Jurnal PENELITIAN HUKUM - UNHAS Repository System

advertisement
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
JURNAL PENELITIAN HUKUM
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN
Diterbitkan oleh:
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN
©2012
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
Jurnal
PENELITIAN HUKUM
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN
Penanggung Jawab:
Aswanto
Dewan Penyunting:
Ketua:
Irwansyah
Anggota:
Abrar Saleng
Muhammad Ashri
Abdul Razak
Achmad Ruslan
Aminuddin Ilmar
Slamet Sampurno Suwondo
Anshori Ilyas
Penyunting:
Muh. Zulfan Hakim; Mohammad Aswan; Sakka Patti;
Tri Fenny Widayanti; Muh. Ilham Arisaputra;
Fajlurrahman Jurdi; Wiwin Suwandi; Ahsan Yunus.
Staf:
Andi Murlikanna; Saparuddin; Alfiah Firdaus.
Tata Letak/Layout:
Ahsan Yunus
Jurnal Penelitian Hukum ini diterbitkan oleh Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
Dimaksudkan sebagai sarana publikasi hasil-hasil penelitian bidang hukum. Penelitian yang
dimuat merupakan pendapat pribadi penelitinya dan bukan merupakan
pendapat redaksi dan atau Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
Terbit setiap bulan Januari, Mei dan September.
Tulisan dapat diantar langsung atau dikirim ke:
Alamat Redaksi:
JURNAL PENELITIAN HUKUM
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
Jl. Perintis Kemerdekaan KM. 10, Tamalanrea, Makassar, 90245.
Telepon: (0411) 584686 / 0811442470 / 081342439090
e-mail: [email protected]
ii
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
Jurnal
PENELITIAN HUKUM
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN
Volume
ISSN: 2087-2291
1 Nomor 2, Januari 2012
Halaman 201-385
 Perlindungan Hukum Terhadap Event Organizer
dalam Kontrak Penyelenggaraan Konser Musik
Fakriansa........................................................................................
201-220
 Sistem Sanksi Bagi Anak dan Implementasinya
(Kajian dalam Perspektif Perlindungan Anak)
Syamsuddin Muchtar.......................................................................
221-239
 Implementasi Asas Ketertiban Umum dalam
Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase
Internasional di Indonesia
Tuan Afero Harahap........................................................................
241-260
 Analisis Hukum Empiris Terhadap Dissenting
Opinion dalam Putusan Hakim
Wiwie Heryani.................................................................................
261-280
 Penataan Struktur Organisasi Perangkat Daerah
(Pasca Berlakunya PP No. 41 Tahun 2007)
Aswiwin Sirua..................................................................................
281-305
 Tanggung Jawab Negara Membangun Ekonomi
Kerakyatan dalam Menghadapi WTO
(World Trade Organization)
Laode Abdul Gani............................................................................
307-331
 Pertanggungjawaban Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dalam Sistem Ketatanegaraan
Republik Indonesia
J. Victor Malaingkay.......................................................................
333-349
 Peran Penyidik dalam Upaya Perlindungan Korban
Tindak Pidana Perdagangan Orang
Grubert T. Ughude...........................................................................
351-368
 Keterkaitan Integritas Aparat Penyelenggara
Negara Terhadap Efektivitas Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
Adensi Timomor...............................................................................369-382
Biodata Penulis...............................................................................
Persyaratan Penulisan....................................................................
383
385
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
iii
Dari Redaksi
Salam hormat,
Syukur alhamdulillah, Jurnal Penelitian Hukum Volume 1 Nomor 2 Januari 2012
kembali hadir di hadapan para pembaca. Setelah berhasil terbit pada edisi sebelumnya,
Jurnal Penelitian Hukum kali ini memuat 9 (sembilan) hasil penelitian dari berbagai
permasalahan hukum kontemporer.
Kehadiran media ini patut disambut dengan apresiatif, dan pada gilirannya nanti
diharapkan dapat menjadi salah satu dari sekian banyak sumber referensi pembaca,
khususnya bagi praktisi, akademisi, dan pemerhati masalah hukum.
Akhir kata, semoga kehadiran Jurnal Penelitian Hukum ini dapat bermanfaat bagi
pembaca. Untuk itu, demi perbaikan di edisi-edisi berikutnya, masukan serta kritik
membangun dari semua pihak senantiasa kami harapkan.
Semoga usaha kita direstui oleh Allah Yang Maha Kuasa.
Redaksi
iv
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
PERLINDUNGAN HUKUM
TERHADAP EVENT ORGANIZER DALAM
KONTRAK PENYELENGGARAAN KONSER MUSIK
Fakriansa
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP EVENT ORGANIZER
DALAM KONTRAK PENYELENGGARAAN KONSER MUSIK
Oleh: Fakriansa
Kantor Advokat, Jayapura, Papua
Jl. Semeru No. 36, Dok V Atas, Jayapura, Papua
E-mail: [email protected]
Abstract
This study aims to determine the legal consequences arising from unilateral
cancellation by the management company organizing music concerts in the contract and
to determine the legal protection of the Event Organizer due to unilateral cancellation by
the management company organizing music concerts in the contract. The results showed
that the unilateral cancellation made by the management company organizing musical
concerts in the contract is a contract cancellation is contrary to Article 1338 paragraph
(2) BW. The deliberate causing defaults artist management, as stipulated in Article 1243
BW. Defaults to a null condition in accordance with Article 1266 BW, so that EO can make
demands cancellation of the contract and accompanied by a demand for compensation to
the artist management, as stipulated in Article 1267 BW.
Keywords: Legal Protection, Event Organizer
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui akibat hukum yang terjadi akibat
pembatalan sepihak oleh manajemen artis dalam kontrak penyelenggaraan konser musik
dan untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap Event Organizer akibat pembatalan
sepihak oleh manajemen artis dalam kontrak penyelenggaraan konser musik. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pembatalan sepihak yang dilakukan oleh manajemen
artis dalam kontrak penyelenggaraan konser musik merupakan pembatalan kontrak
yang bertentangan dengan Pasal 1338 ayat (2) BW. Kesengajaan tersebut menyebabkan
manajemen artis wanprestasi, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1243 BW. Wanprestasi
menjadi suatu syarat batal sesuai dengan Pasal 1266 BW, sehingga EO dapat melakukan
tuntutan pembatalan kontrak dan disertai tuntutan ganti rugi kepada manajemen artis,
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1267 BW.
Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Event Organizer
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
PENDAHULUAN
Salah satu kebutuhan manusia di era modern saat ini adalah hiburan. Hal ini menjadi
inspirasi bagi banyak kalangan baik itu swasta maupun pemerintah sehingga dalam
pelaksanaan program kerjanya terdapat beberapa kegiatan yang sifatnya menghibur
masyarakat tetapi pada sisi lain juga memiliki kepentingan-kepentingan tertentu. Program
kerja yang demikian itu salah satunya adalah diadakannya penyelenggaraan konser musik
artis baik itu artis band maupun artis yang hanya sebagai penyanyi saja.
Dalam penyelenggaraan konser musik artis, pihak pemilik acara pada saat ini tidak
lagi mengelola sendiri acaranya tetapi diserahkan kepada pihak lain untuk mengelolanya.
Pihak yang dimaksud untuk mengelola acara ini dalam kehidupan masyarakat dikenal
dengan sebutan Event Organizer yang selanjutnya disingkat EO.
Pada dasarnya EO merupakan bentuk usaha yang sifatnya bidang usahanya belum
diatur secara tersendiri oleh peraturan perundang-undangan, sekalipun bidang usaha EO
dikualifikasikan termasuk usaha di bidang pariwisata, sebagaimana diatur dalam Pasal 14
ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, bahwa:
usaha pariwisata meliputi antara lain penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi.
Pada prinsipnya kontrak yang dibuat antara EO dengan manajemen artis bukan suatu
kontrak yang ketentuan-ketentuannya diatur secara khusus dalam Burgerlijk Wetboek,
selanjutnya disingkat BW, tetapi secara prinsip kontrak tersebut memenuhi syarat-syarat
sahnya kontrak sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 BW.
Kontrak ini merupakan implementasi dari asas kebebasan berkontrak yang diatur
dalam Pasal 1338 ayat (1) BW bahwa: semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Selanjutnya dalam Pasal 1338
ayat (2) BW diatur bahwa: perjanjian-perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain
dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang
dinyatakan cukup untuk itu.
Konsekuensi hukum berdasarkan Pasal 1338 ayat (2) BW tersebut, maka kontrak
penyelenggaraan konser musik yang dibuat antara EO dengan manajemen artis tidak dapat
dibatalkan secara sepihak oleh manajemen artis.
Pada kenyataannya di dalam praktik sering terjadi pembatalan sepihak yang dilakukan
oleh manajemen artis. Hal ini dapat disimak dari banyaknya pemberitaan di media massa
baik elektronik maupun cetak.
Salah satunya pemberitaan melalui surat kabar harian Fajar Makasar tanggal 16 Januari
2010, tentang pembatalan sepihak oleh manajemen artis Aura Kasih yang terikat kontrak
dengan PT. Debindo Mega Promo selaku EO pada acara peringatan hari ulang tahun ke 49
Bank Sulawesi Selatan.
Akibat Pembatalan itu pihak manajemen artis hanya melakukan pengembalian uang
honorarium artis yang telah diterimanya kepada pihak EO. Berhubung pihak EO telah
mengeluarkan biaya-biaya produksi maka pihak EO melakukan tuntutan ganti kerugian
selain pengembalian honorarium kepada pihak manajemen artis.
Pada umumnya pihak manajemen artis hanya bersedia melakukan ganti kerugian
dengan perhitungan persentase berdasarkan biaya honorarium artis bukan berdasarkan
biaya total produksi yang telah dikeluarkan oleh pihak EO.
204
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian tersebut di atas, peneliti mengidentifikasi rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimanakan akibat hukum pembatalan sepihak oleh Manajemen Artis dalam
Kontrak Penyelenggaraan Konser Musik?
2. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap Event Organizer Dalam Kontrak
Penyelenggaraan Konser Musik?
METODE PENELITIAN
Sifat dan Tipe Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif empiris, yaitu penelitian
hukum yang fokus kajiannya terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan dalam
penerapannya pada peristiwa hukum.
Tipe penelitian hukumnya adalah deskriptif analitis, yaitu menjelaskan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum serta pelaksanaan hukum
dalam kontrak penyelenggaraan konser musik.
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di kota Makassar dengan pertimbangan bahwa di kota Makassar
terdapat kasus pembatalan sepihak oleh manajemen artis dalam kontrak penyelenggaraan
konser musik yang dibuat antara EO dan manajemen artis.
Populasi dan Sampel
Penelitian ini yang menjadi populasi adalah seluruh pelaku usaha jasa di bidang
penyelenggaraan acara, yakni EO di kota Makassar.
Sampel dalam penelitian ini ditentukan secara purposive sampling, yaitu penelitian
hanya ditujukan pada EO yang dalam kontraknya mengalami pembatalan sepihak oleh
manajemen artis. Adapun sampel dalam penelitian ini adalah PT. Debindo Mega Promo
dan PT. Slemmersindo Makassar.
Jenis dan Sumber Data
Jenis dan sumber data dalam penelitian ini adalah:
1. Data primer, yaitu data yang diperoleh peneliti dari hasil wawancara terhadap responden di lapangan.
2. Data sekunder, yaitu data yang telah tersedia di lapangan dan diperoleh peneliti,
yaitu berupa surat kontrak kerja sama artis, riders artis, peraturan perundang-undangan: Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, Burgerlijk Wetboek (BW), dan buku-buku ilmu hukum, buku tentang EO, kamus hukum
dan kamus bahasa Inggris-Indonesia.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah:
1. Studi dokumen pada surat kontrak kerja sama antara EO dan manajemen artis untuk memperoleh data sekunder.
2. Wawancara secara langsung kepada responden untuk memperoleh data primer.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
205
Analisis Data
Data primer dan data sekunder hasil pengolahan dianalisis secara kualitatif dan
kemudian dilakukan pembahasan. Selanjutnya pembahasan tersebut dibuat kesimpulan
secara induktif untuk menjawab permasalahan yang diteliti.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Akibat Hukum Pembatalan Sepihak oleh Manajemen Artis dalam Kontrak
Penyelenggaraan Konser Musik
Istilah event organizer yang disingkat EO merupakan istilah yang ditujukan kepada
pelaku usaha baik itu orang perorangan maupun badan usaha yang bukan badan hukum dan
badan usaha yang badan hukum di bidang penyelenggaraan acara yang dalam melakukan
kegiatan usahanya dapat didasarkan atas inisiatifnya sendiri atau inisiatif dari pihak lain
(klien).
Kontrak penyelenggaraan konser musik artis diawali dengan penawaran oleh pihak EO
pada manajemen artis mengenai maksud untuk menggunakan jasa artis, atas penawaran
tersebut pihak manajemen artis mengirimkan riders melalui email kepada pihak EO.
Riders adalah daftar permintaan artis mengenai kebutuhan artis dan produksi yang
menjadi petunjuk kerja bagi EO dan menjadi satu kesatuan dengan kontrak.
Ada dua jenis riders yaitu artis riders dan production riders. Artis riders berisi segala
macam kebutuhan artis selama berada di daerah penyelenggaraan konser. Sedangkan
production riders adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan konser artis.
Berdasarkan data yang diperoleh penulis dalam penelitian, riders artis Aura Kasih
dengan NO. 10X./RD/Aura Kasih/XX/07 yang diberikan oleh manajemen artis pada PT.
Debindo Mega Promo selaku EO untuk menggunakan jasa artis pada acara Gathering Bank
Sul-Sel pada tanggal 15 Januari 2010, dimana disebutkan riders adalah standard fasilitas
dalam mempersiapkan pementasan yang diminta oleh Aura Kasih selaku artis pengisi
acara, menjadi satu kesatuan dengan perjanjian kerjasama pementasan.
Pada artis band Ungu, istilah ini disebut dengan technical riders yang diberikan oleh
manajemen artis pada PT. Slemmersindo Makassar selaku EO, dimana technical riders
ditujukan dengan maksud sebagai paket informasi untuk kepentingan penyelenggara
acara/promotor atau pihak-pihak yang dipersamakan dengannya (selanjutnya disebut
“penyelenggara”) sebagai acuan dan prasyarat dari Ungu untuk melakukan pertunjukan
dan berlaku untuk seluruh pelaksanaan pertunjukkan dan merupakan addendum dari
kontrak kerjasama pertunjukan yang merupakan satu kesatuan yang mengikat, dan tidak
dapat dipisahkan dari perjanjian tersebut.
Riders tersebut memuat ketentuan mengenai prosedur pembayaran honorarium
artis, segala sesuatu mengenai kebutuhan artis yang terdiri atas jumlah personil artis dan
manajemen serta crew untuk tranportasi udara, transportasi darat artis dan peralatan,
akomodasi hotel, konsumsi, sistem pengamanan artis baik pengamanan tertutup maupun
terbuka, asuransi artis dan peralatan, kargo peralatan serta kebutuhan artis yang berkaitan
dengan pertunjukan yang terdiri atas alat pengeras suara (sound system), lampu pencahayaan
(lighting), panggung (stage), tempat mixer (front of house), barikade besi pengaman
panggung, ruang ganti (dressing room), peralatan dan tenaga medis, tempat penjualan merchandise artis, tempat konser (venue), tenaga listrik (genset), publikasi dan promosi.
Berdasarkan hal tersebut, maka riders pada dasarnya memuat hak dan kewajiban
EO serta hak dan kewajiban manajemen artis, di mana setelah EO melakukan kewajiban
pembayaran honorarium artis maka EO berhak atas jasa artis untuk melakukan konser,
206
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
selanjutnya EO memiliki kewajiban untuk menyediakan fasilitas atas kebutuhan artis dan
produksi konser, sedangkan kewajiban manajemen artis adalah menjamin kehadiran artis
pada waktu pelaksanaan konser dan berhak atas uang jasa honorarium artis. Dalam riders
artis Aura Kasih memuat hak eksklusif EO, yaitu EO berhak menggunakan nama dan
atribut artis dalam rangka publikasi dan promosi untuk pelaksanaan acara.
Riders ini dipelajari oleh pihak EO dan selanjutnya dilakukan negosiasi terhadap
isi riders dengan pihak manajemen artis. Apabila terjadi kesepakatan maka pihak EO
melakukan pembayaran termin pertama (booking fee) dari nilai honorarium artis dan
pihak manajemen artis menerbitkan surat kesediaan tampil, selanjutnya pembayaran
termin kedua dilakukan penandatanganan kontrak, dan pembayaran termin ketiga untuk
pelunasan honorarium artis biasa dilakukan pada H-3 atau H-1.
Pembayaran termin pertama tiap artis berbeda-beda jumlahnya, khususnya riders artis
Aura Kasih booking fee sebesar 20 % (dua puluh perseratus) dari nilai honorarium artis
yang apabila dalam waktu 3 (tiga) minggu dari jadwal show tidak terjadi penandatangan
kontrak maka menjadi hak pihak manajemen artis. Selanjutnya sebesar 50% (lima
puluh perseratus) yang telah dideduksi booking fee dibayar saat penandatangan kontrak
dan sebesar 50% (lima puluh perseratus) dilunaskan secara tunai maksimal 3 (tiga) hari
sebelum jadwal soundcheck pertunjukan, dimana soundcheck minimal 6 (enam) jam
sebelum showtime.
Riders merupakan satu kesatuan dengan kontrak, hal ini dapat dilihat pada surat
perjanjian manajemen Aura Kasih yang dibuat oleh manajemen artis dengan PT. Debindo
Mega Promo pada hari Senin tanggal 11 Januari 2010 di Jakarta, di mana pada Pasal 4
Artis Riders dan Service Order Form diatur bahwa, pengguna bersedia untuk menyediakan
dan memenuhi persyaratan dari manajemen yang tercantum pada Artis Riders No. 10X/
RD/AK/X/07 yang berisi standar teknis dan non teknis pelaksanaan acara, dan apabila
terdapat perubahan (counter riders), maka pengguna akan memberikan informasi tersebut
dalam Service Order Form. Untuk selanjutnya pengguna dan manajemen sepakat untuk
menganggap Artis Riders dan Service Order Form sebagai addendum yang terikat dengan
surat perjanjian ini.
Pelaksanaan isi riders merupakan pengeluaran biaya bagi EO, ada 2 (dua) macam
pengeluaran biaya, yaitu honorarium artis (fee artis) dan biaya produksi (production cost),
dimana jumlah keduanya merupakan biaya total (total cost). Honorarium artis merupakan
uang jasa artis sedangkan biaya produksi merupakan segala biaya pembayaran yang terdiri
atas pembayaran tiket pesawat terbang, kargo peralatan artis, transportasi darat, hotel,
konsumsi, sound system, panggung (stage), lampu pencahayaan (lighting), dan sebagainya
yang dijelaskan secara detail dalam riders selain honor artis.
Dalam isi riders artis Aura Kasih dapat diketahui jumlah honorarium artis, yaitu
sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), dengan ketentuan booking fee sebesar
20% (dua puluh perseratus) yang ditindaklanjuti dengan diterbitkannya surat kesediaan
tampil oleh manajemen artis, dan selanjutnya dalam surat perjanjian yang ditandatangani
oleh manajemen artis dengan PT. Debindo Mega Promo dalam Pasal 3 mengenai
kontraprestasi atas penggunaan jasa artis, diatur bahwa pengguna bersedia untuk
memberikan kontraprestasi kepada manajemen berupa uang tunai sebesar Rp. 48.000.000,(empat puluh delapan juta rupiah) atas penggunaan jasa artis dengan termin dan prosedur
pembayaran, yaitu pembayaran sebesar Rp. 24.000.000,- (dua puluh empat juta rupiah)
dilakukan pada saat penandatangan kontrak, pembayaran terakhir sebesar Rp. 4.000.000,(dua puluh empat juta rupiah) dilakukan maksimal 4 (empat) hari sebelum keberangkatan.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
207
Pelaksanaan isi riders selain membayar honor artis juga melakukan pembayaran
mengenai segala sesuatu kebutuhan konser. Hal ini dapat dilihat pada rincian biaya produksi
PT. Debindo Mega Promo dalam acara HUT Bank Sul-Sel ke-49 Tahun tanggal 15 Januari
2010, di mana terdiri atas 2 (dua) bagian, yaitu peralatan & perlengkapan dengan jumlah
biaya sebesar Rp. 119.860.000,- (seratus sembilan belas juta delapan ratus enam puluh ribu
rupiah), dan bagian promosi & publikasi sebesar Rp. 24.000.000,- (dua puluh empat juta
rupiah).
Pembayaran honorarium artis, kebutuhan artis dan produksi serta keuntungan yang
diharapkan menjadi dasar pertimbangan tuntutan ganti rugi.
Pembalatan sepihak yang dilakukan manajemen artis dinilai oleh pihak EO sebagai
perbuatan yang menimbulkan kerugian secara materiel pada pihak EO, sebagaimana
yang dikemukakan oleh Husain Muslimin selaku Koord. Exhibition & Keu PT. Debindo
Mega Promo, hasil wawancara penulis pada tanggal 19 Mei 2011, dikemukakan bahwa,
pembatalan sepihak yang dilakukan manajemen artis Aura Kasih 3 (tiga) jam sebelum
jam 19.00 WITA waktu pelaksanaan konser pada acara Gathering Bank Sul-Sel tanggal
15 Januari 2010 yang berlokasi di Clarion Hotel Makassar menimbulkan kerugian secara
materiel pada PT. Debindo Mega Promo, hal ini disebabkan pihak manajemen artis hanya
melakukan pengembalian uang honorarium artis saja, tanpa melakukan ganti kerugian
atas biaya produksi, padahal pihak PT. Debindo Mega Promo selaku EO telah melakukan
pengeluaran biaya atas pembayaran mengenai segala kebutuhan produksi artis berdasarkan
riders.
Pihak EO dalam melakukan penyelenggaraan konser musik dapat terjadi karena
inisiatif EO itu sendiri tetapi dapat terjadi karena permintaan dari pihak klien, sebagaimana
acara Gathering Bank Sul-Sel yang dilaksanakan oleh PT. Debindo Mega promo selaku EO
merupakan permintaan dari pihak Bank Sul-Sel dalam rangka memperingati Hari Ulang
Tahun Bank Sul-Sel ke 49, sebagaimana yang dikemukakan oleh Husain Muslimin selaku
Koord. Exhibition & Keu PT. Debindo Mega Promo, bahwa event gathering tersebut
merupakan acara makan malam bersama dan ramah tamah keluarga besar Bank Sul-Sel,
dimana artis Aura Kasih merupakan acara hiburan utama dalam acara tersebut.
PT. Debindo Mega Promo selaku EO memiliki hubungan kerjasama yang baik dengan
Bank Sul-Sel dalam melaksanakan agenda event konser artis Bank Sul-Sel tersebut, hal ini
dikemukakan oleh Husain Muslimin, bahwa kerjasama itu dapat dilihat dari diadakannya
konser artis Krisdayanti pada tahun 2007, artis Pingkan Mambo pada tahun 2008, dan artis
Mulan Jamela pada tahun 2009, tetapi dengan adanya pembatalan sepihak oleh manajemen
artis Aura Kasih dalam acara gathering menyebabkan PT. Debindo Mega Promo kehilangan
kepercayaan dari pihak Bank Sul-Sel, di mana agenda event pekerjaannya tidak lagi
diserahkan pada PT. Debindo Mega promo dan kesepakatan mengenai pekerjaan kegiatan
yang nilainya mencapai Rp. 2. 200. 000. 000,- (dua milyar dua ratus juta rupiah) dibatalkan,
sehingga hal ini merupakan bentuk kerugian immateriel yang dialami oleh PT. Debindo
Mega Promo.
Menurut Husain Muslimin, selaku Koord. Exhibition & Keu PT. Debindo Mega
Promo, hasil wawancara penulis pada tanggal 19 Mei 2011 bahwa, pembatalan sepihak oleh
manajemen artis Aura Kasih menimbulkan kerugian materiel sebesar Rp. 260.000.000,(dua ratus enam puluh juta rupiah) dan kerugian immateriel sebesar Rp. 2.200.000.000,(dua milyar dua ratus juta rupiah). Kerugian immateriel didasarkan nilai kesepakatan
pekerjaan yang dibatalkan klien akibat pembatalan sepihak oleh manajemen artis Aura
Kasih.
208
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
Kerugian immateriel yang dialami oleh PT. Debindo Mega Promo akibat pembatalan
sepihak oleh manajemen artis dalam kontrak penyelenggaraan konser music, sebagaimana
yang dikemukakan oleh Husain Muslimin selaku Koord. Exhibition & Keu PT. Debindo
Mega Promo tersebut, pada dasarnya bukan merupakan kerugian immateriel melainkan
kerugian materiel karena kerugian tersebut menimpa harta benda berupa kehilangan
keuntungan yang diharapkan.
Dalam BW tidak diatur ganti rugi dari kerugian yang bersifat immateriel (tidak
berwujud) melainkan BW hanya mengatur ganti rugi dari kerugian yang bersifat materiel
(berwujud). Namun sebagian dari ahli hukum perdata dan yurisprudensi menyetujui
diberikannya ganti rugi terhadap kerugian immateriel, misalnya harus dikabulkan tuntutan
ganti rugi dari seseorang yang merasa dirugikan karena kehilangan kenikmatan atas suatu
ketenangan yang disebabkan tetangganya.1 Hal ini menunjukan bahwa pembayaran ganti
rugi atas kerugian immateriel adalah pada perikatan yang lahir dari perbuatan melanggar
hukum.
Kerugian yang diderita seseorang secara garis besar dapat dibagi atas dua bagian,
yaitu kerugian yang menimpa diri dan kerugian yang menimpa harta benda. Selanjutnya
kerugian harta benda dapat berupa kerugian nyata yang dialami serta kehilangan
keuntungan yang diharapkan.2
Pengertian kerugian menurut Nieuwenhuis adalah berkurangnya harta kekayaan pihak
yang satu yang disebabkan oleh perbuatan (melakukan atau membiarkan) yang melanggar
norma oleh pihak lain.3
Akan tetapi karena kerugian harta benda dapat pula berupa kehilangan keuntungan
yang diharapkan maka menurut Ahmadi Miru pengertian kerugian seharusnya adalah
berkurangnya atau tidak diperolehnya harta kekayaan pihak yang satu, yang disebabkan
oleh perbuatan melakukan atau membiarkan yang melanggar norma oleh pihak lain.4
Berdasarkan hal tersebut maka kerugian pada EO akibat pembatalan sepihak oleh
manajemen artis merupakan berkurangnya harta kekayaan yang terdiri atas pengeluaran
biaya yang meliputi honorarium artis, kebutuhan artis, dan produksi konser, sedangkan
tidak diperolehnya harta kekayaan terdiri atas pelunasan pembayaran dari pihak klien,
pembayaran dana sponsor, penjualan tiket penonton apabila konser tersebut dilakukan
penjualan tiket.
Dengan demikian berkurangnya harta kekayaan yang dialami EO merupakan kerugian
harta benda berupa kerugian nyata sedangkan tidak diperolehnya keuntungan merupakan
kerugian harta benda berupa kehilangan keuntungan yang diharapkan.
Secara umum pembatalan sepihak oleh manajemen artis tidak hanya terjadi setelah
penandatangan kontrak tetapi dapat pula terjadi sebelum penandatanganan kontrak, yakni
setelah pihak EO melakukan pembayaran pertama (booking fee) dan manajemen artis
telah menerbitkan surat kesediaan tampil, sebagaimana dikemukakan oleh Fauzia Andi
Wawo selaku Event Director PT. Slemmersindo Makassar, hasil wawancara penulis pada
tanggal 1 Juni 2011.
Hal ini yang dialami PT. Slemmersindo Makassar pada tahun 2007 dengan manajemen
artis ST 12, bahwa setelah dicapai kesepakatan mengenai riders yang diberikan manajemen
artis ST 12 maka EO Slemmersindo melakukan pembayaran termin pertama honor
(booking fee) sehingga pihak manajemen artis ST 12 menerbitkan surat kesediaan tampil,
1 Mariam, Darus Badrulzaman. Aneka Hukum Bisnis. (Bandung: Alumni, 2005), hlm. 30.
2 Ahmadi, Miru. Hukum Kontrak Perancangan Kontrak. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hlm.
80.
3 Ibid, hlm. 80.
4 Ibid, hlm. 81.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
209
tetapi selanjutnya sebelum dilakukan penandatanganan kontrak, pihak manajemen artis
melakukan pembatalan sepihak, hal ini merugikan PT. Slemmersindo Makassar selaku EO
karena kehilangan kepercayaan dari pihak sponsor, di mana antara PT. Slemmersindo telah
terjadi sepakat (deal) dengan pihak sponsor.
Pada dasarnya kesepakatan yang terjadi antara EO dan manajemen artis mengenai
isi riders sebenarnya pada saat itulah telah lahir kontrak sekalipun para pihak belum
melakukan penandatanganan kontrak dengan melakukan pembayaran termin kedua honor
artis, sehingga dengan demikian kontrak tersebut sudah bersifat obligatoir. Artinya dengan
tercapainya kesepakatan mengenai isi riders maka melahirkan hak dan kewajiban bagi
kedua belah pihak, sehingga kedua belah pihak memiliki kewajiban untuk memenuhi
kontrak tersebut.
Kesepakatan mengenai isi riders antara EO dengan manajemen artis menunjukkan
bahwa kedua belah pihak telah sepakat mengenai unsur esensialia dalam riders tersebut,
yaitu honorarium artis dan jasa artis, sehingga pada saat itu merupakan lahirnya kontrak.
Hal ini disebabkan karena kontrak penyelenggaraan konser musik artis merupakan kontrak
konsensual bukan kontrak formal sekalipun setelah pembayaran termin kedua honorarium
artis kontraknya dilakukan secara tertulis.
Kontrak konsensual adalah kontrak yang lahir pada saat tercapainya kesepakatan
mengenai unsur esensialia dalam kontrak, sedangkan kontrak formal lahir pada saat telah
dilakukannya formalitas tertentu, yaitu dilakukan secara tertulis. Akan tetapi tidak semua
kontrak tertulis dapat disebut kontrak formal melainkan hanya kontrak yang ditulis karena
kehendak undang-undang, sedangkan kontrak yang ditulis karena kehendak para pihak
bukan syarat yang menentukan lahirnya kontrak tetapi hanya untuk keperluan pembuktian.5
Dalam kontrak penyelenggaraan konser musik yang dibuat antara manajemen artis
dan EO dapat ditemukan adanya klausula yang mengatur tentang pembatalan. Klausula
tentang pembatalan dapat dilihat terdiri atas dua (2) macam, yaitu klausula pembatalan
karena force majeur dan klausula pembatalan bukan karena force majeur. Adapun yang
dibahas dalam hal ini adalah klausula pembatalan yang bukan karena force majeur.
Klausula pembatalan yang bukan karena force majeur, dapat dilihat pada isi riders artis
Aura Kasih No. 10X/RD/AURA KASIH/XX/07, diatur bahwa:
1. Pembatalan pelaksanaan (H-7) yang disebabkan kondisi kesehatan artis dan perhitungan ekonomis serta politis manajemen artis pengguna berhak menarik kembali
down payment atau 50% (lima puluh perseratus) nilai surat perjanjian yang telah
diterima oleh booking agent ditambah 50% (lima puluh perseratus) sebagai penalty
dari nilai perjanjian dengan manajemen. Apabila pihak pengguna telah melakukan
penjualan tiket, publikasi dan promosi untuk penampilan artis, maka sebagai akibat
dari pembatalan tersebut manajemen artis wajib membuat berita permohonan maaf
yang dimuat di dua (2) media cetak berskala nasional.
2. Pembatalan pelaksanaan pada hari, tanggal dan waktu pelaksanaan yang disebabkan
kelalaian dan kesalahan koordinasi pelaksanaan oleh pengguna dan pertimbangan
kondisi keamanan yang tidak terkendali di lokasi pelaksanaan sebagai akibat dari
pelaksanaan acara tersebut. Dalam hal ini pengguna wajib memenuhi jumlah payment yang telah disepakati dalam surat perjanjian. Apabila pihak pengguna telah
melakukan penjualan tiket, publikasi dan promosi untuk penampilan artis, maka sebagai akibat dari pembatalan tersebut pengguna wajib membuat berita permohonan
maaf yang dimuat dalam dua (2) media cetak berskala nasional.
5 Ibid, hlm. 38-39.
210
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
Klausula pembatalan pelaksanaan ini pada dasarnya merupakan ketentuan yang hanya
mengatur tentang pembatalan sepihak oleh manajemen artis yang dilakukan pada waktu
7 (tujuh) hari sebelum hari pertunjukkan bukan pembatalan sepihak oleh manajemen artis
yang dilakukan selain waktu tersebut. Selanjutnya yang patut diperhatikan bahwa klausula
ini tidak mengatur ganti rugi apabila manajemen artis melakukan pembatalan sepihak.
Dalam konteks BW bahwa pembatalan sepihak dalam kontrak terjadi apabila salah
satu pihak telah wanprestasi, sehingga mengakibatkan pihak yang satu membatalkan
perjanjian, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1266 BW bahwa: syarat batal dianggap
selalu dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan yang bertimbal balik, mana kala salah
satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal yang demikian persetujuan tidak
batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim. Permintaan ini juga
harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan
dalam perjanjian.
Kontrak yang dibuat oleh manajemen artis Aura Kasih dengan PT. Debindo Mega
Promo selaku EO, dapat dilihat bahwa pihak EO telah memenuhi semua kewajibannya
yang terdiri atas kebutuhan artis, produksi konser dan honorarium artis, bahkan pembayaran
termin ketiga untuk pelunasan honorarium artis sesuai riders ditentukan bahwa pembayaran
dilunasi 3 (tiga) hari sebelum hari pertunjukan tetapi telah dibayar lunas oleh EO 4 (empat)
hari sebelum hari pertunjukan. Namun sebagaimana diketahui manajemen artis Aura Kasih
membatalkan secara sepihak untuk tampil pada acara tersebut 3 (tiga) jam sebelum waktu
pertunjukan.
Berdasarkan hal tersebut, maka pembatalan sepihak oleh manajemen artis merupakan
pembatalan yang bertentangan dengan undang-undang, sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 1338 ayat (2) BW, yakni tidak mendapat persetujuan dari pihak EO, pihak EO tidak
wanprestasi, dan pihak manajemen artis tidak dalam keadaan memaksa.
Klausula pembatalan yang terdapat dalam kontrak yang dibuat manajemen artis Aura
Kasih dengan EO, diatur bahwa manajemen artis dapat melakukan pembatalan pelaksanaan
apabila pihak pengguna, yakni pihak EO melakukan kesalahan dalam pelaksanaan konser.
