Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 JURNAL PENELITIAN HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN Diterbitkan oleh: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN ©2012 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 Jurnal PENELITIAN HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN Penanggung Jawab: Aswanto Dewan Penyunting: Ketua: Irwansyah Anggota: Abrar Saleng Muhammad Ashri Abdul Razak Achmad Ruslan Aminuddin Ilmar Slamet Sampurno Suwondo Anshori Ilyas Penyunting: Muh. Zulfan Hakim; Mohammad Aswan; Sakka Patti; Tri Fenny Widayanti; Muh. Ilham Arisaputra; Fajlurrahman Jurdi; Wiwin Suwandi; Ahsan Yunus. Staf: Andi Murlikanna; Saparuddin; Alfiah Firdaus. Tata Letak/Layout: Ahsan Yunus Jurnal Penelitian Hukum ini diterbitkan oleh Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Dimaksudkan sebagai sarana publikasi hasil-hasil penelitian bidang hukum. Penelitian yang dimuat merupakan pendapat pribadi penelitinya dan bukan merupakan pendapat redaksi dan atau Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Terbit setiap bulan Januari, Mei dan September. Tulisan dapat diantar langsung atau dikirim ke: Alamat Redaksi: JURNAL PENELITIAN HUKUM Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Jl. Perintis Kemerdekaan KM. 10, Tamalanrea, Makassar, 90245. Telepon: (0411) 584686 / 0811442470 / 081342439090 e-mail: [email protected] ii Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 Jurnal PENELITIAN HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN Volume ISSN: 2087-2291 1 Nomor 2, Januari 2012 Halaman 201-385 Perlindungan Hukum Terhadap Event Organizer dalam Kontrak Penyelenggaraan Konser Musik Fakriansa........................................................................................ 201-220 Sistem Sanksi Bagi Anak dan Implementasinya (Kajian dalam Perspektif Perlindungan Anak) Syamsuddin Muchtar....................................................................... 221-239 Implementasi Asas Ketertiban Umum dalam Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia Tuan Afero Harahap........................................................................ 241-260 Analisis Hukum Empiris Terhadap Dissenting Opinion dalam Putusan Hakim Wiwie Heryani................................................................................. 261-280 Penataan Struktur Organisasi Perangkat Daerah (Pasca Berlakunya PP No. 41 Tahun 2007) Aswiwin Sirua.................................................................................. 281-305 Tanggung Jawab Negara Membangun Ekonomi Kerakyatan dalam Menghadapi WTO (World Trade Organization) Laode Abdul Gani............................................................................ 307-331 Pertanggungjawaban Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia J. Victor Malaingkay....................................................................... 333-349 Peran Penyidik dalam Upaya Perlindungan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Grubert T. Ughude........................................................................... 351-368 Keterkaitan Integritas Aparat Penyelenggara Negara Terhadap Efektivitas Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Adensi Timomor...............................................................................369-382 Biodata Penulis............................................................................... Persyaratan Penulisan.................................................................... 383 385 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 iii Dari Redaksi Salam hormat, Syukur alhamdulillah, Jurnal Penelitian Hukum Volume 1 Nomor 2 Januari 2012 kembali hadir di hadapan para pembaca. Setelah berhasil terbit pada edisi sebelumnya, Jurnal Penelitian Hukum kali ini memuat 9 (sembilan) hasil penelitian dari berbagai permasalahan hukum kontemporer. Kehadiran media ini patut disambut dengan apresiatif, dan pada gilirannya nanti diharapkan dapat menjadi salah satu dari sekian banyak sumber referensi pembaca, khususnya bagi praktisi, akademisi, dan pemerhati masalah hukum. Akhir kata, semoga kehadiran Jurnal Penelitian Hukum ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Untuk itu, demi perbaikan di edisi-edisi berikutnya, masukan serta kritik membangun dari semua pihak senantiasa kami harapkan. Semoga usaha kita direstui oleh Allah Yang Maha Kuasa. Redaksi iv Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP EVENT ORGANIZER DALAM KONTRAK PENYELENGGARAAN KONSER MUSIK Fakriansa Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP EVENT ORGANIZER DALAM KONTRAK PENYELENGGARAAN KONSER MUSIK Oleh: Fakriansa Kantor Advokat, Jayapura, Papua Jl. Semeru No. 36, Dok V Atas, Jayapura, Papua E-mail: [email protected] Abstract This study aims to determine the legal consequences arising from unilateral cancellation by the management company organizing music concerts in the contract and to determine the legal protection of the Event Organizer due to unilateral cancellation by the management company organizing music concerts in the contract. The results showed that the unilateral cancellation made by the management company organizing musical concerts in the contract is a contract cancellation is contrary to Article 1338 paragraph (2) BW. The deliberate causing defaults artist management, as stipulated in Article 1243 BW. Defaults to a null condition in accordance with Article 1266 BW, so that EO can make demands cancellation of the contract and accompanied by a demand for compensation to the artist management, as stipulated in Article 1267 BW. Keywords: Legal Protection, Event Organizer Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui akibat hukum yang terjadi akibat pembatalan sepihak oleh manajemen artis dalam kontrak penyelenggaraan konser musik dan untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap Event Organizer akibat pembatalan sepihak oleh manajemen artis dalam kontrak penyelenggaraan konser musik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembatalan sepihak yang dilakukan oleh manajemen artis dalam kontrak penyelenggaraan konser musik merupakan pembatalan kontrak yang bertentangan dengan Pasal 1338 ayat (2) BW. Kesengajaan tersebut menyebabkan manajemen artis wanprestasi, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1243 BW. Wanprestasi menjadi suatu syarat batal sesuai dengan Pasal 1266 BW, sehingga EO dapat melakukan tuntutan pembatalan kontrak dan disertai tuntutan ganti rugi kepada manajemen artis, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1267 BW. Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Event Organizer Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 PENDAHULUAN Salah satu kebutuhan manusia di era modern saat ini adalah hiburan. Hal ini menjadi inspirasi bagi banyak kalangan baik itu swasta maupun pemerintah sehingga dalam pelaksanaan program kerjanya terdapat beberapa kegiatan yang sifatnya menghibur masyarakat tetapi pada sisi lain juga memiliki kepentingan-kepentingan tertentu. Program kerja yang demikian itu salah satunya adalah diadakannya penyelenggaraan konser musik artis baik itu artis band maupun artis yang hanya sebagai penyanyi saja. Dalam penyelenggaraan konser musik artis, pihak pemilik acara pada saat ini tidak lagi mengelola sendiri acaranya tetapi diserahkan kepada pihak lain untuk mengelolanya. Pihak yang dimaksud untuk mengelola acara ini dalam kehidupan masyarakat dikenal dengan sebutan Event Organizer yang selanjutnya disingkat EO. Pada dasarnya EO merupakan bentuk usaha yang sifatnya bidang usahanya belum diatur secara tersendiri oleh peraturan perundang-undangan, sekalipun bidang usaha EO dikualifikasikan termasuk usaha di bidang pariwisata, sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, bahwa: usaha pariwisata meliputi antara lain penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi. Pada prinsipnya kontrak yang dibuat antara EO dengan manajemen artis bukan suatu kontrak yang ketentuan-ketentuannya diatur secara khusus dalam Burgerlijk Wetboek, selanjutnya disingkat BW, tetapi secara prinsip kontrak tersebut memenuhi syarat-syarat sahnya kontrak sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 BW. Kontrak ini merupakan implementasi dari asas kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) BW bahwa: semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Selanjutnya dalam Pasal 1338 ayat (2) BW diatur bahwa: perjanjian-perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Konsekuensi hukum berdasarkan Pasal 1338 ayat (2) BW tersebut, maka kontrak penyelenggaraan konser musik yang dibuat antara EO dengan manajemen artis tidak dapat dibatalkan secara sepihak oleh manajemen artis. Pada kenyataannya di dalam praktik sering terjadi pembatalan sepihak yang dilakukan oleh manajemen artis. Hal ini dapat disimak dari banyaknya pemberitaan di media massa baik elektronik maupun cetak. Salah satunya pemberitaan melalui surat kabar harian Fajar Makasar tanggal 16 Januari 2010, tentang pembatalan sepihak oleh manajemen artis Aura Kasih yang terikat kontrak dengan PT. Debindo Mega Promo selaku EO pada acara peringatan hari ulang tahun ke 49 Bank Sulawesi Selatan. Akibat Pembatalan itu pihak manajemen artis hanya melakukan pengembalian uang honorarium artis yang telah diterimanya kepada pihak EO. Berhubung pihak EO telah mengeluarkan biaya-biaya produksi maka pihak EO melakukan tuntutan ganti kerugian selain pengembalian honorarium kepada pihak manajemen artis. Pada umumnya pihak manajemen artis hanya bersedia melakukan ganti kerugian dengan perhitungan persentase berdasarkan biaya honorarium artis bukan berdasarkan biaya total produksi yang telah dikeluarkan oleh pihak EO. 204 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 RUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian tersebut di atas, peneliti mengidentifikasi rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakan akibat hukum pembatalan sepihak oleh Manajemen Artis dalam Kontrak Penyelenggaraan Konser Musik? 2. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap Event Organizer Dalam Kontrak Penyelenggaraan Konser Musik? METODE PENELITIAN Sifat dan Tipe Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif empiris, yaitu penelitian hukum yang fokus kajiannya terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan dalam penerapannya pada peristiwa hukum. Tipe penelitian hukumnya adalah deskriptif analitis, yaitu menjelaskan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum serta pelaksanaan hukum dalam kontrak penyelenggaraan konser musik. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di kota Makassar dengan pertimbangan bahwa di kota Makassar terdapat kasus pembatalan sepihak oleh manajemen artis dalam kontrak penyelenggaraan konser musik yang dibuat antara EO dan manajemen artis. Populasi dan Sampel Penelitian ini yang menjadi populasi adalah seluruh pelaku usaha jasa di bidang penyelenggaraan acara, yakni EO di kota Makassar. Sampel dalam penelitian ini ditentukan secara purposive sampling, yaitu penelitian hanya ditujukan pada EO yang dalam kontraknya mengalami pembatalan sepihak oleh manajemen artis. Adapun sampel dalam penelitian ini adalah PT. Debindo Mega Promo dan PT. Slemmersindo Makassar. Jenis dan Sumber Data Jenis dan sumber data dalam penelitian ini adalah: 1. Data primer, yaitu data yang diperoleh peneliti dari hasil wawancara terhadap responden di lapangan. 2. Data sekunder, yaitu data yang telah tersedia di lapangan dan diperoleh peneliti, yaitu berupa surat kontrak kerja sama artis, riders artis, peraturan perundang-undangan: Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, Burgerlijk Wetboek (BW), dan buku-buku ilmu hukum, buku tentang EO, kamus hukum dan kamus bahasa Inggris-Indonesia. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah: 1. Studi dokumen pada surat kontrak kerja sama antara EO dan manajemen artis untuk memperoleh data sekunder. 2. Wawancara secara langsung kepada responden untuk memperoleh data primer. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 205 Analisis Data Data primer dan data sekunder hasil pengolahan dianalisis secara kualitatif dan kemudian dilakukan pembahasan. Selanjutnya pembahasan tersebut dibuat kesimpulan secara induktif untuk menjawab permasalahan yang diteliti. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Akibat Hukum Pembatalan Sepihak oleh Manajemen Artis dalam Kontrak Penyelenggaraan Konser Musik Istilah event organizer yang disingkat EO merupakan istilah yang ditujukan kepada pelaku usaha baik itu orang perorangan maupun badan usaha yang bukan badan hukum dan badan usaha yang badan hukum di bidang penyelenggaraan acara yang dalam melakukan kegiatan usahanya dapat didasarkan atas inisiatifnya sendiri atau inisiatif dari pihak lain (klien). Kontrak penyelenggaraan konser musik artis diawali dengan penawaran oleh pihak EO pada manajemen artis mengenai maksud untuk menggunakan jasa artis, atas penawaran tersebut pihak manajemen artis mengirimkan riders melalui email kepada pihak EO. Riders adalah daftar permintaan artis mengenai kebutuhan artis dan produksi yang menjadi petunjuk kerja bagi EO dan menjadi satu kesatuan dengan kontrak. Ada dua jenis riders yaitu artis riders dan production riders. Artis riders berisi segala macam kebutuhan artis selama berada di daerah penyelenggaraan konser. Sedangkan production riders adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan konser artis. Berdasarkan data yang diperoleh penulis dalam penelitian, riders artis Aura Kasih dengan NO. 10X./RD/Aura Kasih/XX/07 yang diberikan oleh manajemen artis pada PT. Debindo Mega Promo selaku EO untuk menggunakan jasa artis pada acara Gathering Bank Sul-Sel pada tanggal 15 Januari 2010, dimana disebutkan riders adalah standard fasilitas dalam mempersiapkan pementasan yang diminta oleh Aura Kasih selaku artis pengisi acara, menjadi satu kesatuan dengan perjanjian kerjasama pementasan. Pada artis band Ungu, istilah ini disebut dengan technical riders yang diberikan oleh manajemen artis pada PT. Slemmersindo Makassar selaku EO, dimana technical riders ditujukan dengan maksud sebagai paket informasi untuk kepentingan penyelenggara acara/promotor atau pihak-pihak yang dipersamakan dengannya (selanjutnya disebut “penyelenggara”) sebagai acuan dan prasyarat dari Ungu untuk melakukan pertunjukan dan berlaku untuk seluruh pelaksanaan pertunjukkan dan merupakan addendum dari kontrak kerjasama pertunjukan yang merupakan satu kesatuan yang mengikat, dan tidak dapat dipisahkan dari perjanjian tersebut. Riders tersebut memuat ketentuan mengenai prosedur pembayaran honorarium artis, segala sesuatu mengenai kebutuhan artis yang terdiri atas jumlah personil artis dan manajemen serta crew untuk tranportasi udara, transportasi darat artis dan peralatan, akomodasi hotel, konsumsi, sistem pengamanan artis baik pengamanan tertutup maupun terbuka, asuransi artis dan peralatan, kargo peralatan serta kebutuhan artis yang berkaitan dengan pertunjukan yang terdiri atas alat pengeras suara (sound system), lampu pencahayaan (lighting), panggung (stage), tempat mixer (front of house), barikade besi pengaman panggung, ruang ganti (dressing room), peralatan dan tenaga medis, tempat penjualan merchandise artis, tempat konser (venue), tenaga listrik (genset), publikasi dan promosi. Berdasarkan hal tersebut, maka riders pada dasarnya memuat hak dan kewajiban EO serta hak dan kewajiban manajemen artis, di mana setelah EO melakukan kewajiban pembayaran honorarium artis maka EO berhak atas jasa artis untuk melakukan konser, 206 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 selanjutnya EO memiliki kewajiban untuk menyediakan fasilitas atas kebutuhan artis dan produksi konser, sedangkan kewajiban manajemen artis adalah menjamin kehadiran artis pada waktu pelaksanaan konser dan berhak atas uang jasa honorarium artis. Dalam riders artis Aura Kasih memuat hak eksklusif EO, yaitu EO berhak menggunakan nama dan atribut artis dalam rangka publikasi dan promosi untuk pelaksanaan acara. Riders ini dipelajari oleh pihak EO dan selanjutnya dilakukan negosiasi terhadap isi riders dengan pihak manajemen artis. Apabila terjadi kesepakatan maka pihak EO melakukan pembayaran termin pertama (booking fee) dari nilai honorarium artis dan pihak manajemen artis menerbitkan surat kesediaan tampil, selanjutnya pembayaran termin kedua dilakukan penandatanganan kontrak, dan pembayaran termin ketiga untuk pelunasan honorarium artis biasa dilakukan pada H-3 atau H-1. Pembayaran termin pertama tiap artis berbeda-beda jumlahnya, khususnya riders artis Aura Kasih booking fee sebesar 20 % (dua puluh perseratus) dari nilai honorarium artis yang apabila dalam waktu 3 (tiga) minggu dari jadwal show tidak terjadi penandatangan kontrak maka menjadi hak pihak manajemen artis. Selanjutnya sebesar 50% (lima puluh perseratus) yang telah dideduksi booking fee dibayar saat penandatangan kontrak dan sebesar 50% (lima puluh perseratus) dilunaskan secara tunai maksimal 3 (tiga) hari sebelum jadwal soundcheck pertunjukan, dimana soundcheck minimal 6 (enam) jam sebelum showtime. Riders merupakan satu kesatuan dengan kontrak, hal ini dapat dilihat pada surat perjanjian manajemen Aura Kasih yang dibuat oleh manajemen artis dengan PT. Debindo Mega Promo pada hari Senin tanggal 11 Januari 2010 di Jakarta, di mana pada Pasal 4 Artis Riders dan Service Order Form diatur bahwa, pengguna bersedia untuk menyediakan dan memenuhi persyaratan dari manajemen yang tercantum pada Artis Riders No. 10X/ RD/AK/X/07 yang berisi standar teknis dan non teknis pelaksanaan acara, dan apabila terdapat perubahan (counter riders), maka pengguna akan memberikan informasi tersebut dalam Service Order Form. Untuk selanjutnya pengguna dan manajemen sepakat untuk menganggap Artis Riders dan Service Order Form sebagai addendum yang terikat dengan surat perjanjian ini. Pelaksanaan isi riders merupakan pengeluaran biaya bagi EO, ada 2 (dua) macam pengeluaran biaya, yaitu honorarium artis (fee artis) dan biaya produksi (production cost), dimana jumlah keduanya merupakan biaya total (total cost). Honorarium artis merupakan uang jasa artis sedangkan biaya produksi merupakan segala biaya pembayaran yang terdiri atas pembayaran tiket pesawat terbang, kargo peralatan artis, transportasi darat, hotel, konsumsi, sound system, panggung (stage), lampu pencahayaan (lighting), dan sebagainya yang dijelaskan secara detail dalam riders selain honor artis. Dalam isi riders artis Aura Kasih dapat diketahui jumlah honorarium artis, yaitu sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), dengan ketentuan booking fee sebesar 20% (dua puluh perseratus) yang ditindaklanjuti dengan diterbitkannya surat kesediaan tampil oleh manajemen artis, dan selanjutnya dalam surat perjanjian yang ditandatangani oleh manajemen artis dengan PT. Debindo Mega Promo dalam Pasal 3 mengenai kontraprestasi atas penggunaan jasa artis, diatur bahwa pengguna bersedia untuk memberikan kontraprestasi kepada manajemen berupa uang tunai sebesar Rp. 48.000.000,(empat puluh delapan juta rupiah) atas penggunaan jasa artis dengan termin dan prosedur pembayaran, yaitu pembayaran sebesar Rp. 24.000.000,- (dua puluh empat juta rupiah) dilakukan pada saat penandatangan kontrak, pembayaran terakhir sebesar Rp. 4.000.000,(dua puluh empat juta rupiah) dilakukan maksimal 4 (empat) hari sebelum keberangkatan. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 207 Pelaksanaan isi riders selain membayar honor artis juga melakukan pembayaran mengenai segala sesuatu kebutuhan konser. Hal ini dapat dilihat pada rincian biaya produksi PT. Debindo Mega Promo dalam acara HUT Bank Sul-Sel ke-49 Tahun tanggal 15 Januari 2010, di mana terdiri atas 2 (dua) bagian, yaitu peralatan & perlengkapan dengan jumlah biaya sebesar Rp. 119.860.000,- (seratus sembilan belas juta delapan ratus enam puluh ribu rupiah), dan bagian promosi & publikasi sebesar Rp. 24.000.000,- (dua puluh empat juta rupiah). Pembayaran honorarium artis, kebutuhan artis dan produksi serta keuntungan yang diharapkan menjadi dasar pertimbangan tuntutan ganti rugi. Pembalatan sepihak yang dilakukan manajemen artis dinilai oleh pihak EO sebagai perbuatan yang menimbulkan kerugian secara materiel pada pihak EO, sebagaimana yang dikemukakan oleh Husain Muslimin selaku Koord. Exhibition & Keu PT. Debindo Mega Promo, hasil wawancara penulis pada tanggal 19 Mei 2011, dikemukakan bahwa, pembatalan sepihak yang dilakukan manajemen artis Aura Kasih 3 (tiga) jam sebelum jam 19.00 WITA waktu pelaksanaan konser pada acara Gathering Bank Sul-Sel tanggal 15 Januari 2010 yang berlokasi di Clarion Hotel Makassar menimbulkan kerugian secara materiel pada PT. Debindo Mega Promo, hal ini disebabkan pihak manajemen artis hanya melakukan pengembalian uang honorarium artis saja, tanpa melakukan ganti kerugian atas biaya produksi, padahal pihak PT. Debindo Mega Promo selaku EO telah melakukan pengeluaran biaya atas pembayaran mengenai segala kebutuhan produksi artis berdasarkan riders. Pihak EO dalam melakukan penyelenggaraan konser musik dapat terjadi karena inisiatif EO itu sendiri tetapi dapat terjadi karena permintaan dari pihak klien, sebagaimana acara Gathering Bank Sul-Sel yang dilaksanakan oleh PT. Debindo Mega promo selaku EO merupakan permintaan dari pihak Bank Sul-Sel dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun Bank Sul-Sel ke 49, sebagaimana yang dikemukakan oleh Husain Muslimin selaku Koord. Exhibition & Keu PT. Debindo Mega Promo, bahwa event gathering tersebut merupakan acara makan malam bersama dan ramah tamah keluarga besar Bank Sul-Sel, dimana artis Aura Kasih merupakan acara hiburan utama dalam acara tersebut. PT. Debindo Mega Promo selaku EO memiliki hubungan kerjasama yang baik dengan Bank Sul-Sel dalam melaksanakan agenda event konser artis Bank Sul-Sel tersebut, hal ini dikemukakan oleh Husain Muslimin, bahwa kerjasama itu dapat dilihat dari diadakannya konser artis Krisdayanti pada tahun 2007, artis Pingkan Mambo pada tahun 2008, dan artis Mulan Jamela pada tahun 2009, tetapi dengan adanya pembatalan sepihak oleh manajemen artis Aura Kasih dalam acara gathering menyebabkan PT. Debindo Mega Promo kehilangan kepercayaan dari pihak Bank Sul-Sel, di mana agenda event pekerjaannya tidak lagi diserahkan pada PT. Debindo Mega promo dan kesepakatan mengenai pekerjaan kegiatan yang nilainya mencapai Rp. 2. 200. 000. 000,- (dua milyar dua ratus juta rupiah) dibatalkan, sehingga hal ini merupakan bentuk kerugian immateriel yang dialami oleh PT. Debindo Mega Promo. Menurut Husain Muslimin, selaku Koord. Exhibition & Keu PT. Debindo Mega Promo, hasil wawancara penulis pada tanggal 19 Mei 2011 bahwa, pembatalan sepihak oleh manajemen artis Aura Kasih menimbulkan kerugian materiel sebesar Rp. 260.000.000,(dua ratus enam puluh juta rupiah) dan kerugian immateriel sebesar Rp. 2.200.000.000,(dua milyar dua ratus juta rupiah). Kerugian immateriel didasarkan nilai kesepakatan pekerjaan yang dibatalkan klien akibat pembatalan sepihak oleh manajemen artis Aura Kasih. 208 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 Kerugian immateriel yang dialami oleh PT. Debindo Mega Promo akibat pembatalan sepihak oleh manajemen artis dalam kontrak penyelenggaraan konser music, sebagaimana yang dikemukakan oleh Husain Muslimin selaku Koord. Exhibition & Keu PT. Debindo Mega Promo tersebut, pada dasarnya bukan merupakan kerugian immateriel melainkan kerugian materiel karena kerugian tersebut menimpa harta benda berupa kehilangan keuntungan yang diharapkan. Dalam BW tidak diatur ganti rugi dari kerugian yang bersifat immateriel (tidak berwujud) melainkan BW hanya mengatur ganti rugi dari kerugian yang bersifat materiel (berwujud). Namun sebagian dari ahli hukum perdata dan yurisprudensi menyetujui diberikannya ganti rugi terhadap kerugian immateriel, misalnya harus dikabulkan tuntutan ganti rugi dari seseorang yang merasa dirugikan karena kehilangan kenikmatan atas suatu ketenangan yang disebabkan tetangganya.1 Hal ini menunjukan bahwa pembayaran ganti rugi atas kerugian immateriel adalah pada perikatan yang lahir dari perbuatan melanggar hukum. Kerugian yang diderita seseorang secara garis besar dapat dibagi atas dua bagian, yaitu kerugian yang menimpa diri dan kerugian yang menimpa harta benda. Selanjutnya kerugian harta benda dapat berupa kerugian nyata yang dialami serta kehilangan keuntungan yang diharapkan.2 Pengertian kerugian menurut Nieuwenhuis adalah berkurangnya harta kekayaan pihak yang satu yang disebabkan oleh perbuatan (melakukan atau membiarkan) yang melanggar norma oleh pihak lain.3 Akan tetapi karena kerugian harta benda dapat pula berupa kehilangan keuntungan yang diharapkan maka menurut Ahmadi Miru pengertian kerugian seharusnya adalah berkurangnya atau tidak diperolehnya harta kekayaan pihak yang satu, yang disebabkan oleh perbuatan melakukan atau membiarkan yang melanggar norma oleh pihak lain.4 Berdasarkan hal tersebut maka kerugian pada EO akibat pembatalan sepihak oleh manajemen artis merupakan berkurangnya harta kekayaan yang terdiri atas pengeluaran biaya yang meliputi honorarium artis, kebutuhan artis, dan produksi konser, sedangkan tidak diperolehnya harta kekayaan terdiri atas pelunasan pembayaran dari pihak klien, pembayaran dana sponsor, penjualan tiket penonton apabila konser tersebut dilakukan penjualan tiket. Dengan demikian berkurangnya harta kekayaan yang dialami EO merupakan kerugian harta benda berupa kerugian nyata sedangkan tidak diperolehnya keuntungan merupakan kerugian harta benda berupa kehilangan keuntungan yang diharapkan. Secara umum pembatalan sepihak oleh manajemen artis tidak hanya terjadi setelah penandatangan kontrak tetapi dapat pula terjadi sebelum penandatanganan kontrak, yakni setelah pihak EO melakukan pembayaran pertama (booking fee) dan manajemen artis telah menerbitkan surat kesediaan tampil, sebagaimana dikemukakan oleh Fauzia Andi Wawo selaku Event Director PT. Slemmersindo Makassar, hasil wawancara penulis pada tanggal 1 Juni 2011. Hal ini yang dialami PT. Slemmersindo Makassar pada tahun 2007 dengan manajemen artis ST 12, bahwa setelah dicapai kesepakatan mengenai riders yang diberikan manajemen artis ST 12 maka EO Slemmersindo melakukan pembayaran termin pertama honor (booking fee) sehingga pihak manajemen artis ST 12 menerbitkan surat kesediaan tampil, 1 Mariam, Darus Badrulzaman. Aneka Hukum Bisnis. (Bandung: Alumni, 2005), hlm. 30. 2 Ahmadi, Miru. Hukum Kontrak Perancangan Kontrak. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 80. 3 Ibid, hlm. 80. 4 Ibid, hlm. 81. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 209 tetapi selanjutnya sebelum dilakukan penandatanganan kontrak, pihak manajemen artis melakukan pembatalan sepihak, hal ini merugikan PT. Slemmersindo Makassar selaku EO karena kehilangan kepercayaan dari pihak sponsor, di mana antara PT. Slemmersindo telah terjadi sepakat (deal) dengan pihak sponsor. Pada dasarnya kesepakatan yang terjadi antara EO dan manajemen artis mengenai isi riders sebenarnya pada saat itulah telah lahir kontrak sekalipun para pihak belum melakukan penandatanganan kontrak dengan melakukan pembayaran termin kedua honor artis, sehingga dengan demikian kontrak tersebut sudah bersifat obligatoir. Artinya dengan tercapainya kesepakatan mengenai isi riders maka melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak, sehingga kedua belah pihak memiliki kewajiban untuk memenuhi kontrak tersebut. Kesepakatan mengenai isi riders antara EO dengan manajemen artis menunjukkan bahwa kedua belah pihak telah sepakat mengenai unsur esensialia dalam riders tersebut, yaitu honorarium artis dan jasa artis, sehingga pada saat itu merupakan lahirnya kontrak. Hal ini disebabkan karena kontrak penyelenggaraan konser musik artis merupakan kontrak konsensual bukan kontrak formal sekalipun setelah pembayaran termin kedua honorarium artis kontraknya dilakukan secara tertulis. Kontrak konsensual adalah kontrak yang lahir pada saat tercapainya kesepakatan mengenai unsur esensialia dalam kontrak, sedangkan kontrak formal lahir pada saat telah dilakukannya formalitas tertentu, yaitu dilakukan secara tertulis. Akan tetapi tidak semua kontrak tertulis dapat disebut kontrak formal melainkan hanya kontrak yang ditulis karena kehendak undang-undang, sedangkan kontrak yang ditulis karena kehendak para pihak bukan syarat yang menentukan lahirnya kontrak tetapi hanya untuk keperluan pembuktian.5 Dalam kontrak penyelenggaraan konser musik yang dibuat antara manajemen artis dan EO dapat ditemukan adanya klausula yang mengatur tentang pembatalan. Klausula tentang pembatalan dapat dilihat terdiri atas dua (2) macam, yaitu klausula pembatalan karena force majeur dan klausula pembatalan bukan karena force majeur. Adapun yang dibahas dalam hal ini adalah klausula pembatalan yang bukan karena force majeur. Klausula pembatalan yang bukan karena force majeur, dapat dilihat pada isi riders artis Aura Kasih No. 10X/RD/AURA KASIH/XX/07, diatur bahwa: 1. Pembatalan pelaksanaan (H-7) yang disebabkan kondisi kesehatan artis dan perhitungan ekonomis serta politis manajemen artis pengguna berhak menarik kembali down payment atau 50% (lima puluh perseratus) nilai surat perjanjian yang telah diterima oleh booking agent ditambah 50% (lima puluh perseratus) sebagai penalty dari nilai perjanjian dengan manajemen. Apabila pihak pengguna telah melakukan penjualan tiket, publikasi dan promosi untuk penampilan artis, maka sebagai akibat dari pembatalan tersebut manajemen artis wajib membuat berita permohonan maaf yang dimuat di dua (2) media cetak berskala nasional. 2. Pembatalan pelaksanaan pada hari, tanggal dan waktu pelaksanaan yang disebabkan kelalaian dan kesalahan koordinasi pelaksanaan oleh pengguna dan pertimbangan kondisi keamanan yang tidak terkendali di lokasi pelaksanaan sebagai akibat dari pelaksanaan acara tersebut. Dalam hal ini pengguna wajib memenuhi jumlah payment yang telah disepakati dalam surat perjanjian. Apabila pihak pengguna telah melakukan penjualan tiket, publikasi dan promosi untuk penampilan artis, maka sebagai akibat dari pembatalan tersebut pengguna wajib membuat berita permohonan maaf yang dimuat dalam dua (2) media cetak berskala nasional. 5 Ibid, hlm. 38-39. 210 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 Klausula pembatalan pelaksanaan ini pada dasarnya merupakan ketentuan yang hanya mengatur tentang pembatalan sepihak oleh manajemen artis yang dilakukan pada waktu 7 (tujuh) hari sebelum hari pertunjukkan bukan pembatalan sepihak oleh manajemen artis yang dilakukan selain waktu tersebut. Selanjutnya yang patut diperhatikan bahwa klausula ini tidak mengatur ganti rugi apabila manajemen artis melakukan pembatalan sepihak. Dalam konteks BW bahwa pembatalan sepihak dalam kontrak terjadi apabila salah satu pihak telah wanprestasi, sehingga mengakibatkan pihak yang satu membatalkan perjanjian, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1266 BW bahwa: syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan yang bertimbal balik, mana kala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal yang demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim. Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan dalam perjanjian. Kontrak yang dibuat oleh manajemen artis Aura Kasih dengan PT. Debindo Mega Promo selaku EO, dapat dilihat bahwa pihak EO telah memenuhi semua kewajibannya yang terdiri atas kebutuhan artis, produksi konser dan honorarium artis, bahkan pembayaran termin ketiga untuk pelunasan honorarium artis sesuai riders ditentukan bahwa pembayaran dilunasi 3 (tiga) hari sebelum hari pertunjukan tetapi telah dibayar lunas oleh EO 4 (empat) hari sebelum hari pertunjukan. Namun sebagaimana diketahui manajemen artis Aura Kasih membatalkan secara sepihak untuk tampil pada acara tersebut 3 (tiga) jam sebelum waktu pertunjukan. Berdasarkan hal tersebut, maka pembatalan sepihak oleh manajemen artis merupakan pembatalan yang bertentangan dengan undang-undang, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (2) BW, yakni tidak mendapat persetujuan dari pihak EO, pihak EO tidak wanprestasi, dan pihak manajemen artis tidak dalam keadaan memaksa. Klausula pembatalan yang terdapat dalam kontrak yang dibuat manajemen artis Aura Kasih dengan EO, diatur bahwa manajemen artis dapat melakukan pembatalan pelaksanaan apabila pihak pengguna, yakni pihak EO melakukan kesalahan dalam pelaksanaan konser. Akan tetapi pembatalan sepihak yang dilakukan oleh manajemen artis 3 (tiga) jam sebelum waktu pertunjukan menunjukkan bahwa pembatalan sepihak tersebut bukan disebabkan karena kesalahan yang dilakukan oleh EO dalam pelaksanaan konser. Pembatalan sepihak oleh manajemen artis dalam kontrak penyelenggaraan konser musik justru membawa kedudukan pihak manajemen artis dalam keadaan wanprestasi. Hal ini disebabkan wujud prestasi yang merupakan kewajiban pihak manajemen artis hanya dapat dilakukan pemenuhannya pada waktu yang ditentukan dalam kontrak, sehingga dengan lewatnya waktu tersebut maka pihak manajemen artis telah wanprestasi, yaitu dianggap sama sekali tidak melakukan prestasi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1243 BW, bahkan untuk menentukan wanprestasi tersebut tidak perlu terlebih dahulu harus ada surat somasi atau akta sejenis untuk pernyataan lalai sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1238 BW. Dalam literatur hukum kontrak, terdapat pembagian prestasi dalam tiga macam, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1234 BW, yaitu: menyerahkan sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu. Akan tetapi menurut Ahmadi Miru, pembagian macammacam prestasi tersebut bukan wujud prestasi tetapi hanya cara-cara melakukan prestasi.6 Berdasarkan hal tersebut, maka sesuai isi riders dapat diketahui bahwa wujud prestasi yang diperjanjikan sebagai unsur esensialia dalam kontrak dan menjadi kewajiban bagi manajemen artis adalah berupa keahlian, yaitu jasa artis, sedangkan cara manajemen artis 6 Ibid, hlm. 69. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 211 untuk pemenuhan wujud prestasi yang demikan adalah berbuat sesuatu. Berdasarkan uraian-uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa manajemen artis wanprestasi maka pihak EO berhak untuk memilih tuntutan berupa tuntutan pembatalan kontrak atau pemenuhan kontrak dan disertai tuntutan ganti rugi, sedangkan manajemen artis memiliki kewajiban untuk memenuhi apa yang menjadi pilihan tuntutan oleh pihak EO, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1267 BW. Perlindungan Hukum Terhadap Event Organizer dalam Kontrak Penyelenggaraan Konser Musik Pada umumnya, kontrak penyelenggaraan konser musik yang dibuat antara EO dan manajemen artis tidak diatur ganti kerugian yang dapat diberikan kepada pihak EO apabila manajemen artis melakukan pembatalan sepihak dalam kontrak melainkan hanya mengatur pengembalian honorarium artis saja. Klausula pembatalan yang hanya mengatur tentang pengembalian honorarium artis apabila manajemen artis melakukan pembatalan sepihak tersebut selalu tercantum dalam kontrak kerjasama artis. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Fauzi Andi Wawo, selaku Event Director PT. Slemmersindo Makassar, hasil wawancara penulis pada tanggal 1 Juni 2011, dikemukakan bahwa dalam tahap negosiasi isi riders antara pelaksana acara (EO) dengan manajemen artis pada umumnya hal-hal yang dapat terjadi perubahan hanya terdiri atas honor artis, kebutuhan artis, peralatan produksi konser, sedangkan tentang klausula pembatalan sepihak oleh manajemen artis tersebut pihak manajemen artis selalu menghendaki tercantum dalam kontrak tanpa adanya perubahan mengenai ganti rugi. Klausula pembatalan sepihak tersebut dapat dilihat juga pada kontrak yang dibuat antara manajemen artis Wali dengan PT. Slemmersindo Makassar, di mana dalam klausula pembatalan sepihak diatur bahwa apabila pihak kedua berhalangan untuk tampil disebabkan alasan sepihak atau diluar force majeur, maka pihak manajemen artis berkewajiban mengembalikan uang yang telah diterima dari nilai kontrak yang disepakati. Menurut Hofmann, bahwa berdasarkan asas kebebasan berkontrak orang bebas memperluas atau mempersempit tanggungannya terhadap kerugian karena kesalahannya, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1707 ayat (4) BW. Namun terhadap kemungkinan debitor untuk menyampingkan memikul risiko kerugian, hukum perdata membuat pembedaan antara kerugian yang timbul karena adanya kesengajaan dan yang timbul karena kelalaian. Debitor boleh memperjanjikan agar dirinya dibebaskan dari kerugian yang muncul karena kelalaiannya tetapi tidak dibenarkan untuk memperjanjikan pembebasan dari penggantian kerugian yang muncul karena kesengajaan. Klausula yang demikian itu dianggap bertentangan dengan tata krama (geode zeden) sehingga batal demi hukum.7 Kesalahan adalah terjemahan dari kata “schuld”, yang dalam arti luas meliputi kesengajaan (opzet) dan kelalaian (onachtzaamheid). Kesengajaan adalah timbulnya kerugian itu memang dikehendaki atau sekalipun kerugian yang ditimbulkan tidak dikehendaki tetapi tindakan tersebut dikehendaki, sedangkan kelalaian adalah peristiwa di mana seseorang seharusnya tahu atau patut menduga bahwa dengan perbuatannya itu dapat menimbulkan kerugian.8 Pembatalan sepihak yang dilakukan oleh manajemen artis Aura Kasih tiga jam sebelum waktu pertunjukan dan pembatalan sepihak yang dilakukan oleh manajemen artis ST 12 setelah tercapainya kesepakatan isi riders dan telah dilakukan pembayaran termin pertama honorarium artis, menunjukan bahwa pembatalan sepihak tersebut merupakan kesalahan 7 J, Satrio. Hukum Perikatan: Perikatan Pada Umumnya. (Bandung: Alumni, 1999), hlm. 96. 8 Ibid, hlm. 91. 212 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 yang berupa kesengajaan karena tindakan pembatalan sepihak tersebut dikehendaki sekalipun kerugian yang ditimbulkan tidak dikehendaki oleh manajemen artis. Berdasarkan hal tersebut, maka klausula pembatalan sepihak oleh manajemen artis dalam kontrak penyelenggaraan konser musik yang mengatur bahwa, apabila pihak manajemen artis melakukan pembatalan sepihak maka pihak manajemen artis memiliki kewajiban untuk mengembalikan uang honorarium artis secara keseluruhan kepada pihak EO tanpa mengatur tentang ganti rugi. Hal ini dapat dinilai sebagai klausula yang dibuat oleh manajemen artis untuk pembebasan ganti kerugian yang muncul karena kesengajaan, di mana pembatalan sepihak itu merupakan kesengajaan karena tindakan pembatalan tersebut dikehendaki oleh manajemen artis sekalipun manajemen artis tidak menghendaki tindakannya itu untuk menimbulkan kerugian pada EO. Kesengajaan adalah timbulnya kerugian itu memang dikehendaki atau sekalipun kerugian yang ditimbulkan tidak dikehendaki tetapi tindakan tersebut dikehendaki, sedangkan kalalaian adalah peristiwa di mana seseorang seharusnya tahu atau patut menduga bahwa dengan perbuatannya itu dapat menimbulkan kerugian.9 Berdasarkan hal itu maka klausula pembatalan sepihak oleh manajemen artis yang hanya mengatur pengembalian honorarium artis tanpa diatur ganti rugi merupakan klausula yang dibuat oleh manajemen artis untuk pembebasan ganti kerugian yang muncul karena kesengajaan, karena tindakan pembatalan sepihak tersebut dikehendaki oleh manajemen artis sekalipun kerugian yang ditimbulkan tidak dikehendaki, dengan demikian klausula itu batal demi hukum. Menurut Ahmadi Miru bahwa, ada dua kemungkinan pokok yang dapat dituntut oleh pihak yang dirugikan, yaitu pembatalan kontrak atau pemenuhan kontrak. Namun, jika dua kemungkinan pokok tersebut diuraikan lebih lanjut, kemungkinan tersebut dapat dibagi empat, yaitu: pembatalan kontrak saja; pembatalan kontrak disertai tuntutan ganti rugi; pemenuhan kontrak saja; pemenuhan kontrak disertai tuntutan ganti rugi. Pembagian atas empat kemungkinan tersebut merupakan ketidaksetujuannya atas pendapat yang membagi atas lima kemungkinan, yaitu pendapat yang masih menambahkan satu kemungkinan lagi, yaitu “penuntutan ganti rugi” karena tidak mungkin seseorang menuntut ganti rugi saja yang lepas dari kemungkinan dipenuhinya kontrak atau batalnya kontrak, karena dibatalkan atau dipenuhinya kontrak merupakan dua kemungkinan yang harus dihadapi para pihak dan tidak ada pilihan lain sehingga tidak mungkin ada tuntutan ganti rugi yang berdiri sendiri sebagai akibat dari suatu wanprestasi.10 Penulispun setuju dengan pendapat ini karena dalam praktik di pengadilan hakim tidak dapat menjatuhkan putusan yang menghukum pihak yang berperkara untuk membayar ganti rugi tanpa kontrak itu sebelumnya diputus batal atau dipenuhinya kontrak tersebut. Hal ini juga sebagaimana yang dijelaskan oleh M. Yahya Harahap bahwa putusan yang menghukum untuk membayar ganti kerugian merupakan amar putusan condemnatoir, sedangkan putusan yang membatalkan perjanjian atau pemenuhan perjanjian merupakan amar putusan declaratoir, di mana putusan yang berisi amar declaratoir dapat berdiri sendiri tanpa amar condemnatoir, namun sebaliknya amar putusan condemnatoir tidak dapat berdiri sendiri tanpa amar putusan declaratoir.11 Dalam memilih tuntutan seharusnya ditinjau dari jenis kontrak dan wujud prestasi. Jenis kontrak penyelenggaraan konser musik merupakan kontrak dengan ketetapan waktu, artinya waktu pelaksanaan konser dibuat untuk kepentingan pihak EO, dan wujud prestasi berupa keahlian, sehingga ada hubungan antara waktu yang diperjanjikan dengan wujud 9 Ibid, hlm. 91. 10 Ahmadi Miru, Op.cit, hlm. 79. 11 M. Yahya, Harahap. Hukum Acara Perdata. (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 877. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 213 prestasi, yaitu wujud prestasi hanya dapat dilakukan pada waktu yang diperjanjikan. Berdasarkan hal itu maka dengan lewatnya waktu tidak tepat apabila dilakukan tuntutan pemenuhan kontrak, sehingga lebih tepat dilakukan tuntutan pembatalan kontrak dan disertai tuntutan ganti rugi. Pembatalan sepihak oleh manajemen artis dalam kontrak penyelenggaraan konser musik merupakan kesalahan berupa kesengajaan bukan kelalaian. Hal ini disebabkan kesengajaan karena manajemen artis tidak mau melakukan prestasi atau menolak berprestasi sehingga tidak perlu ada somasi atau akta sejenis untuk pernyataan lalai, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1238 BW. Akan tetapi sekalipun pengertian kesengajaan dan kelalaian memiliki pengertian yang berbeda namun untuk menentukan kapan terjadinya wanprestasi yang disebabkan kesengajaan atau kelalaian, pada dasarnya BW tidak melakukan pembedaan, melainkan dengan lewatnya waktu sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1243 BW dapat ditentukan telah terjadi wanprestasi baik itu karena kesengajaan maupun kelalaian. Berdasarkan hal tersebut, maka manajemen artis yang melakukan pembatalan sepihak dapat disebut dalam keadaan wanprestasi yaitu pada saat lewatnya waktu untuk melakukan pemenuhan prestasi karena wujud prestasi dalam kontrak penyelenggaraan konser musik adalah keahlian yang sifat pemenuhannya hanya dapat dilakukan pada waktu yang ditentukan dalam kontrak. Prinsip dasar dalam melakukan pembatalan kontrak sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1266 BW, yaitu apabila salah satu pihak dalam keadaan wanprestasi sehingga pihak yang lain dapat melakukan pembatalan kontrak. Pada pembatalan sepihak oleh manajemen artis dalam kontrak penyelenggaraan konser musik dapat diketahui bahwa manajemen artis dalam keadaan wanprestasi berupa sama sekali tidak melakukan prestasi, sehingga hal ini menjadi suatu syarat batal dalam kontrak, dengan demikian pihak EO dapat melakukan pembatalan kontrak dan disertai tuntutan ganti rugi. Pembatalan kontrak yang dilakukan oleh pihak EO disertai dengan tuntutan ganti rugi merupakan hak yang diberikan oleh undang-undang untuk memilih tuntutan kepada pihak yang dirugikan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1267 BW. Namum tuntutan ganti rugi berupa wujud ganti rugi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1243 BW dan Pasal 1246 BW hanyalah dapat dilakukan penggantian oleh pihak yang dituntut sebatas pada apa yang diduga olehnya sewaktu perikatan dilahirkan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1247 BW, dan sebatas pada kerugian yang ditimbulkan sebagai akibat langsung dari kesalahan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1248 BW. Bersarkan hal tersebut maka dapat dipahami bahwa pada dasarnya dalam BW, kerugian yang dapat diduga sebelumnya dapat dilakukan penggantiannya sedangkan kerugian yang tidak dapat diduga sebelumnya tidak dapat dilakukan penggantiannya, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1247 BW. Selanjutnya kerugian itu juga harus memiliki hubungan langsung dengan wanprestasi, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1248 BW. Menurut Hoffmann bahwa pengertian kerugian yang dapat diduga yaitu tidak hanya sebatas “sebab” kerugiannya saja tetapi “besarnya” kerugian, karena besarnya tuntutan ganti rugi dapat dibenarkan apabila memang orang dapat menduga adanya kemungkinan munculnya kerugian sampai sebesar itu.12 Kerugian yang ditimbulkan akibat manajemen artis wanprestasi dapat diketahui bahwa kerugian itu dapat diduga oleh manajemen artis pada saat perikatan dilahirkan, karena kerugian harta benda berupa kerugian nyata yang terdiri atas pengeluaran biaya untuk honorarium artis, kebutuhan artis dan produksi sesuai riders yang diberikan oleh manajemen 12 J. Satrio, Op.cit, hlm. 187. 214 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 artis pada pihak EO untuk dipenuhi pada saat perjanjian ditutup. Adapun kerugian berupa kehilangan keuntungan yang diharapkan terdiri atas tidak diperolehnya uang hasil penjualan tiket penonton, pelunasan pembayaran dari pihak klien, dan pembayaran dana sponsor, dapat juga diduga oleh manajemen artis karena sesuai riders pihak EO membuat laporan pada manajemen artis tentang jumlah penonton dengan luasnya tempat konser (venue), dan semua pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan konser tersebut. Dalam BW tidak dijelaskan mengenai akibat langsung sebagaimana yang diatur adalam Pasal 1248 BW, di mana kerugian dapat dilakukan penggantiannya apabila kerugian tersebut memiliki akibat langsung dari wanprestasi. Dalam literatur hukum dikenal beberapa teori yang menjelaskan tentang akibat langsung atau yang biasa disebut hubungan sebab akibat atau kausalitas, diantaranya teori condition sine qua non, teori adequat, teori toerrekening naar redelijkheid.13 Teori condition sine qua non (teori syarat mutlak) dari Von Buri yang mengajarkan bahwa, sebab dari suatu akibat adalah setiap tindakan dan keadaan yang merupakan syarat untuk timbulnya suatu akibat. Lebih lanjut dijelaskan bahwa yang harus dianggap sebagai syarat adalah suatu perubahan atau keadaan yang tanpa adanya perbuatan atau keadaan itu tidak akan timbul akibat seperti itu.14 Dalam penerapan teori ini dianggap meluaskan tanggung jawab karena setiap perbuatan atau keadaan memiliki nilai atau peran yang sama sebagai sebab untuk timbulnya akibat sehingga membawa konsekuensi tanggungjawab kerugian yang sangat berat. Berdasarkan hal itu maka para sarjana mencari teori lain yang dapat membatasi peristiwa atau perbuatan sebagai sebab dari suatu.15 Teori Adequat dari Von Kries, mengajarkan bahwa suatu peristiwa adalah sebab dari suatu akibat, kalau menurut pengalaman umum manusia, seorang manusia normal seharusnya memperhitungkan kemungkinan bahwa tindakannya akan menimbulkan akibat seperti itu.16 Akan tetapi pada tahun 1962, Koster menyarankan untuk menghapus teori adequat dan menerima teori toerrekening naar redelijkheid (dipertanggungkan secara layak). Faktor penting yang disebut Koster adalah: sifat dari kejadian yang menjadi dasar pertanggunggugatan; sifat kerugian; besar kecilnya kerugian yang diperkirakan akan terjadi; dan beban tidak seimbang yang dapat timbul bagi pihak tergugat dari kewajibannya untuk membayar ganti kerugian; serta memperhatikan keadaan keuangan pihak yang dirugikan.17 Dalam Arrest 19 Desember 1975-280 diberikan gambaran bahwa, H.R beralih ke teori toerrekening naar redelijkheid. Walaupun demikian, pendirian H.R tentang beralihnya ke teori ini masih mendapat tanggapan, diantaranya dari Van der Grinten, yang menyatakan bahwa, H.R masih berpegang pada teori adequat, namun menerapkan pertanggunggugatan menrut “apa yang selayaknya” sebagai suatu keoreksi atas teori adequat. Hal ini disebabkan kerugian dapat diduga atau tidak dapat diduga sebenarnya bukan merupakan bagian dari teori adequat, karena istilah adequat berarti memenuhi harapan atau cocok dengan.18 Berbagai alasan yang dikemukakan tentang penggunaan teori kausalitas tersebut, maka tampak bahwa teori adequat yang dipahami di Indonesia adalah akibat tersebut 13 Ahmadi Miru & Sutarman Yodo. Hukum Perlindungan Konsumen. (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 136. 14 J. Satrio, Loc.cit, hlm. 196. 15 Ibid, hlm. 196. 16 Ibid, hlm. 197. 17 Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Loc.cit, hlm. 136-137. 18 Ibid, hlm. 138-139. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 215 disebabkan oleh faktor yang secara yuridis relevan, yakni yang dapat menimbulkan akibat itu, karena teori adequat diartikan sebagai penyebab yang secara wajar dapat diduga menimbulkan akibat.19 Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa ketentuan dalam Pasal 1248 BW melalui penerapan teori toerrekening naar redelijkheid mengenai akibat langsung pada dasarnya merupakan akibat yang dapat diduga, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1247 BW. Mengenai hal itu maka tepatlah apa yang dikemukan oleh Paul Scholten bahwa dalam hukum tidak mungkin terdapat pertentangan (kontradiksi), di mana akibat hukum pada saat yang sama dapat terjadi atau tidak terjadi melainkan hukum itu mewujudkan satu kesatuan. Dalam hal ini penulis setuju penggunaan teori toerrekening naar redelijkheid untuk melakukan tuntutan ganti rugi dengan menentukan hubungan sebab akibat antara kesalahan dengan wanprestasi manajemen artis akibat pembatalan sepihak oleh manajemen artis dalam kontrak penyelenggaraan konser musik yang menimbulkan kerugian pada EO. Artinya melalui penerapan teori ini maka dapat dilihat bahwa, sifat dari kejadian yang menjadi dasar dari pertanggunggugatan, yakni pembatalan sepihak oleh manajemen artis yang membawa manajemen artis dalam keadaan wanprestasi sebagai sebab yang menimbulkan kerugian pada EO, di mana sifat kerugian itu merupakan kerugian harta benda berupa kerugian nyata dan kehilangan keuntungan yang diharapkan yang dapat diduga sebelumnya pada saat menutup perjanjian dan memiliki akibat langsung dengan wanprestasi. Di samping itu besar kecilnya kerugian itu dapat diperkirakan berdasarkan isi riders, dan beban tidak seimbang yang dapat timbul bagi pihak tergugat dari kewajibannya untuk membayar ganti kerugian, maka kerugian yang dituntut oleh EO adalah seimbang antara kesalahan manajemen artis dengan kerugian yang ditimbulkan. Sehubungan dengan penerapan teori ini maka dalam kasus pembatalan sepihak oleh manajemen artis Aura Kasih yang telah menimbulkan kerugian pada PT. Debindo Mega Promo, khususnya mengenai kerugian kehilangan pekerjaan yang telah disepakati dengan pihak klien yang bernilai Rp. 2. 200. 000. 000,- (dua milyar dua ratus juta rupiah) tersebut, maka bentuk kerugian ini tidak memiliki hubungan sebab akibat yang dimaksud sebagai akibat langsung, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1248 BW, dengan demikian hal ini tidak dapat dilakukan penggantian oleh manajemen artis. Akan tetapi baik itu kerugian nyata maupun kehilangan keuntungan yang diharapkan sebesar Rp. 260. 000. 000,- (dua ratus enam puluh juta) dapat dilakukan penggantian oleh pihak manajemen artis Aura kasih pada pihak PT. Debindo Mega Promo berdasarkan tuntutan pembatalan kontrak dan disertai dengan tuntutan ganti rugi. Walaupun demikian, menghitung besarnya kerugian tidak mudah sehingga biasanya ditetapkan berdasarkan keadilan. Dalam beberapa keputusannya, Hoge raad telah merumuskan bahwa penetapan kerugian harus dilakukan berdasarkan ukuran-ukuran objektif (secara abstrak). Dalam penerapan metode abstrak, hakim tidak semata-mata mempertimbangkan hal-hal khusus dalam peristiwa yang bersangkutan dengan keadaan subjektif dari pihak yang dirugikan, melainkan hakim meneliti pada umumnya kerugian yang dialami seseorang yang berada dalam posisi sama seperti pihak yang menuntut ganti rugi.20 Metode objektif ini sebenarnya cukup baik, namun metode ini biasanya tidak diterapkan secara konsekuen karena kerugian yang ditetapkan ditetapkan dengan metode tersebut dianggap sebagai kerugian minimal sehingga apabila pihak yang dirugikan dapat membuktikan kerugiannya lebih besar daripada kerugian objektif, maka dapat menuntut 19 Ibid, hlm. 140. 20 Ahmadi Miru, Op.cit, hlm. 82. 216 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 kerugian yang sesungguhnya diderita (kerugian subjektif). Hal ini berarti bahwa pihak yang dirugikan dapat memilih antara perhitungan kerugian yang objektif atau subjektif (abstrak atau konkret) bahkan dalam kaitan dengan kerugian-kerugian tertentu menggunakan objektif, sedangkan kerugian lain berdasarkan perhitungan subjektif.21 Berdasarkan hal tersebut maka pihak EO dalam melakukan tuntutan pembatalan kontrak dan disertai tuntutan ganti rugi lebih tepat melakukan perhitungan besarnya kerugian dengan menggunakan metode objektif atas kerugian nyata, karena secara umum kerugian nyata yang dialami EO pada umumnya akibat pembatalan sepihak oleh manajemen artis tidak memiliki perbedaan yang signifikan, sedangkan pada kerugian kehilangan keuntungan yang diharapkan maka sangat tepat menggunakan perhitungan kerugian subjektif karena keuntungan yang diharapkan dalam penyelenggaraan konser musik tiap EO berbeda sehingga apabila dapat dibuktikan maka sangat menguntungkan pihak EO tersebut. Dalam hal cara melakukan perhitungan kerugian maka menurut Bloembergen bahwa: apabila membicarakan tentang kerugian maka dapat dipikirkan suatu pengertian yang konkret dan subjektif, yaitu kerugian merupakan kerugian nyata yang diderita oleh orang yang dirugikan, di mana diperhitungkan situasi yang konkret dengan keadaan subjektif dari yang bersangkutan. Selain itu, dapat pula dipikirkan secara objektif, di mana melepaskan diri seluruhnya atau sebagian dari keadaan konkret dari orang yang dirugikan dan menuju ke arah yang normal.22 Berdasarkan penggunaan perhitungan kerugian secara objektif atas kerugian nyata yang dialami EO dianggap lebih tepat karena hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa cost produksi yang terdiri atas biaya kebutuhan artis dan produksi dalam penyelenggaraan konser musik secara umum memiliki persamaan antara EO yang satu dengan yang lain, sehingga bentuk kerugian nyata itu dapat dilihat ke arah yang normal, namun pada kerugian kehilangan keuntungan yang diharapkan akan lebih tepat menggunakan perhitungan secara subjektif karena keuntungan yang diharapkan dalam penyelenggaraan konser musik antara EO yang satu dengan yang lain berbeda, seperti jumlah tiket yang dijual atau banyaknya pihak sponsor yang terlibat dalam konser tersebut. Penggunaan perhitungan kerugian secara objektif atas kerugian nyata dan perhitungan kerugian subjektif atas kerugian kehilangan keuntungan yang diharapkan oleh EO akibat manajemen artis wanprestasi dalam kontrak penyelenggaraan konser musik dapat memberikan keadilan, sebagaimana keadilan yang dikemukakan oleh Aristoteles dalam karyanya “Nichomachean ethics” bahwa “justice consists in treating equals equally and unequally, in proportion to their inequality”. Prinsip ini beranjak dari asumsi “untuk halhal yang sama diperlakukan secara sama, dan yang tidak sama juga diperlakukan tidak sama, secara proporsional”.23 Keadilan sebagai salah satu dari tiga ide dasar hukum disamping kemanfaatan dan kepastian hukum yang oleh sebagian besar pakar teori hukum dan filsafat hukum diidentikkan sebagai tiga tujuan hukum, diajarkan oleh Gustav Radbruch dalam ajarannya yang dikenal sebagai teori prioritas baku, dimana dengan menggunakan asas prioritas maka keadilan sebagai prioritas pertama, kedua adalah kemanfaatan dan terakhir adalah kepastian.24 21 Ibid, hlm. 82. 22 Ibid, hlm. 81. 23 Agus Yudha Hernoko. Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial. (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 48. 24 Achmad, Ali. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence): Termasuk Interpretasi Undang-Undang (LegisPrudence) Vol 1. Pemahaman Awal. (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 288. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 217 Walaupun demikian pilihan prioritas tidak dapat dibakukan seperti itu karena tiap kasus dapat saja berbeda tujuan hukumnya yang ingin dicapai, sebagaimana yang diajarkan oleh Ahmad Ali dalam ajarannya yang dikenal sebagai teori prioritas kasuistis, di mana adakalanya dalam suatu kasus keadilan yang lebih diprioritaskan daripada kemanfaatan dan keadilan, tetapi pada kasus lain kemanfaatan yang diprioritaskan daripada keadilan dan kepastian, bahkan pada kasus lain pula terjadi kepastian yang diprioritaskan daripada keadilan dan kemanfaatan.25 Di samping itu Ahmad Ali lebih lanjut berpandangan bahwa meskipun menganut teori ajaran prioritas yang kasuistik, tetapi harus diupayakan agar meskipun yang diprioritaskan adalah salah satunya, misalnya keadilannya, tetapi tidak mengabaikan sama sekali kemanfaatan dan kepastiannya.26 Berdasarkan hal tersebut dalam kasus pembatalan sepihak oleh manajemen artis dalam kontrak penyelenggaraan konser musik, dengan cara memilih tuntutan pembatalan kontrak dan disertai tuntutan ganti rugi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1267 BW, menunjukan keadilan yang lebih diprioritaskan daripada kemanfaatan dan kepastian. Hal ini disebabkan tidak dipilihnya pemenuhan kontrak baik disertai tuntutan ganti rugi atau tidak, yang dapat disimpulkan sebagai kemanfaatan karena dapat memberikan manfaat bagi kedua belah pihak, yakni manajemen artis tetap berhak atas honorarium artis dan EO tetap berhak atas jasa artis, tidak dilakukan karena prestasi yang diperjanjikan itu pemenuhannya hanya dapat dilakukan pada waktu yang ditentukan dalam kontrak tersebut. Adapun tentang kepastian hukum pada dasarnya Pasal 1338 ayat (2) BW mengharapkan terwujudnya kepastian hukum dalam hubungan kontraktual dengan melarang kontrak ditarik kembali selain sepakat kedua belah pihak atau harus ada alasan yang cukup menurut undang-undang, namun norma ini telah dilanggar oleh manajemen artis dengan melakukan pembatalan sepihak. Berdasarkan uraian-uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan tercapainya keadilan melalui tuntutan pembatalan kontrak dan disertai tuntutan ganti rugi maka pada dasarnya hal itu merupakan terwujudnya perlindungan hukum terhadap EO, karena dengan dipenuhinya tuntutan ganti rugi atas kerugian harta benda berupa kerugian nyata dan kerugian kehilangan keuntungan yang diharapkan yang diderita oleh EO, sesungguhnya telah menempatkan EO pada keadaan seandainya dalam kontrak penyelenggaraan konser musik tidak terjadi wanprestasi. PENUTUP Kesimpulan 1. Pembatalan sepihak oleh manajemen artis merupakan pembatalan yang bertenta ngan dengan undang-undang, karena tidak mendapat persetujuan dari pihak EO, dan pihak EO tidak wanprestasi, serta manajemen artis tidak dalam keadaan memaksa, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (2) BW. Pembatalan tersebut justru menempatkan manajemen artis wanprestasi karena lewatnya waktu, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1243 BW, dan menjadi syarat batal. Sebagaimana yang diatur Pasal 1266 BW, sehingga pihak pelaksana dapat memi lih tuntutan pembatalan kontrak dan disertai tuntutan ganti rugi, sebagaimana diatur dalam Pasal 1267 BW. 25 Ibid, hlm. 289. 26 Ibid, hlm. 289. 218 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 2. Klausula pembatalan sepihak oleh manajemen artis tanpa ganti rugi bertentangan de ngan tata krama (geode zeden) sehingga batal demi hukum. Kerugian yang ditimbulkan akibat manajemen artis wanprestasi merupakan kerugian yang dapat diduga pada saat perjanjian ditutup, sebagaimana yang diatur Pasal 1247 BW, dan merupakan kerugian yang memiliki akibat langsung dengan wanprestasi, sehingga manajemen artis berkewajiban melakukan penggantian atas kerugian tersebut. Saran 1. Pada pembuatan kontrak penyelenggaraan konser musik harus didasarkan pada asas iktikad baik dalam semua tahapan kontrak. Pihak EO dapat menempuh sarana penyitaan terhadap harta benda milik manajemen artis, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1131 BW bahwa, debitor bertanggung jawab atas kewajiban perikatannya dengan seluruh harta bendanya. 2. Dalam kontrak penyelenggaraan konser musik perlu dibuat klausula yang seimbang yang mengatur hak dan kewajiban dari masing-masing pihak secara seimbang, di mana diatur apabila terjadi pembatalan sepihak yang dilakukan oleh manajemen artis maka manajemen artis wajib melakukan pengembalian uang honorarium artis dan ganti rugi pada EO, dan sebaliknya apabila EO melakukan pembatalan sepihak maka EO wajib melakukan pelunasan pembayaran uang honorarium artis dan ganti rugi pada manajemen artis. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 219 DAFTAR PUSTAKA Achmad, Ali, 2009. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence): Termasuk Interpretasi Undang-Undang (LegisPrudence) Vol 1. Pemahaman Awal. Jakarta: Kencana. Agus Yudha, Hernoko. 2010. Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial. Jakarta: Kencana. Ahmadi, Miru, 2008. Hukum Kontrak Perancangan Kontrak. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2010. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Rajawali Pers. Carry, Nadeak, 2003. Java Musikindo Presents Wow. Jakarta: Java Media Indo Plus. J. Satrio, 1999. Hukum Perikatan: Perikatan Pada Umumnya. Bandung: Alumni. Mariam, Darus Badrulzaman, 2005. Aneka Hukum Bisnis. Bandung: Alumni. M. Yahya, Harahap, 2007. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika. Paul Scholten, 2011. De Structuur Der Rechtswetenschap, Struktur Ilmu Hukum, Alih Bahasa, B. Arief Sidharta, Bandung: Alumni. 220 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 SISTEM SANKSI BAGI ANAK DAN IMPLEMENTASINYA (KAJIAN DALAM PERSPEKTIF PERLINDUNGAN ANAK) Syamsuddin Muchtar Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 SISTEM SANKSI BAGI ANAK DAN IMPLEMENTASINYA (KAJIAN DALAM PERSPEKTIF PERLINDUNGAN ANAK) Oleh: Syamsuddin Muchtar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Jl. Perintis Kemerdekaan KM. 10, Tamalanrea, Makassar, Sulawesi Selatan E-mail: [email protected] Abstract Justice and punishment of children is essentially for the protection and welfare of children as part of social welfare, would that action takes precedence over sanctions on criminal sanctions. In other words, criminal sanctions will only be used as a last resort (last resort). But in reality, this type of criminal sanctions, especially imprisonment penalty is still used as a sanction “primadonna”, both in the formulation of Law Number 3 Year 1997 on Juvenile Court, and in its application by a judge in juvenile justice. Therefore we need an amendment to the stelsel sanctions stipulated in the Juvenile Court Act. Keywords: Protection, Justice, Punishment of Children Abstrak Peradilan dan pemidanaan anak yang pada hakikatnya adalah untuk perlindungan dan kesejahteraan anak sebagai bagian dari kesejahteraan sosial, menghendaki agar sanksi tindakan lebih diutamakan dari pada sanksi pidana. Dengan kata lain, sanksi pidana hanya akan digunakan sebagai upaya terakhir (the last resort). Namun kenyataannya, jenis sanksi pidana, khususnya sanksi pidana penjara masih digunakan sebagai sanksi “primadona”, baik dalam rumusan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, maupun dalam penerapannya oleh hakim di pengadilan anak. Oleh karena itu diperlukan amandemen atas stelsel sanksi yang diatur dalam Undang-undang Pengadilan Anak. Kata Kunci: Perlindungan, Peradilan, Pemidanaan Anak Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 PENDAHULUAN Dalam upaya penanggulangan kejahatan pada umumnya, dikenal istilah kebijakan kriminal yaitu suatu usaha yang rasional masyarakat dalam menanggulangi kejahatan1. Sementara itu, usaha perlindungan hak-hak anak sangat ditentukan oleh adanya kebijakan perlindungan anak (child protection policy), kebijakan kesejahteraan anak (child welfare policy) yang kondusif terhadap usaha-usaha perlindungan hak-hak anak itu sendiri.2 Jaminan perlindungan hukum bagi anak untuk tumbuh dan berkembang, secara umum telah diamanatkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain: 1. Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.3 2. Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan, anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhannya secara wajar.4 3. Agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab sebagai tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara, maka perlu diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental, maupun sosial, dan berakhlak mulia. Perlu pula dilakukan upaya perlindungan untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi.5 Hal tersebut sejalan dengan isi Deklarasi Hak-Hak Anak oleh Majelis Umum PBB tanggal 20 November 1959 yang asas utamanya menegaskan bahwa umat manusia berkewajiban memberikan yang terbaik bagi anak. Statistik kriminal menunjukkan bahwa dalam dekade terakhir ini ada kecenderungan terjadi peningkatan keterlibatan anak sebagai palaku dalam beberapa jenis kejahatan, baik secara kuantitas, maupun secara kualitas. Di Kota Makassar, dalam lima tahun terakhir (2006-2010), jumlah anak yang berkonflik dengan hukum yang mengakibatkan mereka diajukan ke Pengadilan Negeri Makassar mencapai rata-rata 146 orang per tahun.6 Jenis tindak pidana yang dilakukan oleh anak pun semakin beragam, tidak lagi terbatas pada tindak pidana yang sifatnya ringan seperti pelanggaran lalu lintas, pencurian ringan dan sebagainya, tetapi mereka sudah berani melakukan tindak pidana yang mengandung unsur kekerasan seperti: pemerasan, pemerkosaan, penganiayaan, bahkan pembunuhan. Publik dikejutkan oleh pemberitaan bahwa ternyata di antara anggota sindikat pelaku penculikan Raisya, terdapat tiga orang siswa sekolah menengah atas SMA) yang masih termasuk kategori anak.7 Berita tentang penyalahgunaan narkotika dan psikotropika di kalangan anak kerap kali pula mengisi media massa cetak dan elektronik di tanah air. Fenomena semakin meningkatnya perilaku menyimpang yang meli-batkan anak sebagai pelaku tersebut tentu sangat menghawatirkan dan sekaligus mengundang keprihatinan semua kalangan. Oleh karena dari sudut pandang hukum positif, perilaku anak tersebut tentu saja mengharuskan mereka terseret ke dalam proses peradilan pidana. 1Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1981), hlm. 38. 2 Paulus Hadisuprapto,JuvenileDelinquency (Pemahaman dan Penanggulangannya). (Bandung: P.T. Citra Aditya Bakti, 1997), hlm. 82. 3 Pasal 28B (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 4 Pasal 2 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak 5 Bagian konsiderans Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. 6 Data diperoleh dari Pengadilan Negeri Makassar, Januari 2011. 7 Kompas, 25 Agustus 2007. 224 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 Namun pada sisi lain, penanganan penyimpangan perilaku anak melalui proses peradilan pidana tanpa memperhatikan aspek perlindungan akan menimbulkan dampak negatif pada perkembangan mental mereka. Upaya perlindungan hukum bagi anak dalam sistem peradilan pidana sesungguhnya didukung oleh instrumen hukum internasional, antara lain yaitu: 1. Resolusi MU-PBB Nomor 44/25 tanggal 20 November 1989 tentang Convention on The Right of the Child (Konvensi Hak-hak Anak) yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. 2. Resolusi MU-PBB Nomor 40/33 tanggal 29 November 1985 tentang Standard Minimum Rules for the Adminstration of the Juvenile Justice (Ketentuan Standar Minimum untuk Pelaksanaan Peradilan Remaja), sering disebut “The Beijing Rules”. 3. Resolusi MU-PBB Nomor 45/112 tanggal 14 Desember 1990 tentang Guidelines for the Prevention of Juvenile Delinquency (Pedoman-pedoman untuk Pencegahan Kanakalan Remaja), sering disebut “The Riyadh Guidelines”. Salah satu prinsip yang terkandung dalam instrumen-instrumen hukum tersebut ialah bahwa, pembatasan kebebasan (penangkapan, penahanan, dan pidana penjara) harus ditempatkan sebagai alternatif terakhir setelah mempertimbangkan alternatif-alternatif lain yang dimungkinkan oleh aturan-aturan hukum yang ada. Keberadaan instrumen hukum internasional tersebut, kemudian ditindaklanjuti oleh pemerintah Indonesia dengan membentuk Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (selanjutnya disingkat: UUP Anak) yang disahkan dan diundangkan pada tanggal 3 Januari 1997 dan pemberlakuannya satu tahun setelah diundangkan. Pasal 67 UUP Anak tersebut secara tegas menyatakan bahwa pada saat mulai berlakunya undang-undang ini, maka ketentuan yang diatur dalam Pasal-pasal 45, 46, dan 47 KUHP dinyatakan tidak berlaku lagi. Sebagaimana diketahui bahwa sebelum berlakunya UUP Anak, pedoman penjatuhan sanksi bagi anak yang melakukan tindak pidana diatur dalam Pasal-pasal 45,46, dan 47 KUHP tersebut. RUMUSAN MASALAH Rumusan masalah yang akan dipecahkan dalam kajian ini adalah: 1. Apakah hakikat peradilan dan pemidanaan anak? 2. Bagaimanakah sistem sanksi bagi anak setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak? 3. Bagaimanakah penerapan sistem sanksi bagi anak setelah berlakunya UndangUndang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak di Pengadilan Negeri Makassar? METODE PENELITIAN Kajian mengenai sistem sanksi bagi anak dan implementasinya sebagai upaya perlindungan hukum bagi anak yang akan dilakukan, mencakup: Pertama, telaah tentang hakikat peradilan dan pemidanaan anak. Kedua, peninjauan atas ketentuan hukum yang sedang berlaku (ius konstitutum) atau hukum positif, dalam hal ini Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang berkaitan dengan sistem sanksi bagi anak berdasarkan prinsip kepentingan terbaik bagi anak, yang meliputi: jenis-jenis sanksi (strafsoort), berat/ringannya sanksi (strafmaat), dan cara menerapkan sanksi (strafmodus). Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 225 Ketiga, tinjauan atas penerapan sistem sanksi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 19097 Tentang Pengadilan Anak, khususnya memperbandingkan antara penerapan sanksi pidana dengan sanksi tindakan oleh hakim di Pengadilan Negeri Makassar. Analisis terhadap ketiga masalah tersebut diharapkan dapat menemukan bahan yang dapat digunakan untuk merumuskan ketentuan hukum baru/ hukum yang diharapkan (ius konstituendum) yang berkaitan dengan hak perlindungan anak dalam sistem peradilan pidana. Untuk menemukan jawaban atas ketiga rumusan masalah, digunakan: a. pendekatan konseptual (conceptual approach) dengan menelaah pandangan-pandangan dan doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum pidana, b. pendekatan undang-undang (statute approach) dengan menelaah substansi sistem sanksi bagi anak yang diatur dalam UUP Anak, dan c. pendekatan kasus (case approach) dengan menelaah kasus-kasus yang telah diputus oleh pengadilan dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap.8 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hakikat Peradilan dan Pemidanaan Anak Perlindungan anak dalam proses peradilan pidana, tidak dapat dilepaskan dari hakikat tujuan atau dasar peradilan pidana anak (juvenile justice). Dengan tujuan dan dasar pemikiran inilah baru ditentukan apa dan bagaimana hakikat serta wujud perlindungan hukum yang sepatutnya diberikan pada anak. Tujuan dan dasar pemikiran peradilan pidana anak, jelas tidak dapat dilepaskan dari tujuan utama untuk mewujudkan kesejahteraan anak yang pada dasarnya merupakan bagian dari kesejahteraan sosial. Akan tetapi bukan berarti bahwa kepentingan atau kesejahteraan anak berada di bawah kepentingan masyarakat. Justru harus dilihat bahwa mendahulukan atau mengutamakan kesejahteraan atau kepantingan anak itu pada hakikatnya awal dari usaha mewujudkan kesejahteraan sosial. Kepentingan anak tidak boleh dikorbankan demi kepentingan masyarakat.9 Pandangan tersebut sangat sejalan dengan pandangan Sudarto yang mengemukakan bahwa pengadilan anak mengutamakan kesejahteraan anak di samping kesejahteraan masyarakat. Segala aktivitas yang dilakukan dalam rangka peradilan anak, apakah itu dilakukan oleh polisi, jaksa, hakim atau kah pejabat-pejabat lainnya, harus didasarkan pada suatu prinsip, ialah demi kesejahteraan anak. Apakah hakim akan menjatuhkan pidana atau tindakan harus didasarkan pada kriterium apa yang paling baik untuk kesejahteraan anak yang bersangkutan.10 Upaya perlindungan anak dalam proses peradilan pidana terwujud untuk pertama kalinya dengan pembentukan pengadilan anak (Juvenile Court) di Illions, Amerika Serikat pada Tahun 1899. Menurut Sudarto undang-undang yang mendasari pengadilan anak yang pertama ini didasarkan pada asas parens patriae, yang berarti bahwa penguasa harus bertindak apabila anak membutuhkan pertolongan, anak yang melakukan kejahatan bukannya dipidana melainkan harus dilindungi dan diberi bantuan. Di Inggris dikenal hak prerogatif raja untuk bertindak sebagai parens patriae, ialah melindungi rakyat yang memerlukan bantuan, termasuk anak yang membutuhkannya.11 8 Penjelasan lebih lengkap tentang macam-macam pendekatan dalam penelitian hukum terdapat dalam karangan Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum , (Kencana Prenada Media Group, 2005), hlm. 93139. 9 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1992), hlm. 111. 10 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana. (Bandung: Alumni, 1986), hlm.140. 11 Sudarto, Op. Cit. hlm. 131. 226 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 Dalam pandangan Sudarto, asas parens patriae harus dimaknai bahwa hukum anak harus bertolak dari hak-hak anak itu sendiri, sehingga peradilan anak harus dapat mewujudkan hak-hak anak tersebut. Kepada anak harus diberi kesempatan untuk menyatakan pendapatnya dan pendapat itu harus mandapat perhatian yang wajar. Makna “demi kepentingan anak” jangan menjadi “demi kepentingan anak menurut pikiran hakim saja”, akan tetapi benar-benar demi perkembangan pribadi anak itu sendiri dalam arti yang luas.12 Konvensi Hak-Hak Anak (Resolusi PBB No. 44/25) yang kemudian memperoleh kekuatan hukum di Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, dan United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (Resolusi PBB 40/33) memuat, antara lain: 1. Anak sebagai generasi penerus bangsa memiliki hak-hak yang harus dilindungi, baik anak pada umumnya, maupun anak yang bermasalah dalam prilaku sosialnya; 2. Negara melalui aparatnya bertindak sebagai pengganti orang tua bila mana orang tua atau walinya karena satu dan lain hal tidak bisa memainkan peran sebagai orang tua yang bertanggung jawab terhadap anak-anaknya (asas parens patriae); 3. Penanganan anak bermasalah (dalam perilaku sosialnya-termasuk dalam bidang hukum pidana) yang dilakukan melalui penyelenggaraan peradilan pidana diarahkan untuk tetap berpegang teguh pada prinsip bahwa penyelenggaraan peradilan pidana merupakan bagian integral dari usaha kesejahteraan anak; 4. Peradilan anak sebagai bagian integral dari usaha kesejahteraan anak harus dapat memberikan jaminan setiap reaksi terhadap pelaku kenakalan atau kejahatan selalu diperlakukan secara proporsional sesuai dengan situasi lingkungan pelaku dan perbuatannya.13 Tujuan dan dasar pemikiran untuk mengutamakan kesejahteraan anak ditegaskan pula dalam United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (Resolusi MU PBB Nomor 40/33) yang menunjuk pada dua sasaran atau tujuan yang sangat penting yaitu: 1. Memajukan kesejahteraan anak Sasaran pertama ini merupakan fokus utama dalam sistem hukum yang menangani pelanggar anak-anak ; khususnya dalam sistem hukum yang menangani model peradilan pidana yang harus lebih mengutamakan kesejahteraan anak. Prinsip ini berarti menjunjung prinsip untuk menghindari penggunaan sanksi yang sematamata bersifat menghukum. 2. Prinsip proporsionalitas Sasaran kedua, yaitu prinsip yang merupakan alat untuk mengekang penggunaan sanksi yang bersifat menghukum dalam arti membalas semata-mata. Dari titik tolak pendekatan yang berorientasi pada masalah perlindungan dan kesejahteraan anak, jelas perlu pendekatan lain atau pendekatan khusus dalam masalah perlindungan hukum bagi anak dalam proses peradilan pidana. Anak yang diperlukan adalah: a. Anak yang melakukan tindak pidana jangan dipandang sebagai penjahat, tetapi harus dilihat sebagai orang yang memerlukan bantuan, pengertian dan kasih sayang. b. Pendekatan yuridis terhadap anak hendaknya lebih mengutamakan pendekatan 12 Ibid. hlm. 141. 13 Paulus Hadisuprapto, Loc.Cit. hlm. 158. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 227 persuasif-edukatif dan pendekatan kejiwaan (psikologis) yang berarti sejauh mungkin menghindari proses hukum yang semata-mata bersifat menghukum, yang bersifat degradasi mental dan penurunan semangat, serta menghindari proses stigmatisasi yang dapat menghambat proses perkembangan, kematangan, dan kemandirian anak dalam arti yang wajar.14 Sesuai dengan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak bahwa pelayanan dan asuhan diberikan kepada anak yang telah dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran hukum berdasarkan putusan hakim, maka perlu diusahakan benar-benar agar anak tidak masuk ke dalam rumah penjara, tetapi diperiksa dan diputus berdasarkan apa yang paling baik bagi anak yang bersangkutan. Pengaturan peradilan anak perlu didasarkan pada asas parens patriae yang bermakna: (1) pemerintah/penguasa harus bertindak apabila anak membutuhkan pertolongan; dan (2) anak yang melakukan tindak pidana, bukannya dipidana, melainkan ia mendapat perlindungan dan bantuan. Komitmen untuk memberikan perlindungan khusus terhadap anak sebagaimana terurai di atas semakin dipertegas lagi dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Terdapat 15 yang secara khusus merinci mengenai hak-hak anak. Jika dicermati, materi (muatan) ke lima belas pasal mengenai hak anak dalam Undang-Undang HAM tersebut, pada dasarnya diadopsi dari instrumen-instrumen hukum internasional tentang perlindungan anak sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya. Hal ini berarti bahwa instrumen hukum internasional tentang perlindungan anak telah diakui dan diterima sebagai sumber pembentukan hukum nasional. Khusus hal yang berkaitan dengan peradilan pidana anak, Undang-undang HAM menentukan: 1)Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. 2)Hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan untuk pelaku tindak pidana yang masih anak. 3)Setiap anak berhak untuk tidak dirampas kemerdekaannya secara melawan hukum. 4)Penangkapan, penahanan, atau pidana penjara bagi anak hanya boleh dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir. 5)Setiap anak yang dirampas kebebasanya berhak mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan dengan memperhatikan pengembangan pribadi sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan dengan orag dewasa, kecuali demi kepentingannya. 6)Setiap anak yang dirampas kebebasanya berhak memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku. 7)Setiap anak yang dirampas kebebasanya berhak untuk membela diri dan memperoleh keadilan di depan Pengadilan Anak yang obyektif dan tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum.15 Berdasarkan beberapa kutipan di atas, jelas dianut suatu prinsip bahwa walaupun terpaksa seorang anak yang berkonflik dengan hukum harus diberi sanksi, maka sanksi itu tidaklah harus melupakan pentingnya kesejahteraan anak dan sanksi itu pun harus mampu memberikan jaminan adanya asas proporsionalitas dalam pemberian perlakuan pada diri anak. Aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana atas nama pemerintah/negara seyogyanyalah tetap berpegang teguh pada asas parens patriae dalam menghadapi anak 14 Terkutip dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, Loc.Cit, hlm. 113. 15 Lihat Pasal 66 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. 228 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 pelaku kenakalan/kejahatan. Berkaitan dengan itu pula, Sarwoko, mengemukakan: “Pemidanaan merupakan serangkaian proses yang terwujud di dalam berbagai jenis kegiatan serta dilakukan secara terencana. Titik sentralnya diantaranya adalah untuk mengembalikan sikap mental dan perilaku narapidana anak itu kepada fitrahnya. Secara sederhana dapat bahwa perilaku dan sikap mental tercela yang mendorong seseorang sehingga ia melakukan perbuatan tercela itulah yang harus dibersihkan dari padanya.” 16 Dengan demikian perlu ada kesadaran bahwa dalam menghadapi anak yang melakukan tindak pidana, yang penting bukanlah apakah anak tersebut dapat dipidana atau tidak, melainkan tindakan yang bagaimanakah yang harus dilakukan untuk memperbaiki dan mendidik anak tersebut. Pembatasan kebebasan (penangkapan, penahanan, dan pidana penjara) harus ditempatkan sebagai upaya (alternatif) terakhir setelah mempertimbangkan alternatif-alternatif lain yang dimungkinkan oleh aturan hukum yang ada. Pemidanaan tidak ditujukan untuk penghukuman, tetapi pada perbaikan kondisi, pemeliharaan dan perlindungan, serta pencegahan pengulangan tindakannya yang bersifat konstruktif. Sistem Sanksi Bagi Anak Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa saat ini landasan hukum utama dalam proses peradilan pidana anak yang berlaku di Indonesia adalah Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang ditetapkan dan diundangkan pada tanggal 3 Januari 1997 (Lembaran Negara Republik Indonesia 1997 Nomor 3). Pasal 68 UUP Anak tersebut menentukan bahwa undang-undang ini mulai berlaku satu tahun terhitung sejak tanggal diundangkan, yang berarti bahwa undang-undang ini efektif mulai berlaku pada tanggal 3 Januari 1998. Patut pula dicatat bahwa pada saat mulai berlakunya UUP Anak, maka pedoman penjatuhan sanksi bagi anak sebagaimana yang diatur dalam Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dinyatakan tidak berlaku lagi.17 Stelsel atau susunan sanksi merupakan salah satu di antara tiga masalah yang pokok dalam sistem hukum pidana, disamping masalah-masalah pokok yang lain yaitu perumusan tentang perbuatan yang dianggap tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana. Menurut Muladi, stelsel sanksi konotasinya tidak hanya merupakan sistem phisik yang bersifat substantif dan struktural, tetapi juga bermakna kultural, yang sarat dengan pandangan-pandangan, sikap-sikap, nilai-nilai, bahkan falsafah yang secara konsisten harus dihayati oleh seluruh sistem peradilan pidana. Dengan secara dramatis disebut “Value loaded” dan tidak “value-free”.18 Dalam hukum pidana, klasifikasi pelaku yang didasarkan atas psikologi perkembangan usia pelaku menghasilkan apa yang dinamakan hukum pidana anak, yang mengatur secara khusus tiga permasalahan pokok dalam hukum pidana, termasuk stelsel sanksi bagi anak. Filosofi dasar pemidanaan anak dalam tata hukum Indonesia, dituangkan dalam penjelasan umum UUP Anak yang antara lain ditegaskan: “Hubungan antara orang tua dengan anaknya merupakan suatu hubungan yang 16 Termuat dalam Majalah Varia Peradilan, Nomor 84, Tahun VII, September 1992: 126. 17 Lihat Pasal 67 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak 18Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1997), hlm. 151. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 229 hakiki, baik hubungan psikologis maupun mental spritualnya. Mengingat ciri dan sifat anak yang khas tersebut, maka dalam menjatuhkan pidana atau tindakan terhadap Anak Nakal diusahakan agar anak dimaksud jangan dipisahkan dari orang tuanya. Apabila karena hubungan antara orang tua dan anaknya kurang baik, atau karena sifat perbuatannya sangat merugikan masyarakat sehingga perlu memisahkan anak dengan orang tuanya, hendaklah tetap dipertimbangkan bahwa pemisahan tersebut sematamata demi pertumbuhan dan perkembangan anak secara sehat dan wajar”.19 Sehubungan dengan itu, dalam UUP Anak diatur kebijakan pengaturan sanksi (pengecua lian dari KUHP) untuk memberikan perlakuan khusus bagi anak. UUP Anak menentukan kebijakan penggunaan sistem dua jalur (double track system) dalam stelsel sanksi bagi anak yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana. Stelsel sanksi dua jalur yang dimaksud adalah: pertama; sanksi pidana (punishment; Inggris, atau straf; Belanda) yang lebih berorientasi pada perbuatan jahat (bersifat pembalasan) dan, kedua; sanksi tindakan (treatment; Inggris, atau maatregel; Belanda) yang lebih berorientasi pada pembuat atau pelaku (bersifat perlindungan). Antara sanksi pidana dan sanksi tindakan terdapat hubungan yang saling mengesampingkan (mengecualikan), artinya jika hakim memilih jalur sanksi pidana, maka pada saat yang sama jenis sanksi tindakan dikesampingkan. Sebaliknya, jika hakim memilih jalur sanksi tindakan, maka berarti jalur sanksi pidana dikesampingkan. Kebijakan pengaturan double track system mengenai sanksi dan bagaimana penerapannya terhadap anak menurut UUP Anak diuraikan sebagai berikut: Sanksi Pidana Sanksi pidana yang dapat diterapkan kepada anak meliputi: Pidana Penjara Pidana penjara yang dapat dijatuhkan terhadap anak nakal yang melakukan tindak pidana sesuai Pasal 26 (1) paling lama setengah dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. Dalam hal tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka bagi anak-anak, ancaman pidana itu menjadi pidana penjara maksimum 10 (sepuluh) tahun. Dengan ketentuan Pasal 26 ini, maka ancaman pidana terhadap delik, baik yang terdapat di dalam KUHP maupun yang tersebar diluar KUHP yang pelakunya adalah anak, harus dibaca seperdua dari maksimum ancaman pidana bagi orang dewasa. Bagi anak yang belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun dan melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sesuai dengan Pasal 24 (1) huruf a, maka terhadapnya tidak dapat dijatuhkan sanksi pidana. Tetapi hanya dikenakan tindakan berupa menyerahkannya kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja. Hakim dapat menerapkan pidana bersyarat jika pidana penjara yang dijatuhkan tidak lebih dari 2 (dua) tahun. Penerapan pidana bersyarat ini sepenuhnya bergantung pada penilaian hakim. Apabila diputuskan untuk menerapkan pidana bersyarat, maka ditentukan syarat umum dan syarat khusus. Syarat umum ialah anak tidak akan melakukan tindak pidana lagi selama menjalani masa pidana bersyarat. Sementara syarat khusus, misalnya tidak boleh mengemudikan kendaraan bermotor, atau wajib mengikuti kegiatan-kegiatan yang diprogramkan Balai Pemasyarakatan (Bapas). Jadi syarat umum tidak mengulangi tindak pidana lagi, sedangkan syarat khususnya adalah melakukan atau tidak melakukan hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam putusan hakim dengan tetap mengusahakan kebebasan anak. Jangka waktu pidana bersyarat khusus 19 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. 230 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 harus lebih singkat dari pada syarat umum dan paling lama 3 (tiga) tahun. Selama menjalani masa pidana bersyarat, pengawasan terhadap anak dilakukan oleh jaksa, sementara bimbingan dilakukan oleh pembimbing kemasyarakatan. Tujuannya adalah agar anak menepati syarat yang telah ditentukan. Anak yang menjalani masa pidana bersyarat dibimbing di Balai Pemasyarakatan (Bapas) dan berstatus sebagai klien pemasyarakatan. Selama berstatus sebagai klien pemasyarakatan, anak dapat mengikuti pendidikan sekolah. Pidana Kurungan Pasal 27 UUP Anak menentukan bahwa pidana kurungan yang dapat dijatuhkan kepada anak menurut Pasal 1 angka 2 huruf a (anak yang melakukan tindak pidana), paling lama seperdua dari maksimum ancaman pidana kurungan bagi orang dewasa. Sama halnya dengan sanksi pidana penjara atau denda, sanksi pidana kurungan hanya dapat diterapkan kepada anak yang terbukti melakukan tindak pidana yang diancam pidana kurungan. Pidana Denda Pidana denda yang dapat diterapkan terhadap anak menurut Pasal 28 (1) adalah maksimum ½ dari ancaman pidana denda yang diancamkan dalam delik yang bersangkutan, dan apabila pidana denda ternyata tidak dapat dibayar, maka diganti dengan wajib latihan kerja (Pasal 28 ayat 2). Ketentuan ini jelas berbeda dengan ketentuan umum KUHP (Pasal 30 ayat 2) yang menentukan bahwa jika dijatuhkan hukuman denda, dan denda tidak dibayar, maka diganti dengan hukuman kurungan. Wajib latihan kerja sebagai pengganti denda dilakukan paling lama 90 (sembilan puluh) hari kerja dan lama latihan kerja tidak lebih dari 4 (empat) jam sehari dan tidak dilakukan pada malam hari. Ketentuan ini mengikuti Permenakar Nomor Per.01/ Men/1987 yang menentukan bahwa anak yang terpaksa bekerja tidak boleh bekerja lebih dari empat jam sehari, dan tidak bekerja pada malam hari. Wajib latihan kerja dimaksudkan untuk mendidik anak yang bersangkutan agar memiliki keterampilan yang bermanfaat bagi dirinya. Pidana Pengawasan Pidana pengawasan dapat dijatuhkan kepada anak menurut Pasal 1 angka 2 huruf a paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun. Pidana pengawasan adalah pidana khusus yang dikenakan kepada anak, yakni pengawasan yang dilakukan oleh jaksa terhadap perilaku anak dalam kehidupan sehari-hari di rumah anak tersebut, dan pemberian bimbingan oleh pembimbing kemasyarakatan. Adapun sanksi pidana tambahan yang dapat diterapkan terhadap anak nakal dapat berupa perampasan barang-barang tertentu dan/atau pembayaran ganti rugi. Hal yang perlu mandapat sorotan dalam kaitan dengan pemberlakuan ancaman pidana penjara, dan pidana denda terhadap anak adalah dikembangkannya apa yang dinamakan ancaman pidana minimum khusus bagi delik-delik tertentu diluar KUHP seperti UU Narkotika/Psiikotropika. Apakah ketentuan ancaman pidana minimum khusus tersebut secara otomatis berlaku pula terhadap anak? Tidak ada penjelasan. Oleh karena sekali pun ancaman pidana minimum khusus itu dikali dengan ½, rasanya masih terlalu berat untuk diterapkan terhadap seorang anak. Apalagi jika ditinjau dari prinsip bahwa pidana (khususnya pidana penjara) sedapat mungkin dijadikan alternatif terakhir. Terlebih lagi jika ancaman pidana minimum khusus itu merupakan kumulasi antara dua jenis pidana pokok yaitu pidana penjara dan denda di dalam UU Narkotika/Psikotropika. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 231 Sedangkan jenis pidana pengawasan yang ditempatkan sebagai masuk kategori pidana pokok, tampaknya jenis pidana ini tidak akan pernah dapat diterapkan. Oleh karena tidak ada penjelasan dalam hal apa jenis pidana pengawasan dapat diterapakan. Sejauh ini belum pernah ada rumusan delik (tindak pidana) yang diancam dengan pidana pengawasan. Saya cenderung berpendapat bahwa jenis pidana pengawasan ini lebih tepat ditempatkan sebagai salah satu alternatif sanksi tindakan dari pada menempatkannya sebagai salah satu jenis sanksi pidana. Sanksi Tindakan Adapun tindakan yang dapat diterapkan kepada anak nakal (Pasal 24) adalah: Mengembalikan kepada Orang Tua/Wali/Orang Tua Asuh Hal ini dapat dilakukan apabila menurut penilaian hakim, anak tersebut masih dapat dibina di lingkungan keluarga orang tua/wali/atau orang tua asuhnya. Namun demikian anak tersebut tetap mendapat pengawasan dan bimbingan pembimbing kemasyarakatan antara lain untuk mengikuti kegiatan-kegiatan yang bermanfaat bagi dirinya (kepramukaan dan lain-lain). Menyerahkan kepada Negara Tindakan ini dilakukan apabila menurut penilaian hakim, pendidikan dan pembinaan anak tersebut tidak dapat lagi dilakukan di lingkungan keluarganya (Pasal 24 ayat 1 huruf b). Jika anak diserahkan kepada negara, maka ia disebut sebagai anak negara. Anak negara ditempatkan di Lembaga Permasyarakatan Anak dan wajib mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja. Tujuannya untuk memberi bekal keterampilan kepada anak, misalnya keterampilan pertukangan, perbengkelan, tata rias, dan sebagainya, agar anak tersebut setelah selesai menjalani masa tindakan dapat hidup mandiri. Anak yang oleh hakim diputus dan diserahkan kepada negara (Pasal 31) ditempatkan di Lembaga Permasyarakatan Anak sebagai anak negara. Pembinaannya menjadi tanggung jawab Lembaga Permasyarakatan. Untuk itu, Kepala Lembaga Permasyarakatan Anak dapat mengajukan izin kepada Menteri Kehakiman R.I., agar anak negara tersebut ditempatkan di Lembaga Permasyarakatan yang diselenggarakan oleh pemerintah atau swasta. Maksudnya adalah untuk kepentingan dan masa depan, atau dalam hal kepentingan anak menghendaki, anak itu dapat diserahkan kepada Panti Sosial Pemerintah atau Swasta, atau Orang Tua Asuh (OTA) yang memenuhi syarat. Apabila hakim menetapkan anak harus mengikuti pendidikan, pembiaan, dan latihan kerja (Pasal 32), maka hakim dalam penetapannya menentukan lembaga tempat pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja itu dilaksanakan. Menyerahkan kepada Departemen Sosial atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang Bergerak di Bidang Pendidikan, Pembinaan, dan Latihan Kerja Walaupun pada prinsipnya pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja itu diselenggarakan oleh pemerintah di Lembaga Permasyarakatan Anak atau oleh pemerintah di Lembaga Permasyarakatan Anak atau oleh Departemen Sosial, tetapi jika kepentingan anak menghendaki, maka hakim dapat menetapkan anak tersebut diserahkan kepada organisasi sosial kemasyarakatan seperti pesantren, panti asuhan sosial, dan lembaga sosial lainnya (Pasal 24 ayat 1 huruf c). Anak yang diserahkan kepada organisasi sosial kemasyarakatan, harus diperhatikan agama anak yang bersangkutan. Sanksi tindakan yang diterapkan oleh hakim kepada anak dapat disertai dengan 232 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 teguran dan syarat tambahan yang ditetapkan oleh hakim (Pasal 24 ayat 2). Teguran itu berupa peringatan dari hakim, baik secara langsung kepada anak yang dijatuhi tindakan, maupun secara tidak langsung melalui orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, agar anak tersebut tidak mengulangi perbuatan yang mengakibatkan ia dijatuhi tindakan. Adapun syarat tambahan misalnya kewajiban untuk melapor secara periodik kepada pembimbing kemasyarakatan. Dalam menentukan jenis sanksi pidana atau sanksi tindakan yang akan dijatuhkan, hakim memperhatikan berat/ringannya tindak pidana atau kenakalan yang dilakukan oleh anak yang bersangkutan. Di samping itu, hakim juga wajib memperhatikan keadaan anak, keadaan rumah tangga orang tua, wali, atau orang tua asuh, hubungan antara anggota keluarga, dan keadaan lingkungannya. Demikian pula, hakim wajib memperhatikan laporan pembimbing kemasyarakatan. Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa kepada anak yang terbukti melakukan tindak pidana dapat diterapkan dua alternatif pilihan yaitu pidana atau tindakan (Pasal 22). Namun seperti juga dengan Pasal 45 KUHP, UUP Anak tidak secara tegas menentukan bahwa, hakim harus memprioritaskan sanksi tindakan untuk diterapkan kepada anak dari pada sanksi pidana. Pilihan (alternatif) antara sanksi pidana atau tindakan bersifat pilihan terbuka, sehingga hakim dalam memutuskan perkara anak nakal bebas menggunakan kewenangannya untuk lebih menjatuhkan sanksi pidana daripada menjatuhkan sanksi tindakan. Seharusnya UUP Anak memiliki ketentuan yang menegaskan bahwa hakim harus terlebih dahulu mempertimbangkan untuk menjatuhkan sanksi tindakan dari pada sanksi pidana, paling tidak, UUP Anak mengharuskan hakim dalam pertimbangan putusannya untuk merumuskan secara eksplisit alasan mengapa ia memilih untuk menjatuhkan jenis pidana atau jenis tindakan tertentu. Hal ini sejalan pula dengan prinsip bahwa pemidanaan bagi anak adalah alternatif terakhir (the last resort) dan dengan mempertimbangkan sebesar-besarnya kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child). Penerapan Sanksi bagi Anak Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak di Pengadilan Negeri Makassar Gambaran tentang perkara pidana anak dan penerapan sistem sanksi bagi anak setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, di Pengadilan Negeri Makassar disajikan dalam sejumlah tabel berikut: Tabel 1 Data Perkara Pidana Anak/ Putusan Pengadilan Negeri Makassar dari Tahun 2005 – 2010 No. Tahun 1 2 3 4 5 6 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Jumlah Jumlah Putusan Anak 44 80 113 102 195 150 47 83 125 115 235 176 674 781 Sumber: Pengadilan Negeri Makassar Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 233 Tampak peningkatan perkara pidana anak dari tahun ke tahun. Peningkatan sangat drastis terjadi pada tahun 2009. Fenomena ini diperkirakan terjadi karena pada tahun 2009 adalah tahun pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilu presiden dimana pada satu sisi terjadi peningkatan aktivitas sosial politik masyarakat berupa pengerahan massa (termasuk anak) dalam pelaksanaan kampanye secara terbuka yang memungkinkan terjadinya gesekan antar pendukung partai politik/calon legislatif yang berwujud tindak pidana, dan pada sisi lain aparat kepolisian aktif melakukan/meningkatkan rasia dalam menciptakan kondisi keamanan/ketertiban dalam masyarakat untuk mengamankan pelaksanaan pemilu sebagai agenda nasional. Tabel 2 Distribusi Anak Pelaku Delik Berdasarkan Jenis Pekerjaan No. Urut 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Jenis Pekerjaan Tidak ada Buruh Pelajar/Siswa Swasta/jualan Tukang Ojek/Becak/Knek Tukang Parkir Pemulung Cleaning Service Penjaga Toko Penyanyi Baby Sitter Jumlah Frekuensi Persentase 230 29,449 213 27,272 168 21,510 103 13,188 29 3,713 21 2,688 9 1,152 6 0,768 5 0,648 4 0,512 3 0,384 781 100 Sumber: Pengadilan Negeri Makassar (setelah diolah) Berdasarkan tabel tersebut, anak pelaku delik berasal dari kelompok dengan berbagai latar belakang pekerjaan: paling dominan adalah anak yang tidak memiliki pekerjaan, selanjutnya,buruh harian, pelajar/siswa, swasta, dan tukang becak/ojek/knek. Hal yang memprihatinkan ialah bahwa ternyata kelompok pelajar/siswa menempati urutan ke tiga dengan persentase 21,51 %, keadaan tersebut tentu dapat berakibat negatif pada status mereka sebagai siswa/pelajar. Tabel 3 Banyaknya Anak yang Divonis Bersalah dan Dikenakan Sanksi Berdasarkan Jenis Delik/Tahun di Pengadilan Negeri Makassar dari Tahun 2005-2010 234 No. Jenis Delik 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Pencurian (biasa, pemberatan, kekerasan) Perjudian Penyalahgunaan narkotika/psikotropika Kekerasan thd. orang/barang Membawa/memiliki senjata tajam Krn. slh. akbtkn. org. lain mati/luka berat Penganiayaan Pemalsuan tanda tera Pemerasan Tutut campur dlm perkelahian Kekerasan thd. anak Penadahan Percabulan/pemerkosaan anak Pemaksaan/pngncman thd. org. lain Penipuan Penggelapan 2005 18 8 7 6 2 3 2 1 - 2006 55 13 6 3 1 3 1 1 - Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 Tahun 2007 2008 81 80 3 7 7 12 6 2 7 6 3 4 2 2 4 3 2 1 2 2 - 2009 123 25 7 16 6 11 8 21 3 9 1 2010 113 9 27 3 3 3 1 6 3 2 1 - Jum 470 36 50 73 14 27 25 1 2 1 33 8 18 4 2 3 17 18 19 20 21 KDRT Melarikan perempuan Pembunuhan Pemerkosaan Penghinaan Jumlah 47 83 1 125 3 115 1 1 2 1 235 1 2 4 176 3 4 4 1 4 781 Sumber: Pengadilan Negeri Makassar (setelah diolah) Keterangan: Data jenis delik pada tabel 3 hanya yang berkualifikasi kejahatan (tidak termasuk pelanggaran seperti pelanggaran lalu lintas yang juga banyak melibatkan anak). Tabel ini menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan jenis delik (kejahatan) yang melibatkan anak dari tahun ke tahun. Pada Tahun 2005 ada 8 jenis delik, Tahun 2006 ada 8 jenis delik, Tahun 2007 menjadi 12, Tahun 2008 ada 10 jenis, Tahun 2009 ada 15 jenis, dan Tahun 2010 12 jenis delik. Tabel 4 Data Delik yang Dilakukan oleh Anak Diurut Berdasarkan Frekuensi Pelakunya dari Tahun 2005 - 2010 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 Jenis Delik Pencurian (biasa, pemberatan, kekerasan) Kekerasan terhadap orang/barang Penyalahgunaan narkotika/psikotropika Perjudian Kekerasan terhadap anak Krn. kslhn. akbtkn. org. lain mati/luka brt. Penganiayaan Percabulan/pemerkosaan anak Membawa/memiliki senjata tajam Penadahan Pemaksaan/pengancaman orang lain Pembunuhan Melarikan perempuan Kekerasan dalam rumah tangga Penggelapan Penghinaan Penipuan Pemerasan Pemerkosaan Pemalsuan tanda tera Turut campur dalam perkelahian Jumlah Frekuensi Persentase (%) 470 60,179 73 9,346 50 6,402 36 4,409 33 4,225 27 3,457 25 3,201 18 2,304 14 1,792 8 1,024 4 0,512 4 0,512 4 0,512 3 0,384 3 0,384 3 0,384 2 0,256 2 0,256 1 0,128 1 0,128 1 0,128 781 100 Sumber: Pengadilan Negeri Makassar (setelah diolah) Jenis kejahatan yang paling menonjol/sering dilakukan oleh anak ternyata adalah kejahatan pencurian (60,179%), disusul kejahatan kekerasan terhadap orang/barang (9,346%), penyalahgunaan narkotika/psikotropika (6,42%), perjudian (4,409%), kekerasan terhadap anak (4,225%), kemudian kejahatan karena kesalahan mengakibatkan orang lain mati atau luka (3,457%), penganiayaan (3,201%), percabulan dan pemerkosaan anak (2,304%), membawa/memiliki senjata tajam (1,792%), penadahan (1,024%). Selanjutnya, jenis kejahatan pengancaman/pengancaman orang, pembunuhan, melarikan perempuan, kekerasan dalam rumah tangga, penggelapan, pemerasan, penipuan, penghinaan, pemerkosaan, pemalsuan tanda tera, dan turut campur dalam perkelahian, masing-masing dengan persentase kurang dari 1%. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 235 Tabel 5 Pendampingan Penasihat Hukum dalam Proses Peradilan Anak di Pengadilan Negeri Makassar No. Urut 1 2 Jumlah Perkara Frekuensi Persentase 6 29 35 17,14 82,16 100 Dengan Penasihat Hukum Tanpa Penasihat Hukum Jumlah Sumber: Diolah dari 35 Putusan PN Makassar Peradilan anak sangat mengabaikan hak anak untuk didampingi penasihat hukum. Padahal Negara wajib menyediakan penasihat hukum bagi setiap anak yang berkonflik dengan hukum, terlepas dari apakah anak yang bersangkutan berkeinginan menggunakan haknya untuk didampingi penasihat hukum atau tidak. Data khusus tentang penerapan sanksi bagi anak dalam enam tahun terakhir di Pengadilan Negeri Makassar tersaji dalam tabel berikut: Tabel 6 Jenis Sanksi yang Dijatuhkan kepada Anak berdasarkan Kelompok Usia dari Tahun 2005 - 2010 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 Jenis Sanksi Dikembalikan ke Orang Tua Dijadikan Anak Negara Diserahkan ke Depsos/Ormas Penjara Kurungan Denda Pengawasan Penjara+ Denda Jumlah Kelompok Usia 8 Th > 12 Th 7 3 10 12 Th > 18 Th 15 3 7 687 59 722 n f 22 3 7 690 59 781 % 2,816 0,384 0,896 88,348 7,554 100 Sumber: Pengadilan Negeri Makassar (setelah diolah) Tabel ini menunjukkan bahwa hakim dalam menjatuhkan sanksi kepada anak masih menjadikan sanksi pidana penjara sebagai “primadona” (lebih dari 95%), sedangkan sanksi tindakan hanya sekitar 4%. Implementasi prinsip dasar bahwa penggunaan sanksi pidana penjara kepada anak sebagai the last resort benar-benar masih jauh dari harapan. Tidak/ belum ada perbedaan sikap hakim yang signifikan dalam penjatuhan sanksi bagi anak sebelum dan setelah berlakunya UUP Anak. Bahkan terjadi pelanggaran/ kesalahan penerapan hukum dimana 3 orang anak yang belum berumur 12 tahun dijatuhi sanksi pidana penjara. Padahal menurut ketentuan Pasal 26 ayat (3) dan ayat (4) UUP Anak, mereka hanya dapat dijatuhi tindakan. Kesalahan lain adalah ketika hakim menjatuhkann sanksi denda, maka hakim mensubsiderkan dengan sanksi pidana kurungan, padahal Pasal 28 ayat (2) UUP Anak dengan tegas menentukan bahwa apabila ternyata denda tidak dapat dibayar oleh anak, maka diganti dengan wajib latihan kerja. 236 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 PENUTUP Kesimpulan 1. Hakikat peradilan anak adalah untuk mewujudkan kesejahteraan anak yang pada dasarnya merupakan bagian dari kesejahteraan sosial. Pemidanaan anak tidak ditujukan untuk penghukuman, tetapi pada perbaikan kondisi, pemeliharaan dan perlindungan, serta pencegahan pengulangan tindakannya yang bersifat konstruktif. 2. Walaupun stelsel sistem sanksi yang diatur dalam UUP Anak menggunakan double track system (sanksi pidana atau sanksi tindakan), namun stelsel ini pada dasarnya tidak berbeda dengan stelsel sanksi yang diatur dalam Pasal 45 KUHP yang sudah dicabut, karena tidak ada penegasan bahwa hakim harus lebih mengutamakan menerapkan jenis sanksi tindakan dari pada jenis sanksi pidana. 3. Penerapan sanksi terhadap anak di Pengadilan Negeri Makassar masih jauh dari prinsip perlindungan anak yaitu sanksi pidana sebagai the last resort. Hakim masih lebih dominan menerapkan sanksi pidana (penjara) dibandingkan dengan sanksi tindakan. Bahkan hakim secara jelas melanggar ketentuan penerapan sanksi yang diatur dalam UUP Anak dengan menerapkan sanksi pidana penjara kepada tiga orang anak yang berumur belum mencapai 12 tahun, padahal anak yang belum berusia 12 tahun hanya dapat dikenakan sanksi tindakan. Saran 1. Perlu segera dilakukan amandemen atas substansi Undang-Undang Pengadilan Anak, khususnya stelsel sanksi yang belum sejalan dengan tujuan peradilan anak dan berpotensi menimbulkan masalah dalam penerapannya, yang pada akhirnya berdampak merugikan kepentingan anak dalam sistem peradilan pidana. 2. Dalam memeriksa dan memutus perkara pidana anak, hakim hendaknya benarbenar mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak. Penjatuhan sanksi bagi anak seharusnya didasarkan pada prinsip kebutuhan anak secara individual. Hasil Penelitian Kemasyarakatan seharusnya benar-benar didayagunakan sebagai bagian dari pertimbangan hakim dalam memutus perkara pidana anak. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 237 DAFTAR PUSTAKA Arief, Barda Nawawi. 1998. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana. Bandung: P.T. Citra Aditya Bakti. _________________ . 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: P.T. Citra Aditya Pratama. _________________ . 2007. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Menanggulangi Kejahatan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. _________________ . 2008. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru. Jakarta. Ariyanto. 2006. Implementasi Double Track System dalam Pemidanaan Menurut Undangundang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. Tesis pada Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Atmasasmita, Romli. 2010. Sistem Peradilan Pidana Kontemporer. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Atmasasmita, R. dkk. (Penyunting). 1997. Peradilan Anak di Indonesia. Bandung: C.V. Mandar Maju. Bemmelen, J.M. van. 1986. Hukum Pidana 2 (Hukum Penitensier). Bandung: Binacipta. Departemen Hukum dan HAM R.I,.2004 Konsep Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Gosita, Arief. 1985. Masalah Perlindungan Anak. Jakarta: Akademika Pressindo. Hadisuprapto, Paulus. 1997. Juvenile Delinquency (Pemahaman dan Penanggulangannya). Bandung: P.T. Citra Aditya Bakti. Koeswaji, Hermin Hediati. 1995. Perkembangan Macam-Macam Pidana Dalam Rangka Pembangunan Hukum Pidana. Bandung: P.T. Citra Aditya Bakti. Marlina, 2009. Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice. Bandung: P.T. Refika Aditama. Marzuki, Peter Mahmud. 2006. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana. Muladi. 1997. Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. _____. 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. _____. (Editor). 2005. Hak Asasi Manusia. Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat. Bandung; Refika Aditama. Muladi, Barda Nawawi Arief. 1992. Teori-teori dan Kebijakan Pidana. Bandung; Alumni. _____. 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana. Bandung: Alumni. Purnianti, Supatmi, M.S., Tinduk, N.M.M. Tanpa Tahun. Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) di Indonesia. Unicef 238 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 Sudarto. 1981. Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni. ----------. 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: Alumni. United Nation Chidren Fund (UNICEF). Convention on the Right of the Child. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 239 240 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 IMPLEMENTASI ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENGAKUAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI INDONESIA Tuan Afero Harahap Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 IMPLEMENTASI ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENGAKUAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI INDONESIA Oleh: Tuan Afero Harahap Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo Jln. Budi Utomo No. 58, Gorontalo E-mail: [email protected] Abstract The research result indicates that enforcement of public order principle on recognition dan execution of foreign arbitration award in Indonesia has been in legal complicated. Basing on enforcement of the principle in the domestic Tribunal factor, the Court seems recognition the principle. But, the legal base of the recognition has no the certain and firm standard formulation according to legal order of domestic law as a precedent. In addition, the principle was not executed in every hearing firmly because of no firm definition of the term in statutes and judges professionalism factor. So, the the Judges tends to interpret the term according to their willing only by means of interpreting the term basing on domestic interest. Besides that, remedy on refusing recognition foreign arbitration award has been regulated in Indonesia. The domestic Tribunal, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, has authority to hearing the cases basing on the statutes. Moreover, the legal impact of the remedy is same as the other cases basing on the statutes without foreign and domestic interest judgments. Keywords: The principle of Public Order, International Arbitration Award Abstrak Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penegakan prinsip ketertiban umum pada pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia secara hukum sangatlah kompleks. Berdasar pada faktor prinsip penegakan Pengadilan Negeri, Pengadilan tampaknya mengakui prinsip pengakuan. Tapi, dasar hukum pengakuan tidak memiliki perumusan standar tertentu dan tegas sesuai dengan aturan hukum hukum domestik sebagai preseden. Sebagai tambahan, prinsip itu tidak dieksekusi di setiap pemeriksaan dengan tegas karena tidak ada definisi yang tegas terhadap istilah itu dalam undang-undang dan faktor profesionalisme hakim. Jadi, hakim cenderung mengartikan istilah menurut mereka sendiri dan hanya bersedia menafsirkan berdasarkan pada kepentingan domestik saja. Selain penolakan akan pengakuan arbitrase asing telah diatur di Indonesia. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, memiliki otoritas untuk memeriksa kasus-kasus berdasarkan undang-undang. Kata Kunci: Asas Ketertiban Umum, Putusan Arbitrase Internasional Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 PENDAHULUAN Eksistensi arbitrase di Indonesia memiliki sejarah yang cukup panjang, yang mana telah dikenal dalam peraturan perundang-undangan sejak berlakunya hukum acara perdata Belanda, yaitu sejak diberlakukannya Reglement op de Burgerlijke Rechvordeering (Rv). Namun seiring dengan masuknya kaum kapitalis ke Indonesia dan adanya perkembangan dunia usaha dan lalulintas di bidang perdaganganbaik nasional maupun Internasional serta perkembangan hukum pada umumnya, maka peraturan dalam Rv yang dipakai sebagai pedoman arbitrase tidak sesuai lagi. Perubahan mendasar itu kemudian diwujudkan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dengan harapan walaupun kesannya klausula arbitrase ini adalah pesanaan dari pada investor di Indonesia, setidaknya para pengusaha ataupun praktisi hukum di Indonesia lebih mendapatkan perlindungan hukum dengan adanya undang-undang ini. Secara teoritis ada beberapa dasar pertimbangan mengapa para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Erman Rajaguguk,1 mengutip pendapat beberapa pakar menulis bahwa sebagian besar pengusaha lebih suka menyelesaikan sengketa yang timbul di antara mereka melalui arbitrase di luar negeri dari pada pengadilan di Indonesia disebabkan beberapa alas an. Seperti pengusaha asing lebih suka menyelesaikan sengketa melalui arbitrase di luar negeri karena menganggap sistem hukum dan pengadilan setempat masih asing bagi mereka. Demikian juga dengan alasan bahwa hakim negara berkembang tidak menguasai sengketa-sengketa dagang yang melibatkan hubungan-hubungan baik dan keuangan Internasional yang rumit, dan anggapan para pengusaha asing, bahwa penyelesaian sengketa melalui pengadilan khususnya di Indonesia, akan memakan waktu yang lama dengan biaya besar karena proses pengadilan akan memakan waktu yang panjang dari tingkat pertama sampai di tingkat Mahkamah Agung. Alasan lainnya, yaitu pengadilan akan bersikap subjektif kepada mereka disebabkan sengketa diperiksa dan diadili bukan berdasarkan hukum mereka dan hakim yang bukan dari negara mereka. Tidak dapat dipungkiri, arbitrase merupakan salah satu cara yang lebih efektif untuk menyelesaikan sengketa dibandingkan proses peradilan. Hal ini dikarenakan berbagai alasan, diantaranya adalah proses arbitrase dinilai cepat, fleksibel, para pihak dapat memilih arbitrasenya sendiri, dan yang terpenting adalah prinsip kerahasiaan yang dimilikinya. Namun dalam melaksanakan prosesnya, arbitrase memiliki hambatan-hambatan tertentu hambatan-hambatan ini tidak hanya dari pihak yang bersengketa itu sendiri tetapi juga kadangkala berasal dari sistem hukum negara tempat arbitrase itu dilaksanakan, misalnya adanya intervensi pengadilan atas suatu kasus karena perjanjian yang dibuat tidak sah, atau juga sengketa yang diajukan ke arbitrase tersebut tidak arbitrabel.2 Berdasarkan kasus,3 yang pernah dihadapi oleh pemerintah atau pihak Indonesia dengan pihak asing, seringkali diajukan upaya pembatalan putusan arbitrase. Di sisi lain, hal ini mengakibatkan citra Indonesia menjadi cacat di mata dunia, disebabkan pengadilan begitu mudah untuk turut campur dalam proses arbitrase, sehingga pembatalan putusan arbitrase seharusnya memang diberi batasan yang jelas, kapan dapat dimintakan pembatalan terhadap putusan lembaga ini. Dalam berbagai literatur hukum internasional dan hukum bisnis internasional, memang terdapat suatu hubungan yang erat antara arbitrase dan pengadilan nasional suatu Negara.4 1 Erman Rajaguguk, Arbitrase dalam Putusan Pengadilan, (Jakarta: Chandra Pratama, 2001), hlm. 5. 2 Arbitrabel artinya sengketa yang diajukan ke arbitrase adalah memang sengketa yang bisa diajukan kepada- nya. Umumnya sengketa bisnis. Joni Emirson, Arbitrase Dagang Internasional, hlm. 25. 3 Kasus tersebut antara lain: Bankers Trust Company dan Bankers Trust Intern melawan PT. Jakarta Internasional Hotel; Pertamina melawan Karaha Bodas Company (KBC). 4 Alan Redfen dan Martin Hunter, Law and Prectice of Internasional Comercial Arbitration, (London: 244 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 Salah satu contohnya adalah suatu putusan arbitrase yang tidak mau dipatuhi oleh pihak yang kalah, dapat dimintakan eksekusinya ke pengadilan nasional negara di mana objek kontrak bisnis tersebut berada. Keputusan arbitrase internasional pada prinsipnya sudah dapat dieksekusi di Indonesia setela diterbitkannya Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1991 tentang PengesahanConvention On The Recognation and Enforcement of Foreign Arbital Award, yang dikenal dengan New York Convention 1958.5 Akan tetapi, salah satu masalah yang sering timbul,adalah pengakuan dan pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase internasional.6 Tentunya tidak semua putusan arbitrase internasional dapat dieksekusi di suatu negara. Selain itu, cara dan prosedur untuk eksekusi putusan arbitrase internasional juga bervariasi dari satu negara dengan negara lainnya. Kenyataan yang pernah terjadi di Indonesia, adalah walaupun pada awalnya para pihak telah sepakat untuk menyerahkan kasusnya ke arbitrase akan tetapi dalam prakteknya masih saja para pihak yang merasa dirugikan berusaha untuk kembali menyerahkan kasus mereka ke pengadilan nasional Indonesia, atau seandainya telah ada putusan dari badan arbitrase ini, para pihak mencoba untuk mencari cara agar putusan ini tidak dapat dilaksanakan.7 Alasan yang digunakan bermacam-macam, misalnya karena putusan arbitrase internasional tersebut bertentangan dengan ketertiban umum. Persoalan di atas dapat dilihat dalam kasus Bankers Trust Company dan Bankers Trust International PLC (BT) melawan PT Mayora Indah Tbk. (Mayora). Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menerima gugatan Mayora dan menjatuhkan putusan No.46/ Pdt.G/1999 tanggal 9 Desember 1999, yang memenangkan Mayora. Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam Putusan Nomor 001 dan 002/Pdt/Arb.Int/1999/PN.JKT.PST juncto 02/Pdt.P/2000/PNJKT.PST, tanggal 3 Februari 2000, menolak permohonan BT bagi pelaksanaan putusan Arbitrase London, dengan alasan pelanggaran ketertiban umum. Pelanggaran ketertiban umum yang dimaksud, adalah bahwa perkara tersebut masih dalam proses peradilan dan belum memiliki kekuatan hukum tetap. Penolakan PN Jakarta Pusat tersebut dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Agung No.02 K/Exr/Arb.Int/Pdt/2000, tanggal 5 September 2000.8 RUMUSAN MASALAH Mengacu kepada latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan yaitu: 1. Bagaimanakah pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia? 2. Akibat hukum atas upaya keberatan atas penolakan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia? Studehopshon Sweet and Maxweel, 2003), hlm. 341. 5 Dengan diratifikasinya Konvensi New York ini, di mata internasional telah menunjukkan itikad baik Pemerintah Indonesia untuk mendukung proses arbitrase di negara ini dan juga mau melaksanakan putusan arbitrase Internasional di wilayah juridiksinya. 6 Dalam proses penyelesaian sengketa pada arbitrase internasional, sebagaimana lazim dikenal dalam lembaga peradilan, pemeriksaan sengketa akan berujung pada sebuah putusan (“Putusan arbitrase Internasional atau Inernasional Arbitration Award”). Setelah putusan dibuat dan diucapkan, pihak yang dikalahkan, apabila tidak puas, paling tidak akan mengajukan upaya hukum terhadap putusan tersebut. 7 Contoh kasus yang menolak pelaksanaan putusan arbitrase adalah, misalnya Kasus Kraha Bodas Company V. Pertamina yang ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kasus indo Pasific Resource JAVA limited (Indo Pasific) yang mengajukan pembatalan putusan BANI ke PN Jakarta Selatan. Lihat http://www.hukumonline.com . pada artikel PN Jaksel Tolak permohonan Pembatalan Putusan Arbitrase. 8 Gatot Soemartono, Arbitrase & Mediasi di Indonesia. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006), hlm.73. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 245 METODE PENELITIAN Bentuk dan Pendekatan Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan yang ingin dicapai dalam peneletian, maka penelitian ini berbentuk penelitian hukum normatif. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu pendekatan perundang-undangan (statue approach). Pengertian pendekatan perundang-undangan sendiri, adalah pendekatan dengan menggunakan legislasi dan regulasi. Dalam pendekatan perundang-undangan, fokus penelitian tidak hanya melihat kepada bentuk peraturan perundang-undangan saja, melainkan juga menelaah materi muatannya, untuk mencari landasan filsufis, dasar ontologis, serta ratio legis lahirnya peraturan perundang-undangan. Dalam konteks ini, ketentuan-ketentuan yang akan dilihat dan dikaji, antara lain Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 tentang Pengesahan Atas Konvensi Tentang Penyelesaian Perselisihan Antarnegara dan Warga Negara Asing Mengenai Penanaman Modal, Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 tentang Pengesahan Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Eksekusi Putusan Arbitrase Asing, serta beberapa ketentuan lainnya berkenaan dengan bidang alternatif penyelesaian sengketa arbitrase. Selain pendekatan perundang-undangan, penulis juga menggunakan pendekatan konseptual (conceptual approach). Adapun yang dimaksud pendekatan konseptual, adalah pendekatan yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum khususnya di bidang alternatif penyelesaian sengketa arbitrase. Pandangan-pandangan, doktrin-doktrin yang akan digunakan dalam penelitian ini, memiliki keterkaitan erat dengan eksistensi asas bertentangan dengan kepentingan umum dalam penolakan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional dan upaya hukum yang ditempuh oleh pihak yang dirugikan oleh putusan pegadilan yang menolak pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional. Untuk memperkuat pengkajian dalam penelitian, pendekatan kasus (Case Approach) juga digunakan untuk mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum. Kasus ini digunakan untuk memperoleh gambaran praktis terhadap penerapan suatu kaidah atau norma hukum khususnya yang dilakukan oleh institusi pengadilan. Bahan Hukum Berdasarkan pendekatan dalam peneletian ini, data diperoleh dari bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya bahan hukum yang bersifat otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim berkenaan dengan objek penelitian. Selain itu, data juga diperoleh dari bahan hukum sekunder, yaitu semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentar-komentar atas putusan pengadilan. Setelah bahan-bahan hukum berhasil dikumpulkan, kemudian dilakukan penyusunan secara sistematis terhadap bahan-bahan tersebut, selanjutnya mengidentifikasi bahan hukum sesuai dengan kelompok permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini dan dicari intrerpretasi, selanjutnya dianalisis. 246 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini sangat didasarkan pada kebutuhan analisis dan pengkajian. Metode pengumpulan data dilakukan dengan penelitian kepustakaan (library research), dengan mempelajari dan mengkaji sejumlah perundang-undangan, buku-buku teks, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan, putusan-putusan hakim, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum yang dianggap relevan dengan objek penelitian, serta melakukan wawancara (interview) dengan ahli hukum khususnya pada lapangan hukum perdata, hukum internasional, dan hukum acara perdata, serta hakim sehubungan dengan pertimbangan hukumnya tentang alasan bertentangan dengan ketertiban umum dalam penolakan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional serta upaya yang dapat ditempuh ketika suatu putusan arbitrase internasional memperoleh penolakan pengakuan dan pelaksanaan. Teknik Analisis Data Setelah bahan-bahan hukum berhasil dikumpulkan dengan menggunakan teknik yang telah ditetapkan di atas, kemudian dilakukan penyusunan secara sistematis terhadap bahan-bahan tersebut, selanjutnya mengidentifikasi bahan hukum sesuai dengan kelompok permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini. Kemudian dicari intrerpretasi, selanjutnya dianalisis secara kualitatif. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia Materi putusan bertentangan dengan kepentingan umum merupakan sisi materi lain yang boleh dinilai Ketua Pengadilan Negeri dalam penelitian pemberian eksekutorial ialah masalah “kepentingan umum” atau public policy. Dia dapat menilai apakah materi putusan mengandung pertentangan dengan kepentingan umum. Dalam Perma Nomor 1 Tahun 1990, hal itu ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (3). Putusan-putusan arbitrase asing hanya dapat dieksekusi di Indonesia terbatas pada putusanputusan yang tidak bertentangan “kepentingan umum”. Asas yang seperti itu juga ditegaskan dalam Pasal V ayat (2) huruf b Konvensi New York 1958. Di dalamnya dirumuskan: the recognition or enforcement of the award would be contrary to the public policy of that country. Meskipun asas yang dikemukakan ditujukan terhadap putusan arbitrase asing, asas tersebut berlaku sepenuhnya terhadap putusan arbitrase dalam negeri. Sebab asas ketertiban umum merupakan asas yang bernilai universal, penerapannya bersifat mutlak di seluruh kawasan, baik di luar negeri maupun domestik. Namun demikian, hal yang menjadi masalah adalah batasan pengertian dan ruang lingkup makna ketertiban umum. Sangat sulit memberi batasan yang pas dan persis. Meskipun asas ketertiban umum merupakan nilai universal, namun norma konkret sulit untuk dirumuskan secara merata untuk semua bangsa. Lain nilai ketertiban umum yang ditegaskan antara satu bangsa dengan bangsa lain. Terkadang penilaian dan penerapan ketertiban umum pada suatu ketika,tidak semata-mata ditinjau dari segi hukumdan kepribadian suatu bangsa. Sering faktor politik ikut memainkan peranan. Tidak usah masalah pengertian dan nilai ketertiban umum ditinjau dari segi makro, dari segi mikro saja bias terjadi perlainan persepsi dalam kehidupan suatu bangsa. Ambil contoh, usaha jual beli minuman keras di Daerah Istimewa Aceh, dianggap melanggar ketertiban umum atau public policy. Sedang hal itu di DKI Jakarta, dianggap legal selama memiliki izin usaha. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 247 Jadi sedemikian rupa derajat kesulitan untuk menentukan patokan yang jelas dan tegas tentang makna dan wujud ketertiban umum. Hal itupun sudah pernah disinggung. Namun sama sekali tidak ada pegangan, kembali kita kemukakan batasan lain yang telah pernah dikemukakan pada waktu menjelaskan Perma Nomor 1 Tahun 1990. Di situ dikatakan, yang dimaksud dengan ketertiban umum adalah sesuatu yang dianggap bertentangan dengan ketertiban pada suatu hal atau keadaan yang bertentangan dengan sendi-sendi dan nilai-nilai asasi sistem hukum dan kepentingan nasional suatu bangsa. Benar, demikian luas dan demikian mengambang pengertian ketertiban umum. Di samping itu, nilai dan sistem kehidupan suatu bangsa tidak terlepas dari asas dinamika yang mengakibatkan terjadinya pergeseran nilai dan sistem. Hal itu dengan sindirinya membawa dampak terhadap pergeseran makna dan nilai kepentingan umum. Apa yang dianggap dan dirasa sebagai sesuatu hal yang bernilai ketertiban umum pada hari ni, barangkali luas dianggap sebagai nilai yang halal dan legal. Fakta adanya pelanggaran ketertiban umum dalam suatu putusan arbitrase, misalnya dapat ditemukan apabila putusan nyata-nyata bertentangan dengan hukum positif. Apalagi jika yang dilanggar itu hukum positif di bidang hukum publik, sangat mudah untuk menemukan dan menyatakan putusan arbitrase yang bersangkutan bertentangan dengan public policy. Lain halnya apabila yang terlanggar dalam putusan merupakan nilai-nilai social, budaya, politik, dan ekonomi. Agak sulit mengkonkretisasi ada atau tidak pelanggaran terhadap ketertiban umum. Umpamanya hubungan dagang narkotik. Secara gampang dapat ditemukan fakta tentang adanya pelanggaran ketertiban umum. Sebab di Indonesia ada hukum positif yang melarang perdagangan dan pengedaran segala jenis narkotik. Begitu juga misalnya perjanjian perdagangan wanita prostitusi. Mudah sekali menemukan faktanya. Karen hal itu menyentuh berbagai segi sendi-sendi asasi nilai-nilai budaya, kepribadian dan agama bangsa Indonesia. Disamping itu, terdapat larangan tentang itu dalam hukum positif seperti yang diatur dalam Pasal 297 KUHP. Akan tetapi, perlu pula diingatkan. Sedapat mungkin jangan sampai alasan asas kepentingan umum atau ketertiban umum dimanipulasi secara subjektif. Jangan sampai terjebak secara langsung menerapkannya dalam penolakan pemberian exequatur.cara penerapan yang tidak objektif, bias menghambat pertumbuhan sehat lembaga arbitrase. Kalau sampai putusan arbitrase mandul disebabkan jumlah frekuensi penolakan pemberian exequatur atas alasan putusan bertentangan dengan ketertiban umum, bias mempengaruhi rasa percaya dan rasa hormat masyarakat, terutama pihak luar terhadap jalannya penegakan hukum di Indonesia. Hal yang demikian bisa berdampak negatif terhadap pertumbuhan kelancaran hubungan perdagangan dan perekonomian dengan dunia luar. Namun kalau jelas-jelas putusan bertentangan dengan ketertiban umum, harus berani menolak pemberian exequatur. Maka dalam rangka melaksanakan fungsi dan kewenangan menilai putusan arbitrase yang dianggap mengandung pelanggaran terhadap ketertiban umum, sedapat mungkin harus mampu secara efektif memanfaatkan “kebebasan relatif” yang dimiliki hakim (Pengadilan) untuk “melenturkan” sendi-sendi nilai asasi ke arah yang lebih rasional, aktual, dan realisitis. Visualisasi putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam hal perkara Arbitrase Internasional Perkara yang berkaitan dengan arbitrase internasional yang diputus oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia, secara kuantitatif dengan kategori tertentu dapat divisulisasi dalam tabel berikut ini: 248 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 Tabel 1 Perkara arbitrase internasional yang diputus Mahkamah Agung Republik Indonesia NO. 1. 