Maret 2010. BI, Jakarta.
. 2010. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi April 2010. BI, Jakarta.
. 2010. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Mei 2010. BI, Jakarta.
. 2010. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Juni 2010. BI, Jakarta.
. 2010. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Juli 2010. BI, Jakarta.
. 2010. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Agustus 2010. BI, Jakarta.
66
. 2010. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi September 2010. BI, Jakarta.
. 2010. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Oktober 2010. BI, Jakarta.
. 2010. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi November 2010. BI, Jakarta.
. 2010. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Desember 2010. BI, Jakarta.
. 2004. Data Perbankan Indonesia. Edisi Januari 2004. BI, Jakarta.
. 2004. Data Perbankan Indonesia. Edisi Februari 2004. BI, Jakarta.
. 2004. Data Perbankan Indonesia. Edisi Maret 2004. BI, Jakarta.
. 2004. Data Perbankan Indonesia. Edisi April 2004. BI, Jakarta.
. 2004. Data Perbankan Indonesia. Edisi Mei 2004. BI, Jakarta.
. 2004. Data Perbankan Indonesia. Edisi Juni 2004. BI, Jakarta.
. 2004. Data Perbankan Indonesia. Edisi Juli 2004. BI, Jakarta.
. 2004. Data Perbankan Indonesia. Edisi Agustus 2004. BI, Jakarta.
. 2004. Data Perbankan Indonesia. Edisi September 2004. BI, Jakarta.
. 2004. Data Perbankan Indonesia. Edisi Oktober 2004. BI, Jakarta.
. 2004. Data Perbankan Indonesia. Edisi November 2004. BI, Jakarta.
. 2004. Data Perbankan Indonesia. Edisi Desember 2004. BI, Jakarta.
. 2006. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 4 No.2. BI, Jakarta.
. 2006. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 4 No.3. BI, Jakarta.
. 2006. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 4 No.4. BI, Jakarta.
. 2006. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 4 No.5. BI, Jakarta.
. 2006. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 4 No.6. BI, Jakarta.
. 2006. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 4 No.7. BI, Jakarta.
. 2006. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 4 No.8. BI, Jakarta.
. 2006. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 4 No.9. BI, Jakarta.
. 2006. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 4 No.10. BI, Jakarta.
. 2006. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 4 No.11. BI, Jakarta.
. 2006. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 4 No.12. BI, Jakarta.
. 2006. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 5 No.1. BI, Jakarta.
. 2008. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 6 No.2. BI, Jakarta.
. 2008. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 6 No.3. BI, Jakarta.
. 2008. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 6 No.6. BI, Jakarta.
. 2008. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 6 No.5. BI, Jakarta.
67
. 2008. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 6 No.6 . BI, Jakarta.
. 2008. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 6 No.7. BI, Jakarta.
. 2008. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 6 No.8. BI, Jakarta.
. 2008. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 6 No.9. BI, Jakarta.
. 2008. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 6 No.10. BI, Jakarta.
. 2008. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 6 No.11. BI, Jakarta.
. 2008. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 6 No.12. BI, Jakarta.
. 2008. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 7 No.1. BI, Jakarta.
. 2010. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 8 No.2. BI, Jakarta.
. 2010. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 8 No.3. BI, Jakarta.
. 2010. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 8 No.4. BI, Jakarta.
. 2010. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 8 No.5. BI, Jakarta.
. 2010. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 8 No.6. BI, Jakarta.
. 2010. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 8 No.7. BI, Jakarta.
. 2010. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 8 No.8. BI, Jakarta.
. 2010. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 8 No.9. BI, Jakarta.
. 2010. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 8 No.10. BI, Jakarta.
. 2010. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 8 No.11. BI, Jakarta.
. 2010. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 8 No.12. BI, Jakarta.
. 2010. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 9 No.1. BI, Jakarta.
BPS. 2005. Indikator Ekonomi Indonesia Tahun 2004. BPS, Jakarta.