Akan tetapi pembatalan sepihak yang dilakukan oleh manajemen artis 3 (tiga) jam sebelum
waktu pertunjukan menunjukkan bahwa pembatalan sepihak tersebut bukan disebabkan
karena kesalahan yang dilakukan oleh EO dalam pelaksanaan konser.
Pembatalan sepihak oleh manajemen artis dalam kontrak penyelenggaraan konser
musik justru membawa kedudukan pihak manajemen artis dalam keadaan wanprestasi. Hal
ini disebabkan wujud prestasi yang merupakan kewajiban pihak manajemen artis hanya
dapat dilakukan pemenuhannya pada waktu yang ditentukan dalam kontrak, sehingga
dengan lewatnya waktu tersebut maka pihak manajemen artis telah wanprestasi, yaitu
dianggap sama sekali tidak melakukan prestasi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1243
BW, bahkan untuk menentukan wanprestasi tersebut tidak perlu terlebih dahulu harus ada
surat somasi atau akta sejenis untuk pernyataan lalai sebagaimana yang diatur dalam Pasal
1238 BW.
Dalam literatur hukum kontrak, terdapat pembagian prestasi dalam tiga macam,
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1234 BW, yaitu: menyerahkan sesuatu, berbuat
sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu. Akan tetapi menurut Ahmadi Miru, pembagian macammacam prestasi tersebut bukan wujud prestasi tetapi hanya cara-cara melakukan prestasi.6
Berdasarkan hal tersebut, maka sesuai isi riders dapat diketahui bahwa wujud prestasi
yang diperjanjikan sebagai unsur esensialia dalam kontrak dan menjadi kewajiban bagi
manajemen artis adalah berupa keahlian, yaitu jasa artis, sedangkan cara manajemen artis
6 Ibid, hlm. 69.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
211
untuk pemenuhan wujud prestasi yang demikan adalah berbuat sesuatu.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa manajemen artis
wanprestasi maka pihak EO berhak untuk memilih tuntutan berupa tuntutan pembatalan
kontrak atau pemenuhan kontrak dan disertai tuntutan ganti rugi, sedangkan manajemen
artis memiliki kewajiban untuk memenuhi apa yang menjadi pilihan tuntutan oleh pihak
EO, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1267 BW.
Perlindungan Hukum Terhadap Event Organizer dalam Kontrak Penyelenggaraan
Konser Musik
Pada umumnya, kontrak penyelenggaraan konser musik yang dibuat antara EO dan
manajemen artis tidak diatur ganti kerugian yang dapat diberikan kepada pihak EO apabila
manajemen artis melakukan pembatalan sepihak dalam kontrak melainkan hanya mengatur
pengembalian honorarium artis saja.
Klausula pembatalan yang hanya mengatur tentang pengembalian honorarium artis
apabila manajemen artis melakukan pembatalan sepihak tersebut selalu tercantum dalam
kontrak kerjasama artis.
Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Fauzi Andi Wawo, selaku Event
Director PT. Slemmersindo Makassar, hasil wawancara penulis pada tanggal 1 Juni
2011, dikemukakan bahwa dalam tahap negosiasi isi riders antara pelaksana acara (EO)
dengan manajemen artis pada umumnya hal-hal yang dapat terjadi perubahan hanya
terdiri atas honor artis, kebutuhan artis, peralatan produksi konser, sedangkan tentang
klausula pembatalan sepihak oleh manajemen artis tersebut pihak manajemen artis selalu
menghendaki tercantum dalam kontrak tanpa adanya perubahan mengenai ganti rugi.
Klausula pembatalan sepihak tersebut dapat dilihat juga pada kontrak yang dibuat
antara manajemen artis Wali dengan PT. Slemmersindo Makassar, di mana dalam klausula
pembatalan sepihak diatur bahwa apabila pihak kedua berhalangan untuk tampil disebabkan
alasan sepihak atau diluar force majeur, maka pihak manajemen artis berkewajiban
mengembalikan uang yang telah diterima dari nilai kontrak yang disepakati.
Menurut Hofmann, bahwa berdasarkan asas kebebasan berkontrak orang bebas
memperluas atau mempersempit tanggungannya terhadap kerugian karena kesalahannya,
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1707 ayat (4) BW. Namun terhadap kemungkinan
debitor untuk menyampingkan memikul risiko kerugian, hukum perdata membuat
pembedaan antara kerugian yang timbul karena adanya kesengajaan dan yang timbul
karena kelalaian. Debitor boleh memperjanjikan agar dirinya dibebaskan dari kerugian yang
muncul karena kelalaiannya tetapi tidak dibenarkan untuk memperjanjikan pembebasan
dari penggantian kerugian yang muncul karena kesengajaan. Klausula yang demikian itu
dianggap bertentangan dengan tata krama (geode zeden) sehingga batal demi hukum.7
Kesalahan adalah terjemahan dari kata “schuld”, yang dalam arti luas meliputi
kesengajaan (opzet) dan kelalaian (onachtzaamheid). Kesengajaan adalah timbulnya
kerugian itu memang dikehendaki atau sekalipun kerugian yang ditimbulkan tidak
dikehendaki tetapi tindakan tersebut dikehendaki, sedangkan kelalaian adalah peristiwa di
mana seseorang seharusnya tahu atau patut menduga bahwa dengan perbuatannya itu dapat
menimbulkan kerugian.8
Pembatalan sepihak yang dilakukan oleh manajemen artis Aura Kasih tiga jam sebelum
waktu pertunjukan dan pembatalan sepihak yang dilakukan oleh manajemen artis ST 12
setelah tercapainya kesepakatan isi riders dan telah dilakukan pembayaran termin pertama
honorarium artis, menunjukan bahwa pembatalan sepihak tersebut merupakan kesalahan
7 J, Satrio. Hukum Perikatan: Perikatan Pada Umumnya. (Bandung: Alumni, 1999), hlm. 96.
8 Ibid, hlm. 91.
212
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
yang berupa kesengajaan karena tindakan pembatalan sepihak tersebut dikehendaki
sekalipun kerugian yang ditimbulkan tidak dikehendaki oleh manajemen artis.
Berdasarkan hal tersebut, maka klausula pembatalan sepihak oleh manajemen artis
dalam kontrak penyelenggaraan konser musik yang mengatur bahwa, apabila pihak
manajemen artis melakukan pembatalan sepihak maka pihak manajemen artis memiliki
kewajiban untuk mengembalikan uang honorarium artis secara keseluruhan kepada pihak
EO tanpa mengatur tentang ganti rugi. Hal ini dapat dinilai sebagai klausula yang dibuat
oleh manajemen artis untuk pembebasan ganti kerugian yang muncul karena kesengajaan,
di mana pembatalan sepihak itu merupakan kesengajaan karena tindakan pembatalan
tersebut dikehendaki oleh manajemen artis sekalipun manajemen artis tidak menghendaki
tindakannya itu untuk menimbulkan kerugian pada EO.
Kesengajaan adalah timbulnya kerugian itu memang dikehendaki atau sekalipun
kerugian yang ditimbulkan tidak dikehendaki tetapi tindakan tersebut dikehendaki,
sedangkan kalalaian adalah peristiwa di mana seseorang seharusnya tahu atau patut
menduga bahwa dengan perbuatannya itu dapat menimbulkan kerugian.9
Berdasarkan hal itu maka klausula pembatalan sepihak oleh manajemen artis yang
hanya mengatur pengembalian honorarium artis tanpa diatur ganti rugi merupakan klausula
yang dibuat oleh manajemen artis untuk pembebasan ganti kerugian yang muncul karena
kesengajaan, karena tindakan pembatalan sepihak tersebut dikehendaki oleh manajemen
artis sekalipun kerugian yang ditimbulkan tidak dikehendaki, dengan demikian klausula
itu batal demi hukum.
Menurut Ahmadi Miru bahwa, ada dua kemungkinan pokok yang dapat dituntut oleh
pihak yang dirugikan, yaitu pembatalan kontrak atau pemenuhan kontrak. Namun, jika dua
kemungkinan pokok tersebut diuraikan lebih lanjut, kemungkinan tersebut dapat dibagi
empat, yaitu: pembatalan kontrak saja; pembatalan kontrak disertai tuntutan ganti rugi;
pemenuhan kontrak saja; pemenuhan kontrak disertai tuntutan ganti rugi. Pembagian atas
empat kemungkinan tersebut merupakan ketidaksetujuannya atas pendapat yang membagi
atas lima kemungkinan, yaitu pendapat yang masih menambahkan satu kemungkinan
lagi, yaitu “penuntutan ganti rugi” karena tidak mungkin seseorang menuntut ganti rugi
saja yang lepas dari kemungkinan dipenuhinya kontrak atau batalnya kontrak, karena
dibatalkan atau dipenuhinya kontrak merupakan dua kemungkinan yang harus dihadapi
para pihak dan tidak ada pilihan lain sehingga tidak mungkin ada tuntutan ganti rugi yang
berdiri sendiri sebagai akibat dari suatu wanprestasi.10
Penulispun setuju dengan pendapat ini karena dalam praktik di pengadilan hakim tidak
dapat menjatuhkan putusan yang menghukum pihak yang berperkara untuk membayar
ganti rugi tanpa kontrak itu sebelumnya diputus batal atau dipenuhinya kontrak tersebut.
Hal ini juga sebagaimana yang dijelaskan oleh M. Yahya Harahap bahwa putusan
yang menghukum untuk membayar ganti kerugian merupakan amar putusan condemnatoir,
sedangkan putusan yang membatalkan perjanjian atau pemenuhan perjanjian merupakan
amar putusan declaratoir, di mana putusan yang berisi amar declaratoir dapat berdiri
sendiri tanpa amar condemnatoir, namun sebaliknya amar putusan condemnatoir tidak
dapat berdiri sendiri tanpa amar putusan declaratoir.11
Dalam memilih tuntutan seharusnya ditinjau dari jenis kontrak dan wujud prestasi.
Jenis kontrak penyelenggaraan konser musik merupakan kontrak dengan ketetapan waktu,
artinya waktu pelaksanaan konser dibuat untuk kepentingan pihak EO, dan wujud prestasi
berupa keahlian, sehingga ada hubungan antara waktu yang diperjanjikan dengan wujud
9 Ibid, hlm. 91.
10 Ahmadi Miru, Op.cit, hlm. 79.
11 M. Yahya, Harahap. Hukum Acara Perdata. (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 877.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
213
prestasi, yaitu wujud prestasi hanya dapat dilakukan pada waktu yang diperjanjikan.
Berdasarkan hal itu maka dengan lewatnya waktu tidak tepat apabila dilakukan
tuntutan pemenuhan kontrak, sehingga lebih tepat dilakukan tuntutan pembatalan kontrak
dan disertai tuntutan ganti rugi.
Pembatalan sepihak oleh manajemen artis dalam kontrak penyelenggaraan konser musik
merupakan kesalahan berupa kesengajaan bukan kelalaian. Hal ini disebabkan kesengajaan
karena manajemen artis tidak mau melakukan prestasi atau menolak berprestasi sehingga
tidak perlu ada somasi atau akta sejenis untuk pernyataan lalai, sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 1238 BW.
Akan tetapi sekalipun pengertian kesengajaan dan kelalaian memiliki pengertian
yang berbeda namun untuk menentukan kapan terjadinya wanprestasi yang disebabkan
kesengajaan atau kelalaian, pada dasarnya BW tidak melakukan pembedaan, melainkan
dengan lewatnya waktu sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1243 BW dapat ditentukan
telah terjadi wanprestasi baik itu karena kesengajaan maupun kelalaian.
Berdasarkan hal tersebut, maka manajemen artis yang melakukan pembatalan sepihak
dapat disebut dalam keadaan wanprestasi yaitu pada saat lewatnya waktu untuk melakukan
pemenuhan prestasi karena wujud prestasi dalam kontrak penyelenggaraan konser musik
adalah keahlian yang sifat pemenuhannya hanya dapat dilakukan pada waktu yang
ditentukan dalam kontrak.
Prinsip dasar dalam melakukan pembatalan kontrak sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 1266 BW, yaitu apabila salah satu pihak dalam keadaan wanprestasi sehingga pihak
yang lain dapat melakukan pembatalan kontrak. Pada pembatalan sepihak oleh manajemen
artis dalam kontrak penyelenggaraan konser musik dapat diketahui bahwa manajemen artis
dalam keadaan wanprestasi berupa sama sekali tidak melakukan prestasi, sehingga hal ini
menjadi suatu syarat batal dalam kontrak, dengan demikian pihak EO dapat melakukan
pembatalan kontrak dan disertai tuntutan ganti rugi.
Pembatalan kontrak yang dilakukan oleh pihak EO disertai dengan tuntutan ganti rugi
merupakan hak yang diberikan oleh undang-undang untuk memilih tuntutan kepada pihak
yang dirugikan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1267 BW. Namum tuntutan ganti
rugi berupa wujud ganti rugi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1243 BW dan Pasal
1246 BW hanyalah dapat dilakukan penggantian oleh pihak yang dituntut sebatas pada
apa yang diduga olehnya sewaktu perikatan dilahirkan, sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 1247 BW, dan sebatas pada kerugian yang ditimbulkan sebagai akibat langsung dari
kesalahan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1248 BW.
Bersarkan hal tersebut maka dapat dipahami bahwa pada dasarnya dalam BW, kerugian
yang dapat diduga sebelumnya dapat dilakukan penggantiannya sedangkan kerugian yang
tidak dapat diduga sebelumnya tidak dapat dilakukan penggantiannya, sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 1247 BW. Selanjutnya kerugian itu juga harus memiliki hubungan
langsung dengan wanprestasi, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1248 BW.
Menurut Hoffmann bahwa pengertian kerugian yang dapat diduga yaitu tidak hanya
sebatas “sebab” kerugiannya saja tetapi “besarnya” kerugian, karena besarnya tuntutan
ganti rugi dapat dibenarkan apabila memang orang dapat menduga adanya kemungkinan
munculnya kerugian sampai sebesar itu.12
Kerugian yang ditimbulkan akibat manajemen artis wanprestasi dapat diketahui bahwa
kerugian itu dapat diduga oleh manajemen artis pada saat perikatan dilahirkan, karena
kerugian harta benda berupa kerugian nyata yang terdiri atas pengeluaran biaya untuk
honorarium artis, kebutuhan artis dan produksi sesuai riders yang diberikan oleh manajemen
12 J. Satrio, Op.cit, hlm. 187.
214
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
artis pada pihak EO untuk dipenuhi pada saat perjanjian ditutup. Adapun kerugian berupa
kehilangan keuntungan yang diharapkan terdiri atas tidak diperolehnya uang hasil
penjualan tiket penonton, pelunasan pembayaran dari pihak klien, dan pembayaran dana
sponsor, dapat juga diduga oleh manajemen artis karena sesuai riders pihak EO membuat
laporan pada manajemen artis tentang jumlah penonton dengan luasnya tempat konser
(venue), dan semua pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan konser tersebut.
Dalam BW tidak dijelaskan mengenai akibat langsung sebagaimana yang diatur
adalam Pasal 1248 BW, di mana kerugian dapat dilakukan penggantiannya apabila
kerugian tersebut memiliki akibat langsung dari wanprestasi.
Dalam literatur hukum dikenal beberapa teori yang menjelaskan tentang akibat
langsung atau yang biasa disebut hubungan sebab akibat atau kausalitas, diantaranya teori
condition sine qua non, teori adequat, teori toerrekening naar redelijkheid.13
Teori condition sine qua non (teori syarat mutlak) dari Von Buri yang mengajarkan
bahwa, sebab dari suatu akibat adalah setiap tindakan dan keadaan yang merupakan syarat
untuk timbulnya suatu akibat. Lebih lanjut dijelaskan bahwa yang harus dianggap sebagai
syarat adalah suatu perubahan atau keadaan yang tanpa adanya perbuatan atau keadaan itu
tidak akan timbul akibat seperti itu.14
Dalam penerapan teori ini dianggap meluaskan tanggung jawab karena setiap perbuatan
atau keadaan memiliki nilai atau peran yang sama sebagai sebab untuk timbulnya akibat
sehingga membawa konsekuensi tanggungjawab kerugian yang sangat berat. Berdasarkan
hal itu maka para sarjana mencari teori lain yang dapat membatasi peristiwa atau perbuatan
sebagai sebab dari suatu.15
Teori Adequat dari Von Kries, mengajarkan bahwa suatu peristiwa adalah sebab
dari suatu akibat, kalau menurut pengalaman umum manusia, seorang manusia normal
seharusnya memperhitungkan kemungkinan bahwa tindakannya akan menimbulkan
akibat seperti itu.16
Akan tetapi pada tahun 1962, Koster menyarankan untuk menghapus teori adequat
dan menerima teori toerrekening naar redelijkheid (dipertanggungkan secara layak).
Faktor penting yang disebut Koster adalah: sifat dari kejadian yang menjadi dasar
pertanggunggugatan; sifat kerugian; besar kecilnya kerugian yang diperkirakan akan
terjadi; dan beban tidak seimbang yang dapat timbul bagi pihak tergugat dari kewajibannya
untuk membayar ganti kerugian; serta memperhatikan keadaan keuangan pihak yang
dirugikan.17
Dalam Arrest 19 Desember 1975-280 diberikan gambaran bahwa, H.R beralih ke teori
toerrekening naar redelijkheid. Walaupun demikian, pendirian H.R tentang beralihnya ke
teori ini masih mendapat tanggapan, diantaranya dari Van der Grinten, yang menyatakan
bahwa, H.R masih berpegang pada teori adequat, namun menerapkan pertanggunggugatan
menrut “apa yang selayaknya” sebagai suatu keoreksi atas teori adequat. Hal ini disebabkan
kerugian dapat diduga atau tidak dapat diduga sebenarnya bukan merupakan bagian dari
teori adequat, karena istilah adequat berarti memenuhi harapan atau cocok dengan.18
Berbagai alasan yang dikemukakan tentang penggunaan teori kausalitas tersebut,
maka tampak bahwa teori adequat yang dipahami di Indonesia adalah akibat tersebut
13 Ahmadi Miru & Sutarman Yodo. Hukum Perlindungan Konsumen. (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm.
136.
14 J. Satrio, Loc.cit, hlm. 196.
15 Ibid, hlm. 196.
16 Ibid, hlm. 197.
17 Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Loc.cit, hlm. 136-137.
18 Ibid, hlm. 138-139.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
215
disebabkan oleh faktor yang secara yuridis relevan, yakni yang dapat menimbulkan akibat
itu, karena teori adequat diartikan sebagai penyebab yang secara wajar dapat diduga
menimbulkan akibat.19
Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa ketentuan dalam Pasal 1248
BW melalui penerapan teori toerrekening naar redelijkheid mengenai akibat langsung pada
dasarnya merupakan akibat yang dapat diduga, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1247
BW.
Mengenai hal itu maka tepatlah apa yang dikemukan oleh Paul Scholten bahwa dalam
hukum tidak mungkin terdapat pertentangan (kontradiksi), di mana akibat hukum pada saat
yang sama dapat terjadi atau tidak terjadi melainkan hukum itu mewujudkan satu kesatuan.
Dalam hal ini penulis setuju penggunaan teori toerrekening naar redelijkheid untuk
melakukan tuntutan ganti rugi dengan menentukan hubungan sebab akibat antara kesalahan
dengan wanprestasi manajemen artis akibat pembatalan sepihak oleh manajemen artis
dalam kontrak penyelenggaraan konser musik yang menimbulkan kerugian pada EO.
Artinya melalui penerapan teori ini maka dapat dilihat bahwa, sifat dari kejadian
yang menjadi dasar dari pertanggunggugatan, yakni pembatalan sepihak oleh manajemen
artis yang membawa manajemen artis dalam keadaan wanprestasi sebagai sebab yang
menimbulkan kerugian pada EO, di mana sifat kerugian itu merupakan kerugian harta
benda berupa kerugian nyata dan kehilangan keuntungan yang diharapkan yang dapat
diduga sebelumnya pada saat menutup perjanjian dan memiliki akibat langsung dengan
wanprestasi. Di samping itu besar kecilnya kerugian itu dapat diperkirakan berdasarkan isi
riders, dan beban tidak seimbang yang dapat timbul bagi pihak tergugat dari kewajibannya
untuk membayar ganti kerugian, maka kerugian yang dituntut oleh EO adalah seimbang
antara kesalahan manajemen artis dengan kerugian yang ditimbulkan.
Sehubungan dengan penerapan teori ini maka dalam kasus pembatalan sepihak oleh
manajemen artis Aura Kasih yang telah menimbulkan kerugian pada PT. Debindo Mega
Promo, khususnya mengenai kerugian kehilangan pekerjaan yang telah disepakati dengan
pihak klien yang bernilai Rp. 2. 200. 000. 000,- (dua milyar dua ratus juta rupiah) tersebut,
maka bentuk kerugian ini tidak memiliki hubungan sebab akibat yang dimaksud sebagai
akibat langsung, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1248 BW, dengan demikian hal ini
tidak dapat dilakukan penggantian oleh manajemen artis.
Akan tetapi baik itu kerugian nyata maupun kehilangan keuntungan yang diharapkan
sebesar Rp. 260. 000. 000,- (dua ratus enam puluh juta) dapat dilakukan penggantian oleh
pihak manajemen artis Aura kasih pada pihak PT. Debindo Mega Promo berdasarkan
tuntutan pembatalan kontrak dan disertai dengan tuntutan ganti rugi.
Walaupun demikian, menghitung besarnya kerugian tidak mudah sehingga biasanya
ditetapkan berdasarkan keadilan. Dalam beberapa keputusannya, Hoge raad telah
merumuskan bahwa penetapan kerugian harus dilakukan berdasarkan ukuran-ukuran
objektif (secara abstrak). Dalam penerapan metode abstrak, hakim tidak semata-mata
mempertimbangkan hal-hal khusus dalam peristiwa yang bersangkutan dengan keadaan
subjektif dari pihak yang dirugikan, melainkan hakim meneliti pada umumnya kerugian
yang dialami seseorang yang berada dalam posisi sama seperti pihak yang menuntut ganti
rugi.20
Metode objektif ini sebenarnya cukup baik, namun metode ini biasanya tidak
diterapkan secara konsekuen karena kerugian yang ditetapkan ditetapkan dengan metode
tersebut dianggap sebagai kerugian minimal sehingga apabila pihak yang dirugikan dapat
membuktikan kerugiannya lebih besar daripada kerugian objektif, maka dapat menuntut
19 Ibid, hlm. 140.
20 Ahmadi Miru, Op.cit, hlm. 82.
216
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
kerugian yang sesungguhnya diderita (kerugian subjektif). Hal ini berarti bahwa pihak yang
dirugikan dapat memilih antara perhitungan kerugian yang objektif atau subjektif (abstrak
atau konkret) bahkan dalam kaitan dengan kerugian-kerugian tertentu menggunakan
objektif, sedangkan kerugian lain berdasarkan perhitungan subjektif.21
Berdasarkan hal tersebut maka pihak EO dalam melakukan tuntutan pembatalan
kontrak dan disertai tuntutan ganti rugi lebih tepat melakukan perhitungan besarnya
kerugian dengan menggunakan metode objektif atas kerugian nyata, karena secara
umum kerugian nyata yang dialami EO pada umumnya akibat pembatalan sepihak oleh
manajemen artis tidak memiliki perbedaan yang signifikan, sedangkan pada kerugian
kehilangan keuntungan yang diharapkan maka sangat tepat menggunakan perhitungan
kerugian subjektif karena keuntungan yang diharapkan dalam penyelenggaraan konser
musik tiap EO berbeda sehingga apabila dapat dibuktikan maka sangat menguntungkan
pihak EO tersebut.
Dalam hal cara melakukan perhitungan kerugian maka menurut Bloembergen bahwa:
apabila membicarakan tentang kerugian maka dapat dipikirkan suatu pengertian yang
konkret dan subjektif, yaitu kerugian merupakan kerugian nyata yang diderita oleh orang
yang dirugikan, di mana diperhitungkan situasi yang konkret dengan keadaan subjektif dari
yang bersangkutan. Selain itu, dapat pula dipikirkan secara objektif, di mana melepaskan
diri seluruhnya atau sebagian dari keadaan konkret dari orang yang dirugikan dan menuju
ke arah yang normal.22
Berdasarkan penggunaan perhitungan kerugian secara objektif atas kerugian nyata
yang dialami EO dianggap lebih tepat karena hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa
cost produksi yang terdiri atas biaya kebutuhan artis dan produksi dalam penyelenggaraan
konser musik secara umum memiliki persamaan antara EO yang satu dengan yang lain,
sehingga bentuk kerugian nyata itu dapat dilihat ke arah yang normal, namun pada kerugian
kehilangan keuntungan yang diharapkan akan lebih tepat menggunakan perhitungan secara
subjektif karena keuntungan yang diharapkan dalam penyelenggaraan konser musik antara
EO yang satu dengan yang lain berbeda, seperti jumlah tiket yang dijual atau banyaknya
pihak sponsor yang terlibat dalam konser tersebut.
Penggunaan perhitungan kerugian secara objektif atas kerugian nyata dan perhitungan
kerugian subjektif atas kerugian kehilangan keuntungan yang diharapkan oleh EO
akibat manajemen artis wanprestasi dalam kontrak penyelenggaraan konser musik dapat
memberikan keadilan, sebagaimana keadilan yang dikemukakan oleh Aristoteles dalam
karyanya “Nichomachean ethics” bahwa “justice consists in treating equals equally and
unequally, in proportion to their inequality”. Prinsip ini beranjak dari asumsi “untuk halhal yang sama diperlakukan secara sama, dan yang tidak sama juga diperlakukan tidak
sama, secara proporsional”.23
Keadilan sebagai salah satu dari tiga ide dasar hukum disamping kemanfaatan
dan kepastian hukum yang oleh sebagian besar pakar teori hukum dan filsafat hukum
diidentikkan sebagai tiga tujuan hukum, diajarkan oleh Gustav Radbruch dalam ajarannya
yang dikenal sebagai teori prioritas baku, dimana dengan menggunakan asas prioritas
maka keadilan sebagai prioritas pertama, kedua adalah kemanfaatan dan terakhir adalah
kepastian.24
21 Ibid, hlm. 82.
22 Ibid, hlm. 81.
23 Agus Yudha Hernoko. Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial. (Jakarta:
Kencana, 2010), hlm. 48.
24 Achmad, Ali. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence): Termasuk
Interpretasi Undang-Undang (LegisPrudence) Vol 1. Pemahaman Awal. (Jakarta: Kencana, 2009), hlm.
288.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
217
Walaupun demikian pilihan prioritas tidak dapat dibakukan seperti itu karena tiap
kasus dapat saja berbeda tujuan hukumnya yang ingin dicapai, sebagaimana yang diajarkan
oleh Ahmad Ali dalam ajarannya yang dikenal sebagai teori prioritas kasuistis, di mana
adakalanya dalam suatu kasus keadilan yang lebih diprioritaskan daripada kemanfaatan
dan keadilan, tetapi pada kasus lain kemanfaatan yang diprioritaskan daripada keadilan
dan kepastian, bahkan pada kasus lain pula terjadi kepastian yang diprioritaskan daripada
keadilan dan kemanfaatan.25
Di samping itu Ahmad Ali lebih lanjut berpandangan bahwa meskipun menganut teori
ajaran prioritas yang kasuistik, tetapi harus diupayakan agar meskipun yang diprioritaskan
adalah salah satunya, misalnya keadilannya, tetapi tidak mengabaikan sama sekali
kemanfaatan dan kepastiannya.26
Berdasarkan hal tersebut dalam kasus pembatalan sepihak oleh manajemen artis
dalam kontrak penyelenggaraan konser musik, dengan cara memilih tuntutan pembatalan
kontrak dan disertai tuntutan ganti rugi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1267 BW,
menunjukan keadilan yang lebih diprioritaskan daripada kemanfaatan dan kepastian.
Hal ini disebabkan tidak dipilihnya pemenuhan kontrak baik disertai tuntutan ganti
rugi atau tidak, yang dapat disimpulkan sebagai kemanfaatan karena dapat memberikan
manfaat bagi kedua belah pihak, yakni manajemen artis tetap berhak atas honorarium artis
dan EO tetap berhak atas jasa artis, tidak dilakukan karena prestasi yang diperjanjikan itu
pemenuhannya hanya dapat dilakukan pada waktu yang ditentukan dalam kontrak tersebut.
Adapun tentang kepastian hukum pada dasarnya Pasal 1338 ayat (2) BW mengharapkan
terwujudnya kepastian hukum dalam hubungan kontraktual dengan melarang kontrak
ditarik kembali selain sepakat kedua belah pihak atau harus ada alasan yang cukup menurut
undang-undang, namun norma ini telah dilanggar oleh manajemen artis dengan melakukan
pembatalan sepihak.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan tercapainya
keadilan melalui tuntutan pembatalan kontrak dan disertai tuntutan ganti rugi maka pada
dasarnya hal itu merupakan terwujudnya perlindungan hukum terhadap EO, karena dengan
dipenuhinya tuntutan ganti rugi atas kerugian harta benda berupa kerugian nyata dan
kerugian kehilangan keuntungan yang diharapkan yang diderita oleh EO, sesungguhnya
telah menempatkan EO pada keadaan seandainya dalam kontrak penyelenggaraan konser
musik tidak terjadi wanprestasi.
PENUTUP
Kesimpulan
1. Pembatalan sepihak oleh manajemen artis merupakan pembatalan yang bertenta
ngan dengan undang-undang, karena tidak mendapat persetujuan dari pihak EO, dan
pihak EO tidak wanprestasi, serta manajemen artis tidak dalam keadaan memaksa,
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (2) BW.
Pembatalan tersebut justru menempatkan manajemen artis wanprestasi karena lewatnya waktu, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1243 BW, dan menjadi syarat
batal. Sebagaimana yang diatur Pasal 1266 BW, sehingga pihak pelaksana dapat memi
lih tuntutan pembatalan kontrak dan disertai tuntutan ganti rugi, sebagaimana diatur
dalam Pasal 1267 BW.
25 Ibid, hlm. 289.
26 Ibid, hlm. 289.
218
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
2. Klausula pembatalan sepihak oleh manajemen artis tanpa ganti rugi bertentangan de
ngan tata krama (geode zeden) sehingga batal demi hukum.
Kerugian yang ditimbulkan akibat manajemen artis wanprestasi merupakan kerugian
yang dapat diduga pada saat perjanjian ditutup, sebagaimana yang diatur Pasal 1247
BW, dan merupakan kerugian yang memiliki akibat langsung dengan wanprestasi, sehingga manajemen artis berkewajiban melakukan penggantian atas kerugian tersebut.
Saran
1. Pada pembuatan kontrak penyelenggaraan konser musik harus didasarkan pada asas
iktikad baik dalam semua tahapan kontrak.
Pihak EO dapat menempuh sarana penyitaan terhadap harta benda milik manajemen
artis, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1131 BW bahwa, debitor bertanggung
jawab atas kewajiban perikatannya dengan seluruh harta bendanya.
2. Dalam kontrak penyelenggaraan konser musik perlu dibuat klausula yang seimbang
yang mengatur hak dan kewajiban dari masing-masing pihak secara seimbang, di mana
diatur apabila terjadi pembatalan sepihak yang dilakukan oleh manajemen artis maka
manajemen artis wajib melakukan pengembalian uang honorarium artis dan ganti rugi
pada EO, dan sebaliknya apabila EO melakukan pembatalan sepihak maka EO wajib
melakukan pelunasan pembayaran uang honorarium artis dan ganti rugi pada manajemen artis.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
219
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, Ali, 2009. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence): Termasuk Interpretasi Undang-Undang (LegisPrudence) Vol 1.
Pemahaman Awal. Jakarta: Kencana.
Agus Yudha, Hernoko. 2010. Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak
Komersial. Jakarta: Kencana.
Ahmadi, Miru, 2008. Hukum Kontrak Perancangan Kontrak. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2010. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta:
Rajawali Pers.
Carry, Nadeak, 2003. Java Musikindo Presents Wow. Jakarta: Java Media Indo Plus.
J. Satrio, 1999. Hukum Perikatan: Perikatan Pada Umumnya. Bandung: Alumni.
Mariam, Darus Badrulzaman, 2005. Aneka Hukum Bisnis. Bandung: Alumni.
M. Yahya, Harahap, 2007. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika.
Paul Scholten, 2011. De Structuur Der Rechtswetenschap, Struktur Ilmu Hukum, Alih
Bahasa, B. Arief Sidharta, Bandung: Alumni.
220
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
SISTEM SANKSI BAGI ANAK
DAN IMPLEMENTASINYA (KAJIAN DALAM
PERSPEKTIF PERLINDUNGAN ANAK)
Syamsuddin Muchtar
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
SISTEM SANKSI BAGI ANAK DAN IMPLEMENTASINYA
(KAJIAN DALAM PERSPEKTIF PERLINDUNGAN ANAK)
Oleh: Syamsuddin Muchtar
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
Jl. Perintis Kemerdekaan KM. 10, Tamalanrea, Makassar, Sulawesi Selatan
E-mail: [email protected]
Abstract
Justice and punishment of children is essentially for the protection and welfare of
children as part of social welfare, would that action takes precedence over sanctions on
criminal sanctions. In other words, criminal sanctions will only be used as a last resort
(last resort). But in reality, this type of criminal sanctions, especially imprisonment penalty
is still used as a sanction “primadonna”, both in the formulation of Law Number 3 Year
1997 on Juvenile Court, and in its application by a judge in juvenile justice. Therefore we
need an amendment to the stelsel sanctions stipulated in the Juvenile Court Act.
Keywords: Protection, Justice, Punishment of Children
Abstrak
Peradilan dan pemidanaan anak yang pada hakikatnya adalah untuk perlindungan
dan kesejahteraan anak sebagai bagian dari kesejahteraan sosial, menghendaki agar
sanksi tindakan lebih diutamakan dari pada sanksi pidana. Dengan kata lain, sanksi pidana
hanya akan digunakan sebagai upaya terakhir (the last resort). Namun kenyataannya,
jenis sanksi pidana, khususnya sanksi pidana penjara masih digunakan sebagai sanksi
“primadona”, baik dalam rumusan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang
Pengadilan Anak, maupun dalam penerapannya oleh hakim di pengadilan anak. Oleh
karena itu diperlukan amandemen atas stelsel sanksi yang diatur dalam Undang-undang
Pengadilan Anak.
Kata Kunci: Perlindungan, Peradilan, Pemidanaan Anak
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
PENDAHULUAN
Dalam upaya penanggulangan kejahatan pada umumnya, dikenal istilah kebijakan
kriminal yaitu suatu usaha yang rasional masyarakat dalam menanggulangi kejahatan1.