2. 3. 4. THN 1976 1981 1983 1986 NO. PUTUSAN Reg. No. 225 K/ Sip/1976 Reg. No. 2924 K/ Sip/1981 Reg. No. 2944 K/ Pdt/1983 Reg. No. 4231 K/ Pdt/1986 Reg. No.1203 K/ Pdt/1990 5. PUTUSAN PARA PIHAK Dato Wong Guong/ PT. Metropolitan Timbers LTD melawan Andries Geradus Pangemanan/ sebagai Direktur Gapki Trading Co LTD PT Ahju Foresty Company Limited melawan Sutomo/ Direktur Utama PT.Balapan Jaya P.T. Nizwar melawan Navigation Maritime Bulgare, Varna, Blvd. Chervenoermeiski Trading Corporation of Pakistan LTD melawan PT.Bakrie & Brothers E.D. & F.Man (Sugar) melawan Yani Haryanto DITERIMA DITOLAK E.D. & F.Man (Sugar) melawan Yani Haryanto JUM. √ Judex factie (PN Jakarta dan PT Jakarta) keliru dalam hal kewenangan absolut mengadili perkara. Dasar hukum: Pasal 40 UU No 14 Tahun 1970; UU No.13 Tahun 1965; UU No.1 Tahun 1950 1 √ Judex factie (PN Jakarta dan PT Jakarta) keliru dalam hal kewenangan absolut mengadili perkara. Dasar hukum: Pasal 40 UU No 14 Tahun 1970; UU No.13 Tahun 1965; UU No.1 Tahun 1950 1 √ Pemohon tidak mengajukan risalah/memori kasasi. Dasar Hukum: Pasal 115 ayat (1) UU No.1 Tahun 1950 TTg MA ; Pasal 40 UU No 14 Tahun 1970; UU No.13 Tahun 1965 1 √ Keberatan yang duajukan pemohon tidak dapat diperiksa pada tingkat kasasi;dalam pemeriksaaan kasasi hanya yang berkenaan dengan tidak dilaksanakan atau atau ada kesalahan dalam pelaksanaan hukum. Judex facti tidak salah menerapkan hukum. Dasar hukum: UU No 14 Tahun 1970 dan UU No 14 Tahun 1985. 1 √ Keberatan yang duajukan pemohon tidak dapat diperiksa pada tingkat kasasi yang substansinya mengenai penilaian hasil pembuktian;dalam pemeriksaaan kasasi hanya yang berkenaan dengan tidak dilaksanakan atau atau ada kesalahan dalam pelaksanaan hukum. Dasar hukum: UU No 14 Tahun 1970 dan UU No 14 Tahun 1985. √ Keberatan yang duajukan pemohon tidak dapat diperiksa pada tingkat kasasi yang substansinya mengenai penilaian hasil pembuktian;dalam pemeriksaaan kasasi hanya yang berkenaan dengan tidak dilaksanakan atau atau ada kesalahan dalam pelaksanaan hukum. Dasar hukum: UU No 14 Tahun 1970 dan UU No 14 Tahun 1985. 1990 Reg. No. 1205 K/ Pdt/1990 ALASAN 2 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 249 Reg. No.02 K/ Ex’r/Arb.Int/ Pdt/2000 6. 2000 Reg. No.04.K/ Ex’r/Arb.Int/ Pdt/2000 7. 8. 2001 2002 Reg. No. 03.K/ Ex’r/Arb.Int/ Pdt/2001 No. 01/ Banding/Wasit/2002 Bankers Trust Company dan Bankers Trust International PLC (BT) melawan PT Mayora Indah Tbk (Mayora) Bankers Trus Company dan Bankers Trus Internasional melawan PT Jakarta Internasional Hotel Bankers Trus Company dan Bankers Trus Internasional melawan PT Jakarta Internasional Hotel & Devel opment Tbk Karaha Bodas Company L.L.C. melawan PT. Pertamina dan PT. PLN √ Tidak ditemukan data. √ Substansi permohonan bertentangan dengan ketertiban umum dan tertib hukum. Dasar hukum Pasal 66 huruf c UU No.30 Tahun 1999. √ Penyamapaian memori kasasi melampaui batas waktu. Dasar hukum Pasal 47 ayat 1 UU No. 14 Tahun 1985. 1 √ Penyamapaian akta permohonan kasasi melampaui batas waktu. Dasar hukum Pasal 46 ayat 1 UU No.14 Tahun 1985. 1 2 Sumber diolah dari Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2011 Berdasarkan hasil pengolahan data peneliti terhadap putusan yang ditabulasi di atas, tampak secara implisit bahwa dikabulkan dan ditolaknya permohonan kasasi perkara arbitrase internasional, peneliti berpendapat bahwa asas ketertiban umum sebagai asas hukum internasional tidak dijadikan dasar dalam pemeriksaan pokok perkara dengan kedudukannya sebagai asas kecuali Putusan No. ii.No.04.K/Ex’r/Arb. Int/Pdt/2000. Menurut peneliti, hal tersebut diakibatkan oleh adanya main stream pemikiran hukum hakim di Indonesia bahwa hukum nasional termasuk hukum acara yang berlaku di Indonesia merupakan dasar tunggal penerapan hukum terhadap kasus konkrit di Pengadilan termasuk dalam hal memeriksa dan mengadili perkara arbitrase internasional. Hal ini terlihat, antara lain, dari alasan dikabulkan dan ditolaknya suatu permohonan. Main stream pemikiran tersebut, secara filosofis, dipengaruhi oleh pemikiran Kelsen. Manakala fakta tersebut dikorelasikan secara teoritis dengan teori hukum statis dan dinamis Hans Kelsen,9 yang pada prinsipnya mendalilkan bahwa hukum adalah satu kesatuan (the legal order is a system norms) yang didalamnya mengandung dua prinspi system norma, yaitu system norma statis dan dinamis (the static system of norms and the dynamic system of norms), maka diperoleh kesimpulan bahwa asas ketertiban umum dalam konteks penelitian ini bukanlah norma hukum kecuali ia telah dipositivisasi menurut teori hukum dinamis yang isinya atau materinya memenuhi dalil asas hukum statis. Teori hukum statis mendalilkan bahwa isi suatu norma adalah valid dengan asumsi bahwa suatu perbuatan harus sesuai dengan ketentuan norma yang valid tersebut yang berdasarkan isinya menentukan validitasnya. Validitas suatu norma termasuk isinya ditentukan oleh norma dasarnya. Sedangkan teori hukum dinamis mendalilkan bahwa validitas suatu norma tidak hanya diukur dari validitas isinya (materi muatannya) tetapi juga dari validitas pembentukan atau pelaksanaannya. Jadi, kesimpulan teori ini adalah keabsahan atau validitas suatu perbuatan subjek hukum tergantung pada ketentuan hukum apakah perbuatan tersebut diatur oleh norma hukum dimana 9 Lihat, Hans Kelsen, General Theory of Law and State, (Cambridge: Harvard University Press, 1949), hlm. 110-113 dan hlm.122-123. 250 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 norma hukum tersebut memenuhi prinsip hukum statis dan dinamis. Selain itu, setiap norma dibentuk oleh norma yang sederajat atau yang lebih tinggi sampai level norma dasar (konstitusi). Oleh karena itu, implementasi asas ketertiban umum dalam pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia dilihat dari pemeriksaan perkara oleh hakim berdasarkan putusan yang ditabulasi di atas ditentukan oleh apakah dan bagaimana asas tersebut telah dipositivisasi di Indonesia. Pada prakteknya, menurut New York Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award, 1958 yang telah diratifikasi dengan Kepres No.34 tahun 1981, salah satu ketentuannya memuat bahwa pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase Internasional dapat ditolak oleh otoritas yang berkompeten dalam suatu Negara dengan alasan melihat ada pertentangan putusan tersebut dengan asas ketertiban umum yang dianut Negara tersebut.10 Norma hukum di Indonesia yang terakhir mengatur asas ini adalah UU No.30 Tahun 1999. Hanya jika dikaji lebih in depth. Walaupun asas tersebut telah menjadi materi muatan dalam system tata hukum Indonesia khususnya dalam hal mengadili perkara arbitrase internasional, tetapi pada tataran praktik dipengadilan, berdasarkan materi muatan putusan arbitrase internasional (lihat tabulasi di atas) penerapan asas tersebut tidak jelas.Misalnya, alasan pertimbangan hukum hakim kasasi dominan menggunakan aspek formalitas hukum belaka. Walaupun secara legalitas-formal, memang menentukan pemeriksaan tingkat kasasi sebagai judex juris bukan judex factie, tetapi UUD NRI Tahun 1945 menentukan bahwa kekusaan kehakiman diselenggarakan oleh lembaga peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.11 Menurut peneliti, hal ini disebabkan oleh biasnya pengartian asas ketertiban umum yang menjadi materi muatan norma hukum di Indonesia.12 Selain itu, aspek profesionalisme hakim menjadi hal yang determinatif. Analisis kasus terhadap putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam hal perkara Arbitrase Internasional Untuk menelaah dan mengidentifikasi penerapan asas bertentangan dengan asas ketertiban umum dalam penolakan pelaksaaan putusan arbitrase internasional oleh pengadilan di Indonesia dalam konteks penelitian ini, peneliti mengambil sample putusan yang relevan dengan isu ini. Beberapa putusan tersebut adalah: Putusan Peninjauan kembali Nomor 221 PK/Pdt/2002 antara Bankers Trust Company dan PT. Mayora Indah, Tbk dan PT. BT. Prima Securities Indonesia, dimana hasinya Menolak permohonan peninjauan kembali dari para pemohon peninjauan kembali: 1. BANKERS TRUST COMPANY dan 2. BANKERS TRUST INTERNATIONAL Plc tersebut.13 Sehingga dapat dianalisis lebih in depth dengan 10 Lihat, Article V Section 2 menurut New York Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award, 1958. 11 Lihat, lebih detail Pasal 24 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. 12 Lihat, misalnya, materi muatan Pasal 3 ayat (3) Perma No. 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Arbirase Asing. 13 BANKERS TRUST INTERNATIONAL Plc., keduanya beralamat di 1 Appold Street, Broadgate, London EC2A 2HE, Inggris, yang dalam hal ini diwakili oleh kuasanya: 1. Tony Budidjaja, SH., 2. Ibrahim Senen, SH., 3. Marselinus K. Rajasa, SH., pengacara-pengacara dan konsultan-konsultan hukum, berkantor di The Land mark Centre Tower B, Lantai 27, Jalan Jenderal Sudirman No. 1 Jakarta, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 16 Juli 2001, para pemohon peninjauan kembali dahulu para Pemohon kasasi pemohon Eksekuatur; MELAWAN : PT. MAYORA INDAH, Tbk., (sebelumnya dikenal sebagai PT. MAYORA INDAH), beralamat di Gedung Mayora Indah, Lantai 8, Jalan Tomang Raya No. 21-23 Jakarta, dalam hal ini diwakili oleh kuasanya : Hotman Paris Hutapea, SH., Pengacara dan Konsultan Hukum, berkantor di Gedung Summitmas I, Lantai 18, Jalan Jenderal Sudirman Kav. 61-62, Jakarta Se- Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 251 menguhubungkan regulasi arbitrase sesudah berlaku Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dan pendapat ahli hukum terhadap perkara tersebut. Menurut Eman Suparman14 bahwa Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS tentu saja berbeda dengan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing. Akan tetapi dalam beberapa hal subtansial, UU Arbitrase ternyata masih mengukuhkan materi hukum yang berasal dari PERMA 1/1990. Ketentuan tersebut di antaranya, Pasal 66 UU Arbitrase subtansinya sama persis dengan Pasal 3 PERMA 1/1990. Kemudian Pasal 67 ayat (2) UU Arbitrase juga sama dengan Pasal 5 ayat (4) PERMA 1/1990. Selebihnya tentu saja UU Arbitrase mengatur lebih luas dan konprehensif, sehingga sangat berbeda dengan PERMA 1/1990. Namun demikian perbedaan prinsipal di antara keduanya tampak pada pengaturan tentang otoritas pemberi eksekuatur. Menurut PERMA 1/1990 yang berwenang memberi eksekuatur adalah Mahkamah Agung, sedangkan di dalam UU Arbitrase adalah KPN Jakarta Pusat. Dikecualikan apabila Republik Indonesia menjadi salah satu pihak dalam sengketa, maka eksekuatur tetap merupakan kewenangan Mahkamah Agung. Pengecualian tersebut sama sekali tidak diatur di dalam PERMA 1/1990. Pertanyaan yang muncul adalah mengapa pembuat Undang-undang Arbitrase memilih KPN Jakarta Pusat sebagai otoritas pemberi eksekuatur menggantikan Mahkamah Agung? Tidak dijumpai jawaban otentik dari risalah penyusunan undang-undang mengenai hal itu. Akan tetapi menurut keterangan dari para informan diperoleh informasi yang cukup relevan dalam konteks alasan penunjukan tersebut. Para informan mengemukakan bahwa “hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat diyakini sebagai figur yang sangat berpengalaman serta memiliki kemampuan handal dalam menangani berbagai kasus yang bernuansa transnasional termasuk dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase asing, bila dibandingkan dengan para hakim di pengadilan lain di Indonesia.15 Kondisi semacam itu antara lain disebabkan karakter wilayah Jakarta Pusat yang unik sekaligus rumit. Sebagai bagian dari Ibu Kota Negara RI. Wilayah Jakarta Pusat memiliki kompleksitas permasalahan, skala aktivitas masyarakat yang sangat bervariasi dan berkorelasi tinggi, serta populasi yang multi etnik dengan segala dinamikanya. Alasan itu menurut para informan diperkirakan merupakan salah satu pertimbangan, sehingga pembuat undang-undang Arbitrase memilih KPN Jakarta Pusat sebagai otoritas pemberi eksekuatur untuk pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing. Sesudah berlaku UU Arbitrase 30/1999, permohonan eksekuatur putusan arbitrase asing ternyata masih menjumpai beberapa hambatan, sehingga hasilnya belum banyak berbeda dengan keadaan sebelumnya. Permohonan eksekuatur di dalam praktik masih tidak mudah untuk dikabulkan. Akibatnya, secara umum pelaksanan putusan arbitrase nasional apalagi putusan arbitrase internasional masih sangat jarang terjadi. Hasil penelitian yang diadakan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada bulan Januari 2002 berkenaan dengan putusan arbitrase nasional yang didaftarkan untuk dilaklatan, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 3 September 2001, Termohon peninjauan kembali dahulu termohon kasasi- Termohon Eksekuatur; PT. BT. PRIMA SECURITIES INDONESIA,.berkedudukan di The Jakarta Boulevard #08-00, Suntec City Tower Singapore 038985, turut Termohon peninjauan kembali dahulu turut Termohon kasasi- Pemohon Eksekuatur. 14 Eman Suparman, wawancara langsung pada tanggal 1 Juni 2011, di Jakarta. 15 Informasi ini diperoleh dari sejumlah informan. Diantaranya kalangan praktisi hukum termasuk mantan hakim dan yang lainnya dari kalangan akademisi yang juga sebagai paraktisi hukum. Lihat, Eman Suparman, Pilihan Forum Arbitrase dalam Sengketa Komersial untuk Penegakan Keadilan, (Jakarta: PT. Tatanusa, 2004), hlm. 226. 252 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 sanakan menunjukkan bahwa jumlah putusan yang didaftarkan turun dari 19 putusan pada tahun 1999 menjadi hanya enam putusan saja pada tahun 2001, walaupun perintah pelaksanaan diberikan Sembilan kali pada tahun 1999 dan tidak ada sama sekali pada tahun 2000 dan 2001.16 Untuk mengetahui betapa susahnya putusan arbitrase asing memperoleh eksekuatur dari pengadilan. Papara berikut ini merupakan salah satu contohnya.Kasus antara Bankers Trust Company and Bankers Trust International PLC (together BT) vs. PT Mayora Indah Tbk. (Mayora)17 mengenai “currency and interest rate Swaps and Derivatives Association (ISDA) Master Agreement tertanggal 25 April 1997. Sengketa tersebut diputus oleh arbitrator London pada tahun 1999 berdasarkan the Rules of the London Court of International Arbitrase (“LCIA”) dan BT dimenangkan. Putusan tersebut menghukum PT Mayora untuk membayar sejumlah uang kepada BT. Ketika permohonan pelaksanaan putusan arbitrase London diajukan oleh pihak BT, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak untuk melaksanakan putusan tersebut. Alasan penolakan disebutkan karena BT dan PT Mayora dalam sengketa yang sama sedang dalam proses pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (Putusan No.46/Pdt.G/1999 tanggal 9 Desember 1999 yang memenangkan PT Mayora). Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengatakan bahwa dalam praktik pengadilan, acara pelaksanaan dari putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (dalam hal ini putusan arbitrase asing) harus ditunda sampai dengan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dimaksud mempunyai kekuatan hukum tetap (dalam hal ini putusan arbitrase asing) harus ditunda sampai dengan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dimaksud mempunyai kekuatan hukum tetap. Selanjutnya, KPN Jakarta Pusat menyatakan bahwa “apabila putusan arbitrase yang dibuat di London dilaksanakan sementara masih menunggu putusan PN Jakarta Selatan, maka hal itu dapat menghapuskan perjanjian pokok para pihak”. Berdasarkan fakta tersebut, putusan arbitrase internasional akan membingungkan dan akan bertentangan dengan ketertiban umum. Setelah PT. Mayora dimenangkan, BT kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung mengenai penetapan KPN Jakarta Pusat. Penetapan Mahkamah Agung No. 02K/Ex’r/Arb.Int/Pdt/ 2000 tanggal 5 September 2000 menguatkan Penetapan KPN Jakarta Pusat tersebut dan menolak Mahkamah Agung menyatakan bahwa pelaksanaan putusan arbitrase asing harus ditunda sampai dengan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mempunyai kekuatan hukum tetap. Sebaliknya, hal itu akan bertentangan dengan tertib hukum acara. Kesimpulan dari Mahkamah Agung akan dianggap sebagai putusan yang tepat apabila kedua kasus antara pihak-pihak yang sama berkenaan dengan sengketa yang sama dan tunduk pada jurisdiksi pengadilan. Dalam keadaan seperti itu, putusan pengadilan akan mempunyai kekuatan hukum tetap dan harus ditunda sampai dengan putusan pengadilan dalam kasus yang sedang diperiksa juga mempunyai kekuatan hukum tetap. Sedangkan pada kasus di atas, para pihak membuat perjanjian arbitrase, sehingga pengadilan tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa sengketa tersebut karena pengadilan tidak memiliki jurisdiksi. Namun demikian, di Indonesia, beracara di depan pengadilan dengan maksud untuk membatalkan perjanjian yang didalamnya memuat klausula arbitrase sering digunakan sebagai taktik untuk membatalkan pembayaran ganti kerugian atau kompensasi.18 16 Mulyana,et al., “Indonesian’s New Framework For International Arbitration: A Critical Assesment of the Law and Its Application by the Court”; Mealey’s International Arbitration Report. January, 2002. hlm. 26. 17 Ibid. 18Dikemukakan Mulyana, bahwa: “… The attitude of Indonesian courts to entertain such lawsuits has been one of the major concerns of the international community in the operation of the legal system in Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 253 Berkaitan dengan hal di atas, penelitian yang dilakukan pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada bulan Januari 2002 mengenai jumlah putusan arbitrase asing yang didaftarkan untuk dilaksanakan antara tahun 1999-2001 menunjukkan hasil seperti berikut: pada tahun 1999 enam permohonan pendaftaran putusan arbitrase asing telah diajukan dan tidak satupun eksekuatur diberikan. Kemudian pada tahun 2000 terdapat dua permohonan pendaftaran yang diajukan hanya satu yang memperoleh eksekuatur. Sedangkan pada tahun 2001 jumlah permohonan pendaftaran bertambah menjadi empat meskipun hanya tiga eksekuatur yang diberikan.19 Seluruh rangkaian cerita dan fakta mengenai permohonan eksekuatur untuk melaksanakan putusan arbitrase asing, member bukti bahwa ternyata hukum arbitrase positif masih menyisahkan celah-celah yang memungkinkan terjadinya konflik. Satu di antara penyebabnya antara lain karena undang-undang arbitrase menganut standar ganda dalam memperlakukan putusan arbitrase. Indikator tersebut dengan mudah dapat diketahui. Pertama, terhadap putusan arbitrase nasional, di satu pihak diakui sebagai putusan yang bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum yang tetap serta mengikat para pihak.20 Akan tetapi, untuk melaksanakan putusan arbitrase nasional, undang-undang menentukan sejumlah persyaratan dengan ancaman sanksi bahwa putusan tidak dapat dilaksanakan bila syarat yang ditentukan tidak dipenuhi. Bahkan apabila para pihak tidak melaksanakan putusan secara sukarela, maka putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri. Kedua, untuk putusan arbitrase internasional lebih banyak lagi persyaratan yang ditentukan. Bahkan dari sejumlah syarat tersebut mengesankan putusan arbitrase internasional sama sekali tidak memiliki title eksekutorial sebelum memperoleh eksekuatur dari KPN Jakarta Pusat. Sedangkan idealnya suatu putusan yang bersifat final, mempunyai kekuatan hukum yang tetap, serta mengikat para pihak, dalam keadaan apa pun harus dapat dieksekusi sendiri tanpa melibatkan institusi lain kecuali lembaga yang menjatuhkan putusan tersebut. Di samping itu, hukum arbitrase terkesan diskriminatif terhadap putusan arbitrase dibandingkan dengan putusan hakim. Oleh karena itu, sesungguhnya putusan arbitrase itu belum merupakan putusan final, karena tidak memilikki eksekutorial, dan tidak mandiri, sehingga status putusan arbitrase sama sekali tidak sejajar dengan putusan hakim. Kedua persoalan di muka merupakan konsekuensi yang harus diterima sebagai akibat undang-undang arbitrase menentukan keterlibatan pengadilan negeri terhadap proses dan putusan arbitrase yang demikian luas. Suka atau pun tidak, fakta di atas harus diterima karena keterlibatan pengadilan nasional dalam masalah eksekusi putusan arbitrase pada banyak Negara juga merupakan keniscayaan. Seperti yang dikemukakan Cristoph H. Schreuer21 bahwa : Perhaps the most important aspect of the supportive role of domestic courts towards arbitration is the enforcement of awards. …. It is only at the last strage when it comes to enforcement, that the victorious litigant ultimately depends on the authority of domestic courts. Alhasil, hampir tidak mungkin putusan arbitrase internasional dapat diakui serta dieksekusi di Indonesia tanpa memperoleh dukungan Pengadilan Negeri. Indonesia.” Lihat, Mulyana,et al., “Indonesian’s New Framework For International Arbitration, Op.cit., hlm. 27. 19 Ibid. 20 Pasal 60 UU No. 30/1999 21 C. Cristoph H. Schreuer, State Immunity: Some Recent Deveploments. (Cambridge: Grotius Publications Limited, 1998), hlm. 75. 254 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 Dihubungkan dengan teori tentang karakteristik produk hukum dari Nonet, UU Arbitrase dapat dikategorikan ke dalam model hukum represif. Bukan tanpa alasan, karena baik kaidah hukum arbitrase maupun lembaga pengadilan masih diarahakan pada tujuan untuk menjamin ketertiban. Bukti tersebut secara eksplisit tampak bahwa “Putusan arbitrase internasional… hanya dapat dilaksanakan di indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum.”22 Kaidah hukum itu juga masih mencitrakan hukum tunduk pada politik kekuasaan, tuntutan untuk patuh bersifat mutlak, dan ketidak-patuhan dianggap sebagai suatu penyimpangan. Bukti lainnya: “Putusan arbitrase internasonal dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.”23 Ketentuan tentang eksekuatur juga merupakan kaidah imperative atau aturan yang bersifat memaksa (dwingend recht) yang sama sekali tidak mungkin disimpangi. Mengabaikan permohonan eksekuatur berarti putusan arbitrase asing tidak mungkin dapat dieksekusi. Dalam konstelasi serta konstruksi semacam itu secara bebas dapat diungkapkan bahwa norma hukum arbitrase masih menjadi government social control. Hukum perundang-undangan menjadi kekuatan control di tangan pemerintah yang terlegitimasi (secara formal-yuridis) yang tidak merefleksikan konsep keadilan, asas-asas moral, dan wawasan kearifan yang sebenarnya, sebagaimana yang sesungguhnya hidup di dalam kesadaran hukum masyarakat awam24 ketertiban merupakan tujuan hukum, sehingga untuk mempertahankan ketertiban maka tuntutan-tuntutan dan pertimbanganpertimbangan lain di kesampingkan. Padahal di samping ketertiban, tujuan lain dari hukum adalah tercapainya keadilan. Selain itu menurut peneliti penerapan asas ketertiban hukum dalam pelaksanaan putusan arbitrase internasional masih menimbulkan problematika hukum. Secara yuridis formal pengertian asas ketertiban umum tidak secara tegas dan jelas batasannya sehingga hakim cenderung menafsirkan secara sepihak asas tersebut dalam konteks ini dengan menafsirkan asas ketertiban umum dalam pengertian hukum nasional. Dalam konteks tersebut, peraturan perundang-undangan Indonesia dan praktek di pengadilan dalam konteks tersebut setidak-tidaknya tidak mempertegas posis atau kedudukan hukum internasional dan nasional secara hirarkis dalam konteks asas ketertiban umum (internasional dan nasional). Dalam ruang tersebut terbuka peluang penafsiran hakim terhadap pelaksanaan putusan arbitrase internasional dapat dilakukan secara sepihak. Upaya Keberatan atas Penolakan Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia Di dalam praktek hukum acara hanya putusan yang mengandung suatu perintah (condemnatoir) yang dapat dieksekusi, sedangkan putusn yang bersifat deklaratoir maupun konstitutif tidak dapat dieksekusi. Tata Cara Eksekusi Putusan Arbitrase Nasional a. Dalam waktu 30 hari sejak tanggal putusan diucapkan lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbitrer atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri tempat tinggal tergugat. Pendaftaran tersebut dicatat pada bagian akhir atau pinggir putusan oleh Panitera pengadilan Negeri yang ditanda tangani oleh Panitera dan arbiter yang menyerahkan. Di samping itu harus pula diserahkan putusan dan lembar asli pengangkatan sebagai arbiter atau 22 Pasal 66 huruf (c) UU No. 30/1999 23 Pasal 66 huruf (d) UU No. 30/1999 24Lihat, Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonialke Hukum Nasional: Dinamika Sosial Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia. Raja Grafindo Persada,Jakarta, 1994, hal. 247. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 255 salinan otentiknya kepada Panitera Pengadiloan Negeri (Pasal 59). b. Apabila putusan tersebut tidak dilaksankaan dengan sukarela, maka putusan dilaksanakan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa (Pasal 61). Catatan: a. Ketua pengadilan negeri yang akan melaksanakan putusan arbitrase tidak boleh memeriksa alasan dan pertimbangan dari putusan arbitrase. b. Ketua pengadilan negeri sebelum memerintahkan eksekusi wajib terlebih dahulu memeriksa apakah putusan arbitrase tersebut tidak bertentangan dengan pasal 4 (yaitu harus ada clausul arbitrase dalam perjanjian) dan pasal 5 (yaitu sengketa dibidang perdagangan dan mengenai hukum yang menurut hukum dan peraturan perundangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa) serta tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Apabila putusan arbitrase tersebut tidak mememnuhi syarat tersebut diatas maka Ketua Pengadilan Negeri menolak untuk melaksanakan putusan arbitrase tersebut (Pasal (62). c. Perintah eksekusi dari Ketua Pengadila Negeri diberikan dalam waktu paling lama 30 hari setelah permohonan eksekusi didaftarkan pada Panitera Pengadilan Negeri (Pasal 63). Eksekusi Putusan Abitrase Internasional Berbeda dengan pelaksanaan putusan arbitrase nasional, putusan arbitrase internasional harus terlebih dahulu mendapatkan pengakuan atau eksekuatur dari lembaga peradilan sebelum dilaksanakan. Suatu putusan arbitrase internasional baru dapat diakui dan dieksekusi di dalam wilayah Indonesia, bilamana: a. Putusan itu dijatuhkan oleh arbitrer di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian baik secara bilateral maupun multilateral mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional. b. Putusan tersebut terbatas pada putusan yang menurut ukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup perdagangan. c. Putusan arbitrase internasional tersebut tidak bertentangan dengan ketertiban umum. Eksekuator putusan arbitrase internasional dapat diberikan oleh: 1. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Pemberian eksekuatur tidak dapat diajukan banding/kasasi. Bila permohonan ditolak maka dapat diajukan kasasi ke Mahkamah Agung. 2. Mahkamah Agung RI. Apabila putusan arbitrase internasional tersebut menyangkut negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa dan selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Tata cara pelaksanaan putusan arbitrase dilakukan sebagai berikut: 1. Permohonan pelaksanaan putusan arbitrase internasional dilakukan putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang disertai: a. Lembaran asli atau salianan otentik putusan arbitrase internasional dan terjemahan resminya. b. Lembaran asli atau salianan otentik perjanjian yang menjadi dasar putusan arbitrase internasional dan terjemahan aslinya. 256 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 c. Keterangan dari perwakilan diplomatic RI di negara tempat putusan arbitrase internasional tersebut ditetapkan yang menyatakan bahwa negara pemohon terikat pada perjanjian bilateral maupun multilateral. 2. Setelah Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memberikan perintah, selanjutnya proses eksekusi dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri yang secara relative berwenang untuk melakukan eksekusi tersebut. Sedangkan dalam hal pembatalan putusan arbitrase (Pasal 70) bahwa terdapat syarat-syarat pembatalan, sebagai berikut: a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu. b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang disembunyikan oleh pihak lawan atau, c. Putusan diambil dari hasil tipumuslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. Pembatalan harus diajukan tertulis dalam waktu 30 hari sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri. Tata cara Pengajuan Pembatalan : 1. Diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri daerah hukum tempat tinggal termohon. 2. Permohonan tersebut wajib diputuskan dalam waktu 30 hari sejak permohonan diterima. Upaya hukum: 1. Putusan pengadilan negeri Jakarta pusat diajukan permohonan banding ke mahkamah agung. 2. Mahkamah agung harus memutus perkara tersebut dalam waktu paling lama 30 hari setelah perkara diterima oleh mahkamah agung. Adapun putusan hakim atas pembatalan putusan arbitrase, sebagai berikut: 1. Menolak permohonan pembatalan. 2. Mengabulkan permohonan pembatalan tersebut. a. Membatalkan seluruh putusan arbitrase. b. Membatalakan sebagai putusan arbitrase. Akibat hukum pembatalan tersebut: 1. Bila ditolak, pututsan arbitrase dapat dilaksanakan. 2. Bila putusan arbitrase dibatalkan seluruhnya, maka hakim harus menentukan siapa yang harus menyelesaikan sengketa tersebut. Penjelasan Pasal 72 menentukan bahwa: i. Memerintahkan arbiter yang sama. ii. Membentuk arbiter yang baru. iii. Menentukan bahwa sengketa tidak mungkin diselesaikan dengan melalui arbitrase. 3. Bila putusan arbitrase hanya dibatalkan sebahagian, maka hakim harus menentukan mana permohonan dari pemohon tersebut yang dikabulkan. Di dalam Pasal 70 UU No.30/1999, tidak dijelaskan putusan arbitrase mana yang dapat dibatalkan. Apakah semua putusan arbitrase (Nasional maupun intenasional) dapat dibatalkan. Kalau dibaca secara sepintas, maka seolah-olah semua putusan arbitrase dibatalkan. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 257 Pertanyaan ini telah dijawab oleh Mahkamah Agung dalam putusannya tanggal 8 Maret 2004 No. 01/Banding/WASIT/2002 dalam perkara Karaha Bodas Company L.L.C. berlawan dengan PT. PERTAMINA dan PT. PLN. Dalam perkara ini PT. PERTAMINA dan PT. PLN di hukum untuk membayar ganti rugi sejumlah US$ 266.166.654 oleh arbitrase UNCIRAL di Jenewa Swiss dan ata putusan arbitrase tersebut rekening Pertamina di AS diblokir. Pihak Pertamina dan PLN keberatan dan kemudian mengajukan gugatan pembatalan putusan arbitrase Tergugat kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam putusannya tanggal 27 Agustus 2002 No. 86/Pdt.G/2002/PN. Jkt. Pst, mengabulkan gugatan Penggugat dan menyatakan bahwa putusan arbitrase batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Dalam putusan Mahkamah Agung tersebut, Mahkamah memutuskan untuk membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan menyatakan bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang mengadili perkara tersebut dengan dasar pertimbangan: Dalam Pasal V ayat (1) e Konvensi New York 1958 (Convention in the Recognation dan inforcement of foreign Arbitration Awards) yang dinyatakan berlaku dengan keputusan Presiden No. 34 Tahun 1981 berbunyi “Recognition and enforcement of the award may be refused, at the request of the party against whom it is invoked, only if… (e). The award has not yet become binding on the parties, or has been set aside or suspended by a competent authority of the country in which, or under the law of which, that award was made”.25 PENUTUP Kesimpulan Upaya keberatan atas penolakan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia telah diatur oleh hukum acara yang berlaku di Indonesia. Saat ini, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat diberi kewenangan memeriksa dan mengadili perkara in casu dengan mekanisme atau hukum acara yang berlaku di Indonesia. Jelas bahwa suatu putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan eksekutorial tidak ada artinya apabila tidak dapat dieksekusi, demikian juga halnya dengan putusan arbitrase asing (internasional) yang telah final dan binding serta telah mendapat exequatur. Saran Apabila ada putusan arbitrase asing yang akan dilaksanakan di Indonesia harus mengikuti aturan hukum di Indonesia mengenai tata cara putusan arbitrase asing di Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, ditambah dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing. Sedangkan, akibat hukum terhadap upaya keberatan perkara sejenis itu dari segi hukum tidak berbeda dengan akibat hukum putusan perdata lainnya, yaitu mengikuti tata cara hukum acara yang berlaku di Indonesia tanpa melihat sisi kepentingan asing atau sebaliknya. 25 Harifin A.Tumpa, Titik Singgung Putusan Arbitrase dengan Lembaga Peradilan dalam Eksekusi, Makalah, Jakarta, 14 Februari 2005. 258 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 DAFTAR PUSTAKA Alan Redfen & Martin Hunter, 2003. Law and Prectise of Internasional Comercia Arbitration, London: Studehopshon Sweet and Maxweel. C. Christoph H. Schreuer,1988. State Immunity: Some Recent Deveploment. Cambridge: Grotius Publication, D. Sidik Suraputra, 2004. Hukum Internasional dan berbagai permasalahaannya (suatu kumpulan karangan), Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia; Depok. Erman, Rajaguguk, 2001. Arbitrase dalam putusan pengadilan, Jakarta: Chandra Pratama. Gatot, Soemartono, 2006. Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, 2003. Hukum Arbitrase, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. Harifin, Tumpa, Makalah, 2005. Titik Singgung Putusan Arbitrase dengan Lembaga Peradilan dalam Eksekusi, t.t.p. Huala, Adolf. 2002. Arbitrase Komersial Internasional, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Husyein Umar M. dan A.Supriyani Kardono, 2002. Hukum dan Lembaga Arbitrase di Indonesia, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti. John Collier & Vaughan Lowe, 2000. The Settlement Of Dispute in Internasional Law Institution and procedure, New York: Oxford university Inc. Johnny, Ibrahim, 2005. Teori dan Metodologi Hukum Normatif, Surabaya: Banyumedia Publishing. Joni, Emirson, Arbitrase Dagang Internasional, Materi Pembelajaran untuk Kelas ADR. Kelsen, Hans, 1949. General Theory of Law and State, Cambridge: Harvard University Press. Mulyana, et al., 2002. Indonesian’s New Framework For International Arbitration: A Critical Assesment of the Law and Its Application by the Court, Mealey’s International Arbitration Report. January, Munir, Fuadi. 2003. Arbitrase Nasional, Alternatif penyelesaian Sengketa Bisnis, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Pan Mohamad Faiz. htm, Post Date, September 17, 2006 at 7:16 pm, Category, Arbitrase Pengadilan. www.vanillamist.com. 25 Desember 2010. Priyatna, Abdurrasyid. 2002. Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian SengketaSuatuPengantar, Jakarta: PT. Fikahati Aneska. Priyatno, Abdur Rasyid. 2000. Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Makalah Seminar Nasional tentang Arbitrase dan E-Commerce.Rahayu, Hartini, 2009. Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia, Dualisme Kewenangan Pengadilan Niaga dan Lembaga Arbitrase, Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Sudargo, Gautama, 1979. Arbitrase Dagang Internasional, Bandung: PT. Alumni. _______________, 2007. Hukum Perdata Internasional Indonesia. Bandung: PT. Alumni. Yahya, Harahap. M, 2003. Arbitrase, Ditinjau Dari Reglemen Acara Perdata (Rv), Peraturan Prosedur BANI, International Centre For The Settlement Of Invesment Disputes (ICSID),UNCITRAL Arbitration Rules, Convention Of The Recognition And Enforcement Of Foreign Arbitral Award, Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Grafik. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 259 260 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 ANALISIS HUKUM EMPIRIS TERHADAP DISSENTING OPINION DALAM PUTUSAN HAKIM Wiwie Heryani Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 261 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 ANALISIS HUKUM EMPIRIS TERHADAP DISSENTING OPINION DALAM PUTUSAN HAKIM Oleh: Wiwie Heryani Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Jl. Perintis Kemerdekaan KM. 10, Tamalanrea, Makassar, Sulawesi Selatan E-mail: [email protected] Abstract In making decisions, uncommon in a panel of judges disagree, to dissent, although not having binding legal force shall be included in the judge’s decision is called Dissenting Opinion. Acceptance of the doctrine of dissenting opinion in a number of legal rules governing the judicial authority in Indonesia reflects the transparency and accountability to the judge’s decision. On the other hand can also be viewed, that the dissenting opinion is a reflection of intellectual integrity and a judge to consequently and consistently held that the scientific establishment can be accounted for, although they differ or conflict with the majority of other judges. Dissenting opinion is also useful as a control mechanism for judges as well as enrich the study materials in the development of legal science. Keywords: Dissenting Opinion, Judge’s Decision. Abstrak Dalam membuat putusan, tidak jarang hakim dalam suatu majelis terjadi perbedaan pendapat, terhadap perbedaan pendapat walaupun tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat harus termuat dalam putusan hakim inilah yang disebut Dissenting Opinion. Penerimaan doktrin dissenting opinion dalam sejumlah aturan hukum yang mengatur tentang kekuasaan kehakiman di Indonesia mencerminkan tranparansi dan akuntabilitas terhadap putusan hakim. Di sisi lain dapat pula dipandang, bahwa dissenting opinion merupakan cermin dari integritas dan intelektual seorang hakim untuk konsekuen dan konsisten memegang pendiriannya yang secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan, meskipun berbeda atau bertentangan dengan mayoritas hakim lainnya. Dissenting opinion juga bermanfaat sebagai mekanisme kontrol bagi hakim serta sebagai bahan kajian dalam memperkaya khasanah bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum. Kata Kunci: Dissenting Opinion, Putusan Hakim. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 PENDAHULUAN Di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) telah tercantum dengan jelas tentang kekuasaan kehakiman di Indonesia untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan dengan diakuinya prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak.1 Penjabaran mengenai kekuasaan kehakiman dalam bentuk hukum positif, ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (UUKK), sebagaimana telah diperbaharui dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, khususnya Pasal 1, menegaskan bahwa: “Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”. Meskipun telah ada dan lengkapnya pengaturan tentang kekuasaan kehakiman, namun fakta hukum menunjukkan adanya ketidakpercayaan masyarakat pada kekuasaan kehakiman dikarenakan salah satu faktor utamanya adalah putusan hakim yang tidak atau belum mencerminkan nilai-nilai keadilan, seperti yang didambakan oleh masyarakat pencari keadilan, hal ini tentu sangat paradoks dengan cita-cita dan amanat yang ingin diemban oleh kekuasaan kehakiman. Sorotan tajam masyarakat yang mensinyalir bahwa kondisi peradilan kita dewasa ini sangat memprihatinkan, kalau tidak boleh dikatakan parah, sehingga tidak mengherankan kalau sering kita dengar istilah-istilah “peradilan kelabu”, “mafia peradilan”, “kolusi peradilan” dan lain sebagainya yang menurunkan citra lembaga peradilan. Contoh kontroversial yang pernah diangkat dalam sebuah media nasional dengan judul “Rasa Keadilan Masyarakat Terganggu”, dalam sebuah tajuk rencananya,2 yang menyoroti putusan Pengadilan Negeri Serang Banten, yang memvonis dua kuli panggul, Sapruddin dan Mulyadi, masing-masing delapan bulan penjara. Vonis itu dijatuhkan karena keduanya terbukti bersalah telah mencuri 10 kg bawang merah. Namun pada hari yang sama, juga di Pengadilan Negeri Serang Banten, Wakil Ketua DPRD Kabupaten Banten, Udin Jamaluddin serta anggota DPRD, Marjuki Ramli dan M. Muchlis, dituntut satu tahun dan enam bulan penjara. Anggota DPRD Robert Wihardja, dituntut hukuman pidana satu tahun penjara. Mereka, menurut fakta dipersidangan dinilai turut melakukan tindak pidana korupsi dana APBD Banten tahun 2003 sejumlah Rp.14 Milyar. Berbagai keluhan terhadap putusan hakim yang telah mengabaikan rasa keadilan masyarakat, menjadi berita sehari-hari, padahal dengan jelas dalam undang-undang, memerintahkan hakim dalam bekerjanya tidak sekadar sebagai “penegak hukum”, tetapi juga sebagai “penegak keadilan”, justru hal ini yang seringkali diabaikan oleh sebagian hakim di Indonesia. Banyaknya putusan hakim yang mengabaikan rasa keadilan masyarakat ditanggapi sinis oleh sebagian hakim dengan pertanyaan “tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat yang mana?” atau rasa keadilan yang bagaimana?. Seolah dengan mengatakan seperti itu, mereka sudah lolos dari gempuran orang yang kecewa dengan putusan mereka. Sebagaimana yang pernah dikemukakan oleh Gustav Radbruch,3 tentang tiga ide unsur dasar hukum, yang oleh sebagian pakar diidentikkan juga sebagai tiga tujuan hukum yang dengan menggunakan asas prioritas selalu menempatkan keadilan sebagai prioritas utama, 1 Pasal 1 ayat 1 ,Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU No. 48 Tahun 2009). 2 Tajuk Rencana: “Rasa Keadilan Masyarakat Terganggu”, Kompas, 7 Juli 2007, hlm. 11. 3 Achmad Ali. Menguak Tabir Hukum, (Jakarta: PT. Toko Gunung Tbk, 2002), hlm. 83. 264 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 lalu kemanfaatan dan yang terakhir barulah kepastian hukum, sehingga ketika hakim harus memilih antara keadilan dan kepastian hukum, maka pilihan harus pada keadilan terlebih dahulu, walaupun kemudian berkembang ajaran prioritas kasuistis di mana menempatkan tujuan hukum berdasarkan kebutuhan hukum dalam kasus tertentu, namun paling tidak tujuan hukum tidak hanya mengejar kepastian hukum semata. Peristiwa lain yang menjadi sorotan masyarakat luas terhadap lembaga peradilan dan menjadi latar belakang penelitian ini, tatkala awal Tahun 2004 peradilan tertinggi Indonesia yakni Mahkamah Agung “menyuguhkan” kepada masyarakat Indonesia, suatu putusan kasasi yang kontroversial, kasus yang dikenal dengan nama “Bulog Gate”. Suatu kasus korupsi dengan terhukum pimpinan lembaga legislatif Indonesia (DPR) sekaligus pemimpin sebuah partai yang pernah berkuasa pada zaman orde baru, Akbar Tandjung dengan putusan bebas murni (vrijspraak).4 Putusan MA yang membebaskan Akbar Tandjung dari segala tuntutan sudah dijatuhkan dan sebagai realita harus diterima, namun ada satu sisi yang kurang diperhatikan umum, yaitu adanya pendapat hukum oleh salah satu anggota majelis kasasi, yang berpendapat berbeda dari anggota majelis hakim lainnya, berpendapat sebaliknya menolak kasasi Tandjung dan membenarkan putusan pengadilan sebelumnya. Pendapat hukum yang berbeda ini dalam ilmu hukum acara disebut Dissenting Opinion. Sebagaimana terjadi saat ini tidak jarang hakim yang mempunyai integritas tinggi selalu kalah dalam voting musyawarah majelis hakim. Terhadap hakim yang mempunyai pendapat berbeda disediakan sarana untuk mengungkapkan perbedaan pendapatnya dengan disertai argumen yuridisnya (legal reasoning) terhadap kesimpulan yang dianggapnya tepat yang disebut Dissenting Opinion, walaupun tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (not legally binding), pendapat berbedanya itu harus termuat dan menjadi bagian dari putusan majelis hakim.5 Pada masa sebelum adanya dissenting opinion, hakim yang mempunyai pendapat berbeda dengan majelis hakim mayoritas tidak dapat mengemukakan pendapatnya dalam putusan karena aturan pada waktu itu, bilamana ada perbedaan hanya ditampung dalam suatu buku catatan yang dipegang oleh ketua pengadilan sehingga pihak luar tidak akan pernah tahu apabila ada perbedaan pendapat ataukah tidak diantara para hakim pada waktu memutus perkara. Faktor inilah, antara lain yang memicu ketidakpercayaan masyarakat terhadap putusan-putusan hakim di Indonesia. RUMUSAN MASALAH Bertitik tolak dari permasalahan-permasalahan tersebut di atas mendorong timbulnya beberapa pertanyaan yaitu: 1. Sejauh mana hakim mengakomodasi doktrin dissenting opinion dalam putusannya? 2. Faktor-faktor empiris hukum apakah yang menjadi latar belakang hakim melakukan dissenting opinion dalam putusannya? 3. Kendala apa yang dihadapi oleh hakim untuk lahirnya dissenting opinion dalam putusannya? 4“Dissenting Opinion Putusan Akbar”, Kompas, 1 Maret 2004. hlm. 5. 5M. Laica Marzuki. Dari Timur Ke Barat Memandu Hukum: Pemikiran Hukum Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2008), hlm. 45. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 265 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini rencananya akan dilaksanakan selama dua bulan pada tahun 2011 di Pengadilan Negeri Makassar Propinsi Sulawesi Selatan. Lokasi tersebut dipilih dengan pertimbangan bahwa Pengadilan Negeri Makassar merupakan Pengadilan Negeri dengan kualifikasi Kelas IA dan berada di ibukota Propinsi, juga dengan pertimbangan bahwa di Pengadilan Negeri Makassar memiliki tingkat penerimaan dan penyelesaian perkara yang cukup tinggi. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi/survey, wawancara dan diskusi dengan hakim-hakim di Pengadilan Negeri Makassar secara purposive sampling untuk mengumpulkan data informasi secara sistematis dan akurat. Berdasarkan jenis data yang dikumpulkan, maka data tersebut dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: Data primer Data primer diperoleh dengan melakukan survey langsung ke lapangan dan wawancara terhadap hakim di Pengadilan Negeri Makassar. Data yang dikumpulkan meliputi sikap hakim setelah diakomodasinya doktrin dissenting opinion dalam beberapa peraturan di lingkungan peradilan di Indonesia, apakah keberadaan doktrin tersebut digunakan oleh hakim dalam putusannya, mengetahui faktor-faktor empiris hukum yang melatarbelakangi hakim mengambil sikap untuk melakukan dissenting opinion, sebaliknya juga mengetahui kendala yang dihadapi ketika langkah tersebut tidak diambil (tidak dilakukan) oleh hakim-hakim di Pengadilan Negeri Makassar. Data sekunder Data sekunder dikumpulkan melalui studi kepustakaan yang berkaitan dengan putusan hakim ditinjau dari kajian empiris hukum yaitu kajian sosiologi dan psikologi hukum. Metode Analisis Data Data primer dan data sekunder yang telah dikumpulkan dalam penelitian ini selanjutnya diolah dan ditabulasi serta diklasifikasikan sesuai dengan tujuan penelitian, selanjutnya dianalisis secara deskriptif untuk mengetahui besarnya kontribusi doktrin dissenting opinion dalam menilai kualitas putusan hakim demi terwujudnya tujuan hukum bagi pencari keadilan. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Analisis Pemuatan Dissenting Opinion dalam Putusan Hakim Mulanya pengadopsian pranata dissenting opinion bukan sesuatu yang lazim dipakai dalam peradilan di Indonesia. Sejarah dan akar pengadopsiannya tidak dapat dilepaskan dari sistem hukum yang dianut oleh suatu negara tertentu. Di negara-negara yang tidak mengenal dissenting opinion seperti di negara-negara yang menganut sistem hukum Civil law, setiap putusan merupakan kesepakatan bersama. Awalnya doktrin ini berkembang di negara-negara yang menganut sistem hukum Anglo-Saxon, seperti Inggris, Amerika Serikat, Canada, Australia, dan diikuti negara-negara sepaham.6 6 Op.cit, hlm. 120. 266 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 Filosofi diberlakukannya dissenting opinion(termasuk concurring opinion) adalah untuk memberikan akuntabilitas kepada masyarakat pencari keadilan (Justiabelen) dari para hakim yang memutus perkara. Seperti diketahui, mayoritas perkara dipengadilan diputus oleh sebuah majelis hakim yang terdiri dari tiga orang hakim atau lebih. Dalam pengambilan keputusan akhir, tidak tertutup kemungkinan terjadinya perbedaan pendapat, maka keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak (voting). Sebagaimana terjadi saat ini, tidak jarang hakim yang mempunyai integritas moral yang tinggi selalu kalah dalam pengambilan suara (voting) dalam suatu majelis hakim, terhadap hakim yang mempunyai perbedaan pendapat ini disediakan sarana untuk mengungkapkan perbedaan pendapatnya yang disertai argumen yuridis dan putusannya merupakan satu kesatuan dengan putusan hakim lainnya, yang istilah teknis yuridisnya disebut Dissenting Opinion.7 Pada masa sebelum adanya dissenting opinion, hakim yang mempunyai pendapat yang berbeda dengan majelis hakim lainnya tidak dapat mengemukakan pendapatnya dalam putusannya, sehingga pihak luar tidak akan pernah tahu apakah ada perbedaan pendapat atau tidak. Pemakaian dissenting opinion maupun concurring opinion di Indonesia merupakan salah satu buah dari rendahnya kepercayaan terhadap dunia peradilan. Penggunaan dissenting opinion dan concurring opinion dipandang sebagai cara mewujudkan kebebasan hakim untuk berbeda pendapat dan menghindari putusan rekayasa. Pertama kali dissenting opinion di Indonesia digunakan diperadilan niaga yang menangani masalah kepailitan, hal ini dapat dibuktikan dengan dikeluarkannya Perma No. 2 Tahun 2000 yang menyempurnakan Perma No. 3 Tahun 1999 tentang hakim Ad Hoc, yang salah salah satu pasalnya menyebutkan bahwa dissenting opinion dalam keputusan kepailitan diperbolehkan dan dicantumkan beserta putusan dalam bentuk lampiran serta dianggap sebagai satu kesatuan dengan naskah putusan.8 Pengaturan tersebut kemudian diikuti oleh Mahkamah Konstitusi, dan yang terakhir peradilan umum juga sudah mulai mengakomodasi putusan dissenting opinion ini . Dengan diadakannya perubahan UUKK yang baru, yakni UU No.4 Tahun 2004 dan UUMA, UU No.5 Tahun 2004, telah diakuinya perbedaan pendapat untuk dimuat dalam putusan sehingga tidak lagi tertutup dan bersifat rahasia. Ketentuan yang berkaitan dengan dissenting opinion, diatur dalam Pasal 19 ayat (4), (5), dan (6), dan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, dengan semangat dan jiwa yang sama diatur dalam Pasal 30 ayat 2, 3, dan 4. Mendahului ke dua undang-undang di atas, pengaturan dissenting opinion di lingkungan MK telah diatur terlebih dahulu ada. Dalam Pasal 45 ayat (6) UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, menyatakan, “Dalam hal musyawarah sidang pleno hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dapat menghasilkan putusan, musyawarah ditunda sampai musyawarah sidang pleno hakim konstitusi berikutnya”. Dinyatakan, dalam hal musyawarah sidang pleno setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai mufakat bulat, putusan diambil dengan suara terbanyak. Manakala musyawarah sidang pleno hakim konstitusi, tidak dapat diambil dengan suara terbanyak, suara terakhir ketua sidang pleno hakim konstitusi menentukan (Pasal 45 ayat (7) dan (8)). Dalam hal putusan tetap tidak mencapai mufakat bulat, pendapat anggota Majelis Hakim yang berbeda dimuat dalam putusan (Pasal 45 ayat (7), (8) dan (10)). 7 Artidjo Alkostar dalam Kompas, 10 April 2004, hlm. 12. 8 Raymon Ali, Pemantau Peradilan. Com. 2003. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 267 Dari ketiga peraturan di atas yang mengakomodasi pendapat berbeda (dissenting opinion), termuat juga dalam perubahan terhadap Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang baru yakni UU No. 48 Tahun 2009 yang memuat Dissenting Opinion yakni diatur dalam Pasal 14 yang menyatakan: (1) Putusan diambil berdasarkan sidang permusyawaratan hakim yang bersifat rahasia. (2) Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan. (3) Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai sidang permusyawaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung. Rupanya pemuatan dissenting opinion dalam putusan peradilan merupakan wujud good governance yang telah menjadi trendglobal di dunia peradilan dewasa ini. Sebagai perbandingan di Mahkamah Konstitusi, setelah pemeriksaan persidangan selesai, hakim MK akan melakukan musyawarah untuk mengambil sikap apakah akan mengabulkan permohonan, menolak atau menyatakan permohonan tidak dapat diterima. Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) untuk pengambilan putusan akhir dilakukan secara tertutup dan harus memenuhi kuorum sekurang-kurangnya 7 (tujuh) orang hakim. Ini terjadi hanya karena adanya hal-hal luar biasa, baik karena sakit atau halangan tetap yang belum dapat diatasi sementara. Dalam hal biasa, kuorum itu harus dengan pleno lengkap yang dihadiri oleh 9 (sembilan) orang hakim. RPH pada tahap pertama akan lebih dahulu mendengarkan laporan panel hakim yang menangani perkara tersebut yang akan melaporkan hasil-hasil pemeriksaan perkara, baik mengenai legal issues maupun pendapat ahli dan keterangan saksi-saksi tentang fakta yang relevan dengan perkara yang dihadapi, hal ini sesuai dengan Pasal 28 ayat (4). Setelah itu, panel hakim akan memberi rekomendasi tentang arah penyelesaian perkara jika panel hakim yang terdiri dari 3 (tiga) orang anggota memiliki kesamaan pendapat. Jika tidak, pendapat individual hakim konstitusi yang dibuat secara tertulis (yang diistilahkan dengan LO/Legal opinion) akan didengar satu persatu. Dalam RPH pleno, ketua sidang pleno akan lebih dahulu memetakan pendapat yang dikemukakan dengan membuat peta pendapat yang sama dan berbeda. Apabila perbedaan itu masih ada, akan dilanjutkan dengan mencoba mendekatkan perbedaan yang ada diantara hakim. Selalu diusahakan musyawarah yang sungguh-sungguh diantara hakim konstitusi dengan saling mengemukakan argumen yang berusaha mendekatkan pandanganpandangan yang berbeda. Apabila perbedaan pendapat itu tidak dapat diperkecil dan bahkan tidak dapat dipertemukan, meskipun sudah diusahakan semaksimal mungkin maka ketua sidang pleno dapat menunda sidang meminta agar hakim konstitusi untuk membaca ulang berkas perkara. Setelah dua kali sidang ditunda, pada sidang ke tiga ketua sidang pleno akan mengambil kebijaksanaan terakhir dengan melakukan pemungutan suara. Mayoritas sederhana (simple mayority) dengan perbandingan 5 (lima) dan 4 (empat) suara telah cukup untuk mengambil keputusan apakah mengabulkan ,menolak atau menyatakan tidak dapat menerima (niet ontvankelijk verklaard). Dalam hukum acara di Mahkamah Konstitusi, biasanya hakim yang tidak setuju (minoritas) atau yang berbeda pendapat (dissenting opinion) atau alasan yang berbeda (concurring opinion) dikarenakan perbedaan yang tajam dalam “legal reasoning” yang secara prinsipil dengan legal reasoning dari hakim mayoritas sehingga membawa perbedaan dalam outcome of the case hukum dari perkara tersebut. 268 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 Penalaran hukum (legal reasoning) senantiasa dipengaruhi oleh landasan berpikir tertentu, yang sifatnya sangat mendasar (fundamental) yang selalu dikaitkan dengan penggunaan nalar manusia (logika) ditambah dengan unsur-unsur subjektif dan dibantu dengan bahasa. Penalaran hukum dalam putusan hakim adalah aktivitas subjektif dari hakim, baik dilihat secara personal (sendiri-sendiri) maupun secara majelis (bersama-sama). Dengan demikian, figur hakim menjadi pertimbangan yang penting. Menurut Shidarta,9 penalaran hukum dapat saja berbeda sekalipun dilakukan oleh subjek-subjek hakim yang sama, dikarenakan peristiwa hukum yang konkrit dari suatu perkara berbeda-beda ketika ditangani oleh hakim, olehnya juga, menurut Sidharta,10 argumentasi dalam penalaran hukum sebagai “berpikir problematik tersistematisasi”. Menurut responden Hakim di Pengadilan Negeri Makassar, paling tidak ada enam (6) langkah utama penalaran hukum dari hakim untuk mendapatkan putusan akhir, langkah tersebut yakni: Langkah pertama; mengidentifikasikan fakta-fakta untuk menghasilkan suatu struktur (peta) kasus yang sungguh-sungguh diyakini oleh hakim sebagai kasus yang riil terjadi, sehingga keyakinan hakim tentang duduk perkara menjadi sangat penting, langkah ini mengharuskan masing-masing pihak yang berperkara mengajukan serangkaian argumentasi, agar dapat mewujudkan keyakinan hakim, yang pada saatnya dapat dijadikan sumber hukum “otonom” bagi yang bersangkutan dalam menyelesaikan kasus tersebut; Langkah ke dua; menghubungkan (mensubsumsi) struktur kasus tersebut dengan sumber-sumber hukum yang relevan dan telah disistematisasi oleh ilmu hukum, sehingga hakim dapat menetapkan perbuatan hukum dalam peristilahan yuridis (legal term). Pengkualifikasian merupakan titik krusial dalam penalaran hukum yang diformulasikan dalam simbol, sebagian besar berupa kata-kata, yang mungkin dimaknai secara berbeda menurut kacamata yuridis, misalnya “Mengambil milik orang lain dengan maksud dimiliki secara melawan hukum” diberi kualifikasi sebagai pencurian; “Menghilangkan nyawa orang lain” sebagai pembunuhan, dan seterusnya. Langkah pengkualifikasian ini sesungguhnya merupakan kegiatan penemuan hukum melalui sumber-sumber hukum formil, antara lain peraturan perundang-undangan, traktat, yurisprudensi, kebiasaan dan doktrin; Langkah ke tiga; hakim menyeleksi sumber hukum dan aturan hukum yang relevan untuk kemudian mencari tahu kebijakan yang terkandung di dalam aturan hukum itu (the policies underlying those rules), sehingga dihasilkan suatu struktur (peta) aturan yang koheren. Dalam tahap ini orientasi berpikir yuridis dari hakim semakin berperan secara signifikan yang kemungkinannya dipengaruhi oleh sistem hukum negara dalam menentukan jenis-jenis sumber hukum. Pada negara yang berkiblat pada sistem civil law misalnya, maka besar kemungkinan hakim akan melirik terlebih dahulu kepada undang-undang dari sumber hukum lainnya yang diperkirakan relevan dengan konteks permasalahan yang dihadapi. Sumber-sumber hukum yang sudah diseleksi kemudian ditafsirkan dengan jalan metode penemuan hukum; Langkah ke empat; menghubungkan struktur aturan dengan struktur kasus melalui logika deduktif. Pada kasus yang mudah, kemungkinan hakim tidak perlu berpikir keras untuk mencari alternatif lain daripada jawaban yang dapat ditelurkan melalui intepretasi gramatikal, lain halnya dengan kasus yang berat di mana konklusi harus sesuai dengan kompleksitas struktur kasusnya; 9 Shidarta. Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks KeIndonesiaan, (Bandung: CV. Utomo, 2006), hlm. 160. 10 Ibid, hlm. 163. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 269 Langkah ke lima; mencari alternatif-alternatif jawaban yang mungkin terjadi atas masalah yang ditangani. Hakim atau majelis sangat mungkin memiliki lebih dari satu alternatif jawaban atas masalah yang ditanganinya. Dengan melalui proses penalaran hukum yang dapat dipertanggungjawabkan maka alternatif-alternatif itu diverifikasi dengan argumentasi yang tepat. Kerja sama antara hakim-hakim yang duduk dalam satu majelis diuji. Hakim yang baik harus menerima apabila argumentasi yang diajukan dikritik oleh rekannya, bahkan ia wajib mengkritisi penalarannya sendiri termasuk apabila ada anggota majelis hakim bersikeras untuk mempertahankan alternatif lain di luar putusan rekanrekannya, harus tetap dihormarti, untuk itu argumentasi alternatif itu wajib dimuat dalam putusan yang dikenal dengan istilah dissenting opinion; Langkah terakhir; menetapkan pilihan atas salah satu alternatif untuk kemudian diformulasikan sebagai putusan. Sebagai pejabat negara, hakim diberi wewenang untuk mengucapkan putusannya di muka persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak. Pendapat senada juga dikemukakan oleh responden hakim (wawancara September 2011), dengan merujuk Pasal 25 ayat (1) UUKK menegaskan bahwa segala putusan pengadilan harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Legal reasoning yang tertuang dalam pertimbangan hukum menurut para hakim (Wawancara November 2011), memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan serta pasalpasal aturan hukum yang dijadikan dasar pertanggungjawaban hakim atas putusannya kepada masyarakat, bahwa putusannyanya tidaklah sewenang-wenang oleh karena memiliki alasan rasional dengan adanya aturan hukum yang melandasi putusannya. Alasan-alasan yang dimaksud, menurut para responden (wawancara 2011) merupakan argumentasi dan analisis dari hakim, sehingga tiba pada kesimpulan bahwa fakta tersebut benar dan bahwa hukum yang diterapkan juga benar, yakni putusan yang mengandung ratio decidendi (the ground or reason of decision). Lebih jauh, pentingnya hakim menjelaskan konsep-konsep hukum yang mendasari pertimbangan putusannya, diharapkan hakim tidak hanya menegakkan hukum dan keadilan tetapi juga membangun peradaban. Olehnya, setelah putusan dibacakan akan menjadi public domain, putusan ini akan terbuka sebagai bahan wacana publik (public discourse). Oleh sebab itu, publikasi putusan yang utuh sangat diperlukan agar masyarakat tidak hanya tercuri perhatiannya pada amar putusan, melainkan juga pada konsideran yang menggiring diktum amar putusan. Masyarakat yang berkepentingan, harus diberi akses yang cukup agar setiap putusan hakim dapat dikaji penalarannya (legal reasoningnya), sehingga tepat apa yang dikatakan oleh Sir Alfred Denning:”In order that a trial should be fair, it is necessary, not only that a correct decision should be reached, but also that is should be seen to be based on reason; and that can only be seen if the judge himself states his reason.” 11 Contoh Putusan yang Memuat Dissenting Opinion: Perkara Pidana No. 1156/ Pid.B/2006/PN/MKS Perkara yang diputus oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Makassar yang terdiri dari Hj. Ida Kutana, SH, selaku ketua merangkap anggota, Erwin Mangatas Malau, SH. MH, dan Hj. Hamimang Rachman, SH, selaku anggota, pada hari Rabu, tanggal 21 Maret 2007, dalam perkara pidana atas nama Rizal Anwar alias Ical, yang diputus secara split decision (suara terbanyak/voting), bahwa terdakwa telah terbukti bersalah sesuai dakwaan 11 Sudikno Mertokusumo. Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1998), hlm. 178. 