.2006. Indikator Ekonomi Indonesia Tahun 2005. BPS, Jakarta.
.2007. Indikator Ekonomi Indonesia Tahun 2006. BPS, Jakarta.
.2008. Indikator Ekonomi Indonesia Tahun 2007. BPS, Jakarta.
.2009. Indikator Ekonomi Indonesia Tahun 2008. BPS, Jakarta.
.2010. Indikator Ekonomi Indonesia Tahun 2009. BPS, Jakarta.
.2011. Indikator Ekonomi Indonesia Tahun 2010. BPS, Jakarta.
Blanchard, O. 2006. Macroeconomis (4th edition). Pearson Prentice Hall,
Massachusetts.
Cohen, B. C. dan G. C. Kaufman. 1963 ”Factors Determining Bank Deposit Growth
by State: An Empirical Analysis”. Journal of Finance XVIII, 319:59.
Dornbusch, R., S. Fischer., dan R. Startz. 2008. Makroekonomi. Roy Indra
Mirazudin [Penerjemah]. PT. Media Global Edukasi, Jakarta.
68
Finger, H. dan H. Hesse. 2009. “Lebanon-Determinants of Commercial Bank
Deposits in Regional Financial Center”. IMF Working Paper, WP/09/195.
Firdaus, M. 2011. Aplikasi Ekonometrika: Untuk regresi data panel dan time series.
IPB Press, Bogor.
Gujarati D. 1995. Basic Econometric. McGraw-Hill, New York.
Mankiw, N.G. 2007. Makroekonomi. Edisi keenam. Fitria Liza dan Imam
Nurmawan (penerjemah). Erlangga, Jakarta.
Marbun, R. P. M. 2005. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan
Jumlah Deposito Berjangka pada Bank Pemerintah di Sumatera Utara
[Skripsi]. Fakultas Ekonomi, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Mishkin, F. 2004. The Economics of Money Banking and Financial Market.
Pearson-Addison Wesley, New York.
Nachrowi, D. N dan H. Usman. 2007. ”Prediksi IHSG dengan Model GARCH dan
ARIMA”. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia, Vol VII No.2,
2007.
Nurhayati, S.F. 2002. Analisis Permintaan Deposito Dalam Valuta Asing pada Bank
Swasta Nasional di Indonesia Tahun 1985-2001 [Skripsi]. Fakultas
Ekonomi, Universitas Diponegoro, Semarang.
Setiawan dan Kusrini. 2010. Ekonometrika. Andi, Yogyakarta.
Setyaningsih, W. 1999. Analisis Faktor-Faktor yang mempengaruhi Deposito
Berjangka Rupiah Sesudah Deregulasi Perbankan 1 Jui 1983 di Indonesia
Kurun Waktu 1984 – 1999 [Skripsi]. Fakultas Ekonomi, Universitas
Diponegoro, Semarang.
Supranto J. 1995. Ekonometrik buku II. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia,
Jakarta.
Tambunan, T.T.H. 1998. Perekonomian Indonesia : Beberapa Isu Penting. Ghalia
Indonesia, Jakarta.
Tuti. 2006. Analisis Permintaan Deposito Berjangka Dalam Negeri Pada Bank
Umum di Indonesia [Skripsi]. Fakultas Ekonomi, Universitas Islam
Indonesia, Yogyakarta.
Winarno, W. W. 2009. Analisis Ekonometrika dan Statistika dengan EViews. UPP
STIM YKPN, Yogyakarta.