Sementara itu, usaha perlindungan hak-hak anak sangat ditentukan oleh adanya kebijakan
perlindungan anak (child protection policy), kebijakan kesejahteraan anak (child welfare
policy) yang kondusif terhadap usaha-usaha perlindungan hak-hak anak itu sendiri.2
Jaminan perlindungan hukum bagi anak untuk tumbuh dan berkembang, secara umum
telah diamanatkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain:
1. Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta berhak
atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.3
2. Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan
maupun sesudah dilahirkan, anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan
hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhannya secara wajar.4
3. Agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab sebagai tunas, potensi,
dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis
yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara, maka perlu diberi
kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal,
baik fisik, mental, maupun sosial, dan berakhlak mulia. Perlu pula dilakukan upaya
perlindungan untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan
terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi.5
Hal tersebut sejalan dengan isi Deklarasi Hak-Hak Anak oleh Majelis Umum PBB
tanggal 20 November 1959 yang asas utamanya menegaskan bahwa umat manusia
berkewajiban memberikan yang terbaik bagi anak.
Statistik kriminal menunjukkan bahwa dalam dekade terakhir ini ada kecenderungan
terjadi peningkatan keterlibatan anak sebagai palaku dalam beberapa jenis kejahatan, baik
secara kuantitas, maupun secara kualitas. Di Kota Makassar, dalam lima tahun terakhir
(2006-2010), jumlah anak yang berkonflik dengan hukum yang mengakibatkan mereka
diajukan ke Pengadilan Negeri Makassar mencapai rata-rata 146 orang per tahun.6
Jenis tindak pidana yang dilakukan oleh anak pun semakin beragam, tidak lagi terbatas
pada tindak pidana yang sifatnya ringan seperti pelanggaran lalu lintas, pencurian ringan
dan sebagainya, tetapi mereka sudah berani melakukan tindak pidana yang mengandung
unsur kekerasan seperti: pemerasan, pemerkosaan, penganiayaan, bahkan pembunuhan.
Publik dikejutkan oleh pemberitaan bahwa ternyata di antara anggota sindikat pelaku
penculikan Raisya, terdapat tiga orang siswa sekolah menengah atas SMA) yang masih
termasuk kategori anak.7 Berita tentang penyalahgunaan narkotika dan psikotropika di
kalangan anak kerap kali pula mengisi media massa cetak dan elektronik di tanah air.
Fenomena semakin meningkatnya perilaku menyimpang yang meli-batkan anak
sebagai pelaku tersebut tentu sangat menghawatirkan dan sekaligus mengundang
keprihatinan semua kalangan. Oleh karena dari sudut pandang hukum positif, perilaku
anak tersebut tentu saja mengharuskan mereka terseret ke dalam proses peradilan pidana.
1Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1981), hlm. 38.
2 Paulus Hadisuprapto,JuvenileDelinquency (Pemahaman dan Penanggulangannya). (Bandung: P.T. Citra
Aditya Bakti, 1997), hlm. 82.
3 Pasal 28B (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
4 Pasal 2 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
5 Bagian konsiderans Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
6 Data diperoleh dari Pengadilan Negeri Makassar, Januari 2011.
7 Kompas, 25 Agustus 2007.
224
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
Namun pada sisi lain, penanganan penyimpangan perilaku anak melalui proses peradilan
pidana tanpa memperhatikan aspek perlindungan akan menimbulkan dampak negatif pada
perkembangan mental mereka.
Upaya perlindungan hukum bagi anak dalam sistem peradilan pidana sesungguhnya
didukung oleh instrumen hukum internasional, antara lain yaitu:
1. Resolusi MU-PBB Nomor 44/25 tanggal 20 November 1989 tentang Convention
on The Right of the Child (Konvensi Hak-hak Anak) yang telah diratifikasi oleh
Pemerintah Republik Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990.
2. Resolusi MU-PBB Nomor 40/33 tanggal 29 November 1985 tentang Standard
Minimum Rules for the Adminstration of the Juvenile Justice (Ketentuan Standar
Minimum untuk Pelaksanaan Peradilan Remaja), sering disebut “The Beijing
Rules”.
3. Resolusi MU-PBB Nomor 45/112 tanggal 14 Desember 1990 tentang Guidelines
for the Prevention of Juvenile Delinquency (Pedoman-pedoman untuk Pencegahan
Kanakalan Remaja), sering disebut “The Riyadh Guidelines”.
Salah satu prinsip yang terkandung dalam instrumen-instrumen hukum tersebut
ialah bahwa, pembatasan kebebasan (penangkapan, penahanan, dan pidana penjara) harus
ditempatkan sebagai alternatif terakhir setelah mempertimbangkan alternatif-alternatif lain
yang dimungkinkan oleh aturan-aturan hukum yang ada.
Keberadaan instrumen hukum internasional tersebut, kemudian ditindaklanjuti oleh
pemerintah Indonesia dengan membentuk Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak (selanjutnya disingkat: UUP Anak) yang disahkan dan diundangkan pada
tanggal 3 Januari 1997 dan pemberlakuannya satu tahun setelah diundangkan.
Pasal 67 UUP Anak tersebut secara tegas menyatakan bahwa pada saat mulai berlakunya
undang-undang ini, maka ketentuan yang diatur dalam Pasal-pasal 45, 46, dan 47 KUHP
dinyatakan tidak berlaku lagi. Sebagaimana diketahui bahwa sebelum berlakunya UUP
Anak, pedoman penjatuhan sanksi bagi anak yang melakukan tindak pidana diatur dalam
Pasal-pasal 45,46, dan 47 KUHP tersebut.
RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah yang akan dipecahkan dalam kajian ini adalah:
1. Apakah hakikat peradilan dan pemidanaan anak?
2. Bagaimanakah sistem sanksi bagi anak setelah berlakunya Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak?
3. Bagaimanakah penerapan sistem sanksi bagi anak setelah berlakunya UndangUndang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak di Pengadilan Negeri
Makassar?
METODE PENELITIAN
Kajian mengenai sistem sanksi bagi anak dan implementasinya sebagai upaya
perlindungan hukum bagi anak yang akan dilakukan, mencakup: Pertama, telaah tentang
hakikat peradilan dan pemidanaan anak. Kedua, peninjauan atas ketentuan hukum yang
sedang berlaku (ius konstitutum) atau hukum positif, dalam hal ini Undang-Undang
Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang berkaitan dengan sistem sanksi bagi
anak berdasarkan prinsip kepentingan terbaik bagi anak, yang meliputi: jenis-jenis sanksi
(strafsoort), berat/ringannya sanksi (strafmaat), dan cara menerapkan sanksi (strafmodus).
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
225
Ketiga, tinjauan atas penerapan sistem sanksi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 3
Tahun 19097 Tentang Pengadilan Anak, khususnya memperbandingkan antara penerapan
sanksi pidana dengan sanksi tindakan oleh hakim di Pengadilan Negeri Makassar. Analisis
terhadap ketiga masalah tersebut diharapkan dapat menemukan bahan yang dapat digunakan
untuk merumuskan ketentuan hukum baru/ hukum yang diharapkan (ius konstituendum)
yang berkaitan dengan hak perlindungan anak dalam sistem peradilan pidana.
Untuk menemukan jawaban atas ketiga rumusan masalah, digunakan: a. pendekatan
konseptual (conceptual approach) dengan menelaah pandangan-pandangan dan doktrin
yang berkembang dalam ilmu hukum pidana, b. pendekatan undang-undang (statute
approach) dengan menelaah substansi sistem sanksi bagi anak yang diatur dalam UUP
Anak, dan c. pendekatan kasus (case approach) dengan menelaah kasus-kasus yang telah
diputus oleh pengadilan dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap.8
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hakikat Peradilan dan Pemidanaan Anak
Perlindungan anak dalam proses peradilan pidana, tidak dapat dilepaskan dari hakikat
tujuan atau dasar peradilan pidana anak (juvenile justice). Dengan tujuan dan dasar
pemikiran inilah baru ditentukan apa dan bagaimana hakikat serta wujud perlindungan
hukum yang sepatutnya diberikan pada anak.
Tujuan dan dasar pemikiran peradilan pidana anak, jelas tidak dapat dilepaskan dari
tujuan utama untuk mewujudkan kesejahteraan anak yang pada dasarnya merupakan bagian
dari kesejahteraan sosial. Akan tetapi bukan berarti bahwa kepentingan atau kesejahteraan
anak berada di bawah kepentingan masyarakat. Justru harus dilihat bahwa mendahulukan
atau mengutamakan kesejahteraan atau kepantingan anak itu pada hakikatnya awal dari
usaha mewujudkan kesejahteraan sosial. Kepentingan anak tidak boleh dikorbankan demi
kepentingan masyarakat.9
Pandangan tersebut sangat sejalan dengan pandangan Sudarto yang mengemukakan
bahwa pengadilan anak mengutamakan kesejahteraan anak di samping kesejahteraan
masyarakat. Segala aktivitas yang dilakukan dalam rangka peradilan anak, apakah itu
dilakukan oleh polisi, jaksa, hakim atau kah pejabat-pejabat lainnya, harus didasarkan pada
suatu prinsip, ialah demi kesejahteraan anak. Apakah hakim akan menjatuhkan pidana atau
tindakan harus didasarkan pada kriterium apa yang paling baik untuk kesejahteraan anak
yang bersangkutan.10
Upaya perlindungan anak dalam proses peradilan pidana terwujud untuk pertama
kalinya dengan pembentukan pengadilan anak (Juvenile Court) di Illions, Amerika
Serikat pada Tahun 1899. Menurut Sudarto undang-undang yang mendasari pengadilan
anak yang pertama ini didasarkan pada asas parens patriae, yang berarti bahwa penguasa
harus bertindak apabila anak membutuhkan pertolongan, anak yang melakukan kejahatan
bukannya dipidana melainkan harus dilindungi dan diberi bantuan. Di Inggris dikenal
hak prerogatif raja untuk bertindak sebagai parens patriae, ialah melindungi rakyat yang
memerlukan bantuan, termasuk anak yang membutuhkannya.11
8 Penjelasan lebih lengkap tentang macam-macam pendekatan dalam penelitian hukum terdapat dalam
karangan Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum , (Kencana Prenada Media Group, 2005), hlm. 93139.
9 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1992), hlm. 111.
10 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana. (Bandung: Alumni, 1986), hlm.140.
11 Sudarto, Op. Cit. hlm. 131.
226
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
Dalam pandangan Sudarto, asas parens patriae harus dimaknai bahwa hukum
anak harus bertolak dari hak-hak anak itu sendiri, sehingga peradilan anak harus dapat
mewujudkan hak-hak anak tersebut. Kepada anak harus diberi kesempatan untuk
menyatakan pendapatnya dan pendapat itu harus mandapat perhatian yang wajar. Makna
“demi kepentingan anak” jangan menjadi “demi kepentingan anak menurut pikiran hakim
saja”, akan tetapi benar-benar demi perkembangan pribadi anak itu sendiri dalam arti yang
luas.12
Konvensi Hak-Hak Anak (Resolusi PBB No. 44/25) yang kemudian memperoleh
kekuatan hukum di Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, dan
United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice
(Resolusi PBB 40/33) memuat, antara lain:
1. Anak sebagai generasi penerus bangsa memiliki hak-hak yang harus dilindungi,
baik anak pada umumnya, maupun anak yang bermasalah dalam prilaku sosialnya;
2. Negara melalui aparatnya bertindak sebagai pengganti orang tua bila mana orang
tua atau walinya karena satu dan lain hal tidak bisa memainkan peran sebagai orang
tua yang bertanggung jawab terhadap anak-anaknya (asas parens patriae);
3. Penanganan anak bermasalah (dalam perilaku sosialnya-termasuk dalam bidang
hukum pidana) yang dilakukan melalui penyelenggaraan peradilan pidana
diarahkan untuk tetap berpegang teguh pada prinsip bahwa penyelenggaraan
peradilan pidana merupakan bagian integral dari usaha kesejahteraan anak;
4. Peradilan anak sebagai bagian integral dari usaha kesejahteraan anak harus dapat
memberikan jaminan setiap reaksi terhadap pelaku kenakalan atau kejahatan selalu
diperlakukan secara proporsional sesuai dengan situasi lingkungan pelaku dan
perbuatannya.13
Tujuan dan dasar pemikiran untuk mengutamakan kesejahteraan anak ditegaskan pula
dalam United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice
(Resolusi MU PBB Nomor 40/33) yang menunjuk pada dua sasaran atau tujuan yang
sangat penting yaitu:
1. Memajukan kesejahteraan anak
Sasaran pertama ini merupakan fokus utama dalam sistem hukum yang menangani
pelanggar anak-anak ; khususnya dalam sistem hukum yang menangani model
peradilan pidana yang harus lebih mengutamakan kesejahteraan anak. Prinsip ini
berarti menjunjung prinsip untuk menghindari penggunaan sanksi yang sematamata bersifat menghukum.
2. Prinsip proporsionalitas
Sasaran kedua, yaitu prinsip yang merupakan alat untuk mengekang penggunaan
sanksi yang bersifat menghukum dalam arti membalas semata-mata.
Dari titik tolak pendekatan yang berorientasi pada masalah perlindungan dan
kesejahteraan anak, jelas perlu pendekatan lain atau pendekatan khusus dalam
masalah perlindungan hukum bagi anak dalam proses peradilan pidana.
Anak yang diperlukan adalah:
a. Anak yang melakukan tindak pidana jangan dipandang sebagai penjahat, tetapi
harus dilihat sebagai orang yang memerlukan bantuan, pengertian dan kasih
sayang.
b. Pendekatan yuridis terhadap anak hendaknya lebih mengutamakan pendekatan
12 Ibid. hlm. 141.
13 Paulus Hadisuprapto, Loc.Cit. hlm. 158.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
227
persuasif-edukatif dan pendekatan kejiwaan (psikologis) yang berarti sejauh
mungkin menghindari proses hukum yang semata-mata bersifat menghukum,
yang bersifat degradasi mental dan penurunan semangat, serta menghindari
proses stigmatisasi yang dapat menghambat proses perkembangan, kematangan,
dan kemandirian anak dalam arti yang wajar.14
Sesuai dengan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak bahwa pelayanan dan asuhan diberikan kepada anak yang telah
dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran hukum berdasarkan putusan hakim, maka
perlu diusahakan benar-benar agar anak tidak masuk ke dalam rumah penjara, tetapi
diperiksa dan diputus berdasarkan apa yang paling baik bagi anak yang bersangkutan.
Pengaturan peradilan anak perlu didasarkan pada asas parens patriae yang bermakna:
(1) pemerintah/penguasa harus bertindak apabila anak membutuhkan pertolongan; dan
(2) anak yang melakukan tindak pidana, bukannya dipidana, melainkan ia mendapat
perlindungan dan bantuan.
Komitmen untuk memberikan perlindungan khusus terhadap anak sebagaimana
terurai di atas semakin dipertegas lagi dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia. Terdapat 15 yang secara khusus merinci mengenai
hak-hak anak. Jika dicermati, materi (muatan) ke lima belas pasal mengenai hak anak
dalam Undang-Undang HAM tersebut, pada dasarnya diadopsi dari instrumen-instrumen
hukum internasional tentang perlindungan anak sebagaimana yang telah dikemukakan
sebelumnya. Hal ini berarti bahwa instrumen hukum internasional tentang perlindungan
anak telah diakui dan diterima sebagai sumber pembentukan hukum nasional.
Khusus hal yang berkaitan dengan peradilan pidana anak, Undang-undang HAM
menentukan:
1)Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau
penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
2)Hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan untuk pelaku
tindak pidana yang masih anak.
3)Setiap anak berhak untuk tidak dirampas kemerdekaannya secara melawan hukum.
4)Penangkapan, penahanan, atau pidana penjara bagi anak hanya boleh dilakukan
sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya
terakhir.
5)Setiap anak yang dirampas kebebasanya berhak mendapatkan perlakuan secara
manusiawi dan dengan memperhatikan pengembangan pribadi sesuai dengan
usianya dan harus dipisahkan dengan orag dewasa, kecuali demi kepentingannya.
6)Setiap anak yang dirampas kebebasanya berhak memperoleh bantuan hukum atau
bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku.
7)Setiap anak yang dirampas kebebasanya berhak untuk membela diri dan memperoleh
keadilan di depan Pengadilan Anak yang obyektif dan tidak memihak dalam sidang
yang tertutup untuk umum.15
Berdasarkan beberapa kutipan di atas, jelas dianut suatu prinsip bahwa walaupun
terpaksa seorang anak yang berkonflik dengan hukum harus diberi sanksi, maka sanksi itu
tidaklah harus melupakan pentingnya kesejahteraan anak dan sanksi itu pun harus mampu
memberikan jaminan adanya asas proporsionalitas dalam pemberian perlakuan pada diri
anak. Aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana atas nama pemerintah/negara
seyogyanyalah tetap berpegang teguh pada asas parens patriae dalam menghadapi anak
14 Terkutip dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, Loc.Cit, hlm. 113.
15 Lihat Pasal 66 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
228
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
pelaku kenakalan/kejahatan.
Berkaitan dengan itu pula, Sarwoko, mengemukakan:
“Pemidanaan merupakan serangkaian proses yang terwujud di dalam berbagai
jenis kegiatan serta dilakukan secara terencana. Titik sentralnya diantaranya adalah
untuk mengembalikan sikap mental dan perilaku narapidana anak itu kepada fitrahnya.
Secara sederhana dapat bahwa perilaku dan sikap mental tercela yang mendorong
seseorang sehingga ia melakukan perbuatan tercela itulah yang harus dibersihkan dari
padanya.” 16
Dengan demikian perlu ada kesadaran bahwa dalam menghadapi anak yang melakukan
tindak pidana, yang penting bukanlah apakah anak tersebut dapat dipidana atau tidak,
melainkan tindakan yang bagaimanakah yang harus dilakukan untuk memperbaiki dan
mendidik anak tersebut. Pembatasan kebebasan (penangkapan, penahanan, dan pidana
penjara) harus ditempatkan sebagai upaya (alternatif) terakhir setelah mempertimbangkan
alternatif-alternatif lain yang dimungkinkan oleh aturan hukum yang ada. Pemidanaan
tidak ditujukan untuk penghukuman, tetapi pada perbaikan kondisi, pemeliharaan dan
perlindungan, serta pencegahan pengulangan tindakannya yang bersifat konstruktif.
Sistem Sanksi Bagi Anak Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
Tentang Pengadilan Anak
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa saat ini landasan hukum utama
dalam proses peradilan pidana anak yang berlaku di Indonesia adalah Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang ditetapkan dan diundangkan pada tanggal 3 Januari 1997 (Lembaran Negara Republik Indonesia 1997 Nomor 3). Pasal 68 UUP
Anak tersebut menentukan bahwa undang-undang ini mulai berlaku satu tahun terhitung
sejak tanggal diundangkan, yang berarti bahwa undang-undang ini efektif mulai berlaku
pada tanggal 3 Januari 1998. Patut pula dicatat bahwa pada saat mulai berlakunya UUP
Anak, maka pedoman penjatuhan sanksi bagi anak sebagaimana yang diatur dalam Pasal
45, Pasal 46, dan Pasal 47 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dinyatakan
tidak berlaku lagi.17
Stelsel atau susunan sanksi merupakan salah satu di antara tiga masalah yang pokok
dalam sistem hukum pidana, disamping masalah-masalah pokok yang lain yaitu perumusan tentang perbuatan yang dianggap tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana.
Menurut Muladi, stelsel sanksi konotasinya tidak hanya merupakan sistem phisik
yang bersifat substantif dan struktural, tetapi juga bermakna kultural, yang sarat dengan
pandangan-pandangan, sikap-sikap, nilai-nilai, bahkan falsafah yang secara konsisten harus dihayati oleh seluruh sistem peradilan pidana. Dengan secara dramatis disebut “Value
loaded” dan tidak “value-free”.18
Dalam hukum pidana, klasifikasi pelaku yang didasarkan atas psikologi perkembangan usia pelaku menghasilkan apa yang dinamakan hukum pidana anak, yang mengatur
secara khusus tiga permasalahan pokok dalam hukum pidana, termasuk stelsel sanksi bagi
anak.
Filosofi dasar pemidanaan anak dalam tata hukum Indonesia, dituangkan dalam
penjelasan umum UUP Anak yang antara lain ditegaskan:
“Hubungan antara orang tua dengan anaknya merupakan suatu hubungan yang
16 Termuat dalam Majalah Varia Peradilan, Nomor 84, Tahun VII, September 1992: 126.
17 Lihat Pasal 67 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak
18Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1997), hlm. 151.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
229
hakiki, baik hubungan psikologis maupun mental spritualnya. Mengingat ciri dan sifat anak yang khas tersebut, maka dalam menjatuhkan pidana atau tindakan terhadap
Anak Nakal diusahakan agar anak dimaksud jangan dipisahkan dari orang tuanya.
Apabila karena hubungan antara orang tua dan anaknya kurang baik, atau karena sifat
perbuatannya sangat merugikan masyarakat sehingga perlu memisahkan anak dengan
orang tuanya, hendaklah tetap dipertimbangkan bahwa pemisahan tersebut sematamata demi pertumbuhan dan perkembangan anak secara sehat dan wajar”.19
Sehubungan dengan itu, dalam UUP Anak diatur kebijakan pengaturan sanksi (pengecua lian dari KUHP) untuk memberikan perlakuan khusus bagi anak. UUP Anak menentukan kebijakan penggunaan sistem dua jalur (double track system) dalam stelsel sanksi bagi
anak yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana. Stelsel sanksi dua jalur yang dimaksud adalah: pertama; sanksi pidana (punishment; Inggris, atau straf; Belanda) yang lebih
berorientasi pada perbuatan jahat (bersifat pembalasan) dan, kedua; sanksi tindakan (treatment; Inggris, atau maatregel; Belanda) yang lebih berorientasi pada pembuat atau pelaku
(bersifat perlindungan). Antara sanksi pidana dan sanksi tindakan terdapat hubungan yang
saling mengesampingkan (mengecualikan), artinya jika hakim memilih jalur sanksi pidana,
maka pada saat yang sama jenis sanksi tindakan dikesampingkan. Sebaliknya, jika hakim
memilih jalur sanksi tindakan, maka berarti jalur sanksi pidana dikesampingkan.
Kebijakan pengaturan double track system mengenai sanksi dan bagaimana penerapannya terhadap anak menurut UUP Anak diuraikan sebagai berikut:
Sanksi Pidana
Sanksi pidana yang dapat diterapkan kepada anak meliputi:
Pidana Penjara
Pidana penjara yang dapat dijatuhkan terhadap anak nakal yang melakukan tindak
pidana sesuai Pasal 26 (1) paling lama setengah dari maksimum ancaman pidana
penjara bagi orang dewasa. Dalam hal tindak pidana yang dilakukan diancam dengan
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka bagi anak-anak, ancaman pidana
itu menjadi pidana penjara maksimum 10 (sepuluh) tahun. Dengan ketentuan Pasal 26
ini, maka ancaman pidana terhadap delik, baik yang terdapat di dalam KUHP maupun
yang tersebar diluar KUHP yang pelakunya adalah anak, harus dibaca seperdua dari
maksimum ancaman pidana bagi orang dewasa.
Bagi anak yang belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun dan melakukan tindak
pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sesuai
dengan Pasal 24 (1) huruf a, maka terhadapnya tidak dapat dijatuhkan sanksi pidana.
Tetapi hanya dikenakan tindakan berupa menyerahkannya kepada negara untuk
mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.
Hakim dapat menerapkan pidana bersyarat jika pidana penjara yang dijatuhkan
tidak lebih dari 2 (dua) tahun. Penerapan pidana bersyarat ini sepenuhnya bergantung
pada penilaian hakim. Apabila diputuskan untuk menerapkan pidana bersyarat, maka
ditentukan syarat umum dan syarat khusus. Syarat umum ialah anak tidak akan
melakukan tindak pidana lagi selama menjalani masa pidana bersyarat. Sementara
syarat khusus, misalnya tidak boleh mengemudikan kendaraan bermotor, atau wajib
mengikuti kegiatan-kegiatan yang diprogramkan Balai Pemasyarakatan (Bapas). Jadi
syarat umum tidak mengulangi tindak pidana lagi, sedangkan syarat khususnya adalah
melakukan atau tidak melakukan hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam putusan hakim
dengan tetap mengusahakan kebebasan anak. Jangka waktu pidana bersyarat khusus
19 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak.
230
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
harus lebih singkat dari pada syarat umum dan paling lama 3 (tiga) tahun.
Selama menjalani masa pidana bersyarat, pengawasan terhadap anak dilakukan oleh
jaksa, sementara bimbingan dilakukan oleh pembimbing kemasyarakatan. Tujuannya
adalah agar anak menepati syarat yang telah ditentukan. Anak yang menjalani masa
pidana bersyarat dibimbing di Balai Pemasyarakatan (Bapas) dan berstatus sebagai
klien pemasyarakatan. Selama berstatus sebagai klien pemasyarakatan, anak dapat
mengikuti pendidikan sekolah.
Pidana Kurungan
Pasal 27 UUP Anak menentukan bahwa pidana kurungan yang dapat dijatuhkan
kepada anak menurut Pasal 1 angka 2 huruf a (anak yang melakukan tindak pidana),
paling lama seperdua dari maksimum ancaman pidana kurungan bagi orang dewasa.
Sama halnya dengan sanksi pidana penjara atau denda, sanksi pidana kurungan hanya
dapat diterapkan kepada anak yang terbukti melakukan tindak pidana yang diancam
pidana kurungan.
Pidana Denda
Pidana denda yang dapat diterapkan terhadap anak menurut Pasal 28 (1) adalah
maksimum ½ dari ancaman pidana denda yang diancamkan dalam delik yang
bersangkutan, dan apabila pidana denda ternyata tidak dapat dibayar, maka diganti
dengan wajib latihan kerja (Pasal 28 ayat 2). Ketentuan ini jelas berbeda dengan
ketentuan umum KUHP (Pasal 30 ayat 2) yang menentukan bahwa jika dijatuhkan
hukuman denda, dan denda tidak dibayar, maka diganti dengan hukuman kurungan.
Wajib latihan kerja sebagai pengganti denda dilakukan paling lama 90 (sembilan
puluh) hari kerja dan lama latihan kerja tidak lebih dari 4 (empat) jam sehari dan
tidak dilakukan pada malam hari. Ketentuan ini mengikuti Permenakar Nomor Per.01/
Men/1987 yang menentukan bahwa anak yang terpaksa bekerja tidak boleh bekerja
lebih dari empat jam sehari, dan tidak bekerja pada malam hari. Wajib latihan kerja
dimaksudkan untuk mendidik anak yang bersangkutan agar memiliki keterampilan
yang bermanfaat bagi dirinya.
Pidana Pengawasan
Pidana pengawasan dapat dijatuhkan kepada anak menurut Pasal 1 angka 2 huruf
a paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun. Pidana pengawasan
adalah pidana khusus yang dikenakan kepada anak, yakni pengawasan yang dilakukan
oleh jaksa terhadap perilaku anak dalam kehidupan sehari-hari di rumah anak tersebut,
dan pemberian bimbingan oleh pembimbing kemasyarakatan.
Adapun sanksi pidana tambahan yang dapat diterapkan terhadap anak nakal dapat
berupa perampasan barang-barang tertentu dan/atau pembayaran ganti rugi. Hal yang perlu
mandapat sorotan dalam kaitan dengan pemberlakuan ancaman pidana penjara, dan pidana
denda terhadap anak adalah dikembangkannya apa yang dinamakan ancaman pidana
minimum khusus bagi delik-delik tertentu diluar KUHP seperti UU Narkotika/Psiikotropika.
Apakah ketentuan ancaman pidana minimum khusus tersebut secara otomatis berlaku pula
terhadap anak? Tidak ada penjelasan. Oleh karena sekali pun ancaman pidana minimum
khusus itu dikali dengan ½, rasanya masih terlalu berat untuk diterapkan terhadap seorang
anak. Apalagi jika ditinjau dari prinsip bahwa pidana (khususnya pidana penjara) sedapat
mungkin dijadikan alternatif terakhir. Terlebih lagi jika ancaman pidana minimum khusus
itu merupakan kumulasi antara dua jenis pidana pokok yaitu pidana penjara dan denda di
dalam UU Narkotika/Psikotropika.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
231
Sedangkan jenis pidana pengawasan yang ditempatkan sebagai masuk kategori pidana
pokok, tampaknya jenis pidana ini tidak akan pernah dapat diterapkan. Oleh karena tidak
ada penjelasan dalam hal apa jenis pidana pengawasan dapat diterapakan. Sejauh ini belum
pernah ada rumusan delik (tindak pidana) yang diancam dengan pidana pengawasan. Saya
cenderung berpendapat bahwa jenis pidana pengawasan ini lebih tepat ditempatkan sebagai
salah satu alternatif sanksi tindakan dari pada menempatkannya sebagai salah satu jenis
sanksi pidana.
Sanksi Tindakan
Adapun tindakan yang dapat diterapkan kepada anak nakal (Pasal 24) adalah:
Mengembalikan kepada Orang Tua/Wali/Orang Tua Asuh
Hal ini dapat dilakukan apabila menurut penilaian hakim, anak tersebut masih
dapat dibina di lingkungan keluarga orang tua/wali/atau orang tua asuhnya. Namun
demikian anak tersebut tetap mendapat pengawasan dan bimbingan pembimbing
kemasyarakatan antara lain untuk mengikuti kegiatan-kegiatan yang bermanfaat bagi
dirinya (kepramukaan dan lain-lain).
Menyerahkan kepada Negara
Tindakan ini dilakukan apabila menurut penilaian hakim, pendidikan dan
pembinaan anak tersebut tidak dapat lagi dilakukan di lingkungan keluarganya (Pasal
24 ayat 1 huruf b). Jika anak diserahkan kepada negara, maka ia disebut sebagai anak
negara. Anak negara ditempatkan di Lembaga Permasyarakatan Anak dan wajib
mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja. Tujuannya untuk memberi bekal
keterampilan kepada anak, misalnya keterampilan pertukangan, perbengkelan, tata
rias, dan sebagainya, agar anak tersebut setelah selesai menjalani masa tindakan dapat
hidup mandiri.
Anak yang oleh hakim diputus dan diserahkan kepada negara (Pasal 31)
ditempatkan di Lembaga Permasyarakatan Anak sebagai anak negara. Pembinaannya
menjadi tanggung jawab Lembaga Permasyarakatan. Untuk itu, Kepala Lembaga
Permasyarakatan Anak dapat mengajukan izin kepada Menteri Kehakiman R.I., agar
anak negara tersebut ditempatkan di Lembaga Permasyarakatan yang diselenggarakan
oleh pemerintah atau swasta. Maksudnya adalah untuk kepentingan dan masa depan,
atau dalam hal kepentingan anak menghendaki, anak itu dapat diserahkan kepada Panti
Sosial Pemerintah atau Swasta, atau Orang Tua Asuh (OTA) yang memenuhi syarat.
Apabila hakim menetapkan anak harus mengikuti pendidikan, pembiaan, dan
latihan kerja (Pasal 32), maka hakim dalam penetapannya menentukan lembaga tempat
pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja itu dilaksanakan.
Menyerahkan kepada Departemen Sosial atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan
yang Bergerak di Bidang Pendidikan, Pembinaan, dan Latihan Kerja
Walaupun pada prinsipnya pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja itu
diselenggarakan oleh pemerintah di Lembaga Permasyarakatan Anak atau oleh
pemerintah di Lembaga Permasyarakatan Anak atau oleh Departemen Sosial, tetapi
jika kepentingan anak menghendaki, maka hakim dapat menetapkan anak tersebut
diserahkan kepada organisasi sosial kemasyarakatan seperti pesantren, panti asuhan
sosial, dan lembaga sosial lainnya (Pasal 24 ayat 1 huruf c). Anak yang diserahkan
kepada organisasi sosial kemasyarakatan, harus diperhatikan agama anak yang
bersangkutan.
Sanksi tindakan yang diterapkan oleh hakim kepada anak dapat disertai dengan
232
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
teguran dan syarat tambahan yang ditetapkan oleh hakim (Pasal 24 ayat 2). Teguran
itu berupa peringatan dari hakim, baik secara langsung kepada anak yang dijatuhi
tindakan, maupun secara tidak langsung melalui orang tua, wali, atau orang tua
asuhnya, agar anak tersebut tidak mengulangi perbuatan yang mengakibatkan ia
dijatuhi tindakan. Adapun syarat tambahan misalnya kewajiban untuk melapor secara
periodik kepada pembimbing kemasyarakatan.
Dalam menentukan jenis sanksi pidana atau sanksi tindakan yang akan dijatuhkan,
hakim memperhatikan berat/ringannya tindak pidana atau kenakalan yang dilakukan
oleh anak yang bersangkutan. Di samping itu, hakim juga wajib memperhatikan
keadaan anak, keadaan rumah tangga orang tua, wali, atau orang tua asuh, hubungan
antara anggota keluarga, dan keadaan lingkungannya. Demikian pula, hakim wajib
memperhatikan laporan pembimbing kemasyarakatan.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa kepada anak yang terbukti
melakukan tindak pidana dapat diterapkan dua alternatif pilihan yaitu pidana atau
tindakan (Pasal 22). Namun seperti juga dengan Pasal 45 KUHP, UUP Anak tidak
secara tegas menentukan bahwa, hakim harus memprioritaskan sanksi tindakan untuk
diterapkan kepada anak dari pada sanksi pidana. Pilihan (alternatif) antara sanksi pidana
atau tindakan bersifat pilihan terbuka, sehingga hakim dalam memutuskan perkara anak
nakal bebas menggunakan kewenangannya untuk lebih menjatuhkan sanksi pidana
daripada menjatuhkan sanksi tindakan. Seharusnya UUP Anak memiliki ketentuan yang
menegaskan bahwa hakim harus terlebih dahulu mempertimbangkan untuk menjatuhkan
sanksi tindakan dari pada sanksi pidana, paling tidak, UUP Anak mengharuskan hakim
dalam pertimbangan putusannya untuk merumuskan secara eksplisit alasan mengapa ia
memilih untuk menjatuhkan jenis pidana atau jenis tindakan tertentu. Hal ini sejalan pula
dengan prinsip bahwa pemidanaan bagi anak adalah alternatif terakhir (the last resort)
dan dengan mempertimbangkan sebesar-besarnya kepentingan terbaik bagi anak (the best
interest of the child).