270 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 primer, melakukan tindak pidana penganiayaan yang menyebabkan korban Syahrul Umar meninggal, diatur dan diancam dalam Pasal 338 KUHP (Pembunuhan dengan sengaja) dan dalam dakwaan subsider, melanggar Pasal 354 ayat (2) KUHP (penganiayaan berat), menusuk korban hingga tewas dengan sangkur di sekitar tempat kejadian di area Pub Colors Makassar. Pada putusannya, majelis hakim sepakat bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan dengan terpenuhinya seluruh unsur dalam dakwaan, baik primer maupun subsider, pertimbangan hal-hal yang memberatkan dan meringankan, maka terhadap terdakwa dijatuhkan hukuman penjara 5 (lima) tahun. Namun pengambilan putusan majelis hakim dilakukan secara voting berhubung tidak ada kesamaan dari majelis hakim dalam menafsirkan fakta-fakta yang diperoleh selama persidangan, terjadi perbedaan pendapat antara hakim mayoritas (Hj. Ida Kutana dan Hj. Hamimang Rachman) dengan hakim Erwin Mangatas Malau yang melakukan “dissenting opinion”, berdasarkan pertimbangan bahwa dari fakta-fakta yang ditemui dipersidangan, dari duabelas (12) orang saksi yang dihadirkan tidak satupun saksi yang melihat dengan jelas korban telah di tusuk dengan sangkur oleh terdakwa atau mengetahui dengan persis tentang kematian korban, dengan keyakinan tersebut, Hakim Mangatas meragukan bahwa korban meninggal atas perbuatan terdakwa, olehnya dalam beda pendapatnya ia mengatakan seharusnya terdakwa diputus bebas. Selain untuk mengeliminir intervensi dan menunjukkan kebebasan hakim, dissenting opinion dan concurring opinion menurut seluruh responden hakim yang pernah mengambil kesempatan tersebut, bermanfaat antara lain: 1. Mengeliminir kecurigaan masyarakat terhadap putusan hakim yang dibuat karena syarat KKN. Dengan mencantumkan dissenting opinion dalam putusan maka masyarakat dapat membaca pertimbangan masing-masing hakim dalam membuat putusannya, sehingga masyarakat dapat mengetahui dan menilai sejauh mana kualitas dan integritas intelektual hakim, baik putusan hakim mayoritas maupun yang minoritas yang melakukan dissenting opinion, kemudian membandingkan diantara keduanya. Pengetahuan dan penilain publik ini, tentu saja tetap dalam kerangka penghormatan terhadap hak asasi manusia dari masing-masing hakim, yakni hak untuk menyatakan pikiran dan pendapatnya, tanpa ada unsur sentimen terhadap pribadinya. Dengan kata lain, dissenting opinion juga merupakan sarana kontrol eksternal; 2. Dengan diakuinya dissenting opinion, akan menjadi mekanisme kontrol internal dalam diri majelis hakim pada khususnya dan badan peradilan pada umumnya. Pendapat yang berbeda dapat dipersandingkan satu dengan lainnya, sehingga para hakim dalam majelis dapat menilai apa kelebihan dan kekurangan dari pendapat yang berbeda tersebut dibandingkan dengan pendapat mayoritas dalam pengambilan putusan atas suatu perkara yang diperiksa dan diputuskan. Masing –masing hakim akan mengantisipasi pendapat dari koleganya, sehingga akan terdorong untuk memberikan pendapatnya secara ilmiah disertai dengan argumentasi-argumentasi yuridis dan non yuridis yang kuat untuk mendukungnya; 3. Memperkaya bahan pengkajian hukum yang sangat berguna bagi perkembangan ilmu hukum, sebab pendapat individual dari hakim yang berbeda (dissenting opinion) dapat disejajarkan dengan pendapat ahli (doktrin) yang dalam dunia ilmu hukum diakui sebagai salah satu sumber hukum dalam arti formal; 4. Dapat dipakai sebagai acuan memutus perkara serupa yang terjadi kemudian hari. Mungkin sekali terjadi, suatu dissenting opinion yang semula sebagai pendapat Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 271 minoritas kemudian menjadi yurisprudensi yang akan mengesampingkan putusan terdahulu; 5. Pengertian judge made law tidak hanya dalam bentuk yurisprudensi (putusan yang diterima sebagai hukum), melainkan termasuk juga dissenting opinion, walaupun bagi negara-negara yang tidak menjalankan sistem dissenting opinion, hal ini dipandang mengurangi arti kepastian hukum suatu yurisprudensi sebagai sumber hukum. 6. Menumbuhkan kultur hukum masyarakat untuk menghormati putusan hakim, walaupun ada majelis hakim yang berbeda pendapat. Analisis faktor empiris hukum yang melatarbelakangi hakim melakukan dissenting opinion Kurang lebih 20 tahun silam, ketika Satjipto Rahardjo,12 mengutip pernyataan dari Donald Black mengatakan bahwa putusan hakim ditentukan oleh sarapan paginya, maka spontan terjadi “kegegeran” dikalangan peradilan yang pada waktu itu masih sangat asing terhadap kajian sosiologi hukum dalam arti yang sebenarnya. Dengan penggunaan kajian moral dan kajian ilmu hukum (normatif), pengadilan cenderung dibebani tanggungjawab yang teramat berat dan nyaris tak terwujudkan, misalnya yang terkandung dalam semboyan-semboyan yang sifatnya bombastis seperti :pengadilan adalah “the last resort” bagi pencari keadilan, pengadilan adalah “ujung tombak keadilan” dan lain sebagainya. Dari sudut sosiologis, beban berat seperti itu terhadap pranata pengadilan, sebenarnya dapat dikatakan sebagai memperlakukan pengadilan secara kurang adil dan realistis. Pengadilan beserta seluruh “faktor” yang terlibat dengannya, bukanlah “makhluk yang tiba-tiba terjatuh begitu saja dari langit”, yang netral dari pengaruh berbagai faktor; pengadilan dan seluruh “aktor” yang terlibat didalamnya adalah “produk dari masyarakatnya”, yang tidak terlepas dari berbagai pengaruh non hukum. Dalam hal membicarakan putusan hakim, tidak boleh tidak pembicaraan haruslah dikaitkan dengan pengaruh faktor-faktor ekstern yang melingkupi hakim, seperti keadaan lingkungannya, faktor ekonomi, pendidikannya dan kekuasaan dari pihak lain, sebab hakim adalah bagian dari sistem sosial yang ada, ia juga hidup berkelompok, saling bersosialisasi, sehingga sedikit banyaknya ia akan terpengaruh oleh faktor-faktor seperti di atas, sebagaimana dikemukakan oleh Frans Cox13 : “In most social influence situations there is an interplay between internal factors (personality and motivational tendencies, incluiding striving for consistency) and external ones (such as the power of the other persons, the level of inconsistency in the situation)”. Di bawah ini akan dipaparkan beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku hakim dalam membuat putusan dari hasil penelitian: yakni (1). Kemampuan berpikir logis, (2). Kepribadian, (3). Jenis kelamin, (4). Usia, (5) pengalaman kerja, pemaparannya sebagai berikut: (1) Kemampuan berpikir logis. Kemampuan nalar (berpikir logis) yang baik tentu sangat dibutuhkan profesi hakim, jika melihat proses pengambilan keputusan yang telah dikemukakan di depan, baik pada saat memutus bersalah atau tidak, maupun memutus pemidanaan; (2) Kepribadian. Faktor kepribadian hakim juga berpengaruh terhadap putusan 12 Satjipto Rahardjo. Hukum dan Perubahan Sosial, (Bandung: Alumni, 1979), hlm. 54. 13 Soerjono Soekanto. Beberapa Catatan Tentang Psikologi Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1993), hlm. 29. 272 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 hakim di pengadilan. Banyak pakar berpendapat antara lain dari hasil penelitian Brigham,1991;Yusti,P.R,2005, menemukan bahwa para hakim memiliki suatu kepribadian yang disebut otoritarian. Kepribadian otoritarian percaya bahwa otoritas harus dipercaya, dipatuhi, dan dihormati. Otoritas didefinisikan sebagai individu yang secara hukum atau moral memiliki otoritas terhadap orang lain, seperti orang tua, pemimpin agama, petugas sipil (polisi, hakim, kepala pemerintahan), dan pemimpin militer. Kepribadian otoritarian cenderung berpikir konvensional yang cenderung berpegang pada norma-norma agama dan nilai-nilai moral. Dari penelitian Adorno (dalam Bartol dan Bartol) mengemukakan dengan jelas ciri-ciri orang berkepribadian otoritarian, sebagai berikut : (a). ketaatan kaku; (b). penekanan berlebihan kepada pihak lemah; (c). penerimaan yang tidak kritis terhadap tokoh-tokoh pemegang otoritas; (d). yakin terhadap hukuman, disiplin keras bagi yang melanggar nilai-nilai sosial dan undang-undang; (e). cenderung berfikir kaku dan terlalu disederhanakan;(f).hasrat yang kuat untuk mengasosiasikan diri dengan orang-orang yang berkuasa; (g). bersikap sinis terhadap motif-motif dan tujuan-tujuan orang lain, yang hanya dianggap sebagai “takhyul” atau hal yang tidak rasional; (h). tidak menyetujui kehidupan emosional bebas atau penampakan emosi. (3) Jenis kelamin. Menurut responden hakim,jenis kelamin hakim memberikan pengaruh terhadap putusan hakim, walaupun beberapa penelitian menunjukkan hasil yang tidak konsisten (Kapardis, 1997)14. Efran (dalam Dane dan Wrigthsman, 1982)15; (Yusti,P.R, 2005)16 melaporkan bahwa terdakwa dengan daya tarik fisik menarik cenderung diputus tidak bersalah oleh juri pria dibanding juri wanita. Stephan (dalam Dane dan Wrightsman, 1982) meneliti kasus pembunuhan pasangan dan menemukan bahwa juri lebih sering memutuskan terdakwa bersalah jika terdakwa berjenis kelamin sama dengan juri. Thornton (1977) meneliti kasus pemerkosaan dengan korban menarik dan korban tidak menarik, hasilnya menunjukkan bahwa ada perbedaan beratnya putusan antara pria dan wanita, baik pada korban yang menarik maupun korban yang tidak menarik, terlihat bahwa pria memberi hukuman yang lebih berat dibanding wanita. (4) Usia. Usia sering dikaitkan dengan tingkat kematangan seseorang sehingga diperkirakan terdapat perbedaan pemidanaan antara hakim muda dengan tua. Hood (dalam Kapardis, 1997; Yusti, P.R, 2005) menemukan bahwa hakim tua memberikan pemidanaan lebih berat. Gibson (dalam Kapardis, 1997) menemukan fakta bahwa hakim tua lebih diskriminatif terhadap ras hitam. Beberapa penelitian menunjukkan terdapat perbedaan strategi pemecahan masalah moral antara kelompok tua dan muda. (5) Pengalaman kerja. Setelah lulus seleksi hakim, calon hakim ditempatkan di pengadilan negeri untuk memahami pekerjaan hakim. Calon hakim belajar mengikuti proses persidangan. Setelah masa pelatihan diperkirakan cukup, calon hakim diangkat sebagai hakim dan ditempatkan di daerah yang jumlah perkaranya sedikit. Hakim belajar dari seniornya sebagai anggota majelis hakim. Semakin lama masa kerja seorang hakim, makin bertambah kemungkinan ia ditempatkan 14 Kapardis, Andreas. Psychology and Law: Critical Introduction, (United Kingdom: Cambridge Univer sity Press, 1997), hlm. 29. 15 Wrightman, Lawrence, S. Psychology and The Legal System (California: Brooks/Cole Publishing Com pany, 1982), hlm. 90. 16 Yusti, P.R. Dibalik Putusan Hakim: Kajian Psikologi Hukum Dalam Perkara Pidana (Sidoarjo: CV. Citra media, 2005), hlm. 129. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 273 di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, atau di Mahkamah Agung. Semakin banyak pengalaman hakim yang berpengaruh terhadap proses pengambilan keputusan. Hakim yang berpengalaman belajar tentang berbagai kasus yang dihadapinya. Putusan hakim yang berpengalaman berbeda dengan hakim yang kurang berpengalaman. Di samping hal-hal yang telah disebutkan di atas, maka menurut peneliti unsur lain yang ikut berpengaruh adalah kemampuan intektual dari hasil pendidikan hukum yang diperoleh oleh seorang hakim yang turut mempengaruhi mutu dari putusannya. Kemampuan intelektual sangat berhubungan dengan sistem pendidikan hukum yang diterima atau yang diperoleh selama hidup dan bekerjanya aparat penegak hukum termasuk hakim. Analisis kendala yang dihadapi untuk lahirnya dissenting opinion dalam putusan hakim Perbedaan pendapat hakim adalah suatu hal yang lumrah terjadi dan ada sejak dahulu. Sebenarnya perbedaan pendapat hakim (yang kini dikenal dengan istilah dissenting opinion), tidak bertentangan dengan hukum, hanya saja ketertutupan pihak pengadilan yang tidak mengakomodasinya secara terbuka untuk diketahui umum dan sifatnya tertutup atau rahasia, berpijak pada pengaturan Pasal 182 ayat (6) KUHAP yang kemudian ditindaklanjuti aturan intern MA, yang tertuang dalam Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung, mengatur bahwa dalam hal terdapat dua pendapat yang sama, bagi hakim yang kalah suara (minoritas) seyogianya menerima pendapat mayoritas, sedangkan yang kalah suara diharuskan menuliskan pendapatnya dalam sebuah buku (catatan hakim) khusus, yang dikelola oleh ketua Pengadilan Negeri dan bersifat rahasia. Ketertutupan pihak pengadilan yang senantiasa menutup-nutupi terhadap lahirnya sebuah putusan yang berbeda tidak termuat dalam putusan, menimbulkan kecurigaan masyarakat menganggap bahwa putusan tersebut dibuat, syarat dengan kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) atau rekayasa, masyarakat tidak pernah mengetahui apakah semua hakim dalam majelis tersebut terlibat KKN, atau ada diantara mereka yang bersih. Demikian pendapat responden hakim mengatakan bahwa pemakaian dissenting opinion di Indonesia, merupakan salah satu buah dari rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap dunia peradilan. Penggunaan dissenting opinion, dipandang sebagai cara mewujudkan kebebasan hakim untuk berbeda pendapat dan menghindari putusan rekayasa. Anggapan yang salah kalau ada hakim yang mengatakan bahwa dengan dimuatnya dissenting opinion bisa mengurangi legitimasi dari putusan hakim mayoritas. Pandangan demikian menurut para hakim dikarenakan masyarakat kurang terdidik untuk menerima putusan hakim. Menurut responden, dissenting opinion merupakan pembelajaran yuridis kepada masyarakat, agar dibangun kultur menerima putusan hakim, karena putusan hakim juga berfungsi sebagai “a tool of social angineering”17. Seharusnya putusan yang dibuat oleh hakim harus betul-betul murni, bebas dan bersih dari kekeliruan, kekhilafan, kekurangankekurangan atau kebohongan-kebohongan, sehingga tidak menimbulkan ketidakpastian hukum, putusan yang akan diambil oleh majelis hakim, merupakan putusan yang mantap dan baik sehingga dapat menimbulkan keharmonisan, keselarasan, dan keserasian.” Dari hasil wawancara terhadap responden hakim di Pengadilan Negeri Makassar, mereka kurang menggunakan sarana dissenting opinion. Sebagian besar hakim mengatakan, 17 Roscoe Poud., An Introduction to Philosophy of Law, (New Hoven: Yale university Press, 1954), hlm. 54. 274 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 tidak menyetujui putusan dilakukan dengan voting atau mayority decision yang melahirkan dissenting opinion. Sebagian besar hakim beranggapan adalah tidak adil bila suatu kasus kriminal menjatuhkan pidana kepada seorang, hanya didasarkan pengambilan suara secara voting karena menyatakan seorang bersalah haruslah berdasarkan terbukti tidaknya semua unsur delik yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk dijadikan dasar pengambilan keputusan oleh majelis hakim. Demikian pula dalam kasus perdata, semua persyaratan normatif yang secara eksplisit ditetapkan dalam undang-undang menjadi dasar untuk menerima atau menolak permohonan penggugat, merupakan kaidah bulat yang tidak boleh ditambah atau dikurangi dan diukur secara eksak-kuantitatif yang tidak sepatutnya terserpih-serpih untuk dijadikan dasar putusan yang diambil secara kuantitatif melalui voting. Terlebih lagi bagi responden hakim yang tidak menyetujui pengambilan putusan secara voting atau mayority decision atau split decision beranggapan setiap putusan yang tidak dipuasi dan diterima oleh para pihak dapat dilakukan upaya hukum, bila putusan pengadilan tingkat pertama tidak terima maka dapat dilakukan banding dan selanjutnya dapat dilakukan Kasasi atau PK di Mahkamah Agung. Pendapat responden hakim yang tidak menyetujui pengambilan putusan secara voting juga beranggapan bila ada perbedaan pendapat diantara majelis hakim, seyogyanya hal itu hanya urusan intern saja, masyarakat tidak perlu mengetahui, demi terciptanya konsistensi dan kepastian hukum, tanpa ada perbedaan pendapat yang tercantum secara utuh dalam putusan hakim, karena asasinya dalam pengambilan putusan selama ini sebagian besar responden hakim menginginkan suara bulat atas dasar musyawarah dan mufakat. Perlu ditegaskan, bahwa dissenting opinion baru bisa dimunculkan apabila pengambilan putusan didasarkan pada pemungutan suara (voting) yang akan menghasilkan suara mayoritas dan minoritas. Kalaupun dalam pemungutan suara mungkin saja dihasilkan suara bulat, suara bulat itu bukanlah hasil musyawarah mufakat, tetapi merupakan titik temu dari semua pendapat para hakim, dalam pengambilan putusan. Oleh karena itu jangan diharapkan dissenting opinion akan muncul jika pengambilan putusan didasarkan atas musyawarah mufakat sebab musyawarah mufakat itu pada akhirnya akan menghasilkan suara bulat tanpa dapat diketahui pendapat individual dari hakim-hakim yang ikut dalam pengambilan putusan tersebut. Menurut responden hakim yang menyetujui dissenting opinion ataupun concurring opinion yang tertuang dalam berbagai undang-undang yang mengatur kekuasaan kehakiman di Indonesia, merupakan bentuk pengakuan, penghormatan, dan perlindungan atas hak-hak asasi dari seorang hakim yang merdeka, khususnya hak setiap orang atas kebebasan untuk mengeluarkan pikiran dan pendapat, kebebasan untuk meyakini dan menyatakan pikiran dan pendapatnya tanpa campur tangan dari pihak lain, seperti yang diamanatkan dalan Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945. Dengan kata lain dissenting opinion atau concurring opinion pada hakikatnya merupakan perwujudan dari hak-hak asasi manusia. Oleh karena itu, pengakuan atas dissenting opinion dalam sistem peradilan, akan amat kondusif di negara-negara yang menjunjung tinggi atas pengakuan, penghormatan, dan perlindungan hak-hak asasi manusia. Dalam bidang peradilan, masyarakatpun akan menerima perbedaan pendapat antara para hakim dalam pengambilan putusannya sebagai hal yang biasa saja, seperti halnya perbedaan pendapat antara dua orang atau lebih mengenai suatu hal pada umumnya. Sebagai hal yang baru, dissenting opinion nampaknya dalam praktik jarang dilakukan dilakukan oleh hakim di Indonesia terutama hakim-hakim yang berada di bawah naungan Mahkamah Agung. Beberapa faktor penyebabnya, menurut para hakim dalam wawancara kepada peneliti (November 2011) antara lain disebabkan oleh beberapa faktor, yakni: Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 275 Pertama, peradilan di Indonesia telah puluhan tahun menerapkan asas musyawarahmufakat dalam proses pengambilan putusan, jadi sama sekali tidak terbiasa untuk memunculkan perbedaan pendapat ke permukaan dalam bentuk dissenting opinion. Dengan kata lain, dissenting opinion merupakan barang baru yang masih asing bagi sebagian hakim Indonesia. Sebagai sesuatu yang baru dan asing, tentulah tidak mudah bagi para hakim Indonesia untuk mengadopsinya. Dibutuhkan proses yang mungkin cukup lama, supaya benar-benar membudaya di kalangan para hakim di Indonesia. Kedua, masih kuatnya budaya paternalistik dan sikap “ewuh-pakewuh” (tenggang rasa) ataupun budaya feodal lainnya maupun faktor ikatan struktural seperti senior-yunior, jabatan struktural, atasan-bawahan, perbedaan usia, dan lain sebagainya yang tampaknya juga menghinggapi sebagian hakim, jelas kondisi seperti ini menyebabkan tidak kondusif bagi adanya perbedaan pendapat secara terbuka. Ada hakim yang lebih senior ataupun ketua pengadilannya yang tidak boleh disanggah pendapat atau kehendaknya oleh hakim-hakim bawahannya, sehingga hakim bawahannyapun tidak mau mengungkapkan pendapatnya yang berbeda meskipun mungkin lebih mendekati kebenaran dan keadilan, sebab mereka takut akan menghadapi hambatan-hambatan dalam karir, promosi jabatan, dan lain sebagainya. Belum lagi bila seorang hakim menyatakan berbeda pendapat, ia akan dimusuhi oleh teman sejawat dan koleganya karena dianggap mau menonjolkan diri dari beda pendapatnya, dan lain lain alasan penekan lainnya. Ketiga, merupakan faktor yang bersifat teknis yang juga turut menghambat adalah pekerjaan hakim dalam memeriksa perkara yang jumlahnya sangat banyak, terutama di MA yang jumlahnya dapat mencapai ribuan, yang tentu saja membutuhkan waktu, pikiran, dan tenaga yang cukup besar. Apalagi para hakim selama ini bekerja berdasarkan target jumlah perkara yang harus diselesaikan dalam jangka waktu tertentu demi menuntaskan penumpukan perkara yang semakin lama semakin banyak, yang penyelesaiannya didasarkan atas suatu target waktu tertentu. Dalam kondisi seperti ini tentu saja aspek kualitas menjadi terabaikan. Tentu saja ini mengurangi kesempatan bagi hakim untuk menelaah literaturliteratur hukum terkini untuk mengembangkan kemampuan dan keahlian hukumnya. Tidak dapat disangkal, bahwa untuk dapat mengambil putusan maupun mengemukakan dissenting opinion yang berkualitas, haruslah didukung oleh penguasaan ilmu dan keahlian dalam bidang hukum yang memadai. Sangat kecil dapat diharapkan putusan maupun dissenting opinion yang berkualitas dari hakim-hakim yang tidak memiliki integritas pribadi dan kualitas intelektual yang memadai. Keempat, sebagian besar hakim di Indonesia sudah dihinggapi penyakit rutinitas yang tentunya dapat menghambat kreatifitas. Dalam kondisi seperti ini, seorang hakim seperti halnya setiap manusia pada umumnya, sudah berada pada titik jenuh. Dalam kondisi rutinitas tersebut sangat kecil dapat diharapkan juwa dan semangat kreatif, termasuk kreatif dalam melakukan terobosan-terobosan hukum melalui penalaran dan argumentasi hukum yang berkualitas tinggi yang dituangkan dalam putusan maupun dissenting opinion . Untuk dapat keluar dari rutinitas ini dibutuhkan suatu perubahan situasi dan kondisi sehingga mulai dapat memunculkan kreatifitas baru, termasuk dalam pengembangan ilmu pengetahuan hukumnya baik melalui pelatihan-pelatihan dan pendidikan hukum lanjutan. Kelima, sebagian lagi ada hakim yang sudah tidak peduli dengan pengembangan diri. Pengembangan hukumnya hanya berkisar pada yang itu-itu saja, menganggap putusan yang dibuatnya hanya sekadar corong undang-undang yang tidak boleh ditafsirkan lain selain apa yang ditetapkan undang-undang, akhirnya putusan yang dibuat tidak berkualitas. Ada pula hakim yang sudah merasa “mentok” dan tidak ada lagi kesempatan untuk menduduki jenjang jabatan ataupun karir yang lebih tinggi lagi, bahkan jika tidak lama lagi akan memasuki masa pensiun, maka hakim-hakim lebih siap memikirkan masa pensiunnya, 276 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 ketimbang memperdalam ilmu pengetahuan hukumnya. Keenam, diantara para hakim tersebut ada yang tidak tahu dan tidak mampu dalam mengungkapkan pikiran dan pendapatnya secara tertulis disebabkan karena tidak terbiasa untuk menulis karya-karya ilmiah, meskipun sudah terbiasa menulis atau menuangkan pikiran dan pendapatnya dalam putusan-putusan atas perkara yang diperiksa dan diputuskannya. Sebenarnya jika putusan-putusan hakim itu dibuat dengan argumentasi ilmiah yang berbobot tinggi, hal ini tidaklah merupakan masalah, sebab pada hakikatnya menuangkan pikiran dan pendapat dalam bentuk karya ilmiah baik dalam bentuk makalah atau buku-buku ilmiah, pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan menuangkan pikiran dan pendapat hukum dalam bentuk putusan hakim. Untuk dapat benar-benar menuliskan karya ilmiah maupun membuat putusan yang baik dan berkualitas memang dibutuhkan kemampuan ilmiah yang memadai. Ketujuh, berkaitan dengan sikap mental dan perilaku tercela dari segelintir hakim yang tidak merasa malu menerima suap, memperdagangkan putusannya kepada pihakpihak yang berperkara merusak citra kekuasaan kehakiman yang mandiri. Sudah jelas sikap mental seperti ini jelas-jelas bertentangan dengan hukum dan kode etik hakim. Dapat dipastikan, bahwa dari hakim-hakim seperti ini tidak akan diharapkan putusan maupun dissenting opinion yang memiliki bobot ilmiah yang memadai. Kedelapan, publik atau masyarakat Indonesia hingga kini nampaknya belum terbiasa dengan perbedaan pendapat dalam kehidupan sehari-hari, kecuali dikalangan yang amat terbatas. Merekapun akan sukar memahami mengapa ada anggota majelis hakim yang berbeda pendapat dengan mayoritas anggota lainnya yang dituangkan dalam bentuk dissenting opinion. Mereka masih asing dengan dissenting opinion dalam putusan hakim, sebab pada waktu-waktu sebelumnya memang tidak pernah diperkenalkan dan diperkenankan. Oleh sebab itu, dissenting opinion ini perlu disosialisasikan hingga lama kelamaan masyarakat dapat menerimanya, masyarakat dapat ditumbuhkan kultur hukum untuk menerima perbedaan pendapat hakim dalam memutus perkara sekaligus masyarakat dididik untuk menghormati putusan hakim”. Dengan diakomodasinya dissenting opinion dan concurring opinion, diharapkan dari putusan hakim dapat menjadi tonggak penyelenggaraan peradilan yang independen, bersih dan berwibawa sebagai prasyarat good governance ditengah sorotan tajam masyarakat terhadap lembaga peradilan yang sudah berada di bawah titik nadir, berhubung putusan hakim yang dianggap tidak adil dan diskriminatif, demikian pendapat responden Hakim (wawancara November 2011), sehingga manfaat dissenting opinion menurut mereka antara lain: Pertama, memang harus diakui, bahwa tidak dalam setiap pengambilan putusan anggota majelis hakim akan berbeda pendapat ataupun, jika ada yang berbeda pendapat, mereka tidak dengan sendirinya akan mengeluarkan dissenting opinion. Namun dengan diakuinya dissenting opinion ini, menimbulkan kelegaan, karena selama ini pendapat dan keinginan seolah terpendam hanya dalam hati. Demikian pula dissenting opinion akan menjadi mekanisme kontrol internal dalam diri majelis hakim pada khususnya dan badan peradilan pada umumnya. Pendapat yang berbeda itu akan dipersandingkan satu dengan lainnya, sehingga mereka akan dapat menilai apa kelebihan dan kekurangan dari pendapat yang berbeda tersebut dibandingkan dengan pendapat mayoritas dalam pengambilan putusan atas suatu perkara yang diperiksa dan diputuskan. Masing-masing hakim akan mengantisipasi pendapat dari koleganya, sehingga akan terdorong untuk memberikan pendapatnya secara ilmiah disertai dengan argumentasi-argumentasi yuridis dan non yuridis yang kuat untuk mendukung pertimbangannya. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 277 Kedua, dari sisi lain, publik pun termasuk para pihak yang terkait dalam perkara akan dapat mengetahui dan menilai sejauh mana kualitas dan integritas dari sang hakim, baik melalui putusan-putusannya maupun dissenting opinion tersebut serta dapat membandingkan antara keduanya. Pengetahuan dan penilaian publik ini, tentu saja tetap dalam kerangka penghormatan terhadap hak asasi manusia dari masing-masing hakim, yakni hak untuk menyatakan pikiran dan pendapatnya, tanpa ada unsur sentimen terhadap pribadinya atau pertimbangan-pertimbangan primordial lainnya. Ketiga, dari segi pengembangan ilmu hukum, dissenting opinion inipun dapat memperkaya khasanah ilmu hukum, sebab pendapat individual hakim yang berbeda (dissenting opinion) dapat disejajarkan dengan pendapat para ahli (doktrin) yang dalam ilmu hukum diakui sebagai salah satu sumber hukum dalam arti formal. Dissenting opinion inipun seperti halnya putusan, seringkali diikuti para ahli hukum, baik dalam melakukan anotasi atas putusan-putusan hakim maupun dalam makalah-makalah ilmiah. Untuk itu pemuatan dissenting opinion dalam putusan sangat diperlukan, agar masyarakat dapat mengetahui bahwa dalam penanganan suatu perkara yang lalu sudah ada pemikiran dari seorang hakim mengenai perkara tersebut, walaupun kalah suara dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, bukan tidak mungkin dalam perkembangannya justru berpendapat berbeda itulah yang benar, yang kemudian akan membentuk keyakinan dari para pencari keadilan dan dapat diterima di kalangan akademisi. Dalam praktiknya dibeberapa negara, dalam beberapa hal, belum tentu putusan yang secara formal mengikat (pendapat mayoritas hakim) lebih baik dan lebih berkualitas dibandingkan dengan dissenting opinion (pendapat minoritas hakim). Terbuka adanya kemungkinan, bahwa dissenting opinion itu sendiri justru dapat lebih berpengaruh dan diterima oleh masyarakat luas yang kemudian berkembang menjadi kaidah hukum kebiasaan yang berlaku umum. Bukan tidak mungkin dalam perkara serupa dimasa yang akan datang, justru “dissenting opinion” yang diikuti, dan pendapat mayoritas (yang menjadi putusan) ditinggalkan. Putusan hakim juga dapat menjadi sarana pendidikan bagi masyarakat guna meningkatkan pemahaman mereka atas hak dan tanggungjawab serta peran teknis dari lembaga peradilan dalam suatu negara hukum demi terwujudnya Good Justice Governance.18 PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan pembahasan dan hasil analisis terhadap setiap pokok permasalahan dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: a. Dalam beberapa aturan hukum dalam lingkungan kekuasaan kehakiman telah mengakomodasi doktrin dissenting opinion. Pemuatan doktrin ini tidak lain merupakan bentuk pengakuan, penghormatan, dan perlindungan atas hak-hak asasi dari seorang hakim yang merdeka, khususnya hak setiap orang atas kebebasan untuk mengeluarkan pikiran dan pendapat, kebebasan untuk meyakini dan menyatakan pikiran dan pendapatnya tanpa campur tangan dari pihak lain, seperti yang diamanatkan dalan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945. b. Lahirnya dissenting opinion atau pendapat yang berbeda dari seorang hakim tidak terlepas dari aspek hukum empiris baik sosiologis maupun psikologis,antara lain: (1). Kemampuan berpikir logis, (2). Kepribadian, (3). Jenis kelamin, (4). Usia, (5) pengalaman kerja dan pendidikan hukum. 18 Philipus M. Hadjon, Pemerintahan Menurut Hukum (Wet-en Rechtmatig Bestuur), (Surabaya: Yuridika, 1993), hlm. 3. 278 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 c. Pemuatan dissenting opinion sebenarnya tidak bertentangan dengan hukum, hanya saja ketertutupan pihak pengadilan yang tidak mengakomodasinya secara terbuka untuk diketahui umum dikarenakan aturan intern yang dikeluarkan oleh MA. Di sisi lain peradilan di Indonesia telah puluhan tahun menerapkan asas musyawarahmufakat dalam proses pengambilan putusan, jadi sama sekali tidak terbiasa untuk memunculkan perbedaan pendapat ke permukaan dalam bentuk dissenting opinion, juga masih kuatnya budaya paternalistik dan sikap “ewuh-pakewuh” (tenggang rasa) ataupun budaya feodal lainnya maupun faktor ikatan struktural seperti senior-yunior, jabatan struktural, atasan-bawahan, perbedaan usia, dan lain sebagainya. Saran a. Mengembangkan kultur egaliter di lingkungan kerja hakim, menumbuhkan sikap professional untuk menempatkan diri sederajat tanpa dibatasi sekat-sekat, seperti status dan kedudukan sosial, melainkan atas perilaku dan karya-karyanya yang nyata dalam menjalankan tugasnya. Hakim hendaknya menggunakan nilai solidaritas secara proporsional dengan menempatkan solidaritas korps (kolegial) di bawah solidaritas universal (kemanusiaan). b. Dalam membuat putusan, hakim harus berani melepaskan diri dari belenggu undangundang. Hakim dapat berpandangan legalistik tetapi tidak boleh legistik, maksudnya putusan yang dibuat harus berdasarkan hukum tetapi tidak boleh kaku hanya sekadar corong undang-undang, namun lebih memaknai Perintah Pasal 28 UU No. 4 Tahun 2004 (UUKK) yang menyebutkan “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. c. Harus ditumbuhkan budaya hukum pada hakim untuk menerima perbedaan pendapat dalam memutus perkara dengan pembekalan mengenai Hak-hak asasi manusia. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 279 DAFTAR PUSTAKA Achmad, Ali, 2002. Menguak Tabir Hukum, Jakarta: PT. Toko Gunung Tbk. Bartol, Curt .R. & Bartol, Anne M, 1983, Psychology and American Law, Belmont, California: Wadsworth Publishing. Kapardis, Andreas, 1997. Psychology and Law:A Critical Introduction, United Kingdom, Cambridge: University Press. M. Laica Marzuki, 2008, Dari Timur Ke Barat Memandu Hukum: Pemikiran Hukum Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi, Prof. Dr. H. Laica Marzuki, Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Philipus M. Hadjon, 1993, Pemerintahan Menurut Hukum (Wet-en Rechtmatig Bestuur), Surabaya: Yuridika. Pound, Rocoe, 1954, An Introduction To Philosophy of Law, New Hoven: Yale university Preeess. Satjipto, Rahardjo, 1979. Hukum dan Perubahan Sosial, Bandung: Alumni. Shidarta, 2006, Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks KeIndonesiaan, Bandung: CV. Utomo. Soerjono, Soekanto, 1993. Beberapa Catatan Tentang Psikologi Hukum, Bandung: Citra Aditya Bhakti. Sudikno, Mertokusumo, 1998. Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty. Wrightman, Lawrence S, 1982. Psychology and The Legal System, Second Edition, Pasific Grove, California: Brooks/Cole Publishing Company. Yusti, P.R., 2005, Di Balik Putusan Hakim: Kajian Psikologi Hukum Dalam Perkara Pidana, Sidoarjo: C.V.Citramedia. Raimond, Ali, PemantauPeradilan.Com. Kompas, 1 Maret 2004, M. Hadi Subhan: “Dissenting Opinion Putusan Akbar”. Kompas, 10 April 2004, Artidjo Alkostar: “Di Manakah Pendidikan Hukum?” Kompas, 7 Juli 2007, Tajuk Rencana: “Rasa Keadilan Masyarakat Terganggu”. 280 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 PENATAAN STRUKTUR ORGANISASI PERANGKAT DAERAH (PASCA BERLAKUNYA PP NO. 41 TAHUN 2007) Aswiwin Sirua Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 PENATAAN STRUKTUR ORGANISASI PERANGKAT DAERAH (PASCA BERLAKUNYA PP NO. 41 TAHUN 2007) Oleh: Aswiwin Sirua Fakultas Hukum Universitas Indonesia Timur Jl. Rappocini Raya No. 171-173, Makassar, Sulawesi Selatan E-mail: [email protected] Abstract Issuance of PP. 41 Year 2007 on Organization of the regional as the mandate of the Law no. 32 Year 2004 regarding Regional Government is a government policy that seeks to maximize the performance of local government officials at provincial and district government/city. As the main purpose of the PP. 41 in 2007 is saving a rich structure function means that the institutional structure of the region economically and has sought extensive functionality, so there is no overlap in the distribution of tasks, and can suppress the field of financing so as to provide optimal service to the community and can realize the people’s welfare. Keywords: Structuring, the Regional Abstrak Dikeluarkannya PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah sebagai amanat dari UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan suatu kebijakan pemerintah yang berusaha untuk memaksimalkan kinerja aparat pemerintah daerah Provinsi maupun pada pemerintah daerah Kabupaten/Kota. Sebagaimana tujuan utama dari PP No. 41 Tahun 2007 adalah hemat struktur kaya fungsi artinya bahwa struktur kelembagaan daerah diupayakan sehemat mungkin dan mempunyai fungsi luas, sehingga tidak terjadi tumpang tindih dalam pembagian tugas, serta dapat menekan dibidang pembiayaan sehingga dapat memberikan pelayanan pada masyarakat yang optimal dan dapat mewujudkan kesejahteraan rakyat. Kata Kunci: Penataan, Perangkat Daerah Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 PENDAHULUAN Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada dasarnya menganut paham pemisahan dan pembagian kekuasaan, sebagaimana yang tercermin dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD NRI 1945) yang memisahkan secara horisontal antara kekuasaan eksekutif (pemerintah), legislatif (DPR) dan yudikatif (peradilan). Serta pembagian kekuasaan secara partikal sebagaimana yang tertuang dalan Pasal 18 UUD NRI 1945 mengenai pemerintahan daerah dengan membagi wilayah Negara Kesatuan RI menjadi Daerah-daerah Provinsi, dan selanjutnya membagi daerah-daerah Provinsi menjadi satuan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Ini prinsip desentralisasi yang dianut dalam pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Walaupun pada dasarnya kita menganut prinsip desentralisasi, namun tidak sepenuhnya semua kewenangan/urusan pemerintahan diserahkan kepada Daerah, melainkan ada beberapa kewenangan yang secara mutlak tetap merupakan kewenangan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, karena eksternalitas dan sifatnya tidak bisa lain harus dilakukan oleh kekuasaan pemerintahan negara. Oleh karena itu, di dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia asas desentralisasi dan sentralisasi bisa dibedakan, tetapi tidak bisa dipisahkan dan keduanya tidak merupakan dikotomi, karena baik desentralisasi, maupun sentralisasi keduanya merupakan species dari genus NKRI. Secara teoritik Pemerintah Daerah mempunyai dua arti, yaitu arti luas (broad sense) dan arti sempit (narrow sense). Dalam arti luas, Pemerintahan Daerah terdiri atas Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daearah. Sedangkan dalam arti sempit Pemerintah Daerah hanya Kepala Daerah saja. Prinsip lain yang perlu mendapat perhatian dalam rangka pembagian wewenang antara Pemerintah Pusat dan Daerah, bahwa sebagian kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada daerah dalam rangka melaksanakan asas desentralisasi adalah kewenangan yang berasal dari Presiden. Artinya, tidak ada lembaga negara lainnya, seperti MPR, DPR, MA, BPK dan lain-lain yang menyerahkan sebagian kewenangannya kepada Daerah otonom. Konstruksi perwilayahan yang diatur didalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menempatkan provinsi sebagai daerah otonom sekaligus sebagai wilayah administrasi. Pengaturan yang demikian ini berarti bahwa antara provinsi dan kabupaten dan kota mempunyai keterkaitan dan hubungan hirarkis satu sama lain, baik dalam arti status kewilayahan maupun dalam sistem dan prosedur penyelenggaraan pemerintahan. Pemberian otonomi kepada daerah merupakan penjabaran dari Pasal 18 UUD 1945, yang diimplementasikan ke dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintah daerah, yang telah digantikan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Nilai dasar yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pada Pasal 10 ayat (3) yakni pemberian keleluasaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah berupa kewenangan menyelenggarakan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pmerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan dalam batas-batas kedaulatan negara, terkecuali kewenangan dalam bidang yang menjadi urusan pemerintah yakni: (1) politik luar negeri, (2) pertahanan, (3) keamanan, (4) yustisi, (5) moneter dan fiskal, (6) serta agama yang merupakan kewenangan pemerintah pusat. Pembagian urusan pemerintahan ini, didasarkan pada pemikiran bahwa selalu terdapat berbagai urusan pemerintahan yang sepenuhnya dan atau tetap menjadi kewenangan pemerintah karena urusan pemerintah tersebut menyangkut terjaminnya kelangsungan 284 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 hidup bangsa dan negara secara keseluruhan, maka bidang-bidang lain diluar pengaturan Pasal 10 ayat (3) merupakan urusan pemerintah daerah. Dalam rangka pelaksanaan prinsip otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab, sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah, pemerintah daerah, provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota. Perubahan pola sistem pemerintahan di Indonesia dari sentralistik menjadi pola desentralisasi, diharapkan dapat memberikan banyak manfaat pada kemajuan daerah yaitu diberikannya keleluasaan dan kemandirian kepada daerah untuk mengatur dan mengelola urusan rumah tangganya sesuai dengan kewenangannya, di samping kewajibannya untuk menghormati hak-hak dan asal usul daerah serta nilai-nilai budaya daerah sesuai amanah konstitusi. Prinsip secara nyata, bahwa setiap daerah memiliki potensi untuk merealisasikan isi dari jenis otonomi yang dilimpahkan karena isi dan jenis otonomi bagi daerah tidak selalu sama dengan daerah lain dan dalam penyelenggaraannya haruslah benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi atau dapat dipertanggung jawabkan pelaksanannya. Dalam rangka mewujudkan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab sebagai kecenderungan utama dalam reformasi yang berkaitan dengan pelaksanaan urusan pemerintahan daerah maka pemerintah daerah dapat melakukan penataan organisasi perangkat daerah, dan penataan relokasi personil sebagai wujud pemberdayaan birokrasi yang efesian dan efektif sebagai tindak lanjut dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan melalukan penyelenggaraan otonomi daerah yang lebih memperhatikan pada potensi (sumber daya manusia atau penduduk, wilayah, anggaran pendapatan dan belanja daerah) serta keaneka ragaman dan atau karasteristik daerah. Oleh karena itu, dalam rangka memberdayakan dan memandirikan daerah dalam menjalankan pemerintahannya sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, maka pensyaratan yang paling penting yang harus dipenuhi dalam melaksanakan otonomi didaerah maka diperlukan struktur kelembagaan organisasi perangkat daerah yang adaptif serta adanya sumber daya manusia atau aparatur birokrasi daerah yang memiliki kemauan (willingness) dan kemampuan (capability) dalam mengembangkan kreativitas di dalam menggali, mengembangkan, serta mengelola sumber-sumberdaya alam (SDA) dan sumber daya buatan (SDB) guna mencapai tujuan memandirikan daerah guna mensejahterakan rakyat. Penataan struktur organisasi perangkat daerah sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 sebagai berikut: Pasal 1 ayat (2): Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 1 ayat (3): Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Pasal 1 ayat (7): Perangkat daerah provinsi adalah unsur pembantu kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang terdiri dari sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah dan lembaga teknis daerah. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 285 Pasal 2 ayat (1): Pembentukan organisasi perangkat daerah ditetapkan dengan peraturan daerah dengan berpedoman pada peraturan pemerintah ini. Pasal 2 ayat (2): Peraturan daerah adalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengatur mengenai susunan, kedudukan, tugas pokok organisasi perangkat daerah. Dengan demikian kebijakan dalam penataan struktur organisasi perangkat daerah diatur dalam Peraturan Daerah. Pada tingkat daerah provinsi, maka diatur dalam bentuk Peraturan Daerah Provinsi dan diatur dalam bentuk Peraturan Daerah Kabupaten/Kota apabiula di tingkat Kabupaten/Kota. Peraturan daerah tersebut diharuskan berpedoman atau berdasar pada Peraturan Pemerintah. Sebagimana telah diisyaratkan dalam pedoman organisasi perangkat daerah yang berdasarkan karakteristik, potensi dan kebutuhan disertai analisis jabatan dan kemempuan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) masingmasing daerah, baik provinsi maupun kabupaten dan kota diselaraskan dengan beban kerja dan kebutuhan dengan memperhatikan prinsip ”hemat struktur, dan kaya fungsi”. Namun dalam kenyataannya yang pertama, bahwa dalam pengaturan struktur organisasi perangkat daerah sebagaimana yang telah dipertegas dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah, baik daerah provinsi maupun kabupaten kota mempunyai hak dan kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan sehingga kehadiran PP No. 41 Tahun 2007 bertentangan dengan asas otonomi, yang membatasi ruang gerak daerah untuk berinovatif guna kelancaran penyelenggaraan pemerintahan daerah khususnya dalam bidang pelayanan kepada masyarakat. Kedua yang terjadi adalah bahwa dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah khususnya pada Provinsi Sulawesi Selatan dalam hal penerapan PP No. 41 Tahun 2007 tentang organisasi Perangkat Daerah belum berjalan secara optimal, sebagaimana dicontohkan,1 Gubernur Sulawesi Selatan, setengah hati menerapkan PP 41 Tahun 2007 tentang organisasi perangkat daerah. Selanjutnya menurut beliau, walaupun berjanji akan menerapkan PP tersebut namun beliau memastikan tidak menggabung tiga dinas seperti yang diatur dalam PP tersebut. Dari pernyataan tersebut, dapat dilihat adanya pertentangan atau beda persepsi antara pemerintah pusat sebagai mana yang telah dituangkan kedalam Peraturan Pemerintah dengan pemerintah daerah dalam hal ini Gubernur mengenai penataan struktur organisasi perangkat daerah. Dan hal tersebut di atas, bisa terjadi di daerah provinsi lain maupun daerah kabupaten dan kota. Selanjutnya yang ketiga, sebagaimana yang telah dikemukakan bahwa dalam hal pembentukan organisasi perangkat daerah ditetapkan dengan peraturan daerah. Sejalan dengan pernyataan diatas sebagaimana yang telah dilakukan oleh pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan ada dugaan bahwa peraturan daerah (perda) yang dimaksud dalam penetapan organisasi perangkat daerah terjadi pelanggaran atau tidak berpedoman kepada peraturan pemerintah bahkan dengan kemunculan peraturan menteri dalam negeri (PERMENDAGRI) No. 57 Tahun 2007, tentang petunjuk teknis dan pelaksanaan organisasi perangkat daerah membuat semakin carut marutnya penerapan Struktur organisasi Perangkat Daerah Tersebut. dikarenakan Perturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 dan peraturan menteri dalam negeri dengan Peraturan Daerah yang menetapkan organisasi perangkat daerah yang dikeluarkan dalam hal in pemerintah daerah provinsi sulawesi selatan saling bertentangan. Dalam arti bahwa peraturan yang lebih rendah bertentangan dengan peraturan 1 Dikutip: Harian Fajar, 4 September 2009. 286 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 yang lebih tinggi (lex superior derogat legi imferiori). RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan diteliti adalah sebagai berikut: 1. Sejauhmanakah pengaturan struktur organisasi perangkat daerah sejalan dengan desentralisasi kewenangan daerah? 2. Sejauhmanakah pelaksanaan struktur organisasi perangkat daerah di Provinsi Sulawesi Selatan? 3. Sejauhmanakah konsekuensi yuridis pengaturan struktur organisasi perangkat daerah menurut peraturan perundang-undangan? METODE PENELITIAN Bentuk dan Pendekatan Adapun penelitian ini dapat digolongkan dalam penelitian yuridis-normatif atau doktrinal. Disebut yuridis-normatif, karena lebih mengarahkan obyek penelitian pada problematika peraturan perundang-undangan di bidang otonomi daerah umumnya, dan khususnya dalam pengaturan dan pelaksanaan struktur organisasi perangkat daerah. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini mencakup pendekatan yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku (statuta approach). Sumber Data Berdasarkan pada pendekatan yang digunakan, maka dapat ditentukan sumber data penelitian ini, yaitu sumber data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan dan aturan kebijakan yang berkaitan dengan obyek penelitian, yaitu pengaturan dan pelaksanaan struktur organisasi perangkat daerah. Sedangkan bahan hukum sekunder adalah buku literatur hukum, jurnal hukum yang berisi pendapat para sarjana hukum yang mempunyai kualifikasi tinggi (doktrin) dan berkaitan dengan obyek penelitian. Teknik Pengumpulan Data Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini akan dikumpulkan melalui kegiatan penulusuran terhadap bahan-bahan hukum primer yang meliputi peraturan perundangundangan yang berhubungan dengan pengaturan dan pelaksanaan struktur organisasi perangkat daerah. Sedangkan bahan hukum sekunder akan dikumpulkan melalui bacaan literatur hukum yang berisi teori-teori hukum dan konsep hukum. Untuk melengkapi bahan-bahan hukum sebagai sumber data sekunder, akan dilakukan wawancara, dengan pihak-pihak yang peneliti anggap memiliki kompetensi atau pengetahuan yang mendalam di bidang hukum tata negara, khususnya yang berkaitan dengan persoalan pengaturan dan pelaksanaan struktur organisasi perangkat daerah. Wawancara ini dilakukan dengan metode terstruktur, dengan menggunakan daftar pertanyaan, tetapi dengan catatan pokok permasalahan yag disampaikan. Catatan pokok ini digunakan sebagai pedoman dan alat kontrol mengenai relevan atau tidaknya data yang terkumpul. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 287 Teknik Analisis Data Setelah bahan-bahan hukum berhasil dikumpulkan dengan menggunakan teknik yang telah ditetapkan di atas, kemudian dilakukan sistemanisasi bahan hukum tersebut, diidentifikasi bahan hukum sesuai dengan kelompok permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini. Kemudian dicari interprestasi, selanjutnya dianalisis dengan analisis hukum (legal opinion) dalam bentuk argumen hukum dan dilengkapi dengan kajian teoritiknya. Teknik analisis semacam ini dikenal dalam penelitian ilmu-ilmu sosial dengan metode deskriptif analisis. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Konsep Negara Hukum Dalam kepustakaan Indonesia, menurut Azhary,2 istilah negara hukum merupakan terjemahan langsung dan rechtsstaat. Selain itu juga negara hukum disamakan artinya dengan rule of law. Namun dalam kenyataannya, terjadi perbedaan pendapat di antara para pakar tentang ketiga istilah tersebut. Ada yang menganggap bahwa istilah negara hukum sama artinya dengan rechtsstaat dan rule of law, namun di lain pihak ada juga yang menganggap bahwa istilah negara hukum tidak dapat dipersamakan dengan istilah rechtsstaat dan rule of law. Jika melihat unsur dan ketiga istilah tersebut, maka akan nampak persamaan semangat yang menginginkan pembatasan kekuasaan sehingga tidak terjadi kesewenang-wenangan, terjaininnya hak asasi manusia, dan terjaininnya suatu peradilan yang bebas dan mandiri. Oleh karena itu, pada hakikatnya, ketiga istilah itu dapat dipersamakan. Teori negara berdasarkan hukum secara esensi bermakna bahwa hukum adalah ‘supreme’ dan kewajiban bagi setiap penyelenggara negara atau pemerintahan untuk tunduk pada hukum (subject to the law). Tidak ada kekuasaan di atas hukum (above the law), semuanya ada di bawah hukum (under the rule of law). Dengan kedudukan ini tidak boleh ada kekuasaan yang sewenang-wenang (arbitrary power) atau penyalahgunaan kekuasaan (inisuse of power).3 “Konstitusi merupakan penyusunan jabatan dalam suatu negara, dan menentukan apa yang dimaksudkan dengan badan pemerintahan dan apa akhir dari setiap masyarakat, konstitusi merupakan aturan-aturan, dan penguasa harus mengatur negara menurut aturan-aturan tersebut.” Lebih lanjut, menurut Ellydar Chaidir,4 bahwa ide tentang negara hukum ini menghilang serta ditinggalkan orang, dan kembali muncul di Barat pada awal abad XVII. Timbulnya kembali pemikiran tentang negara hukum ini disebabkan karena kondisi dan situasi yang kurang lebih sama dengan kondisi dan situasi yang ada pada saat Plato dan Aristoteles mengemukakan ide tentang negara hukum, yaitu merupakan reaksi terhadap kekuasaan yang absolut. Pemikiran-pemikiran yang muncul pada abad XVII ini, merupakan embrio konsep negara hukum yang di abad XIX makin berkembang dan mengilhami pemikiran Locke, Montesquieu, dan Rousseau. Pengaturan dalam pembentukan struktur organisasi perangkat daerah sebagaimana yang tertuang didalam Pasal 120 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menjelaskan tentang perangkat daerah disebutkan pada ayat (1) bahwa perangkat daerah provinsi terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, dan lembaga 2Azhary, Negara Hukum Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1995), hlm. 30. 3 Sumali. Reduksi Kekuasaan Eksekutif di Bidang Peraturan Pengganti Undang-Undang (PERPU), (Malang: UMM Press, 2002), hlm. 11. 4 Ellydar Chaidir. Hubungan Tata Kerja Presiden dan Wakil Presiden, Perspektif Konstitusi, (Yogyakarta: UII Press, 2001), hlm. 21. 288 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 teknis daerah. Selanjutnya pada ayat (2) dikemukakan bahwa perangkat daerah kabupaten/ kota terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, lembaga teknis daerah, kecamatan dan kelurahan. dari bunyi Pasal tersebut dapat dilihat bahwa dalam setiap provinsi hanya bisa membentuk sebanyak 4 (empat) lembaga sebagaimana yang telah disebutkan diatas sedangkan kabupaten/kota bertambah 2 (dua) lembaga lagi yang bisa dibentuk yaitu kecamatan dan kelurahan. Lebih lanjut, pada ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004, disebutkan bahwa susunan organisasi perangkat daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dalam peraturan daerah dengan memperhatikan faktor-faktor tertentu dan berpedoman pada Peraturan Pemerintah. Selain itu, pada Pasal 128 ayat (2) menyebutkan bahwa pengendalian organisasi perangkat daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pemerintah untuk provinsi dan oleh Gubernur untuk kabupaten/kota dengan berpedoman pada peraturan pemerintah. Dan di Pasal 120 ayat (3) bahwa formasi dan persyaratan jabatan perangkat daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah. Sebagaimana menurut Widjaja,5 hal ini dimaksudkan untuk memberikan kekuasaan yang luas kepada daerah untuk menetapkan kabutuhan organisasi sesuai dengan penilaian masing-masing daerah, sehingga diharapkan daerah dapat menyusun organisasi perangkat daerah dengan mempertimbangkan kewenangan, karakteristik, potensi, dan kabutuhan, kemampuan keuangan, ketersediaan sumber daya aparatur serta pengembangan pola kerja sama antar daerah dan atau dengan pihak ketiga. Setelah UU No. 32 Tahun 2004 ditetapkan dan diberlakukan, maka sampai pada tahun 2007, PP No. 8 Tahun 2003 masih tetap berlaku. Hingga pada tanggal 23 Juli 2007 kembali Pemerintah Indonesia menetapkan dan memberlakukan PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi perangkat daerah dan sekaligus menyatakan bahwa PP No. 8 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. PP No. 41 Tahun 2007 sangat berbeda dengan peraturan sebelumnya, mulai dari nomenklatur dan substansi yang ada dalam peraturan tersebut, dimana dalam PP No. 41 Tahun 2007 tersebut sangat jelas dan gamblang menyebutkan mulai dari variabel dalam membentuk organisasi perangkat daerah, klasifikasi dan jumlah yang akan dibentuk oleh daerah serta penilaian standar dan maksimal dalam pembentukan organisasi perangkat daerahnya. Dalam hal untuk mengetahui tentang pengaturan organisasi perangkat daerah yang sejalan dengan desentralisasi kewenangan daerah, maka dapatlah tentukan beberapa indikator sebagai berikut: Substansi Hukum Substansi hukum adalah merupakan isi pokok yang terkandung dalam suatu peraturan yang akan menjadi acuan atau dasar untuk dilaksanakan. Berkaitan dengan struktur organisasi perangkat daerah maka tentunya diatur dengan suatu peraturan perundang-undangan dalam rangka terwujudnya pelayanan masyarakat yang optimal khususnya terhadap Pemerintahan Daerah. Dalam pembentukan organisasi perangkat daerah tentunya mempunyai dasar hukum yang menjadi patokan dalam membentuk organisasi perangkat daerah. Penulis ingin memulai pembahasan ini dengan mengacu pada Pasal 18 ayat (2) UUD NRI 5 Widjaja, HAW. Penyelenggaraan Otonomi DiIndonesia, Dalam Rangka Sosialisasi UU. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 103. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 289 1945, bahwa Pemerintahan Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten dan Kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Dari pasal tersebut di atas tersirat bahwa daerah berhak mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya sendiri tidak terkecuali mengenai pembentukan organisasi perangkat daerah atau termasuk di dalamnya. Berdasarkan pasal tersebutlah, maka pembentuk undang-undang dalam hal ini Pemerintah dan Dewan Perwakilaran Rakyat (DPR) membuat regulasi terkait Pemerintahan Daerah yang disebut dengan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Menurut Agus Salim Andi Gadjong,6 bahwa perubahan sistem pemerintahan yang sentralistis berpengaruh langsung pada pelaksanaan pemerintahan daerah yang sentralistis. Undang-Undang ini menganut asas pemerintahan desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan, namun dalam kenyataan, pelaksanaannya menguatkan (dominan) asas dekonsentrasi dalam pelaksanaan pemerintahan daerah. Tujuan penerapan sistem sentralistik ini diharapkan dapat menciptakan stabilitas yang kuat dan sangat diperlukan dalam menciptakan landasan dalam upaya pembangunan ekonomi. Kontrol pemerintah pusat kepada daerah semakin kuat dan transparan sehingga membuat fungsi dan peranan daerah sebagai perpanjangan tangan untuk menyukseskan program-program yang dirancang pemerintah pusat. Berikut uraian secara singkat tentang substansi yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan mengenai Struktur Organisasi Perangkat Daerah (provinsi), dalam Pasal 120 dan 128 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah: 1. Perangkat daerah provinsi terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah dan lembaga teknis daerah. 2. Susunan organisasi perangkat daerah sebagaimana dimaksud pada bagian 1 (satu) diatas ditetapkan dengan Peraturan Daerah dengan memperhatikan faktor-faktor tertentu dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah. Berdasarkan hal tersebut di atas bahwa UU No. 32 Tahun 2004 memerintahkan adanya Peraturan Pemerintah yang mengatur lebih lanjut tentang organisasi perangkat daerah. Maka Pemerintah Republik Indonesia melalui Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) mengeluarkan sebuah peraturan yang dikeluarkan tepatnya pada tanggal 23 Juli 2007 yang disebut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 sebagai pengganti dari Peraturan Pemerintah sebelumnya yakni Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah. Sedangkan dalam Pasal 19-22 PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah menyebutkan sebagai berikut: 1. Besaran OPD ditetapkan berdasarkan variabel jumlah penduduk, luas wilayah dan jumlah APBD; 2. Besaran OPD Provinsi berdasarkan di tentukan melalui penilaian standar minimal dan maksimal; 3. Penyusunan OPD berdasarkan pertimbangan adanya urusan pemerintahan yang perlu ditangani; 4. Dalam hal beberapa urusan ang ditangani oleh satu perangkat daerah, maka penggabungannya sesuai dengan perumpunan urusan pemerintahan yang dikelompokkan dalam bentuk dinas dan lembaga teknis daerah. 6 Agus Salim Andi Gadjong. Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum, (Jakarta: PT. Ghalia Indonesia, 2007), hlm. 160. 290 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 Dari uraian tersebut diatas tersirat bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah mengatur secara detail atau rinci tentang pembentukan organisasi perangkat daerah mulai dari nomenklatur, variabel, penilaian, pembentukan, besaran, jumlah dan nomenklatur dari organisasi perangkat daerah yang akan dibentuk oleh pemerintah daerah provinsi maupun kabupaten dan kota. Berikut tanggapan hasil wawancara penulis dengan para narasumber dilingkup Pemerintahan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah: Menurut salah seorang anggota DPRD Provinsi bahwa substansi dari PP No. 41 Tahun 2007 tentang organisasi perangkat daerah adalah pembagian urusan dan kewenangan, dimana dalam rangka rencana pembangunan daerah yang meliputi 2 (dua) aspek, yakni Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Menengah daerah (RPJMD) dan Rencana Pembangunan Jangka Pendek daerah (RPJPD). Lebih lanjut menurut beliau dilihat dari kedua aspek tersebut kemudian dijabarkan melalui muatan hukum daerah atau yang menjadi kewenangan daerah dalam membentuk peraturan daerah. Peraturan daerah tersebutlah yang menjelaskan secara spesifik tentang organisasi perangkat daerah. Sedangkan menurut narasumber dari Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan yang diwakili oleh Biro Hukumnya, menyatakan bahwa PP No. 41 Tahun 2007 cukup membatasi daerah untuk membentuk organisasi perangkat daerah. Dalam arti bahwa seharusnya disesuaikan dengan kondisi, potensi dan dinamika yang ada pada daerah karena menurut beliau PP No. 41 Tahun 2007 tersebut berlaku secara umum yang menggeneralisir semua daerah di Indonesia, sedangkan keadaan daerah berbeda-beda, baik dari segi potensi, karakteristik, maupun dinamika di setiap daerah. Berbeda dengan penjelasan yang diberikan oleh Biro Organisasi Kepegawaian Setda Provinsi Sulawesi Selatan bahwa PP No. 41 Tahun 2007 adalah peraturan pelaksanaan dari pada Pasal 120 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah yang diperintahkan kepada Pemerintah Daerah dalam membentuk organisasinya ditetapkan dengan Peraturan Daerah dengan tetap berpedoman pada PP No. 41 Tahun 2007 tentang organisasi perangkat daerah tersebut. Lebih lanjut, menurut beliau PP No. 41 Tahun 2007 merupakan salah satu bentuk atau wujud dari pelaksanaan otonomi daerah dalam menyusun norma, standar, dan prosedur dan tidak mendikte atau membatasi daerah karena hanya sebagi pedoman dalam membentuk organisasi perangkat daerah khususnya pada provinsi sulawesi selatan. Sedangkan hasil wawancara yang dilakukan pada Sekretariat DPRD Prov. Sul-Sel, menganggap bahwa penerapan PP No. 41 tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah sudah sesuai dengan yang disebutkan di dalam peraturan tersebut dengan pertimbangan disesuaikan dengan kebutuhan daerah. Mengenai apakah daerah dibatasi oleh PP tersebut, menurut beliau PP No. 41 Tahun 2007 tersebut tidak membatasi ruang gerak daerah. Maka sebagaimana yang telah diuraikan di atas mengenai substansi hukum, baik yang telah diuraikan oleh UU No. 32 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Daerah maupun dalam PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah (OPD) serta dari pandangan para narasumber, penulis dapat menarik kesimpulan dan berpandangan bahwa PP No. 41 Tahun 2007, membatasi ruang gerak daerah dalam membentuk organisasi perangkat daerahnya yang hanya berdasar dari veriabel pembentukan OPD dengan tiga kriteria yakni jumlah penduduk, luas wilayah dan APBD, serta mengatur Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 291 secara lebih rinci dan detail mulai dari besaran, jumlah, nilai bahkan perumpunan OPDnya tanpa memperhatikan potensi, kebutuhan, dan karakteristik daerah sebagai salah satu kemajemukan setiap daerah yang berbeda-beda dalam satu wilyah NKRI. Dan penulis lebih sependapat dengan PP sebelumnya yakni PP No. 8 Tahun 2007 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah yang sangat mengedepankan prinsip-prinsip kedaerahan, dimana memberikan dasar pemebentukan OPD selain dari ketiga variabel yang telah di sebutkan dalam PP No.41 Tahun 2007 juga memberikan variabel yakni: aspek kewenangan pemerintah daerah, potensi, kebutuhan dan karakteristik daerah. Namun dalam Pasal 1 Permendagri No. 57 Tahun 2007 tentang Petujuk Teknis Penataan Organisasi Perangkat Daerah menyatakan bahwa: ”Pembentukan perangkat daerah berdasarkan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan, dengan memperhatikan kebutuhan, kemampuan keuangan, cakupan tugas, kepadatan penduduk, potensi, karakteristik serta sarana dan prasarana”. Berdasarkan hal tersebut, menurut hemat penulis justru memberikan peluang yang besar dan keleluasaan kepada daerah untuk membentuk organisasi perangkat daerahnya dengan memberikan standar penilaian mengenai kebutuhan, karakteristik, potensi, kemampuan, dan beban kerja daerah yang tidak diakomodir pada PP No. 41 Tahun 2007, yang memberikan batasan yang cukup ketat terhadap pembentukan organisasi perangkat daerah. sehingga terjadi ketidaksinkronan antara keduanya. Kemudian apabila dibandingkan isi dari Permendagri tersebut dengan peraturan sebelumnya yakni PP No. 8 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, dimana keduanya memberikan standar penilaian yang sama dalam pembentukan organisasi perangkat daerah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Permendagri No. 57 Tahun 2007 mereduksi PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Konsep Otonomi dan Desentralisasi Beranjak pada Pasal 18 ayat (1) UUD NRI 1945, bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. Untuk mencapai tujuan tersebut diadakanlah pemerintahan daerah berdasarkan Pasal 18 UUD NRI 1945, sebagai konsekuensi yuridis dari diadakannya pemerintahan daerah (pembagian daerah) di Indonesia atas dasar desentralisasi adalah lahirnya daerah otonom yang memiliki otonomi (daerah) dalam menyelenggarakan urusan pemerintahannya sendiri. Hal ini sejalan dengan apa yang terdapat dalam konstitusi dalam kaitannya dengan pasal 18 UUD NRI 1945 sebagai landasan konstitusional penyelenggaraan pemerintahan daerah, khususnya setelah mengalami perubahan (amandemen) di dalamnya terkandung hal-hal yang prinsipil sebagai mana tampak prinsip-prinsip sebagai berikut: (1) Prinsip daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembatuan). Pasal 18 ayat (2). Ketentuan ini menegaskan bahwa pemerintah daerah adalah suatu pemerintahan otonom dalam NKRI. Prinsip tersebut lebih sesuai dengan gagasan membentuk pemerintahan daerah sebagai satuan pemerintahan mandiri didaerah yang demokratis. Konsep Otonomi Pada dasarnya otonomi itu sendiri berasal dari bahasa Yunani, yakni “outonomos atau outonomia” yang berarti keputusan sendiri (self ruling). 292 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 Sebagaimana yang juga dinyatakan dalam Pasal 1 Angka (5) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam ketentuan umum Pasal 1 huruf (h) UU No. 22 Tahun 1999, menyebutkan bahwa otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan pada UU No. 32 Tahun 2004, mengartikan otonomi daerah sebagai hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sejak UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah diberlakukan, maka telah terjadi pergeseran model pemerintahan daerah dari sebelumnya sentralistik yang menganut structural efficiency model yang diterapkan dalam UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah berdampak pada pengabaian aspirasi dan prakarsa masyarakat lokal ke arah local democracy model, sesuai dengan alam demokrasi yang menghormati nilai-nilai demokrasi kemajemukan dalam masyarakat. Pada penerapan model demokrasi mengandung arti bahwa penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah menuntut adanya partisipasi dan kemandirian masyarakat daerah (lokal) tanpa mengabaikan prinsip persatuan negara dan bangsa. Desentralisasi dan dekonsentrasi merupakan keniscayaan dalam organisasi negara yang hubungannya bersifat kontinum. Artinya, dianutnya desentralisasi tidak serta merta meninggalkan faham sentralisasi, karena tanpa sentralisasi maka desentralisasi tidak akan pernah ada dan sebaliknya sentralisasi ada karena adanya dukungan dari daerah yang disebut desentralisasi. Dengan demikian desentralisasi sebenarnya menjelmakan otonomi masyarakat setempat untuk memecahkan berbagai masalah terutama dalam mendekatkan pelayanan kepada masyarakat yang bersifat lokal demi tercapainya kesejahteraan masyarakat yang bersangkutan. Desentralisasi dapat pula disebut dengan otonomisasi, otonomi daerah yang diberikan kepada daerah atau masyarakat. Otonomi adalah pemerintahan yang dari, oleh dan untuk rakyat di bagian wilayah nasional melalui lembaga-lembaga pemerintahan yang secara formal berada di luar pemerintah pusat. Operasionalisasi otonomi ini mencakup 2 (dua) komponen utama otonomi. Pertama, komponen wewenang menetapkan dan melaksanakan kebijaksanaan sebagai komponen yang mengacu pada konsep pemerintahan yang terdapat dalam pengertian otonomi. Kedua, komponen kemandirian sebagai komponen yang mengacu pada kata “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Menurut Bagir Manan,7 meskipun desentralisasi merupakan otonomi, akan tetapi desentralisasi tidak sama dengan otonomi, karena otonomi merupakan inti desentralisasi, sehingga desentralisasi dalam hal ini adalah desentralisasi yang melahirkan wewenang bagi daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan sendiri dalam wadah pemerintahan lokal. Selain itu, Jeddawi,8 menyatakan bahwa desentralisasi yang melahirkan adanya wewenang daerah sesuai dengan pembagian wewenang antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Wewenang pemerintah daerah pada konsep 7 Bagir Manan. Hubungan Antara Pusat Dan Daerah Menurut UUD 1945, (Yogyakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), hlm. 11. 