69
Lampiran 1. Jumlah Deposito, Suku Bunga Deposito, dan Inflasi
di Indonesia Tahun 2004 - 2010
Periode
Jan-04
Feb-04
Mar-04
Apr-04
Mei-04
Jun-04
Jul-04
Agust-04
Sep-04
Okt-04
Nop-04
Des-04
Jan-05
Feb-05
Mar-05
Apr-05
Mei-05
Jun-05
Jul-05
Agust-05
Sep-05
Okt-05
Nop-05
Des-05
Jan-06
Feb-06
Mar-06
Apr-06
Mei-06
Jun-06
Jul-06
Agust-06
Sep-06
Okt-06
Nop-06
Des-06
Jan-07
Feb-07
Mar-07
Apr-07
Mei-07
sbdepo
6.27
5.99
5.86
5.86
6.16
6.23
6.26
6.28
6.31
6.33
6.36
6.43
6.43
6.46
6.50
6.58
6.58
6.98
7.22
7.55
9.16
10.43
11.46
11.98
12.01
11.85
11.77
11.70
11.63
11.55
11.09
10.80
10.47
10.01
9.50
8.96
8.64
8.43
8.13
7.93
7.59
Inflasi
0.57
-0.02
0.36
0.97
0.88
0.48
0.39
0.09
0.02
0.56
0.89
1.04
1.43
-0.17
1.91
0.34
0.21
0.50
0.78
0.55
0.69
8.70
1.31
-0.04
1.36
0.58
0.03
0.05
0.37
0.45
0.45
0.33
0.38
0.86
0.34
1.21
1.04
0.62
0.24
-0.16
0.10
depo
426.424
409.204
401.686
404.474
404.702
408.047
403.844
407.518
410.933
408.356
404.422
420.990
418.081
412.795
421.661
442.611
445.686
453.798
467.591
478.542
518.808
529.109
539.590
565.033
563.081
572.068
577.540
585.355
587.987
591.642
582.875
588.041
600.316
608.703
617.959
615.163
615.740
615.445
626.199
623.045
624.715
70
Jun-07
Jul-07
Agust-07
Sep-07
Okt-07
Nop-07
Des-07
Jan-08
Feb-08
Mar-08
Apr-08
Mei-08
Jun-08
Jul-08
Agust-08
Sep-08
Okt-08
Nop-08
Des-08
Jan-09
Feb-09
Mar-09
Apr-09
Mei-09
Jun-09
Jul-09
Agust-09
Sep-09
Okt-09
Nop-09
Des-09
Jan-10
Feb-10
Mar-10
Apr-10
Mei-10
Jun-10
Jul-10
Agust-10
Sep-10
Okt-10
Nop-10
Des-10
7.46
7.26
7.16
7.13
7.16
7.18
7.19
7.07
6.95
6.88
6.86
6.98
7.19
7.51
8.04
9.26
10.14
10.40
10.75
10.52
9.88
9.42
9.04
8.77
8.52
8.31
7.94
7.43
7.38
7.16
6.87
7.09
6.93
6.77
6.89
6.76
6.79
6.79
6.75
6.72
6.81
6.78
6.83
0.23
0.72
0.75
0.80
0.79
0.18
1.10
1.77
0.65
0.95
0.57
1.41
2.46
1.37
0.51
0.97
0.45
0.12
-0.04
-0.07
0.21
0.22
-0.31
0.04
0.11
0.45
0.56
1.05
0.19
-0.03
0.33
0.84
0.30
-0.14
0.15
0.29
0.97
1.57
0.76
0.44
0.06
0.60
0.92
628.419
638.504
640.215
643.443
648.295
654.392
666.708
662.906
670.817
658.537
669.778
672.747
687.118
676.388
691.928
747.664
777.772
796.218
824.704
833.833
858.952
856.741
842.068
854.020
862.101
854.112
860.994
860.663
876.333
878.046
899.783
898.781
906.446
934.929
937.837
950.703
963.069
956.185
963.176
986.243
1016.381
1026.006
1069.811
71
Lampiran 2. Uji Akar Unit pada Level
Null Hypothesis: DEPO has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
-1.442937
-4.072415
-3.464865
-3.158974
0.8409
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation
Dependent Variable: D(DEPO)
Method: Least Squares
Date: 11/08/11 Time: 15:29
Sample (adjusted): 2004M02 2010M12
Included observations: 83 after adjustments
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
DEPO(-1)
C
@TREND(2004M01)
-0.057915
21.31993
0.586264
0.040137
13.96278
0.308924
-1.442937
1.526912
1.897761
0.1529
0.1307
0.0613
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.103058
0.080635
12.09324
11699.71
-323.1338
4.595984
0.012899
Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
Hannan-Quinn criter.