Penerapan Sanksi bagi Anak Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997 Tentang Pengadilan Anak di Pengadilan Negeri Makassar
Gambaran tentang perkara pidana anak dan penerapan sistem sanksi bagi anak setelah
berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, di Pengadilan Negeri Makassar
disajikan dalam sejumlah tabel berikut:
Tabel 1
Data Perkara Pidana Anak/ Putusan Pengadilan Negeri Makassar
dari Tahun 2005 – 2010
No.
Tahun
1
2
3
4
5
6
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Jumlah
Jumlah
Putusan
Anak
44
80
113
102
195
150
47
83
125
115
235
176
674
781
Sumber: Pengadilan Negeri Makassar
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
233
Tampak peningkatan perkara pidana anak dari tahun ke tahun. Peningkatan sangat
drastis terjadi pada tahun 2009. Fenomena ini diperkirakan terjadi karena pada tahun 2009
adalah tahun pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilu presiden dimana pada satu sisi
terjadi peningkatan aktivitas sosial politik masyarakat berupa pengerahan massa (termasuk
anak) dalam pelaksanaan kampanye secara terbuka yang memungkinkan terjadinya
gesekan antar pendukung partai politik/calon legislatif yang berwujud tindak pidana, dan
pada sisi lain aparat kepolisian aktif melakukan/meningkatkan rasia dalam menciptakan
kondisi keamanan/ketertiban dalam masyarakat untuk mengamankan pelaksanaan pemilu
sebagai agenda nasional.
Tabel 2
Distribusi Anak Pelaku Delik Berdasarkan Jenis Pekerjaan
No. Urut
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Jenis Pekerjaan
Tidak ada
Buruh
Pelajar/Siswa
Swasta/jualan
Tukang Ojek/Becak/Knek
Tukang Parkir
Pemulung
Cleaning Service
Penjaga Toko
Penyanyi
Baby Sitter
Jumlah
Frekuensi
Persentase
230
29,449
213
27,272
168
21,510
103
13,188
29
3,713
21
2,688
9
1,152
6
0,768
5
0,648
4
0,512
3
0,384
781
100
Sumber: Pengadilan Negeri Makassar (setelah diolah)
Berdasarkan tabel tersebut, anak pelaku delik berasal dari kelompok dengan berbagai
latar belakang pekerjaan: paling dominan adalah anak yang tidak memiliki pekerjaan,
selanjutnya,buruh harian, pelajar/siswa, swasta, dan tukang becak/ojek/knek. Hal yang
memprihatinkan ialah bahwa ternyata kelompok pelajar/siswa menempati urutan ke tiga
dengan persentase 21,51 %, keadaan tersebut tentu dapat berakibat negatif pada status
mereka sebagai siswa/pelajar.
Tabel 3
Banyaknya Anak yang Divonis Bersalah dan Dikenakan Sanksi Berdasarkan Jenis Delik/Tahun di
Pengadilan Negeri Makassar dari Tahun 2005-2010
234
No.
Jenis Delik
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
Pencurian (biasa, pemberatan, kekerasan)
Perjudian
Penyalahgunaan narkotika/psikotropika
Kekerasan thd. orang/barang
Membawa/memiliki senjata tajam
Krn. slh. akbtkn. org. lain mati/luka berat
Penganiayaan
Pemalsuan tanda tera
Pemerasan
Tutut campur dlm perkelahian
Kekerasan thd. anak
Penadahan
Percabulan/pemerkosaan anak
Pemaksaan/pngncman thd. org. lain
Penipuan
Penggelapan
2005
18
8
7
6
2
3
2
1
-
2006
55
13
6
3
1
3
1
1
-
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
Tahun
2007 2008
81
80
3
7
7
12
6
2
7
6
3
4
2
2
4
3
2
1
2
2
-
2009
123
25
7
16
6
11
8
21
3
9
1
2010
113
9
27
3
3
3
1
6
3
2
1
-
Jum
470
36
50
73
14
27
25
1
2
1
33
8
18
4
2
3
17
18
19
20
21
KDRT
Melarikan perempuan
Pembunuhan
Pemerkosaan
Penghinaan
Jumlah
47
83
1
125
3
115
1
1
2
1
235
1
2
4
176
3
4
4
1
4
781
Sumber: Pengadilan Negeri Makassar (setelah diolah)
Keterangan:
Data jenis delik pada tabel 3 hanya yang berkualifikasi kejahatan (tidak termasuk pelanggaran seperti
pelanggaran lalu lintas yang juga banyak melibatkan anak).
Tabel ini menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan jenis delik (kejahatan)
yang melibatkan anak dari tahun ke tahun. Pada Tahun 2005 ada 8 jenis delik, Tahun 2006
ada 8 jenis delik, Tahun 2007 menjadi 12, Tahun 2008 ada 10 jenis, Tahun 2009 ada 15
jenis, dan Tahun 2010 12 jenis delik.
Tabel 4
Data Delik yang Dilakukan oleh Anak Diurut
Berdasarkan Frekuensi Pelakunya dari Tahun 2005 - 2010
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
Jenis Delik
Pencurian (biasa, pemberatan, kekerasan)
Kekerasan terhadap orang/barang
Penyalahgunaan narkotika/psikotropika
Perjudian
Kekerasan terhadap anak
Krn. kslhn. akbtkn. org. lain mati/luka brt.
Penganiayaan
Percabulan/pemerkosaan anak
Membawa/memiliki senjata tajam
Penadahan
Pemaksaan/pengancaman orang lain
Pembunuhan
Melarikan perempuan
Kekerasan dalam rumah tangga
Penggelapan
Penghinaan
Penipuan
Pemerasan
Pemerkosaan
Pemalsuan tanda tera
Turut campur dalam perkelahian
Jumlah
Frekuensi
Persentase (%)
470
60,179
73
9,346
50
6,402
36
4,409
33
4,225
27
3,457
25
3,201
18
2,304
14
1,792
8
1,024
4
0,512
4
0,512
4
0,512
3
0,384
3
0,384
3
0,384
2
0,256
2
0,256
1
0,128
1
0,128
1
0,128
781
100
Sumber: Pengadilan Negeri Makassar (setelah diolah)
Jenis kejahatan yang paling menonjol/sering dilakukan oleh anak ternyata adalah
kejahatan pencurian (60,179%), disusul kejahatan kekerasan terhadap orang/barang
(9,346%), penyalahgunaan narkotika/psikotropika (6,42%), perjudian (4,409%), kekerasan
terhadap anak (4,225%), kemudian kejahatan karena kesalahan mengakibatkan orang lain
mati atau luka (3,457%), penganiayaan (3,201%), percabulan dan pemerkosaan anak
(2,304%), membawa/memiliki senjata tajam (1,792%), penadahan (1,024%). Selanjutnya,
jenis kejahatan pengancaman/pengancaman orang, pembunuhan, melarikan perempuan,
kekerasan dalam rumah tangga, penggelapan, pemerasan, penipuan, penghinaan,
pemerkosaan, pemalsuan tanda tera, dan turut campur dalam perkelahian, masing-masing
dengan persentase kurang dari 1%.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
235
Tabel 5
Pendampingan Penasihat Hukum dalam Proses Peradilan Anak
di Pengadilan Negeri Makassar
No. Urut
1
2
Jumlah Perkara
Frekuensi
Persentase
6
29
35
17,14
82,16
100
Dengan Penasihat Hukum
Tanpa Penasihat Hukum
Jumlah
Sumber: Diolah dari 35 Putusan PN Makassar
Peradilan anak sangat mengabaikan hak anak untuk didampingi penasihat hukum.
Padahal Negara wajib menyediakan penasihat hukum bagi setiap anak yang berkonflik
dengan hukum, terlepas dari apakah anak yang bersangkutan berkeinginan menggunakan
haknya untuk didampingi penasihat hukum atau tidak.
Data khusus tentang penerapan sanksi bagi anak dalam enam tahun terakhir di
Pengadilan Negeri Makassar tersaji dalam tabel berikut:
Tabel 6
Jenis Sanksi yang Dijatuhkan kepada Anak berdasarkan Kelompok Usia
dari Tahun 2005 - 2010
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
Jenis Sanksi
Dikembalikan ke Orang Tua
Dijadikan Anak Negara
Diserahkan ke Depsos/Ormas
Penjara
Kurungan
Denda
Pengawasan
Penjara+ Denda
Jumlah
Kelompok Usia
8 Th > 12 Th
7
3
10
12 Th > 18 Th
15
3
7
687
59
722
n
f
22
3
7
690
59
781
%
2,816
0,384
0,896
88,348
7,554
100
Sumber: Pengadilan Negeri Makassar (setelah diolah)
Tabel ini menunjukkan bahwa hakim dalam menjatuhkan sanksi kepada anak masih
menjadikan sanksi pidana penjara sebagai “primadona” (lebih dari 95%), sedangkan sanksi
tindakan hanya sekitar 4%. Implementasi prinsip dasar bahwa penggunaan sanksi pidana
penjara kepada anak sebagai the last resort benar-benar masih jauh dari harapan. Tidak/
belum ada perbedaan sikap hakim yang signifikan dalam penjatuhan sanksi bagi anak
sebelum dan setelah berlakunya UUP Anak.
Bahkan terjadi pelanggaran/ kesalahan penerapan hukum dimana 3 orang anak yang
belum berumur 12 tahun dijatuhi sanksi pidana penjara. Padahal menurut ketentuan Pasal
26 ayat (3) dan ayat (4) UUP Anak, mereka hanya dapat dijatuhi tindakan. Kesalahan lain
adalah ketika hakim menjatuhkann sanksi denda, maka hakim mensubsiderkan dengan
sanksi pidana kurungan, padahal Pasal 28 ayat (2) UUP Anak dengan tegas menentukan
bahwa apabila ternyata denda tidak dapat dibayar oleh anak, maka diganti dengan wajib
latihan kerja.
236
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
PENUTUP
Kesimpulan
1. Hakikat peradilan anak adalah untuk mewujudkan kesejahteraan anak yang pada
dasarnya merupakan bagian dari kesejahteraan sosial. Pemidanaan anak tidak ditujukan
untuk penghukuman, tetapi pada perbaikan kondisi, pemeliharaan dan perlindungan,
serta pencegahan pengulangan tindakannya yang bersifat konstruktif.
2. Walaupun stelsel sistem sanksi yang diatur dalam UUP Anak menggunakan double
track system (sanksi pidana atau sanksi tindakan), namun stelsel ini pada dasarnya tidak
berbeda dengan stelsel sanksi yang diatur dalam Pasal 45 KUHP yang sudah dicabut,
karena tidak ada penegasan bahwa hakim harus lebih mengutamakan menerapkan
jenis sanksi tindakan dari pada jenis sanksi pidana.
3. Penerapan sanksi terhadap anak di Pengadilan Negeri Makassar masih jauh dari prinsip
perlindungan anak yaitu sanksi pidana sebagai the last resort. Hakim masih lebih
dominan menerapkan sanksi pidana (penjara) dibandingkan dengan sanksi tindakan.
Bahkan hakim secara jelas melanggar ketentuan penerapan sanksi yang diatur dalam
UUP Anak dengan menerapkan sanksi pidana penjara kepada tiga orang anak yang
berumur belum mencapai 12 tahun, padahal anak yang belum berusia 12 tahun hanya
dapat dikenakan sanksi tindakan.
Saran
1. Perlu segera dilakukan amandemen atas substansi Undang-Undang Pengadilan
Anak, khususnya stelsel sanksi yang belum sejalan dengan tujuan peradilan anak dan
berpotensi menimbulkan masalah dalam penerapannya, yang pada akhirnya berdampak
merugikan kepentingan anak dalam sistem peradilan pidana.
2. Dalam memeriksa dan memutus perkara pidana anak, hakim hendaknya benarbenar mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak. Penjatuhan sanksi bagi
anak seharusnya didasarkan pada prinsip kebutuhan anak secara individual. Hasil
Penelitian Kemasyarakatan seharusnya benar-benar didayagunakan sebagai bagian
dari pertimbangan hakim dalam memutus perkara pidana anak.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
237
DAFTAR PUSTAKA
Arief, Barda Nawawi. 1998. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan
Hukum Pidana. Bandung: P.T. Citra Aditya Bakti.
_________________ . 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: P.T.
Citra Aditya Pratama.
_________________ . 2007. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana
dalam Menanggulangi Kejahatan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
_________________ . 2008. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru. Jakarta.
Ariyanto. 2006. Implementasi Double Track System dalam Pemidanaan Menurut Undangundang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. Tesis pada Program
Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
Atmasasmita, Romli. 2010. Sistem Peradilan Pidana Kontemporer. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
Atmasasmita, R. dkk. (Penyunting). 1997. Peradilan Anak di Indonesia. Bandung: C.V.
Mandar Maju.
Bemmelen, J.M. van. 1986. Hukum Pidana 2 (Hukum Penitensier). Bandung: Binacipta.
Departemen Hukum dan HAM R.I,.2004 Konsep Rancangan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana.
Gosita, Arief. 1985. Masalah Perlindungan Anak. Jakarta: Akademika Pressindo.
Hadisuprapto, Paulus. 1997. Juvenile Delinquency (Pemahaman dan Penanggulangannya).
Bandung: P.T. Citra Aditya Bakti.
Koeswaji, Hermin Hediati. 1995. Perkembangan Macam-Macam Pidana Dalam Rangka
Pembangunan Hukum Pidana. Bandung: P.T. Citra Aditya Bakti.
Marlina, 2009. Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Pengembangan Konsep Diversi dan
Restorative Justice. Bandung: P.T. Refika Aditama.
Marzuki, Peter Mahmud. 2006. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana.
Muladi. 1997. Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan
Penerbit Universitas Diponegoro.
_____. 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro.
_____. (Editor). 2005. Hak Asasi Manusia. Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam
Perspektif Hukum dan Masyarakat. Bandung; Refika Aditama.
Muladi, Barda Nawawi Arief. 1992. Teori-teori dan Kebijakan Pidana. Bandung; Alumni.
_____. 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana. Bandung: Alumni.
Purnianti, Supatmi, M.S., Tinduk, N.M.M. Tanpa Tahun. Analisa Situasi Sistem Peradilan
Pidana Anak (Juvenile Justice System) di Indonesia. Unicef
238
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
Sudarto. 1981. Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni.
----------. 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: Alumni.
United Nation Chidren Fund (UNICEF). Convention on the Right of the Child.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
239
240
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
IMPLEMENTASI ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM
PENGAKUAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN
ARBITRASE INTERNASIONAL DI INDONESIA
Tuan Afero Harahap
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
IMPLEMENTASI ASAS KETERTIBAN UMUM
DALAM PENGAKUAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN
ARBITRASE INTERNASIONAL DI INDONESIA
Oleh: Tuan Afero Harahap
Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo
Jln. Budi Utomo No. 58, Gorontalo
E-mail: [email protected]
Abstract
The research result indicates that enforcement of public order principle on recognition
dan execution of foreign arbitration award in Indonesia has been in legal complicated.
Basing on enforcement of the principle in the domestic Tribunal factor, the Court seems
recognition the principle. But, the legal base of the recognition has no the certain and firm
standard formulation according to legal order of domestic law as a precedent. In addition,
the principle was not executed in every hearing firmly because of no firm definition of the
term in statutes and judges professionalism factor. So, the the Judges tends to interpret the
term according to their willing only by means of interpreting the term basing on domestic
interest. Besides that, remedy on refusing recognition foreign arbitration award has been
regulated in Indonesia. The domestic Tribunal, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, has
authority to hearing the cases basing on the statutes. Moreover, the legal impact of the
remedy is same as the other cases basing on the statutes without foreign and domestic
interest judgments.
Keywords: The principle of Public Order, International Arbitration Award
Abstrak
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penegakan prinsip ketertiban umum pada
pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia secara hukum sangatlah kompleks.
Berdasar pada faktor prinsip penegakan Pengadilan Negeri, Pengadilan tampaknya
mengakui prinsip pengakuan. Tapi, dasar hukum pengakuan tidak memiliki perumusan
standar tertentu dan tegas sesuai dengan aturan hukum hukum domestik sebagai
preseden. Sebagai tambahan, prinsip itu tidak dieksekusi di setiap pemeriksaan dengan
tegas karena tidak ada definisi yang tegas terhadap istilah itu dalam undang-undang dan
faktor profesionalisme hakim. Jadi, hakim cenderung mengartikan istilah menurut mereka
sendiri dan hanya bersedia menafsirkan berdasarkan pada kepentingan domestik saja.
Selain penolakan akan pengakuan arbitrase asing telah diatur di Indonesia. Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat, memiliki otoritas untuk memeriksa kasus-kasus berdasarkan
undang-undang.
Kata Kunci: Asas Ketertiban Umum, Putusan Arbitrase Internasional
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
PENDAHULUAN
Eksistensi arbitrase di Indonesia memiliki sejarah yang cukup panjang, yang mana
telah dikenal dalam peraturan perundang-undangan sejak berlakunya hukum acara perdata
Belanda, yaitu sejak diberlakukannya Reglement op de Burgerlijke Rechvordeering (Rv).
Namun seiring dengan masuknya kaum kapitalis ke Indonesia dan adanya perkembangan
dunia usaha dan lalulintas di bidang perdaganganbaik nasional maupun Internasional serta
perkembangan hukum pada umumnya, maka peraturan dalam Rv yang dipakai sebagai
pedoman arbitrase tidak sesuai lagi. Perubahan mendasar itu kemudian diwujudkan dalam
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa. Dengan harapan walaupun kesannya klausula arbitrase ini adalah pesanaan dari
pada investor di Indonesia, setidaknya para pengusaha ataupun praktisi hukum di Indonesia
lebih mendapatkan perlindungan hukum dengan adanya undang-undang ini.
Secara teoritis ada beberapa dasar pertimbangan mengapa para pihak memilih
penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Erman Rajaguguk,1 mengutip pendapat beberapa
pakar menulis bahwa sebagian besar pengusaha lebih suka menyelesaikan sengketa yang
timbul di antara mereka melalui arbitrase di luar negeri dari pada pengadilan di Indonesia
disebabkan beberapa alas an. Seperti pengusaha asing lebih suka menyelesaikan sengketa
melalui arbitrase di luar negeri karena menganggap sistem hukum dan pengadilan setempat
masih asing bagi mereka. Demikian juga dengan alasan bahwa hakim negara berkembang
tidak menguasai sengketa-sengketa dagang yang melibatkan hubungan-hubungan baik
dan keuangan Internasional yang rumit, dan anggapan para pengusaha asing, bahwa
penyelesaian sengketa melalui pengadilan khususnya di Indonesia, akan memakan waktu
yang lama dengan biaya besar karena proses pengadilan akan memakan waktu yang panjang
dari tingkat pertama sampai di tingkat Mahkamah Agung. Alasan lainnya, yaitu pengadilan
akan bersikap subjektif kepada mereka disebabkan sengketa diperiksa dan diadili bukan
berdasarkan hukum mereka dan hakim yang bukan dari negara mereka.
Tidak dapat dipungkiri, arbitrase merupakan salah satu cara yang lebih efektif untuk
menyelesaikan sengketa dibandingkan proses peradilan. Hal ini dikarenakan berbagai
alasan, diantaranya adalah proses arbitrase dinilai cepat, fleksibel, para pihak dapat memilih
arbitrasenya sendiri, dan yang terpenting adalah prinsip kerahasiaan yang dimilikinya.
Namun dalam melaksanakan prosesnya, arbitrase memiliki hambatan-hambatan tertentu
hambatan-hambatan ini tidak hanya dari pihak yang bersengketa itu sendiri tetapi juga
kadangkala berasal dari sistem hukum negara tempat arbitrase itu dilaksanakan, misalnya
adanya intervensi pengadilan atas suatu kasus karena perjanjian yang dibuat tidak sah, atau
juga sengketa yang diajukan ke arbitrase tersebut tidak arbitrabel.2
Berdasarkan kasus,3 yang pernah dihadapi oleh pemerintah atau pihak Indonesia
dengan pihak asing, seringkali diajukan upaya pembatalan putusan arbitrase. Di sisi lain,
hal ini mengakibatkan citra Indonesia menjadi cacat di mata dunia, disebabkan pengadilan
begitu mudah untuk turut campur dalam proses arbitrase, sehingga pembatalan putusan
arbitrase seharusnya memang diberi batasan yang jelas, kapan dapat dimintakan pembatalan
terhadap putusan lembaga ini.
Dalam berbagai literatur hukum internasional dan hukum bisnis internasional, memang
terdapat suatu hubungan yang erat antara arbitrase dan pengadilan nasional suatu Negara.4
1 Erman Rajaguguk, Arbitrase dalam Putusan Pengadilan, (Jakarta: Chandra Pratama, 2001), hlm. 5.
2 Arbitrabel artinya sengketa yang diajukan ke arbitrase adalah memang sengketa yang bisa diajukan kepada- nya. Umumnya sengketa bisnis. Joni Emirson, Arbitrase Dagang Internasional, hlm. 25.
3 Kasus tersebut antara lain: Bankers Trust Company dan Bankers Trust Intern melawan PT. Jakarta Internasional Hotel; Pertamina melawan Karaha Bodas Company (KBC).
4 Alan Redfen dan Martin Hunter, Law and Prectice of Internasional Comercial Arbitration, (London:
244
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
Salah satu contohnya adalah suatu putusan arbitrase yang tidak mau dipatuhi oleh pihak
yang kalah, dapat dimintakan eksekusinya ke pengadilan nasional negara di mana objek
kontrak bisnis tersebut berada.
Keputusan arbitrase internasional pada prinsipnya sudah dapat dieksekusi di
Indonesia setela diterbitkannya Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1991 tentang
PengesahanConvention On The Recognation and Enforcement of Foreign Arbital Award,
yang dikenal dengan New York Convention 1958.5 Akan tetapi, salah satu masalah yang
sering timbul,adalah pengakuan dan pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase internasional.6
Tentunya tidak semua putusan arbitrase internasional dapat dieksekusi di suatu negara.
Selain itu, cara dan prosedur untuk eksekusi putusan arbitrase internasional juga bervariasi
dari satu negara dengan negara lainnya.
Kenyataan yang pernah terjadi di Indonesia, adalah walaupun pada awalnya para pihak
telah sepakat untuk menyerahkan kasusnya ke arbitrase akan tetapi dalam prakteknya masih
saja para pihak yang merasa dirugikan berusaha untuk kembali menyerahkan kasus mereka
ke pengadilan nasional Indonesia, atau seandainya telah ada putusan dari badan arbitrase
ini, para pihak mencoba untuk mencari cara agar putusan ini tidak dapat dilaksanakan.7
Alasan yang digunakan bermacam-macam, misalnya karena putusan arbitrase internasional
tersebut bertentangan dengan ketertiban umum.
Persoalan di atas dapat dilihat dalam kasus Bankers Trust Company dan Bankers
Trust International PLC (BT) melawan PT Mayora Indah Tbk. (Mayora). Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan menerima gugatan Mayora dan menjatuhkan putusan No.46/
Pdt.G/1999 tanggal 9 Desember 1999, yang memenangkan Mayora. Ketua Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat dalam Putusan Nomor 001 dan 002/Pdt/Arb.Int/1999/PN.JKT.PST
juncto 02/Pdt.P/2000/PNJKT.PST, tanggal 3 Februari 2000, menolak permohonan BT
bagi pelaksanaan putusan Arbitrase London, dengan alasan pelanggaran ketertiban umum.
Pelanggaran ketertiban umum yang dimaksud, adalah bahwa perkara tersebut masih dalam
proses peradilan dan belum memiliki kekuatan hukum tetap. Penolakan PN Jakarta Pusat
tersebut dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Agung No.02 K/Exr/Arb.Int/Pdt/2000, tanggal
5 September 2000.8
RUMUSAN MASALAH
Mengacu kepada latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan yaitu:
1. Bagaimanakah pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia?
2. Akibat hukum atas upaya keberatan atas penolakan pengakuan dan pelaksanaan
putusan arbitrase internasional di Indonesia?
Studehopshon Sweet and Maxweel, 2003), hlm. 341.
5 Dengan diratifikasinya Konvensi New York ini, di mata internasional telah menunjukkan itikad baik
Pemerintah Indonesia untuk mendukung proses arbitrase di negara ini dan juga mau melaksanakan putusan arbitrase Internasional di wilayah juridiksinya.
6 Dalam proses penyelesaian sengketa pada arbitrase internasional, sebagaimana lazim dikenal dalam lembaga peradilan, pemeriksaan sengketa akan berujung pada sebuah putusan (“Putusan arbitrase Internasional atau Inernasional Arbitration Award”). Setelah putusan dibuat dan diucapkan, pihak yang dikalahkan, apabila tidak puas, paling tidak akan mengajukan upaya hukum terhadap putusan tersebut.
7 Contoh kasus yang menolak pelaksanaan putusan arbitrase adalah, misalnya Kasus Kraha Bodas Company V. Pertamina yang ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kasus indo Pasific Resource JAVA
limited (Indo Pasific) yang mengajukan pembatalan putusan BANI ke PN Jakarta Selatan.
Lihat http://www.hukumonline.com . pada artikel PN Jaksel Tolak permohonan Pembatalan Putusan Arbitrase.
8 Gatot Soemartono, Arbitrase & Mediasi di Indonesia. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006),
hlm.73.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
245
METODE PENELITIAN
Bentuk dan Pendekatan
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan yang ingin dicapai dalam peneletian, maka
penelitian ini berbentuk penelitian hukum normatif. Pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini, yaitu pendekatan perundang-undangan (statue approach). Pengertian
pendekatan perundang-undangan sendiri, adalah pendekatan dengan menggunakan legislasi
dan regulasi. Dalam pendekatan perundang-undangan, fokus penelitian tidak hanya melihat
kepada bentuk peraturan perundang-undangan saja, melainkan juga menelaah materi
muatannya, untuk mencari landasan filsufis, dasar ontologis, serta ratio legis lahirnya
peraturan perundang-undangan. Dalam konteks ini, ketentuan-ketentuan yang akan
dilihat dan dikaji, antara lain Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 tentang
Pengesahan Atas Konvensi Tentang Penyelesaian Perselisihan Antarnegara dan Warga
Negara Asing Mengenai Penanaman Modal, Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981
tentang Pengesahan Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral
Award, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Eksekusi Putusan Arbitrase Asing, serta beberapa ketentuan lainnya berkenaan dengan
bidang alternatif penyelesaian sengketa arbitrase.
Selain pendekatan perundang-undangan, penulis juga menggunakan pendekatan
konseptual (conceptual approach). Adapun yang dimaksud pendekatan konseptual,
adalah pendekatan yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang
berkembang dalam ilmu hukum khususnya di bidang alternatif penyelesaian sengketa
arbitrase. Pandangan-pandangan, doktrin-doktrin yang akan digunakan dalam penelitian
ini, memiliki keterkaitan erat dengan eksistensi asas bertentangan dengan kepentingan
umum dalam penolakan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional dan
upaya hukum yang ditempuh oleh pihak yang dirugikan oleh putusan pegadilan yang
menolak pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional.
Untuk memperkuat pengkajian dalam penelitian, pendekatan kasus (Case Approach)
juga digunakan untuk mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang
dilakukan dalam praktik hukum. Kasus ini digunakan untuk memperoleh gambaran praktis
terhadap penerapan suatu kaidah atau norma hukum khususnya yang dilakukan oleh
institusi pengadilan.
Bahan Hukum
Berdasarkan pendekatan dalam peneletian ini, data diperoleh dari bahan hukum primer,
yaitu bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya bahan hukum yang bersifat otoritas.
Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah
dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim berkenaan dengan
objek penelitian. Selain itu, data juga diperoleh dari bahan hukum sekunder, yaitu semua
publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi
tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum
dan komentar-komentar atas putusan pengadilan. Setelah bahan-bahan hukum berhasil
dikumpulkan, kemudian dilakukan penyusunan secara sistematis terhadap bahan-bahan
tersebut, selanjutnya mengidentifikasi bahan hukum sesuai dengan kelompok permasalahan
yang diajukan dalam penelitian ini dan dicari intrerpretasi, selanjutnya dianalisis.
246
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini sangat didasarkan
pada kebutuhan analisis dan pengkajian. Metode pengumpulan data dilakukan dengan
penelitian kepustakaan (library research), dengan mempelajari dan mengkaji sejumlah
perundang-undangan, buku-buku teks, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan
perundang-undangan, putusan-putusan hakim, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum
yang dianggap relevan dengan objek penelitian, serta melakukan wawancara (interview)
dengan ahli hukum khususnya pada lapangan hukum perdata, hukum internasional, dan
hukum acara perdata, serta hakim sehubungan dengan pertimbangan hukumnya tentang
alasan bertentangan dengan ketertiban umum dalam penolakan pengakuan dan pelaksanaan
putusan arbitrase internasional serta upaya yang dapat ditempuh ketika suatu putusan
arbitrase internasional memperoleh penolakan pengakuan dan pelaksanaan.
Teknik Analisis Data
Setelah bahan-bahan hukum berhasil dikumpulkan dengan menggunakan teknik
yang telah ditetapkan di atas, kemudian dilakukan penyusunan secara sistematis terhadap
bahan-bahan tersebut, selanjutnya mengidentifikasi bahan hukum sesuai dengan kelompok
permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini. Kemudian dicari intrerpretasi, selanjutnya
dianalisis secara kualitatif.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia
Materi putusan bertentangan dengan kepentingan umum merupakan sisi materi lain
yang boleh dinilai Ketua Pengadilan Negeri dalam penelitian pemberian eksekutorial ialah
masalah “kepentingan umum” atau public policy. Dia dapat menilai apakah materi putusan
mengandung pertentangan dengan kepentingan umum.
Dalam Perma Nomor 1 Tahun 1990, hal itu ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (3). Putusan-putusan arbitrase asing hanya dapat dieksekusi di Indonesia terbatas pada putusanputusan yang tidak bertentangan “kepentingan umum”. Asas yang seperti itu juga ditegaskan dalam Pasal V ayat (2) huruf b Konvensi New York 1958. Di dalamnya dirumuskan:
the recognition or enforcement of the award would be contrary to the public policy of that
country.
Meskipun asas yang dikemukakan ditujukan terhadap putusan arbitrase asing, asas
tersebut berlaku sepenuhnya terhadap putusan arbitrase dalam negeri. Sebab asas ketertiban umum merupakan asas yang bernilai universal, penerapannya bersifat mutlak di seluruh kawasan, baik di luar negeri maupun domestik.
Namun demikian, hal yang menjadi masalah adalah batasan pengertian dan ruang lingkup makna ketertiban umum. Sangat sulit memberi batasan yang pas dan persis. Meskipun asas ketertiban umum merupakan nilai universal, namun norma konkret sulit untuk
dirumuskan secara merata untuk semua bangsa. Lain nilai ketertiban umum yang ditegaskan antara satu bangsa dengan bangsa lain. Terkadang penilaian dan penerapan ketertiban
umum pada suatu ketika,tidak semata-mata ditinjau dari segi hukumdan kepribadian suatu
bangsa. Sering faktor politik ikut memainkan peranan. Tidak usah masalah pengertian dan
nilai ketertiban umum ditinjau dari segi makro, dari segi mikro saja bias terjadi perlainan
persepsi dalam kehidupan suatu bangsa. Ambil contoh, usaha jual beli minuman keras di
Daerah Istimewa Aceh, dianggap melanggar ketertiban umum atau public policy. Sedang
hal itu di DKI Jakarta, dianggap legal selama memiliki izin usaha.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
247
Jadi sedemikian rupa derajat kesulitan untuk menentukan patokan yang jelas dan tegas
tentang makna dan wujud ketertiban umum. Hal itupun sudah pernah disinggung. Namun
sama sekali tidak ada pegangan, kembali kita kemukakan batasan lain yang telah pernah
dikemukakan pada waktu menjelaskan Perma Nomor 1 Tahun 1990. Di situ dikatakan,
yang dimaksud dengan ketertiban umum adalah sesuatu yang dianggap bertentangan dengan ketertiban pada suatu hal atau keadaan yang bertentangan dengan sendi-sendi dan nilai-nilai asasi sistem hukum dan kepentingan nasional suatu bangsa.
Benar, demikian luas dan demikian mengambang pengertian ketertiban umum. Di
samping itu, nilai dan sistem kehidupan suatu bangsa tidak terlepas dari asas dinamika yang
mengakibatkan terjadinya pergeseran nilai dan sistem. Hal itu dengan sindirinya membawa
dampak terhadap pergeseran makna dan nilai kepentingan umum. Apa yang dianggap dan
dirasa sebagai sesuatu hal yang bernilai ketertiban umum pada hari ni, barangkali luas dianggap sebagai nilai yang halal dan legal.
Fakta adanya pelanggaran ketertiban umum dalam suatu putusan arbitrase, misalnya
dapat ditemukan apabila putusan nyata-nyata bertentangan dengan hukum positif. Apalagi
jika yang dilanggar itu hukum positif di bidang hukum publik, sangat mudah untuk menemukan dan menyatakan putusan arbitrase yang bersangkutan bertentangan dengan public
policy. Lain halnya apabila yang terlanggar dalam putusan merupakan nilai-nilai social,
budaya, politik, dan ekonomi. Agak sulit mengkonkretisasi ada atau tidak pelanggaran terhadap ketertiban umum. Umpamanya hubungan dagang narkotik. Secara gampang dapat
ditemukan fakta tentang adanya pelanggaran ketertiban umum. Sebab di Indonesia ada hukum positif yang melarang perdagangan dan pengedaran segala jenis narkotik. Begitu juga
misalnya perjanjian perdagangan wanita prostitusi. Mudah sekali menemukan faktanya.
Karen hal itu menyentuh berbagai segi sendi-sendi asasi nilai-nilai budaya, kepribadian
dan agama bangsa Indonesia. Disamping itu, terdapat larangan tentang itu dalam hukum
positif seperti yang diatur dalam Pasal 297 KUHP.
Akan tetapi, perlu pula diingatkan. Sedapat mungkin jangan sampai alasan asas kepentingan umum atau ketertiban umum dimanipulasi secara subjektif. Jangan sampai terjebak secara langsung menerapkannya dalam penolakan pemberian exequatur.cara penerapan yang tidak objektif, bias menghambat pertumbuhan sehat lembaga arbitrase. Kalau
sampai putusan arbitrase mandul disebabkan jumlah frekuensi penolakan pemberian exequatur atas alasan putusan bertentangan dengan ketertiban umum, bias mempengaruhi
rasa percaya dan rasa hormat masyarakat, terutama pihak luar terhadap jalannya penegakan
hukum di Indonesia. Hal yang demikian bisa berdampak negatif terhadap pertumbuhan
kelancaran hubungan perdagangan dan perekonomian dengan dunia luar. Namun kalau
jelas-jelas putusan bertentangan dengan ketertiban umum, harus berani menolak pemberian exequatur. Maka dalam rangka melaksanakan fungsi dan kewenangan menilai putusan arbitrase yang dianggap mengandung pelanggaran terhadap ketertiban umum, sedapat
mungkin harus mampu secara efektif memanfaatkan “kebebasan relatif” yang dimiliki hakim (Pengadilan) untuk “melenturkan” sendi-sendi nilai asasi ke arah yang lebih rasional,
aktual, dan realisitis.