8Jeddawi. Memacu Investasi Di Era Otonomi Daerah, Kajian Beberapa Perda Tentang Penanaman Modal, (Yogyakarta: UII Press, 2005), hlm. 61. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 293 pemerintahan daerah yang merupakan hak atau otonomi , dan otonomi bermakna pengundangan sendiri yang dalam kepustakaan Belanda, otonomi berarti pemerintahan sendiri (zelfregering). Maka, otonomi juga diartikan sebagai membuat undang-undang sendiri (zelfwegening), melaksanakan sendiri (zelfuitvoering), mengadili sendiri (zelfrechpraak) dan menindak sendiri (zelfpolitie). Dengan demikian, otonomi dapatlah diartikan sebagai kebebasan dan kemandirian untuk memelihara dan memajukan kepenttingan, khususnya daerah dengan wewenang sendiri untuk menetapkan peraturan sendiri dan menjalankan pemerintahan daerah sendiri tanpa adanya intervensi dari pihak manapun. Menurut Kaloh,9 menegaskan bahwa otonomi adalah kewenangan pada lokal kesatuan maupun pada lokal federasi karena kewenangan mengatur dan mengurus rumah tangga daerah berada pada pemerintah lokal yang kesatuannya meliputi segenap kewenangan pemerintah kecuali beberapa urusan tertentu yang menjadi urusan pemerintah pusat. Dapatlah dikemukakan bahwa otonomi adalah keleluasaan dalam bentuk hak dan wewenang serta kewajiban dan tanggung jawab lembaga pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan keadaan dan karateristik dan kemampuan daerahnya sebagai wujud penyelenggaraan desentralisasi. Adapun dalam penyelenggaraan otonomi dikenal beberapa asas, yakni: i. Asas Otonomi Formal Urusan rumah tangga daerah tidak ditetapkan dengan peraturan perundangundangan. Kepala daerah diberi kekuasaan untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang dianggap penting bagi daerah,l sehingga dapat dikerjakan dengan tepat. ii. Asas Otonomi Material Dalam asas ini urusan rumah tangga daerah dibatasi dan diatur secara rinci dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini dimaksudkan diadakannya pembagian urusan mana yang menjadi porsinya pemerintah dan pemerintah daerah, karena terdapatnya lokal spesifik tertentu pada urusan tersebut. iii. Asas Otonomi Rill Asas ini merupakan campuran asas otonomi formal dengan asas otonomi material. Pembagian urusan ini berdasarkan faktor-faktor yang rill. Akan tetapi asas ini lebih pada asas otonomi formal karena dengan asas ini diharpkan adanya keleluasaan bagi daerah buntuk berinisiatif, sehingga daerah dapat benar-benar mandiri. iv. Asas Otonomi Luas, Nyata dan Bertanggung Jawab Prinsip otonomi seluas-luasnya merupakan kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus semua urusan pemerintahan diluar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan undang-undang. Daerah memiliki kewenangan membentuk kebijakan daerah dalam rangka memberikan pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat maka secara nyata yang berarti pemberian otonomi yang didasarkan pada faktor-faktor 9 Kaloh, J. Mencari Bentuk Otonomi Daerah, Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan Lokal Dan Tantangan Global, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hlm. 3. 294 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 perhitungan dan tindakan-tindakan atau kebijaksanaan-kebijaksanaan yang benarbenar dapat menjamin daerah secara nyata, mampu mengurus rumahtangganya sendiri dengan pertimbangan bahwa setiap daerah memiliki potensi untuk merealisasikan isi dan jenis otonomi yang dilimpahkan karena isi dan jenis otonomi bagi daerah tidak selalu sama dengan daerah lain dan dalam penyelenggaraannya haruslah benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi atau dapat dipertanggung jawabkan pelaksanaannya pada pemerintah. Menurut Rias Rasyid,10 (2005:78) bahwa otonomi dan desentralisasi mempunyai tempatnya masing-masing dan mempunyai keterkaitan yang erat dan tidak dapat dipisahkan, dimana istilah otonomi lebih ditekankan pada political aspect (aspek politik yang menyangkut dengan kekuasaan negara), sedangkan desentralisasi lebih cenderung pada administrative aspect (aspek administrasi). Mengutip penjelasan tersebut otonomi daerah berarti menyangkut ruang kewenangan untuk mentelenggarakan pemerintahan yang telah diberikan sebagai wewenang rumah tangga daerah. Dalam konteks pelaksanaannya otonomi daerah tidak hanya berorientasi pada tuntutan untuk menyerahkan kewenangan tanpa menghiraukan makna dari otonomi daerah tersebut. Konsep Desentralisasi Desentralisasi sebagai suatu asas yang digunakan dalam bidang pemerintahan yang merupakan kebalikan dari asas sentralisasi. Dalam asas sentralisasi kewenangan berada pada pemerintah pusat dan tidak distribusikan ke daerah, sehingga pejabat-pejabat di daerah hanyalah melaksanakan kehendak pemerintah pusat dalam mejalankan pemerintahan di daerah. Berbeda dengan asas sentralisasi, asas desentralisasi menghendaki pemerintah pusat menyerahkan sebagian kewenangannya kepada penyelenggara pemerintahan di daerah. Istilah desentralisasi berasal dari dua kata bahasa Latin, de berarti lepas dan cetrum berarti pusat. Sehingga desentralisasi secara harfiah, bermakna melepaskan diri dari pusat. Dalam presfektif kajian ketatanegaraan, pemerintahan berdasarkan asas desentralisasi berkaitan erat dengan pemerintah pusat di mana pemerintah pusat melimpahkan sebagian kewenangannya kepada pemerintah daerah.11 Desentralisasi dalam UU No. 32 Tahun 2004, adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut C.W. Van Der Pot,12 setiap negara kesatuan (unitary State) dapat disusun dan diselenggarakan menurut asas dan sistem sentralisasi.Sentralisasi yang disertai pemencaran organ-organ yang menjalankan sebagian wewenang pemerintahan pusat didaerah dikenal sebagai dekonsentrasi,sementara desentralisasi tidak semata-mata dilakukan oleh pusat melainkan juga oleh kesatuan-kesatuan pemerintah yang lebih rendah yang mandiri,bersifat otonom (teritorial ataupun fungsional). Namun bagi H. A. Mustari Pide,13 pada dasarnya desentralisasi adalah pelimpahan atau penyerahan kekuasaan atau kewenangan di bidang tertentu secara vertikal dari instansi/lembaga pejabat yang lebih tinggi kepada institusi/ 10 Rias Rasyid. Desentralisasi dan Otonomi Daerah, (Jakarta: LIPI, 2005), hlm. 78. 11Koesoemahatmadja. Pengantar Kearah Pemerintahan Daerah Di Indonesia, (Bandung: Bina Cipta, 1979), hlm. 14. 12 Bagir, Manan, Loc.Cit, hlm. 40. 13 Mustari, Pide. Otonomi Daerah Dan Kepala Daerah Memasuki Abad XXI, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1990), hlm. 33-34. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 295 lembaga bawahannya sehingga yang diserahi/dilimpahi kekuasaan,wewenang tertentu berhak bertindak atas nama sendiri dalam urusan tertentu tersebut. Selain itu, The Liang Gie beranggapan bahwa desentralisasi merupakan pelimpahan wewenang dari pemerintahah pusat kepada satuan-satuan organisasi pemerintahan untuk menyelenggarakan segenap kepentingan setempat dan kelompok penduduk yang mendiami suatu wilayah.14 Dalam pandangan lain, desentralisasi merupakan sebuah mekanisme penyelenggaraan pemerintahan yang menyagkut pola hubungan antara pemerintah pusat dan dengan pemerintahan daerah. Dengan demikian, tujuan desentralisasi menurut Afan Gaffar dkk,15 pemerintahan adalah: a. Dalam rangka peningkatan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan, b. sebagai wahana pendidikan politik masyakat di daerah, c. memelihara keutuhan negara kesatuan atau integrasi nasional, d. mewujudkan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan yang dimulai dari daerah, e. memberikan peluang bagi masyarakat untuk membentuk karir dalam bidang politik dan pemerintahan f. sebagai wahana untuk memberikan peluang kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses perencanaan dan pelaksanaan pemerintahan, g. untuk mempercepat pelaksanaan pembangunan di daerah dan h. untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan yang berwibawa. Teori Kewenangan dan Teori Fungsi Teori Kewenangan Salah satu permasalahan yang menojol dalam konteks kebijakan desentralisasi adalah perbedaan persepsi mengenai pengertian kewenangan (authority). Secara konseptual, istilah kewenangan dapat diartikan sebagai hak dan atau kewajiban untuk menjalankan satu atau beberapa fungsi manejemen atas suatu obyek tertentu yang ditangani oleh pemerintah. Kewenangan merupakan satu konsepsi dalam Hukum Admintrasi Negara. Menurut Prajudi dalam Madjid H. Abdullah,16 menyatakan bahwa pengertian kewenangan dan wewenang (competence, bevoegdheid). Selanjutnya dikatakan kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan legislatif (diberikan oleh UU) atau dari kekuasaan eksekutif adaministratif. Kewenangan atau wewenang adalah suatu istilah yang biasa digunakan dalam lapangan hukum publik. Namun sesungguhnya, terdapat perbedaan diantara kewenangan dan wewenang. Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan tersebut berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang. Sedangkan wewenang hanya merupakan bagian (“onderdeel”) dari kewenangan. Kewenangan merupakan kekuasaan dari segolongan orang tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan atau urusan pemerintahan tertentu yang bulat. 14The Liang, Gie. Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Rpublik Indonesia, Jilid I, (Yogyakarta: Liberty, 1993), hlm. 36. 15 Ibid, hlm. xviii 16 Madjid H. Abdullah. Penataan Hukum Organisasi Perangkat Daerah Dalam Konteks Otonomi Daerah Berdasarkan Prinsip-Prinsip Tata Pemerintahan Yang Baik, Disertasi Universitas Hasanuddin, Makassar, 2007. 296 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 Menurut Philipus M. Hadjon dalam Jalaluddin,17 bahwa setiap tindak pemerintahan disyaratkan harus bertumpu atas kewenangan yang sah. Kewenangan itu diperoleh melalui tiga sumber, yaitu atribusi, delegasi serta mandat. Kewenangan atribusi lasimnya digariskan melalui pembagian kekuasaan negara oleh undang-undang dasar. Sedangkan kewenangan delegasi dan mandat adalah kewenangan yang berasal dari pelimpahan. Sejalan dengan konsep Philipus M. Hardjon, Sie Infakum-Ditama Binbangkum, memberikan penjelasan bahwa pada dasarnya kewenangan diperoleh oleh seseorang melalui 2 (dua) cara, yaitu dengan atribusi atau dengan pelimpahan wewenang. Atribusi adalah wewenang yang melekat pada suatu jabatan. Dalam tinjauan hukum tata negara, atribusi ini ditunjukan dalam wewenang yang dimiliki oleh organ pemerintah dalam menjalankan pemerintahannya berdasarkan kewenangan yang dibentuk oleh pembuat undang-undang. Atribusi ini menunjuk pada kewenangan asli atas dasar konstitusi (UUD 1945) atau peraturan perundang-undangan. Sedangkan pelimpahan wewenang adalah wewenang diperoleh melalui dua proses yaitu pelimpahan secara delegasi dan pelimpahan secara mandat. Pelimpahan secara delegasi biasanya pendelegasian diberikan antara organ pemerintah satu dengan organ pemerintah lain, pemberi kewenangan memiliki kedudukan lebih tinggi dari pihak yang diberikan wewenang serta diikuti dengan pengakuan kewenangan, sedangkan pelimpahan mandat umumnya diberikan dalam hubungan kerja internal antara atasan dan bawahan dan tidak terjadi pengakuan kewenangan melainkan hanya bertindak atas nama. Pada pelimpahan delegasi tidak dapat lagi menggunakan wewenang yang dimilikinya karena telah terjadi pengalihan wewenang kepada yang diserahi wewenang sedangkan pada pelimpahan mandat, pemberi mandat masih dapat menggunakan wewenang bilamana mandat telah berakhir Penyelenggaraan desentralisasi menurut UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, mensyaratkan adanya pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah dengan daerah otonom. Pembagian urusan pemerintahan didasarkan pada pemikiran bahwa selalu terdapat urusan pemerintahan yang sepenuhnya tetap menjadi kewenangan pemerintah dan ada menjadi kewenangan pemerintah daerah. Urusan pemerintah pada dasarnya adalah hal yang menyangkut terjaminnya kelangsungan hidup bangsa dan negara. Pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan menjadi urusan pemerintah. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerahnya, pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah yang tidak diserahkan kepemerintah daerah meliputi: politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional dan agama. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang tidak diserahkan ke pemerintahan di daerah, pemerintah melimpahkan urusan pemerintahan kepada perangkat pemerintah atau wakil pemerintah di daerah atau dapat menugaskan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa untuk menjalankan urusan pemerintah tersebut. Kewenangan Daerah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah pada konsideran huruf (b) bahwa efesiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintah daerah perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antar susunan pemerintah dan antar pemerintahan daerah, potensi dan keaneka ragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan global dengan 17Jalaluddin. Analisis Hukum tentang Tata Cara dan Mekanisme Dalam Pembentukan Peraturan Daerah, Tesis. Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin, 2004, hlm. 27. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 297 memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara. Pengaturan kewenangan daerah sebagaimana dituangkan dalam UU No. 32 Tahun 2004 jo. UU No. 12 Tahun 2008 mengenai penyerahan urusan oleh pemerintah kepada pemerintah daerah di luar urusan yang dijalankan oleh pemerintah pusat, yakni: (1) Politik luar negeri, (2) Pertahanan, (3) Keamanan, (4) Moneter, (5) Yustisi dan (6) Agama. Selain itu, sebagimana yang diatur pada lampiran huruf (T) tentang Perangkat Daerah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten Kota, menerangkan dalam tabel sebagai berikut: Tabel 1 Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten Kota Sub Bidang Perangkat Daerah Sub-Sub Bidang Kebijakan Pemerintah Pemerintah Daerah Provinsi 1. Penatapan pedoman umum tentang perangkat daerah. 2. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pembentukan perangkat daerah. 3. Penetapan pedoman teknis perangkat daerah. 4. Penetapan pedoman tatalaksana perangkat daerah. 5. Penetapan pedoman analisis jabatan perangkat daerah. Pelaksanaan pedoman umum tentang perangkat daerah provinsi. Pelaksanaan Kebijakan pembentukan perangkat daerah skala provinsi. Pelaksanaan pedoman teknis perangkat daerah provinsii. Pelaksanaan pedoman tatalaksana perangkat daerah provinsi. Pelaksanaan pedoman analisis jabatan perangkat daerah provinsi. Sumber: PP No. 38 Tahun 2007 Sebagaimana yang telah digambarkan pada tabel tersebut di atas, telah nampak jelas bahwa Pemerintah Daerah Provinsi hanya sekedar melaksanakan kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah tentang organisasi Perangkat Daerah. Hal ini juga bertentangan dengan asas otonomi maupun asas desentralisasi, sebagaimana yang tertuang dalam UUD NRI 1945 dan UU No. 32 Tahun 2004 bahwa daerah mempunyai hak untuk mengatur dan mengurus sendiri pemyelenggaraan pemerintahan di daerah tidak terkecuali mengenai pembentukan Organisasi Perangkat Daerah. Sedangkan pengaturan kewenangan urusan dalam Peraturan pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota terdapat 16 urusan wajib dan urusan pilihan yang harus dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Berikut inventarisasi peraturan perundang-undangan yang tidak sinkron dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dari aspek Kewenangan, yakni: 298 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 Tabel 2 Inventarisasi peraturan perundang-undangan yang tidak sinkron dengan ketentuan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah NO. UU SEKTORAL UU NO. 32/2004 PENJELASAN 1. UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 66; BNN Provinsi & Kab/ Kota merupakan instansi vertikal Pasal 10 ayat (1) terkait aspek kewenangan yang diselenggarakan oleh Pemerintahan Daerah Terkait kewenangan tersebut bagaimana bisa diefektifkan oleh Pemda sesuai dengen UU No. 32 Tahun 2004 dan PP No. 41 dan Tahun 2007 dimungkinkan dibentuk kelembagaannya sbagai SKPD, yang justru UU No. 35 Tahun 2009 menegaskan BNNP dan BNNK-K adalah instansi vertikal 2. Keselarasan PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan PP No. 41 Tahun 2007 tentang OPD. Pasal 10 ayat (1) terkait aspek kewenangan yang diselenggarakan oleh Pemda Pasal 128 ayat (1) Adanya penegasan yang berbeda terkait aspek kelembagaan daerah yaitu tentang perumusan pengelolaan daerah: PP No. 58 Tahun 2005 berbentu badan, sedangkan; PP No. 41 Tahun 2007 berbentuk dinas 3. Keselarasan PP No. 38 Tahun 2007 dan PP No. 41 Tahun 2007 Pasal 10 ayat (1) terkait aspek kewenangan yang diselenggarakan oleh Pemda Pasal 128 ayat (1) Dalam PP No.38 Tahun 2007 tidak menegaskan penelitian dan pengembangan sebagai bidang urusan pemerintahan (wajib atau pilihan), sedangkan PP No.42 Tahun 2007 justru ditegaskan sebagai salah satu perumpunan urusan. 4. Perpres No.10 Tahun 2006 tentang BPN RI dan Permendagri No. 57 Tahun 2007 Pasal 10 ayat (1) terkait aspek kewenangan yang diselenggarakan oleh Pemda Pasal 128 ayat (1) Urusan Pemerintahan Daerah di bidang pertanahan merupakan urusan wajib menurut PP No. 38 Tahun 2007 maupun PP No. 41 Tahun 2007, akan tetapi dalam Pemendagri No. 57 Tahun 2007 tentang juknis pemetaan organisasi perangkat daerah dalam huruf N angka 4 dirumuskan bahwa dalam pelaksanaan tugas Bidang Pelayanan Pertnahan tidak perlu membentuk dinas pertanahan, tugas fungsinya diselenggarakan oleh masingmasing SKPD sesuai kewenangannya. Permendagri ini disamping diskriminatif juga bertentangan dengan UU No. 32 Tahun 2009 berkenaan lingkup urusan pemerintahan daerah. Permendagri ini juga tidak memilki dasar hukum pembentukan karena tidak ada dalam UU/PP yang memerintahkan, sehingga tidak memenuhi unsur sebagai jenis peraturan perundang-undangan menurut ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (4) UU. No. 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundangundangan. Sumber: Biro Hukum dan Ham (Bagian Perundang-undangan) Prov. Sul-Sel diolah Tahun 2010 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 299 Dari sumber tersebut di atas, terdapat informasi bahwa berkaitan dengan pembentukan Struktur Organisasi Perangkat Daerah terjadi ketidak sinkronan antara peraturan perundang-undangan menyangkut tentang berbagai urusan dimana setiap urusan tersebut juga mengatur tentang organisassi perangkat daerahnya padahal menurut hemat penulis bahwa harusnya menyangkut pembentukan organisasi perangkat daerah harus berujung atau sebagai induknya adalah PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Sebagaimana bahwa PP No. 38 Tahun 2007 tentang pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota adalah turunan dari UU No. 32 Tahun 2004 yang menjelaskan lebih lanjut tentang urusan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah. Berbincang mengenai aspek kewenangan tersebut antara PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah dan PP No.38 Tahun 2007,tentang Pembagian Urusan Pemerintahan, menurut hemat penulis terjadi ketidak sinkronan antara keduanya dimana pada PP No. 38 Tahun 2007 secara tegas menjelaskan mengenai urusan wajib dan urusan pilihan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah, sedangkan pada PP No. 41 Tahun 2007 tidak secara jelas menyebutkan mana urusan wajib dan urusan pilihan. Di samping itu, pada Pasal 2 ayat (3) PP No. 38 Tahun 2007 dikatakan bawa urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkat dan/atau susunan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah semua urusan pemerintahan diluar urusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Justru pada Pasal ini semakin membuat ketidak jelasan dari aspek kewenangan, mana yang seharusnya diurus oleh pemerintah, pemda provinsi dan kabupaten/kota khususnya dalam pembentukan SOPD. Menurut Aminuddin Ilmar,18 selama ini, kewenangan penyelenggaraan hubungan antara pemerintah dengan pemerintah daerah selalu diwarnai dengan hubungan saling kecurigaan. Lebih lanjut menurut beliau hal ini disebabkan karena disatu sisi ada kekuatiran bahwa akan terjadi disintegrasi daerah yang ujung-ujungnya akan melahirkan konsepsi negara federal. Namun dipihak lain, dari sudut pandang daerah melihat adanya keengganan pemerintah untuk mendelegasikan sebagian wewenangnya kepada daerah sehingga sangat sulit bagi daerah untuk melahirkan pemerintahan dengan akuntabilitas publik yang cukup oleh karena itu, tidak sejalan dengan konsep demokratisasi pemerintahan. Dari hasil wawancara penulis dengan narasumber (anggota DPRD) bahwa pada dasarnya kewenangan daerah sudah sesuai dengan desentralisasi yang diberikan pemerintah akan tetapi cara pendelegasian melalui PP No. 38 Tahun 2007 menimbulkan persoalan dari segi urusan wajib dan pilihan disebabkan karena urusan wajib dan urusan pilihan tidak lebih sama anatara daerah provinsi dan kabupaten kota sehingga diperlukan adanya ketegasan urusan mana yang mestinya di selenggarakan oleh pemerintah daerah provinsi dan mana yang harus dikerjakan oleh kabupaten/kota sehingga dengan seperti itu akan jelas kewenangannya masing-masing. Lebih lanjut, beliau memberikan salah satu contoh, masalah pendidikan dimana mulai dari pemerintah, pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota masing-masing mengurus masalah pendidikan yang tidak memberikan kejelasan dengan tegas, bahagian pendidikan apa yang diurus pemerintah (pusat), dan bahagian pendidikan mana yang diurus pemerintah daerah provinsi dan begitu pula dengan kabupaten/kota. Sehingga dengan ketidakjelasan dan ketidaktegasan tersebutlah sehingga membawa dampak terhadap pembentukan organisasi perangkat daerah dimana OPD daerah yang ada pada pemerintah daerah provinsi tidak berjalan efektif yang berarti tidak 18 Ilmar Aminuddin, 2007. Hubungan Kewenangan Antara Pemerintah Dengan Pemerintah Daerah Dalam Rangka Meningkatkan Demokratisasi Pemerintahan, Pidato Guru Besar Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, hlm. 1. 300 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 efesien dan juga bisa terjadi benturan-benturan hukum contohnya pendidikan gratis yang dicanangkan oleh pemerintah provinsi itu tidak semua daerah setuju dengan kebijakan tersebut dan yang ada adalah konflik of interest atau kepentingan. Pernyataan tersebut diatas tidak lebih sama dengan pendapat narasumber lainnya (Biro Hukum Prov. Sul-Sel) bahwa berbicara tentang kewenangan daerah terjadi ketidak sinkronan antara PP No. 38 Tahun 2007 dengan PP No. 41 Tahun 2007. Beliau juga memberikan contoh bahwa pada PP No. 38 Tahun 2007 tentang bidang penelitian dan pengembangan tidak tegas masuk pada bidang urusan pemerintahan (urusan wajib atau urusan pilihan) sedangkan pada PP No. 41 Tahun 2007, disebutkan bahwa bidang penelitian dan pengembangan sebagai salah satu perumpunan urusan. Lebih lanjut menurut beliau dengan kembali memberikan contoh yakni bidang pertanahan didalam PP No. 38 Tahun 2007, masuk dalam urusan wajib artinya bahwa urusan tersebut masuk kedalam urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah, dalam hal ini Provinsi akan tetapi ternyata ada Kantor Wilayah yang dibentuk oleh Pemerintah (pusat) di daerah yang diatur dalam Peraturan Presiden No. 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Dari kedua pendapat nara sumber tersebut hanya contoh yang diberikan kepada penulis yang membedakan diantara keduanya. Dari berbagai uraian dan pendapat dari beberapa narasumber tersebut di atas, menurut hemat penulis bahwa PP No. 41 Tahun 2007 tidak sesuai dengan kewenangan daerah sebagaimana yang telah didesentralisasikan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, karena Pemerintah (pusat) sudah cukup jauh mencampuri urusan yang semestinya menjadi kewenangan daerah dalam hal mengatur struktur organisasi perangkat daerah. Konsep ideal organisasi pemerintahan hemat srtuktur kaya fungsi menurut hemat penulis bahwa PP No. 41 Tahun 2007 tentang OPD, adalah salah satu kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah sebagai upaya untuk menciptakan OPD yang efektif dan efisien dengan ditunjang konsistensi baik pemeritah, pemda provinsi dan pemda kab/kota dalam hal pelaksanaannya dengan tidak membuka jalur koordinasi maupun konsultasi untuk menetapkan OPD. Selanjutnya adalah membedakan jumlah dan besaran OPD antara pemda provinsi dan pemda kab/kota, pemda provinsi dimungkinkan lebih sedikit jumlah OPDnya dari pada jumlah OPD kab/kota.serta yang terpenting adalah mengubah paradigma pendekatan baik itu pendekatan akomodatif maupun pendekatan perasaan dalam pembantukan OPD. Dengan paradigma efisien dan efektif. Konsekuensi Yuridis Pengaturan Struktur Organisasi Perangkat Daerah yang Sesuai dan yang Tidak Sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan Setiap perbuatan yang dilakukan baik itu perorangan maupun sebuah institusi tentunya mempunyai suatu konsekuensi dari tindakan seperti apa tindakan yang dilakukan tersebut. Konsekuensi yuridis adalah suatu perbuatan yang mempunyai akbiat atau dampak hukum yang tentunya suatu tindakan yang berkaitan dengan hukum itu sendiri. Seperti halnya apabila terjadi ketidakpatuhan atau suatu peraturan dianggap bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi maka akan menimbulkan suatu konsekuensi hukum apakah konsekuensinya itu adalah berupa revisi/perubahan atau pembatalan. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa telah terjadi ketidaksesuaian antara beberapa peraturan perundang-undangan, baik itu antara Undang-Undang, antara Peraturan Pemerintah yang sederajat atau setingkat dan peraturan perundang-undangan yang tidak sederajat atau setingkat antara undang-undang dengan Peraturan Pemerintah, antara Peraturan Pemerintah dengan Permendagri dan Peraturan Daerah yang dalam hal ini tentunya berhubungan dengan Pembentukan Organisasi Perangkat Daerah. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 301 Belum sempurnanya suatu produk perundang-undangan yang ada sebagai suatu ketentauan atau pedoman dalam penyelenggaraan pemerintahan secara umum dan penyelenggaraan pemerintahan daerah secara khusus, membuat pera pelaksana dari peraturan perundang-undangan tersebut dalam menerapkan suatu aturan tidak maksimal atau optimal diakibatkan karena terjadi multi tafsir atau beda penafsiran antara Pemerintah (pusat) dengan Pemerintah Daerah. Berkaitan dengan hal tersebut ada sekurang-kurangnya 5 (lima ) peraturan perundangundangan yang saling bersinggungan khususnya mengenai PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Diantaranya, UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (aspek kewenangan) UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang menyangkut kelembagaannya, PP No. 58 Tahun 2005 Pengelolaan Keuangan Daerah (aspek kelembagaan), PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan (aspek urusan kelembagaan). Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang BPN (aspek kelembagaan) Permendagri No. 57 Tahun 2007 tentang Pemetaan Organisasi Perangkat Daerah. Dan Peraturan Daerah No.10, 11, 12 Tahun 2009 atas perubahan Perda No. 6, 8, 9, 10 Tahun 2008 sedangkan Perda No. 7 Tahun 2008 tidak mengalami perubahan. Berdasarkan kenyataan tersebut di atas sebagaimana yang telah dikemukakan pula sebelumnya, melahirkan suatu konsekuensi hukum dimana ada beberapa asas yang berkaitan dengan permasalahan tersebut yakni : (a) asas lex superior derogat legi imferiori (aturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi aturan yang khusus mengenyampingkan aturan yang berlaku umum (b) asas lex spesialis derogat legi generali dan (c) asas lex posterior derogat legi priori (aturan yang belakangan mengalahkan aturan yang lebih dahulu, tentang pembentukan Struktur Organisasi Perangkat Daerah. Melihat kondisi perundang-undangan yang seperti itu, maka diharapkan kepada pembuat regulasi sebagimana yang dimaksud pada Pasal 7 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2004 tentang Hrarkis yakni (1) UUD NRI Tahun 1945, (2) UU/Perpu, PP, Perpres dan Perda, yang dibentuk oleh Pemerintah (pusat) maupun Pemerintah Daerah mampu mewujudkan suatu perauran perundang-undangan yang baik dan bersinergis sehingga dalam penerapan dan pelaksanaannya tidak menimbulkan multi tafsir dan interpretasi yang berbeda. Salah satu dampak yang ditimbulkan dalam pembentukan OPD adalah pada pengelolaan anggran. Dimana apabila terlalu banyak organisasi perangkat daerah maka tentunya juga akan terjadi pembengkakan angaran yang hanya untuk membiayai organisasi perangkat daerah saja yang seharusnya anggaran tersebut dapat digunakan untuk pembangunan yang bermanfaat untuk masyarakat. PENUTUP Kesimpulan Pengaturan Struktur Organisasi Perangkat Daerah yang ditetapkan Pemerintah melalui PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah belum sejalan dengan desentralisasi kewenangan daerah dari aspek besaran Organisasi Perangkat Daerah. Hal ini terbukti dengan dibatasinya kewenangan pemerintah daerah untuk berkreativitas dalam membentuk organisasinya sendiri. Pelaksanaan srtuktur organisasi perangkat daerah (PP No.41 Tahun 2007) di Provinsi Sulawesi Selatan belum berjalan sebagaimana mestinya sampai pada saat ini, sehingga terjadi keterlambatan penerapan PP No.41 Tahun 2007 yang seharusnya sudah diterapkan sepenuhnya sejak 1 (satu) tahun setelah berlakunya peraturan tersebut. 302 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 Konsekuensi yuridis yang ditimbulkan dalam pelaksanaan organisasi perangkat daerah terjadi ketidakpastian hukum sehingga perlu dilakukan revisi. Namun revisi Peraturan Daerah yang yang telah dilakukan oleh pemerintah daerah Provinsi Sulawesi Selatan belum sepenuhnya mengacu pada PP No. 41 Tahun 2007. Karena hasil revisi yang dilakukan tersebut bukannya merevisi yang sesuai dengan ketentuan yang ada pada PP No. 41 Tahun 2007, bahkan melebihi ketentuan, seperi jumlah organisasi atau lembaga yang dibentuk. Saran Perlu dilakukan restrukturisasi (penataan kembali) struktur organisasi perangkat daerah dengan berbagai pertimbangan seperi potensi karakteristik dan kebutuhan daerah sehingga lebih mencerminkan desentralisasi kewenangan daerah yang jelas. Kepastian hukum dalam suatu produk peraturan perundang-undangan sangat diperlukan sehingga tidak terjadi multi persepsi antar tingkat pemerintahan. Konsistensi yang serius dari Pemerintah (pusat) dengan tidak memberikan dispensasi apapun kepada daerah dengan alasan apapun dengan cara-cara koordinasi atau tawar menawar sebagaimana yang telah ada dalam ketentuan. Diperlukan pelibatan Pemerintah Daerah kedepan dalam menyusun suatu kebijakan atau perundang-undangan serta institusi lain yang ada di pusat sehingga tidak lagi terjadi tumpang-tindih dalam menerapkan suatu peraturan perundang-undangan. Hal tersebut akan menciptakan suatu produk perundangundangan yang berkesesuaian dan tahan lama. Perlunya kembali merevisi Peraturan Daerah. Kemudian dilakukan reorganisasi untuk menetapkan Organiasi Perangkat Daerah melalui Peraturan Daerah yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Serta perlunya kesadaran Pmerintah Daerah, khususnya Peovinsi Sulawesi Selatan agar kiranya dapat menjalankan pemerintahan yang didukung dengan perangkat daerah yang efisien dan efektif serta berdampak pada penggunaan anggran yang tepat sasaran. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 303 DAFTAR PUSTAKA Ali, Achmad. 2002. Menguak Tabir Hukum, Jakarta: PT. Toko Gunung Agung Tbk. Asshiddiqie, Jimly, 2008. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer. ______________, 2009, Menuju Negara Hukum Yang Demokrasi, Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer. Azhary, 1995. Negara Hukum Indonesia, Jakarta: Universitas Indonesia Press. Ellydar Chaidir, 2001. Hubungan Tata Kerja Presiden dan Wakil Presiden, Perspektif Konstitusi, Yogyakarta: UII Press. Etzioni, Amitai, 1985, Organisasi-Organisasi Modern, Jakarta: Universitas Indonesia Press. Gadjong, Agussalim Andi, 2007. Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum, Jakarta: PT. Ghalia Indonesia. Gie, The Liang, 1993. Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Rpublik Indonesia Jilid I, Yogyakarta: Liberty. Syaukani, HR dkk, 2005. Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hadjon, M. Philipus, dkk, 2008. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogjakarta: Gadjah Mada University Press. Huda, Ni’matul, 2005. Otonomi Daerah Filosofi Sejarah Perkembangan dan Problematika, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ____________, 2009. Hukum Pemerintahan Daerah, Bandung: Nusa Media Ujung Berung. Hoessein, Benyamin, 1993. Berbagai Faktor Yang mempengaruhi Besarnya Otonomi Daerah Tingkat II, Suatu Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah Dari Segi Ilmu Administrasi Negara, Disertasi, Pasca Sarjana, UI Jakarta. Ilmar Aminuddin, 2007. Hubungan Kewenangan Antara Pemerintah Dengan Pemerintah Daerah Dalam Rangka Meningkatkan Demokratisasi Pemerintahan, Pidato Guru Besar Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Indrati, Maria Farida, 2007. Ilmu Perundang-undangan (Jenis, Fungsi dan Materi Muatan), Yogyakarta: Kanisius. Jalaluddin, 2004. Analisis Hukum tentang Tata Cara dan Mekanisme Dalam Pembentukan Peraturan Daerah, Tesis. Tidak dipublikasikan Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin. Jeddawi, 2005. Memacu Investasi Di Era Otonomi Daerah, Kajian Beberapa Perda Tentang Penanaman Modal, Yogyakarta: UII Press. Kaloh, J, 2002. Mencari Bentuk Otonomi Daerah, Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan Lokal Dan Tantangan Global, Jakarta: Rineka Cipta. ___________, 1990. Sistem Pemerintahan Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara. Kusnardi, Muh dkk, 1985. Ilmu Negara, Jakarta: Perintis Press. Lubis, M. Solly, 2008. Hukum Tata Negara, CV. Mandar Maju, Bandung: Sumber Sari Indah. 304 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 Madjid H. Abdullah, 2007. Penataan Hukum Organisasi Perangkat Daerah Dalam Konteks Otonomi Daerah Berdasarkan Prinsip-Prinsip Tata Pemerintahan Yang Baik, Disertasi Universitas Hasanuddin, Makassar. Manan, Bagir, 1994. Hubungan Antara Pusat Dan Daerah Menurut UUD 1945, Yogyakarta: Pustaka Sinar Harapan. ___________, 2001, Menyongsong Fajar Otoda, Yogyakarta: PHS UII. Mahfud, M.D, 1999. Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Yogyakarta: Gama Madya. Marbun, MS, 2005. Otonomi Daerah 1945-2005 Proses dan Realita, Perkembangan Otda, Sejak Zaman Colonial Sampai Saat Ini, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Marzuki, Peter Mahmud, 2009. Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Ndraha, Taliziduhu, 2005. Kybernologi Sebuah Rekonstruksi Ilmu Pemerintahan, Jakarta: PT. Rineka Cipta. Pide, Mustari, 1990. Otonomi Daerah Dan Kepala Daerah Memasuki Abad XXI, Jakarta: Gaya Media Pratama. Rasyid, Rias, 2005. Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Jakarta: LIPI. Razak, Askari, 2009. Hakikat Otonomi Daerah Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik, Disertasi Universitas Hasanuddin Makassar. Sabarno, Hari, 2007. Memandu Otonomi Daerah Menjaga Kesatuan Bangsa, Jakarta: Sinar Grafika. Sarundajang, 2002. Arus Balik Kekuasaan Pusat Ke Daerah, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. __________, 2005. Babak Baru Sistem Pemerintahan Daerah, Jakarta: Kata Hasta Pustaka. Sumali, 2002. Reduksi Kekuasaan Eksekutif di Bidang Peraturan Pengganti UndangUndang (PERPU), Malang: UMM Press. Sunggono, Bambang, 1997. Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Soejito, Irawan, 1990. Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Jakarta: Rineka Cipta. Thoha, Miftah, 2009. Perilaku Organisasi Konsep Dasar dan Aplikasinya, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Tim Prima Pena, 2006, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Gita Media Press. Wasistiono, Sadu, 2003. Kapita Selecta Manajemen Pemerintahan Daerah, Bandung: Focus Media. Widjaja, HAW, 2005. Penyelenggaraan Otonomi DiIndonesia, Dalam Rangka Sosialisasi UU. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. ___________, 2009, Otonomi Daerah Dan Daerah Otonom, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Wursanto, LG, 2005. Dasar-Dasar Ilmu Organisasi, Yogyakarta: Andi Offseta. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 305 306 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 TANGGUNG JAWAB NEGARA MEMBANGUN EKONOMI KERAKYATAN DALAM MENGHADAPI WTO (WORLD TRADE ORGANIZATION) Laode Abdul Gani Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 TANGGUNG JAWAB NEGARA MEMBANGUN EKONOMI KERAKYATAN DALAM MENGHADAPI WTO (WORLD TRADE ORGANIZATION) Oleh: Laode Abdul Gani Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Jl. Perintis Kemerdekaan KM. 10, Tamalanrea, Makassar, Sulawesi Selatan E-mail: [email protected] Abstract This research is research that is descriptive and prescriptive with the law and economics approach, aiming to analyze the position and state responsibilities in building a democratic economy based on Pancasila and the Constitution mandate NRI 1945 as listed in Article 27, Article 33 and Article 34 . This study uses the laws bibliography of materials consisting of primary data and secondary data, analyzed qualitatively and quantitatively in narrative form without using tables. This study is evaluative about how state government management consistency associated with the constitutional mandate. The study also analyzed the general principles of law and legal rules used by the government in building a democratic economy. Keywords: State, Responsibility Abstrak Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat deskriptif dan preskriptif dengan menggunakan pendekatan hukum dan ekonomi, bertujuan untuk menganalisis kedudukan negara dan tanggung-jawabnya dalam membangun ekonomi kerakyatan berdasarkan amanat Pancasila dan UUD NRI 1945 seperti yang tercantum di dalam Pasal 27, Pasal 33, dan Pasal 34. Penelitian ini menggunakan bahan hukum kepustakaan yang terdiri dari data primer dan data sekunder, dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif dalam bentuk narasi tanpa menggunakan tabel. Penelitian ini bersifat evaluative tentang bagaimana konsistensi pengelolaan negara oleh pemerintah terkait dengan amanat konstitusi. Penelitian ini juga menganalisis tentang asas-asas hukum dan kaidah-kaidah hukum yang digunakan oleh pemerintah dalam membangun ekonomi kerakyatan. Kata Kunci: Negara, Tanggung-Jawab Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 PENDAHULUAN Negara Republik Indonesia dikenal oleh dunia sebagai negara yang memiliki kekayaan alam terbesar di dunia. Meliputi kekayaan alam yang ada di darat maupun kekayaan alam yang ada di laut. Dengan kondisi seperti itu seharusnya Indonesia tidak pantas menyandang predikat sebagai negara berkembang secara permanen. Potensi kekayaan alam yang dimilikinya seperti minyak, batubara, emas, perak, dan tembaga, serta kekayaan alam yang berupa hutan tropis mengandung nilai ekonomi yang sangat memungkinkan Indonesia menjadi sebuah negara maju di Asia. Dalam konsep falsafah Pancasila yang harus diperjuangkan adalah menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana tertuang dalam sila ke-5 Pancasila. Demikian pula pembukaan UUD NRI 1945 secara konsepsional menjelaskan tujuan bangsa Indonesia yaitu: melaksanakan ketertiban dunia, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Selanjutnya, World Trade Organisation (WTO/GATT) sejarah kelahirannya adalah bertujuan untuk mengakhiri gap/ketimpangan ekonomi dunia yang tidak adil. Dilihat dari rekomendasi yang tertuang dalam pembukaan Pancasila UUD NRI 1945 dan WTO, sudah seharusnya Indonesia menjadi sebuah negara yang berdaulat serta dapat menciptakan masyarakat yang adil dan makmur. Namun kenyataannya, jangankan menjadi negara maju di Asia, di Asia Tenggara pun Indonesia tergolong paling rendah tingkat pertumbuhan ekonominya. Konsep Self Determination sesuai ketentuan piagam PBB (Perserikatan BangsaBangsa), tentang hak setiap negara untuk mengelola kekayaan alamnya secara mandiri tidak ditangkap oleh pemerintah dalam menentukan arah pembangunan ekonomi kerakyatan. Sebagai contoh undang-undang No.22/2001 tentang Migas, ditentukan alam salah satu klausulanya, 75 % produksinya untuk kepentingan ekspor, dan 25 % untuk kepentingan dalam negeri. Dampak negatif dari undang-undang ini kebutuhn dasar rakyat tentang gas menjadi sangat mahal. Ini mencerminkan kapitalisasi di bidang Migas yang sangat merugikan masyarakat menengah ke bawah. Kekayaan alam bangsa adalah milik masyarakat seluruhnya atau Common Heritage of Mankind, Specialy for Indonesian People.1 Dalam pengertian bahwa kedaulatan permanen sebuah negara tentang kekayaan alamnya merupakan sesuatu keniscayaan.2 Kenyataan seperti itu dapat diduga ada sesuatu yang salah di dalam tata kelola berbangsa dan bernegara. Diduga kesalahan tersebut bermula dari tata kelola yang salah, berimplikasi pada pembentukan hukum perundang-undangan di bidang ekonomi yang tidak pro rakyat. Amanat konstitusi negara Republik Indonesia sangat jelas merekomendasikan kepada pemerintah sebagai pelaksana tata kelola pemerintahan agar membuat peraturan perundang-undangan yang pro kepada kepentingan rakyat. Undang-undang yang relevan untuk itu meliputi peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri. Sebagai objek dari kedua unsur penanaman modal tersebut meliputi pertambangan, kehutanan, pertanian,dan industri kepelabuhanan, seperti bandar udara dan pelabuhan laut. Semua unsur korporasi tersebut pada dasarnya menurut amanat konstitusi harus diorientasikan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Fakta menunjukkan korporasi-korporasi tersebut sangat didominasi oleh kepentingan pemilik modal sehingga kepentingan rakyat gejalanya terabaikan. Hal ini menunjukan falsafah ideologi ekonomi Pancasila bergeser menjadi ideologi kapitalisme. 1 Lihat, Kemal Baslam, The Concept of The Common Heritage of Mankind in Internasional Law, hlm.171. 2 Lihat Resolusi PBB No. 3171 (XXVIII) dalam NICI, Schrijver, Soveregnity Over Natural Resources, Balancing Right ang Duties in an Interdependent World, hlm. 133. 310 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 Ideologi kapitalisme pada tingkat implementasi melahirkan politik ekonomi kapitalisme. Paham demikian selalu cenderung merugikan negara-negara berkembang seperti halnya Indonesia. Ideologi sosialisme marxisme juga akan melahirkan politik ekonomi sosialisme. Hal ini sebenarnya sejalan dengan ideologi bangsa Indonesia berkaitan dengan pasal 33 UUD NRI 1945 yang mana negara berfungsi sebagai pengendali ekonomi negara sehingga semua kekayaan alam harus dimaksimalkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.3 Indonesia sebagai negara berpenduduk mayoritas Islam, seharusnya merancang pembangunan ekonomi nasionalnya berdasarkan konsep pemikiran-pemikiran ekonomi Islam. Hal ini menjadi unsur pembeda dari dua sistem pembangunan ekonomi dunia yaitu kapitalisme dan sosialisme. Yang keduanya mempunyai kelemahan-kelemahan teoritik. Dalam pembangunan ekonomi kapitalisme yang ditonjolkan adalah ekonomi pasar, sehingga pemerintah tidak dapat berbuat banyak terhadap tingkah laku pelaku bisnis baik dalam skala kecil maupun skala besar. Dalam sistem ini kecenderungan pemerintah selalu mengikuti kehendak pemilik modal yang menentukan arah pembangunan ekonomi negara. Dalam sistem ini yang terjadi adalah yang kaya bertambah kaya, yang miskin bertambah miskin. Hal ini sangat bertentangan dengan paham ideologi Pancasila, juga bertentangan dengan model pembangunan ekonomi Islam.4 Di pihak lain, pembangunan ekonomi sosialisme menutup kemungkinan adanya kepemilikan individu dari masyarakat terhadap kekayaan alam, hal ini juga sangat bertentangan dengan ideologi pembangunan ekonomi Islam yang memungkinkan kepemilikan individu atau kelompok terhadap korporasi atau kekayaan yang bersifat individual secara tidak berlebihan. Ideologi kapitalisme memiliki instrumen penting dalam politik ekonominya berupa penjajahan kepada negara atau bangsa lain. Penjajahan ini dilakukan guna mempertahankan ideologi kapitalisme. Sebelum perang dunia ke-2, bentuk penjajahannya berupa penguasaan teritorial dan militer. Setelah perang dunia ke-2 pada pertengahan abad ke-20 sampai menjelang abad ke- 21, penjajahan berubah bentuk menyusul tidak efektifnya penjajahan model teritorial dan militer. Penjajahan diarahkan pada penguasaan sumber-sumber ekonomi negara seperti, minyak, gas, batu bara, kayu, dan jenis pertambangan lainnya serta industri-industri manufaktur dan indusrti-industri tekstil. Semuanya itu dijalankan dengan kekuatan modal yang didukung oleh IDB (Intenational Development Bank) dan IMF (International Monetery Found). Sebagai contoh, Indonesia kini mengalami krisis ekonomi dalam arti pengangguran yang terdiri dari sekitar 38 juta bangsa Indonesia dan pertumbuhan ekonomi yang kurang dari 7 % pertahun. Hal ini disebabkan kekuatan paham ekonmomi kapitalisme yang memanjakan negara berkembang dengan memberi utang secara gampang tetapi dapat dipastikan sangat sulit untuk mengembalikannya. Kini Indonesia dalam kekuasaan IMF dan IDB, dan untuk keluar dari cengkraman itu Indonesia membutuhkan beberapa syarat yaitu, tata kelola pemerintahan yang baik, tranparansi, pemberantasan korupsi dan integritas pelaku birokrasi. Di dalam piagam PBB, IMF dan IDB membantu negara berkembang di saat krisis merupakan kewajiban PBB. Dalam kenyataan, logika itu dibalik sehingga bila PBB membantu negara-negara berkembang yang berada dalam kondisi krisis maka filosofi bantuan yang dibangun adalah hak. Sehingga bila bantuan negara donor itu cair, maka semua peruntukannya negara donor juga turut menentukan. Contoh krisis yang dialami bangsa Indonesia paska suksesi dari Orde Baru ke Reformasi, semua bantuan negara donor diarahkan untuk melakukan privatisasi-privatisasi terhadap perusahaan-perusahaan 3 Dikembangkan dari pandangan Abdurrahman al-Maliki, Politik Ekonomi Islam, Vol.1, 2001, hlm. v. 4 Abdurrahman al-Maliki, Politik Ekonomi Islam, ibid, hlm. vi. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 311 milik negara yang dikategorikan menguasai hajat hidup orang banyak sesuai ketentuan Pasal 33 UUD NRI 1945. Seperti privatisasi terhadap PT. Telkom, privatisasi terhadap PLN, privatisasi terhadap PT. KAI, privatisasi terhadap Garuda Indonesia, serta hampir semua perusahaan milik negara telah direkomendasikan oleh negara donor untuk dilakukan privatisasi. Kecenderungan-kecenderungan seperti ini menunjukkan ketidakberpihakan serta tidak adanya tanggung jawab negara terhadap pembangunan ekonomi kerakyatan. Kecenderungan pemerintah untuk menaikkan tarif dasar listrik setiap tahun selalu berdampak pada pelemahan pembangunan ekonomi rill dari masyarakat bangsa Indonesia. Ada indikasi sangat kuat bahwa ide kenaikan tarif dasar listrik tidak didasarkan kepada kepentingan masyarakat bangsa Indonesia, tetapi didasarkan kepada kepentingan pemilik mayoritas modal PLN. Bila dibandingkan dengan negara-negara maju seperti Eropa, maka di sana terlihat perusahaan listrik negara (PLN) dan perusahaan transportasi darat, laut, dan udara, serta perusahaan air dikontrol oleh negara sepenuhnya, sehingga tarif cenderung stabil dan terkadang turun sampai serendah-rendahnya. Kini Indonesia terjebak dalam sistem pembangunan ekonomi kapitalisme yang sangat bertentangan dengan sistem pembangunan ekonomi Islam yang idealnya diadopsi oleh pemerintah bangsa Indonesia sebagai negara yang berpenduduk mayoritas Islam. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian yang dikemukakan dalam latar belakang masalah tersebut di atas, dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah bentuk tanggung-jawab negara dalam membangun ekonomi kerakyatan di Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945? 2. Sejauh mana WTO (World Trade Organization) dapat menjadi instrumen hukum dalam menghadapi ekonomi kerakyatan di Indonesia? 3. Bagaimanakah penerapan sistem ekonomi kerakyatan dalam rangka pembangunan ekonomi di Indonesia? METODE PENELITIAN Bentuk dan Pendekatan Penelitian ini akan menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu menuju kepada pengertian yang dikemukakan oleh Snape dan Spencer (2004) yaitu penelitian menggunakan pendekatan interprestasi berdasarkan pengertian-pengertian dari makna undang-undang yang lahir berdasarkan kehendak pemerintah. Pendekatan kualitatif dikembangkan untuk mengungkapkan gejala-gejala kehidupan masyarakat seperti apa yang dipersepsikan oleh masyarakat berkaitan dengan lingkungan kehidupan masyarakat bernegara. Melalui pendekatan ini gejala dalam masyarakat beraitan dengan persepsi masyarakat terhadap beberapa Undang-undang yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak akan diurakan dengan menggunakan metode interprestasi. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang akan dilakukan melalui metode perpustakaan dan wawancara secara mendalam terhadap narasumber atau pakar yang ahli di bidangnya. Dilihat dari sifatnya, penelitian ini dapat digolongkan penelitian analisis deskriptif. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan secara tepat berkenaan dengan pengaturan perlindungan terhadap hak-hak dasar masyarakat di bidang ekonomi terutama berkaitan dengan hak konstitusional masyarakat bangsa Indonesia yang tercermin dalam Pasal 33, 27 dan Pasal 34 Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia. 312 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 Lokasi Penelitian Penelitian lapangan diadakan di dua tempat yaitu Makassar dan Jakarta. Untuk penelitian di bidang kepustakaan akan ditempuh cara melalui perpustakaan Universitas Hasanuddin di Makassar, Universitas Padjajaran di Bandung, Universitas Indonesia di Jakarta dan melalui internet. Sumber dan Prosedur Pengumpulan Data Penelitian ini akan dilakukan melalui studi hukum normatif atau biasa juga disebut penelitian hukum doktrinal. Jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah primer dan sekunder. Untuk itu akan dilakukan wawancara mendalam terhadap pakar yang dikategorikan bertaraf nasional dan internasional. Semua permasalahan akan dirinci dan dielaborasi dengan menggunakan standar pedoman wawancara. Untuk memastikan akurasi data, standar pedoman wawancara diadaptasi sesuai dengan perkembangan dan informasi di lapangan. Pengamatan dilakukan guna memahami dan menegaskan bagaimana pemerintah mengeluarkan suatu kebijakan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pembangunan ekonomi kerakyatan. Studi hukum doktrinal dalam penelitian ini yaitu kajian hukum yang tujuannya untuk membuktikan benar tidaknya keberpihakan pemerintah terhadap pembangunan ekonomi kerakyatan melalui beberapa peraturan perundang-undangan. Pembahasan terhadap permasalahan dalam penelitian ini akan dikemukakan secara analitis terhadap beberapa peraturan perundang-undangan yang ada termasuk juga pembahasan mengenai konsepkonsep hukum yang tepat dalam rangka pembangunan ekonomi kerakyatan di Indonesia. Untuk itu diperlukan bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang mempunyai otoritas yang terdiri dari peraturan perundang-undangan, catatan resmi atau risalah dalam pembentukan suatu perundangundangan dan keputusan hakim. Bahan hukum sekunder adalah semua publikasi tentang hukum yang merupakan dokumen tidak resmi terdiri dari literatur-literatur yang relevan dengan objek penelitian. Dalam kaitannya dengan penelitian menyangkut pembangunan ekonomi kerakyatan maka data sekunder akan dimaksimalkan terhadap semua publikasi hukum yang terkait dengan objek penelitian. Teknik Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknis kualitatif digunakan untuk mengolah data primer yang diperoleh dari lapangan. Ada tiga tahapan tahapan yang dilakukan sesuai degan hirarki analisis kualitatif, yaitu: 1. Tahapan mengolah data (data management). Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan adalah mengidentifikasi (melabeling) dan mengelompokkan data sesuai dengan tema-tema tau konsep-konsep permulaan, termasuk melakukan ringkasan atau mensintesis data. 2. Tahapan deskripsi (description), yang mencakup kegiatan identifikasi dimensidimensi kunci dan memetakan tingkatan dan keragaman setiap fenomena yang ada, termasuk membentuk tipologi dari masing-masing kategori. 3. Tahapan penjelasan (explanotory), yang meliputi penemuan pola-pola yang menyatu di dalam data, menemukan jawaan kenapa terjadi pola yang demikian, memberikan penjelasan dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan sebelumnya dab terakhir menjelaskan penerapannya terhadap teori yang lebih luas atau strategi kebijakan yang ada. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 313 Diakui bahwa ketiga tahapan dalam hirarki tersebut adalah tidak linear namun demikian peneliti berusaha menyesuaikan dengan tahapan-tahapan yang ada. Sebagaimana diketahui dalam penelitian hukum normatif, ada kerangkan konsepsional dan landasan atau kerangka teoritis yang menjadi syarat yang sangat penting. Dalam kerangka konsepsioanal diungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum, dan di dalam landasan/kerangka teoritis diuraikan segalan sesuatu yang terdapat dalam teori sebagai suatu sistem aneka “theore’ma” atau ajaran (di dalam bahasa Belanda: “leerstelling”). Di dalam suatu penelitian hukum, maka paradigma kerangka konsepsioanal meliputi Masyarakat huku, Subjek hukum, Hak dan kewajiban, Peristiwa hukum, Hubungan hukum, Objek hukum.5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bentuk Tanggung Jawab Negara dalam Membangun Ekonomi Kerakyatan yang Berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Sebelum menjawab masalah bentuk tanggung jawab negara dalam membangun ekonomi kerakyatan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, maka terlebih dahulu haruslah diuraikan apa sesungguhnya yang dimaksud dengan ekonomi kerakyatan. Menurut Tajuddin Parenta adalah suatu kesalahan besar bila ekonomi kerakyatan itu diartikan semata-mata terfokus pada kepentingan orangorang miskin di Indonesia. Ekonomi kerakyatan dalam kenyataannya adalah demokrasi ekonomi yaitu memberi tempat pada semua pelaku ekonomi secara proporsional untuk melakukan kegiatan ekonominya yang terkait secara fungsional.6 Bila diperhatikan secara seksama, definisi ekonomi kerakyatan yang dikemukakan oleh Tajuddin Parenta maka memberi pengertian bahwa pembangunan ekonomi kerakyatan dilaksanakan secara sinergis antara pelaku-pelaku ekonomi yang terdiri dari pelaku ekonomi mikro, pelaku ekonomi kecil, pelaku ekonomi menengah, dan pelaku ekonomi yang berskala besar, yang dalam hal ini disebut dengan model pembangunan ekonomi kemitraan.7 Model pembangunan ekonomi seperti ini dapat dilihat pada praktik beberapa negara di Amerika Latin seperti Skandinavia dan Brazilia yang mana pemerintah membangun kerakyatan melalui sistem kemitraan antara koperasi, swasta besar dan swasta kecil, serta perusahaan-perusahaan pemerintah milik negara. Sistem ini berjalan berdasarkan prinsip saling menguntungkan antara petani, peternak, industri besar dan industri kecil, sesuai segmen-segmen usaha yang menjai prioritasnya. Selain Skandinavia dan Brazilia model pembangunan ekonomi kemitraan juga ada di Jepang. Seperti contohnya, Toyota di Jepang dibesarkan oleh kelompok usaha kecil menengah dan besar. Intinya adalah pada model ini tidak ada monopoli seperti yang ada di beberapa negara berkembang, seperti Indonesia monopoli masih ada pada beberapa perusahaan besar seperti PLN (Perusahaan Listrik Negara) dan PT. Kereta Api Indonesia. Ada beberapa indikator yang harus digunakan untuk mengetahui tentang bagaimana bentuk tanggung jawab negara dalam membangun ekonomi kerakyatan Indonesia. Adapun indikator-indikator yang dimaksud adalah sebagai berikut: 5 Soeryono Soekanto dan Sri Mamudji. (Jakarta: Rajawali Press, 2010). hlm. 7. 6 Tajuddin Parenta, Dalam Kuliah Khusus Penunjang Disertasi, Makassar, 23 Juni 2011. 7 Lihat, Pasal 1-5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah. 314 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 Indikator Hukum Indikator hukum ini dimaksudkan untuk melihat secara legalitas formal bahwa sungguh-sungguh pemerintah berkehendak untuk membangun ekonomi kerakyatan dengan membuat undang-undang khusus untuk itu. Bila dilihat keberadaan UndangUndang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah, maka dapat disimpulkan bahwa pemerintah berkeinginan kuat untuk membangun ekonomi kerakyatan. Akan tetapi dalam hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti yang menjadi kendala dalam rangka membangun ekonomi kerakyatan adalah lemahnya penegakan hukum di dalam implementasi aturan-aturan hukum yang ada. Berbicara mengenai penegakan hukum, maka fokus perhatian di sini tertuju pada aparat penegak hukum meliputi polisi, jaksa, dan hakim. Fenomena lemahnya penegakan hukum ini dalam analisis yang dilakukan peneliti menunjukkan telah terjadi pembiyaran sistemaik di antara para pejabat penyelenggara negara. Di beberapa negara maju seperti Eropa, tidak membutuhkan banyak undangundang dalam membangun ekonomi bangsanya. Masyarakat Ekonomi Eropa misalnya atau yang disebut dengan MEE, mereka membangun bangsanya dengan satu komitmen yang bulat dan ini merupakan kontrak sosial antara pemerintah dan rakyat bahwa organisasi negara lahir tidak lain tujuannya adalah memakmurkan seluruh masyarakat ekonomi Eropa. Mereka sadar benar bahwa tidak ada yang akan membangun kekuatan ekonomi masyarakat Eropa kecuali mereka sendiri.8 Dilihat dari komitmen masyarakat Ekonomi Eropa dalam membangun ekonomi bangsanya, dapat ditarik kesimpulan tentative bahwa pemerintah-pemerintah pada masyarakat ekonomi Eropa telah menerapkan pembangunan ekonomi yang sangat relevan dengan aturan-aturan yang ada di dalam agama Islam. Contoh misalnya dalam Al-Qur’an dikatakan bahwa, “Tidak ada yang merubah nasib suatu kaum/golongan, kecuali kaum atau golongan itu sendiri yang mengubahnya.” Prinsp ini dikalangan masyarakat ekonomi Eropa disebut CCN (Commitment, Consistency, and Nationalism). Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 tidak cukup menjadi penggerak dalam membangun ekonomi kerakyatan, kecuali didukung dengan undang-undang yang lain, seperti Undang-Undang Perbankan yang melaksanakan fungsi intermediasi menghimpun dana menyediakan kredit dengan bunga rendah serta dapat diakses dengan persyaratan-persyaratan yang tidak kaku. Dapat diberi contoh misalnya solusi yang dilakukan oleh Yunus di Bangladesh yang memberikan masukan kepada pemerintah agar pengusaha mikro kecil menengah diberi kemudahan dalam bentuk pinjaman bank tanpa agunan. Inti daripada pembangunan ekonomi kerakyatan adalah menghidupkan dan memperkuat sektoril sebagai sokoguru dalam proses pencapaian masyarakar yang adil dan makmur dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Usaha kecil dan menengah merupakan penggerak ekonomi rakyat dengan indikator Biro Pusat Statistik tahun 2006 mengatakan bahwa, “jumlah pengusaha kecil mencapai 48.929 juta atau sekitar 99,99 % dari total pengusaha kecil, menengah dan besar”. Lokasinya sebagian besar berada di pedesaan dan sisanya tersebar di kabupaten kota dan provinsi. Kegiatan bisnisnya yang paling dominan berada di sektor pertanian dalam arti luas yang berbasis sumber daya alam serta bertujuan ekspor. Dari hasil pembangunan sektoril di bidang pertanian ini dapat menyumbang ekspor sebesar 15,70% dari total ekspor nasional memberikan andil yang signifikan yaitu 53,28% (Rp 1.778 Milyar). Usaha menengah sektoril ini menyerap tenaga kerja sekitar 85,42juta 8 Diolah dan dikembangkan dari hasil diskusi dengan Parlemen Eropa, Oktober 2009, Universitas Utrecht, Belanda. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 315 atau sekitar 99,18 dari total pekerja di semua sektor di Indonesia. Dampak positif dari pemberdayaan UKM sangat signifikan mengurangi pengangguran dengan cepat dan mudah. Namun demikan, dibalik keberhasilan UKM-UKM tersebut masih banyak yang belum dapat berhubungan dengan perbankan sebagai sokoguru dalam penguatan permodalan UKM. Mengapa demikian dapat disebabkan oleh beberapa alasan, antara lain: a. Karena adanya kecenderungan, UKM itu lebih difokuskan kepermodalam saja, sementara faktor-faktor produksi lainnya seperti tempat usaha/kepemilikan, teknologi dan SDM kurang mendapatkan perhatian. Oleh sebab itu, UKM sebagai entitas bisnis menjadi berkurang daya tariknya.9 b. Belum ada kebijakan publik yang mampu mendorong semua pihak yang terlibat dalam UKM bersatu dalam kebijakan dan tindakan, misalnya seperti program Bimas yang mampu menyatukan semua departemen terkait karena misinya jelas yaitu swasembada beras. c. Keberadaan Undang-undang Perbankan sendiri yang bernuansa kapitalisme atau tidak memihak kepada kepentingan-kepentingan UKM. Indikator Penegak Hukum Hukum dapat di personifikasi sebagai subjek hukum yang energinya melekat pada manusia itu sendiri. Yang artinya kekuatan hukum itu sangat ditentukan oleh unsurunsur moralitas, integritas, kecerdasan, serta keberanian dari person-person pejabat penyelenggara negara yang terkait dengan keberadaan UKM itu sendiri (The Man Behind The Gun). Badan Usaha Milik Negara yang menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah di kategorikan sebagai usaha besar, diberi kewajiban oleh undang-undang tersebut untuk menghimpun dana serta sebagian dana dari BUMN tersebut diperuntukan bagi kegiatan: a. Sebagai penjamin kredit pada usaha mikro kecil dan menengah. b. Sebagai pembinaan calon nasabah yaitu membiayai berbagai pelatihan dari UKM dan bimbingan agar UKM menjadi bankable. c. BUMN dapat mengembangkan UKM dengan menetapkan batasan minimum portofolio UKM setiap bank. d. Diperlukan kebijakan publik yang dapat menstimulir pihak-pihak terkait yang mempunyai komitmen tinggi dalam membangun UKM seperti program Bimas dalam rangka swasembada beras. Untuk itu dapat dibuat misalnya program akselerasi UKM dalam rangka meningkatkan kesempatan kerja. Penulis melakukan telaah dan analisis bahwa apa sesungguhnya yang ingin dicapai dalam proses penguatan UKM adalah menciptakan suatu sikap kreatif, inovatif, produktif, serta berkualitas bagi UKM agar kelak dapat bersaing dalam menghadapi pasar bebas dalam era golalisasi. Namun dalam hal ini tentu diperlukan kontrol pemerintah yang sangat kuat sehingga dalam posisi Indonesia di satu pihak sebagai anggota WTO, akan tetapi dipihak lain sebagai sebuah negara berkembang, pemerintah Indonesia harus mempunyai komitmen yang kuat untuk memperkuat industri dalam negeri disetiap sektor yang dikelola oleh UKM. Sebagaimana kita ketahui Indonesia sebagai negara agraris maka kegiatan UKM atau segmen usaha UKM harus diarahkan kepada daya kreatifitas inovasi dan produktifitas serta kualitas yang tinggi di bidang pertanian sehingga kita mampu berswasembada pangan dalam jangka panjang. Selain 9 Hernando De Soto, The Mysthery of Capital: Why Capitalsm Triumphs in The West an Fails Everywhere Else. 316 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 itu, Indonesia juga sebagai sebuah negara kepulauan dimana lautan lebih luas daripada daratan, maka pemerintah harus mempunyai komitmen yang kuat pula agar penguatan UKM juga diarahkan kepada masyarakat pantai yang bekerja secara turun-temurun sebagai nelayan-nelayan tradisional. Memperhatikan kondisi rill Indonesia maka negara ini seharusnya penggerak utama ekonominya (prime mover) bertumpu pada sumber daya laut dan agraria atau sektor pertanian dan sektor perikanan.10 Potensi sumber daya laut dan pertanian yang demikian besar menurut analisis penulis seandainya pemerintah berkomitmen kuat untuk mengarahkan UKM melakukan akselerasi di sektor tersebut maka pada gilirannya Indonesia akan sangat kuat menghadapi perdagangan bebas dalam WTO. Namun kenyataan menunjukkan bahwa sumbangan ekonomi sektor kelautan dan pertanian masih sangat rendah oleh karena baru menyumbang sekitar 21% terhadap PDB (Produk Domestik Bruto), dibandingkan dengan negara-negara lain yang memiliki garis pantai lebih kurang dari Indonesia. Seperti misalnya Jepang yang garis pantainya hanya sekitar 31 ribuan km tapi telah menyumbang hampir 55 % terhadap PDB (Produk Domestik Bruto), dibandingkan Indonesia yang panjang garis pantainya mencapai 81 ribu km. Kenyataan ini, seharusnya sudah cukup alasan bagi pemerintah Indonesia untuk melakukan suatu kebijakan baru atau terobosan baru yang sungguh-sungguh agar potensi laut pada garis pantai yang 81 ribu km itu dapat memacu pertumbuhan ekonomi nasional melalui bangkitnya sektor ekonomi UKM. Pemikiran selama ini dari sejak orde lama sampai orde baru, dan sekarang reformasi. Nampak sangat jelas melihat bahwa sektor kelautan masih terpinggirkan, meskipun dalam era reformasi ini pemerintah sudah mempunyai kehendak yang kuat untuk memperkuat sektor kelautan dengan diciptakannya Menteri Kelautan dan Perikanan. Namun Departemen Kelautan dan Periakanan ini sudah ada, akan tetapi disamping umurnya yang masih muda maka terlihat pula anggaran dari APBN yang diperuntukkan disektor ini masih sangat rendah. Demikian pula sektor pertanian, walaupun ada Badan Pertanahan Nasional (BPN) sejak orde lama tetapi penguatan disektor ini sebagai Prime Mover pembangunan ekonomi kerakyatan belum terlihat signifikan. Tentu ada beberapa alasan yang kuat mengapa sektor pertanian ini tidak mampu menjadi pendorong ekonomi negara yang kuat, menurut analisis penulis ada beberapa hal yang menyebabkan itu terjadi: a. tata kelola kepemilikan lahan yang tidak memihak rakyat petani penggarap. b. kebijakan kepemilikan tanah bagi pejabat tidak dibatasi. c. kurangnya perhatian pemerintah atau tidak adanya skala prioritas bagi pemerintah untuk menjadikan sektor pertanian sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi nasional. Bila dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara yang lain seperti Vietnam, Thailand, Kamboja, Birma, Indonesia kalah jauh bila dilihat dari kemajuan sektor pertanian ini. Terbukti misalnya sampai pada hari ini Indonesia masih mengimpor beras dari negara-negara Asia Tenggara tersebut, termasuk juga negara di timur jauh seperti Jepang, walaupun industri pertanian Jepang tidak menjadi Prime Mover, sebagai negara industri maju Jepang tidak kalah kemajuannya di bidang pertanian. Dan Indonesia juga mengimpor beras dari Jepang. Untuk kepentingan jangka panjang sekarang adalah kesempatan yang baik untuk melakukan introspeksi serta memulai perencanaan-perencanaan yang baru dan secara fokus Indonesia menyatakan bahwa 10 Diolah dan dikembangkan dari pikiran-pikiran Marzuki DA dalam buku Pemikiran dan Strategi Memberdayakan Sektor Ekonomi UKM di Indonesia, Penerbit Yayasan Massaile, 2006, hlm. 33. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 317 Prime Mover pertumbuhan ekonomi rakyatnya belum berada pada sektor industri tetapi masih berada pada sektor pertanian. Keragu-raguan untuk bersikap demikian hanya akan menambah ketertinggalan bangsa ini dalam jangka panjang. Sebenarnya agak tragis memang cara membangun ekonomi bangsa ini. Mengapa demikian penulis katakan, oleh karena di penghujung pemerintahan Orde Baru (Soeharto) isu yang dikembangkan dan berkembang bahwa Indonesia sudah sejajar dengan Korea, Hongkong, dan Taiwan, Singapura, dan Malaysia, yang masuk kategori The New Industrial Countries (NICS). Maka apabila dalam era reformasi ini kita mencanangkan suatu pola pembangunan ekonomi dengan Prime Mover pertanian, maka kesannya adalah kita mundur. Menurut penulis, stigma mundur atau maju dalam menetapkan perencanaan pembanguan ekonomi sebuah bangsa itu tidak terlalu penting, maka yang lebih penting sebetulnya adalah kemampuan merencanakan dan memastikan masa depan yang lebih baik. Jadi lebih baik mundur untuk maju, daripada maju dalam utopia yang permanen. Suatu kesalah besar yang perlu dicatat oleh bangsa ini bahwa dalam pemanfaatan sumber-sumber kekayaan alamnya termasuk hasil pertanian, kelautan, dan kehutanan selalu diekspor dalam bentuk gelondongan sehingga yang terjadi adalah nilai tambah dari sektor ini dinikmati oleh negara-negara pengimpor contoh yang dekat di kasat mata adalah negara tetangga kita Singapura dan Malaysia sebagai negara pengimpor kayu terbesar dari Indonesia. Sedangkan hasil-hasil pertanian seperti coklat nilai tambahnya dinikmati oleh negara Eropa sebagai industri coklat terbesar di dunia, setelah menjadi barang jadi dalam bentuk coklat kemasan Indonesia mengimpornya kembali dengan harga yang sangat mahal. Demikian pula rumput laut, belum diarahkan secara signifikan oleh pemerintah pusat agar setiap provinsi memiliki industri pengolahan rumput laut yang dikelola oleh UKM. Posisi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UKM) sudah lama diakui sebagai sektor usaha yang sangat penting oleh karena peranannya sungguh sangat nyata. Seperti contoh misalnya, disaat krisis moneter pada tahun 1998 yang terkenal dengan era penghujung orde baru semua pengusaha besar yang ada di Indonesia sangat merasakan dampak negative dari krisis global itu. Akan tetapi dalam kenyatannya UKM menikmati keuntungan yang sangat besar terutama yang mengelola segmen usaha pertanian. UKM tersebut dalam kenyataannya dapat memecahkan masalah lapangan kerja bagi pencari kerja dan menyerap tenaga kerja sekitar 99,45% serta mempunyai nilai ekspor 18,72%. Dari posisi UKM yang sangat strategis tersebut maka kondisi makro ekonomi Indonesia selama ini dapat bertahan dan tidak ambruk dari akibat krisis ekonomi global. Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut maka UKM sewajarnya mendapatkan kemudahan-kemudahan di dalam memperkuat modalnya melalui pinjaman bank dengan bunga yang rendah. Akan tetapi apa yang terjadi dalam penelitian penulis melalui kepustakaan di Eropa (Utrecht) menunjukkan bahwa suku bunga yang diterapkan bagi bank-bank yang ada di Indonesia baik swasta maupun bank pemerintah tergolong paling tinggi di dunia. Ini menunjukkan tidak adanya kekoherensian antara undang-undang UKM atau kehendak pemerintah di satu pihak untuk memberi porsi signifikan pada UKM dan ketentuan-ketentuan dalam UndangUndang Perbankan tidak sinkron. Sehingga dengan demikian sasarannya tidak bisa dicapai. Namun harus disadari kelemahan UKM tidak hanya terletak pada persoalan modal, akan tetapi persoalan lain adalah mekanisme kemitraan usaha yang tidak jelas sekalipun Undang-undang UKM No. 20 Tahun 2008 telah menunjuk pengusaha besar sebagai mitra yang harus bertanggung jawab membesarkan UKM agar dapat mencapai daya saing secara global. 318 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 Jika kita membaca sejarah globalisasi ekonomi dari tahun 1947 sejak GATT lahir sampai sekarang yang dikenal dengan WTO yang lahir pada tahun 1994 di Montego By, prinsip dasarnya adalah sangat mulia yaitu ingin menghilangkan gap atau kesenjangan ekonomi blok utara dan blok selatan dunia (di utara dikategorikan negara maju, sedangkan di Selatan negara miskin atau berkembang).11 Apabila diperhatikan dengan seksama filosofi lahirnya WTO, maka sangat beralasan bila Presiden Suharto pada tahun 1994 dalam pertemuan APEC yang ke-2 di Bogor menyatakan bahwa siap atau tidak siap kita harus masuk menjadi anggota WTO, tentu tidak harus dilihat sebagai suatu kesalah besar oleh karena filosofi lahirnya WTO adalah untuk mencapai proses-proses kesetaraan ekonomi dunia melalui pembangunan ekonomi di beberapa regional dunia seperti APEC, AFTA, NAFTA, MEE, dan lain-lain. Kekeliruan kita setelah kita menjadi anggota WTO tidak menetapkan arah kebijakan yang jelas tentang hal apa yang harus segera kita lakukan untuk menunjang berjalannya mekanisme WTO tersebut. China misalnya dalam menyikapi WTO tahun 1994 nampak dingin-dingin saja. Akan tetapi dalam kedinginan itu dia mampu membaca tentang hal apa sebetulnya yang harus dibangun oleh setiap negara anggota WTO. Yang dilakukan China adalah bukan langsung menciptakan industri-industri yang kuat sekalipun itu mampu dia lakukan. Akan tetapi China yang berpenduduk lebih dari satu milyar melakukan terobosan dengan membangun infrastruktur seperti jalan, kerata api, dan telekomunikasi pada seluruh penjuru China dengan harapan bahwa potensi rakyat yang begitu besar seluruh hasil-hasil produksinya terutama sektor pertanian dapat mengakses pasar dengan mudah. China menyikapi WTO sangat jauh dari kepentingan-kepentingan politik atau dengan kata lain tidak ingin menyikapi WTO secara politik. Itulah sebabnya China menjadi anggota WTO nanti pada tahun 2002. Tidak seperti halnya Indonesia yaitu setahun setelah WTO lahir pada tahun 1995 lahirlah Undang-Undang No.7 tahun 1995 yang terkenal dengan Undang-Undang Ratifikasi terhadap WTO. Oleh karena sudah menjadi Undang-undang Nasional, maka wajib hukumnya WTO tersebut diimplementasikan di Indonesia. Apa yang terjadi dengan sikap terburu-buru serta bernuansa politik tersebut adalah bukti menunjukkan bahwa tidak ada satupun komoditi unggulan terutama sektor industri yang dapat dikategorikan sebagai Prime Mover pertumbuhan ekspor yang bisa bersaing secara global. Sebagai akibatnya adalah Indonesia hanya menjadi pasar bagi negara-negara anggota WTO yang lain di satu pihak kita tidak dapat menjangkau pasar negara-negara anggota WTO yang lain. Pertanyaannya adalah dimana prinsip pemerataan itu? Jawabannya adalah pemerataan itu bukan pemberian, akan tetapi upaya yang maksimal yang direncanakan dan dilaksanakan oleh setiap negara anggota WTO. China dan Jepang sangat menikmati kondisi tersebut. Produk-produk China sudah mendominasi Eropa dan Amerika artinya mereka sudah menikmati pemerataan itu. Bila membedah kenyataan ini maka tentu Indonesia perlu melakukan restrukturisasi di bidang kebijakan perencaan dan pelaksanaan pembangunan ekonominya sehingga nampak dengan jelas masyarakat menengah ke bawah dapat tersentuh dengan baik. Inilah yang disebut dengan pembangunan ekonomi kerakyatan, yang oleh Mubyarto disebut Sistem Pembangunan Ekonomi Pancasila. Apa yang dimaksud dengan Sistem Ekonomi Pancasila oleh Mubyarto adalah suatu model pembangunan ekonomi 11 Diolah dan dikembangkan dari John H. Jackson, William J. Davey, Alan O. Sykes, Jr., dalam International Economic Relations Cases, Material, and Text, Third Edition, 1995, hlm. 1. Demikian pula dapat dilihat dalam Dasar-Dasar Hukum lahirnya WTO yang tertuang dalam pembukaan lahirnya WTO di Marakesh Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 319 nasional yang tidak hanya memburu pertumbuhan, akan tetapi yang paling penting adalah pemerataan. Di zaman orde baru sistem ekonomi Pancasila yang dikembangkan Mubyarto banyak mendapat tantangan dari kelompok Mafia Barkley. Kelompok Barkley memprovokasi rezim orde baru bahwa ekonomi Pancasila yang menitikberatkan pada pemerataan tidak lain adalah komunis, yang tentu saja rezim orde baru sangat benci dengan komunis oleh karena trauma pada peristiwa G30-SPKI 1965 sebagai akibatnya Sistem Ekonomi Pancasila ditolak untuk dikembangkan pada zaman orde baru tersebut. Pilihannya adalah menggunakan sistem ekonomi liberal kemudian dibungkus dengan campur tangan pemerintah secara tidak signifikan. Sebagai akibatnya adalah terjadinya hegemoni kapitalisme barat dalam melakukan penguasaan sumber-sumber kekayaan alam seperti pertambangan, kehutanan, dan perbankan. Fakta ini menunjukkan Indonesia tidak mampu mengimplementasikan kedaulatannya di bidang ekonomi sehingga tanggung jawab negara dalam membangun ekonomi kerakyatan menjadi terabaikan. Antara kedaulatan di bidang ekonomi dan tanggung jawab negara dalam membangun ekonomi kerakyatan merupakan satu kesatuan yang utuh dan bersifat gradual. Artinya kedaulatan ekonomi membicarakan tentang politik ekonomi, yaitu pemerintah harus mampu membuat regulasi yang berorientasi kepada pemagaran hukum terhadap seluruh kekayaan alam bangsa Indonesia menurut semangat Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Sedangkan tanggung jawab negara membangun ekonomi kerakyatan adalah suatu proses implementasi dari aturan-aturan hukum ekonomi sebagai produk antara DPR dan Pemerintah atau Legislatif dan Eksekutif. Spirit yang terkandung dalam Pasal 33 UUD NRI 1945 meliputi: a. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan; b. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; dan c. Bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Berdasarkan ketiga prinsip tersebut dapat disaksikan betapa sangat besarnya peran negara dalam sistem ekonomi kerakyatan. Sebagaimana dilengkapi oleh Pasal 27 ayat 2 dan Pasal 34, peran negara dalam sistem ekonomi kerakyatan antara lain meliputi lima hal sebagai berikut: a. Mengembangkan koperasi; b. Mengembangkan BUMN; c. Memastikan pemanfaatan bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; d. Memenuhi hak setiap warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak; e. Memelihara fakir miskin dan anak terlantar. Perbedaan antara sistem ekonomi kerakyatan, kapitalisme, dan Neoliberalisme dapat diuraikan sebagai berikut: Sistem Ekonomi Kerakyatan a. Menyusun perekonomian sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan; mengembangkan koperasi (Pasal 33 ayat 1). b. Menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak; mengembangkan BUMN (Pasal 33 ayat 2). c. Menguasai dan memastikan pemanfaatan bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 33 320 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 ayat 3). d. Mengelola anggaran negara untuk kesejahteraan rakyat; memberlakukan pajak progresif dan memberikan subsidi. e. Menjaga stabilitas moneter. f. Memastikan setiap warga negara memperoleh haknya untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 27 ayat 2). g. Memelihara fakir miskin dan anak terlantar (Pasal 34). Sistem Kapitalisme a. Mengintervensi pasar untuk menciptanya kondisi kesempatan kerja penuh. b. Menyelenggarakan BUMN pada cabang-cabang produksi yang tidak dapat diselenggarakan oleh perusahaan swasta. c. Menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dengan pemerataan pembangunan. d. Mengelola anggaran negara untuk kesejahteraan rakyat; memberlakukan pajak progresif dan memberikan subsidi. e. Menjaga stabilitas moneter. f. Memastikan setiap warga negara memperoleh haknya untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. g. Memelihara fakir miskin dan anak terlantar. Sistem Neoliberalisme a. Mengatur dan menjaga bekerjanya mekanisme pasar; mencegah monopoli. b. Mengembangkan sektor swasta dan melakukan privatisasi BUMN. c. Memacu laju pertumbuhan ekonomi, termasuk dengan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi masuknya investasi asing. d. Melaksanakan kebijakan anggaran ketat, termasuk menghapuskan subsidi. e. Menjaga stabilitas moneter. f. Melindungi pekerja perempuan, pekerja anak, dan bila perlu menetapkan upah minimum.12 Bila ditelaah secara seksama dari ketiga sistem tersebut maka nampak jelas yang paling sesuai bagi Indonesia adalah sistem ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi menurit falsafat Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Indikator Sistem Indikator ini dimaksudkan untuk menguji sikap konsistensi pemerintah dalam rangka mengimplementasikan spirit konstitusi yang terkait dengan masalah pengelolaan ekonomi negara seperti tertuang dalam Pasal 33, Pasal 27, dan Pasal 34 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Secara ekstrim umumnya di dunia mengenal tiga sistem ekonomi, yaitu sistem Liberal, Sosialis, dan Campuran. Pertanyaan yang muncul adalah Indonesia menganut sistem apa. Sebelum menjawab pertanyaan tersebut maka terlebih dahulu penulis menguraikan bagaimana mekanisme yang berlaku pada ekonomi liberal, seperti Amerika dan Eropa. Dalam kenyataan menunjukkan bahwa sekalipun mereka menganut paham ekonomi pasar sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam WTO akan tetapi masih tetap memberikan subsidi kepada masyarakat petani di negaranya. Padahal diketahui bahwa subsidi adalah salah satu larangan dalam 12 Diolah dan dikembangkan dari pandangan Revrisond Baswir. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 321 mekanisme perdagangan di WTO. Selain subsidi yang diberikan kepada masyarakat petani di kedua benua tersebut juga dalam hal tertentu mereka melakukan proteksi terhadap barang-barang asing yang secara signifikan memasuki pasar mereka. Hal ini pula dilarang oleh mekanisme perdagangan di WTO. Apa yang dipraktikan oleh negara-negara di dua benua tersebut mestinya sudah cukup memberikan spirit bagi bangsa Indonesia sebagai sebuah negara yang sedang berkembang untuk merencanakan bangun sistem ekonominya. Sesuai amanat konstitusi, seperti yang tertuang dalam Pasal 33 UUD NRI 1945 sistem yang paling ideal sebagai Prime Mover pembangunan ekonomi bangsa adalah menganut sistem ekonomi campuran. Ekonomi campuran dalam implementasinya ternyata menganut paham Neoliberalism yang sangat jauh dari sentuhan ekonomi kerakyatan. Akan tetapi sesungguhnya jika memperhatikan fenomena yang terjadi di Amerika dan Eropa, sistem itu tidak penting tetapi apapun mekanisme yang dilakukan oleh negara dalam melakukan perencaaan dan pembangunan ekonomi bangsanya masyarakat menengah kebawah harus diberdayakan. Jadi sistem itu tidak penting, tetapi yang penting adalah kebijakan yang berisikan hati nurani, moralitas, dan keadilan, sehingga masyarakat menengah ke bawah dapat memperoleh hak-hak ekonominya seperti yang tercantum dalam Pasal 27 UUD NRI 1945, yaitu hak mendapatkan penghidupan dan pekerjaan yang layak. Pada dasarnya, sekalipun secara ekstrim sistem ekonomi dunia hanya mengenal tiga, akan tetapi sesungguhnya setiap negara berhak untuk menentukan sistem ekonomi yang dianutnya. Sistem ekonomi kerakyatan yang di wacanakan oleh Mubyarto dimulai tahun 1979 diprediksi yang paling cocok bagi bangsa Indonesia, akan tetapi mendapat banyak tantangan dengan beberapa alasan. Pertama, harus diakui bahwa teori sistem ekonomi kerakyatan pada dasarnya belum ada, sehingga sulit menetapkan definisinya secara pasti. Hal itu disebabkan oleh karena kerangka pikir ideologinya umumnya hanya bersumber dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Namun demikian, dipercaya banyak pihak justru hal tersebut sebenarnya harus menjadi landasan utama dalam menyusun ideologi kebijakan ekonomi suatu bangsa.13 Seperti telah dipraktikkan di beberapa negara maju, yang umumnya mempunyai dasar politik kapitalisme sosialis, seperti Jerman, Perancis, dan China. Ketiga negara kapitalis sosialis tersebut menerapkan sistem ekonomi kerakyatan sekalipun mereka penganut ideologi capitals liberalis. Tentu saja mereka tidak menggunakan sistem ekonomi kerakyatan akan tetapi praktiknya itulah yang disebut dengan ekonomi kerakyatan yang sesungguhnya. Di Indonesia misalnya, pemikiran paradigma ekonomi kerakyatan dipercaya beberapa ahli, yang diilhami oleh pemikiran-pemikiran Bung Hatta, yang kemudia tertung dalam kutipan penjelasan Pasal 33 UUD NRI 1945. Meskipun memang harus diakui bahwa secara eksplisit tidak ditemukan ungkapan ekonomi kerakyatan dalam Pasal 33 UUD NRI 1945, kecuali istilah Demokrasi Ekonomi, namun beberapa ahli ekonomi meyakini bahwa itu dapat disamakan artinya dengan ekonomi kerakyatan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Sistem Ekonomi Kerakyatan hanya ungkapan lain dari Demokrasi Ekonomi; Kedua, berdasarkan pengertian tersebut banyak ahli menyimpulkan bahwa ada tiga substansi dalam ekonomi kerakyatan, yaitu: 1. Perlunya partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam proses produksi nasional. Artinya adanya jaminan keikutsertaan seluruh anggota masyarakat dalam mendayagunakan seluruh potensi sumber daya ekonomi nasional, seperti 13 Marzuki DA, Op Cit, hlm. 48. 322 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 tertuang dalam Pasal 27 ayat 2 UUD NRI 1945, yang menegaskan bahwa tiaptiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. 2. Dengan partisipasi seluruh masyarakat berarti mereka dapat turut menikmati hasil produksi nasional terutama fakir miskin seperti tertuang dalam Pasal 34 UUD NRI 1945, yaitu fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. 3. Kegiatan pembentukan produksi nasional dan pembagian hasil produksi nasional tersebut harus berlangsung di bawah pimpinan atau pemilikan anggota masyarakat, itu artinya seluruh anggota masyarakat bukan hanya menjadi objek pembangunan tapi harus menjadi subjek pembangunan. Sehingga seluruh anggota masyarakat dalam partisipasinya tersebut perlu turut memiliki modal dan faktor produksi nasional, yaitu meliputi material, intelektual, dan institusional. Ketiga, dengan substansi ekonomi kerakyatan seperti itu maka jelas pihak-pihak yang menganut pemahaman ekonomi kapitalisme Neoliberalisme utamanya selalu berupaya untuk menghalangi agar pemerintahan di suatu negara yang menganut paham demokrasi ekonomi tidak dapat menerapkan prinsip ekonomi tersebut karena akan mengancam kepentingan ekonomi meraka. Inilah yang menjai tantangan berat bagi terciptanya sistem ekonomi kerakyatan di Indonesia. Diperlukan kegigihan bagi bangsa ini untuk berani menciptakan jati diri sehingga mampu berdaulat tidak hanya berdaulat di bidang politik akan tetapi yang paling penting adalah kedaulatan di bidang ekonomi. Bidang ekonomi tersebut meliputi keseluruhan faktor-faktor produksi yaitu kehutanan, pertambangan, pertanian, perikanan, serta minyak dan gas bumi. Adapun orientasi maksimal jangka panjang dari mekanisme seperti itu adalah upaya yang sungguh-sungguh untuk mencapai pasar global serta mempunyai kemampuan daya saing dari setiap segmen usaha industri dan pertanian. Sehingga dalam menghadapi WTO pada tahun 2020 tidak ada keraguan lagi; Keempat, untuk kepentingan tersebut maka ada beberapa agenda besar yang harus disiapkan pemerintah, yaitu: 1. Memperjuangkan pengurangan utang luar negeri dan memperbaiki pengelolaan utang domestik agar pembangunan ekonomi idak bermodal utang (overdraft economy). 2. Membatasi eksploitasi investor asing terhadap sumber daya alam strategis. 3. Meningkatkan disiplin pengelolaan keuangan negara dengan memerangi praktik KKN, Korupsi, pengurangan pengangguran dan kemiskinan, serta peningkatan kualitas manusia Indonesia melalui proses-proses pendidikan dan pelatihan. 4. Demokratisasi pengelolaan BUMN dan menghindari praktik-praktik privatisasi yang tidak pro-rakyat. 5. Membenahi sistem pengelolaan keuangan masyarakat pada lembaga-lembaga perbankan, utamanya bank milik pemerintah termasuk bank sentral agar dapat mendukung kebijakan-kebijakan pembangunan ekonomi pemerintah yang pro kepentingan rakyat. 6. Pembatasan penguasaan dan retribusi penguasaan lahan terutama pertanian oleh pihak-pihak tertentu secara tidak adil, sesuai amanat Pasal 33 UUD NRI 1945 dan juga Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960 Pasal 2 mengatakan bahwa, negara berhak mengatur peruntukan penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan lahan pertanian bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 323 7. Penyesuaian dan pembenahan undang-undang lembaga ekonomi masyarakat seperti koperasi dan lembaga-lembga keuangan masyarakat kecil (BPR) agar dapat menjadi lembaga ekonomi kekeluargaan, agar sektor ekonomi potensial masyarakat dapat diolah lebih produktif oleh masyarakat daerah sendiri-sendiri. Tata kelola ekonomi yang pro-rakyat dapat diambil sebagai contoh yang dilakukan oleh pemerintah kerajaan Inggris pada tahun 1979 yang disebut dengan British Privatization Taking Capitalism to the people.14 Semula pemerintah kerajaan Inggris menolak privatisasi, akan tetapi berkat kecerdikan dan inovasi dari Thomas Moore, beliau terkenal sebagai tokoh di belakang privatisasi yang sukses di Inggris, mengatakan bahwa privatisasi itu baik untuk meningkatkan kualitas industri apapun dari suatu negara dengan syarat-syarat sebagai berikut : 1. Harus dilihat dengan seksama kondisi objektif dari suatu perusahaan negara sehingga bila sudah terjadi surplus dalam proses produksinya maka BUMN seperti itu tidak perlu lagi di privatisasi. Artinya, BUMN yang sudah positif dalam menjalankan manajemen bisnis secara profesional, tidak ada alasan untuk di privatisasi. 2. Bila suatu BUMN karena faktanya tidak efisien maka itu harus di privatisasi dengan syarat pembeli saham pertama dari BUMN itu di utamakan karyawan da bahkan buruh. 3. Pembelian saham oleh karyawan setiap anggota atau grup tidak boleh melebihi 15 % dari total jumlah saham di BUMN tersebut. Dengan demikian terjadilah privatisasi yng pro-rakyat oleh karena seluruh modal kapitalisme telah terbagi rata pada seluruh pemegang kepentingan (Stakeholder). British Privatization Taking Capitalism to the people artinya suatu modal privatisasi yang memindahkan modal-modal kapitalisme ketangan rakyat yang berkaitan dengan ekonomi menengah kebawah. Model privatisasi pada pemerintah kerajaan Inggris berhasil dari segi pertumbuhan. Sebelum privatisasi sekitar tahun 1980an, secara keseluruhan BUMN-BUMN di Inggris rugi sekitar 3 Milyar Pound sterling tiap tahun. Sekarang setelah privatisasi telah memberikan keuntungan yang signifikan, rata-rata 2 Milyar Poundsterling tiap tahun dan mampu menggerakkan dana sebesar 7 Milyar Poundsterling dalam bisnis di pasar modal. Pada thun 1979, sebelum digencarkan upaya privatisasi penduduk Inggris yang memiliki saham perusahaan hanya 7 %, pada tahun 1991 naik 25 % dari jumlah penduduk.15 Perbedaan yang sinifikan kepemilikan saham oleh rakyat Inggris bila dibandingkan sebelum dan sesudah privatisasi disebabkan, pertama, pada saat privatisasi para karyawan atau buruh dalam perusahaan-perusahaan negara diransang untuk membeli saham perusahaan yang mengalami privatisasi. Kedua, pengendalian yang tajam agar satu orang atau satu kelompok orang dari interest group yang sama, tidak membeli saham perusahaan lebih dari 15%, khususnya yang berkaitan dengan saham yang mempunyai hak suara. Dengan perkataan lain, seseorang atau suatu kelompok dari group yang memiliki privat interest yang sama tidak boleh mempunyai hak suara lebih dari 15 %.16 Ketiga, meningkatkan mutu social responsibility dari para pemegang saham perusahaan negara yang ikut privatisasi, melalui dialog yang diciptakan untuk pendidikan dan peningkatan tanggung jawab bersama, untuk menggerakkan apa yang mereka sebut democratic participation antara lain melalui perluasan basis 14 Thoby Mutis. Op.cit. hlm. 94. 15 Ibid. 16 Ibid, hlm. 95. 324 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 pemilikan modal dalam perusahaan.17 Kata democratic participation adalah sama artinya dengan pohon-pohon koperasi yang dikemukakan oleh Bung Hatta sebagai bangun perencanaan dan pembangunan ekonomi kerakyatan Indonesia. Bung Hatta menjelaskan bahwa demokrasi ekonomi ala Indonesia di maksudkan agar tidak terjadi monopoli kepemilikan faktor-faktor produksi dalam sistem perekonomian negara.18 Bila dibandingkan model privatisasi di Inggris dan Indonesia sekarang ini maka nampak jelas perbedaannya terutama diliat dari segi siapa-siapa yang membeli saham BUMN yang diprivatisasi tersebut. Indonesia misalnya sudah memprivatisasi perbankan, PLN, Telkom, Pelabuhan, dan beberapa perusahaan negara lainnya. Akan tetapi dalam kenyataannya saham-saham BUMN tersebut telah di monopoli oleh pemodal asing sehingga spirit Pasal 33 UUD NRI 1945 telah berpindah ke Inggris dan tidak berada di Indonesia. Di Indonesia adalah teori tapi di Inggris adalah kenyataan. Sehingga dengan demikian jangankan karyawan dan buruh bisa dapat memiliki sahamsaham BUMN yang diprivatisasi, pengusaha swasta nasional sekalipun tidak diberi kesempatan untuk membeli saham-saham tersebut. Kesimpulan sementara yang dapat ditarik bahwa sesungguhnya privatisasi yang di wacanakan dalam WTO dari sudut pandang sejarahnya adalah sangat positif karena bertujuan mulia yaitu menciptakan penyetaraan kemampuan daya saing dari semua negara anggota terkait apapun industri-industri unggulannya. Jika selama ini baik orang awam maupun pakar melihat privatisasi sebagai suatu kesalahan maka sesungguhnya hal itu tidak benar. Akan tetapi kuncinya adalah tergantung dari kehendak pemerintah untuk menggunakan teori apa dalam menjalankan privatisasi itu. Kesan kita selama ini bahwa negara-negara di Eropa dan Amerika melakukan privatisasi yang jauh dari kepentingan rakyat sama sekali tidak benar, terbukti dengan gagasan Thomas Moore di Inggris yang merekomendasikan kepada pemerintah agar melakukan privatisasi yang pro rakyat. Pertanyaan yang harus dijawab adalah mengapa privatisasi gagal di Indonesia, padahal seharusnya dalam menghadapi WTO semangat privatisasi dengan tujuan meningkatkan daya saing di bidang ekspor merupakan keniscayaan. Untuk menjawab pertanyaan ini perlu membedah politik hukum ekonomi Indonesia apakah dijalankan secara konsisten atau tidak. Amandemen UUD NRI 1945 tahun yang sudah mengalami empat kali amandemen sangat berpengaruh terhadap politik ekonomi Indonesia. Di jaman Orde Baru, semua regulasi yang berkaitan dengan perencanaan pembangunan ekonomi nasional berada di eksekutif. Setelah era reformasi, maka perencanaan dan pembangunan ekonomi nasional dan politik ekonomi nasional berada ada tiga tempat, yaitu di eksekutif, legislatif, dan partai. Kompromi-kompromi dari tiga komponen inilah yang melahirkan politik ekonomi nasional. Di satu pihak sangat jelas bahwa kepentingan mereka juga berbeda-beda. Namun, yang jelas mereka sama-sama tidak memihak rakyat. Dalam privatisasi yang benar, perusahaan-perusahaan BUMN tidak diarahkan untuk mempunyai kedudukan monopoli, tetapi untuk melaukan persaingan yang fair yang disebut dengan Contestable market.19 Sehingga penataan aspek at least cost combination disadari secara tajam oleh para pengelola dan pemegang saham. Ini terungkap dalam ucapan Thomas Moore “…since the competition is the best way to keep prices low and quality high, the state; job is to make competition real…” , yang artinya persaingan adalah jalan terbaik untuk mejaga kestabilan harga yang rendah dengan kualitas yang tinggi, negara mempunyai tugas 17 Ibid. 18 Lihat, Mohammad Hatta, Membangun Ekonomi Indonesia, Kumpulan Pidato Ilmiah yang disusun oleh Meutia Farida Swasono dan I Wangsa Widjaya, 1985, hlm. 80. 19 Op.Cit, hlm. 97. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 325 membuat persaingan yang nyata. Dari teori ekonomi pun sering tergambar bahwa real competition atau perfect competition adalah yang paling mungkin menciptakan situasi kenikmatan yang diraih seseorang atau lembaga yang tidak menimbulkan trade off bagi yang lain (pareto optimum). Peranan WTO Dalam Menghadapi Ekonomi Kerakyatan Untuk memahami kebaikan dan keburukan dari WTO sebagai instrumen hukum dalam membangun ekonomi kerakyatan, maka diperlukan indikator-indikator sebagai tolak ukur penilaian. Indikator-indikator yang dimaksudkan oleh penulis antara lain, peluang pelaku usaha miro kecil menengah, peningkatan efisiensi pengelolaan usaha mikro kecil menengah dan koperasi, kerjasama dalam investasi. Peluang Pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah Literatur yang berbicara tentang sistem ekonomi kerakyatan telah banyak diuraikan oleh ahli-ahli ekonomi baik ahli dalam negeri maupun luar negeri. Namun sesungguhnya apa yang dimaksud dengan ekonomi kerakyatan disimpulkan bahwa tidak lain adalah demokrasi ekonomi yang memberi tempat kepada semua pelaku ekonomi secara proporsional untuk melaksanakan kegiatan ekonominya dan satu sama lain terkait secara fungsional. Jadi ekonomi kerakyatan tidak dimaksudkan untuk hanya mempersoalkan pentingnya penguatan ekonomi masyarakat miskin, akan tetapi suatu pemikiran yang komprehensif yang diletakkan kepada prinsip-prinsip kemitraan. Dalam prinsip kemitraan terkandung makna yang paling mendalam, yaitu bahwa yang kuat berkewajiban mendorong yang lemah, dan yang lemah berkewajiban untuk taat dalam menjalankan fungsi-fungsi bisnis yang profesional (Empowering Each Sectors). Alfred Marshall, dalam bukunya yang terkenal Principles of Economics (1890) menyatakan: Ekonomi adalah studi tentang manusia sebagaimana mereka hidup dan berbuat serta berpikir dalam urusan kehidupan biasa. Selanjutnya dikatakan bahwa, ekonomi mempelajari segi tindakan individu dan masyarakat, yaitu tindakan yang paling erat berhubungan dengan perolehan dan penggunaan barang-barang yang diperuntukan bagi kesejahteraan.20 Dari pandangan Marshall tersebut, penulis melakukan analisis yang mendalam kemudian berpendapat bahwa apapun sistem perekonomian yang dianut oleh suatu bangsa bukan sesuatu yang harus dipandang major, oleh karena sesungguhnya yang ingin dicapai dalam sistem tersebut adalah tercapainya kesejahteraan masyarakat. Sistem hanyalah panduan tentatif yang mengelola proses dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi tanggung jawab negara bagi pemerintah untuk memenuhi hajat hidup orang banyak. Pada zaman orde lama Indonesia menggunakan sistem ekonomi komando atau ekonomi terpimpin yang didasarkan kepada prinsip kepercayaan diri yang maksimal bahwa tidak ada yang dapat membangun kekuatan ekonomi bangsa ini kecuali bangsanya sendiri. Atas dasar pandangan ini, Bung Karo mengirim pemudapemuda Indonesia yang cerdas menuntut ilmu di Eropa pada era tahun 1960-an. Tujuannya adalah bahwa kekayaan alam bangsa ini yang tergolong nomor wahid di dunia jangan diserahkan secara gelondongan kepada ahli-ahli asing, oleh karena ahli asing itu sudah pasti hanya memburu rente semata. Pemikiran untuk memperkuat ekonomi bangsa semata-mata ada pada kekuatan rakyat Indonesia sendiri. Pada era orde baru (pasca Bung Karno) yang dikenal dengan era Suharto, sistem ekonomi bangsa ini mulai dibuka untuk masuknya modal asing. Sebagai hasil dari keterbukaan ini lahirlah Freeport pada tahun 1967 dan Inco tahun 1968 sebagai investor besar pertama yang 20 Op.Cit, Tom Gunardi, hlm. 1 326 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 masuk di Indonesia. Dalam kenyataannya baik sistem komando yang diterapkan oleh Bung Karno maupun sistem keterbukaan yang diterapkan oleh rezim Suharto tidak mampu melahirkan suatu kinerja yang sungguh-sungguh konsisten terhadap konstitusi terkait Pasal 27, Pasal 33, dan Pasal 34 UUD NRI 1945. Kenyataan kegagalan tersebut menimbulkan pertanyaan bahwa sistem apakah sebetulnya yang paling benar untuk diterapkan dalam memperkuat ekonomi masyarakat bangsa Indonesia. Penulis berpandangan bahwa untuk menjawab pertanyaan tersebut harus dilihat siapa yang mengendalikan sistem. Sistem tidak lain adalah regulasi atau aturan yang isinya adalah soal mekanisme, fungsi-fungsi, tanggung jawab, dan konsistensi, integritas, moralitas, kesadaran dan kepedulian. Kalimat kepedulian dan kesadaran harus dimaknai yaitu peduli dan sadar terhadap spirit konstitusi yaitu UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, yang mengatakan bahwa: Perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan. Kepedulian dan kesadaran bahwa pemerintah mempunyai tanggung jawab mengelola bangsa ini secara efisien, efektif, transparan, dan kompetitif dalam pergaulan internasional. Pertanyaan mendasar yang harus dijawab oleh penulis adalah terkait apakah WTO dapat menjadi instrument dalam membangun ekonomi kerakyatan? Setelah melakukan bedah literature, penulis berpendapat bahwa sistem ekonomi kerakyatan adalah yang paling mungkin membuat bangsa ini dapat maju berkompetisi dalam pergaulan internasional. Akan tetapi tentu harus melalui beberapa persyaratan sebagai berikut: a. Konsisten, yaitu suatu pemikiran bahwa yang akan bertarung dalam pasar global adalah pelaku-pelaku bisnis nasional yang berkualitas, inovatif, dan bertanggung jawab. Untuk itu, diperlukan aturan hukum sebagai alat ukur untuk menilai apakah pemerintah sungguh-sungguh berpihak kepada penguatan ekonomi kerakyatan atau tidak. Jika aturan hukum tersebut sudah ada, tetapi yang menjadi masalah adalah soal efektifitasnya, maka tentu hal itu siapapun departemen terkait atau pejabat terkait dengan hal itu harus diberi sanksi yang tegas. Prinsip kegotong-royongan dalam era global, penulis berpendapat bahwa hal itu bisa dijual dan telah banyak pakar dunia di bidang ekonomi yang mendukung hal itu. Antara lain Thomas Moore di Inggris yang terkenal sebagai Bapak Privatisasi di Inggris yang pro-rakyat yang dimulai pada tahun 1980. b. Transparan, yaitu suatu pemikiran bahwa sistem ekonomi kerakyatan tidak diarahkan semata-mata mendistorsi orang miskin dan orang kaya, akan tetapi ekonomi kerakyatan yang dimaksud adalah keterkaitan secara fungsional antara sesama pelaku ekonomi yang bertujuan mempersempit gap antar keduanya. Sebagai konsekuensinya maka perencanaan pembangunan ekonomi kerakyatan harus transparan dalam hal manajemen, modal, metode, material, dan machine. Yang dimaksud machine dalam ilmu manajemen adalah energi keseluruhan yang menggerakan industri produktif yang berorientasi profit. Jadi, intinya adalah bahwa jika WTO hendak dijadikan sebagai instrument hukum dalam menghadapi ekonomi kerakyatan, maka kata kuncinya adalah terletak pada komitmen pemerintah memperkuat ekonomi kerakyatan. Seperti yang dilakukan oleh Thomas Moore di Inggris. c. Keinginan, yaitu pemerintah harus sungguh-sungguh sadar bahwa untuk menjadikan WTO sebagai instrument hukum dalam membangun ekonomi kerakyatan, maka kuncinya adalah Indonesia jangan dijadikan objek WTO tetapi harus menjadi subjek yang setara dan mandiri dalam rangka menentukan Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 327 arah kebijakan pengelolaan sumber-sumber kekayaan alam Indonesia. Terkait soal keinginan ini, G.H. Adink seorang ahli Tata Negara di Utrecht bahwa menurut hasil penelitiannya yang dilakukan di Afrika seperti Nikaragua dan Zimbabwe, keberhasilan kedua negara tersebut mengintegrasikan ekonomi kerakyatan dengan WTO disebabkan oleh sikap pemerintah yang konsisten, transparan, dan berkehendak.21 Peningkatan efisiensi pengelolaan usaha Jika kita melakukan kajian yang menyeluruh, maka akan muncul suatu pemikiran bahwa jika ideologi kapitalisme bisa dijual di dunia dan memiliki kekuatan pangsa pasar yang begitu besar, mengapa kita tidak memikirkan bahwa ideologi ekonomi kerakyatan adalah hal yang paling mungkin untuk dijual di pasar global. Instrumen hukum internasional dalam WTO tidak harus dimaknai hilangnya kekuatan-kekuatan hukum nasional yang terkait dengan perencanaan dan pembangunan ekonomi sebuah bangsa berdaulat. WTO tidak mematikan demokrasi ekonomi yang berenergikan elemen-elemen koperasi masyarakat dari sebuah bangsa berdaulat. WTO harus dimaknai sebagai sebuah kekuatan energi baru yang men-charge faktor-faktor produksi yang selama ini dikelola oleh golongan pengusaha mikro kecil dan menengah seperti UKM di Indonesia. Memang dibutuhkan paradigma baru untuk merekonstruksi bangun pikir pemerintah Indonesia dalam rangka usaha memajukan kesejahteraan masyarakat. Pemikiran untuk menjual ideologi ekonomi kerakyatan adalah suatu paradigma baru yang mesti diupayakan menjadi sebuah kenyataan. Asas gotong royong dan kekeluargaan yang tertuang dalam Pasal 33 UUD NRI 1945 sesungguhnya merupakan milik bersama umat manusia secara kodrati sehingga tidak mungkin terjadi resistensi akan hal itu.22 Pemikiran selama ini yang mendikotomikan antara globalisasi dan ekonomi kerakyatan semata-mata didasarkan pada kenyataan tidak berdayanya negara-negara berkembang untuk berkompetisi melalui mekanisme WTO di pasar global. Jika dikaji secara seksama kenyataan itu disebabkan suatu mekanisme yang keliru dalam penerapan rambu-rambu hukum WTO, yaitu negara-negara seakan-akan disuruh bertanding secara bebas antara negara kuat dengan negara berkembang tanpa melalui pelatihan-pelatihan terlebih dahulu seperti lazimnya dalam dunia olahraga misalnya. Dalam dunia olahraga manapun tidak ada pertandingan yang besar (Big Match) tanpa melalui proses-proses latihan terlebih dahulu. Ilustrasi ini penulis lakukan untuk memberi arahan pada pemerintah bangsa Indonesia agar tidak berfikir membenci WTO akan tetapi bagaimana berfikir menjadikan WTO sebagai kekuatan baru dalam menghadapi pertandingan besar pada tahun 2020. Kuncinya adalah memaksimalkan latihan sampai pada batas waktu yang ditentukan. Jadi, dibutuhkan pertandinganpertandingan yang kecil sebelum masuk ke gelanggang pertandingan yang besar. Bagi Indonesia ada zona AFTA dan APEC sebagai tangga untuk masuk pada zona WTO dalam prinsip pertarungan bebas (Free Fight Liberalism) tahun 2020. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah Indonesia mempunyai kepedulian dan kesadaran tentang kekuatan mengikat (Legaly Binding) dari WTO dalam artian tidak selalu berlindung dalam asas demi kepentingan umum WTO harus dikesampingkan. Toleransi-toleransi mengenyampingkan WTO ada ketentuannya, yaitu apabila kita berada pada posisi yang disebut Invant Indutry (Industri bayi). Indonesia yang telah 21 Op.Cit, G.H. Adink, hlm.15. 22 Laode Abdul Gani, Tesis S2 di Bandung, 1997. 328 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 merdeka selama 66 tahun sangat tidak logis untuk selalu memposisikan diri sebagai pemilik-pemilik industri bayi. Dari sudut logika maka Indonesia mestinya merasa malu bila selalu berlindung dibalik ketidak mampuannya. Hernando de Soto menyanggah asas laissez-faire oleh karena dalam penelitiannya menemukan bahwa keberhasilan seseorang tidak ditentukan oleh prakarsa dan kerja keras tetapi pada kemampuan pengusaha untuk menarik hati Presiden, Menteri, dan pejabat-pejabat pemerintah lainnya yang biasanya berarti kemampuan untuk “membeli” mereka. Alih-alih mendukung kegiatan untuk menghasilkan kekayaan baru, sistem itu malah mematahkan semangat setiap orang yang ingin berusaha kearah itu dan memilih sekedar memutar modal pokok yang ada dan yang makin lama makin susut.23 Memang harus diakui campur tangan negara dalam sistem perekonomian seperti yang dipraktikan Indonesia di era orde baru adalah sebuah kesalahan besar, yaitu mengukur kemajuan sektor ekonomi bertumpuk pada indikatr tunggal yaitu GNP (Growth National Product) sementara pelakunya dalam sektor-sektor produksi hanya sekitar 20 % dari total penduduk nasional. Sehingga terjadilah kesenjangan antara pemikiran ekonomi positif dan pemikiran ekonomi normatif. Ekonomi positif hanya berbicara tentang bagaimana kenyataan yang sebenarnya, sedangkan pemikiran ekonomi nortmatif berbicara tentang bagaimana kenyataan yang seharusnya. Yoseph Stiglitz dan George Stigler, serta Milton Friedman adalah penggagas-penggagas peran ekonomi negara dan kelembagaan yaitu membicarakan masalah ekonomi dikaitkan dengan masalah-masalah politik, sosial, dan agama. Kerjasama dalam investasi Dalam WTO terdapat TRIPS (Trade Related Aspect of Investment Measures), yang mengatur tentang bagaimana pergerakan investasi atau modal dari negara ke negara yang lain melalui perjanjian-perjanjian internasional baik bilateral maupun multilateral. Indonesia termasuk negara yang selalu menerima bantuan dana sindikasi dari beberapa negara maju, seperti yang dikenal negara-negara G20, sebagai donator tetap Indonesia di jaman orde baru. Piagam PBB mengatakan bahwa bila suatu negara berdaulat tertentu mengalami krisis ekonomi maka negara tersebut wajib hukumnya menurut hukum internasional untuk dibantu. Lembaga PBB yang berkompeten untuk membantu negara-negara yang bermasalah dalam bidang ekonominya adalah IMF (International Monetery Found) dan World Bank. Indonesia termasuk peminjam tetap dari dua lembaga keuangan PBB tersebut. Hal ini tentu menunjukkan bahwa Indonesia dipercaya sebagai debitur yang lancar membayar bunga dan pokok pinjaman. Pada dasarnya sebagian besar negara-negara di dunia baik negara maju maupun negara berkembang memerlukan investasi asing dalam negerinya. Akan tetapi fakta menunjukkan negara-negara maju di Eropa dan Amerika menopang pertumbuhan ekonominya dengan kekuatan industri dalam negerinya, sehingga investasi asing hanya bersifat temporer dan komplementer. Artinya, perencanaan dan pembangunan ekonomi kerakyatan suatu negara prime mover nya adalah kekuatan ekonomi nasional melalui sektor industri manufaktur. 23 Ibid. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 329 PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini, maka peneliti dapat menyimpulkan sebagai berikut: 1. Bila dilihat dari tiga indikator bentuk tanggug-jawab negara yaitu, indikator hukum, indikator penegak hukum, dan indikator sistem hukum, maka spirit atau amanat konstitusi sebagaimana tertera pada Pasal 27, Pasal 33, dan Pasal 34 UUD NRI 1945, belum efektif sebagaimana mestinya. Sehingga dengan demikian masyarakat bangsa Indonesia dapat melakukan Constitutional Complain. 2. WTO (World Trade Organization) dapat menjadi instrumen hukum dalam membangun ekonomi kerakyatan dengan syarat pemerintah harus berdaulat dalam arti mandiri dan percaya diri dalam mengelola sumber-sumber kekayaan alamnya berdasarkan prinsip-prinsip kedaulatan negara dan prinsip hak menentukan nasib sendiri menurut ketentuan hukum internasional. 3. Penerapan sistem ekonomi kerakyatan dala membangun ekonomi Indonesia dilihat dari tiga indikator, yaitu pelaku usaha UKM, peningkatan efisiensi pengelolaan usaha, dan kerjasama dalam investasi, pemerintah belum berpihak kepada kepentingan rakyat. Saran Berdasarkan hasil pembahasan serta kesimpulan yang diajukan, maka peneliti mengemukakan saran sebagai berikut: 1. Tanggung-jawab negara dalam membangun ekonomi kerakyatan harus dimulai dengan sikap konsistensi pemerintah, yaitu mensinergikan unsur-unsur penegakan hukum, penegak hukum, dan sistem hukum. 2. Tanggung-jawab negara membangun ekonomi kerakyatan dalam menghadapi WTO haruslah dipandang WTO sebagai instrumen hukum dalam membangun ekonomi kerakyatan dengan syarat melakukan penguatan-penguatan industri nasional, melakukan efisiensi, transparansi, inovasi, dan produk-produk yang berkualitas yang diyakini mampu berkompetisi secara global. 3. Sistem ekonomi kerakyatan harus dijual di pasar global sebagai mekanisme yang paling objektif dan adil untuk diterapkan bagi seluruh negara di dunia. Jadi, peneliti menyarankan sistem ekonomi kerakyatan harus menjadi milik bersama umat manusia berdasarkan prinsip-prinsip keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum (unity). 330 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 DAFTAR PUSTAKA Adolf, Huala, 1994. Masalah-Masalah Hukum Dalam Perdagangan Internasional, Jakarta: Rajawali Press. __________, 2006. Hukum Perdagangan Internasional, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. __________, 1991. Arbitrase Komersial Internasional, Jakarta: Rajawali. Asshiddiqie, Jimly, 2005. Hukum Acara Pengujian Undang-undang. Cetekan Pertama. Klaten: CV. Sahabat. Asia Pasific Law Review. Editor, David Campbell. 1994. Special Issue. Hongkong Number I. A.M.W. Pranarka, 1987. Epistehologi Dasar Suatu Pengantar. Jakarta: CSIS. A. Tony Prasetiantono. 1995. Agenda Ekonomi Indonesia. Jakarta: Gramedia. Baslar, Kemal, 1998. The Concept of the Common Heritage of Mankind in International Law. Netherlands: Martinus Nijhoff Publishers. Bakker, Anton dan Achmad Charris, 1994. Metodologi Penelitian Filsafat. Cetakan ke-4. Jogyakarta: Kanisius. Bedjaoui, Mohammed. Menuju Tata Ekonomi Dunia Baru. Jakarta: Gunung Agung. Bhagwati, Jagdish, 1992. Protectionism 1988, Terjemahan Tom Gunadi. Bandung: Ankasa. Butler N.Henry, 1987. Legal Environment of Business Goverment Regulation and Public Policy Analysis. America: South Western Publishing. Blodgett, Ralph H, 1945. Comparative Economic system, Revised. United States of America: The Macmillan Company. Burgenthal, Maier, 1985. Public International Law In Anutshell 2nd ed. West Publishing. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 331 332 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 PERTANGGUNGJAWABAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA J. Victor Mailangkay Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 PERTANGGUNGJAWABAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA Oleh: J. Victor Mailangkay Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sulawesi Utara Jl. Achmad Yani, No. 2, Sario, Manado, Sulawesi Utara E-mail: [email protected] Abstract The results of the research indicated that, First, the nature of the DPRD responsibility in the exercise of its authority and function represent a relationship between the representative and represented based on truth which will deliveri people legitimacy as the owner of sovereiggnty, the main pillar of democracy , which will support the national stability in general and the local region in particular, 2) the implmentation of the current DPRD responsibility is not optimum yet. Which is indicated by: a) the implementation of DPRD function as a representation of the people and local goverment executor is not optimum yet, b) there is no mechanism of DPRD direct responsibility to the people, therefore the people may not be able to make direct evaluation on the DPRD performance, 3) ideal concept of establishing responsible DPRD in the realization of good local legislative governance is to make a change in the mechanism of DPRD member candidate by political parties, the establisment of independent or non partisan by courtesy board, deciding performance standart of DPRD and the improvement of code of ethic substance as well as the consistency in their maintenance. Keywords: Responsibility, Regional Representative Council Abstrak Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertama, hakikat pertanggungjawaban DRPD dalam pelaksanaan kewenangan dan fungsinya adalah hubungan antara wakil dengan terwakil yang dilandasi kepercayaan yang akan melahirkan legitimasi dari rakyat sebagai pemilik kedaulatan sebagai pilar utama demokrasi. Kedua, pelaksanaan pertanggungjawaban DPRD saat ini belum optimal. Hal ini ditandai dengan; a) belum optimalnya pelaksanaan fungsi-fungsi DRPD dalam kedudukan sebagai wakil rakyat dan sebagai penyelenggara pemerintahan daerah; b) belum ada suatu mekanisme pertanggungjawaban DRPD yang bertanggungjawab dalam rangka perwujudan good local legislative governance adalah dengan melakukan perubahan dalam mekanisme pencalonan anggota DRPD oleh partai Politik, pembentukan badan kehormatan yang independen atau norpartisan, penetapan standar kinerja DRPD serta perbaikan subtansi kode etik serta konsistensi dalam penegakannya. Kata Kunci: Pertanggungjawaban, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 PENDAHULUAN Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) adalah konstitusi negara Indonesia yang merupakan hasil kesepakatan seluruh rakyat Indonesia. Keberlakuan UUD NRI 1945 berlandaskan pada legitimasi kedaulatan rakyat sehingga UUD NRI 1945 merupakan hukum tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, hasil-hasil perubahan UUD NRI Tahun 1945 berimplikasi terhadap seluruh lapangan kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama karena perubahan tersebut meliputi hampir keseluruhan materi UUD NRI 1945. Jika naskah asli UUD NRI 1945 berisi 71 butir ketentuan, maka setelah empat kali mengalami perubahan materi muatan UUD NRI Tahun 1945 mencakup 199 butir ketentuan.1 Negara Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat atau democratie (democracy). Pemilik kekuasaan tertinggi dalam negara adalah rakyat. Kekuasaan yang sesungguhnya adalah berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Kekuasaan bahkan diidealkan diselenggarakan bersama-sama dengan rakyat. Dalam sistem konstitusional UndangUndang Dasar, pelaksanaannya kedaulatan rakyat itu disalurkan dan diselenggarakan menurut prosedur konstitusional yang ditetapkan dalam hukum dan konstitusi (constitutional democracy). Istilah demokrasi menurut C.F. Strong2 digunakan sangat beragam. Ada kalanya digunakan untuk menyebut suatu pemerintahan dan hal ini kerap dikonotasikan dengan kondisi suatu masyarakat. Namun, dalam dunia kontemporer, ketika nasionalisme menjadi dasar bagi demokrasi politik, maka demokrasi yang berkembang adalah suatu demokrasi politik yang mengisyaratkan bahwa pemerintah harus bergantung pada persetujuan maupun ketidaksetujuan rakyat. Jadi, demokrasi yang dimaksud dalam pengertian C.F. Strong ini adalah suatu sistem pemerintahan yang mayoritas anggota komunitas politiknya turut berpartisipasi melalui cara perwakilan yang menjamin bahwa pemerintah harus mempertanggungjawabkan segala tindakannya kepada kelompok mayoritas tersebut. Dengan kata lain, negara konstitusional kontemporer dalam pandangan C.F. Strong adalah negara yang sistem demokrasi politiknya berdasarkan pada suatu sistem perwakilan yang demokratis dan menjamin kedaulatan rakyat. Prinsip kedaulatan rakyat (democratie) dan kedaulatan hukum (nomocratie) hendaklah diselenggarakan secara beriringan sebagai dua sisi dari mata uang yang sama.3 Untuk itu, UUD NRI 1945 menganut pengertian bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang demokrasi (democratische rechtsstaat) dan sekaligus adalah negara demokrasi yang berdasarkan atas hukum (constitutional democracy) yang tidak terpisahkan satu sama lain.4 Ide konstitusionalisme menjadi tumpuan kehidupan bernegara dalam upaya mewujudkan hukum yang supreme di suatu negara yang demokratik, dalam pandangan Soetandyo Wignjosoebroto,5 harus dikembalikan kepada esensi doktrinalnya yaitu pertama, doktrin kebebasan sebagai hak manusia yang asasi dan kodrati karena hak tersebut ada meskipun tidak diberikan oleh negara. Kedua, doktrin rule of law yang menjadikan hukum sebagai ide dasar tertinggi di antara norma apapun di dalam kehidupan bernegara. 1 Jimly Asshiddiqie. Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945. Makalah Disampaikan dalam Simposium yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM. Jakarta. 2003. Hlm. 1 2 C.F. Strong. Konstitusi-konstitusi Politik Moderen : Studi Perbandingan tentang Sejarah dan Bentukbentuk Konstitusi Dunia (terj. dari Modern Political Constitutions : an Introduce to Comparative Study of Their History and Existing oleh SPA Team Work ) Nuansa dan Nusamedia : Bandung. 2004. Hlm. 17 3 Jimly Asshiddiqie. Op cit . 2003. Hlm. 1 4 Ibid. 5 Dalam Jimly Asshiddiqie. Konstitusi dan Ketatanegaraan Indonesia Kontemporer. The Biography Institute. Jakarta. 2007. Jakarta. Hlm. 120 336 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 Istilah “rechtsstaat” (negara hukum) adalah suatu istilah yang baru muncul pada abad ke-19 jika dibandingkan istilah-istilah terkenal lainnya dalam ketatanegaraan, seperti demokrasi, konstitusi, kedaulatan, dan sebagainya. Terkait dengan doktrin negara hukum, Brian Z. Tamanaha,6 mengemukakan bahwa: They all emphasize that the primary value of the rule of law the essence of what it does is to provide predictability, thereby allowing people to plan and that this is highly valued because it enhances individual autonomy. Above all, the rule of law is about legal liberty. Another point of unanimity is that the rule of law is neutral with regard to a wide range of alternative substantive content. Fuller asserted that his notion of legality was “indifferent toward the substantive aims of the law and is ready to serve a variety of such aims with equal efficiency. Jadi dalam pandangan Brian Z. Tamanaha, nilai utama esensi negara hukum adalah untuk memberikan prediktabilitas, sehingga memungkinkan orang untuk merencanakan dan bahwa hal ini sangat dihargai karena meningkatkan otonomi individu. Namun, tidak hanya cukup dengan mencakup aturan hukum yang dipahami secara formal tetapi juga mencakup jauh lebih pada substansi kepastian, kejelasan, publisitas, prospektivitas. Teori ini menekankan bahwa unsur-unsur ini diperlukan dalam suatu negara hukum adalah aturan hukum yang disahkan dan tidak boleh menyimpang dari aturan-aturan untuk mencapai keadilan subtantif. Dalam tulisan yang sama, Brian Z. Tamanaha, mengemukakan pula bahwa: Those who expouse substantive conceptions of the rule of law seek to go beyond this. They accept that the rule of law has the formal attributes mentioned above but they wish to take the doctrine further. Certain substantive rights are said to be based on or derived from the rule of law. The concept is used as the foundation for these rights which are then used to distinguish between “good” laws which comply with such rights. and “bad” laws which do not. 7 Olehnya itu, menurut Brian Z. Tamanaha, konsep substantif dari negara hukum berusaha untuk melampaui konsepsi negara hukum formal. Negara hukum memiliki atribut formal tetapi hak substantif warga negara harus diberikan dalam rangka mencapai supremasi hukum. Konsep substansif digunakan sebagai dasar yang kemudian digunakan untuk membedakan antara hukum yang baik, dan hukum yang buruk. Dalam ketentuan perundang-undangan tentang mekanisme pertanggungjawaban DPRD kepada rakyat, sejauh ini, belum diatur dan belum dipahami secara luas dengan benar. Dalam realitasnya, tampak bahwa mekanisme pertanggungjawaban pemerintahan dimaknai secara sempit yaitu pertanggungjawaban badan eksekutif terhadap badan legislatif. Sedangkan mekanisme pertanggungjawaban badan legislatif terhadap rakyat, dalam hal ini rakyat pemilihnya, sama sekali belum diatur secara tegas dan proporsional. Demikian pula halnya dengan mekanisme pertanggungjawaban badan eksekutif dan badan yudikatif terhadap rakyat, juga belum diatur dalam sebuah ketentuan perundang-undangan yang dipandang memadai dan dijadikan pedoman dalam penyelenggaraan pemerintahan.8 Pandangan lain dikemukakan oleh Taliziduhu Ndraha,9 yang selanjutnya mengemukakan tentang materi yang harus dipertanggungjawabkan, yakni meliputi: Berbagai produk kebijakan legislatif dan eksekutif yang ternyata merugikan rakyat banyak, demikianpun melalui sikap dan perilaku, tutur kata, ucapan, pidato, janji, sumpah 6 Brian Z. Tamanaha. The Rule of Law Theory. Oxford University . New York. 2001. Hlm. 5 7 Ibid. 8 Paimin Napitupulu. Peran dan Pertanggungjawaban DPR, Kajian di DPRD Provinsi DKI Jakarta. PT Alumni . Bandung. 2005. Hlm. 2 9 Taliziduhu Ndraha. Kybernology. Program Pascasarjana Kerjasama Universitas Padjajaran dan Institut Ilmu Pemerintahan. Jakarta. 2001. Hlm. 142. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 337 jabatan dan komitmen diri aparat legislatif dan eksekutif dalam melaksanakan tugasnya harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Reformasi sistem pemerintahan yang terjadi tahun 1998 membuktikan bahwa yang diperintah sudah tidak mempercayai pemerintah dan mandat sebagai pengelola kekuasaan negara sudah dicabut, dan yang diperintah menggantikan pemimpin pemerintahan yang baru, yang dipercaya mampu memberikan akses yang luas kepada yang diperintah untuk ikut terlibat dalam proses pemerintahan. Jarak kekuasaan, jarak sosial dan jarak geografis pelayanan didekatkan dengan yang diperintah melalui penerapan konsep desentralisasi dan kebijakan otonomi daerah. Dampak langsung reformasi pemerintahan dengan dikembalikannya hak otonomi bagi pemerintah daerah dan masyarakat, adalah munculnya euforia politik DPRD yang telah memicu lahirnya konflik vertikal dan horizontal sepanjang proses pemerintahan. Hal ini tercermin antara lain dalam kasus-kasus seperti pemilihan kepala daerah, pemaksaan yang dilakukan oleh anggota DPRD untuk mendudukkan orang-orangnya di badan eksekutif, mudahnya DPRD menolak Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) badan eksekutif dan ditolaknya RAPBD serta berbagai rancangan peraturan daerah lainnya yang disusun badan eksekutif, permintaan anggota DPRD akan fasilitas yang berlebihan, penolakan DPRD melaporkan harta kekayaan, keterlibatan anggota DPRD Provinsi dalam kasuskasus serta adanya kesepakatan diam-diam antara DPRD dengan badan eksekutif terhadap beberapa Perda dan kebijakan pelaksanaannya, pelesiran DPRD ke luar negeri, dan lain sebagainya.10 Hal tersebut menunjukkan bahwa proses pemerintahan dalam bingkai euforia otonomi daerah telah melahirkan konflik dalam hubungan antar lembaga pemerintah dengan masyarakat, sebagaimana dikemukakan Rasyid11 bahwa: Lembaga legislatif memaksa lembaga eksekutif menjadi subordinatnya sehingga makna filosofis otonomi daerah menjadi kabur dan sulit dipahami. Besarya kewenangan politik DPRD telah mendatangkan ketakutan, kekakuan dan keengganan badan eksekutif untuk berkreasi, berinovasi, berprakarsa, fleksibel, proaktif dan berbagai kata kunci otonomi daerah lainnya. Pejabat badan eksekutif menjadi lebih berhati-hati dan meminimalkan kreatifitas dan inovasinya dalam proses pemerintahan. Mereka takut dan kuatir, jangan sampai dibantai anggota DPRD dan diturunkan dari singgasana badan eksekutif. Singkat kata DPRD sekarang menjadi penguasa tunggal dan menjadi raja-raja kecil dalam proses pemerintahan di daerah. Sesungguhnya implementasi hak DPRD harus dijadikan sebagai instrumen checks and balances antara badan legislatif dan badan eksekutif demi tercapainya stabilitas pemerintahan dan ketaatan lembaga pemerintahan terhadap instrumen hukum sebagai pembatas kewenangan dan kekuasaaan masing-masing pihak. Kedudukan hukum DPRD pada era reformasi mengalami proses reposisi yang cukup radikal. Pada masa lampau, kedudukan DPRD adalah salah satu unsur dari pemerintahan daerah atau eksekutif (Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah). Ini berarti DPRD lebih dominan diposisikan sebagai mitra Kepala Daerah dalam perumusan sekaligus implementasi kebijakan di daerah dibandingkan sebagai fungsi kontrol dan penyeimbang kekuatan eksekutif. Dalam kedudukannya yang demikian, DPRD sama sekali tidak mencerminkan representasi dari rakyat di daerahnya. Oleh karena itulah dalam Pasal 14 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah DPRD dikembalikan kepada kedudukan aslinya, yakni sebagai badan legislatif. Seiring dengan fungsi barunya ini, DPRD juga diberikan hak untuk meminta pertanggungjawaban 10 Kajian Balitbang Kompas. Konflik Vertikal dan Horisontal Dalam Implementasi Otonomi Daerah, Terkait Dengan Perilaku DPRD. Kumpulan artikel, Januari 2000 sampai Desember 2002. Jakarta. Hlm 6 11 Ryaas Rasyid. Otonomi Daerah dan Kewenangannya. Jurnal Widyapraja Tahun XXV. Cilacap. 2000. Hlm. 38. 