Durbin-Watson stat
7.751651
12.61242
7.858645
7.946073
7.893769
1.546953
72
Null Hypothesis: INFLASI has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
-7.775854
-3.511262
-2.896779
-2.585626
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation
Dependent Variable: D(INFLASI)
Method: Least Squares
Date: 11/11/11 Time: 00:10
Sample (adjusted): 2004M02 2010M12
Included observations: 83 after adjustments
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
INFLASI(-1)
C
-0.855151
0.571296
0.109975
0.134275
-7.775854
4.254665
0.0000
0.0001
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.427416
0.420347
1.027150
85.45798
-118.9830
60.46390
0.000000
Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
Hannan-Quinn criter.
Durbin-Watson stat
0.004217
1.349117
2.915254
2.973539
2.938670
1.978853
73
Null Hypothesis: SBDEPO has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
-3.030197
-4.073859
-3.465548
-3.159372
0.1305
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation
Dependent Variable: D(SBDEPO)
Method: Least Squares
Date: 11/08/11 Time: 15:37
Sample (adjusted): 2004M03 2010M12
Included observations: 82 after adjustments
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
SBDEPO(-1)
D(SBDEPO(-1))
C
@TREND(2004M01)
-0.044797
0.778430
0.403732
-0.000858
0.014784
0.069130
0.130965
0.001128
-3.030197
11.26040
3.082752
-0.760829
0.0033
0.0000
0.0028
0.4491
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.638715
0.624819
0.238360
4.431593
3.283409
45.96534
0.000000
Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
Hannan-Quinn criter.
Durbin-Watson stat
0.010244
0.389146
0.017478
0.134879
0.064613
2.031718
74
Lampiran 3. Uji Akar Unit pada Pembeda ke-1 (1st Difference)
Null Hypothesis: D(DEPO) has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
-7.352281
-4.073859
-3.465548
-3.159372
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation
Dependent Variable: D(DEPO,2)
Method: Least Squares
Date: 11/08/11 Time: 15:38
Sample (adjusted): 2004M03 2010M12
Included observations: 82 after adjustments
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(DEPO(-1))
C
@TREND(2004M01)
-0.837485
2.148593
0.111042
0.113908
2.730202
0.057554
-7.352281
0.786972
1.929357
0.0000
0.4337
0.0573
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.406408
0.391381
11.97919
11336.57
-318.4448
27.04406
0.000000
Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
Hannan-Quinn criter.
Durbin-Watson stat
0.744207
15.35517
7.840118
7.928169
7.875469
1.971244
75
Null Hypothesis: D(INFLASI) has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
-11.13578
-4.075340
-3.466248
-3.159780
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation
Dependent Variable: D(INFLASI,2)
Method: Least Squares
Date: 11/11/11 Time: 00:12
Sample (adjusted): 2004M04 2010M12
Included observations: 81 after adjustments
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(INFLASI(-1))
D(INFLASI(-1),2)
C
@TREND(2004M01)
-1.949582
0.397027
0.038987
-0.000706
0.175074
0.104713
0.272722
0.005572
-11.13578
3.791565
0.142955
-0.126642
0.0000
0.0003
0.8867
0.8996
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.745024
0.735089
1.172277
105.8159
-125.7577
74.99621
0.000000
Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
Hannan-Quinn criter.