Visualisasi putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam hal perkara
Arbitrase Internasional
Perkara yang berkaitan dengan arbitrase internasional yang diputus oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia, secara kuantitatif dengan kategori tertentu dapat
divisulisasi dalam tabel berikut ini:
248
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
Tabel 1
Perkara arbitrase internasional yang diputus Mahkamah Agung Republik Indonesia
NO.
1.
2.
3.
4.
THN
1976
1981
1983
1986
NO.
PUTUSAN
Reg.
No. 225 K/
Sip/1976
Reg.
No. 2924 K/
Sip/1981
Reg.
No. 2944 K/
Pdt/1983
Reg.
No. 4231 K/
Pdt/1986
Reg.
No.1203 K/
Pdt/1990
5.
PUTUSAN
PARA PIHAK
Dato Wong Guong/
PT. Metropolitan
Timbers LTD
melawan Andries
Geradus Pangemanan/ sebagai Direktur
Gapki Trading Co
LTD PT
Ahju Foresty
Company Limited
melawan Sutomo/
Direktur Utama
PT.Balapan Jaya
P.T. Nizwar melawan Navigation
Maritime Bulgare,
Varna, Blvd. Chervenoermeiski
Trading Corporation of Pakistan
LTD melawan
PT.Bakrie & Brothers
E.D. & F.Man
(Sugar) melawan
Yani Haryanto
DITERIMA
DITOLAK
E.D. & F.Man
(Sugar) melawan
Yani Haryanto
JUM.
√
Judex factie (PN Jakarta dan PT
Jakarta) keliru dalam hal kewenangan absolut mengadili
perkara.
Dasar hukum: Pasal 40 UU
No 14 Tahun 1970; UU No.13
Tahun 1965; UU No.1 Tahun
1950
1
√
Judex factie (PN Jakarta dan PT
Jakarta) keliru dalam hal kewenangan absolut mengadili
perkara.
Dasar hukum: Pasal 40 UU
No 14 Tahun 1970; UU No.13
Tahun 1965; UU No.1 Tahun
1950
1
√
Pemohon tidak mengajukan
risalah/memori kasasi. Dasar
Hukum: Pasal 115 ayat (1) UU
No.1 Tahun 1950 TTg MA
; Pasal 40 UU No 14 Tahun
1970; UU No.13 Tahun 1965
1
√
Keberatan yang duajukan
pemohon tidak dapat diperiksa
pada tingkat kasasi;dalam
pemeriksaaan kasasi hanya
yang berkenaan dengan tidak
dilaksanakan atau atau ada
kesalahan dalam pelaksanaan
hukum. Judex facti tidak salah
menerapkan hukum.
Dasar hukum: UU No 14 Tahun
1970 dan UU No 14 Tahun
1985.
1
√
Keberatan yang duajukan
pemohon tidak dapat diperiksa
pada tingkat kasasi yang substansinya mengenai penilaian
hasil pembuktian;dalam pemeriksaaan kasasi hanya yang
berkenaan dengan tidak dilaksanakan atau atau ada kesalahan
dalam pelaksanaan hukum.
Dasar hukum: UU No 14 Tahun
1970 dan UU No 14 Tahun
1985.
√
Keberatan yang duajukan
pemohon tidak dapat diperiksa
pada tingkat kasasi yang substansinya mengenai penilaian
hasil pembuktian;dalam pemeriksaaan kasasi hanya yang
berkenaan dengan tidak dilaksanakan atau atau ada kesalahan
dalam pelaksanaan hukum.
Dasar hukum: UU No 14 Tahun
1970 dan UU No 14 Tahun
1985.
1990
Reg.
No. 1205 K/
Pdt/1990
ALASAN
2
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
249
Reg.
No.02 K/
Ex’r/Arb.Int/
Pdt/2000
6.
2000
Reg.
No.04.K/
Ex’r/Arb.Int/
Pdt/2000
7.
8.
2001
2002
Reg.
No. 03.K/
Ex’r/Arb.Int/
Pdt/2001
No. 01/
Banding/Wasit/2002
Bankers Trust Company dan Bankers
Trust International
PLC (BT) melawan
PT Mayora Indah
Tbk (Mayora)
Bankers Trus Company dan Bankers
Trus Internasional
melawan PT Jakarta
Internasional Hotel
Bankers Trus Company dan Bankers
Trus Internasional
melawan PT Jakarta
Internasional Hotel
& Devel opment
Tbk
Karaha Bodas
Company L.L.C.
melawan PT.
Pertamina dan PT.
PLN
√
Tidak ditemukan data.
√
Substansi permohonan bertentangan dengan ketertiban umum
dan tertib hukum.
Dasar hukum Pasal 66 huruf c
UU No.30 Tahun 1999.
√
Penyamapaian memori kasasi
melampaui batas waktu.
Dasar hukum Pasal 47 ayat 1
UU No. 14 Tahun 1985.
1
√
Penyamapaian akta permohonan kasasi melampaui batas
waktu.
Dasar hukum Pasal 46 ayat 1
UU No.14 Tahun 1985.
1
2
Sumber diolah dari Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2011
Berdasarkan hasil pengolahan data peneliti terhadap putusan yang ditabulasi di
atas, tampak secara implisit bahwa dikabulkan dan ditolaknya permohonan kasasi
perkara arbitrase internasional, peneliti berpendapat bahwa asas ketertiban umum
sebagai asas hukum internasional tidak dijadikan dasar dalam pemeriksaan pokok
perkara dengan kedudukannya sebagai asas kecuali Putusan No. ii.No.04.K/Ex’r/Arb.
Int/Pdt/2000. Menurut peneliti, hal tersebut diakibatkan oleh adanya main stream pemikiran hukum hakim di Indonesia bahwa hukum nasional termasuk hukum acara
yang berlaku di Indonesia merupakan dasar tunggal penerapan hukum terhadap kasus
konkrit di Pengadilan termasuk dalam hal memeriksa dan mengadili perkara arbitrase
internasional. Hal ini terlihat, antara lain, dari alasan dikabulkan dan ditolaknya suatu
permohonan. Main stream pemikiran tersebut, secara filosofis, dipengaruhi oleh pemikiran Kelsen.
Manakala fakta tersebut dikorelasikan secara teoritis dengan teori hukum statis
dan dinamis Hans Kelsen,9 yang pada prinsipnya mendalilkan bahwa hukum adalah
satu kesatuan (the legal order is a system norms) yang didalamnya mengandung dua
prinspi system norma, yaitu system norma statis dan dinamis (the static system of
norms and the dynamic system of norms), maka diperoleh kesimpulan bahwa asas ketertiban umum dalam konteks penelitian ini bukanlah norma hukum kecuali ia telah dipositivisasi menurut teori hukum dinamis yang isinya atau materinya memenuhi dalil
asas hukum statis.
Teori hukum statis mendalilkan bahwa isi suatu norma adalah valid dengan asumsi bahwa suatu perbuatan harus sesuai dengan ketentuan norma yang valid tersebut
yang berdasarkan isinya menentukan validitasnya. Validitas suatu norma termasuk
isinya ditentukan oleh norma dasarnya. Sedangkan teori hukum dinamis mendalilkan
bahwa validitas suatu norma tidak hanya diukur dari validitas isinya (materi muatannya) tetapi juga dari validitas pembentukan atau pelaksanaannya. Jadi, kesimpulan
teori ini adalah keabsahan atau validitas suatu perbuatan subjek hukum tergantung
pada ketentuan hukum apakah perbuatan tersebut diatur oleh norma hukum dimana
9 Lihat, Hans Kelsen, General Theory of Law and State, (Cambridge: Harvard University Press, 1949),
hlm. 110-113 dan hlm.122-123.
250
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
norma hukum tersebut memenuhi prinsip hukum statis dan dinamis. Selain itu, setiap
norma dibentuk oleh norma yang sederajat atau yang lebih tinggi sampai level norma
dasar (konstitusi).
Oleh karena itu, implementasi asas ketertiban umum dalam pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia dilihat dari pemeriksaan perkara
oleh hakim berdasarkan putusan yang ditabulasi di atas ditentukan oleh apakah dan
bagaimana asas tersebut telah dipositivisasi di Indonesia. Pada prakteknya, menurut New York Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral
Award, 1958 yang telah diratifikasi dengan Kepres No.34 tahun 1981, salah satu
ketentuannya memuat bahwa pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase Internasional dapat ditolak oleh otoritas yang berkompeten dalam suatu Negara dengan alasan melihat ada pertentangan putusan tersebut dengan asas ketertiban umum yang
dianut Negara tersebut.10 Norma hukum di Indonesia yang terakhir mengatur asas
ini adalah UU No.30 Tahun 1999. Hanya jika dikaji lebih in depth. Walaupun asas
tersebut telah menjadi materi muatan dalam system tata hukum Indonesia khususnya
dalam hal mengadili perkara arbitrase internasional, tetapi pada tataran praktik dipengadilan, berdasarkan materi muatan putusan arbitrase internasional (lihat tabulasi
di atas) penerapan asas tersebut tidak jelas.Misalnya, alasan pertimbangan hukum
hakim kasasi dominan menggunakan aspek formalitas hukum belaka. Walaupun secara legalitas-formal, memang menentukan pemeriksaan tingkat kasasi sebagai judex
juris bukan judex factie, tetapi UUD NRI Tahun 1945 menentukan bahwa kekusaan
kehakiman diselenggarakan oleh lembaga peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.11 Menurut peneliti, hal ini disebabkan oleh biasnya pengartian asas ketertiban
umum yang menjadi materi muatan norma hukum di Indonesia.12 Selain itu, aspek
profesionalisme hakim menjadi hal yang determinatif.
Analisis kasus terhadap putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam hal
perkara Arbitrase Internasional
Untuk menelaah dan mengidentifikasi penerapan asas bertentangan dengan asas
ketertiban umum dalam penolakan pelaksaaan putusan arbitrase internasional oleh
pengadilan di Indonesia dalam konteks penelitian ini, peneliti mengambil sample putusan yang relevan dengan isu ini. Beberapa putusan tersebut adalah:
Putusan Peninjauan kembali Nomor 221 PK/Pdt/2002 antara Bankers Trust
Company dan PT. Mayora Indah, Tbk dan PT. BT. Prima Securities Indonesia,
dimana hasinya Menolak permohonan peninjauan kembali dari para pemohon
peninjauan kembali: 1. BANKERS TRUST COMPANY dan 2. BANKERS TRUST
INTERNATIONAL Plc tersebut.13 Sehingga dapat dianalisis lebih in depth dengan
10 Lihat, Article V Section 2 menurut New York Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign
Arbitral Award, 1958.
11 Lihat, lebih detail Pasal 24 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
12 Lihat, misalnya, materi muatan Pasal 3 ayat (3) Perma No. 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Arbirase Asing.
13 BANKERS TRUST INTERNATIONAL Plc., keduanya beralamat di 1 Appold Street, Broadgate, London EC2A 2HE, Inggris, yang dalam hal ini diwakili oleh kuasanya: 1. Tony Budidjaja, SH., 2. Ibrahim
Senen, SH., 3. Marselinus K. Rajasa, SH., pengacara-pengacara dan konsultan-konsultan hukum, berkantor di The Land mark Centre Tower B, Lantai 27, Jalan Jenderal Sudirman No. 1 Jakarta, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 16 Juli 2001, para pemohon peninjauan kembali dahulu para Pemohon
kasasi pemohon Eksekuatur; MELAWAN : PT. MAYORA INDAH, Tbk., (sebelumnya dikenal sebagai
PT. MAYORA INDAH), beralamat di Gedung Mayora Indah, Lantai 8, Jalan Tomang Raya No. 21-23
Jakarta, dalam hal ini diwakili oleh kuasanya : Hotman Paris Hutapea, SH., Pengacara dan Konsultan
Hukum, berkantor di Gedung Summitmas I, Lantai 18, Jalan Jenderal Sudirman Kav. 61-62, Jakarta Se-
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
251
menguhubungkan regulasi arbitrase sesudah berlaku Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999 dan pendapat ahli hukum terhadap perkara tersebut.
Menurut Eman Suparman14 bahwa Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan APS tentu saja berbeda dengan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA)
Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing. Akan
tetapi dalam beberapa hal subtansial, UU Arbitrase ternyata masih mengukuhkan materi hukum yang berasal dari PERMA 1/1990. Ketentuan tersebut di antaranya, Pasal
66 UU Arbitrase subtansinya sama persis dengan Pasal 3 PERMA 1/1990. Kemudian
Pasal 67 ayat (2) UU Arbitrase juga sama dengan Pasal 5 ayat (4) PERMA 1/1990.
Selebihnya tentu saja UU Arbitrase mengatur lebih luas dan konprehensif, sehingga
sangat berbeda dengan PERMA 1/1990. Namun demikian perbedaan prinsipal di antara keduanya tampak pada pengaturan tentang otoritas pemberi eksekuatur. Menurut PERMA 1/1990 yang berwenang memberi eksekuatur adalah Mahkamah Agung,
sedangkan di dalam UU Arbitrase adalah KPN Jakarta Pusat. Dikecualikan apabila
Republik Indonesia menjadi salah satu pihak dalam sengketa, maka eksekuatur tetap
merupakan kewenangan Mahkamah Agung. Pengecualian tersebut sama sekali tidak
diatur di dalam PERMA 1/1990.
Pertanyaan yang muncul adalah mengapa pembuat Undang-undang Arbitrase memilih KPN Jakarta Pusat sebagai otoritas pemberi eksekuatur menggantikan Mahkamah Agung? Tidak dijumpai jawaban otentik dari risalah penyusunan undang-undang
mengenai hal itu. Akan tetapi menurut keterangan dari para informan diperoleh informasi yang cukup relevan dalam konteks alasan penunjukan tersebut.
Para informan mengemukakan bahwa “hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat diyakini sebagai figur yang sangat berpengalaman serta memiliki kemampuan
handal dalam menangani berbagai kasus yang bernuansa transnasional termasuk
dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase asing, bila dibandingkan dengan para hakim
di pengadilan lain di Indonesia.15 Kondisi semacam itu antara lain disebabkan karakter
wilayah Jakarta Pusat yang unik sekaligus rumit. Sebagai bagian dari Ibu Kota Negara
RI. Wilayah Jakarta Pusat memiliki kompleksitas permasalahan, skala aktivitas masyarakat yang sangat bervariasi dan berkorelasi tinggi, serta populasi yang multi etnik
dengan segala dinamikanya. Alasan itu menurut para informan diperkirakan merupakan salah satu pertimbangan, sehingga pembuat undang-undang Arbitrase memilih
KPN Jakarta Pusat sebagai otoritas pemberi eksekuatur untuk pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing.
Sesudah berlaku UU Arbitrase 30/1999, permohonan eksekuatur putusan arbitrase
asing ternyata masih menjumpai beberapa hambatan, sehingga hasilnya belum banyak berbeda dengan keadaan sebelumnya. Permohonan eksekuatur di dalam praktik
masih tidak mudah untuk dikabulkan. Akibatnya, secara umum pelaksanan putusan
arbitrase nasional apalagi putusan arbitrase internasional masih sangat jarang terjadi.
Hasil penelitian yang diadakan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada bulan Januari 2002 berkenaan dengan putusan arbitrase nasional yang didaftarkan untuk dilaklatan, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 3 September 2001, Termohon peninjauan kembali dahulu
termohon kasasi- Termohon Eksekuatur; PT. BT. PRIMA SECURITIES INDONESIA,.berkedudukan di
The Jakarta Boulevard #08-00, Suntec City Tower Singapore 038985, turut Termohon peninjauan kembali
dahulu turut Termohon kasasi- Pemohon Eksekuatur.
14 Eman Suparman, wawancara langsung pada tanggal 1 Juni 2011, di Jakarta.
15 Informasi ini diperoleh dari sejumlah informan. Diantaranya kalangan praktisi hukum termasuk mantan
hakim dan yang lainnya dari kalangan akademisi yang juga sebagai paraktisi hukum. Lihat, Eman Suparman, Pilihan Forum Arbitrase dalam Sengketa Komersial untuk Penegakan Keadilan, (Jakarta: PT.
Tatanusa, 2004), hlm. 226.
252
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
sanakan menunjukkan bahwa jumlah putusan yang didaftarkan turun dari 19 putusan
pada tahun 1999 menjadi hanya enam putusan saja pada tahun 2001, walaupun perintah pelaksanaan diberikan Sembilan kali pada tahun 1999 dan tidak ada sama sekali
pada tahun 2000 dan 2001.16 Untuk mengetahui betapa susahnya putusan arbitrase
asing memperoleh eksekuatur dari pengadilan. Papara berikut ini merupakan salah
satu contohnya.Kasus antara Bankers Trust Company and Bankers Trust International
PLC (together BT) vs. PT Mayora Indah Tbk. (Mayora)17 mengenai “currency and
interest rate Swaps and Derivatives Association (ISDA) Master Agreement tertanggal
25 April 1997. Sengketa tersebut diputus oleh arbitrator London pada tahun 1999 berdasarkan the Rules of the London Court of International Arbitrase (“LCIA”) dan BT
dimenangkan. Putusan tersebut menghukum PT Mayora untuk membayar sejumlah
uang kepada BT. Ketika permohonan pelaksanaan putusan arbitrase London diajukan
oleh pihak BT, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak untuk melaksanakan
putusan tersebut. Alasan penolakan disebutkan karena BT dan PT Mayora dalam sengketa yang sama sedang dalam proses pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (Putusan No.46/Pdt.G/1999 tanggal 9 Desember 1999 yang memenangkan PT Mayora).
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengatakan bahwa dalam praktik pengadilan, acara
pelaksanaan dari putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (dalam hal
ini putusan arbitrase asing) harus ditunda sampai dengan putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan dimaksud mempunyai kekuatan hukum tetap (dalam hal ini putusan
arbitrase asing) harus ditunda sampai dengan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dimaksud mempunyai kekuatan hukum tetap. Selanjutnya, KPN Jakarta Pusat
menyatakan bahwa “apabila putusan arbitrase yang dibuat di London dilaksanakan
sementara masih menunggu putusan PN Jakarta Selatan, maka hal itu dapat menghapuskan perjanjian pokok para pihak”. Berdasarkan fakta tersebut, putusan arbitrase
internasional akan membingungkan dan akan bertentangan dengan ketertiban umum.
Setelah PT. Mayora dimenangkan, BT kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung mengenai penetapan KPN Jakarta Pusat. Penetapan Mahkamah Agung
No. 02K/Ex’r/Arb.Int/Pdt/ 2000 tanggal 5 September 2000 menguatkan Penetapan
KPN Jakarta Pusat tersebut dan menolak Mahkamah Agung menyatakan bahwa
pelaksanaan putusan arbitrase asing harus ditunda sampai dengan putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan mempunyai kekuatan hukum tetap. Sebaliknya, hal itu akan
bertentangan dengan tertib hukum acara.
Kesimpulan dari Mahkamah Agung akan dianggap sebagai putusan yang tepat
apabila kedua kasus antara pihak-pihak yang sama berkenaan dengan sengketa yang
sama dan tunduk pada jurisdiksi pengadilan. Dalam keadaan seperti itu, putusan pengadilan akan mempunyai kekuatan hukum tetap dan harus ditunda sampai dengan
putusan pengadilan dalam kasus yang sedang diperiksa juga mempunyai kekuatan
hukum tetap. Sedangkan pada kasus di atas, para pihak membuat perjanjian arbitrase,
sehingga pengadilan tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa sengketa tersebut
karena pengadilan tidak memiliki jurisdiksi. Namun demikian, di Indonesia, beracara
di depan pengadilan dengan maksud untuk membatalkan perjanjian yang didalamnya
memuat klausula arbitrase sering digunakan sebagai taktik untuk membatalkan pembayaran ganti kerugian atau kompensasi.18
16 Mulyana,et al., “Indonesian’s New Framework For International Arbitration: A Critical Assesment of the
Law and Its Application by the Court”; Mealey’s International Arbitration Report. January, 2002. hlm. 26.
17 Ibid.
18Dikemukakan Mulyana, bahwa: “… The attitude of Indonesian courts to entertain such lawsuits has
been one of the major concerns of the international community in the operation of the legal system in
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
253
Berkaitan dengan hal di atas, penelitian yang dilakukan pada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat pada bulan Januari 2002 mengenai jumlah putusan arbitrase asing yang
didaftarkan untuk dilaksanakan antara tahun 1999-2001 menunjukkan hasil seperti
berikut: pada tahun 1999 enam permohonan pendaftaran putusan arbitrase asing telah
diajukan dan tidak satupun eksekuatur diberikan. Kemudian pada tahun 2000 terdapat
dua permohonan pendaftaran yang diajukan hanya satu yang memperoleh eksekuatur.
Sedangkan pada tahun 2001 jumlah permohonan pendaftaran bertambah menjadi empat meskipun hanya tiga eksekuatur yang diberikan.19
Seluruh rangkaian cerita dan fakta mengenai permohonan eksekuatur untuk
melaksanakan putusan arbitrase asing, member bukti bahwa ternyata hukum arbitrase
positif masih menyisahkan celah-celah yang memungkinkan terjadinya konflik.
Satu di antara penyebabnya antara lain karena undang-undang arbitrase menganut
standar ganda dalam memperlakukan putusan arbitrase. Indikator tersebut dengan
mudah dapat diketahui. Pertama, terhadap putusan arbitrase nasional, di satu pihak
diakui sebagai putusan yang bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum yang
tetap serta mengikat para pihak.20 Akan tetapi, untuk melaksanakan putusan arbitrase
nasional, undang-undang menentukan sejumlah persyaratan dengan ancaman sanksi
bahwa putusan tidak dapat dilaksanakan bila syarat yang ditentukan tidak dipenuhi.
Bahkan apabila para pihak tidak melaksanakan putusan secara sukarela, maka putusan
dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri. Kedua, untuk putusan
arbitrase internasional lebih banyak lagi persyaratan yang ditentukan.
Bahkan dari sejumlah syarat tersebut mengesankan putusan arbitrase internasional
sama sekali tidak memiliki title eksekutorial sebelum memperoleh eksekuatur dari
KPN Jakarta Pusat. Sedangkan idealnya suatu putusan yang bersifat final, mempunyai
kekuatan hukum yang tetap, serta mengikat para pihak, dalam keadaan apa pun
harus dapat dieksekusi sendiri tanpa melibatkan institusi lain kecuali lembaga yang
menjatuhkan putusan tersebut. Di samping itu, hukum arbitrase terkesan diskriminatif
terhadap putusan arbitrase dibandingkan dengan putusan hakim. Oleh karena itu,
sesungguhnya putusan arbitrase itu belum merupakan putusan final, karena tidak
memilikki eksekutorial, dan tidak mandiri, sehingga status putusan arbitrase sama
sekali tidak sejajar dengan putusan hakim.
Kedua persoalan di muka merupakan konsekuensi yang harus diterima sebagai
akibat undang-undang arbitrase menentukan keterlibatan pengadilan negeri terhadap
proses dan putusan arbitrase yang demikian luas. Suka atau pun tidak, fakta di atas
harus diterima karena keterlibatan pengadilan nasional dalam masalah eksekusi putusan
arbitrase pada banyak Negara juga merupakan keniscayaan. Seperti yang dikemukakan
Cristoph H. Schreuer21 bahwa : Perhaps the most important aspect of the supportive
role of domestic courts towards arbitration is the enforcement of awards. …. It is only
at the last strage when it comes to enforcement, that the victorious litigant ultimately
depends on the authority of domestic courts. Alhasil, hampir tidak mungkin putusan
arbitrase internasional dapat diakui serta dieksekusi di Indonesia tanpa memperoleh
dukungan Pengadilan Negeri.
Indonesia.” Lihat, Mulyana,et al., “Indonesian’s New Framework For International Arbitration, Op.cit.,
hlm. 27.
19 Ibid.
20 Pasal 60 UU No. 30/1999
21 C. Cristoph H. Schreuer, State Immunity: Some Recent Deveploments. (Cambridge: Grotius Publications
Limited, 1998), hlm. 75.
254
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
Dihubungkan dengan teori tentang karakteristik produk hukum dari Nonet, UU
Arbitrase dapat dikategorikan ke dalam model hukum represif. Bukan tanpa alasan,
karena baik kaidah hukum arbitrase maupun lembaga pengadilan masih diarahakan
pada tujuan untuk menjamin ketertiban. Bukti tersebut secara eksplisit tampak bahwa
“Putusan arbitrase internasional… hanya dapat dilaksanakan di indonesia terbatas
pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum.”22 Kaidah hukum itu
juga masih mencitrakan hukum tunduk pada politik kekuasaan, tuntutan untuk patuh
bersifat mutlak, dan ketidak-patuhan dianggap sebagai suatu penyimpangan. Bukti
lainnya: “Putusan arbitrase internasonal dapat dilaksanakan di Indonesia setelah
memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.”23 Ketentuan
tentang eksekuatur juga merupakan kaidah imperative atau aturan yang bersifat
memaksa (dwingend recht) yang sama sekali tidak mungkin disimpangi. Mengabaikan
permohonan eksekuatur berarti putusan arbitrase asing tidak mungkin dapat dieksekusi.
Dalam konstelasi serta konstruksi semacam itu secara bebas dapat diungkapkan
bahwa norma hukum arbitrase masih menjadi government social control. Hukum
perundang-undangan menjadi kekuatan control di tangan pemerintah yang terlegitimasi
(secara formal-yuridis) yang tidak merefleksikan konsep keadilan, asas-asas moral,
dan wawasan kearifan yang sebenarnya, sebagaimana yang sesungguhnya hidup di
dalam kesadaran hukum masyarakat awam24 ketertiban merupakan tujuan hukum,
sehingga untuk mempertahankan ketertiban maka tuntutan-tuntutan dan pertimbanganpertimbangan lain di kesampingkan. Padahal di samping ketertiban, tujuan lain dari
hukum adalah tercapainya keadilan.
Selain itu menurut peneliti penerapan asas ketertiban hukum dalam pelaksanaan
putusan arbitrase internasional masih menimbulkan problematika hukum. Secara
yuridis formal pengertian asas ketertiban umum tidak secara tegas dan jelas batasannya
sehingga hakim cenderung menafsirkan secara sepihak asas tersebut dalam konteks ini
dengan menafsirkan asas ketertiban umum dalam pengertian hukum nasional. Dalam
konteks tersebut, peraturan perundang-undangan Indonesia dan praktek di pengadilan
dalam konteks tersebut setidak-tidaknya tidak mempertegas posis atau kedudukan
hukum internasional dan nasional secara hirarkis dalam konteks asas ketertiban umum
(internasional dan nasional). Dalam ruang tersebut terbuka peluang penafsiran hakim
terhadap pelaksanaan putusan arbitrase internasional dapat dilakukan secara sepihak.
Upaya Keberatan atas Penolakan Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase
Internasional di Indonesia
Di dalam praktek hukum acara hanya putusan yang mengandung suatu perintah
(condemnatoir) yang dapat dieksekusi, sedangkan putusn yang bersifat deklaratoir maupun
konstitutif tidak dapat dieksekusi.
Tata Cara Eksekusi Putusan Arbitrase Nasional
a. Dalam waktu 30 hari sejak tanggal putusan diucapkan lembar asli atau salinan
otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbitrer atau kuasanya
kepada Panitera Pengadilan Negeri tempat tinggal tergugat. Pendaftaran tersebut
dicatat pada bagian akhir atau pinggir putusan oleh Panitera pengadilan Negeri
yang ditanda tangani oleh Panitera dan arbiter yang menyerahkan. Di samping itu
harus pula diserahkan putusan dan lembar asli pengangkatan sebagai arbiter atau
22 Pasal 66 huruf (c) UU No. 30/1999
23 Pasal 66 huruf (d) UU No. 30/1999
24Lihat, Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonialke Hukum Nasional: Dinamika Sosial Politik
dalam Perkembangan Hukum di Indonesia. Raja Grafindo Persada,Jakarta, 1994, hal. 247.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
255
salinan otentiknya kepada Panitera Pengadiloan Negeri (Pasal 59).
b. Apabila putusan tersebut tidak dilaksankaan dengan sukarela, maka putusan dilaksanakan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak
yang bersengketa (Pasal 61).
Catatan:
a. Ketua pengadilan negeri yang akan melaksanakan putusan arbitrase tidak boleh
memeriksa alasan dan pertimbangan dari putusan arbitrase.
b. Ketua pengadilan negeri sebelum memerintahkan eksekusi wajib terlebih dahulu
memeriksa apakah putusan arbitrase tersebut tidak bertentangan dengan pasal 4
(yaitu harus ada clausul arbitrase dalam perjanjian) dan pasal 5 (yaitu sengketa dibidang perdagangan dan mengenai hukum yang menurut hukum dan peraturan perundangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa) serta tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Apabila putusan arbitrase tersebut
tidak mememnuhi syarat tersebut diatas maka Ketua Pengadilan Negeri menolak
untuk melaksanakan putusan arbitrase tersebut (Pasal (62).
c. Perintah eksekusi dari Ketua Pengadila Negeri diberikan dalam waktu paling lama
30 hari setelah permohonan eksekusi didaftarkan pada Panitera Pengadilan Negeri
(Pasal 63).
Eksekusi Putusan Abitrase Internasional
Berbeda dengan pelaksanaan putusan arbitrase nasional, putusan arbitrase internasional harus terlebih dahulu mendapatkan pengakuan atau eksekuatur dari lembaga
peradilan sebelum dilaksanakan.
Suatu putusan arbitrase internasional baru dapat diakui dan dieksekusi di dalam
wilayah Indonesia, bilamana:
a. Putusan itu dijatuhkan oleh arbitrer di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian baik secara bilateral maupun multilateral mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional.
b. Putusan tersebut terbatas pada putusan yang menurut ukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup perdagangan.
c. Putusan arbitrase internasional tersebut tidak bertentangan dengan ketertiban
umum.
Eksekuator putusan arbitrase internasional dapat diberikan oleh:
1. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Pemberian eksekuatur tidak dapat diajukan banding/kasasi. Bila permohonan ditolak maka dapat diajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
2. Mahkamah Agung RI.
Apabila putusan arbitrase internasional tersebut menyangkut negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa dan selanjutnya
dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Tata cara pelaksanaan putusan arbitrase dilakukan sebagai berikut:
1. Permohonan pelaksanaan putusan arbitrase internasional dilakukan putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang disertai:
a. Lembaran asli atau salianan otentik putusan arbitrase internasional
dan terjemahan resminya.
b. Lembaran asli atau salianan otentik perjanjian yang menjadi dasar
putusan arbitrase internasional dan terjemahan aslinya.
256
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
c. Keterangan dari perwakilan diplomatic RI di negara tempat putusan
arbitrase internasional tersebut ditetapkan yang menyatakan bahwa
negara pemohon terikat pada perjanjian bilateral maupun multilateral.
2. Setelah Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memberikan perintah,
selanjutnya proses eksekusi dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri
yang secara relative berwenang untuk melakukan eksekusi tersebut.
Sedangkan dalam hal pembatalan putusan arbitrase (Pasal 70) bahwa terdapat
syarat-syarat pembatalan, sebagai berikut:
a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu.
b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang
disembunyikan oleh pihak lawan atau,
c. Putusan diambil dari hasil tipumuslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak
dalam pemeriksaan sengketa.
Pembatalan harus diajukan tertulis dalam waktu 30 hari sejak hari penyerahan
dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri. Tata cara Pengajuan Pembatalan :
1. Diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri daerah hukum tempat tinggal termohon.
2. Permohonan tersebut wajib diputuskan dalam waktu 30 hari sejak permohonan diterima.
Upaya hukum:
1. Putusan pengadilan negeri Jakarta pusat diajukan permohonan banding ke
mahkamah agung.
2. Mahkamah agung harus memutus perkara tersebut dalam waktu paling lama
30 hari setelah perkara diterima oleh mahkamah agung.
Adapun putusan hakim atas pembatalan putusan arbitrase, sebagai berikut:
1. Menolak permohonan pembatalan.
2. Mengabulkan permohonan pembatalan tersebut.
a. Membatalkan seluruh putusan arbitrase.
b. Membatalakan sebagai putusan arbitrase.
Akibat hukum pembatalan tersebut:
1. Bila ditolak, pututsan arbitrase dapat dilaksanakan.
2. Bila putusan arbitrase dibatalkan seluruhnya, maka hakim harus menentukan
siapa yang harus menyelesaikan sengketa tersebut.
Penjelasan Pasal 72 menentukan bahwa:
i. Memerintahkan arbiter yang sama.
ii. Membentuk arbiter yang baru.
iii. Menentukan bahwa sengketa tidak mungkin diselesaikan dengan melalui arbitrase.
3. Bila putusan arbitrase hanya dibatalkan sebahagian, maka hakim harus menentukan mana permohonan dari pemohon tersebut yang dikabulkan.
Di dalam Pasal 70 UU No.30/1999, tidak dijelaskan putusan arbitrase mana yang
dapat dibatalkan. Apakah semua putusan arbitrase (Nasional maupun intenasional)
dapat dibatalkan. Kalau dibaca secara sepintas, maka seolah-olah semua putusan
arbitrase dibatalkan.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
257
Pertanyaan ini telah dijawab oleh Mahkamah Agung dalam putusannya tanggal
8 Maret 2004 No. 01/Banding/WASIT/2002 dalam perkara Karaha Bodas Company
L.L.C. berlawan dengan PT. PERTAMINA dan PT. PLN.
Dalam perkara ini PT. PERTAMINA dan PT. PLN di hukum untuk membayar
ganti rugi sejumlah US$ 266.166.654 oleh arbitrase UNCIRAL di Jenewa Swiss dan
ata putusan arbitrase tersebut rekening Pertamina di AS diblokir.
Pihak Pertamina dan PLN keberatan dan kemudian mengajukan gugatan pembatalan
putusan arbitrase Tergugat kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat dalam putusannya tanggal 27 Agustus 2002 No. 86/Pdt.G/2002/PN. Jkt.