338 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 Kepala Daerah.12 Keluhan masyarakat terhadap wakil-wakilnya di lembaga DPRD, baik menyangkut perilaku, pernyataan yang dilontarkan, maupun tuntutan berbagai fasilitas bagi anggota DPRD. Anggota DPRD masih banyak terjebak pada pemenuhan kebutuhan pribadi dan kelompoknya, sementara kepentingan masyarakat belum teraktualisasi secara optimal. Otonomi yang diharapkan memberikan berkah bagi masyarakat ternyata baru dinikmati oleh elite politik lokal saja.. Namun, dalam kenyataan saat ini muncul sebuah implikasi dari kedudukan DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintahan di daerah yaitu munculnya suatu relasi baru dalam pola hubungan antara eksekutif dengan DPRD. Jika dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1999 kecenderungan muncul relasi yang ”legislative heavy” maka dalam era Undang-undang No. 32 Tahun 2004 pola relasi yang tampak adalah executive heavy.13 Hal ini merupakan implikasi dari pemilihan kepada daerah secara langsung sehingga secara politik, Kepala Daerah tidak lagi dipilih oleh DPRD sehingga Kepala Daerah seolah-olah tidak lagi accountable kepada DPRD melainkan kepada rakyat. Beberapa contoh yang dikemukakan oleh Kacung Marijan,14 melalui penelitian yang dilakukan di beberapa daerah, yaitu: Di Kabupaten Mojokerto, pasangan Achmady-Suwandi memperoleh dukungan 87,31 persen suara pemilih yang sah. Mereka didukung oleh tiga partai besar (PKB, PDIP, Golkar), dua partai pertengahan (PAN, PKS) dan sejumlah partai kecil. Dalam komposisi seperti ini maka kontrol DPRD terhadap Kepala Daerah hampir tidak ada. DPRD menyetujui hampir seluruh kebijakan yang diambil oleh Kepala Daerah. Mekanisme keputusan apapun yang ditempuh baik model pluralitas, mayoritas maupun dua pertiga, kekuatan kepala daerah akan selalu memang. Dengan kata lain, pola kehidupan demokrasi cenderung mengarah pada executive heavy. Dari kasus di atas merupakan contoh pola hubungan yang tidak seimbang antara DPRD dengan Kepala Daerah. Fenomena ini tentu saja sangat bertentangan dengan jiwa demokrasi di mana mekanisme check and balance merupakan suatu keharusan demi terwujudnya tujuan dari penyelenggaraan pemerintahan di daerah sesuai dengan amanat UUD NRI 1945 dan UU Pemerintahan Daerah yaitu pemerintahan daerah yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.. Terlepas dari persoalan perundang-undangan, DPRD sesungguhnya bisa menjadi tumpuan masyarakat agar segenap aspirasinya dapat diakomodasikan secara lebih baik. Di dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 itu pula dengan tegas dinyatakan bahwa DPRD memiliki tugas dan wewenang, hak dan kewajiban yang kesemuanya berujung pada pembinaan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah berdasarkan demokrasi ekonomi, serta memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya. Dengan hak dan kewenangan yang dimilikinya, DPRD sebenarnya dapat mengontrol eksekutif agar terwujud good governance seperti yang diharapkan rakyat karena akar dari hak dan kewenangan anggota DPRD adalah kedaulatan rakyat. Salah satu masalah pelik dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis adalah perwujudan akuntabilitas publik dari seluruh lembaga penyelenggara 12 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. Cetakan 7. Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia . Jakarta. 1999. Hlm. 330. 13 Kacung Marijan. Sistem Politik Indonesia, Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru. Kencana . Jakarta. 2011. Hlm. 203 14 Ibid. Hlm. 205 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 339 pemerintahan yang bekerja di atas legalitas dan legitimasi masyarakat, termasuk dalam hal ini DPRD. Akuntabilitas kepada publik pada dasarnya adalah perwujudan tanggung jawab kepada pemilik kedaulatan. Pemilik kedaulatan di sini tentu saja adalah rakyat. Oleh karenanya, seluruh lembaga penyelenggara pemerintahan baik di tingkat pusat maupun daerah harus mempertanggungjawabkan hasil kerjanya kepada rakyat. Selain pola hubungan antara DPRD dengan Kepala Daerah, akuntabilitas DPRD saat ini juga dipengaruhi oleh faktor internal dari DPRD. Akuntabilitas dibutuhkan oleh seluruh DPRD di Indonesia dalam upaya mewujudkan demokrasi dan kedaulatan rakyat. Berbagai masalah yang terkait dengan pertanggungjawaban DPRD terjadi di Indonesia antara lain di DPRD Provinsi Sulawesi Utara dalam kurun waktu 2004-2009, setidaknya berbagai masalah yang dihadapi DPRD dalam kebijakan daerah, antara lain: 1. Lemahnya dukungan data dan akses ke sumber data yang dapat membantu DPRD untuk terlibat aktif dalam proses perumusan Kebijakan Umum APBD dan pengawasan program. Data-data yang menjadi basis kebijakan lebih didasarkan pada data yang bersumber dari eksekutif. 2. Kaburnya hubungan antara anggota DPRD dengan konstituensinya menyebabkan lemahnya akuntabilitas anggota dewan secara individual. 3. Tanggungjawab lebih bersifat kolektif, sehingga kurang tajam dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya secara perorangan. Bagi sebagian anggota DPRD, tidak ada perasaan bersalah jika tidak hadir dalam rapat pembahasan APBD. 4. Terjadinya alineasi DPRD dari kegiatan administrasi pemerintahan daerah seharihari, sehingga menyebabkan kurangnya pengetahuan mereka terhadap day to day administration yang dilakukan oleh birokrasi Pemda. Akibatnya, anggota DPRD kurang tahu kondisi aktual pemerintah daerah. 5. Rendahnya pemahaman sebagian anggota (kecenderungannya mayoritas) terhadap berbagai aturan serta pengelompokan (nomenklatur) anggaran dalam APBD menyebabkan anggota DPRD tidak detail dalam melakukan pembahasan. 6. Sempitnya waktu, bahkan terlambat dan cukup lama penyerahan RAPBD dari eksekutif kepada DPRD menyebabkan sempitnya waktu pencermatan (baik di Komisi maupun di Badan Anggaran), sehingga menyebabkan mundurnya penetapan APBD. 7. Buruknya manajemen rapat di DPRD, sehingga baik proses maupun hasil menjadi tidak terstruktur dan tidak terdokumentasi dengan baik, sehingga pembahasan menjadi tidak fokus, berlarut-larut, dan bahkan ahistoris. 8. Rendahnya pressure dan assistensi dari masyarakat akan mengurangi kepekaan anggota DPRD terhadap efektivitas anggaran, yang menyebabkan tidak tepat sasaran. DPRD dalam kondisi tersebut akan lebih merupakan partner bagi eksekutif dibanding sebagai unsur penyeimbang. Dalam skala nasional, beberapa kenyataan terkait dengan kinerja DPRD dimuat dalam beberapa harian Surat Kabar. Dalam rangka hal terselenggaranya good local governance diperlukan pengembangan dan penerapan sistem pertanggungjawaban DPRD yang tepat, jelas dan nyata sehingga fungsi dan peran DPRD baik sebagai penyelenggaraan pemerintahan maupun sebagai representasi dari rakyat dapat berdaya guna, berhasil guna dan bertanggung jawab.Menurut Sedarmayanti,15 perlu diperhatikan pula adanya mekanisme untuk meregulasi akuntabilitas pada setiap instansi pemerintah dan memperkuat peran dan kapasitas parlemen serta tersedianya akses yang sama pada informasi masyarakat luas. Di era otonomi daerah ini, dengan bergesernya pusat-pusat kekuasaan dan meningkatnya operasionalisasi dan berbagai kegiatan lainnya di daerah maka konsekuensi logis pergeseran tersebut harus diiringi dengan meningkatnya good governance di daerah. Akuntabilitas sebagai salah satu prinsip good governance dewasa ini boleh dikatakan 15 Sedarmayanti. Good Governance (Kepemerintahan Yang Baik) Dalam Rangka Otonomi Daerah. Mandar Maju. Bandung. 2003. Hlm. 2 340 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 sebagai harga mati yang harus dilakukan. Tanggung jawab DPRD selain disebabkan oleh adanya tuntutan perkembangan paradigma good governance dan perkembangan demokratisasi juga karena kesadaran kritis masyarakat yang sudah mulai tumbuh subur. Ketiadaan akuntabilitas melahirkan fenomena berkurangnya kepercayaan masyarakat kepada DPRD. Demonstrasi yang terjadi di banyak daerah kepada DPRD merupakan gejala yang patut untuk dicermati karena demonstrasi tersebut pada dasarnya merupakan suatu ketidakharmonisan antara terwakil dengan para wakilnya. Pada dasarnya pemerintahan mulai level pusat sampai daerah sebagai agen pelaksana penyelenggaraan pemerintahan diserahi ”kekuasaan” oleh rakyat untuk melaksanakan pemerintahan demi mewujudkan perannya sebagai pelaksana pembangunan, pembuat regulasi, pemberi layanan kepada masyarakat dan pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itu, sebagai pihak yang diberi kekuasaan hendaknya penyelenggara pemerintahan memiliki kewajiban untuk mempertanggungjawabkan kekuasaan yang diberikan rakyat kepada mereka, jika tidak demikian pemerintahanya akan menjadi taruhannya.16 Good local legislative governance dalam pandangan penulis tidak dapat dilepaskan dari konsep good governance namun demikian dibutuhkan suatu pengkajian lebih jauh untuk menentukan prinsip-prinsip yang menjadi dasar bagi terwujudnya Good local legislative governance. Spirit dari pemerintahan yang bersih dan berwibawa secara nyata juga dapat ditemukan dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme serta beberapa Undang-undang yang terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan telah menormakan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik dalam ketentuan-ketentuannya namun dalam kenyataannya masih banyak masalah yang terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan khususnya pelaksanaan tugas, wewenang dan tanggung jawab DPRD menimbulkan suatu issu yaitu terdapat suatu kesenjangan yang signifikan antara prinsip-prinsip good governance dengan implementasi tanggung jawab DPRD sehingga diperlukan suatu konsep ideal mengenai pertanggunggungjawaban DPRD dalam suatu bingkai good local legislative governance sebagai pengembangan dari good governance. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian yang telah dipaparkandi atas, penulis merumuskan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana hakikat pertanggungjawaban Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia? 2. Bagaimana pelaksanaan dan konsep ideal pertanggungjawaban Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia? METODE PENELITIAN Tipe Penelitian Pelaksanaan penelitian ini adalah suatu penelitian hukum yang akan mengkaji dan menganalisis pertanggungjawaban Dewan Perwakilan Rakrat Daerah dalam sistem Ketatanegaraan Indonesia dalam 3 (tiga) tataran hukum, yaitu teori hukum (rechtstheorie), filsafat hukum (rechtsfilosofie), dan dogmatik hukum (rechtsdogmatiek). Teori hukum, filsafat hukum dan dogmatik hukum kemudian diarahkan kepada praktek hukum yang menyangkut pembentukan hukum dan penerapan hukum. 16 Hendrikus Triwibawanto Dedeona. Akuntabilitas Kelembagaan Eksekutif. Jurnal Ilmu Administrasi. STIA LAN. Bandung Volume 4 Nomor 4 tanggal 1 Maret 2007. Hlm. 16 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 341 Jenis Dan Sumber Data Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari para informan dengan cara wawancara langsung dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) dan data sekunder, yaitu data yang diperoleh melalui bahan-bahan dari sekretariat DPRD Provinsi dan Kabupaten/ Kota yang diperoleh dengan cara penelusuran arsip. Teknik Pengumpulan Data Untuk mengumpulkan data dalm penelitian ini dilakukan dengan cara kuesioner, wawancara kepada para responden di provinsi Sulawesi Utara yang menjadi sampel yaitu 50 .0rang tokoh masyarakat, 25 orang akademisi, dan 25 orang anggota partai politik. Selain itu dilakukan pula studi kepustakaan yang berfungsi untuk pengambilan data sekunder. Analisis Data Setelah data yang diperoleh data ini dianalisis dengan memakai metode analisis kualitatif yang kemudian peneliti mencoba untuk menganalisis semua informasi yang diperoleh dalam proses wawancara maupun terhadap semua literatur dan peraturan perundang-undagan yang berkaitan untuk menemukan sebuah konsep baru dalam pertanggungjawaban DPRD di Indonesia. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hakikat Materil Pertanggungjawab Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kepercayaan masyarakat terhadap sebuah lembaga publik adalah hal yang sangat vital karena akan terkait dengan kesediaan masyarakat untuk mentaati hukum. Kepercayaan masyarakat ini sulit untuk diukur dan dirumuskan namun tanda-tandanya dapat terlihat dengan jelas. Bila terjadi perubahan yang nyata dalam opini masyarakat maka hal tersebut akan berkaitan dengan tingkat kepercayaan masyarakat. Untuk terciptanya suatu hubungan yang harmonis antara pejabat publik dengan rakyat maka setiap pejabat seharusnya memiliki landasan yang pasti dalam bertindak dan mengambil keputusan. Mereka harus mengabdi pada kepentingan umum dan bukan sebaliknya. Oleh karena itu, di samping persyaratan teknis, mereka juga harus memiliki landasan normatif yang terkandung dalam nilai-nilai moral. Tolok ukur untuk mengetahui legitimasi seorang wakil di hadapan masyarakat luas adalah tingkah laku politik mereka dalam menjalankan peran yaitu kesesuaiannya dengan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. Jika prosedur yang ditempuh seseorang untuk menjadi anggota DPRD sejalan dengan nilai yang dianut oleh masyarakat maka hal tersebut akan memudahkan seorang anggota DPRD untuk memperoleh kepercayaan rakyatnya. Atas dasar inilah kemudian DPRD akan memperoleh dukungan, loyalitas dan kerjasama dari para konstituennya dan sekaligus menjadi dasar kekuatan anggota DPRD baik secara individu maupun secara keseluruhan berfungsi sebagai wakil rakyat. Paimin Napitupulu,17 mengemukakan bahwa peranan perwakilan dari lembaga perwakilan rakyat daerah berkenaan erat dengan hubungan antara DPRD dengan anggota masyarakat yang mereka wakili secara individu berdasarkan kelompok maupun secara keseluruhan. Hubungan ini bertolak dari teori demokrasi yang mengajarkan bahwa anggota masyarakat mengambil bagian atau berpartisipasi dalam proses perumusan dan penentuan kebijaksanaan pemerintahan. Penulis mengutip pandangan Roscoe Pound,18 yang mengemukakan bahwa pertanggungjawaban membutuhkan adanya iktikad baik dan pertanggungjawaban diletakkan pada suatu jabatan karena 4 (empat) alasan: 17 Paimin Napitupulu. Menuju Pemerintahan Perwakilan. Alumni. Bandung. 2007. Hlm. 48-49 18 Hendra Nurtjahyo. Filsafat Demokrasi. Bumi Akasara. Jakarta. 2008. Hlm. 21 342 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 a) Bahwa orang lain akan mempunyai pengharapan baik dan sewajarnya yang diciptakan oleh janji atau kelakuan lain. b) Bahwa mereka yang akan menepati janji karena padanya dilekatkan perasaan susila dari masyarakat c) Bahwa mereka akan berbuat rajin dan dapat dipercaya dalam hubungan pekerjaan dan jabatan d) Bahwa mereka akan mengganti dengan uang atau barang yang senilai atas apa yang sudah diterimanya secara keliru atau oleh keadaan yang tidak disangkasangka sehingga mereka menerima yang tidak sewajarnya atau tidak sepatutnya yang tidak mungkin diterimanya dalam keadaan biasa. Iktikad baik akan melahirkan kepercayaan kepada seorang pejabat yang menjalankan kekuasaan. Kekuasaan ini akan stabil jika mendapatkan legitimasi. Olehnya itu, hakikat pertanggungjawaban DPRD dalam sistem ketatanegraan Indonesia ada 2 (dua), yaitu hakikat secara formal dan hakikat secara materil. Hakikat pertanggungjawaban DPRD secara formal adalah pelaksanaan fungsi-fungsi DPRD secara optimal sehingga dapat menjadi lembaga yang mampu mengemban kepercayaan dari rakyat. Hakikat pertanggungjawaban secara materil adalah pelaksanaan tugas dan kewajiban anggota DPRD berdasarkan etika dan moral agar mampu mendukung optimalisasi kinerja DPRD sebagai lembaga yang memperoleh legitimasi dari rakyat. Demokrasi Deliberatif sebagai Bingkai Pertanggungjawaban DPRD di Indonesia Istilah demokrasi dikenal pada abad kelima sebelum Masehi. Masyarakat Yunani, khususnya Athena, menyusun sebuah konsep baru tentang kehidupan politik dan praktikpraktik yang ditimbulkannya di banyak negara-kota. Konsep ini mereka beri nama sebagai Demokratia atau pemerintahan oleh rakyat, yang berasal dari kata ‘demos’ yang berarti rakyat dan ‘kratia’ yang berarti pemerintahan.19 Menurut masyarakat Yunani, demokrasi setidaknya harus memenuhi enam persyaratan yaitu:20 1) Warga negara harus cukup serasi dalam kepentingannya mereka sehingga mereka sama-sama memiliki suatu perasaan yang kuat tentang kepentingan umum dan bertindak atas dasar itu, sehingga tidak nyata-nyata bertentangan dengan tujuan atau kepentingan pribadi mereka. 2) Warga negara benar-benar harus amat padu dan homogen dalam hal ciri-ciri khas yang, kalau tidak demikian halnya, cenderung menimbulkan konflik politik dan perbedaan pendapat yang tajam mengenai kepentingan umum. Menurut pandangan ini, tidak ada negara yang dapat berharap menjadi sebuah polis yang baik apabila warga-negaranya memiliki perbedaan besar dalam sumberdaya ekonominya dan jumlah waktu lowong yang mereka punyai, atau apabila mereka menganut agama yang berbeda-beda, atau menggunakan bahasa yang berlainan, atau berbeda dalam hal ras, budaya atau (menurut istilah yang kita gunakan sekarang) kelompok etnis. 3) Jumlah warga-negara harus sangat kecil, yang secara ideal bahkan jauh lebih kecil dari 40.000 - 50.000 yang terdapat di Athena di masa Pericles. Jumlah demos yang kecil itu penting karena tiga alasan: jumlah itu akan menolong menghindari keragaman dan karena itu juga menghindari ketidakserasian yang akan timbul oleh karena perluasan tapal batas yang akan mencakup, seperti Persia, rakyat yang bermacam-macam bahasa, agama, sejarah, dan etnisnya dan hampir tidak 19 Robert A. Dahl dalam Deddy Ismatullah dan Asep A. Sahid Gatara. Ilmu Negara dalam Multi Perspektif Kekuasaan, Masyarakat, Hukum dan Agama. Pustaka Setia. Bandung. 2007. Hlm. 119 20 Isjwara dalam Deddy Ismatullah dan Asep A. Sahid Gatara. 2007. Ibid. Hlm. 13 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 343 ada persamaan diantara mereka. Hal itu juga penting agar warga-negara mempunyai pengetahuan tentang kota dan saudara-saudara mereka sesama warga-negara, dari pengamatan, pengalaman, dan diskusi, yang akan memungkinkan mereka mengetahui kebaikan bersama dan membedakannya dari kepentingan pribadi atau perseorangan. Terakhir, jumlah yang kecil itu juga penting, jika warga-negara harus berkumpul agar berfungsi sebagai penguasa kota yang berdaulat. 4) Warga negara harus dapat berkumpul dan secara langsung memutuskan undangundang dan keputusan-keputusan mengenai kebijakan. Demikian kokohnya pandangan ini dipercayai, sehingga orang Yunani mengalami kesukaran untuk membayangkan adanya pemerintahan perwakilan, apalagi menerimanya sebagai alternatif yang sah terhadap demokrasi langsung. Tentu saja, pada waktu-waktu tertentu dibentuk liga, atau konfederasi dari negara-negara kota itu. Tetapi sistem yang benar-benar bersifat federal dengan pemerintahan perwakilan telah gagal berkembang, yang tampaknya untuk sebagian, disebabkan gagasan perwakilan itu tidak dapat berhasil bersaing dengan kepercayaan yang menonjol dalam keinginan dan legitimasi tentang pemerintahan langsung dengan majelis-majelis langsung pula. 5) Partisipasi warga negara tidak terbatas pada pertemuan-pertemuan Majelis saja. Mereka berpartisipasi dengan aktif dalam memerintah kota. Orang memperkirakan bahwa di Athena terdapat lebih dari seribu jabatan yang harus diisi, sebagian kecil di antaranya dengan pemilihan, tetapi kebanyakan dengan undian, dan hampir semua dari jabatan ini untuk jangka waktu satu tahun dan hanya dapat diduduki sekali seumur hidup. Bahkan dengan jumlah rakyat yang besar di Athena, setiap warga hampir pasti akan menduduki suatu jabatan untuk jangka waktu setahun, dan sebagian besar akan menjadi anggota dari Dewan Lima Ratus, yang akan amat penting itu, yang akan menentukan acara untuk Majelis. 6) Negara kota harus tetap sepenuhnya otonom. Liga, konfederasi, dan aliansi kadang-kadang memang penting untuk pertahanan atau perang, tetapi semuanya itu tidak boleh dibiarkan mengurangi otonomi mutlak dari negara-kota dan kedaulatan mejelis dalam negara itu. Karena itu pada prinsipnya setiap kota harus berswasembada, tidak hanya secara politik, tetapi untuk menghindari ketergantungan yang berlebih-lebihan pada perdagangan luar negeri, kehidupan yang baik itu sudah pasti pula suatu kehidupan yang sederhana. Dengan cara begini, demokrasi dihubungkan dengan sifat-sifat kebajikan hidup sederhana, bukan dengan kemakmuran. Dalam perkembangannya, konsep demokrasi seperti yang dianut di Yunani mengalami berbagai perubahan-perubahan sesuai perkembangan pengetahuan. Dalam perspektif yang bersifat horizontal, menurut Jimly Asshiddiqie,21 gagasan demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional democracy) mengandung empat prinsip pokok, yaitu: (i) adanya jaminan persamaan dan kesetaraan dalam kehidupan bersama; (ii) pengakuan dan penghormatan terhadap perbedaan atau pluralistik; (iii) adanya aturan yang mengikat dan dijadikan sumber rujukan bersama; dan (iv) adanya penyelesaian sengketa berdasarkan mekanisme aturan yang ditaati bersama. Affan Gaffar,22 mengemukakan bahwa dalam ilmu politik dikenal dua macam pemahaman tentang demokrasi yaitu pemahaman secara normatif dan permahaman secara em21 Jimly Asshiddiqie. Menuju Negara Hukum Yang Demokratis. PT Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia. Jakarta. 2009. Hlm. 209 22 Affan Gaffar dalam Achmad Ruslan. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Kualitas Produk Hukumnya. Disertasi. Universitas Hasanuddin. Makassar. 2005.Hlm. 27 344 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 pirik. Untuk pemahaman yang kedua dikenal dengan istilah procedural democracy. Dalam pemahaman secara normatif, demokrasi merupakan sesuatu yang hendak dilakukan/diselenggarakan oleh sebuah negara seperti dalam ungkapan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Ungkapan normatif tersebut biasanya termuat dalam konstitusi masing-masing negara seperti dalam UUD NRI 1945 sebaliknya pandangan demokrasi dalam contoh empirik adalah musyarawarah mufakat. Dengan demikian tidak selamanya demokrasi normatif sesuai dengan demokrasi empirik. Demokrasi secara empirik adalah pengejawantahan demokrasi dalam kehidupan bernegara. Persamaan hak merupakan satu konsep lainnya yang menyertai perkembangan demokrasi. Konsep persamaan hak ini merupakan sebuah kemajuan dalam perkembangan teori demokrasi, dimana pada masa Yunani demokrasi hanyalah dimiliki oleh kalangankalangan tertentu saja sementara para budak dan wanita dianggap tidak memiliki hak politik apapun. Konsep persamaan hak telah muncul semenjak abad ketujuh belas di Inggris yang dibawa oleh kalangan Puritan, Leveller dan Commonwealth. Salah satu dari anggota Leveller, Richard Overton, pada tahun 1646 menuliskan bahwa semua manusia adalah sama karena telah dilahirkan dengan perantara alam ke dunia ini, masing-masing dengan kemerdekaan dan kepatutan aslinya. Secara alami Tuhan telah menjadikan manusia merdeka. Setiap orang secara alami, merupakan raja, pendeta, nabi, dalam wilayah dan batasnya masing-masing, dari mana tidak ada pendukung yang dapat ikut serta mengambil bagian selain dengan perwakilan, penyerahan dan persetujuan yang bebas darinya yang memiliki hak itu.23 Tradisi demokrasi perwakilan pertama kali digagas oleh kaum Leveller selama masa perang saudara di Inggris. Namun demokrasi perwakilan sendiri baru diterima secara luas jauh satu abad kemudian. Diterimanya tradisi demokrasi perwakilan oleh masyarakat tidak lepas dari perkembangan wilayah-wilayah kekuasaan dari negara-kota menjadi negara modern (negara-bangsa) yang memiliki luas wilayah lebih besar dan juga memiliki jumlah penduduk yang sangat besar. Hal ini dapat dilihat dari pendapat Destutt de Tracy,24 bahwa perwakilan atau pemerintah perwakilan, dapat dianggap sebagai sesuatu penemuan baru, yang tidak dikenal pada masa Montesqiueu. Demokrasi perwakilan adalah demokrasi yang dibuat menjadi praktis untuk jangka waktu lama dan mencakup wilayah yang luas. Demokrasi langsung yang menjadi persyaratan demokrasi Yunani berganti menjadi demokrasi perwakilan. Pada demokrasi perwakilan rakyat diberi kesempatan memilih wakil-wakil yang mereka inginkan, yang terhimpun ke dalam partai-partai politik, untuk menduduki kursi-kursi mejelis (parlemen) lewat mekanisme pemilihan umum. Nantinya para wakil-wakil rakyat inilah yang akan menyusun kebijakan-kebijakan atau mengambil keputusan-keputusan penting.25 Salah satu persoalan demokrasi yang belum tuntas hingga saat ini adalah berkaitan dengan sistem perwakilan yang menjadi ciri utama demokrasi modern. Lewat mekanisme pemilihan umum rakyat dipaksa untuk memilih wakil-wakilnya yang akan duduk di parlemen yang digambarkan sebagai wujud suara rakyat. Dalam banyak kasus, suara parlemen cenderung berbeda dengan kemauan rakyat. Parlemen memiliki pendapatnya sendiri yang dipengaruhi oleh beragam faktor. Situasi demikian tentunya telah menyimpang dari konsep demokrasi yang berarti kedaulatan ada di tangan rakyat. Kedaulatan yang diwakilkan bukanlah bentuk kedaulatan murni karena suara rakyat tidak dapat diwakilkan seperti pemikiran Rousseau bahwa kedaulatan tidak dapat diwakilkan, dan dengan alasan yang 23 Pipit R. Kartawidjaya. Pemerintah Bukanlah Negara. Study Komparasi Administrasi Pemerintah Republik Indonesia dengan Negara Jerman. Henk Publishing Watch in e.v. Berlin .Surabaya.2006. Hlm. 43 24 Pipit R. Kartawidjaya. 2006. Ibid. 25 Inu Kencana Syafi’i. Pengantar Ilmu Pemerintahan. Refika Aditama. Bandung. 2001. Hlm. 129 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 345 sama tidak dapat pula dipindahkan haknya. Intinya adalah kehendak umum dan kehendak itu harus berbicara untuk dirinya sendiri, atau bukan dirinya sendiri: tidak mungkin ada yang di tengahnya. Oleh karena itu para utusan rakyat bukan dan tidak mungkin menjadi wakil rakyat.26 Terbagi-baginya rakyat ke dalam bagian-bagian atau kelompok-kelompok masyarakat akan melahirkan berbagai macam kepentingan yang tidak selamanya berjalan seiring, adakalanya bertolak belakang. Jadi sebuah hal yang mustahil bila satu orang di parlemen yang mewakili sekian ribu orang dapat berbicara berdasarkan kepentingan-kepentingan dari seluruh rakyat yang ia wakilkan. Keanehan berikutnya adalah rakyat manakah yang diwakilkan oleh para wakil-wakil rakyat tersebut. Petani, buruh, pengusaha, kaum profesional atau lainnya. Konsep perwakilan adalah sebuah konsep yang kabur. Tidak mungkin satu orang yang duduk di parlemen dapat sekaligus mewakili kepentingan buruh dan pengusaha, petani dan pemilik tanah, mahasiswa serta dosen dan pemilik yayasan pendidikan.27 Muammar Qathafi28 pernah pula mengungkapkan bahwa parlemen dipilih dari konstituen atau partai atau koalisi partai-partai atau dibentuk dengan beberapa metode tetapi semua prosedur ini tidak demokratis karena membagi populasi menjadi kelompok-kelompok kecil sehingga satu anggota parlemen mewakili ribuan, ratusan ribu atau jutaan rakyat tergantung jumlah populasinya. Ini berarti bahwa anggota parlemen tidak mempunyai hubungan organisasional dengan pemilih, karena, seperti halnya anggota lainnya, dipandang sebagai wakil dari keseluruhan rakyat. Inilah apa yang dikehendaki oleh demokrasi tradisional yang hidup saat ini. Oleh karena itu, rakyat benar-benar terasing dan terpisah dari wakilnya. Karena setelah memenangkan suara rakyat, para wakil rakyat merampas kedaulatan mereka dan bertindak memaksa mereka. Di sini, Qathafi menjelaskan bahwa anggota parlemen tidak memiliki hubungan apa-apa dengan konstituennya. Jadi, menurutnya mana mungkin anggota parlemen tersebut dapat memahami kebutuhan-kebutuhan konstituen. Pelaksanaan dan Konsep Ideal Pertanggungjawaban Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) dalam Sistem ketatanegaraan Republik Indonesia Pelaksanaan pertanggungjawaban DPRD baik secara formal maupun materil belum optimal. Secara formal, DPRD belum optimal dalam pelaksanaan fungsi-fungsinya. Hal ini antara lain disebabkan oleh: Pertama, substansi hukum dalam peraturan perundang-undangan yang tidak mendukung optimalisasi pelaksanaan fungsi-fungsi DPRD; Kedua, belum adanya Standar Ukuran Kinerja, Rencana Strategis dan Rencana Kerja Tahunan; Ketiga, belum adanya sebuah Badan Akuntabilitas dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan; dan keempat, belum adanya suatu mekanisme pertanggungjawaban DPRD kepada rakyat. Secara materil, anggota DPRD belum optimal dalam pelaksanaan tugas dan kewajibannya antara lain disebabkan reduksi peran anggota DPRD oleh intervensi Partai Politik yang tidak didasari oleh kepentingan rakyat. Begitu juga penyusunan tata tertib dan kode etik yang relatif lambat, selain Badan Kehormatan (BK) DPRD yang belum independen dan eksternal, serta pola hubungan antara DPRD dan rakyat yang belum ideal. Konsep ideal dalam pertanggungjawaban DPRD secara kelembagaan (formal) ialah melalui: 1) Penguatan DPRD melalui perubahan peraturan perundang-undangan yang menghambat pelaksanaan fungsi-fungsi DPRD akan mendukung prinsip kepastian hokum; 2) Penyusunan Standar Ukuran kinerja, Rencana Strategis, Rencana Kerja Tahunan 26 Jean Jacques Rousseau. Kontrak Sosial. (diterjamahkan dari buku du contract social oleh Sumarjo). Erlangga. Jakarta. 1986. Hlm. 82. 27 Pipit R. Kartawidjaya. 2006. Op cit. Hlm.56 28 Muammar Qathafi dalam Anis Ibrahim. Legislasi dalam Perspektif Demokrasi. Disertasi. Universitas Diponegoro. Semarang. 2008. Hlm. 32 346 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 sebelum Pelantikan Anggota DPRD yang ditetapkan menjadi keputusan DPRD pada kesempatan pertama setelah pelantikan; 3) Pembentukan lembaga akuntabilitas dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan; dan 4) Pelaporan kinerja DPRD secara Berkala. Adapun konsep ideal dalam pertanggungjawaban secara materil (personal) adalah sebagai berikut: 1) Mekanisme fit and poreper test dalam pemilihan bakal calon anggota legislative; 2) Penyusunan Tata tertib dan Kode etik sebelum Pelantikan Anggota DPRD yang yang ditetapkan menjadi keputusan DPRD pada kesempatan pertama setelah pelantikan; 3) Pembentukan Badan Kehormatan yang independen dan nonpartisan; 4) Perbaikan pola hubungan rakyat dengan DPRD dengan pendirian Kantor Konstituen dan recalling oleh rakyat melalui partai politik. Konsep tersebut, baik secara kelembagaan maupun secara personal dilakukan dengan mengacu pada 7 (tujuh) prinsip Good Local Legislative Governance yang terdiri dari Prinsip kepastian hukum (legal certainty), Prinsip profesionalisme (profesionalism), Prinsip moral dan etika (morality and etichs), Prinsip transparan, partisipasi dan daya tanggap (transparancy, participation and responsiveness), Prinsip kesepakatan (consensus), Prinsip pemberdayaan (empowerment), dan Prinsip legitimasi publik (public legitimate). Oleh karena itu, seyogianya dilakukan perbaikan dan pembenahan dalam pertanggungjawaban DPRD sebagai wakil rakyat baik secara formal (kelembagaan) maupun secara materil (personal ) sehingga kinerja DPRD dapat optimal dan dapat memperoleh legitimasi dari rakyat antara lain dengan melakukan perubahan terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait dengan DPRD dan partai politik yang memuat mekanisme fit and proper test dalam penjaringan bakal calon anggota DPRD, pembentukan Badan Akuntabilitas, Badan Kehormatan yang independen, Penyusunan Dan Penetapan Renstra 5 tahun, Rencana Kerja 1 tahun, Standar Kinerja serta Tata Tertib dan Kode Etik DPRD sebelum pelantikan yang ditetapkan menjadi keputusan DPRD pada kesempatan pertama setelah pelantikan anggota DPRD dan mekanisme pelaporan pertanggungjawaban secara berkala kepada rakyat. Seyogianya dilakukan perubahan terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pelaksanaan fungsi DPRD, antara lain: Pertama, untuk pelaksanaan fungsi legislasi dengan melakukan perubahan terhadap Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam kaitannya dengan pembatalan Perda, Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Pewakilan Rakyat Daerah dan Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2010 tentang Pedoman Tata Tertib Dewan Pewakilan Rakyat Daerah dalam kaitan dengan pembentukan naskah akademik. Kedua, untuk pelaksanaan fungsi anggaran dengan melakukan perubahan terhadap Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 jo. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. No. 59 Tahun 2007 dan diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 21 Tahun 2011 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Perubahan terhadap paket perundang-undangan untuk pengelolaan keuangan daerah ini terkait dengan kejelasan mekanisme penjaringan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan keuangan daerah. Ketiga, untuk pelaksanaan fungsi pengawasan dengan melakukan perubahan terhadap Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 terkait dengan kewenangan DPRD mengawasi hanya produk hukum berupa Peraturan Daerah. Dalam mengemban tanggung jawab secara kelembagaan dan secara personal, DPRD dan anggota DPRD seyogianya dapat menerapkan prinsip-prinsip Good Local Legislative Governance yang terdiri dari Prinsip kepastian hukum (legal certainty), Prinsip profesionalisme (profesionalism), Prinsip moral dan etika (morality and etichs), Prinsip transparan, partisipasi dan daya tanggap (transparancy, participation and responsiveness), Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 347 Prinsip kesepakatan (consensus), Prinsip pemberdayaan (empowerment), dan Prinsip legitimasi publik (public legitimate). PENUTUP Kesimpulan 1. Hakikat pertanggungjawaban DPRD dalam pelaksanaan kewenangan dan fungsinya adalah kinerja DPRD dalam melaksanakan fungsi-fungsinya dan mempertanggungjawabkan kepada rakyat dalam hubungan antara wakil dengan terwakil yang dilandasi kepercayaan yang akan melahirkan legitimasi dari rakyat sebagai pemilik kedaulatan dan sebagai pilar demokrasi yang mendukung kestabilan negara pada umumnya dan daerah pada khususnya. 2. Pelaksanaan pertanggungjawaban DPRD saat ini belum optimal hal ini ditandai denagn 1) belum optimalnya pelaksanaan fungsi-fungsi DPRD dalam kedudukan sebagai wakil rakyat dan sebagai penyelenggara pemerintahan daerah. 2) penyusunan tata tertib dan kode etik relatif lambat. 3) belum memiliki standar ukuran kinerja. 3. Konsep ideal untuk mewujukan DPRD yang bertanggungjawab dalm rang perwujudan good local legilative governance adalah dengan melakukan perubahan dalam mekanisme pencalonan anggota DPRD melalui mekanisme fit and proper test. Saran 1. Seyogianya dilakukan perubahan terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait DPRD dan partai politik yang memuat mekanisme fit and proper test bagi calon anggota DPRD, pembentukan badan akuntabilitas, pembentukan badan kehormatan yang independen, nonpartisan dan eksternal, penyusunan dan penetapan rencana strategi 5 tahun, rencana kerja satu tahun, stsndar ukuran kinerja DPRD serta tata tertib dan kode etik sebelum pelantikan anggota DPRD serta mekanisme pelaporan pertanggungjawabn secara berkala kepada rakyat. 2. Seyogianya dilakukan pembenahan terhadap DPRD yaitu 1) secara kelembagan dengan membentuk badan akuntabilitas serta badan kehormatan yang independen, nonpartisan dan eksternal 2) secara personal dengan melakukan perbaikan prilaku dan moralitas yang dapat menjadi teladan bagi masyarakat sekaligus dapat menjaga citra, harkat dan martabat DPRD di hadapan rakyat sehingga dapat memperoleh legitimasi dari seluruh rakyat didaerah dimana ia menjadi wakil rakyat. 3. Seharusnya masyarakat dapat mengubah persepsi terhadap kedudukan seorang anggota DPRD dengan tidak hanya melihat mereka sebagai personal namun merupakan bagian dari sebuah sistem politik dan sistem kenegaraan yang memiliki tugas dan fungsi yang diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan. 348 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 DAFTAR PUSTAKA Afan Gafar. Politik Indonesia, Transisi Menuju Demokrasi. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. Brian Z. Tamanaha. The Rule of law Theory. Oxford University. New York 2011 C.F. Strong. Konstitusi-konstitusi Politik Moderen : Studi Perbandingan tentang Sejarah dan Bentuk-bentuk Konstitusi Dunia (terj. dari Modern Political Constitutions : an Introduce to Comparative Study of Their History and Existing oleh SPA Team Work) Nuansa dan Nusamedia. Bandung. 2004 Hendrikus Triwibawanto Dedeona. Akuntabilitas Kelembagaan Eksekutif. Jurnal Ilmu Administrasi. STIA LAN. Bandung Vol. 4 Nomor 1 Maret 2007 Jimly Asshiddiqie. Menuju Negara Hukum Yang Demokratis. PT Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia. Jakarta. 2009 ______________. Kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Makalah disampaikan dalam Kuliah Umum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Kamis, 2 September 2004 ______________. Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945. Makalah Disampaikan dalam Simposium yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional. Departemen Kehakiman dan HAM. 2003 Kacung Marijan. Sistem Politik Indonesia, Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru. Kencana. Jakarta. 2011 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, cetakan 7. Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia . Jakarta. 1999 Paimin Napitupulu. Menuju Pemerintahan Perwakilan. Alumni. Bandung. 2007 _______________.Peran dan Pertanggungjawaban DPR, Kajian di DPRD Provinsi DKI Jakarta. Alumni. Bandung. 2005 Ryaas Rasyid. Otonomi Daerah dan Kewenangan. Jurnal Widyapraja Thaun XXV Cilacap 2000. Sedarmayanti. Good Governance (Kepemerintahan yang Baik) dalam Rangka Otonomi Daerah. Mandar Maju . Bandung. 2003 Taliziduhu Ndara. Kybernology PPSU Universitas Padjajaran dan Institut Ilmu Pemerintahan. Bandung. 2001 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 349 350 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 PERAN PENYIDIK DALAM UPAYA PERLINDUNGAN KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG Grubert T. Ughude Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 PERAN PENYIDIK DALAM UPAYA PERLINDUNGAN KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG Oleh: Grubert T. Ughude Kepolisian Daerah Provinsi Sulawesi Utara Jl. Bethesda No. 62. Manado, Sulawesi Utara E-mail: [email protected] Abstract Since the establishment of UUPTPPO, then the much-needed role of law enforcement officials in particular Investigators to conduct the fight against criminal trafficking. Investigators in addition to perform tasks and functions to process the perpetrator of the crime trade person based on the law of criminal procedure, on the other hand UUPTPPO specifically mandated the existence of a duty of Investigators to provide reasonable protection of the rights of victims of criminal acts of trafficking. Keywords: Investigators, Effort Protection, Trading Crimes Abstrak Sejak diberlakukannya UUPTPPO, maka sangat dibutuhkan peran aparat penegak hukum khususnya Penyidik untuk melakukan pemberantasan tindak pidana perdagangan orang. Penyidik disamping menjalankan tugas dan fungsinya untuk memproses pelaku tindak pidana perdagangan orang berdasarkan hukum acara pidana, di sisi lain UUPTPPO secara khusus mengamanatkan adanya kewajiban Penyidik untuk memberikan perlindungan hak-hak korban tindak pidana perdagangan orang. Kata Kunci: Penyidik, Perlindungan Korban, Tindak Pidana Perdagangan Orang Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 PENDAHULUAN Sejak diundangkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UUPTPPO) terhitung mulai tanggal 19 April 2007, maka sejak itu pula UUPTPPO diberlakukan. UUPTPPO merupakan keinginan manifestasi bangsa Indoensia untuk mencegah dan menanggulangi tindak pidana perdagangan orang didasarkan pada nilai-nilai luhur, komitmen nasional untuk melakukan upaya pencegahan sejak dini, penindakan terhadap pelaku dan perlindungan korban dari tindak pidana perdagangan orang. Tindak pidana perdagangan orang merupakan pengingkaran hak asasi manusia, bahkan UUPTPPO memandang bahwa perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia. Penjelasan Umum UUPTPPO, pada alinea ke-3, menyebutkan bahwa berdasarkan bukti empiris, perempuan dan anak adalah kelompok yang paling banyak menjadi korban tindak pidana perdagangan orang. Korban diperdagangkan tidak hanya untuk tujuan pelacuran atau bentuk eksploitasi seksual lainnya, tetapi juga mencakup bentuk eksploitasi lain, misalnya kerja paksa atau pelayanan paksa, perbudakan, atau praktik serupa perbudakan. Pelaku tindak pidana perdagangan orang melakukan perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian, atau penerimaan orang untuk tujuan menjebak, menjerumuskan, atau memanfaatkan orang tersebut dalam praktik eksploitasi dengan segala bentuknya dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, atau memberi bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas korban. Perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak, telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan baik terorganisasi maupun tidak terorganisasi. Perdagangan orang bahkan melibatkan tidak hanya perorangan tetapi juga korporasi dan penyelenggara negara yang menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya. Jaringan pelaku perdagangan orang memiliki jangkauan operasi tidak hanya antar wilayah dalam negeri tetapi juga antar negara. Dengan semakin berkembangnya modus operandi pelaku tindak pidana perdagangan orang yang meresahkan masyarakat dan membawa penderitaan secara fisik maupun psikis terhadap saksi korban, menuntut adanya peran aparat penegak hukum khususnya Polri selaku Penyidik untuk memberikan perlindungan hukum terhadap saksi korban tindak pidana perdagangan orang. Polri selaku alat negara yang melaksanakan tugas pokok memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakkan hukum; dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat merupakan hal yang harus dilaksanakan.1 Dalam melaksanakan tugas pokok di bidang penyidikan, sesuai dengan amanat Pasal 14 Ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UUPolri), mengatur bahwa Polri melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) maupun UUPolri, sebagai dasar pelaksanaan tugas penyidikan yang diemban oleh Polri mengatur bahwa penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. 1 Lilik Mulyadi. Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif, Teoretis dan Praktik, (Bandung: PT. Alumni, 2008), hlm. 43 354 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 Sebagai dasar upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan orang, Pasal 28 UUPTPPO menyatakan bahwa penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana perdagangan orang, dilakukan berdasarkan Hukum Acara Pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini. Dengan demikian, sistem dan pola penyidikan tindak pidana perdagangan orang tetap sesuai dengan KUHAP dan UUPolri, kecuali ada ketentuan khusus yang diatur dalam UUPTPPO, seperti perlakuan dan perlindungan hukum terhadap saksi korban tindak pidana perdagangan orang. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimanakah tipologi dan bentuk perlindungan korban tindak pidana perdagangan orang? 2. Bagaimanakah kekuatan alat bukti keterangan saksi dan kewajiban Penyidik dalam melindungi hak saksi korban tindak pidana perdagangan orang? METODE PENELITIAN Tipe penelitian yang dipakai adalah penelitian normatif-yuridis dengan menggabungkan metode penelitian primer, sekunder dan tersier. Penelitian dengan pendekatan normatif diarahkan untuk mengkaji peran Penyidik dalam upaya perlindungan korban tindak pidana perdagangan orang sebagaimana yang diterapkan di Indonesia. Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer, yaitu data empiris yang diperoleh dari informan berdasarkan hasil wawancara langsung dengan responden. Serta data sekunder, yaitu data yang diperoleh melalui studi kepustakaan, referensi-referensi teoritis, peraturan perundang-undangan, doktrin-doktrin dari berbagai pakar hukum, dan data-data yang diperoleh langsung dari lokasi penelitian. Proses analisis terhadap isi peraturan perundang-undangan dilakukan melalui mekanisme yang bersifat sirkuler yaitu analisis sudah mulai dilakukan di tengah-tengah proses pengumpulan data. Juga dengan menggunakan metode content analitys untuk mendapatkan kesimpulan. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pengertian Korban Tindak Pidana Secara global dan representatif, pengertian korban tindak pidana termuat pada Pasal 1 Deklarasi PBB No. 40/30 tanggal 25 November 1985 tentang Prinsip-prinsip Dasar Keadilan Bagi Korban Penyalahgunaan Kekuasaan, pada angka 1 Declaration of basic principles of justice for victim of crime and abuse of power, yang dinyatakan sebagai berikut: ”Victims means person who, individually or collectively, have suffered harm, including physical or mental injury, emotional suffering, economic loss or substansial impairment of their fundamental right, through acts or omissions that are in violation of criminal laws operative within member states, including those laws proscribing criminal abuse power” (Korban berarti orang-orang yang secara pribadi atau kolektif telah menderita kerugian, termasuk luka fisik atau mental, penderitaan emosional, Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 355 kerugian ekonomi atau perusakan cukup besar atas hak-hak dasarnya, lewat tindakan atau penghapusan yang bertentangan dengan hukum pidana yang berlaku di negaranegara anggota, termasuk hukum yang melarang penyalahgunaan kekuasaan yang bisa dikenai sanksi). Pasal 1 agngka 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UUPSK), memberikan definisi korban adalah seseorang yan mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Selanjutnya Pasal 1 angka 3 UUPTPPO, menyatakan bahwa korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan/atau sosial, yang diakibatkan tindak pidana perdagangan orang. Menurut Pasal 1 angka 6 Peraturan Kapolri Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana, yaitu: “Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi dan/atau sosial yang diakibatkan oleh tindak pidana”. Berdasarkan definisi tentang korban sebagaimana dikemukakan di atas, Lilik Mulyadi melihat dari tiga aspek, yaitu:2 a. Ditinjau dari sifatnya, ada yang individual dan kolektif. Korban individual karena dapat diidentifikasi sehingga perlindungan korban dilakukan secara nyata tetapi korban kolektif lebih sulit diidentifikasi; b. Ditinjau dari jenisnya, korban kejahatan ada yang bersifat langsung yaitu korban kejahatan itu sendiri dan tidak langsung (semu/abstrak) yaitu masyarakat. Menurut Sellin dan Wolfgang3 jenis korban dapat berupa: Primary victimization adalah korban individual. Jadi korbannya adalah orang perorangan atau bukan kelompok; Secondary victimization di mana yang menjadi korban adalah kelompok seperti badan hukum; Tertiary victimization yang menjadi korban adalah masyarakat luas; Mutual victimization yang menjadi korban adalah si pelaku sendiri; No victimization, bukan berarti tidak ada korban, melainkan korban tidak segera dapat diketahui, misalnya konsumen yang tertipu dalam menggunakan suatu hasil produksi. c. Ditinjau dari kerugiannya maka dapat diderita oleh seseorang, kelompok masyarakat maupun masyarakat luas. Selain itu kerugian korban dapat bersifat materiil yang dapat dinilai dengan uang atau imateriil yakni perasaan takut, sedih, kejutan psikis dan lain sebagainya. Arif Muladi dan Barda Nawawi Arief,4 berpendapat bahwa konsep pengaturan terhadap korban kejahatan, pertama-tama yang diperhatikan adalah esensi kerugian yang diderita si korban. Ternyata esensi kerugian tersebut tidak hanya bersifat materiil atau penderitaan fisik saja melainkan juga yang bersifat psikologis. Hal ini dalam bentuk trauma, kehilangan kepercayaan terhadap masyarakat dan ketertiban umum. Simtom dan sindrom tersebut dapat berupa kegelisahan, rasa curiga, sinisme, depresi, kesepian dan pelbagai perilaku penghindaran yang lain. 2 Abdullah Muhaddar Ed.,i & Husni Thamrin, Perlindungan Saksi & Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana, (Surabaya: Putra Media Nusantara, 2010), hlm. 54 3 Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Kriminologi & Victimologi, (Jakarta: Djambatan, 2003), hlm. 120-121 4 Arif Muladi dan Barda Nawawi. Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung: PT. Alumni, 2007), hlm. 84 356 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 Dalam rangka pengaturan hukum pidana terhadap korban kejahatan, secara mendasar dikenal dua model,5 yakni: a. Model hak-hak prosedural (The procedural rights model); Pada model yang ini penekanan diberikan pada dimungkinkannya si korban untuk memainkan peranan aktif di dalam proses kriminal atau di dalam jalannya proses peradilan. Dalam hal ini si korban kejahatan diberi hak untuk mengadakan tuntutan pidana atau untuk membantu jaksa atau hak untuk dihadirkan dan didengar disetiap tingkatan sidang pengadilan yang kepentingannya terkait di dalamnya, termasuk hak untuk diminta konsultasi oleh lembaga pemasyarakatan sebelum diberikan lepas bersyarat dan pada akhirnya hak untuk mengadakan perdamaian atau peradilan perdata. Di Perancis hal ini disebut partie civile model (civil action systems). Pendekatan semacam ini melihat si korban sebagai seorang subyek yang harus diberi hak-hak yuridis yang luas untuk menuntut dan mengejar kepentingan-kepentingannya; b. Model pelayanan (The Service Model) Pada model pelayanan (The Service Model), penekanan diletakkan pada perlunya diciptakan standar-standar baku bagi pembinaan korban kejahatan, yang dapat digunakan oleh polisi, misalnya dalam bentuk pedoman dalam rangka notifikasi kepada korban dan atau kejaksaan dalam rangka penanganan perkaranya, pemberian kompensasi sebagai sanksi pidana yang bersifat restitutif dan dampak pernyataan-pernyataan korban sebelum pidana dijatuhkan. Pendekatan ini melihat korban kejahatan sebagai sasaran khusus untuk dilayani dalam kerangka kegiatan polisi dan para penegak hukum yang lain”. Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa korban adalah orang secara pribadi atau bersama-sama yang menderita secara fisik, psikis, mental atau secara materiil sebagai akibat dari peristiwa tindak pidana yang wajib mendapat perlindungan hukum. Terkait dengan kemampuan dan kehendak korban untuk memberikan keterangan dihadapan aparat penegak hukum khususnya Penyidik, maka korban tersebut dipandang sebagai saksi korban dari tindak pidana. Tipologi dan Perlindungan Korban Tindak Pidana Tipologi korban tindak pidana dimensinya dapat ditinjau dari dua perspektif, yaitu: 1. Ditinjau dari perspektif keterlibatan korban dalam terjadinya kejahatan. Melalui kajian ini, maka Ezzat Abdel Fattah,6 menyebutkan beberapa tipologi korban, yaitu: a. non participating victim adalah mereka yang menyangkal/menolak kejahatan dan penjahat tetapi tidak turut berpartisipasi dalam menanggulangi kejahatan; b. latent or predisposed victims adalah mereka yang mempunyai karakter tertentu cenderung menjadi korban pelanggaran tertentu; c. provocative victims adalah mereka yang menimbulkan kejahatan atau pemicu kejahatan; d. participating victims adalah mereka yang tidak menyadari atau memiliki perilaku lain sehingga memudahkan dirinya menjadi korban; e. false victims adalah mereka yang menjadi korban karena dirinya sendiri. 5 Ibid. hlm. 85 6 Lilik Mulyadi. 2003. Op cit. hlm. 214 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 357 2. Ditinjau dari perspektif tanggung jawab korban itu sendiri, maka Stephen Schafer mengemukakan tipologi korban menjadi tujuh bentuk, yaitu: a. unrelated victims adalah mereka yang tidak ada hubungan dengan si pelaku dan menjadi korban karena memang potensial. Untuk itu, dari aspek tanggung jawab sepenuhnya berada di pihak korban; b. provocative victims merupakan korban yang disebabkan peranan korban untuk memicu terjadinya kejahatan. Karena itu, dari aspek tanggung jawab terletak pada diri korban dan pelaku secara bersama-sama; c. participating victims hakikatnya perbuatan korban tidak disadari dapat mendorong pelaku melakukan kejahatan. Misalnya, mengambil uang di bank dalam jumlah besar yang tanpa pengawalan, kemudian dibungkus dengan tas plastic sehingga mendorong orang untuk merampasnya. Aspek ini pertanggungjawaban sepenuhnya ada pada pelaku; d. biologically weak victims adalah kejahatan yang disebabkan adanya keadaan fisik korban seperti wanita, anak-anak, dan manusia lanjut usia (manula) merupakan potensial korban kejahatan. Ditinjau dari aspek pertanggungjawabannya terletak pada masyarakat atau pemerintah setempat karena tidak dapat memberi perlindungan kepada korban yang tidak berdaya; e. socially weak victims adalah korban yang tidak diperhatikan oleh masyarakat bersangkutan seperti para gelandangan dengan kedudukan sosial yang lemah. Untuk itu, pertanggungjawabannya secara penuh terletak pada penjahat atau masyarakat; f. selfvictimizing victims adalah korban kejahatan yang dilakukan sendiri (korban semu) atau kejahatan tanpa korban. Untuk itu pertanggungjawabnnya sepenuhnya terletak pada korban karena sekaligus sebagai pelaku kejahatan; g. political victims adalah korban karena lawan politiknya. Secara sosiologis, korban ini tidak dapat dipertanggungjawabkan kecuali adanya perubahan kontelasi politik. Berhubungan dengan tipologi perlindungan terhadap korban tindak pidana maka perlindungan korban dapat dilihat dari dua makna, yaitu: Pertama, dapat diartikan sebagai perlindungan hukum untuk tidak menjadi korban tindak pidana (berarti perlindungan hak asasi manusia atau kepentingan hukum seseorang). Kedua, dapat diartikan sebagai perlindungan untuk memperoleh jaminan/santunan hukum atas penderitaan/kerugian orang yang telah menjadi korban tindak pidana (jadi identik dengan penyantunan korban). Bentuk santunan itu dapat berupa pemulihan nama baik (rehabilitasi), pemulihan keseimbangan batin (antara lain dengan pemaafan), pemberian ganti rugi (restitusi, kompensasi, jaminan/santunan kesejahteraan sosial) dan sebagainya.7 Dengan adanya UUPSK, memberikan perlindungan hak-hak korban tindak pidana. Hak-hak korban tindak pidana, tersebut meliputi: memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya; ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan; memberikan keterangan tanpa tekanan; mendapat penerjemah; 7 Arif Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.cit. hlm. 84 358 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 bebas dari pertanyaan yang menjerat; mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus; mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan; mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan; mendapat identitas baru; mendapatkan tempat kediaman baru; memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; mendapat nasihat hukum; dan/atau memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir. Demikian pula menyangkut tata cara pemberian perlindungan korban tindak pidana telah diatur dalam UUPSK, dan secara khusus tata cara perlindungan korban dari tindak pidana perdagangan orang diatur dalam UUPTPPO. Dari hal-hal yang diuraikan di atas, Penulis menguraikan inti atau pokok dari pendapat Muladi,8 bahwa alasan korban tindak pidana perlu dilindungi, yaitu: Pertama, proses pemidanaan dalam hal ini mengandung pengertian, baik dalam arti umum maupun dalam arti konkret. Dalam arti umum, proses pemidanaan merupakan wewenang pembuat undang-undang, sesuai dengan asas legalitas, yang menegaskan bahwa, baik poena maupun crimen harus ditetapkan terlebih dahulu apabila hendak menjatuhkan pidana atas diri seorang pelaku tindak pidana. Dalam arti konkret, proses pemidanaan berkaitan dengan penetapan pidana melalui infrastruktur penitensier (hakim, petugas lembaga pemasyarakatan dan sebagainya). Kedua, argumentasi lain yang mengedepankan perlindungan hukum bagi korban tindak pidana adalah argumen kontrak sosial dan argumen solidaritas sosial. Ketiga, perlindungan korban tindak pidana biasanya dikaitkan dengan salah satu tujuan pemidanaan yang dewasa ini banyak dikedepankan yakni penyelesaian konflik. Perlindungan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Secara khusus UUPTPPO mengatur tentang perlindungan saksi dan korban dalam bab tersendiri yaitu Bab V UUPTPPO. Pasal 43 UUPTPPO, menyatakan:“Ketentuan mengenai perlindungan saksi dan korban dalam perkara tindak pidana perdagangan orang dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini”. Ketentuan tersebut di atas, sepanjang tidak diatur dalam UUPSK kewajiban Penyidik untuk memberikan perlindungan saksi khususnya korban tindak pidana perdagangan orang tetap berpedoman pada UUPTPPO. Terkait dengan suatu peristiwa, dalam Pasal 8 UUPSK menyatakan bahwa perlindungan dan hak saksi dan korban diberikan sejak tahap penyelidikan dimulai dan berakhir sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. UUPTPPO maupun UUPSK, sudah merupakan langkah maju sebagai upaya memberikan perlindungan terhadap korban, tetapi di sisi lain masih menimbulkan pertanyaan. Hal tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Arief Amrullah,9 sebagai berikut: “Kendati telah ada ketentuan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap korban, akan tetapi yang masih perlu dipertanyakan apakah perlindungan korban yang terimplementasikan dalam UUPSK sesuai dengan konsep perlindungan korban. 8 Lilik Muladi, Op.cit. hlm. 43 9 Dalam Abdussalam, R., Penegakan Hukum Di Lapangan Oleh Polri, (Jakarta: Dinas Hukum Polri, 1997), hlm. 126 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 359 Pertanyaan ini mengemuka, karena apabila memperhatikan beberapa ketentuan dalam UUPSK tampaknya pembuat UUPSK masih bias dalam memahami konsep tentang perlindungan korban dan kaitannya dengan akses korban dalam sistem peradilan pidana, sehingga apa yang telah dinyatakan dalam bagian konsideran tidak diimplementasikan secara konsisten dalam pasal-pasalnya”. Arief Amrullah,10 mencontohkan ketentuan Pasal 6 UUPSK menyatakan bahwa korban dalam pelanggaran HAM yang berat, selain berhak atas hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 UUPSK, juga berhak untuk mendapatkan bantuan medis, dan bantuan rehabilitasi psikososial. Pencantuman “pelanggaram HAM yang berat” dalam Pasal 6 itu, demikian juga dengan bentuk perlakuan yang berbeda dari korban kejahatan lainnya, sebagaimana hak untuk mendapatkan bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psikosoial, barangkali tanpa disadari oleh pembuat undang-undang bahwa apa yang diatur dalam Pasal 6 UUPSK telah menanamkan adanya diskriminasi dalam memberikan perlindungan terhadap korban, termasuk korban tindak pidana perdagangan orang. Perlindungan hukum bagi masyarakat khususnya yang terlibat langsung dalam peristiwa pidana sangatlah penting karena masyarakat baik kelompok maupun perorangan, dapat menjadi korban atau bahkan sebagai pelaku kejahatan. Perlindungan hukum korban kejahatan sebagai bagian dari perlindungan kepada masyarakat, dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti melalui pemberian restitusi dan kompensasi, pelayan medis, dan bantuan hokum.11 Muladi,12 berpendapat bahwa dalam penanganan perkara pidana kepentingan korban sudah saatnya untuk diberikan perhatian khusus, selain sebagai saksi yang mengetahui terjadinya suatu kejahatan juga karena kedudukan korban sebagai subyek hukum yang memiliki kedudukan sederajat di depan hukum (equality before the law). Perhatian kepada korban dalam penanganan perkara pidana hendaknya dilakukan atas dasar belas kasihan dan hormat atas martabat korban (compassion and respect for their dignity). Terkait dengan hak saksi dan/atau korban selama dalam hubungan dengan penanganan suatu tindak pidana, KUHAP hanya membatasi pada beberapa hak saksi dan/atau korban. Bahkan disatukan dengan hak tersangka atau terdakwa. Hal ini dapat dilihat pada rumusan norma yang terdapat pada terbatas pada hak saksi dan/atau korban atau tersangka atau terdakwa sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 117, Pasal 173, Pasal 177 dan Pasal 178 KUHAP, adalah sebagai berikut: Hak memberi keterangan kepada Penyidik tanpa tekanan dari siapapun dan/atau dalam bentuk apapun; Hak untuk dapat memberi keterangan tanpa hadirnya terdakwa; Hak untuk mendapat penterjemah apabila saksi tidak paham bahasa Indoensia; Apabila saksi bisu atau tuli, berhak untuk mendapat penterjemah orang yang pandai bergaul dengan saksi atau terdakwa. Substansi dari Pasal 45 UUPTPPO, bahwa untuk melindungi saksi dan/atau korban, di setiap provinsi dan kabupaten/kota wajib dibentuk ruang pelayanan khusus pada kantor kepolisian setempat guna melakukan pemeriksaan di tingkat penyidikan bagi saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang. Apabila hal tersebut, tidak ditunjang dengan sarana dan prasana pada masing-masing kantor kepolisian setempat, 10 Ibid. 11 M. Mansyur Arief Dikdik & Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, Antara Norma dan Kejahatan, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006). 