Durbin-Watson stat
-0.000741
2.277616
3.203895
3.322139
3.251336
2.132722
76
Null Hypothesis: D(SBDEPO) has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
-3.268472
-3.512290
-2.897223
-2.585861
0.0196
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation
Dependent Variable: D(SBDEPO,2)
Method: Least Squares
Date: 11/08/11 Time: 15:41
Sample (adjusted): 2004M03 2010M12
Included observations: 82 after adjustments
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(SBDEPO(-1))
C
-0.232269
0.005469
0.071064
0.027579
-3.268472
0.198299
0.0016
0.8433
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.117805
0.106778
0.249711
4.988434
-1.569478
10.68291
0.001595
Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
Hannan-Quinn criter.
Durbin-Watson stat
0.004024
0.264215
0.087060
0.145761
0.110628
1.869884
77
Lampiran 4. Pengujian OLS dan Heteroskedastisitas
Dependent Variable: D(DEPO)
Method: Least Squares
Date: 11/23/11 Time: 14:06
Sample (adjusted): 2004M02 2010M12
Included observations: 83 after adjustments
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
D(INFLASI)
D(SBDEPO)
7.649817
-0.390901
15.33747
1.235561
0.921778
3.204495
6.191373
-0.424073
4.786234
0.0000
0.6727
0.0000
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.223128
0.203706
11.25474
10133.53
-317.1696
11.48851
0.000041
Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
Hannan-Quinn criter.
Durbin-Watson stat
7.751651
12.61242
7.714930
7.802358
7.750054
1.704304
Dari tampilan tersebut terlihat bahwa koefisien INFLASI tidak signifikan
(probabilitasnya > 0,05). Maka dilakukan uji Homoskedastisitas residunya.
H0
Ha
: Residu bersifat homoskedastis
: Residu tidak bersifat homoskedastis
Heteroskedasticity Test: White
F-statistic
Obs*R-squared
Scaled explained SS
9.054622
30.84972
14.86725
Prob. F(5,78)
Prob. Chi-Square(5)
Prob. Chi-Square(5)
0.0000
0.0000
0.0109
Karena probabilitas Obs*R-squared = 0,000 (lebih kecil dari α = 0,05), maka H0
ditolak, maka dapat disimpulkan bahwa data bersifat heteroskedastis.
Karena pada teknik OLS belum dapat dipakai sebagai model yang baik untuk
memprediksi Jumlah Deposito (DEPO), maka akan dipergunakan GARCH (1,1).
78
Lampiran 5. Pengujian ARCH Effect
Pengujian ARCH Effect
Heteroskedasticity Test: ARCH
F-statistic
Obs*R-squared
73.93918
39.60878
Prob. F(1,81)
Prob. Chi-Square(1)
0.0000
0.0000
Test Equation:
Dependent Variable: RESID^2
Method: Least Squares
Date: 11/08/11 Time: 22:33
Sample (adjusted): 2004M02 2010M12
Included observations: 83 after adjustments
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
RESID^2(-1)
693.0690
0.690822
333.0592
0.080339
2.080918
8.598790
0.0406
0.0000
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.477214
0.470760
2491.778
5.03E+08
-765.8821
73.93918
0.000000
Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
Hannan-Quinn criter.
Durbin-Watson stat
2327.330
3425.178
18.50318
18.56147
18.52660
2.090181
H0
: Tidak ada efek ARCH sampai ordo ke-q pada residual
H1
: Ada efek ARCH sampai ordo ke-q pada residual
Jika Obs*R-squared Prob < 0,05, H0 ditolak
Kesimpulan : H0 ditolak, artinya ada efek ARCH pada α=5%
79
Lampiran 6. Model Estimasi GARCH (1,1)
Dependent Variable: D(DEPO)
Method: ML - ARCH (Marquardt) - Normal distribution
Date: 11/22/11 Time: 18:19
Sample (adjusted): 2004M02 2010M12
Included observations: 83 after adjustments
Convergence achieved after 21 iterations
Bollerslev-Wooldridge robust standard errors & covariance
Presample variance: backcast (parameter = 0.7)
GARCH = C(4) + C(5)*RESID(-1)^2 + C(6)*GARCH(-1)
Variable
Coefficient
Std. Error
z-Statistic
Prob.