Pst, mengabulkan gugatan Penggugat dan menyatakan bahwa putusan arbitrase batal
dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
Dalam putusan Mahkamah Agung tersebut, Mahkamah memutuskan untuk
membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan menyatakan bahwa
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang mengadili perkara tersebut dengan
dasar pertimbangan: Dalam Pasal V ayat (1) e Konvensi New York 1958 (Convention
in the Recognation dan inforcement of foreign Arbitration Awards) yang dinyatakan
berlaku dengan keputusan Presiden No. 34 Tahun 1981 berbunyi “Recognition and
enforcement of the award may be refused, at the request of the party against whom it
is invoked, only if…
(e). The award has not yet become binding on the parties, or has been set aside or
suspended by a competent authority of the country in which, or under the law of which,
that award was made”.25
PENUTUP
Kesimpulan
Upaya keberatan atas penolakan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase
internasional di Indonesia telah diatur oleh hukum acara yang berlaku di Indonesia. Saat
ini, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat diberi kewenangan memeriksa dan mengadili perkara
in casu dengan mekanisme atau hukum acara yang berlaku di Indonesia. Jelas bahwa suatu
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan eksekutorial tidak ada artinya apabila
tidak dapat dieksekusi, demikian juga halnya dengan putusan arbitrase asing (internasional)
yang telah final dan binding serta telah mendapat exequatur.
Saran
Apabila ada putusan arbitrase asing yang akan dilaksanakan di Indonesia harus
mengikuti aturan hukum di Indonesia mengenai tata cara putusan arbitrase asing di
Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, ditambah dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun
1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing. Sedangkan, akibat hukum
terhadap upaya keberatan perkara sejenis itu dari segi hukum tidak berbeda dengan akibat
hukum putusan perdata lainnya, yaitu mengikuti tata cara hukum acara yang berlaku di
Indonesia tanpa melihat sisi kepentingan asing atau sebaliknya.
25 Harifin A.Tumpa, Titik Singgung Putusan Arbitrase dengan Lembaga Peradilan dalam Eksekusi, Makalah, Jakarta, 14 Februari 2005.
258
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
DAFTAR PUSTAKA
Alan Redfen & Martin Hunter, 2003. Law and Prectise of Internasional Comercia
Arbitration, London: Studehopshon Sweet and Maxweel.
C. Christoph H. Schreuer,1988. State Immunity: Some Recent Deveploment. Cambridge:
Grotius Publication,
D. Sidik Suraputra, 2004. Hukum Internasional dan berbagai permasalahaannya (suatu
kumpulan karangan), Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum
Universitas Indonesia; Depok.
Erman, Rajaguguk, 2001. Arbitrase dalam putusan pengadilan, Jakarta: Chandra Pratama.
Gatot, Soemartono, 2006. Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.
Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, 2003. Hukum Arbitrase, Jakarta: PT. Rajagrafindo
Persada.
Harifin, Tumpa, Makalah, 2005. Titik Singgung Putusan Arbitrase dengan Lembaga
Peradilan dalam Eksekusi, t.t.p.
Huala, Adolf. 2002. Arbitrase Komersial Internasional, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Husyein Umar M. dan A.Supriyani Kardono, 2002. Hukum dan Lembaga Arbitrase di
Indonesia, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti.
John Collier & Vaughan Lowe, 2000. The Settlement Of Dispute in Internasional Law
Institution and procedure, New York: Oxford university Inc.
Johnny, Ibrahim, 2005. Teori dan Metodologi Hukum Normatif, Surabaya: Banyumedia
Publishing.
Joni, Emirson, Arbitrase Dagang Internasional, Materi Pembelajaran untuk Kelas ADR.
Kelsen, Hans, 1949. General Theory of Law and State, Cambridge: Harvard University
Press.
Mulyana, et al., 2002. Indonesian’s New Framework For International Arbitration: A
Critical Assesment of the Law and Its Application by the Court, Mealey’s International
Arbitration Report. January,
Munir, Fuadi. 2003. Arbitrase Nasional, Alternatif penyelesaian Sengketa Bisnis, Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti.
Pan Mohamad Faiz. htm, Post Date, September 17, 2006 at 7:16 pm, Category, Arbitrase
Pengadilan. www.vanillamist.com. 25 Desember 2010.
Priyatna, Abdurrasyid. 2002. Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian SengketaSuatuPengantar, Jakarta: PT. Fikahati Aneska.
Priyatno, Abdur Rasyid. 2000. Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Makalah
Seminar Nasional tentang Arbitrase dan E-Commerce.Rahayu, Hartini, 2009.
Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia, Dualisme Kewenangan Pengadilan
Niaga dan Lembaga Arbitrase, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Sudargo, Gautama, 1979. Arbitrase Dagang Internasional, Bandung: PT. Alumni.
_______________, 2007. Hukum Perdata Internasional Indonesia. Bandung: PT. Alumni.
Yahya, Harahap. M, 2003. Arbitrase, Ditinjau Dari Reglemen Acara Perdata (Rv),
Peraturan Prosedur BANI, International Centre For The Settlement Of Invesment
Disputes (ICSID),UNCITRAL Arbitration Rules, Convention Of The Recognition
And Enforcement Of Foreign Arbitral Award, Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Grafik.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
259
260
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
ANALISIS HUKUM EMPIRIS
TERHADAP DISSENTING OPINION
DALAM PUTUSAN HAKIM
Wiwie Heryani
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
261
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
ANALISIS HUKUM EMPIRIS TERHADAP DISSENTING OPINION
DALAM PUTUSAN HAKIM
Oleh: Wiwie Heryani
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
Jl. Perintis Kemerdekaan KM. 10, Tamalanrea, Makassar, Sulawesi Selatan
E-mail: [email protected]
Abstract
In making decisions, uncommon in a panel of judges disagree, to dissent, although not
having binding legal force shall be included in the judge’s decision is called Dissenting
Opinion. Acceptance of the doctrine of dissenting opinion in a number of legal rules
governing the judicial authority in Indonesia reflects the transparency and accountability
to the judge’s decision. On the other hand can also be viewed, that the dissenting opinion
is a reflection of intellectual integrity and a judge to consequently and consistently held
that the scientific establishment can be accounted for, although they differ or conflict with
the majority of other judges. Dissenting opinion is also useful as a control mechanism for
judges as well as enrich the study materials in the development of legal science.
Keywords: Dissenting Opinion, Judge’s Decision.
Abstrak
Dalam membuat putusan, tidak jarang hakim dalam suatu majelis terjadi perbedaan
pendapat, terhadap perbedaan pendapat walaupun tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat harus termuat dalam putusan hakim inilah yang disebut Dissenting Opinion.
Penerimaan doktrin dissenting opinion dalam sejumlah aturan hukum yang mengatur
tentang kekuasaan kehakiman di Indonesia mencerminkan tranparansi dan akuntabilitas
terhadap putusan hakim. Di sisi lain dapat pula dipandang, bahwa dissenting opinion
merupakan cermin dari integritas dan intelektual seorang hakim untuk konsekuen dan
konsisten memegang pendiriannya yang secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan,
meskipun berbeda atau bertentangan dengan mayoritas hakim lainnya. Dissenting opinion
juga bermanfaat sebagai mekanisme kontrol bagi hakim serta sebagai bahan kajian dalam
memperkaya khasanah bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum.
Kata Kunci: Dissenting Opinion, Putusan Hakim.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
PENDAHULUAN
Di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI
1945) telah tercantum dengan jelas tentang kekuasaan kehakiman di Indonesia untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan dengan diakuinya
prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak.1
Penjabaran mengenai kekuasaan kehakiman dalam bentuk hukum positif, ditemukan
dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (UUKK),
sebagaimana telah diperbaharui dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, khususnya
Pasal 1, menegaskan bahwa:
“Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”.
Meskipun telah ada dan lengkapnya pengaturan tentang kekuasaan kehakiman,
namun fakta hukum menunjukkan adanya ketidakpercayaan masyarakat pada kekuasaan
kehakiman dikarenakan salah satu faktor utamanya adalah putusan hakim yang tidak
atau belum mencerminkan nilai-nilai keadilan, seperti yang didambakan oleh masyarakat
pencari keadilan, hal ini tentu sangat paradoks dengan cita-cita dan amanat yang ingin
diemban oleh kekuasaan kehakiman.
Sorotan tajam masyarakat yang mensinyalir bahwa kondisi peradilan kita dewasa ini
sangat memprihatinkan, kalau tidak boleh dikatakan parah, sehingga tidak mengherankan
kalau sering kita dengar istilah-istilah “peradilan kelabu”, “mafia peradilan”, “kolusi
peradilan” dan lain sebagainya yang menurunkan citra lembaga peradilan.
Contoh kontroversial yang pernah diangkat dalam sebuah media nasional dengan judul
“Rasa Keadilan Masyarakat Terganggu”, dalam sebuah tajuk rencananya,2 yang menyoroti
putusan Pengadilan Negeri Serang Banten, yang memvonis dua kuli panggul, Sapruddin
dan Mulyadi, masing-masing delapan bulan penjara. Vonis itu dijatuhkan karena keduanya
terbukti bersalah telah mencuri 10 kg bawang merah. Namun pada hari yang sama, juga di
Pengadilan Negeri Serang Banten, Wakil Ketua DPRD Kabupaten Banten, Udin Jamaluddin
serta anggota DPRD, Marjuki Ramli dan M. Muchlis, dituntut satu tahun dan enam bulan
penjara. Anggota DPRD Robert Wihardja, dituntut hukuman pidana satu tahun penjara.
Mereka, menurut fakta dipersidangan dinilai turut melakukan tindak pidana korupsi dana
APBD Banten tahun 2003 sejumlah Rp.14 Milyar.
Berbagai keluhan terhadap putusan hakim yang telah mengabaikan rasa keadilan
masyarakat, menjadi berita sehari-hari, padahal dengan jelas dalam undang-undang,
memerintahkan hakim dalam bekerjanya tidak sekadar sebagai “penegak hukum”, tetapi
juga sebagai “penegak keadilan”, justru hal ini yang seringkali diabaikan oleh sebagian
hakim di Indonesia.
Banyaknya putusan hakim yang mengabaikan rasa keadilan masyarakat ditanggapi
sinis oleh sebagian hakim dengan pertanyaan “tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat
yang mana?” atau rasa keadilan yang bagaimana?. Seolah dengan mengatakan seperti itu,
mereka sudah lolos dari gempuran orang yang kecewa dengan putusan mereka.
Sebagaimana yang pernah dikemukakan oleh Gustav Radbruch,3 tentang tiga ide unsur
dasar hukum, yang oleh sebagian pakar diidentikkan juga sebagai tiga tujuan hukum yang
dengan menggunakan asas prioritas selalu menempatkan keadilan sebagai prioritas utama,
1 Pasal 1 ayat 1 ,Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU No. 48 Tahun 2009).
2 Tajuk Rencana: “Rasa Keadilan Masyarakat Terganggu”, Kompas, 7 Juli 2007, hlm. 11.
3 Achmad Ali. Menguak Tabir Hukum, (Jakarta: PT. Toko Gunung Tbk, 2002), hlm. 83.
264
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
lalu kemanfaatan dan yang terakhir barulah kepastian hukum, sehingga ketika hakim harus
memilih antara keadilan dan kepastian hukum, maka pilihan harus pada keadilan terlebih
dahulu, walaupun kemudian berkembang ajaran prioritas kasuistis di mana menempatkan
tujuan hukum berdasarkan kebutuhan hukum dalam kasus tertentu, namun paling tidak
tujuan hukum tidak hanya mengejar kepastian hukum semata.
Peristiwa lain yang menjadi sorotan masyarakat luas terhadap lembaga peradilan
dan menjadi latar belakang penelitian ini, tatkala awal Tahun 2004 peradilan tertinggi
Indonesia yakni Mahkamah Agung “menyuguhkan” kepada masyarakat Indonesia, suatu
putusan kasasi yang kontroversial, kasus yang dikenal dengan nama “Bulog Gate”. Suatu
kasus korupsi dengan terhukum pimpinan lembaga legislatif Indonesia (DPR) sekaligus
pemimpin sebuah partai yang pernah berkuasa pada zaman orde baru, Akbar Tandjung
dengan putusan bebas murni (vrijspraak).4
Putusan MA yang membebaskan Akbar Tandjung dari segala tuntutan sudah dijatuhkan
dan sebagai realita harus diterima, namun ada satu sisi yang kurang diperhatikan umum,
yaitu adanya pendapat hukum oleh salah satu anggota majelis kasasi, yang berpendapat
berbeda dari anggota majelis hakim lainnya, berpendapat sebaliknya menolak kasasi
Tandjung dan membenarkan putusan pengadilan sebelumnya. Pendapat hukum yang
berbeda ini dalam ilmu hukum acara disebut Dissenting Opinion.
Sebagaimana terjadi saat ini tidak jarang hakim yang mempunyai integritas tinggi
selalu kalah dalam voting musyawarah majelis hakim. Terhadap hakim yang mempunyai
pendapat berbeda disediakan sarana untuk mengungkapkan perbedaan pendapatnya dengan
disertai argumen yuridisnya (legal reasoning) terhadap kesimpulan yang dianggapnya
tepat yang disebut Dissenting Opinion, walaupun tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat (not legally binding), pendapat berbedanya itu harus termuat dan menjadi bagian
dari putusan majelis hakim.5
Pada masa sebelum adanya dissenting opinion, hakim yang mempunyai pendapat
berbeda dengan majelis hakim mayoritas tidak dapat mengemukakan pendapatnya dalam
putusan karena aturan pada waktu itu, bilamana ada perbedaan hanya ditampung dalam
suatu buku catatan yang dipegang oleh ketua pengadilan sehingga pihak luar tidak akan
pernah tahu apabila ada perbedaan pendapat ataukah tidak diantara para hakim pada waktu
memutus perkara. Faktor inilah, antara lain yang memicu ketidakpercayaan masyarakat
terhadap putusan-putusan hakim di Indonesia.
RUMUSAN MASALAH
Bertitik tolak dari permasalahan-permasalahan tersebut di atas mendorong timbulnya
beberapa pertanyaan yaitu:
1. Sejauh mana hakim mengakomodasi doktrin dissenting opinion dalam putusannya?
2. Faktor-faktor empiris hukum apakah yang menjadi latar belakang hakim melakukan
dissenting opinion dalam putusannya?
3. Kendala apa yang dihadapi oleh hakim untuk lahirnya dissenting opinion dalam
putusannya?
4“Dissenting Opinion Putusan Akbar”, Kompas, 1 Maret 2004. hlm. 5.
5M. Laica Marzuki. Dari Timur Ke Barat Memandu Hukum: Pemikiran Hukum Wakil Ketua Mahkamah
Konstitusi, (Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,
2008), hlm. 45.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
265
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini rencananya akan dilaksanakan selama dua bulan pada tahun 2011 di
Pengadilan Negeri Makassar Propinsi Sulawesi Selatan. Lokasi tersebut dipilih dengan
pertimbangan bahwa Pengadilan Negeri Makassar merupakan Pengadilan Negeri dengan
kualifikasi Kelas IA dan berada di ibukota Propinsi, juga dengan pertimbangan bahwa di
Pengadilan Negeri Makassar memiliki tingkat penerimaan dan penyelesaian perkara yang
cukup tinggi.
Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi/survey, wawancara dan diskusi
dengan hakim-hakim di Pengadilan Negeri Makassar secara purposive sampling untuk
mengumpulkan data informasi secara sistematis dan akurat.
Berdasarkan jenis data yang dikumpulkan, maka data tersebut dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu:
Data primer
Data primer diperoleh dengan melakukan survey langsung ke lapangan dan
wawancara terhadap hakim di Pengadilan Negeri Makassar. Data yang dikumpulkan
meliputi sikap hakim setelah diakomodasinya doktrin dissenting opinion dalam
beberapa peraturan di lingkungan peradilan di Indonesia, apakah keberadaan doktrin
tersebut digunakan oleh hakim dalam putusannya, mengetahui faktor-faktor empiris
hukum yang melatarbelakangi hakim mengambil sikap untuk melakukan dissenting
opinion, sebaliknya juga mengetahui kendala yang dihadapi ketika langkah tersebut
tidak diambil (tidak dilakukan) oleh hakim-hakim di Pengadilan Negeri Makassar.
Data sekunder
Data sekunder dikumpulkan melalui studi kepustakaan yang berkaitan dengan
putusan hakim ditinjau dari kajian empiris hukum yaitu kajian sosiologi dan psikologi
hukum.
Metode Analisis Data
Data primer dan data sekunder yang telah dikumpulkan dalam penelitian ini
selanjutnya diolah dan ditabulasi serta diklasifikasikan sesuai dengan tujuan penelitian,
selanjutnya dianalisis secara deskriptif untuk mengetahui besarnya kontribusi doktrin
dissenting opinion dalam menilai kualitas putusan hakim demi terwujudnya tujuan hukum
bagi pencari keadilan.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Analisis Pemuatan Dissenting Opinion dalam Putusan Hakim
Mulanya pengadopsian pranata dissenting opinion bukan sesuatu yang lazim dipakai
dalam peradilan di Indonesia. Sejarah dan akar pengadopsiannya tidak dapat dilepaskan
dari sistem hukum yang dianut oleh suatu negara tertentu. Di negara-negara yang tidak
mengenal dissenting opinion seperti di negara-negara yang menganut sistem hukum Civil
law, setiap putusan merupakan kesepakatan bersama. Awalnya doktrin ini berkembang
di negara-negara yang menganut sistem hukum Anglo-Saxon, seperti Inggris, Amerika
Serikat, Canada, Australia, dan diikuti negara-negara sepaham.6
6 Op.cit, hlm. 120.
266
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
Filosofi diberlakukannya dissenting opinion(termasuk concurring opinion) adalah
untuk memberikan akuntabilitas kepada masyarakat pencari keadilan (Justiabelen) dari
para hakim yang memutus perkara. Seperti diketahui, mayoritas perkara dipengadilan
diputus oleh sebuah majelis hakim yang terdiri dari tiga orang hakim atau lebih. Dalam
pengambilan keputusan akhir, tidak tertutup kemungkinan terjadinya perbedaan pendapat,
maka keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak (voting).
Sebagaimana terjadi saat ini, tidak jarang hakim yang mempunyai integritas moral
yang tinggi selalu kalah dalam pengambilan suara (voting) dalam suatu majelis hakim,
terhadap hakim yang mempunyai perbedaan pendapat ini disediakan sarana untuk
mengungkapkan perbedaan pendapatnya yang disertai argumen yuridis dan putusannya
merupakan satu kesatuan dengan putusan hakim lainnya, yang istilah teknis yuridisnya
disebut Dissenting Opinion.7
Pada masa sebelum adanya dissenting opinion, hakim yang mempunyai pendapat yang
berbeda dengan majelis hakim lainnya tidak dapat mengemukakan pendapatnya dalam
putusannya, sehingga pihak luar tidak akan pernah tahu apakah ada perbedaan pendapat
atau tidak.
Pemakaian dissenting opinion maupun concurring opinion di Indonesia merupakan
salah satu buah dari rendahnya kepercayaan terhadap dunia peradilan. Penggunaan
dissenting opinion dan concurring opinion dipandang sebagai cara mewujudkan kebebasan
hakim untuk berbeda pendapat dan menghindari putusan rekayasa.
Pertama kali dissenting opinion di Indonesia digunakan diperadilan niaga yang
menangani masalah kepailitan, hal ini dapat dibuktikan dengan dikeluarkannya Perma No.
2 Tahun 2000 yang menyempurnakan Perma No. 3 Tahun 1999 tentang hakim Ad Hoc,
yang salah salah satu pasalnya menyebutkan bahwa dissenting opinion dalam keputusan
kepailitan diperbolehkan dan dicantumkan beserta putusan dalam bentuk lampiran serta
dianggap sebagai satu kesatuan dengan naskah putusan.8 Pengaturan tersebut kemudian
diikuti oleh Mahkamah Konstitusi, dan yang terakhir peradilan umum juga sudah mulai
mengakomodasi putusan dissenting opinion ini .
Dengan diadakannya perubahan UUKK yang baru, yakni UU No.4 Tahun 2004 dan
UUMA, UU No.5 Tahun 2004, telah diakuinya perbedaan pendapat untuk dimuat dalam
putusan sehingga tidak lagi tertutup dan bersifat rahasia. Ketentuan yang berkaitan dengan
dissenting opinion, diatur dalam Pasal 19 ayat (4), (5), dan (6), dan dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, dengan semangat dan jiwa yang sama
diatur dalam Pasal 30 ayat 2, 3, dan 4.
Mendahului ke dua undang-undang di atas, pengaturan dissenting opinion di
lingkungan MK telah diatur terlebih dahulu ada. Dalam Pasal 45 ayat (6) UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, menyatakan, “Dalam hal
musyawarah sidang pleno hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak
dapat menghasilkan putusan, musyawarah ditunda sampai musyawarah sidang pleno
hakim konstitusi berikutnya”. Dinyatakan, dalam hal musyawarah sidang pleno setelah
diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai mufakat bulat, putusan diambil
dengan suara terbanyak. Manakala musyawarah sidang pleno hakim konstitusi, tidak
dapat diambil dengan suara terbanyak, suara terakhir ketua sidang pleno hakim konstitusi
menentukan (Pasal 45 ayat (7) dan (8)). Dalam hal putusan tetap tidak mencapai mufakat
bulat, pendapat anggota Majelis Hakim yang berbeda dimuat dalam putusan (Pasal 45 ayat
(7), (8) dan (10)).
7 Artidjo Alkostar dalam Kompas, 10 April 2004, hlm. 12.
8 Raymon Ali, Pemantau Peradilan. Com. 2003.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
267
Dari ketiga peraturan di atas yang mengakomodasi pendapat berbeda (dissenting
opinion), termuat juga dalam perubahan terhadap Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman
yang baru yakni UU No. 48 Tahun 2009 yang memuat Dissenting Opinion yakni diatur
dalam Pasal 14 yang menyatakan:
(1) Putusan diambil berdasarkan sidang permusyawaratan hakim yang bersifat rahasia.
(2) Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.
(3) Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat
hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai sidang permusyawaratan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung.
Rupanya pemuatan dissenting opinion dalam putusan peradilan merupakan wujud
good governance yang telah menjadi trendglobal di dunia peradilan dewasa ini.
Sebagai perbandingan di Mahkamah Konstitusi, setelah pemeriksaan persidangan
selesai, hakim MK akan melakukan musyawarah untuk mengambil sikap apakah akan
mengabulkan permohonan, menolak atau menyatakan permohonan tidak dapat diterima.
Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) untuk pengambilan putusan akhir dilakukan
secara tertutup dan harus memenuhi kuorum sekurang-kurangnya 7 (tujuh) orang hakim.
Ini terjadi hanya karena adanya hal-hal luar biasa, baik karena sakit atau halangan tetap
yang belum dapat diatasi sementara. Dalam hal biasa, kuorum itu harus dengan pleno
lengkap yang dihadiri oleh 9 (sembilan) orang hakim. RPH pada tahap pertama akan lebih
dahulu mendengarkan laporan panel hakim yang menangani perkara tersebut yang akan
melaporkan hasil-hasil pemeriksaan perkara, baik mengenai legal issues maupun pendapat
ahli dan keterangan saksi-saksi tentang fakta yang relevan dengan perkara yang dihadapi,
hal ini sesuai dengan Pasal 28 ayat (4). Setelah itu, panel hakim akan memberi rekomendasi
tentang arah penyelesaian perkara jika panel hakim yang terdiri dari 3 (tiga) orang anggota
memiliki kesamaan pendapat. Jika tidak, pendapat individual hakim konstitusi yang
dibuat secara tertulis (yang diistilahkan dengan LO/Legal opinion) akan didengar satu
persatu. Dalam RPH pleno, ketua sidang pleno akan lebih dahulu memetakan pendapat
yang dikemukakan dengan membuat peta pendapat yang sama dan berbeda. Apabila
perbedaan itu masih ada, akan dilanjutkan dengan mencoba mendekatkan perbedaan yang
ada diantara hakim. Selalu diusahakan musyawarah yang sungguh-sungguh diantara hakim
konstitusi dengan saling mengemukakan argumen yang berusaha mendekatkan pandanganpandangan yang berbeda. Apabila perbedaan pendapat itu tidak dapat diperkecil dan bahkan
tidak dapat dipertemukan, meskipun sudah diusahakan semaksimal mungkin maka ketua
sidang pleno dapat menunda sidang meminta agar hakim konstitusi untuk membaca ulang
berkas perkara. Setelah dua kali sidang ditunda, pada sidang ke tiga ketua sidang pleno
akan mengambil kebijaksanaan terakhir dengan melakukan pemungutan suara. Mayoritas
sederhana (simple mayority) dengan perbandingan 5 (lima) dan 4 (empat) suara telah cukup
untuk mengambil keputusan apakah mengabulkan ,menolak atau menyatakan tidak dapat
menerima (niet ontvankelijk verklaard).
Dalam hukum acara di Mahkamah Konstitusi, biasanya hakim yang tidak setuju
(minoritas) atau yang berbeda pendapat (dissenting opinion) atau alasan yang berbeda
(concurring opinion) dikarenakan perbedaan yang tajam dalam “legal reasoning” yang
secara prinsipil dengan legal reasoning dari hakim mayoritas sehingga membawa perbedaan
dalam outcome of the case hukum dari perkara tersebut.
268
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
Penalaran hukum (legal reasoning) senantiasa dipengaruhi oleh landasan berpikir
tertentu, yang sifatnya sangat mendasar (fundamental) yang selalu dikaitkan dengan
penggunaan nalar manusia (logika) ditambah dengan unsur-unsur subjektif dan dibantu
dengan bahasa.
Penalaran hukum dalam putusan hakim adalah aktivitas subjektif dari hakim, baik
dilihat secara personal (sendiri-sendiri) maupun secara majelis (bersama-sama). Dengan
demikian, figur hakim menjadi pertimbangan yang penting. Menurut Shidarta,9 penalaran
hukum dapat saja berbeda sekalipun dilakukan oleh subjek-subjek hakim yang sama,
dikarenakan peristiwa hukum yang konkrit dari suatu perkara berbeda-beda ketika
ditangani oleh hakim, olehnya juga, menurut Sidharta,10 argumentasi dalam penalaran
hukum sebagai “berpikir problematik tersistematisasi”.
Menurut responden Hakim di Pengadilan Negeri Makassar, paling tidak ada enam (6)
langkah utama penalaran hukum dari hakim untuk mendapatkan putusan akhir, langkah
tersebut yakni:
Langkah pertama; mengidentifikasikan fakta-fakta untuk menghasilkan suatu struktur
(peta) kasus yang sungguh-sungguh diyakini oleh hakim sebagai kasus yang riil terjadi,
sehingga keyakinan hakim tentang duduk perkara menjadi sangat penting, langkah
ini mengharuskan masing-masing pihak yang berperkara mengajukan serangkaian
argumentasi, agar dapat mewujudkan keyakinan hakim, yang pada saatnya dapat dijadikan
sumber hukum “otonom” bagi yang bersangkutan dalam menyelesaikan kasus tersebut;
Langkah ke dua; menghubungkan (mensubsumsi) struktur kasus tersebut dengan
sumber-sumber hukum yang relevan dan telah disistematisasi oleh ilmu hukum, sehingga
hakim dapat menetapkan perbuatan hukum dalam peristilahan yuridis (legal term).
Pengkualifikasian merupakan titik krusial dalam penalaran hukum yang diformulasikan
dalam simbol, sebagian besar berupa kata-kata, yang mungkin dimaknai secara berbeda
menurut kacamata yuridis, misalnya “Mengambil milik orang lain dengan maksud dimiliki
secara melawan hukum” diberi kualifikasi sebagai pencurian; “Menghilangkan nyawa orang
lain” sebagai pembunuhan, dan seterusnya. Langkah pengkualifikasian ini sesungguhnya
merupakan kegiatan penemuan hukum melalui sumber-sumber hukum formil, antara lain
peraturan perundang-undangan, traktat, yurisprudensi, kebiasaan dan doktrin;
Langkah ke tiga; hakim menyeleksi sumber hukum dan aturan hukum yang relevan
untuk kemudian mencari tahu kebijakan yang terkandung di dalam aturan hukum itu (the
policies underlying those rules), sehingga dihasilkan suatu struktur (peta) aturan yang
koheren. Dalam tahap ini orientasi berpikir yuridis dari hakim semakin berperan secara
signifikan yang kemungkinannya dipengaruhi oleh sistem hukum negara dalam menentukan
jenis-jenis sumber hukum. Pada negara yang berkiblat pada sistem civil law misalnya,
maka besar kemungkinan hakim akan melirik terlebih dahulu kepada undang-undang dari
sumber hukum lainnya yang diperkirakan relevan dengan konteks permasalahan yang
dihadapi. Sumber-sumber hukum yang sudah diseleksi kemudian ditafsirkan dengan jalan
metode penemuan hukum;
Langkah ke empat; menghubungkan struktur aturan dengan struktur kasus melalui
logika deduktif. Pada kasus yang mudah, kemungkinan hakim tidak perlu berpikir keras
untuk mencari alternatif lain daripada jawaban yang dapat ditelurkan melalui intepretasi
gramatikal, lain halnya dengan kasus yang berat di mana konklusi harus sesuai dengan
kompleksitas struktur kasusnya;
9 Shidarta. Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks KeIndonesiaan, (Bandung: CV. Utomo, 2006),
hlm. 160.
10 Ibid, hlm. 163.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
269
Langkah ke lima; mencari alternatif-alternatif jawaban yang mungkin terjadi atas
masalah yang ditangani. Hakim atau majelis sangat mungkin memiliki lebih dari satu
alternatif jawaban atas masalah yang ditanganinya. Dengan melalui proses penalaran
hukum yang dapat dipertanggungjawabkan maka alternatif-alternatif itu diverifikasi dengan
argumentasi yang tepat. Kerja sama antara hakim-hakim yang duduk dalam satu majelis
diuji. Hakim yang baik harus menerima apabila argumentasi yang diajukan dikritik oleh
rekannya, bahkan ia wajib mengkritisi penalarannya sendiri termasuk apabila ada anggota
majelis hakim bersikeras untuk mempertahankan alternatif lain di luar putusan rekanrekannya, harus tetap dihormarti, untuk itu argumentasi alternatif itu wajib dimuat dalam
putusan yang dikenal dengan istilah dissenting opinion;
Langkah terakhir; menetapkan pilihan atas salah satu alternatif untuk kemudian
diformulasikan sebagai putusan. Sebagai pejabat negara, hakim diberi wewenang untuk
mengucapkan putusannya di muka persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau
menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.
Pendapat senada juga dikemukakan oleh responden hakim (wawancara September
2011), dengan merujuk Pasal 25 ayat (1) UUKK menegaskan bahwa segala putusan
pengadilan harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu
dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis
yang dijadikan dasar untuk mengadili.
Legal reasoning yang tertuang dalam pertimbangan hukum menurut para hakim
(Wawancara November 2011), memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan serta pasalpasal aturan hukum yang dijadikan dasar pertanggungjawaban hakim atas putusannya
kepada masyarakat, bahwa putusannyanya tidaklah sewenang-wenang oleh karena memiliki
alasan rasional dengan adanya aturan hukum yang melandasi putusannya.
Alasan-alasan yang dimaksud, menurut para responden (wawancara 2011) merupakan
argumentasi dan analisis dari hakim, sehingga tiba pada kesimpulan bahwa fakta tersebut
benar dan bahwa hukum yang diterapkan juga benar, yakni putusan yang mengandung ratio
decidendi (the ground or reason of decision). Lebih jauh, pentingnya hakim menjelaskan
konsep-konsep hukum yang mendasari pertimbangan putusannya, diharapkan hakim tidak
hanya menegakkan hukum dan keadilan tetapi juga membangun peradaban.
Olehnya, setelah putusan dibacakan akan menjadi public domain, putusan ini akan
terbuka sebagai bahan wacana publik (public discourse). Oleh sebab itu, publikasi putusan
yang utuh sangat diperlukan agar masyarakat tidak hanya tercuri perhatiannya pada
amar putusan, melainkan juga pada konsideran yang menggiring diktum amar putusan.
Masyarakat yang berkepentingan, harus diberi akses yang cukup agar setiap putusan hakim
dapat dikaji penalarannya (legal reasoningnya), sehingga tepat apa yang dikatakan oleh Sir
Alfred Denning:”In order that a trial should be fair, it is necessary, not only that a correct
decision should be reached, but also that is should be seen to be based on reason; and that
can only be seen if the judge himself states his reason.” 11
Contoh Putusan yang Memuat Dissenting Opinion: Perkara Pidana No. 1156/
Pid.B/2006/PN/MKS
Perkara yang diputus oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Makassar yang terdiri
dari Hj. Ida Kutana, SH, selaku ketua merangkap anggota, Erwin Mangatas Malau, SH.
MH, dan Hj. Hamimang Rachman, SH, selaku anggota, pada hari Rabu, tanggal 21 Maret
2007, dalam perkara pidana atas nama Rizal Anwar alias Ical, yang diputus secara split
decision (suara terbanyak/voting), bahwa terdakwa telah terbukti bersalah sesuai dakwaan
11 Sudikno Mertokusumo. Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1998), hlm. 178.
270
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
primer, melakukan tindak pidana penganiayaan yang menyebabkan korban Syahrul Umar
meninggal, diatur dan diancam dalam Pasal 338 KUHP (Pembunuhan dengan sengaja)
dan dalam dakwaan subsider, melanggar Pasal 354 ayat (2) KUHP (penganiayaan berat),
menusuk korban hingga tewas dengan sangkur di sekitar tempat kejadian di area Pub
Colors Makassar.
Pada putusannya, majelis hakim sepakat bahwa terdakwa terbukti secara sah dan
meyakinkan dengan terpenuhinya seluruh unsur dalam dakwaan, baik primer maupun
subsider, pertimbangan hal-hal yang memberatkan dan meringankan, maka terhadap
terdakwa dijatuhkan hukuman penjara 5 (lima) tahun. Namun pengambilan putusan majelis
hakim dilakukan secara voting berhubung tidak ada kesamaan dari majelis hakim dalam
menafsirkan fakta-fakta yang diperoleh selama persidangan, terjadi perbedaan pendapat
antara hakim mayoritas (Hj. Ida Kutana dan Hj. Hamimang Rachman) dengan hakim
Erwin Mangatas Malau yang melakukan “dissenting opinion”, berdasarkan pertimbangan
bahwa dari fakta-fakta yang ditemui dipersidangan, dari duabelas (12) orang saksi yang
dihadirkan tidak satupun saksi yang melihat dengan jelas korban telah di tusuk dengan
sangkur oleh terdakwa atau mengetahui dengan persis tentang kematian korban, dengan
keyakinan tersebut, Hakim Mangatas meragukan bahwa korban meninggal atas perbuatan
terdakwa, olehnya dalam beda pendapatnya ia mengatakan seharusnya terdakwa diputus
bebas.