12 Ibid. 360 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 dapat dipastikan bahwa penegakan hukum terhadap pemberantasan tindak pidana perdagangan orang akan mengalami hambatan. Setidak-tidaknya peran Polri selaku Penyidik dalam penegakan hukum tidak berjalan efektif. Sebagai upaya memberikan perlindungan saksi korban tindak pidana perdagangan orang, dan tindak lanjut peaksanaan amanat Pasal 45 UUPTPPO mengatur bahwa untuk melindungi saksi dan/atau korban, di setiap provinsi dan kabupaten/kota wajib dibentuk ruang pelayanan khusus pada kantor kepolisian setempat guna melakukan pemeriksaan di tingkat penyidikan bagi saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang. Pasal 45 Ayat (1) dan Ayat (2) UUPTPPO, tersebut telah dijabarkan melalui Peraturan Kapolri Nomor 3 tahun 2008 tentang pembentukan ruang pelayanan khusus dan tata cara pemeriksaan saksi dan/atau korban. Pada praktiknya, keterbatasan sarana dan prasarana sangat berpengaruh dalam penegakan hukum. UUPTPPO, sudah jelas dan memiliki nilai validitas. Menjadi persoalan ketika undang-undang itu ditegakkan atau diberlakukan pada peristiwa nyata, sebagaimana dialami oleh alat penegak hukum khususnya Penyidik selama melakukan pemeriksaan para pihak yang terlibat baik saksi dan/atau korban maupun tersangka. Norma yang dimuat dalam Pasal 45 Ayat (1) UUPTPPO adalah norma yang berisi “kewajiban”. Timbul pertanyaan, bagaimana jika di kantor kepolisian setempat belum dibentuk ruang pelayanan khusus? Apakah ada sanksi yang diterapkan, dan diberikan kepada siapa, apakah kepada kepolisian atau kepada provinsi atau kabupaten/kota yang tidak membentuk ruang pelayanan khusus pada kantor kepolisian setempat? Pertanyaan lain adalah, jenis perlindungan terhadap saksi dan/atau korban yang bagaimana diharapkan oleh UUPTPPO? Dan apakah dengan pembentukan ruang pelayanan khusus terhadap saksi dan/atau korban bisa mencapai tujuan yang diharapkan? Fungsi apa yang harus dilakukan oleh kepolisian sebagai sub sistem hukum dalam menjabarkan UUPTPPO terkait dengan pembentukan ruang pelayanan khusus perlindungan saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang? Pertanyaanpertanyaan ini menyoroti hal mendasar yang diatur dalam UUPTPPO terkait dengan perlindungan saksi dan/atau korban tindak perdagangan orang di tataran penyelidikan dan penyidikan oleh pihak kepolisian sebagai sub sistem peradilan pidana di Indonesia. Pasal 1 angka 2 Peraturan Kapolri Nomor 3 tahun 2008 tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana, dinyatakan bahwa Ruang Pelayanan Khusus yang selanjutnya disingkat RPK adalah ruangan yang aman dan nyaman diperuntukkan khusus bagi saksi dan/atau korban tindak pidana termasuk tersangka tindak pidana yang terdiri dari perempuan dan anak yang patut diperlakukan atau membutuhkan perlakukan secara khusus, dan perkaranya sedang di tangani di kantor polisi. Mengkaji substansi Pasal 45 Ayat (1) UUPTPPO, bahwa ruang pelayanan khusus yang dibentuk di kantor kepolisian setempat adalah sebagai tempat pemeriksaan saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang. Pasal 45 Ayat (2) UUPTPPO menjadi pertimbangan utama dibentuknya Peraturan Kapolri Nomor 3 tahun 2008. Substansi Peraturan Kapolri Nomor 3 tahun 2008 bukan hanya ditujukan untuk melindungi saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang, tetapi termasuk semua jenis saksi dan/atau korban tindak pidana, termasuk tersangka tindak pidana yang terdiri dari perempuan dan anak yang patut diperlakukan atau membutuhkan perlakukan secara khusus, dan perkaranya sedang di tangani di kantor polisi. Hal ini pun tampak pada tujuan pembentukan Ruang Pelayanan Khusus (RPK) sebagaimana Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 361 dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2008, yaitu untuk memberikan pelayanan dan perlindungan khusus kepada perempuan dan anak yang menjadi saksi, korban dan/atau tersangka yang ditangani RPK. Berdasarkan hal di atas, penulis berpendapat bahwa Pasal 45 Ayat (1) dan Ayat (2) UUPTPPO jelas hanya membatasi pembentukan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian diperuntukkan bagi saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang. Ruang pelayanan khusus yang dibentuk di kantor kepolisian terkait dengan penanganan tindak pidana perdagangan orang tidak termasuk diperuntukan untuk pemeriksaan tersangka perempuan dan anak. Perluasan makna Pasal 45 UUPTPPO, yang diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 8 tahun 2008 akan memberikan pengaruh pada saat proses penyelidikan dan penyidikan tindak pidana perdagangan orang. Antara saksi dan/atau korban dengan tersangka perempuan akan dapat berhubungan secara langsung, dan ini mempengaruhi secara langsung kondisi psikologis saksi dan/ atau korban di saat menjalani pemeriksaan. Maka hendaknya Peraturan Kapolri Nomor 3 tahun 2008, materinya harus sesuai dengan amanat dari UUPTPPO yaitu intinya pembentukan ruang pelayanan khusus di kepolisian setempat hanya untuk kepentingan pemeriksaan saksi dan/atau korban, tidak termasuk tersangka perempuan dan anak yang melakukan tindak pidana. Kekuatan Alat Bukti Keterangan Saksi Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Ketentuan khusus Pasal 30 UUPTPPO, menyatakan bahwa sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan satu alat bukti yang sah lainnya. Ketentuan ini merupakan perluasan makna Pasal 185 KUHAP. KUHAP tidak merumuskan secara eksplisit tentang kedudukan dan pentingnya keterangan seorang saksi korban. Demikian pula Pasal 30 UUPTPPO, tidak memberi penjelasan kriteria seorang dikatakan sebagai saksi korban yang memberi keyakinan kepada alat penegak hukum khususnya Penyidik untuk menilai bahwa keterangan saksi korban ditambah satu alat bukti sudah cukup untuk mendakwa seseorang sebagai pelaku tindak pidana. Hal ini berarti, menilai seorang telah menjadi korban tindak pidana tergantung bagaimana tanggapan atau penilaian Penyidik terhadap keterangan saksi korban termasuk memberitahukan hak-haknya untuk turut berperan dalam penegakan hukum. Secara empiris, pada tahap penyidikan tindak pidana perdagangan orang penerapan norma hukum yang diatur dalam Pasal 30 UUPTPPO, efektif ketika Penyidik menerima pengaduan atau laporan dari saksi korban yang memberikan keyakinan kepada Penyidik bahwa dia-lah korban tindak pidana. Pada tahap awal penyelidikan yang dilanjutkan dengan kegiatan penyidikan keterangan saksi korban, tidak atau disertai dengan alat bukti lain berupa catatan-catatan yang dibuat korban atau diperoleh korban ketika mengalami peristiwa. Biasanya, dengan hanya berdasarkan keterangan saksi korban yang memberi keyakinan kepada Penyidik bahwa benar yang bersangkutan adalah korban dari tindak pidana, Penyidik dapat melakukan tindakan kepolisian terhadap orang yang diduga sebagai pelaku. Pada peristiwa tertentu, seperti saksi korban telah mengalami atau berhubungan dengan pelaku, ketika mengajukan laporan atau pengaduan kepada Penyidik sering didukung dengan bukti surat, pesan singkat dalam ponsel seluler atau Short Message Service (SMS), atau tiket pemberangkatan saksi korban menuju dan “lari” dari lokasi pekerjaan, dan atau alat bukti lain yang sesuai dengan ketentuan UUPTPPO. Apabila 362 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 Penyidik yang menerima laporan adalah personel yang membidangi tugas perlindungan perempuan dan anak, mereka secara langsung melakukan wawancara singkat untuk mengetahui peristiwa yang terjadi. Berdasarkan keyakinan Penyidik bahwa laporan atau pengaduan yang disampaikan oleh saksi korban dinilai cukup memberi petunjuk bahwa benar ada peristiwa pidana, maka langsung mendatangi tempat kejadian perkara untuk melakukan penangkapan dilanjutkan dengan interogasi kepada pihak yang diduga sebagai pelaku. Keterangan saksi korban ditambah dengan satu alat bukti berupa surat, hubungan komunikasi yang terekam dalam alat telekomunikasi atau tiket pemberangkatan yang dimiliki saksi korban, mendorong Penyidik untuk melakukan penyidikan. Hasil penyidikan terhadap saksi korban, diawali dengan wawancara atau tanya jawab yang dituangkan dalam berita acara pemeriksaan saksi korban sudah mampu menerapkannya pada tahap penyelidikan dan penyidikan. Penyelidikan dan penyidikan merupakan “pintu masuk” pada sistem peradilan pidana di Indonesia. Maka kemampuan Penyidik untuk menggali substansi yang terkandung dalam Pasal 30 UUPTPPO dikaitkan dengan fakta hukum yang terjadi adalah penting untuk meyakinkan Jaksa selaku Penuntut Umum bahwa dengan keterangan saksi korban ditambah laporan polisi dipandang sudah cukup memenuhi unsur telah terjadi tindak pidana perdagangan orang. Hal ini menjadi bahan penilaian dan keyakinan hakim ketika memeriksa dan memutus perkara tindak pidana perdagangan orang di depan persidangan, bahwa keterangan saksi korban ditambah dengan satu alat bukti cukup mendakwa seorang sebagai pelaku tindak pidana. Kewajiban Penyidik Melindungi Hak Saksi Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Hak untuk dirahasiakan identitas Pasal 33 Ayat (1) dan Ayat (2) UUPTPPO, mengatur bahwa mulai tahap penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, pelapor berhak dirahasiakan nama dan alamatnya atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor. Dalam hal pelapor meminta dirahasiakan nama dan alamatnya atau hal-hal lain, kewajiban merahasiakan identitas tersebut diberitahukan kepada saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana perdagangan orang sebelum pemeriksaan oleh pejabat yang berwenang yang melakukan pemeriksaan. Secara normatif mulai dari tahap kegiatan penyidikan, pelapor yang melapor berhak dirahasiakan nama dan alamatnya atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor, apabila pelapor meminta idetitasnya dirahasiakan. Secara empiris, pelapor tindak pidana perdagangan orang, bisa berasal dari keluarga korban atau dari saksi korban sendiri. Hak untuk merahasiakan identitas pelapor khususnya saksi korban, dengan serta merta menjadi kewajiban Penyidik merahasiakan identitas korban atau saksi tindak pidana perdagangan orang. Pertanyaannya, bagaimana cara Penyidik untuk merahasiakan identitas saksi korban selaku pelapor tindak pidana perdagangan orang, yang dihadapkan pada lingkungan yang begitu transparan dan terbuka? Apakah ada sanksi yang diterima Penyidik ketika tidak melaksanakan norma yang diatur dalam Pasal 33 UUPTPPO? UUPTPPO, tidak menjelaskan lebih rinci bagaimana bentuk dan cara alat penegak hukum khususnya Penyidik untuk merahasiakan identitas pelapor. Kerahasiaan identitas korban atau pelapor merupakan hal yang utama untuk menjamin keselamatan korban atau pelapor dari tindakan tersangka atau pihak lain akibat terungkapnya suatu tindak Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 363 pidana. Polisi sebagai alat penegak hukum yang diberi kewenangan untuk menjamin keselamatan warga negara khususnya korban atau pelapor suatu tindak pidana, serta merta ada kewajiban yang melekat untuk memberikan perlindungan hukum atas keselamatan korban atau pelapor. Pasal 33 UUPTPPO tidak sepenuhnya memberikan jaminan kerahasiaan dan keselamatan kepada pelapor tindak pidana perdagangan orang. Hal ini dikarenakan, bahwa Penyidik sebelum melakukan rangkaian kegiatan penyidikan untuk mencari dan menemukan tersangka, dalam praktik didahului dengan kegiatan penyelidikan. Kegiatan penyelidikan merupakan “filter” setiap Penyidik untuk dapat melakukan tindakan penyidikan. Pada tahap penyelidikan sejauh mungkin memberikan perlindungan terhadap saksi dan/atau korban dengan memperhatikan hak asasi manusia dengan tidak melakukan upaya paksa. Kegiatan penyelidikan merupakan kegiatan awal sebelum dan/atau bersamaan dengan kegiatan penyidikan. Kegiatan penyelidikan dilakukan atas dasar laporan atau pengaduan pelapor atau saksi atau korban, maka kerahasiakan identitas saksi pelapor atau korban tidak terjamin. Hal ini dapat terjadi karena rangkaian kegiatan penyelidikan adalah untuk membuktikan bahwa peristiwa yang dilapor adalah peristiwa tindak pidana. Karena ini adalah kegiatan penyelidikan untuk membuktikan suatu peristiwa yang dilapor adalah peristiwa pidana atau bukan, sering kali pelapor atau saksi atau korban secara langsung atau tidak langsung membuka identitas pada publik melalui media masa dan juga tidak ada permintaan khusus kepada Penyidik atau Penyelidik pada tahap penyelidikan untuk merahasiakan identitasnya. Maka, pada tahap penyelidikan ini identitas pelapor atau saksi korban sudah terpublikasi yang akhirnya tidak memberikan jaminan kerahasiaan identitas pelapor, sampai pada tahap kegiatan penyidikan apabila peristiwa yang dilapor adalah peristiwa tindak pidana. Keterangan saksi korban merupakan alat bukti utama untuk mengungkap adanya suatu peristiwa tindak pidana perdagangan orang. Dalam praktik, keterangan saksi korban sejauh mungkin dirahasiakan untuk kepentingan pencarian alat bukti lain dan untuk keselamatan saksi korban. Potensi tantangan yang sering dihadapi Penyidik ketika melakukan tindakan yang mewajibkan untuk merahasiakan identitas pelapor khususnya identitas saksi korban, yaitu ketika melakukan pemeriksaan atas isi laporan yang disampaikan oleh saksi korban yang tidak didampingi oleh orang tua (khusus korban anak) atau LSM yang berurusan dengan perlindungan korban tindak pidana. Kewajiban Penyidik untuk merahasiakan identitas pelapor dituangkan pula dalam berita acara pemeriksaan kepada setiap orang yang menjadi saksi ketika diperiksa dan diminta keterangan untuk membuktikan dugaan tindak pidana perdagangan orang yang disangkakan kepada pelaku. Korban tindak pidana perdagangan orang, sering mengalami kekerasan fisik, psikis, atau seksual. Kondisi ini mewajibkan Penyidik untuk mengambil tindakan yang memastikan korban yang teridentifikasi atau mereka yang diduga sebagai calon korban dapat diselamatkan dari eksploitasi. Tindakan penyelamatan yang dilakukan oleh Penyidik terhadap korban juga melekat kewajiban untuk merahasiakan identitas korban atau saksi pelapor. Dalam kegiatan penyidikan kewajiban untuk merahasiakan identitas korban dan atau pelapor yang terkait dengan tindak pidana perdagangan orang, sulit dilakukan oleh Penyidik. Hal ini dikarenakan oleh faktor media yang sudah begitu terbuka untuk memberitakan setiap peristiwa yang terjadi dalam masyarakat. Penyidik menyadari betul bahwa merahasiakan identitas saksi atau korban, merupakan kewajiban Penyidik, di samping itu sebagai upaya untuk menjaga keselamatan saksi 364 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 atau korban tindak pidana perdagangan orang. Ketika Penyidik melakukan pemeriksaan terhadap setiap pihak yang berkaitan dengan penanganan tindak pidana perdagangan orang, secara lisan maupun tertulis Penyidik memberitahukan untuk merahasiakan identitas pelapor dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang untuk keselamatan mereka, dan juga mengingatkan apabila pihak-pihak yang diperiksa dengan sengaja tidak mengindahkan peringatan dan memberitakan kepada khalayak umum, maka mereka harus bertanggung jawab secara pidana apabila pemberitaan tersebut merugikan pelapor atau korban tindak pidana perdagangan orang. Hak untuk didampingi advokat dan/atau pendamping Pasal 35 UUPTPPO merupakan norma baru dalam hal memberi perlindungan hukum terhadap saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang. Pasal 35 UUPTPPO mengatur bahwa selama proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, saksi dan/atau korban berhak didampingi oleh advokat dan/atau pendamping lainnya yang dibutuhkan. Dengan demikian Pasal 35 UUPTPPO tersebut, berlaku juga kewajiban Penyidik untuk memberi perlindungan kepada korban untuk didampingi advokat dan/atau pendaping lain yang dibutuhkannya. Dalam praktik, hak untuk didampingi advokat lebih sering digunakan oleh tersangka atau terdakwa karena untuk membela kepentingan hukum pada saat yang bersangkutan ditetapkan sebagai tersangka atau terdakwa. Saksi dan/atau korban amat jarang menggunakan haknya untuk didampingi advokat kecuali LSM yang berurusan dengan korban, meskipun undang-undang telah memberikan jaminan perlindungan hukum tersebut. Perlindungan saksi dan/atau korban antara lain melalui pemberian hak untuk didampingi advokat atau pendamping lainnya sejak tahap penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 35 UUPTPPO, merupakan norma yang responsif atas kondisi dari pentingnya pemberian hak saksi korban selama dalam proses penanganan suatu tindak pidana. Penggunaan hak oleh saksi korban sejak tahap penyidikan tindak pidana perdagangan orang, sejalan dengan asas perlindungan saksi dan korban menurut UUPSK. Pasal 3 UUPSK, mengatur bahwa perlindungan saksi dan/atau korban berasaskan pada penghargaan atas harkat dan martabat manusia; rasa aman; keadilan; tidak diskriminatif; dan kepastian hukum. Menurut Muhadar, dkk13 Pasal 3 UUPSK berdasarkan atas asas perlindungan, hak atas rasa aman, hak atas keadilan, dan penghormatan atas harkat dan martabat manusia. Dengan pemberian hak saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang untuk didampingi penasehat hukum atau pendamping lainnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 35 UUPTPPO akan memberi jaminan perlindungan hak asasi manusia sebagai korban tindak pidana. Penyidik yang menangani perkara tindak pidana perdagangan mengetahui dan memberi kesempatan pada tahap penyelidikan atau ketika ditingkatkan pada tahap penyidikan, saksi dan/atau korban menggunakan haknya untuk didampingi Advokat atau pendamping lainnya. Penyidik memandang penting saksi dan/atau korban untuk menggunakan hak untuk didampingi, karena dalam praktik banyak faktor-faktor yang menuntut kehadiran advokat atau pendamping lain, ketika saksi dan/atau korban mengalami hal-hal yang berkaitan dengan keamanan, kesehatan, bimbingan, nasihat atau bantuan. Di sisi lain, Penyidik kesulitan menghadirkan pihak-pihak yang mampu memahami karakteristik dan kondisi korban yang mengalami peristiwa tindak pidana. Pada tahap pemeriksaan, dalam kondisi tertentu Penyidik memberlakukan saksi 13 Abdullah Muhaddar Ed.,i dan Thamrin, Husni., Op.cit, hlm. 74-75 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 365 khususnya korban secara sensitif dan berusaha menghormati hak-haknya. Karena, tidak jarang ketika Penyidik mulai melakukan pemeriksaan, misalnya melalui wawancara awal, korban merasa curiga, bingung, belum sepenuhnya mencerikan peristiwa yang dialaminya karena tidak percaya kepada petugas dan bentuk trauma lainnya. Hak untuk mendapatkan informasi perkembangan kasus Pasal 36 UUPTPPO mengatur bahwa selama proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di depan sidang pengadilan, korban berhak mendapatkan informasi tentang perkembangan kasus yang melibatkan dirinya. Informasi tentang perkembangan kasus, dapat berupa pemberian salinan berita acara setiap tahap pemeriksaan. Hak korban untuk mendapatkan informasi tentang perkembangan kasus, yang dimulai dari tahap penyidikan merupakan bentuk pengakuan hak korban yang ada dalam UUPTPPO. Implementasi ketentuan ini, harus dapat diwujudkan oleh semua alat penegak hukum khususnya Penyidik dalam melaksanakan kegiatan penyidikan dalam rangka menjamin akuntabilitas dan transparasi penanganan suatu perkara. Pasal 39 Peraturan Kapolri Nomor 12 tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Polri, merumuskan bahwa dalam hal menjamin akuntabilitas dan transparansi penyidikan, Penyidik wajib memberikan surat pemberitahuan perkembangan hasil penyidikan (SP2HP) kepada pihak pelapor baik diminta atau tidak diminta secara berkala paling sedikit 1 kali setiap 1 bulan. Laporan perkembangan hasil penyidikan dapat disampaikan kepada pihak pelapor baik dalam bentuk lisan atau tertulis. Teknis pelaksanaan yang dilakukan Penyidik yaitu cara penyampaian SP2HP ditujukan pelapor atau korban tindak pidana. Hak korban untuk mendapatkan informasi tentang perkembangan kasus yang melibatkan dirinya khususnya mulai dari tahap penyidikan, Polri telah menyusun dan menerapkan melalui apa yang disebut SP2HP sebagaimana disebutkan di atas, sebagai bentuk Quick Wins bidang transparansi penyidikan. Dalam Pedoman Pelaksanaan Quick Wins Bidang Transparansi Penyidikan tahun 2009 yang disusun oleh Bareskrim Polri, merumuskan bahwa pemberitahuan perkembangan hasil penyelidikan/penyidikan dilaksanakan melalui: Surat pemberitahuan perkembangan hasil penyelidikan / penyidikan; Desk telepon (petugas penerima pengaduan perkembangan hasil penyelidikan/ penyidikan melalui telepon); Website, pengadu menanyakan perkembangan hasil penyelidikan/penyidikan melalui website; SMS, pengadu menanyakan perkembangan hasil penyelidikan/penyidikan melalui telepon seluler; Gelar perkara, pengadu menyampaikan keluhannya dalam forum gelar perkara. SP2HP sebagai surat yang diberikan kepada pelapor/pengadu/korban tentang perkembangan hasil penyelidikan dan penyidikan ditandatangani oleh Atasan Penyidik dengan melalui tahapan: Penerimaan laporan/pengaduan diberikan pada saat telah mengeluarkan surat perintah penyelidikan/penyidikan dalam waktu 3 (tiga) hari; SP2HP yang diberikan kepada pelapor/pengadu/korban berisi bahwa “laporan/ pengaduan saudara telah diterima dan akan dilakukan penyelidikan/penyidikan oleh Penyelidik atau Penyidik atas nama, HP, website, dalam waktu…. Hari sesuai dengan kriteria”. Syarat pemberian SP2HP pada tingkat penyelidikan maupun tingkat penyidikan berdasarkan kualifikasi pembuktian untuk kasus ringan, sedang, atau sulit dan sangat 366 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 sulit sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Untuk Tahap penyelesaian dan penyerahan berkas perkara, SP2HP diberikan pada saat pelimpahan berkas perkara tahap pertama. Pada saat berkas perkara dikembalikan (P-18 dan P-19), maka SP2HP diberikan setelah dilakukan pelimpahan kembali berkas perkara ke jaksa penuntut umum. Demikian juga pada saat penyerahan berkas perkara dan tersangka pada tahap kedua, SP2HP disampaikan kepada pelapor/pengadu/korban. Mengkaji mekanisme atau tata cara penyampaian informasi perkembangan penanganan perkara oleh Penyidik kepada pelapor/pengadu/korban tersebut di atas, memberi jaminan kepastian hukum dan manfaat kepada setiap orang untuk dapat mengikuti setiap perkembangan penanganan kasus yang dilakukan oleh Penyelidik atau Penyidik. Dalam praktik, penerapan ketentuan pedoman pelaksanaan Quick Wins bidang transparansi penyidikan pada setiap perkara adalah berbeda berdasarkan kriteria tingkat kesulitan dan ketentuan pidana yang dilanggar. Apabila dikaitkan dengan kriteria tingkat kesulitan dalam penyidikan tindak pidana perdagangan orang, maka hampir dipastikan tindak pidana perdagangan orang masuk kategori sulit atau sangat sulit, sesuai dengan karakteristik tindak pidana perdagangan orang yaitu sebagai kejahatan transnasional dan extra ordinary crime, yang dalam penyelesaiannya memerlukan penanganan khusus. Penyidik selama melakukan proses penyidikan tindak pidana perdagangan orang sudah melaksanakan amanat dari UUPTPPO yaitu membuat SP2HP kepada korban, yang ditujukan kepada korban atau keluarga korban. Penerbitan SP2HP oleh Penyidik, dibuat dan dikirim pada awal penyidikan, pertengahan penyidikan dan akhir penyidikan ketika tahap I dan berkas perkara dinyatakan sudah lengkap oleh JPU dan ketika pengiriman tahap II oleh Penyidikan kepada JPU. Pemberitahuan oleh Penyidik kepada korban atau keluarga korban tentang perkembangan hasil penyidikan, selama ini sudah dilakukan karena Penyidik berpendapat bahwa hal tersebut sudah merupakan tanggung jawab Penyidik sebagai respons atas perlindungan korban khususnya hak untuk memperoleh informasi perkembangan penyidikan. PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa peran Penyidik dalam upaya perlindungan korban tindak pidana perdagangan orang, sangat diperlukan ketika diketahui ada peristiwa tindak pidana perdagangan orang, baik karena berdasarkan laporan atau pengaduan korban dan/atau keluarga atau temuan langsung oleh Penyidik. Saran Keterangan saksi korban sebagai alat bukti, menjadi hal utama dalam upaya melindungi korban dari tidak pidana perdagangan orang. Hak-hak khusus dari korban tindak pidana perdagangan orang yang dijamin dan dilindungi oleh hukum melalui UUPTPPO, menjadi kewajiban Penyidik untuk mampu memberi perlindungan terhadap korban, yaitu dalam hal menjaga kerahasiaan identitas korban, memberi kesempatan kepada korban untuk didampingi penasehat hukum atau advokat dan/atau pendamping lainnya, serta kewajiban Penyidik menyampaikan perkembangan penanganan perkara kepada korban atau keluarganya selama dalam tahap penyidikan. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 367 DAFTAR PUSTAKA Abdussalam, R., 1997. Penegakan Hukum Di Lapangan Oleh Polri, Jakarta: Dinas Hukum Polri. Ali, Achmad, 1998. Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Jakarta: PT. Yarsif Watampone. Arief, Nawawi, Barda. 2008, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Jakarta: Prenada Media Group. Farhana, 2010. Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia, Jakarta: Sinas Grafika. Mansur, Dikdik, M. Arief & Gultom, Elisatris, 2006. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, Antara Norma dan Kejahatan, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Muhadar, Abdullah. Ed.,i & Thamrin, Husni, 2010. Perlindungan Saksi & Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana, Surabaya: Putra Media Nusantara. Muladi & Arief, Nawawi, Barda., 2007, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: PT. Alumni. Mulyadi, Lilik, 2003. Kapita Selekta Hukum Pidana, Kriminologi & Victimologi, Jakarta: Djambatan. ___________, 2008. Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif, Teoretis dan Praktik, Bandung: PT. Alumni. Soekanto, Soerjono, 1989. Kegunaan Ssiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. _______________, 2008. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. 368 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 KETERKAITAN INTEGRITAS APARAT PENYELENGGARA NEGARA TERHADAP EFEKTIVITAS PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI Adensi Timomor Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 KETERKAITAN INTEGRITAS APARAT PENYELENGGARA NEGARA TERHADAP EFEKTIVITAS PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI Oleh: Adensi Timomor Fakultas Hukum Universitas Negeri Manado Jl. Malalayang Dua, Manado, Sulawesi Utara E-mail: [email protected] Abstract Law enforcement intelligence not only intellectually but also a spiritual intelligence. In other words, the rule of law must be done with full determination, empathy, dedication, commitment and courage with the substance of the law was supported by an ideal and a community cooperative. Awareness of the law will give influence on the obedience of the law enforcement organizer of forming a collective adherence to State institutions so that the integrity of the host State as reflection apparatus awareness and observance of the law governing the country as a personal and institutional will embody the effectiveness in the eradication of criminal acts of corruption. Keywords: Law Enforcement, Integrity Abstrak Penegakan hukum bukan hanya kecerdasan intelektual akan tetapi juga merupakan kecerdasan spiritual. Dengan kata lain, penegakan hukum harus dilakukan dengan penuh determinasi, empati, dedikasi, komitmen serta keberanian dengan didukung oleh substansi hukum yang ideal dan masyarakat yang kooperatif. Kesadaran hukum akan memberikan pengaruh pada ketaatan hukum aparat penyelenggara negara yang membentuk ketaatan kolektif lembaga penyelenggara negara sehingga integritas aparat penyelenggara negara sebagai refleksi kesadaran dan ketaatan hukum penyelenggara Negara secara personal dan kelembagaan akan mewujudkan efektivitas dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Kata Kunci: Penegakan Hukum, Integritas Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 PENDAHULUAN Tujuan nasional termaktub dalam Alenia IV Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonsia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta melaksanakan perdamaian dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dalam UUD NRI 1945 ditegaskan pula bahwa Indonesia adalah negara hukum. Hal ini berarti negara Republik Indonesia merupakan negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, menjamin persamaan kedudukan semua warga negara Indonesia dalam hukum dan pemerintahan, serta wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan tanpa ada kecualinya.1 Sejalan dengan dinamika masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan dan dalam upaya mewujudkan tujuan negara hukum, ternyata ada banyak faktor penghambat pembangunan yang berkembang bersamaan dengan berkembangnya pembangunan itu sendiri. Salah satu faktor penghambat pembangunan itu adalah tindak pidana korupsi. Masalah korupsi merupakan masalah yang sangat sentral di dalam kurun waktu pembangunan dewasa ini dan sering hal itu menimbulkan perbincangan dan diskusi yang berkepanjangan oleh berbagai kalangan masyarakat. Korupsi telah merupakan penyakit kronis di Indonesia. Korupsi merupakan suatu penyakit masyarakat yang menggerogoti kesejahteraan rakyat, menghambat pelaksanaan pembangunan, merugikan ekonomi dan mengabaikan moral, oleh karena itu harus segera diberantas.2 Untuk mencegah terjadinya tindakan penyelewengan bagi penyelenggara negara telah ada instrumen-instrumen hukum yang berfungsi mencegah dan mengontrol sekaligus mengancam apabila melakukan tindakan melawan hukum. Intrumen-instrumen hukum itu antara lain Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Namun, keberadaan instrumen hukum ini ternyata belum efektif membuat seseorang “mengurungkan” niatnya untuk tidak melakukan perbuatan melawan hukum. Sejak era reformasi, banyak peraturan perundang-undangan dan yang diterbitkan dalam upaya mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi demikian pula pembentukan lembaga-lembaga yang dapat mendukung optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi namun instrumen dan perangkat hukum yang ada tersebut belum cukup ampuh atau efektif menekan niat dan perilaku menyimpang para penyelenggara negara untuk tidak melakukan tindakan melawan hukum. Kemampuan peraturan perundang-undangan dan lembaga negara serta aparat penegak hukum dalam upaya mencegah niat penyelenggara negara untuk melakukan tindak pidana korupsi merupakan hal yang mendasar dan memiliki kompleksitas yang cukup tinggi karena berkaitan langsung dengan manusia yang disatu sisi pembuat aturan tetapi disisi lain pelanggar aturan. Berlakunya UU PTPK dan pembentukan lembaga-lembaga dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi ternyata belum cukup untuk mencegah dan menanggulangi tindak pidana korupsi di Indonesia. Pasca pembentukan dan perubahan UU PTPK tindak pidana korupsi ternyata tetap terjadi di Indonesia. Pembicaraan mengenai pemberantasan korupsi pada dasarnya terkait erat dengan tiga hal yaitu substansi hukum, sutruktur hukum dan kultur hukum. Tanpa sinergitas antara 1 Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 mengatur (1) Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebelum dilakukannya amandemen UUD NRI 1945, ketentuan ini tidak dicantumkan dalam batang tubuh UUD NRI 1945 karena sebelumnya Pasal 1 UUD NRI 1945 hanya terdiri dari 2 pasal yaitu (1) Negara Indonesia ialah Negara kesatuan yang berbentuk Republik dan (2) Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. 2 ST. Harun Pudjiarto. 1994. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, RajaGrafindo : Jakarta. Hlm. 4-5. 372 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 ketiganya maka penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi akan mustahil untuk dilaksanakan. Dalam kenyataan yang ada saat ini ketiga hal ini masih berjalan pada kesimpangsiuran yang menimbulkan ketidakpastian. Kesulitan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi saat ini disebabkan pula oleh faktor aparat penyelenggara negara. Lembaga-Lembaga vertikal, (Polisi, Peradilan, Pajak, Imigrasi, Bea Cukai, Militer dll), masih dipersepsikan sangat korup. Menurut versi Transparansi Indonesia, bahwa lembaga peradilan merupakan lembaga paling tinggi tingkat inisiatif meminta suap (100%), disusul Bea Cukai (95%), Imigasi (90%) BPN (84%), Polisi (78%) dan Pajak (76%).3 Beberapa fakta yang cukup agak mengejutkan publik adalah ternyata perbuatan melawan hukum ini tidak saja dilakukan oleh pejabat-pejabat teknis dan pimpinan di daerah–daerah, tetapi juga sampai kepada pejabat-pejabat tinggi negara lintas kementerian dan lembaga negara. Tindakan tersebut dilakukan juga oleh anggota lembaga legislatif (DPR) yang merupakan representasi rakyat dan dihormati karena dianggap dapat dipercaya membawakan dan memperjuangkan aspirasi masyarakat. Namun dalam kenyataannya mereka pun banyak yang tidak konsisten dan dengan begitu mudahnya mengingkari kepercayaan konstituennya dan turut serta baik secara perorangan maupun secara bersamasama melakukan tindakan melawan hukum yang merugikan negara. Tindakan melawan hukum oleh anggota lembaga legislatif ini tidak saja terjadi di tingkat pusat tetapi sampai di daerah-daerah. Beberapa dugaan korupsi yang terjadi di beberapa lembaga negara antara lain dugaan korupsi terhadap majelis hakim Pengadilan Negeri Solo yang memberikan Vonis bebas kepada sembilan terdakwa korupsi. Majelis hakim dalam memberikan vonis bebas terhadap terdakwa kasus korupsi dengan mengalihkan pertanggungjawaban pidana ke ranah administratif. Dalam hal tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) terbukti, majelis hakim berdalih bahwa terdakwa kasus korupsi dapat dibebaskan karena perbuatannya bukan merupakan tindak pidana, misalnya dalam kasus dugaan korupsi pengadaan alat medis Kabupaten Banjarnegara tahun 2006 dengan terdakwa Direktur PT Dharma Mulia Multi Farma Semarang dan Ary Gunawan, kepala Seksi Sarana dan Tenaga Kesehatan Kabupaten Banjarnegara sebesar Rp 2,9 miliar,4 kasus korupsi Mantan Wakil Bupati Karanganyar Sri Sadoyo Hardjomigoeno Suparno dan mantan Ketua DPRD Karanganyar Suparno yang merupakan terdakwa kasus dugaan korupsi APBD 2001-2006 sebesar Rp2,9 miliar.5 Putusan bebeas dapat pula dilihat dalam dalam kasus dugaan korupsi APBD 2003 sebesar Rp 4,2 miliar oleh sembilan anggota DPRD Solo, kasus korupsi pembangunan sarana dan prasarana lapangan Sorogenen, dan kasus korupsi oledh Kepala Bidang Pendidikan Luar Sekolah Pekalongan, serta Bendahara BLK Mungkid Magelang dalam dugaan korupsi dana bantuan revitalisasi gedung BLK Tempuran, Magelang, dugaan korupsi terhadap pakar hukum pidana Universitas Padjajaran pada tahun 2008 yang diduga terjerat dalam kasus korupsi Departemen Hukum dan HAM.6 3 Hasil Survey Lembaga Transparansi Internasional (TI) tahun 2010 yang dimuat dalam situs: http://www. hukumonline.com/klinik/detail/lt4cc69e823d092/beda-kewenangan-kpk,-kepolisian-dan-kejaksaan-selaku-penyelidik-dan-penyidik. 4 Dalam Putusan Pengadilan Negeri Banjarnegara No. 233/Pid.B/2008/PN. Bjn tanggal 9 Juli 2009 jo Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Tengah No. 497/PID/2009/PT.Smg tanggal 19 Januari 2010 jo Putusan Mahkamah Agung RI No. 1003 K/PID SUS/2010 tanggal 20 Januari 2011. Dalam perkara ini direktur PT Dharma Mulia Multi Farma Semarang dinyatakan bebas dari segala tuntutan sedangkan Ary Gunawan diputus bersalah dan melakukan tindak pidana korupsi. 5 Antara news.com. 25 Terdakwa Kasus Korupsi Mendapat Vonis Bebas Jumat, 15 Januari 2010 05:00 WIB | http://www.antaranews.com/berita/1263506437/25-terdakwa-kasus-korupsi-mendapat-vonis-bebas 6Kompas.com, 25 Terdakwa Korupsi Miliaran Rupiah Divonis Bebas. 14-01-10, 11:02 PM. http://forum. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 373 Putusan bebas terhadap terdakwa dalam dugaan tindak pidana korupsi terjadi pula di Provinsi Sulawesi Utara antara lain dalam kasus putusan bebas terhadap terdakwa Recky Pontoh pada tanggal 6 Oktober 2010.7 Kenyataan ini menunjukan bahwa aparat penegak hukum dalam pelaksanaan tugas-tugas kerap kali mengesampingkan rasa keadilan masyarakat dengan hanya mengutamakan kepastian hukum dalam proses penanganan tindak pidana korupsi. Terkait dengan penegakan hukum Satjipto Rahardjo8 mengemukakan bahwa pada hakikatnya penegakan hukum mengandung nilai substansial yaitu keadilan dan penegakan hukum bertolak dari pilar utamanya yaitu determinasi dan komitmen kuat dari sub sistem yang terkait dengan penegakan hukum. Penegakan hukum bukan hanya kecerdasan intelektual akan tetapi juga merupakan kecerdasan spiritual. Dengan kata lain, penegakan hukum harus dilakukan dengan penuh determinasi, empati, dedikasi, komitmen serta keberanian dengan didukung oleh substansi hukum yang ideal dan masyarakat yang kooperatif. RUMUSAN MASALAH Dari uraian di atas, penulis mengidentifikasi permasalahan yang kemudian dirumuskan dalam rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana ruang lingkup Tindak Pidana Korupsi dalam sistem hukum Indonesia? 2. Bagaimana keterkaitan integritas Penyelenggara Negara dan Pemberantasan Korupsi? METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode deskriptif yaitu metode yang meneliti status kelompok manusia, suatu objek dan sebuah kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu peristiwa dimasa sekarang. Adapun tujuan penelitian deskriptif adalah memberikan sebuah gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta, sifat dan hubungan antara fenomena yang diteliti. Alasan penggunaan metode deskriptif ini juga karena dalam rangka pencarian fakta dan interpretasi yang tepat, mempelajari masalah-masalah masyarakat, serta tata cara berlaku dalam masyarakat dan situasi tertentu, termasuk sikap, pandangan serta prosses berlangsungnya sesuatu. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Ruang Lingkup Tindak Pidana Korupsi Kata korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio atau corruptus yang kemudian diadopsi dalam banyak bahasa antara lain bahasa Inggris yaitu kata corruption, bahasa Belanda yaitu corruptive dan bahasa Prancis yaitu corrupt. Kata korupsi yang digunakan di Indonesia berasal kata corruptive dalam bahasa Belanda.9 Dalam bahasa Indonesia, secara kompas.com/nasional/27245-25-terdakwa-korupsi-miliaran-rupiah-divonis-bebas.html 7 Pontoh di Putus bebas, dimuat dalam http://www.pacifictv.tv/minahasa/1704-pontoh-di-putus-bebas. html). 8 Satjipto Rahardjo. 2009. Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis. Genta Publishing : Jakarta Hlm. 3-7. 9 Andi Hamzah. 2009. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional.Edisi Kelima. RajaGrafindo Persada: Jakarta. Hlm. Halaman 4 374 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 harfiah tindak pidana korupsi berasal dari kata “tindak pidana” dan kata “korupsi”.10 Pandangan lain tentang istilah korupsi dikemukakan oleh Lilik Mulyadi bahwa tindak pidana merupakan istilah teknis-yuridis dari bahasa Belanda “Strafbaar Feit” atau “delict” dengan pengertian sebagai sebuah perbuatan yang dilarang oleh peraturan hukum dan tentu saja dikenakan sanksi pidana bagi siapa saja yang melanggarnya. Istilah korupsi berasal dari bahasa Latin Corruptie. Corruptie berasal dari kata corrumpore yang berarti merusak.11 Asal kata korupsi berasal dari kata corrumpere. Dari bahasa latin inilah kemudian diterima oleh banyak bahasa di Eropa, seperti: dalam bahasa Inggris menjadi corrupti on atau corrupt, sedangkan dalam bahasa Belanda, menjadi corruptie. Arti harfiah dari korupsi adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, tidak bermoral, penyimpangan arti dari kesucian, dapat disuap. Korupsi adalah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya.12 Dalam Ensiklopedia Grote Winkler Prins, disebutkan bahwa korupsi dipersamakan dengan penyuapan sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah berikut ini:13 Corruptio=omkoping, noemt men het verschijnsel dat ambrenaren of andere personen in dienst der openbare zaak (zie echter hieronder voor zogenaamd niet ambtelijk zaak (zie echter hieronder voor zogenaamd niet ambtelijk corruptie ) sicht laten omkopen. Sampai dengan dekade 70 an, penelitian mengenai korupsi belum banyak dilakukan, hal ini diakui oleh Gunnar Myrdal,14 “Although corruption is very much issue in the public debate in all South Asian countries..., it is almost taboo as a research loyic and is rarely mentioned in scholarly discussions of the problems of government asld planning”. Barulah pada dekade 90an bermunculan penelitian empirik yang berkaitan dengan korupsi. Mauro menganalisa satu set data terbaru yang berisi indek subjektif korupsi, besarnya red tape, efisiensi sistem hukum, dan berbagai kategori stabilitas politik negara-negara secara cross section. Menurut analisanya, korupsi terbukti menurunkan investasi, oleh karena itu menurunkan pertumbuhan ekonomi. Hasilnya adalah kuat mengontrol endogenitas dengan mempergunakan index ethnolinguistic fractionalization sebagai instrumen.15 Baharuddin Lopa,16 mengemukakan korupsi berdasarkan sifatnya dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) bentuk, yakni: a) Korupsi yang Bermotif Terselebung yakni korupsi yang secara sepintas kelihatannya bermotif politik, tetapi secara tersembunyi sesungguhnya bermotif mendapatkan uang semata. b) Korupsi yang Bermotif Ganda yaitu seorang melakukan korupsi secara lahiriah kelihatannya hanya bermotifkan mendapatkan uang, tetapi sesungguhnya bermotif lain, yakni kepentingan politik. Berbagai definisi yang menjelaskan dan menjabarkan makna korupsi dapat kita temui. Dengan penekanan pada studi masing-masing individu maka korupsi menjadi bermakna luas dan tidak hanya dari satu perspektif saja. Setiap orang bebas memaknai korupsi . 10 Kamus Hukum.Fockema Andreae. 1983. Bina Cipta: Bandung huruf c 11Lilik Mulyadi. 2000. Tindak Pidana Korupsi, Tinjauan Khusus Terhadap Proses Penyidikan, Penuntutan, Peradilan serta Upaya Hukumnya Menurut Undang-Undang No. 31 Tahun 1999. Citra Aditya Bhakti: Bandung. Hlm. 15 12 Poerwadarminta. 1999. Kamus Bahasa Indonesia. Balai Pustaka: Jakarta. Hlm. 543 13 Andi Hamzah. 2009. Op.cit. Hlm. 5 14 Laurence Busse. 1996. The Perception of Corruption: A market Discipline Corruption Model (MDCM) Goizueta Business School, Emory University, Atlanta, Georgia U.S.A. Hlm. 65 15 Ibid. 16 Baharuddin Lopa. 1983. Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum. LP3S: Jakarta.Hlm. 34 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 375 Namun satu kata kunci yang bisa menyatukan berbagai macam def inisi itu adalah bahwa korupsi adalah perbuatan tercela dan harus diberantas. Secara yuridis, pengertian korupsi diuraikan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menggantikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, memberikan beberapa pengertian tindak pidana korupsi sebagai berikut: a) Pasal 2 menyatakan, “setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara.” b) Pasal 3 menyatakan, “setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara.” Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menetukan bahwa korupsi adalah: Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonornian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Unsur-unsur pada pasal tersebut adalah: a) setiap orang b) Yang secara melawan hukum c) Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri d) Yang dapat merugikan neuangan negara. Keterkaitan Integritas Penyelenggara Negara dan Pemberantasan Korupsi Penyelenggara negara mempunyai peran penting dalam mewujudkan cita-cita perjuangan bangsa. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa yang sangat penting dalam pemerintahan dan dalam hal hidupnya negara adalah semangat para penyelenggara negara dan pemimpin pemerintahan. Dalam rangka penyelamatan dan normalisasi kehidupan nasional sesuai tuntutan reformasi diperlukan kesamaan visi, persepsi, dan misi dari seluruh penyelenggara negara dan masyarakat. Kesamaan visi, persepsi, dan misi tersebut harus sejalan dengan tuntutan hati nurani rakyat yang menghendaki terwujudnya penyelenggara negara yang mampu menjalankan tugas dan fungsinya, yang dilaksanakan secara efektif, efisien, bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.17 Dalam rangka menciptakan penyelenggara negara yang bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme maka dibentuk Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang memuat tentang ketentuan yang berkaitan langsung atau tidak langsung dengan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, kolusi dan nepotisme yang khusus ditujukan kepada para penyelenggara negara dan pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 17 Penjelasan Umum Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. 376 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 Undang-undang tersebut merupakan bagian atau subsistem dari peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan penegakan hukum terhadap perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sasaran pokok undang-undang ini adalah para penyelenggara negara yang meliputi pejabat negara pada lembaga tertinggi negara, pejabat negara pada lembaga tinggi negara, menteri, gubernur, hakim, pejabat negara, dan atau pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyeienggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, dalam undang-undang ini ditetapkan asas-asas umum penyelenggaraan negara yang meliputi asas kepastian hukum, asas tertib penyeienggaraan negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas, dan asas akuntabilitas. Pengaturan tentang peren serta masyarakat dalam undang-undang ini dimaksud untuk memberdayakan masyarakat dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dengan hak dan kewajiban yang dimiliki masyarakat diharapkan dapat lebih bergairah melaksanakan kontrol sosial secara optimal terhadap penyelenggaraan negara dengan tetap mnenaati rambu-rambu hukum yang berlaku. Untuk dapat mencapai sasaran secara efektif maka diatur pembentukan Komisi Pemeriksa yang bertugas dan berwenang melakukan pemeriksaan harta kekayaan pejabat negara sebelum, selama, dan setelah menjabat, termasuk meminta keterangan baik dari mantan pejabat negara, keluarga dan kroninya, maupun para pengusaha, dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak asasi manusia. Susunan keanggotaan Komisi Pemeriksa terdiri atas unsur Pemerintah dan masyarakat mencerminkan independensi atau kemandirian dari lembaga ini. Undang-undang ini mengatur pula kewajiban para Penyelenggara Negara, antara lain mengumumkan dan melaporkan harta kekayaannya sebelum dan setelah menjabat. Ketentuan tentang sanksi dalam undang-undang ini berlaku bagi penyelenggara negara, masyarakat, dan Komisi Pemeriksa sebagai upaya prefentif dan represif serta berfungsi sebagai jaminan atas ditaatinya ketentuan tentang asas-asas urnum penyelenggaraan negara, hak, dan kewajiban penyelenggara negara, dan ketentuan lainnya sehingga dapat diharapkan memperkuat norma kelembagaan, moralitas individu dan sosial. Penyelenggara negara dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pembicaraan tentang penyelenggara negara dalam pandangan peneliti merupakan pembicaraa mengenai personal dan kelembagaan. Individu dan lembaga merupakan dua bagian yang tidak terpisahkan. Kapaitas individu akan menentukan kualitas kelembagaan demikian pula sebaliknya kualitas sebuah lembaga akan ikut menentukan kapasitas individu yang menjadi bagiannya. Korupsi sebagai sebuah tindak pidana melekat pada personal atau individu bukan pada lembaga namun demikian pembahasan mengenai individu dan kelembagaan tidak bisa dipisahkan dalam membahas masalah korupsi. Selanjutnya untuk lingkup yang lebih besar maka individu dan lembaga akan menjadi pembahasan tidak terpisahkan dengan lingkungan territorial atau wilayah. Jadi, tingginya angka korupsi di suatu wilayah akan selalu berkaitan erat dengan kinerja lembaga dan kapasitas individu dari lembaga tersebut. Dalam pembahasan mengenai integritas penyelenggara negara dengan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia, peneliti menggunakan pijakan berpikir pada Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 377 teori integritas dalam sosiologi. George Ritzer dan Douglas J. Goodman,18 mengemukakan ada dua bentuk integrasi yaitu pertama, teori mikro dan makro yang berupaya mengintegrasikan berbagai teori mikro dan makro, dan kedua, teori yang mengkombinasikan kedua level analisis tersebut sekaligus. Lebih lanjut, George Ritzer dan Douglas J. Goodman menyebut ada empat bentuk pendekatan dalam upaya mengintegrasikan mikro-makro, yakni:19 1) perumusan paradigma sosiologi terpadu, 2) sosiologi dengan paradigma yang multi dimensi, 3) pengembangan satu model dari mikro ke makro, dan 3) integrasi melalui basis mikro untuk memahami sisi makro. Pada pendekatan paradigma sosiologi terpadu, George Ritzer dan Douglas J. Goodman melihat upaya mengkombinasikan mikro dan maro melalui dua aspek berbeda, yakni 1) dari level mikro dan makro, dan 2) dari sisi objektif dan subjektif. Kedua aspek ini melahirkan empat dimensi yaitu makro-objektif, makro-subjektif, mikro-objektif, dan mikro-subjektif. Seluruh fenomena sosial mikro dan makro adalah juga fenomena objektif atau subjektif.20 Olehnya itu, hubungan antara persoalan personal tingkat mikro dan publik tingkat makro digunakan untuk menganalisis dunia sosial dengan tidak memprioritaskan salah satu tingkat, namun menegaskan perlunya dipelajari hubungan dialektika di antara dimensi tersebut.21 Tokoh lainnya yang memberikan pandangan tentang teori integrasi adalah J. Alexander yang menggunakan cara berfikir Ritzer namun tidak meniru analisanya. Alexander tidak memberi penekanan pada mikro-makro, tapi pada masalah keteraturan. Levelnya bukan mikro atau makro, tapi individual dan kolektif. Ia memfokuskan pada tindakan (action) yang bergerak dari materialis ke idealis.22 Alexander lebih menekankan di level makro. Ia merasa bahwa fenomena kolektif tak dapat diterangkan melalui penjelasan bagaimana di level mikro. Pandangan berbeda dikemukakan oleh James Coleman, yang telah berupaya mengaplikasikan teori pilihan rasional yang berada di level mikro ke fenomena makro dengan berbasiskan teori Max Weber tentang Etika Protestan, dan Coleman pun membangun sebuah model integratif. Menurutnya, kedua level ini berhubungan secara kausalitas. Konsep model dari mikro ke makro dari Coleman memusatkan perhatian pada masalah hubungan dari mikro ke makro dan mengurangi arti penting masalah hubungan dari makro ke mikro. Coleman menjelaskan baik itu masalah dari makro ke mikro maupun masalah mikro ke makro, namun penekanannya tetap pada relasi dari mikro ke makro.23 Pandangan berikutnya tentang integrasi dikemukakan oleh Randall Collins yang memfokuskan pada interaksi dalam rantai, yang berkait satu sama lain dan menghasilkan suatu skala yang yang lebih besar. Berbeda dengan Alexander yang lebih kuat berada di sisi makro, Collins berada di sisi mikro. Collins mengemukakan pandangannya bahwa seluruh fenomena makro dapat ditafsirkan sebagai kombinasi dari kejadian mikro. Struktur sosial dapat ditafsirkan secara empiris menjadi pola interaksi mikro yang berulang-ulang.24 Dalam perkembangan sosiologi terkait dengan teori interaksi, sebuah pandangan postmodernisme dikemukakan oleh Anthony Giddens yang dikenal dengan Teori Strukturasi. Ia berpendapat bahwa struktur dan agensi adalah dua hal berbeda namun merupakan kesatuan (dualitas), di mana tidak dapat mempelajarinya terpisah satu sama lain. Manu18 George Ritzer dan Douglas J. Goodman. 2007. Teori Sosiologi Moderen (Terj. Alihmandan). Kencana : Jakarta. Hlm. 154 19 Ibid. Hlm. 155-156 20 Ibid. 21 Ibid. Hlm. 158 22 Ibid. Hlm. 361 23 Ibid. Hlm. 374 24 Ibid. Hlm. 485 378 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 sia melalui aktivitasnya dapat menciptakan kesadaran sekaligus kondisi terstruktur (the structural conditions) sehingga aktivitas semua orang dapat berlangsung. Tidak mungkin terjadi agensi tanpa struktur, demikian pula sebaliknya, tidak akan tercipta struktur yang saling tergantung jika tidak diciptakan individu.25 Konsep pokok dari teori strukturasi terletak pada pemikiran tentang struktur sistem, dan sifat rangkap dari struktur. Struktur bukanlah realitas yang berada di luar pelaku, namun ia adalah aturan dan sumber daya (rules and resources) yang mewujud pada saat diaktifkan oleh pelaku dalam suatu praktik sosial. Dari uraian di atas terlihat bahwa dalam setiap bentuk pemberantasan tindak pidana korupsi baik pada bentuk pencegahan maupun penindakan penegakan hukum) peran aparat penyelenggara negara sangat dibutuhkan. Dalam bentuk pencegahan peran aparat pemerintah sebagai birokrasi, DPRD sebagai wakil rakyat , akademisi sebagai kaum intelektual pembentuk karakter generasi muda, sangat penting dalampemberantasan korupsi. Namun dalam kenyataannya, tindak pidana korupsi justru terjadi dilingkungan penyelenggara negara. Hal ini merupakan suatu fenomena yang perlu dicermati sebagai suatu kenyataan sosial yang memperlihatkan sebuah hubungan antara penyelenggara negara dengan tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi pada cabang-cabang kekuasaan negara terjadi bukan hanya di Indonesia seperti pandangan Daniel Kaufmann and Paul Siegelbaun,26 bahwa tindak pidana korupsi di semua negara terjadi pada cabang-cabang kekuasaan negara sebagaimana dikutip sebagai berikut: a) In the executive branch of government, the most common picture is that of a public official accepting or soliciting a bribe for the performance or non-performance of an action associated with his or her office. Bribery, in the form of “facilitation” payments, kick-backs, expensive gifts, etc. are at the center of “grand corruption” that may involve the privatization of large state assets, massive procurement contracts and the like to “petty corruption” that involves routine speed money, small bribes, etc. Usually, these types of corrupt practices are identified and prohibited by criminal statutes with corresponding sanctions. They also emerge at the interface of private and public sectors, as companies seek to either purchase state assets below market price or to deliver their line of business through contracts. b) corrupt acts are practiced within the administrative domain. These include such behaviour as nepotism and cronyism based on a “spoils system,” resulting from a pervasive politicization of the bureaucracy; ghost workers on public payroll; purchase of public offices; collection of unauthorized fees, falsification or the destruction of records; arbitrary administrative action and bending or circumventing established regulations. Thus, rather than the bureaucracy serving the public interest, the bureaucracy itself becomes an instrument for propagating the political interests of the leadership, its own self-interest, or the personal interests of those within it. These types of acts are generally prohibited by civil service and administrative procedures acts and regulations with administrative sanctions. In addition, some of these practices are also covered by the criminal statutes. Corrupt administrative practices, then emerge at the interface of the political leadership and the supposedly-neutral and professional public administration. c) Corrupt practices also manifest themselves in the legislative branch in many countries. Campaign financing has come under increasing scrutiny, especially 25 Ibid. Hlm. 507 26 Daniel Kaufmann and Paul Siegelbaun, Combating Corruption for Devolopment, the rule of law, Transparancy and Accontability. 2002, Hlm. 2 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 379 unregulated “soft” donations in developed countries, as they are seen as an investment to influence future decision-making in the event that a party becomes elected. During elections, fraud and vote rigging also undermine democratic principles and the legitimacy of outcomes. Once in office, many elected officials become involved in influence-peddling, trying to obtain decisions to favour their own interests or those of the organizations with which or individuals with whom they are affiliated. The outcomes of these kinds of acts result in ethnic or regional favouritism, “boss” or “machine” politics, etc. Apart from laws regulating elections, it is more difficult to achieve a consensus around the prohibitions and sanctions against these types of activities. There are ethics legislations and conflict-ofinterest policies that cover them. These types of corrupt acts occur at the interface between political parties or their membership and the private sector as well as various interest groups or influential individuals. d) Corruption is particularly pernicious in the judiciary, an institution that is supposed to uphold the rule of law. In some cases, judges extract bribes not only for delivering a verdict in a predetermined way but even for merely hearing a case. Lower order court clerks can also solicit bribes for producing or hiding certain information that is crucial to cases. The independence of the judiciary itself can be undermined by the executive branch influencing the appointment and promotion of judges. In such situations, judges are pressured to reach verdicts not based on justice but on political expediencies. Pandangan yang dikemukakan oleh Daniel Kaufmann and Paul Siegelbaun di atas menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi justru terjadi pada penyelenggara negara baik eksekutif, legislatif, akademisi bahkan aparat penegak hukum. Dalam pandangannya korupsi hanya bisa terjadi apabila seseorang atau pihak tertentu mempunyai hak monopoli atas urusan tertentu serta ditunjang oleh diskresi atau keleluasaan dalam menggunakan kekuasaannya, sehingga cenderung menyalahgunakannya, namun lemah dalam hal pertanggung jawaban kepada publik (akuntabilitas). Korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara negara mendapat perhatian dan penekanan tersendiri karena pada kasus korupsi, penyelenggara negara memiliki peranan ganda yaitu sebagai pelaku dan pemberantas korupsi itu sendiri. Mendasarkan kembali persoalan pemberantasan korupsi pada teori struktural yang dikemukakan oleh Anthony Giddens,27 bahwa struktur dan agensi adalah dua hal berbeda namun merupakan kesatuan (dualitas) struktur tidak hanya mengekang (constraining) atau membatasi apa yang dapat dijalankan pelaku, melainkan juga memberi kemungkinan (enabling) terjadinya praktik sosial maka keterkaitan antara integritas penyelenggara negara dalam pemberantasan korupsi adalah sebagai berikut: Tindak pidana korupsi sebagai kenyataan Lembaga penyelenggara negara sebagai structure Aparat penyelenggara negara sebagai agency Tindak pidana korupsi sebagai sebuah kenyataan yang dilakukan oleh aparat penyelenggara negara merupakan suatu interaksi yang terjadi dalam hubungan antara individu dengan individu baik di dalam lembaga tersebut maupun dengan pihak lain di luar lembaga tersebut di mana struktur yang ada tidak menciptakan sebuah kondisi yang dapat membatasi atau mengekang prilaku individu. Dalam upaya pemberantasan korupsi yang melibatkan aparat penyelenggara Negara baik dalam pencegahan maupun penindakan dibutuhkan integritas dari penyelenggara negara baik kelembagaan maupun personal. Secara kelembagaan dengan membuat sebuah 27 Ibid. 380 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 sistem yang handal dan integritas personal dalam melaksanakan tugas dan kewajiban dengan mengacu pada asas-asas pemerintahan yang layak antara lain yang dimuat dalam Undang-undang No. 28 Tahun 1999 yaitu asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggara negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas, asas akuntabilitas, asas efisiensi dan asas efektivitas. PENUTUP Kesimpulan Integritas penyelenggara negara didasari pada kesadaran hukum dari aparat penyelenggara negara yang kemudian akan membentuk kesadaran hukum secara kolektif pada lembaga penyelenggara negara. Kesadaran hukum ini melekat pada prilaku dan bukan pada hukum sebagai aturan. Saran Kesadaran hukum akan memberikan pengaruh pada ketaatan hukum aparat penyelenggara negara yang membentuk ketaatan kolektif lembaga penyelenggara negara sehingga integritas aparat penyelenggara negara sebagai refleksi kesadaran dan ketaatan hukum penyelenggara Negara secara personal dan kelembagaan akan mewujudkan efektivitas dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 381 DAFTAR PUSTAKA Achmad Ali. 2005. Keterpurukan Hukum di Indonesia. (Penyebab dan Solusinya). Penerbit Ghalia Indonesia: Bogor __________. 2009. Menguak Teori Hukum (legal Theory) dan teori keadilan (Judicial Jurisprudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprodence). Kenacana. Jakarta. Andi Hamzah. 2009. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional. Edisi Kelima. RajaGrafindo Persada: Jakarta Baharuddin Lopa. 1983. Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum. LP3S: Jakarta. George Ritzer- Douglas J. Goodman. 2007. Teori Sosiologi Modern (terj. Oleh Alimandan). Kencana: Jakarta. Laurence Busse. 1996. The Perception of Corruption: A market Discipline Corruption Model (MDCM) . Goizueta Business School, Emory University, Atlanta, Georgia U.S.A. Lilik Mulyadi. 2000. Tindak Pidana Korupsi, Tinjauan Khusus Terhadap Proses Penyidikan, Penuntutan, Peradilan serta Upaya Hukumnya Menurut Undang-Undang No. 31 Tahun 1999. Citra Aditya Bhakti: Bandung. Poerwadarminta. 1999. Kamus Bahasa Indonesia. Balai Pustaka: Jakarta. Pormadi Simbolon. 2011. Conscientization Integritas Diri. Sekolah Tinggi Filsafat: Malang. Satjipto Rahardjo. 2009. Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis. Genta Publishing: Jakarta 382 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 Biodata Penulis Fakriansa, S.H., M.Kn. Lahir di Fak-fak, 5 Desember 1974. Meraih gelar Sarjana Hukum pada Universitas Cenderawasih, Jayapura, Papua tahun 2003. Pada tahun 2011, penulis menamatkan studi Magister Kenotariatan (M.Kn) pada Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Syamsuddin Muchtar, S.H., M.H. Lahir di Beutang, Polewali Mandar, 24 Oktober 1963. Menyelesaikan studi S-1 Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin tahun 1987. Gelar Magister Ilmu Hukum diperoleh pada Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin tahun 2002. Selain sebagai Dosen Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, penulis juga menjabat sebagai Sekretaris pada Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unhas periode 2004-2008 dan periode 2008-2012. Adapun beberapa karya ilmiah yang pernah dihasilkan, diantaranya: “Pola Pembaharuan Hukum Pidana (Pemikiran tentang Eksistensi Undang-Undang Pengadilan Anak dalam Mengantisipasi Berlakunya KUHP Baru)” diterbitkan oleh Jurnal Ilmu Hukum Amannagappa Desember 2004; “Asas-Asas Hukum Pidana Inggris dan Perbandingannya dengan Asas Hukum Pidana Indonesia” diterbitkan oleh Jurnal Ilmu Hukum Amannagappa Maret 2008. Tuan Afero Harahap, S.H., M.H. Lahir di Kendari, 21 Mei 1984. Saat ini adalah staf pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo. Memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Negeri Haluoleo, Kendari tahun 2008. Penulis menyelesaikan program Magister Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makassar, pada tahun 2011. Dr. Wiwie Heryani, S.H., M.H. Lahir di Makassar, 25 Januari 1968. Menyelesaikan program studi Ilmu Hukum (S-1) pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (1994). Memperoleh gelar Magister Ilmu Hukum (S-2) pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin di tahun 2002. Kemudian penulis menyelesaikan studi Doktor Ilmu Hukum (S3) pada PPs Universitas Hasanuddin di tahun 2008. Saat ini, selain aktif sebagai staf pengajar pada program S-1 dan S-2, penulis juga menjabat sebagai Sekretaris pada Bagian Hukum Masyarakat dan Pembangunan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Aswiwin Sirua, S.H., M.H. Lahir di Makassar, 21 Februari 1980. Menamatkan pendidikan Sarjana Hukum (SH) di Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia (2003), dan Master Hukum (MH) pada program Pascasarjana Universitas Hasanuddin (2010). Kini sedang menempuh Program Doktor Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Saat ini, penulis aktif sebagai staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Indonesia Timur (UIT) Makassar. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 383 Biodata Penulis Laode Abdul Gani, S.H., M.H. Lahir di Raha, 31 Desember 1958. Penulis adalah Dosen pada bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Pendidikan S-1 diperoleh dari Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (1985), dan menyelesaikan program studi S-2 pada Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung. Saat ini penulis sedang dalam proses penyelesaian program studi Doktor Ilmu Hukum (S-3) pada PPs Universitas Hasanuddin. J. Victor Mailangkay, S.H., M.H. Lahir di Makassar, 20 September 1957. Menamatkan studi S-1 dan S-2 pada Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi, Manado. Saat ini, selain kembali menempuh studi lanjutan pada program Doktor Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, penulis juga menjabat sebagai Ketua Badan Legislasi DPRD Provinsi Sulawesi Utara Periode 2009-2014. Grubert Taalungan Ughude, S.H., M.H. Lahir di Talaud, 4 September 1970. Penulis adalah anggota Kepolisian Daerah Sulawesi Utara. Menyelesaikan program studi Ilmu Hukum (S-1) dan Magister Hukum (S-2) pada Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi, Manado. Dan saat ini sedang menempuh studi lanjutan studi Doktor Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Drs. Adensi Timomor, S.H., M.Si. Lahir di Mariri Lama, Bolaang Mongondow, 11 Agustus 1959. Menyelesaikan Pendidikan S1 di IKIP Manado tahun 1988. Program Magister (S-2) diperoleh pada Program Pascasarjana Psikologi Sosial Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, tahun 1997. Menamatkan studi Ilmu Hukum (S-1) di Fakultas Hukum UKI Tomohon Sulawesi Utara, tahun 2007. Saat ini penulis sementara menempuh Program Doktor Ilmu Hukum pada PPs Universitas Hasanuddin. 384 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 PERSYARATAN PENULISAN JURNAL PENELITIAN HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN 1. Naskah merupakan laporan penelitian orisinal yang dibuat secara mandiri atau berkelompok dan belum pernah diterbitkan sebelumnya. 2. Isi tulisan harus relevan dengan disiplin ilmu hukum dan ditulis dalam tata bahasa Indonesia atau bahasa Inggris yang baik dan benar. 3. Sistematika penulisan sedapatnya memuat: Judul (tidak lebih dari 12 kata; Nama Penulis (tanpa gelar akademik); Abstrak maksimal 100 kata yang dibuat dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris, yang berisi tujuan, metode dan hasil penelitian, serta kata kunci. 4. Sistematika penulisan terdiri dari: PENDAHULUAN; RUMUSAN MASALAH; METODE PENELITIAN; HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN; PENUTUP; serta Daftar Pustaka (tersusun secara alpabetis). 5. Setiap naskah menggunakan teknik pengutipan Footnote. 6. Daftar pustaka atau rujukan sedapatnya bersumber dari jurnal ilmiah lain atau sejenisnya, dengan kisaran waktu terbit kurang dari 10 tahun terakhir. 7. Penulisan dilakukan dengan aplikasi pengolah kata MS Word dengan menggunakan Font Times New Roman ukuran 12 dengan jarak spasi 1,5 pada kertas ukuran A4. 8. Jumlah halaman minimal 20 dan maksimal 25 halaman (termasuk daftar pustaka). Ketentuan margin yaitu: top dan left margin 4 cm, right dan bottom margin 3 cm. Tulisan diserahkan kepada redaksi berupa satu rangkap print-out dan soft copy dalam bentuk CD-RW, berisi file tulisan dalam format doc. 9. Penulisan tidak menggunakan pemisahan bab dengan angka. Pembagian antara Judul, Sub Judul, Sub Anak Judul dilakukan dengan urutan sebagai berikut: CAPITAL BOLD; CAPITAL; Bold; Bold Italic; dan Italic. 10.Tabel (jika ada) dbuat dengan model terbuka (tanpa garis vertikal). 11.Penulis melampirkan curriculum vitae singkat yang meliputi nama lengkap, gelar akademik, tempat dan tanggal lahir, pendidikan terakhir, lembaga tempat bertugas, jabatan yang dipangku (jika ada) alamat lengkap (lembaga, rumah serta nomor telepon kantor, rumah dan HP) serta alamat e-mail. 12.Setiap tulisan akan ditelaah oleh mitra bestari dan jika diperlukan, redaksi akan mengirim kembali tulisan untuk diperbaiki sebelum dimuat. Pengiriman naskah perbaikan dilakukan melalui e-mail kepada alamat e-mail redaksi. 13.Tulisan yang tidak dimuat dapat diambil kembali pada redaksi. Jurnal Penelitian Hukum terbit setiap bulan Januari, Mei dan September. Tulisan dapat diantar langsung atau dikirim ke: Alamat Redaksi: JURNAL PENELITIAN HUKUM Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Jl. Perintis Kemerdekaan KM. 10, Tamalanrea, Makassar, 90245. Telepon: (0411) 584686 / 0811442470 / 081342439090 e-mail: [email protected] Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 385 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012