C
D(INFLASI)
D(SBDEPO)
6.518249
-0.341740
13.79308
0.932959
0.945467
3.892986
6.986638
-1.361450
3.543059
0.0000
0.0178
0.0004
0.701245
1.400002
4.977251
0.4832
0.1615
0.0000
Variance Equation
C
RESID(-1)^2
GARCH(-1)
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
F-statistic
Prob(F-statistic)
6.829418
0.224023
0.759790
0.312563
0.261431
11.54963
10271.33
-313.8171
4.157131
0.000140
9.738990
0.160016
0.152653
Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
Hannan-Quinn criter.
Durbin-Watson stat
7.751651
12.61242
7.706436
7.881292
7.776684
1.687408
Estimation Command:
=========================
ARCH(H,Z,BACKCAST=0.7,DERIV=AA) D(DEPO) C D(INFLASI) D(SBDEPO)
Estimation Equation:
=========================
D(DEPO) = C(1) + C(2)*D(INFLASI) + C(3)*D(SBDEPO)
GARCH = C(4) + C(5)*RESID(-1)^2 + C(6)*GARCH(-1)
Substituted Coefficients:
=========================
D(DEPO) = 6.51824881949 - 0.341739559907*D(INFLASI) + 13.7930808742*D(SBDEPO)
GARCH = 6.82941797708 + 0.224023452596*RESID(-1)^2 + 0.759789929479*GARCH(-1)
Dari tampilan diatas, terlihat bahwa seluruh variabel penjelas (independen) nilai
probabilitasnya lebih kecil dari α 0,05. Artinya memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap jumlah deposito.
80
Lampiran 7. Korelogram
Date: 11/08/11 Time: 21:46
Sample: 2004M02
2010M12
Included observations: 83
Korelogram menunjukan nilai probabilitas yang lebih besar dari 0,05, dan nilai
statistik Q yang tidak signifikan pada α=5%. Berarti seluruh variabel sudah tidak
mengandung autokorelasi.
81
Lampiran 8. Pengujian Normalitas dan Multikolinieritas
Uji Normalitas
12
Series: Standardized Residuals
Sample 2004M02 2010M12
Observations 83
10
8
6
4
2
Mean
Median
Maximum
Minimum
Std. Dev.
Skewness
Kurtosis
0.068401
-0.013004
2.734114
-2.455945
1.001369
0.241666
3.383630
Jarque-Bera
Probability
1.316874
0.517660
0
-2
-1
0
1
2
Ho
: Error term terdistribusi normal
H1
: Error term tidak terdistribusi normal
Jika p-value < α , H0 ditolak.
Oleh karena p-value = 0,51766 > 0,05, maka H0 diterima
Kesimpulannya adalah dengan tingkat kepercayaan 95%, dapat dikatakan
bahwa error term terdistribusi normal.
Uji Multikolinieritas
CORRELATION
INFLASI
SBDEPO
INFLASI
SBDEPO
1.000000
0.041683
0.041683
1.000000
82
Lampiran 9. Grafik Data Empiris dan Model Estimasi
Grafik data empiris perkembangan D(DEPO)
D(DEPO) dlm Triliun Rupiah
60.00
50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
-10.00
1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 49 52 55 58 61 64 67 70 73 76 79 82
Data series ke-i
-20.00
-30.00
Grafik estimator persamaan
D(DEPO) = 6,5182 - 0,3417*D( INFLASI) + 13,7931*D(SBDEPO)
D(DEPO) dlm Triliun Rupiah
35.00
30.00
25.00
20.00
15.00
10.00
5.00
0.00
1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 49 52 55 58 61 64 67 70 73 76 79 82
-5.00
Data series ke-i
Download