Selain untuk mengeliminir intervensi dan menunjukkan kebebasan hakim, dissenting
opinion dan concurring opinion menurut seluruh responden hakim yang pernah mengambil
kesempatan tersebut, bermanfaat antara lain:
1. Mengeliminir kecurigaan masyarakat terhadap putusan hakim yang dibuat karena
syarat KKN. Dengan mencantumkan dissenting opinion dalam putusan maka
masyarakat dapat membaca pertimbangan masing-masing hakim dalam membuat
putusannya, sehingga masyarakat dapat mengetahui dan menilai sejauh mana
kualitas dan integritas intelektual hakim, baik putusan hakim mayoritas maupun
yang minoritas yang melakukan dissenting opinion, kemudian membandingkan
diantara keduanya. Pengetahuan dan penilain publik ini, tentu saja tetap dalam
kerangka penghormatan terhadap hak asasi manusia dari masing-masing hakim,
yakni hak untuk menyatakan pikiran dan pendapatnya, tanpa ada unsur sentimen
terhadap pribadinya. Dengan kata lain, dissenting opinion juga merupakan sarana
kontrol eksternal;
2. Dengan diakuinya dissenting opinion, akan menjadi mekanisme kontrol internal
dalam diri majelis hakim pada khususnya dan badan peradilan pada umumnya.
Pendapat yang berbeda dapat dipersandingkan satu dengan lainnya, sehingga para
hakim dalam majelis dapat menilai apa kelebihan dan kekurangan dari pendapat
yang berbeda tersebut dibandingkan dengan pendapat mayoritas dalam pengambilan
putusan atas suatu perkara yang diperiksa dan diputuskan. Masing –masing hakim
akan mengantisipasi pendapat dari koleganya, sehingga akan terdorong untuk
memberikan pendapatnya secara ilmiah disertai dengan argumentasi-argumentasi
yuridis dan non yuridis yang kuat untuk mendukungnya;
3. Memperkaya bahan pengkajian hukum yang sangat berguna bagi perkembangan
ilmu hukum, sebab pendapat individual dari hakim yang berbeda (dissenting
opinion) dapat disejajarkan dengan pendapat ahli (doktrin) yang dalam dunia ilmu
hukum diakui sebagai salah satu sumber hukum dalam arti formal;
4. Dapat dipakai sebagai acuan memutus perkara serupa yang terjadi kemudian hari.
Mungkin sekali terjadi, suatu dissenting opinion yang semula sebagai pendapat
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
271
minoritas kemudian menjadi yurisprudensi yang akan mengesampingkan putusan
terdahulu;
5. Pengertian judge made law tidak hanya dalam bentuk yurisprudensi (putusan yang
diterima sebagai hukum), melainkan termasuk juga dissenting opinion, walaupun
bagi negara-negara yang tidak menjalankan sistem dissenting opinion, hal ini
dipandang mengurangi arti kepastian hukum suatu yurisprudensi sebagai sumber
hukum.
6. Menumbuhkan kultur hukum masyarakat untuk menghormati putusan hakim,
walaupun ada majelis hakim yang berbeda pendapat.
Analisis faktor empiris hukum yang melatarbelakangi hakim melakukan dissenting
opinion
Kurang lebih 20 tahun silam, ketika Satjipto Rahardjo,12 mengutip pernyataan dari
Donald Black mengatakan bahwa putusan hakim ditentukan oleh sarapan paginya, maka
spontan terjadi “kegegeran” dikalangan peradilan yang pada waktu itu masih sangat asing
terhadap kajian sosiologi hukum dalam arti yang sebenarnya.
Dengan penggunaan kajian moral dan kajian ilmu hukum (normatif), pengadilan
cenderung dibebani tanggungjawab yang teramat berat dan nyaris tak terwujudkan, misalnya
yang terkandung dalam semboyan-semboyan yang sifatnya bombastis seperti :pengadilan
adalah “the last resort” bagi pencari keadilan, pengadilan adalah “ujung tombak keadilan”
dan lain sebagainya. Dari sudut sosiologis, beban berat seperti itu terhadap pranata
pengadilan, sebenarnya dapat dikatakan sebagai memperlakukan pengadilan secara kurang
adil dan realistis. Pengadilan beserta seluruh “faktor” yang terlibat dengannya, bukanlah
“makhluk yang tiba-tiba terjatuh begitu saja dari langit”, yang netral dari pengaruh
berbagai faktor; pengadilan dan seluruh “aktor” yang terlibat didalamnya adalah “produk
dari masyarakatnya”, yang tidak terlepas dari berbagai pengaruh non hukum.
Dalam hal membicarakan putusan hakim, tidak boleh tidak pembicaraan haruslah
dikaitkan dengan pengaruh faktor-faktor ekstern yang melingkupi hakim, seperti keadaan
lingkungannya, faktor ekonomi, pendidikannya dan kekuasaan dari pihak lain, sebab
hakim adalah bagian dari sistem sosial yang ada, ia juga hidup berkelompok, saling
bersosialisasi, sehingga sedikit banyaknya ia akan terpengaruh oleh faktor-faktor seperti di
atas, sebagaimana dikemukakan oleh Frans Cox13 :
“In most social influence situations there is an interplay between internal factors
(personality and motivational tendencies, incluiding striving for consistency) and
external ones (such as the power of the other persons, the level of inconsistency in the
situation)”.
Di bawah ini akan dipaparkan beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku hakim
dalam membuat putusan dari hasil penelitian: yakni (1). Kemampuan berpikir logis, (2).
Kepribadian, (3). Jenis kelamin, (4). Usia, (5) pengalaman kerja, pemaparannya sebagai
berikut:
(1) Kemampuan berpikir logis. Kemampuan nalar (berpikir logis) yang baik tentu
sangat dibutuhkan profesi hakim, jika melihat proses pengambilan keputusan yang
telah dikemukakan di depan, baik pada saat memutus bersalah atau tidak, maupun
memutus pemidanaan;
(2) Kepribadian. Faktor kepribadian hakim juga berpengaruh terhadap putusan
12 Satjipto Rahardjo. Hukum dan Perubahan Sosial, (Bandung: Alumni, 1979), hlm. 54.
13 Soerjono Soekanto. Beberapa Catatan Tentang Psikologi Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1993),
hlm. 29.
272
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
hakim di pengadilan. Banyak pakar berpendapat antara lain dari hasil penelitian
Brigham,1991;Yusti,P.R,2005, menemukan bahwa para hakim memiliki suatu
kepribadian yang disebut otoritarian. Kepribadian otoritarian percaya bahwa
otoritas harus dipercaya, dipatuhi, dan dihormati. Otoritas didefinisikan sebagai
individu yang secara hukum atau moral memiliki otoritas terhadap orang
lain, seperti orang tua, pemimpin agama, petugas sipil (polisi, hakim, kepala
pemerintahan), dan pemimpin militer. Kepribadian otoritarian cenderung berpikir
konvensional yang cenderung berpegang pada norma-norma agama dan nilai-nilai
moral. Dari penelitian Adorno (dalam Bartol dan Bartol) mengemukakan dengan
jelas ciri-ciri orang berkepribadian otoritarian, sebagai berikut : (a). ketaatan
kaku; (b). penekanan berlebihan kepada pihak lemah; (c). penerimaan yang tidak
kritis terhadap tokoh-tokoh pemegang otoritas; (d). yakin terhadap hukuman,
disiplin keras bagi yang melanggar nilai-nilai sosial dan undang-undang; (e).
cenderung berfikir kaku dan terlalu disederhanakan;(f).hasrat yang kuat untuk
mengasosiasikan diri dengan orang-orang yang berkuasa; (g). bersikap sinis
terhadap motif-motif dan tujuan-tujuan orang lain, yang hanya dianggap sebagai
“takhyul” atau hal yang tidak rasional; (h). tidak menyetujui kehidupan emosional
bebas atau penampakan emosi.
(3) Jenis kelamin. Menurut responden hakim,jenis kelamin hakim memberikan
pengaruh terhadap putusan hakim, walaupun beberapa penelitian menunjukkan
hasil yang tidak konsisten (Kapardis, 1997)14. Efran (dalam Dane dan Wrigthsman,
1982)15; (Yusti,P.R, 2005)16 melaporkan bahwa terdakwa dengan daya tarik fisik
menarik cenderung diputus tidak bersalah oleh juri pria dibanding juri wanita.
Stephan (dalam Dane dan Wrightsman, 1982) meneliti kasus pembunuhan
pasangan dan menemukan bahwa juri lebih sering memutuskan terdakwa bersalah
jika terdakwa berjenis kelamin sama dengan juri. Thornton (1977) meneliti
kasus pemerkosaan dengan korban menarik dan korban tidak menarik, hasilnya
menunjukkan bahwa ada perbedaan beratnya putusan antara pria dan wanita, baik
pada korban yang menarik maupun korban yang tidak menarik, terlihat bahwa
pria memberi hukuman yang lebih berat dibanding wanita.
(4) Usia. Usia sering dikaitkan dengan tingkat kematangan seseorang sehingga
diperkirakan terdapat perbedaan pemidanaan antara hakim muda dengan tua.
Hood (dalam Kapardis, 1997; Yusti, P.R, 2005) menemukan bahwa hakim tua
memberikan pemidanaan lebih berat. Gibson (dalam Kapardis, 1997) menemukan
fakta bahwa hakim tua lebih diskriminatif terhadap ras hitam. Beberapa penelitian
menunjukkan terdapat perbedaan strategi pemecahan masalah moral antara
kelompok tua dan muda.
(5) Pengalaman kerja. Setelah lulus seleksi hakim, calon hakim ditempatkan di
pengadilan negeri untuk memahami pekerjaan hakim. Calon hakim belajar
mengikuti proses persidangan. Setelah masa pelatihan diperkirakan cukup, calon
hakim diangkat sebagai hakim dan ditempatkan di daerah yang jumlah perkaranya
sedikit. Hakim belajar dari seniornya sebagai anggota majelis hakim. Semakin
lama masa kerja seorang hakim, makin bertambah kemungkinan ia ditempatkan
14 Kapardis, Andreas. Psychology and Law: Critical Introduction, (United Kingdom: Cambridge Univer
sity Press, 1997), hlm. 29.
15 Wrightman, Lawrence, S. Psychology and The Legal System (California: Brooks/Cole Publishing Com
pany, 1982), hlm. 90.
16 Yusti, P.R. Dibalik Putusan Hakim: Kajian Psikologi Hukum Dalam Perkara Pidana (Sidoarjo: CV.
Citra media, 2005), hlm. 129.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
273
di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, atau di Mahkamah Agung. Semakin
banyak pengalaman hakim yang berpengaruh terhadap proses pengambilan
keputusan. Hakim yang berpengalaman belajar tentang berbagai kasus yang
dihadapinya. Putusan hakim yang berpengalaman berbeda dengan hakim yang
kurang berpengalaman.
Di samping hal-hal yang telah disebutkan di atas, maka menurut peneliti unsur lain
yang ikut berpengaruh adalah kemampuan intektual dari hasil pendidikan hukum yang
diperoleh oleh seorang hakim yang turut mempengaruhi mutu dari putusannya.
Kemampuan intelektual sangat berhubungan dengan sistem pendidikan hukum yang
diterima atau yang diperoleh selama hidup dan bekerjanya aparat penegak hukum termasuk
hakim.
Analisis kendala yang dihadapi untuk lahirnya dissenting opinion dalam putusan
hakim
Perbedaan pendapat hakim adalah suatu hal yang lumrah terjadi dan ada sejak dahulu.
Sebenarnya perbedaan pendapat hakim (yang kini dikenal dengan istilah dissenting opinion),
tidak bertentangan dengan hukum, hanya saja ketertutupan pihak pengadilan yang tidak
mengakomodasinya secara terbuka untuk diketahui umum dan sifatnya tertutup atau rahasia,
berpijak pada pengaturan Pasal 182 ayat (6) KUHAP yang kemudian ditindaklanjuti aturan
intern MA, yang tertuang dalam Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi
Pengadilan, yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung, mengatur bahwa dalam hal terdapat
dua pendapat yang sama, bagi hakim yang kalah suara (minoritas) seyogianya menerima
pendapat mayoritas, sedangkan yang kalah suara diharuskan menuliskan pendapatnya
dalam sebuah buku (catatan hakim) khusus, yang dikelola oleh ketua Pengadilan Negeri
dan bersifat rahasia.
Ketertutupan pihak pengadilan yang senantiasa menutup-nutupi terhadap lahirnya
sebuah putusan yang berbeda tidak termuat dalam putusan, menimbulkan kecurigaan
masyarakat menganggap bahwa putusan tersebut dibuat, syarat dengan kolusi, korupsi
dan nepotisme (KKN) atau rekayasa, masyarakat tidak pernah mengetahui apakah semua
hakim dalam majelis tersebut terlibat KKN, atau ada diantara mereka yang bersih.
Demikian pendapat responden hakim mengatakan bahwa pemakaian dissenting opinion
di Indonesia, merupakan salah satu buah dari rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap
dunia peradilan. Penggunaan dissenting opinion, dipandang sebagai cara mewujudkan
kebebasan hakim untuk berbeda pendapat dan menghindari putusan rekayasa. Anggapan
yang salah kalau ada hakim yang mengatakan bahwa dengan dimuatnya dissenting
opinion bisa mengurangi legitimasi dari putusan hakim mayoritas. Pandangan demikian
menurut para hakim dikarenakan masyarakat kurang terdidik untuk menerima putusan
hakim. Menurut responden, dissenting opinion merupakan pembelajaran yuridis kepada
masyarakat, agar dibangun kultur menerima putusan hakim, karena putusan hakim juga
berfungsi sebagai “a tool of social angineering”17. Seharusnya putusan yang dibuat oleh
hakim harus betul-betul murni, bebas dan bersih dari kekeliruan, kekhilafan, kekurangankekurangan atau kebohongan-kebohongan, sehingga tidak menimbulkan ketidakpastian
hukum, putusan yang akan diambil oleh majelis hakim, merupakan putusan yang mantap
dan baik sehingga dapat menimbulkan keharmonisan, keselarasan, dan keserasian.”
Dari hasil wawancara terhadap responden hakim di Pengadilan Negeri Makassar,
mereka kurang menggunakan sarana dissenting opinion. Sebagian besar hakim mengatakan,
17 Roscoe Poud., An Introduction to Philosophy of Law, (New Hoven: Yale university Press, 1954),
hlm. 54.
274
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
tidak menyetujui putusan dilakukan dengan voting atau mayority decision yang melahirkan
dissenting opinion. Sebagian besar hakim beranggapan adalah tidak adil bila suatu kasus
kriminal menjatuhkan pidana kepada seorang, hanya didasarkan pengambilan suara secara
voting karena menyatakan seorang bersalah haruslah berdasarkan terbukti tidaknya semua
unsur delik yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk dijadikan dasar
pengambilan keputusan oleh majelis hakim. Demikian pula dalam kasus perdata, semua
persyaratan normatif yang secara eksplisit ditetapkan dalam undang-undang menjadi dasar
untuk menerima atau menolak permohonan penggugat, merupakan kaidah bulat yang tidak
boleh ditambah atau dikurangi dan diukur secara eksak-kuantitatif yang tidak sepatutnya
terserpih-serpih untuk dijadikan dasar putusan yang diambil secara kuantitatif melalui
voting. Terlebih lagi bagi responden hakim yang tidak menyetujui pengambilan putusan
secara voting atau mayority decision atau split decision beranggapan setiap putusan yang
tidak dipuasi dan diterima oleh para pihak dapat dilakukan upaya hukum, bila putusan
pengadilan tingkat pertama tidak terima maka dapat dilakukan banding dan selanjutnya
dapat dilakukan Kasasi atau PK di Mahkamah Agung.
Pendapat responden hakim yang tidak menyetujui pengambilan putusan secara voting
juga beranggapan bila ada perbedaan pendapat diantara majelis hakim, seyogyanya hal itu
hanya urusan intern saja, masyarakat tidak perlu mengetahui, demi terciptanya konsistensi
dan kepastian hukum, tanpa ada perbedaan pendapat yang tercantum secara utuh dalam
putusan hakim, karena asasinya dalam pengambilan putusan selama ini sebagian besar
responden hakim menginginkan suara bulat atas dasar musyawarah dan mufakat.
Perlu ditegaskan, bahwa dissenting opinion baru bisa dimunculkan apabila pengambilan
putusan didasarkan pada pemungutan suara (voting) yang akan menghasilkan suara
mayoritas dan minoritas. Kalaupun dalam pemungutan suara mungkin saja dihasilkan
suara bulat, suara bulat itu bukanlah hasil musyawarah mufakat, tetapi merupakan titik
temu dari semua pendapat para hakim, dalam pengambilan putusan. Oleh karena itu jangan
diharapkan dissenting opinion akan muncul jika pengambilan putusan didasarkan atas
musyawarah mufakat sebab musyawarah mufakat itu pada akhirnya akan menghasilkan
suara bulat tanpa dapat diketahui pendapat individual dari hakim-hakim yang ikut dalam
pengambilan putusan tersebut.
Menurut responden hakim yang menyetujui dissenting opinion ataupun concurring
opinion yang tertuang dalam berbagai undang-undang yang mengatur kekuasaan kehakiman
di Indonesia, merupakan bentuk pengakuan, penghormatan, dan perlindungan atas hak-hak
asasi dari seorang hakim yang merdeka, khususnya hak setiap orang atas kebebasan untuk
mengeluarkan pikiran dan pendapat, kebebasan untuk meyakini dan menyatakan pikiran
dan pendapatnya tanpa campur tangan dari pihak lain, seperti yang diamanatkan dalan
Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945. Dengan kata lain dissenting opinion atau concurring
opinion pada hakikatnya merupakan perwujudan dari hak-hak asasi manusia. Oleh karena
itu, pengakuan atas dissenting opinion dalam sistem peradilan, akan amat kondusif di
negara-negara yang menjunjung tinggi atas pengakuan, penghormatan, dan perlindungan
hak-hak asasi manusia. Dalam bidang peradilan, masyarakatpun akan menerima perbedaan
pendapat antara para hakim dalam pengambilan putusannya sebagai hal yang biasa saja,
seperti halnya perbedaan pendapat antara dua orang atau lebih mengenai suatu hal pada
umumnya.
Sebagai hal yang baru, dissenting opinion nampaknya dalam praktik jarang dilakukan
dilakukan oleh hakim di Indonesia terutama hakim-hakim yang berada di bawah naungan
Mahkamah Agung. Beberapa faktor penyebabnya, menurut para hakim dalam wawancara
kepada peneliti (November 2011) antara lain disebabkan oleh beberapa faktor, yakni:
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
275
Pertama, peradilan di Indonesia telah puluhan tahun menerapkan asas musyawarahmufakat dalam proses pengambilan putusan, jadi sama sekali tidak terbiasa untuk
memunculkan perbedaan pendapat ke permukaan dalam bentuk dissenting opinion. Dengan
kata lain, dissenting opinion merupakan barang baru yang masih asing bagi sebagian hakim
Indonesia. Sebagai sesuatu yang baru dan asing, tentulah tidak mudah bagi para hakim
Indonesia untuk mengadopsinya. Dibutuhkan proses yang mungkin cukup lama, supaya
benar-benar membudaya di kalangan para hakim di Indonesia.
Kedua, masih kuatnya budaya paternalistik dan sikap “ewuh-pakewuh” (tenggang
rasa) ataupun budaya feodal lainnya maupun faktor ikatan struktural seperti senior-yunior,
jabatan struktural, atasan-bawahan, perbedaan usia, dan lain sebagainya yang tampaknya
juga menghinggapi sebagian hakim, jelas kondisi seperti ini menyebabkan tidak kondusif
bagi adanya perbedaan pendapat secara terbuka. Ada hakim yang lebih senior ataupun
ketua pengadilannya yang tidak boleh disanggah pendapat atau kehendaknya oleh
hakim-hakim bawahannya, sehingga hakim bawahannyapun tidak mau mengungkapkan
pendapatnya yang berbeda meskipun mungkin lebih mendekati kebenaran dan keadilan,
sebab mereka takut akan menghadapi hambatan-hambatan dalam karir, promosi jabatan,
dan lain sebagainya. Belum lagi bila seorang hakim menyatakan berbeda pendapat, ia akan
dimusuhi oleh teman sejawat dan koleganya karena dianggap mau menonjolkan diri dari
beda pendapatnya, dan lain lain alasan penekan lainnya.
Ketiga, merupakan faktor yang bersifat teknis yang juga turut menghambat adalah
pekerjaan hakim dalam memeriksa perkara yang jumlahnya sangat banyak, terutama di
MA yang jumlahnya dapat mencapai ribuan, yang tentu saja membutuhkan waktu, pikiran,
dan tenaga yang cukup besar. Apalagi para hakim selama ini bekerja berdasarkan target
jumlah perkara yang harus diselesaikan dalam jangka waktu tertentu demi menuntaskan
penumpukan perkara yang semakin lama semakin banyak, yang penyelesaiannya didasarkan
atas suatu target waktu tertentu. Dalam kondisi seperti ini tentu saja aspek kualitas menjadi
terabaikan. Tentu saja ini mengurangi kesempatan bagi hakim untuk menelaah literaturliteratur hukum terkini untuk mengembangkan kemampuan dan keahlian hukumnya. Tidak
dapat disangkal, bahwa untuk dapat mengambil putusan maupun mengemukakan dissenting
opinion yang berkualitas, haruslah didukung oleh penguasaan ilmu dan keahlian dalam
bidang hukum yang memadai. Sangat kecil dapat diharapkan putusan maupun dissenting
opinion yang berkualitas dari hakim-hakim yang tidak memiliki integritas pribadi dan
kualitas intelektual yang memadai.
Keempat, sebagian besar hakim di Indonesia sudah dihinggapi penyakit rutinitas yang
tentunya dapat menghambat kreatifitas. Dalam kondisi seperti ini, seorang hakim seperti
halnya setiap manusia pada umumnya, sudah berada pada titik jenuh. Dalam kondisi
rutinitas tersebut sangat kecil dapat diharapkan juwa dan semangat kreatif, termasuk
kreatif dalam melakukan terobosan-terobosan hukum melalui penalaran dan argumentasi
hukum yang berkualitas tinggi yang dituangkan dalam putusan maupun dissenting opinion
. Untuk dapat keluar dari rutinitas ini dibutuhkan suatu perubahan situasi dan kondisi
sehingga mulai dapat memunculkan kreatifitas baru, termasuk dalam pengembangan ilmu
pengetahuan hukumnya baik melalui pelatihan-pelatihan dan pendidikan hukum lanjutan.
Kelima, sebagian lagi ada hakim yang sudah tidak peduli dengan pengembangan diri.
Pengembangan hukumnya hanya berkisar pada yang itu-itu saja, menganggap putusan yang
dibuatnya hanya sekadar corong undang-undang yang tidak boleh ditafsirkan lain selain
apa yang ditetapkan undang-undang, akhirnya putusan yang dibuat tidak berkualitas. Ada
pula hakim yang sudah merasa “mentok” dan tidak ada lagi kesempatan untuk menduduki
jenjang jabatan ataupun karir yang lebih tinggi lagi, bahkan jika tidak lama lagi akan
memasuki masa pensiun, maka hakim-hakim lebih siap memikirkan masa pensiunnya,
276
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
ketimbang memperdalam ilmu pengetahuan hukumnya.
Keenam, diantara para hakim tersebut ada yang tidak tahu dan tidak mampu dalam
mengungkapkan pikiran dan pendapatnya secara tertulis disebabkan karena tidak terbiasa
untuk menulis karya-karya ilmiah, meskipun sudah terbiasa menulis atau menuangkan
pikiran dan pendapatnya dalam putusan-putusan atas perkara yang diperiksa dan
diputuskannya. Sebenarnya jika putusan-putusan hakim itu dibuat dengan argumentasi
ilmiah yang berbobot tinggi, hal ini tidaklah merupakan masalah, sebab pada hakikatnya
menuangkan pikiran dan pendapat dalam bentuk karya ilmiah baik dalam bentuk makalah
atau buku-buku ilmiah, pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan menuangkan pikiran
dan pendapat hukum dalam bentuk putusan hakim. Untuk dapat benar-benar menuliskan
karya ilmiah maupun membuat putusan yang baik dan berkualitas memang dibutuhkan
kemampuan ilmiah yang memadai.
Ketujuh, berkaitan dengan sikap mental dan perilaku tercela dari segelintir hakim
yang tidak merasa malu menerima suap, memperdagangkan putusannya kepada pihakpihak yang berperkara merusak citra kekuasaan kehakiman yang mandiri. Sudah jelas
sikap mental seperti ini jelas-jelas bertentangan dengan hukum dan kode etik hakim. Dapat
dipastikan, bahwa dari hakim-hakim seperti ini tidak akan diharapkan putusan maupun
dissenting opinion yang memiliki bobot ilmiah yang memadai.
Kedelapan, publik atau masyarakat Indonesia hingga kini nampaknya belum terbiasa
dengan perbedaan pendapat dalam kehidupan sehari-hari, kecuali dikalangan yang amat
terbatas. Merekapun akan sukar memahami mengapa ada anggota majelis hakim yang
berbeda pendapat dengan mayoritas anggota lainnya yang dituangkan dalam bentuk
dissenting opinion. Mereka masih asing dengan dissenting opinion dalam putusan
hakim, sebab pada waktu-waktu sebelumnya memang tidak pernah diperkenalkan dan
diperkenankan. Oleh sebab itu, dissenting opinion ini perlu disosialisasikan hingga lama
kelamaan masyarakat dapat menerimanya, masyarakat dapat ditumbuhkan kultur hukum
untuk menerima perbedaan pendapat hakim dalam memutus perkara sekaligus masyarakat
dididik untuk menghormati putusan hakim”.
Dengan diakomodasinya dissenting opinion dan concurring opinion, diharapkan dari
putusan hakim dapat menjadi tonggak penyelenggaraan peradilan yang independen, bersih
dan berwibawa sebagai prasyarat good governance ditengah sorotan tajam masyarakat
terhadap lembaga peradilan yang sudah berada di bawah titik nadir, berhubung putusan
hakim yang dianggap tidak adil dan diskriminatif, demikian pendapat responden Hakim
(wawancara November 2011), sehingga manfaat dissenting opinion menurut mereka
antara lain:
Pertama, memang harus diakui, bahwa tidak dalam setiap pengambilan putusan
anggota majelis hakim akan berbeda pendapat ataupun, jika ada yang berbeda pendapat,
mereka tidak dengan sendirinya akan mengeluarkan dissenting opinion. Namun dengan
diakuinya dissenting opinion ini, menimbulkan kelegaan, karena selama ini pendapat dan
keinginan seolah terpendam hanya dalam hati. Demikian pula dissenting opinion akan
menjadi mekanisme kontrol internal dalam diri majelis hakim pada khususnya dan badan
peradilan pada umumnya. Pendapat yang berbeda itu akan dipersandingkan satu dengan
lainnya, sehingga mereka akan dapat menilai apa kelebihan dan kekurangan dari pendapat
yang berbeda tersebut dibandingkan dengan pendapat mayoritas dalam pengambilan
putusan atas suatu perkara yang diperiksa dan diputuskan. Masing-masing hakim akan
mengantisipasi pendapat dari koleganya, sehingga akan terdorong untuk memberikan
pendapatnya secara ilmiah disertai dengan argumentasi-argumentasi yuridis dan non
yuridis yang kuat untuk mendukung pertimbangannya.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
277
Kedua, dari sisi lain, publik pun termasuk para pihak yang terkait dalam perkara akan
dapat mengetahui dan menilai sejauh mana kualitas dan integritas dari sang hakim, baik
melalui putusan-putusannya maupun dissenting opinion tersebut serta dapat membandingkan
antara keduanya. Pengetahuan dan penilaian publik ini, tentu saja tetap dalam kerangka
penghormatan terhadap hak asasi manusia dari masing-masing hakim, yakni hak untuk
menyatakan pikiran dan pendapatnya, tanpa ada unsur sentimen terhadap pribadinya atau
pertimbangan-pertimbangan primordial lainnya.
Ketiga, dari segi pengembangan ilmu hukum, dissenting opinion inipun dapat
memperkaya khasanah ilmu hukum, sebab pendapat individual hakim yang berbeda
(dissenting opinion) dapat disejajarkan dengan pendapat para ahli (doktrin) yang dalam ilmu
hukum diakui sebagai salah satu sumber hukum dalam arti formal. Dissenting opinion inipun
seperti halnya putusan, seringkali diikuti para ahli hukum, baik dalam melakukan anotasi
atas putusan-putusan hakim maupun dalam makalah-makalah ilmiah. Untuk itu pemuatan
dissenting opinion dalam putusan sangat diperlukan, agar masyarakat dapat mengetahui
bahwa dalam penanganan suatu perkara yang lalu sudah ada pemikiran dari seorang hakim
mengenai perkara tersebut, walaupun kalah suara dan tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat, bukan tidak mungkin dalam perkembangannya justru berpendapat berbeda itulah
yang benar, yang kemudian akan membentuk keyakinan dari para pencari keadilan dan
dapat diterima di kalangan akademisi. Dalam praktiknya dibeberapa negara, dalam beberapa
hal, belum tentu putusan yang secara formal mengikat (pendapat mayoritas hakim) lebih
baik dan lebih berkualitas dibandingkan dengan dissenting opinion (pendapat minoritas
hakim). Terbuka adanya kemungkinan, bahwa dissenting opinion itu sendiri justru dapat
lebih berpengaruh dan diterima oleh masyarakat luas yang kemudian berkembang menjadi
kaidah hukum kebiasaan yang berlaku umum. Bukan tidak mungkin dalam perkara serupa
dimasa yang akan datang, justru “dissenting opinion” yang diikuti, dan pendapat mayoritas
(yang menjadi putusan) ditinggalkan.
Putusan hakim juga dapat menjadi sarana pendidikan bagi masyarakat guna meningkatkan
pemahaman mereka atas hak dan tanggungjawab serta peran teknis dari lembaga peradilan
dalam suatu negara hukum demi terwujudnya Good Justice Governance.18
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dan hasil analisis terhadap setiap pokok permasalahan dalam
penelitian ini, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Dalam beberapa aturan hukum dalam lingkungan kekuasaan kehakiman telah
mengakomodasi doktrin dissenting opinion. Pemuatan doktrin ini tidak lain merupakan
bentuk pengakuan, penghormatan, dan perlindungan atas hak-hak asasi dari seorang
hakim yang merdeka, khususnya hak setiap orang atas kebebasan untuk mengeluarkan
pikiran dan pendapat, kebebasan untuk meyakini dan menyatakan pikiran dan
pendapatnya tanpa campur tangan dari pihak lain, seperti yang diamanatkan dalan
Pasal 24 ayat (1) UUD 1945.
b. Lahirnya dissenting opinion atau pendapat yang berbeda dari seorang hakim tidak
terlepas dari aspek hukum empiris baik sosiologis maupun psikologis,antara lain:
(1). Kemampuan berpikir logis, (2). Kepribadian, (3). Jenis kelamin, (4). Usia, (5)
pengalaman kerja dan pendidikan hukum.
18 Philipus M. Hadjon, Pemerintahan Menurut Hukum (Wet-en Rechtmatig Bestuur), (Surabaya: Yuridika,
1993), hlm. 3.
278
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
c. Pemuatan dissenting opinion sebenarnya tidak bertentangan dengan hukum, hanya
saja ketertutupan pihak pengadilan yang tidak mengakomodasinya secara terbuka
untuk diketahui umum dikarenakan aturan intern yang dikeluarkan oleh MA. Di
sisi lain peradilan di Indonesia telah puluhan tahun menerapkan asas musyawarahmufakat dalam proses pengambilan putusan, jadi sama sekali tidak terbiasa untuk
memunculkan perbedaan pendapat ke permukaan dalam bentuk dissenting opinion,
juga masih kuatnya budaya paternalistik dan sikap “ewuh-pakewuh” (tenggang rasa)
ataupun budaya feodal lainnya maupun faktor ikatan struktural seperti senior-yunior,
jabatan struktural, atasan-bawahan, perbedaan usia, dan lain sebagainya.
Saran
a. Mengembangkan kultur egaliter di lingkungan kerja hakim, menumbuhkan sikap professional untuk menempatkan diri sederajat tanpa dibatasi sekat-sekat, seperti status
dan kedudukan sosial, melainkan atas perilaku dan karya-karyanya yang nyata dalam
menjalankan tugasnya. Hakim hendaknya menggunakan nilai solidaritas secara proporsional dengan menempatkan solidaritas korps (kolegial) di bawah solidaritas universal (kemanusiaan).
b. Dalam membuat putusan, hakim harus berani melepaskan diri dari belenggu undangundang. Hakim dapat berpandangan legalistik tetapi tidak boleh legistik, maksudnya
putusan yang dibuat harus berdasarkan hukum tetapi tidak boleh kaku hanya sekadar
corong undang-undang, namun lebih memaknai Perintah Pasal 28 UU No. 4 Tahun
2004 (UUKK) yang menyebutkan “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
c. Harus ditumbuhkan budaya hukum pada hakim untuk menerima perbedaan pendapat
dalam memutus perkara dengan pembekalan mengenai Hak-hak asasi manusia.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
279
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, Ali, 2002. Menguak Tabir Hukum, Jakarta: PT. Toko Gunung Tbk.
Bartol, Curt .R. & Bartol, Anne M, 1983, Psychology and American Law, Belmont,
California: Wadsworth Publishing.
Kapardis, Andreas, 1997. Psychology and Law:A Critical Introduction, United Kingdom,
Cambridge: University Press.
M. Laica Marzuki, 2008, Dari Timur Ke Barat Memandu Hukum: Pemikiran Hukum Wakil
Ketua Mahkamah Konstitusi, Prof. Dr. H. Laica Marzuki, Jakarta: Sekretariat Jendral
dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Philipus M. Hadjon, 1993, Pemerintahan Menurut Hukum (Wet-en Rechtmatig Bestuur),
Surabaya: Yuridika.
Pound, Rocoe, 1954, An Introduction To Philosophy of Law, New Hoven: Yale university
Preeess.
Satjipto, Rahardjo, 1979. Hukum dan Perubahan Sosial, Bandung: Alumni.
Shidarta, 2006, Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks KeIndonesiaan, Bandung:
CV. Utomo.
Soerjono, Soekanto, 1993. Beberapa Catatan Tentang Psikologi Hukum, Bandung: Citra
Aditya Bhakti.
Sudikno, Mertokusumo, 1998. Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty.
Wrightman, Lawrence S, 1982. Psychology and The Legal System, Second Edition, Pasific
Grove, California: Brooks/Cole Publishing Company.
Yusti, P.R., 2005, Di Balik Putusan Hakim: Kajian Psikologi Hukum Dalam Perkara
Pidana, Sidoarjo: C.V.Citramedia.
Raimond, Ali, PemantauPeradilan.Com.
Kompas, 1 Maret 2004, M. Hadi Subhan: “Dissenting Opinion Putusan Akbar”.
Kompas, 10 April 2004, Artidjo Alkostar: “Di Manakah Pendidikan Hukum?”
Kompas, 7 Juli 2007, Tajuk Rencana: “Rasa Keadilan Masyarakat Terganggu”.
280
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
PENATAAN STRUKTUR ORGANISASI
PERANGKAT DAERAH
(PASCA BERLAKUNYA PP NO. 41 TAHUN 2007)
Aswiwin Sirua
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
PENATAAN STRUKTUR ORGANISASI PERANGKAT DAERAH
(PASCA BERLAKUNYA PP NO. 41 TAHUN 2007)
Oleh: Aswiwin Sirua
Fakultas Hukum Universitas Indonesia Timur
Jl. Rappocini Raya No. 171-173, Makassar, Sulawesi Selatan
E-mail: [email protected]
Abstract
Issuance of PP. 41 Year 2007 on Organization of the regional as the mandate of
the Law no. 32 Year 2004 regarding Regional Government is a government policy that
seeks to maximize the performance of local government officials at provincial and district
government/city. As the main purpose of the PP. 41 in 2007 is saving a rich structure
function means that the institutional structure of the region economically and has sought
extensive functionality, so there is no overlap in the distribution of tasks, and can suppress
the field of financing so as to provide optimal service to the community and can realize the
people’s welfare.
Keywords: Structuring, the Regional
Abstrak
Dikeluarkannya PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah sebagai
amanat dari UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan suatu
kebijakan pemerintah yang berusaha untuk memaksimalkan kinerja aparat pemerintah
daerah Provinsi maupun pada pemerintah daerah Kabupaten/Kota. Sebagaimana tujuan
utama dari PP No. 41 Tahun 2007 adalah hemat struktur kaya fungsi artinya bahwa struktur
kelembagaan daerah diupayakan sehemat mungkin dan mempunyai fungsi luas, sehingga
tidak terjadi tumpang tindih dalam pembagian tugas, serta dapat menekan dibidang
pembiayaan sehingga dapat memberikan pelayanan pada masyarakat yang optimal dan
dapat mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Kata Kunci: Penataan, Perangkat Daerah
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
PENDAHULUAN
Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada dasarnya menganut paham
pemisahan dan pembagian kekuasaan, sebagaimana yang tercermin dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD NRI 1945) yang memisahkan
secara horisontal antara kekuasaan eksekutif (pemerintah), legislatif (DPR) dan yudikatif
(peradilan). Serta pembagian kekuasaan secara partikal sebagaimana yang tertuang dalan
Pasal 18 UUD NRI 1945 mengenai pemerintahan daerah dengan membagi wilayah Negara
Kesatuan RI menjadi Daerah-daerah Provinsi, dan selanjutnya membagi daerah-daerah
Provinsi menjadi satuan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Ini prinsip desentralisasi
yang dianut dalam pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Walaupun pada dasarnya kita menganut prinsip desentralisasi, namun tidak sepenuhnya
semua kewenangan/urusan pemerintahan diserahkan kepada Daerah, melainkan ada
beberapa kewenangan yang secara mutlak tetap merupakan kewenangan pemerintahan
Negara Kesatuan Republik Indonesia, karena eksternalitas dan sifatnya tidak bisa lain harus
dilakukan oleh kekuasaan pemerintahan negara. Oleh karena itu, di dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia asas desentralisasi dan sentralisasi bisa dibedakan, tetapi
tidak bisa dipisahkan dan keduanya tidak merupakan dikotomi, karena baik desentralisasi,
maupun sentralisasi keduanya merupakan species dari genus NKRI.
Secara teoritik Pemerintah Daerah mempunyai dua arti, yaitu arti luas (broad sense)
dan arti sempit (narrow sense). Dalam arti luas, Pemerintahan Daerah terdiri atas Kepala
Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daearah. Sedangkan dalam arti sempit Pemerintah
Daerah hanya Kepala Daerah saja.
Prinsip lain yang perlu mendapat perhatian dalam rangka pembagian wewenang
antara Pemerintah Pusat dan Daerah, bahwa sebagian kewenangan yang diberikan oleh
pemerintah pusat kepada daerah dalam rangka melaksanakan asas desentralisasi adalah
kewenangan yang berasal dari Presiden. Artinya, tidak ada lembaga negara lainnya, seperti
MPR, DPR, MA, BPK dan lain-lain yang menyerahkan sebagian kewenangannya kepada
Daerah otonom.
Konstruksi perwilayahan yang diatur didalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, menempatkan provinsi sebagai daerah otonom sekaligus
sebagai wilayah administrasi. Pengaturan yang demikian ini berarti bahwa antara provinsi
dan kabupaten dan kota mempunyai keterkaitan dan hubungan hirarkis satu sama lain,
baik dalam arti status kewilayahan maupun dalam sistem dan prosedur penyelenggaraan
pemerintahan.
Pemberian otonomi kepada daerah merupakan penjabaran dari Pasal 18 UUD 1945,
yang diimplementasikan ke dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
pemerintah daerah, yang telah digantikan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah. Nilai dasar yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 pada Pasal 10 ayat (3) yakni pemberian keleluasaan dari pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah berupa kewenangan menyelenggarakan otonomi seluas-luasnya
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pmerintahan berdasarkan asas otonomi dan
tugas pembantuan dalam batas-batas kedaulatan negara, terkecuali kewenangan dalam
bidang yang menjadi urusan pemerintah yakni: (1) politik luar negeri, (2) pertahanan, (3)
keamanan, (4) yustisi, (5) moneter dan fiskal, (6) serta agama yang merupakan kewenangan
pemerintah pusat.
Pembagian urusan pemerintahan ini, didasarkan pada pemikiran bahwa selalu terdapat
berbagai urusan pemerintahan yang sepenuhnya dan atau tetap menjadi kewenangan
pemerintah karena urusan pemerintah tersebut menyangkut terjaminnya kelangsungan
284
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
hidup bangsa dan negara secara keseluruhan, maka bidang-bidang lain diluar pengaturan
Pasal 10 ayat (3) merupakan urusan pemerintah daerah.
Dalam rangka pelaksanaan prinsip otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab,
sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah, pemerintah daerah, provinsi dan
pemerintah daerah kabupaten/kota. Perubahan pola sistem pemerintahan di Indonesia dari
sentralistik menjadi pola desentralisasi, diharapkan dapat memberikan banyak manfaat
pada kemajuan daerah yaitu diberikannya keleluasaan dan kemandirian kepada daerah
untuk mengatur dan mengelola urusan rumah tangganya sesuai dengan kewenangannya,
di samping kewajibannya untuk menghormati hak-hak dan asal usul daerah serta nilai-nilai
budaya daerah sesuai amanah konstitusi.
Prinsip secara nyata, bahwa setiap daerah memiliki potensi untuk merealisasikan
isi dari jenis otonomi yang dilimpahkan karena isi dan jenis otonomi bagi daerah tidak
selalu sama dengan daerah lain dan dalam penyelenggaraannya haruslah benar-benar
sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi atau dapat dipertanggung jawabkan
pelaksanannya.
Dalam rangka mewujudkan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab
sebagai kecenderungan utama dalam reformasi yang berkaitan dengan pelaksanaan urusan
pemerintahan daerah maka pemerintah daerah dapat melakukan penataan organisasi
perangkat daerah, dan penataan relokasi personil sebagai wujud pemberdayaan birokrasi
yang efesian dan efektif sebagai tindak lanjut dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat dengan melalukan penyelenggaraan otonomi daerah yang lebih memperhatikan
pada potensi (sumber daya manusia atau penduduk, wilayah, anggaran pendapatan dan
belanja daerah) serta keaneka ragaman dan atau karasteristik daerah.
Oleh karena itu, dalam rangka memberdayakan dan memandirikan daerah dalam
menjalankan pemerintahannya sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, maka pensyaratan yang paling penting
yang harus dipenuhi dalam melaksanakan otonomi didaerah maka diperlukan struktur
kelembagaan organisasi perangkat daerah yang adaptif serta adanya sumber daya manusia
atau aparatur birokrasi daerah yang memiliki kemauan (willingness) dan kemampuan
(capability) dalam mengembangkan kreativitas di dalam menggali, mengembangkan,
serta mengelola sumber-sumberdaya alam (SDA) dan sumber daya buatan (SDB) guna
mencapai tujuan memandirikan daerah guna mensejahterakan rakyat.
Penataan struktur organisasi perangkat daerah sebagaimana yang tertuang dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 sebagai berikut:
Pasal 1 ayat (2):
Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan
dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 1 ayat (3):
Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah
sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
Pasal 1 ayat (7):
Perangkat daerah provinsi adalah unsur pembantu kepala daerah dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang terdiri dari sekretariat daerah,
sekretariat DPRD, dinas daerah dan lembaga teknis daerah.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
285
Pasal 2 ayat (1):
Pembentukan organisasi perangkat daerah ditetapkan dengan peraturan daerah
dengan berpedoman pada peraturan pemerintah ini.
Pasal 2 ayat (2):
Peraturan daerah adalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengatur mengenai
susunan, kedudukan, tugas pokok organisasi perangkat daerah.
Dengan demikian kebijakan dalam penataan struktur organisasi perangkat daerah
diatur dalam Peraturan Daerah. Pada tingkat daerah provinsi, maka diatur dalam bentuk
Peraturan Daerah Provinsi dan diatur dalam bentuk Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
apabiula di tingkat Kabupaten/Kota. Peraturan daerah tersebut diharuskan berpedoman
atau berdasar pada Peraturan Pemerintah. Sebagimana telah diisyaratkan dalam pedoman
organisasi perangkat daerah yang berdasarkan karakteristik, potensi dan kebutuhan disertai
analisis jabatan dan kemempuan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) masingmasing daerah, baik provinsi maupun kabupaten dan kota diselaraskan dengan beban kerja
dan kebutuhan dengan memperhatikan prinsip ”hemat struktur, dan kaya fungsi”.
Namun dalam kenyataannya yang pertama, bahwa dalam pengaturan struktur organisasi
perangkat daerah sebagaimana yang telah dipertegas dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan
daerah, baik daerah provinsi maupun kabupaten kota mempunyai hak dan kewenangan
untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan asas otonomi dan tugas
pembantuan sehingga kehadiran PP No. 41 Tahun 2007 bertentangan dengan asas otonomi,
yang membatasi ruang gerak daerah untuk berinovatif guna kelancaran penyelenggaraan
pemerintahan daerah khususnya dalam bidang pelayanan kepada masyarakat.
Kedua yang terjadi adalah bahwa dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan
daerah khususnya pada Provinsi Sulawesi Selatan dalam hal penerapan PP No. 41 Tahun
2007 tentang organisasi Perangkat Daerah belum berjalan secara optimal, sebagaimana
dicontohkan,1 Gubernur Sulawesi Selatan, setengah hati menerapkan PP 41 Tahun 2007
tentang organisasi perangkat daerah. Selanjutnya menurut beliau, walaupun berjanji akan
menerapkan PP tersebut namun beliau memastikan tidak menggabung tiga dinas seperti
yang diatur dalam PP tersebut. Dari pernyataan tersebut, dapat dilihat adanya pertentangan
atau beda persepsi antara pemerintah pusat sebagai mana yang telah dituangkan kedalam
Peraturan Pemerintah dengan pemerintah daerah dalam hal ini Gubernur mengenai penataan
struktur organisasi perangkat daerah. Dan hal tersebut di atas, bisa terjadi di daerah provinsi
lain maupun daerah kabupaten dan kota.
Selanjutnya yang ketiga, sebagaimana yang telah dikemukakan bahwa dalam hal
pembentukan organisasi perangkat daerah ditetapkan dengan peraturan daerah. Sejalan
dengan pernyataan diatas sebagaimana yang telah dilakukan oleh pemerintah Provinsi
Sulawesi Selatan ada dugaan bahwa peraturan daerah (perda) yang dimaksud dalam
penetapan organisasi perangkat daerah terjadi pelanggaran atau tidak berpedoman
kepada peraturan pemerintah bahkan dengan kemunculan peraturan menteri dalam negeri
(PERMENDAGRI) No. 57 Tahun 2007, tentang petunjuk teknis dan pelaksanaan organisasi
perangkat daerah membuat semakin carut marutnya penerapan Struktur organisasi Perangkat
Daerah Tersebut. dikarenakan Perturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 dan peraturan
menteri dalam negeri dengan Peraturan Daerah yang menetapkan organisasi perangkat
daerah yang dikeluarkan dalam hal in pemerintah daerah provinsi sulawesi selatan saling
bertentangan. Dalam arti bahwa peraturan yang lebih rendah bertentangan dengan peraturan
1 Dikutip: Harian Fajar, 4 September 2009.
286
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
yang lebih tinggi (lex superior derogat legi imferiori).
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan diteliti adalah
sebagai berikut:
1. Sejauhmanakah pengaturan struktur organisasi perangkat daerah sejalan dengan
desentralisasi kewenangan daerah?
2. Sejauhmanakah pelaksanaan struktur organisasi perangkat daerah di Provinsi
Sulawesi Selatan?
3. Sejauhmanakah konsekuensi yuridis pengaturan struktur organisasi perangkat
daerah menurut peraturan perundang-undangan?
METODE PENELITIAN
Bentuk dan Pendekatan
Adapun penelitian ini dapat digolongkan dalam penelitian yuridis-normatif atau
doktrinal. Disebut yuridis-normatif, karena lebih mengarahkan obyek penelitian pada
problematika peraturan perundang-undangan di bidang otonomi daerah umumnya, dan
khususnya dalam pengaturan dan pelaksanaan struktur organisasi perangkat daerah.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini mencakup pendekatan yang didasarkan
pada peraturan perundang-undangan yang berlaku (statuta approach).
Sumber Data
Berdasarkan pada pendekatan yang digunakan, maka dapat ditentukan sumber data
penelitian ini, yaitu sumber data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder. Bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan dan aturan
kebijakan yang berkaitan dengan obyek penelitian, yaitu pengaturan dan pelaksanaan
struktur organisasi perangkat daerah. Sedangkan bahan hukum sekunder adalah buku
literatur hukum, jurnal hukum yang berisi pendapat para sarjana hukum yang mempunyai
kualifikasi tinggi (doktrin) dan berkaitan dengan obyek penelitian.
Teknik Pengumpulan Data
Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini akan dikumpulkan melalui kegiatan
penulusuran terhadap bahan-bahan hukum primer yang meliputi peraturan perundangundangan yang berhubungan dengan pengaturan dan pelaksanaan struktur organisasi
perangkat daerah. Sedangkan bahan hukum sekunder akan dikumpulkan melalui bacaan
literatur hukum yang berisi teori-teori hukum dan konsep hukum.
Untuk melengkapi bahan-bahan hukum sebagai sumber data sekunder, akan
dilakukan wawancara, dengan pihak-pihak yang peneliti anggap memiliki kompetensi
atau pengetahuan yang mendalam di bidang hukum tata negara, khususnya yang berkaitan
dengan persoalan pengaturan dan pelaksanaan struktur organisasi perangkat daerah.
Wawancara ini dilakukan dengan metode terstruktur, dengan menggunakan daftar
pertanyaan, tetapi dengan catatan pokok permasalahan yag disampaikan. Catatan pokok
ini digunakan sebagai pedoman dan alat kontrol mengenai relevan atau tidaknya data yang
terkumpul.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
287
Teknik Analisis Data
Setelah bahan-bahan hukum berhasil dikumpulkan dengan menggunakan teknik
yang telah ditetapkan di atas, kemudian dilakukan sistemanisasi bahan hukum tersebut,
diidentifikasi bahan hukum sesuai dengan kelompok permasalahan yang diajukan dalam
penelitian ini. Kemudian dicari interprestasi, selanjutnya dianalisis dengan analisis hukum
(legal opinion) dalam bentuk argumen hukum dan dilengkapi dengan kajian teoritiknya.
Teknik analisis semacam ini dikenal dalam penelitian ilmu-ilmu sosial dengan metode
deskriptif analisis.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Konsep Negara Hukum
Dalam kepustakaan Indonesia, menurut Azhary,2 istilah negara hukum merupakan
terjemahan langsung dan rechtsstaat. Selain itu juga negara hukum disamakan artinya dengan
rule of law. Namun dalam kenyataannya, terjadi perbedaan pendapat di antara para pakar
tentang ketiga istilah tersebut. Ada yang menganggap bahwa istilah negara hukum sama
artinya dengan rechtsstaat dan rule of law, namun di lain pihak ada juga yang menganggap
bahwa istilah negara hukum tidak dapat dipersamakan dengan istilah rechtsstaat dan rule of
law. Jika melihat unsur dan ketiga istilah tersebut, maka akan nampak persamaan semangat
yang menginginkan pembatasan kekuasaan sehingga tidak terjadi kesewenang-wenangan,
terjaininnya hak asasi manusia, dan terjaininnya suatu peradilan yang bebas dan mandiri.
Oleh karena itu, pada hakikatnya, ketiga istilah itu dapat dipersamakan.
Teori negara berdasarkan hukum secara esensi bermakna bahwa hukum adalah
‘supreme’ dan kewajiban bagi setiap penyelenggara negara atau pemerintahan untuk tunduk
pada hukum (subject to the law). Tidak ada kekuasaan di atas hukum (above the law),
semuanya ada di bawah hukum (under the rule of law). Dengan kedudukan ini tidak boleh
ada kekuasaan yang sewenang-wenang (arbitrary power) atau penyalahgunaan kekuasaan
(inisuse of power).3
“Konstitusi merupakan penyusunan jabatan dalam suatu negara, dan menentukan apa
yang dimaksudkan dengan badan pemerintahan dan apa akhir dari setiap masyarakat,
konstitusi merupakan aturan-aturan, dan penguasa harus mengatur negara menurut
aturan-aturan tersebut.”
Lebih lanjut, menurut Ellydar Chaidir,4 bahwa ide tentang negara hukum ini menghilang
serta ditinggalkan orang, dan kembali muncul di Barat pada awal abad XVII. Timbulnya
kembali pemikiran tentang negara hukum ini disebabkan karena kondisi dan situasi yang
kurang lebih sama dengan kondisi dan situasi yang ada pada saat Plato dan Aristoteles
mengemukakan ide tentang negara hukum, yaitu merupakan reaksi terhadap kekuasaan
yang absolut. Pemikiran-pemikiran yang muncul pada abad XVII ini, merupakan embrio
konsep negara hukum yang di abad XIX makin berkembang dan mengilhami pemikiran
Locke, Montesquieu, dan Rousseau.
Pengaturan dalam pembentukan struktur organisasi perangkat daerah sebagaimana
yang tertuang didalam Pasal 120 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
yang menjelaskan tentang perangkat daerah disebutkan pada ayat (1) bahwa perangkat
daerah provinsi terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, dan lembaga
2Azhary, Negara Hukum Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1995), hlm. 30.
3 Sumali. Reduksi Kekuasaan Eksekutif di Bidang Peraturan Pengganti Undang-Undang (PERPU), (Malang: UMM Press, 2002), hlm. 11.
4 Ellydar Chaidir. Hubungan Tata Kerja Presiden dan Wakil Presiden, Perspektif Konstitusi, (Yogyakarta:
UII Press, 2001), hlm. 21.
288
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
teknis daerah. Selanjutnya pada ayat (2) dikemukakan bahwa perangkat daerah kabupaten/
kota terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, lembaga teknis daerah,
kecamatan dan kelurahan. dari bunyi Pasal tersebut dapat dilihat bahwa dalam setiap
provinsi hanya bisa membentuk sebanyak 4 (empat) lembaga sebagaimana yang telah
disebutkan diatas sedangkan kabupaten/kota bertambah 2 (dua) lembaga lagi yang bisa
dibentuk yaitu kecamatan dan kelurahan.
Lebih lanjut, pada ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004, disebutkan bahwa susunan
organisasi perangkat daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan
dalam peraturan daerah dengan memperhatikan faktor-faktor tertentu dan berpedoman
pada Peraturan Pemerintah. Selain itu, pada Pasal 128 ayat (2) menyebutkan bahwa
pengendalian organisasi perangkat daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh pemerintah untuk provinsi dan oleh Gubernur untuk kabupaten/kota dengan
berpedoman pada peraturan pemerintah. Dan di Pasal 120 ayat (3) bahwa formasi dan
persyaratan jabatan perangkat daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 ayat (1) dan
ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah dengan berpedoman pada Peraturan
Pemerintah.
Sebagaimana menurut Widjaja,5 hal ini dimaksudkan untuk memberikan kekuasaan
yang luas kepada daerah untuk menetapkan kabutuhan organisasi sesuai dengan penilaian
masing-masing daerah, sehingga diharapkan daerah dapat menyusun organisasi perangkat
daerah dengan mempertimbangkan kewenangan, karakteristik, potensi, dan kabutuhan,
kemampuan keuangan, ketersediaan sumber daya aparatur serta pengembangan pola kerja
sama antar daerah dan atau dengan pihak ketiga.
Setelah UU No. 32 Tahun 2004 ditetapkan dan diberlakukan, maka sampai pada tahun
2007, PP No. 8 Tahun 2003 masih tetap berlaku. Hingga pada tanggal 23 Juli 2007 kembali
Pemerintah Indonesia menetapkan dan memberlakukan PP No. 41 Tahun 2007 tentang
Organisasi perangkat daerah dan sekaligus menyatakan bahwa PP No. 8 Tahun 2003
tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
PP No. 41 Tahun 2007 sangat berbeda dengan peraturan sebelumnya, mulai dari
nomenklatur dan substansi yang ada dalam peraturan tersebut, dimana dalam PP No. 41
Tahun 2007 tersebut sangat jelas dan gamblang menyebutkan mulai dari variabel dalam
membentuk organisasi perangkat daerah, klasifikasi dan jumlah yang akan dibentuk oleh
daerah serta penilaian standar dan maksimal dalam pembentukan organisasi perangkat
daerahnya.
Dalam hal untuk mengetahui tentang pengaturan organisasi perangkat daerah yang
sejalan dengan desentralisasi kewenangan daerah, maka dapatlah tentukan beberapa
indikator sebagai berikut:
Substansi Hukum
Substansi hukum adalah merupakan isi pokok yang terkandung dalam suatu
peraturan yang akan menjadi acuan atau dasar untuk dilaksanakan. Berkaitan dengan
struktur organisasi perangkat daerah maka tentunya diatur dengan suatu peraturan
perundang-undangan dalam rangka terwujudnya pelayanan masyarakat yang optimal
khususnya terhadap Pemerintahan Daerah.
Dalam pembentukan organisasi perangkat daerah tentunya mempunyai dasar
hukum yang menjadi patokan dalam membentuk organisasi perangkat daerah. Penulis
ingin memulai pembahasan ini dengan mengacu pada Pasal 18 ayat (2) UUD NRI
5 Widjaja, HAW. Penyelenggaraan Otonomi DiIndonesia, Dalam Rangka Sosialisasi UU. 32
Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hlm.
103.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
289
1945, bahwa Pemerintahan Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten dan Kota mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
Dari pasal tersebut di atas tersirat bahwa daerah berhak mengatur dan mengurus
urusan pemerintahannya sendiri tidak terkecuali mengenai pembentukan organisasi
perangkat daerah atau termasuk di dalamnya. Berdasarkan pasal tersebutlah, maka
pembentuk undang-undang dalam hal ini Pemerintah dan Dewan Perwakilaran Rakyat
(DPR) membuat regulasi terkait Pemerintahan Daerah yang disebut dengan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Menurut Agus Salim Andi Gadjong,6 bahwa perubahan sistem pemerintahan
yang sentralistis berpengaruh langsung pada pelaksanaan pemerintahan daerah
yang sentralistis. Undang-Undang ini menganut asas pemerintahan desentralisasi,
dekonsentrasi dan tugas pembantuan, namun dalam kenyataan, pelaksanaannya
menguatkan (dominan) asas dekonsentrasi dalam pelaksanaan pemerintahan daerah.
Tujuan penerapan sistem sentralistik ini diharapkan dapat menciptakan stabilitas yang
kuat dan sangat diperlukan dalam menciptakan landasan dalam upaya pembangunan
ekonomi. Kontrol pemerintah pusat kepada daerah semakin kuat dan transparan
sehingga membuat fungsi dan peranan daerah sebagai perpanjangan tangan untuk
menyukseskan program-program yang dirancang pemerintah pusat.
Berikut uraian secara singkat tentang substansi yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan mengenai Struktur Organisasi Perangkat Daerah (provinsi),
dalam Pasal 120 dan 128 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah:
1. Perangkat daerah provinsi terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD,
dinas daerah dan lembaga teknis daerah.
2. Susunan organisasi perangkat daerah sebagaimana dimaksud pada bagian 1
(satu) diatas ditetapkan dengan Peraturan Daerah dengan memperhatikan
faktor-faktor tertentu dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah.
Berdasarkan hal tersebut di atas bahwa UU No. 32 Tahun 2004 memerintahkan
adanya Peraturan Pemerintah yang mengatur lebih lanjut tentang organisasi perangkat
daerah. Maka Pemerintah Republik Indonesia melalui Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia (Menkumham) mengeluarkan sebuah peraturan yang dikeluarkan tepatnya
pada tanggal 23 Juli 2007 yang disebut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 41
Tahun 2007 sebagai pengganti dari Peraturan Pemerintah sebelumnya yakni Peraturan
Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah.
Sedangkan dalam Pasal 19-22 PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat
Daerah menyebutkan sebagai berikut:
1. Besaran OPD ditetapkan berdasarkan variabel jumlah penduduk, luas wilayah
dan jumlah APBD;
2. Besaran OPD Provinsi berdasarkan di tentukan melalui penilaian standar
minimal dan maksimal;
3. Penyusunan OPD berdasarkan pertimbangan adanya urusan pemerintahan
yang perlu ditangani;
4. Dalam hal beberapa urusan ang ditangani oleh satu perangkat daerah, maka
penggabungannya sesuai dengan perumpunan urusan pemerintahan yang
dikelompokkan dalam bentuk dinas dan lembaga teknis daerah.
6 Agus Salim Andi Gadjong. Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum, (Jakarta: PT. Ghalia Indonesia, 2007), hlm. 160.
290
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
Dari uraian tersebut diatas tersirat bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun
2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah mengatur secara detail atau rinci tentang
pembentukan organisasi perangkat daerah mulai dari nomenklatur, variabel, penilaian,
pembentukan, besaran, jumlah dan nomenklatur dari organisasi perangkat daerah yang
akan dibentuk oleh pemerintah daerah provinsi maupun kabupaten dan kota.
Berikut tanggapan hasil wawancara penulis dengan para narasumber dilingkup
Pemerintahan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan PP No. 41 Tahun 2007 tentang
Organisasi Perangkat Daerah:
Menurut salah seorang anggota DPRD Provinsi bahwa substansi dari PP No.
41 Tahun 2007 tentang organisasi perangkat daerah adalah pembagian urusan dan
kewenangan, dimana dalam rangka rencana pembangunan daerah yang meliputi 2
(dua) aspek, yakni Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Menengah daerah
(RPJMD) dan Rencana Pembangunan Jangka Pendek daerah (RPJPD). Lebih lanjut
menurut beliau dilihat dari kedua aspek tersebut kemudian dijabarkan melalui
muatan hukum daerah atau yang menjadi kewenangan daerah dalam membentuk
peraturan daerah. Peraturan daerah tersebutlah yang menjelaskan secara spesifik
tentang organisasi perangkat daerah.
Sedangkan menurut narasumber dari Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan
yang diwakili oleh Biro Hukumnya, menyatakan bahwa PP No. 41 Tahun 2007
cukup membatasi daerah untuk membentuk organisasi perangkat daerah. Dalam
arti bahwa seharusnya disesuaikan dengan kondisi, potensi dan dinamika yang ada
pada daerah karena menurut beliau PP No. 41 Tahun 2007 tersebut berlaku secara
umum yang menggeneralisir semua daerah di Indonesia, sedangkan keadaan
daerah berbeda-beda, baik dari segi potensi, karakteristik, maupun dinamika di
setiap daerah.
Berbeda dengan penjelasan yang diberikan oleh Biro Organisasi Kepegawaian
Setda Provinsi Sulawesi Selatan bahwa PP No. 41 Tahun 2007 adalah peraturan
pelaksanaan dari pada Pasal 120 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
daerah yang diperintahkan kepada Pemerintah Daerah dalam membentuk
organisasinya ditetapkan dengan Peraturan Daerah dengan tetap berpedoman pada
PP No. 41 Tahun 2007 tentang organisasi perangkat daerah tersebut. Lebih lanjut,
menurut beliau PP No. 41 Tahun 2007 merupakan salah satu bentuk atau wujud
dari pelaksanaan otonomi daerah dalam menyusun norma, standar, dan prosedur
dan tidak mendikte atau membatasi daerah karena hanya sebagi pedoman dalam
membentuk organisasi perangkat daerah khususnya pada provinsi sulawesi selatan.
Sedangkan hasil wawancara yang dilakukan pada Sekretariat DPRD Prov.
Sul-Sel, menganggap bahwa penerapan PP No. 41 tahun 2007 tentang Organisasi
Perangkat Daerah sudah sesuai dengan yang disebutkan di dalam peraturan
tersebut dengan pertimbangan disesuaikan dengan kebutuhan daerah. Mengenai
apakah daerah dibatasi oleh PP tersebut, menurut beliau PP No. 41 Tahun 2007
tersebut tidak membatasi ruang gerak daerah.
Maka sebagaimana yang telah diuraikan di atas mengenai substansi hukum, baik
yang telah diuraikan oleh UU No. 32 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Daerah maupun
dalam PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah (OPD) serta dari
pandangan para narasumber, penulis dapat menarik kesimpulan dan berpandangan
bahwa PP No. 41 Tahun 2007, membatasi ruang gerak daerah dalam membentuk
organisasi perangkat daerahnya yang hanya berdasar dari veriabel pembentukan OPD
dengan tiga kriteria yakni jumlah penduduk, luas wilayah dan APBD, serta mengatur
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
291
secara lebih rinci dan detail mulai dari besaran, jumlah, nilai bahkan perumpunan OPDnya tanpa memperhatikan potensi, kebutuhan, dan karakteristik daerah sebagai salah
satu kemajemukan setiap daerah yang berbeda-beda dalam satu wilyah NKRI. Dan
penulis lebih sependapat dengan PP sebelumnya yakni PP No. 8 Tahun 2007 tentang
Pedoman Organisasi Perangkat Daerah yang sangat mengedepankan prinsip-prinsip
kedaerahan, dimana memberikan dasar pemebentukan OPD selain dari ketiga variabel
yang telah di sebutkan dalam PP No.41 Tahun 2007 juga memberikan variabel yakni:
aspek kewenangan pemerintah daerah, potensi, kebutuhan dan karakteristik daerah.
Namun dalam Pasal 1 Permendagri No. 57 Tahun 2007 tentang Petujuk Teknis
Penataan Organisasi Perangkat Daerah menyatakan bahwa: ”Pembentukan perangkat
daerah berdasarkan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah yang terdiri
dari urusan wajib dan urusan pilihan, dengan memperhatikan kebutuhan, kemampuan
keuangan, cakupan tugas, kepadatan penduduk, potensi, karakteristik serta sarana dan
prasarana”.
Berdasarkan hal tersebut, menurut hemat penulis justru memberikan peluang
yang besar dan keleluasaan kepada daerah untuk membentuk organisasi perangkat
daerahnya dengan memberikan standar penilaian mengenai kebutuhan, karakteristik,
potensi, kemampuan, dan beban kerja daerah yang tidak diakomodir pada PP No.
41 Tahun 2007, yang memberikan batasan yang cukup ketat terhadap pembentukan
organisasi perangkat daerah. sehingga terjadi ketidaksinkronan antara keduanya.
Kemudian apabila dibandingkan isi dari Permendagri tersebut dengan peraturan
sebelumnya yakni PP No. 8 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah
sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, dimana keduanya memberikan standar
penilaian yang sama dalam pembentukan organisasi perangkat daerah. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa Permendagri No. 57 Tahun 2007 mereduksi PP No. 41 Tahun 2007
tentang Organisasi Perangkat Daerah.
Konsep Otonomi dan Desentralisasi
Beranjak pada Pasal 18 ayat (1) UUD NRI 1945, bahwa Negara Kesatuan
Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi
atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai
pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. Untuk mencapai tujuan
tersebut diadakanlah pemerintahan daerah berdasarkan Pasal 18 UUD NRI 1945,
sebagai konsekuensi yuridis dari diadakannya pemerintahan daerah (pembagian daerah)
di Indonesia atas dasar desentralisasi adalah lahirnya daerah otonom yang memiliki
otonomi (daerah) dalam menyelenggarakan urusan pemerintahannya sendiri. Hal ini
sejalan dengan apa yang terdapat dalam konstitusi dalam kaitannya dengan pasal 18
UUD NRI 1945 sebagai landasan konstitusional penyelenggaraan pemerintahan daerah,
khususnya setelah mengalami perubahan (amandemen) di dalamnya terkandung hal-hal
yang prinsipil sebagai mana tampak prinsip-prinsip sebagai berikut: (1) Prinsip daerah
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan
tugas pembatuan). Pasal 18 ayat (2). Ketentuan ini menegaskan bahwa pemerintah
daerah adalah suatu pemerintahan otonom dalam NKRI. Prinsip tersebut lebih sesuai
dengan gagasan membentuk pemerintahan daerah sebagai satuan pemerintahan mandiri
didaerah yang demokratis.
Konsep Otonomi
Pada dasarnya otonomi itu sendiri berasal dari bahasa Yunani, yakni
“outonomos atau outonomia” yang berarti keputusan sendiri (self ruling).
292
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
Sebagaimana yang juga dinyatakan dalam Pasal 1 Angka (5) UU No. 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam ketentuan umum Pasal 1 huruf (h)
UU No. 22 Tahun 1999, menyebutkan bahwa otonomi daerah adalah kewenangan
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Sedangkan pada UU No. 32 Tahun 2004, mengartikan
otonomi daerah sebagai hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sejak UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah diberlakukan,
maka telah terjadi pergeseran model pemerintahan daerah dari sebelumnya
sentralistik yang menganut structural efficiency model yang diterapkan dalam
UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah berdampak
pada pengabaian aspirasi dan prakarsa masyarakat lokal ke arah local democracy
model, sesuai dengan alam demokrasi yang menghormati nilai-nilai demokrasi
kemajemukan dalam masyarakat.
Pada penerapan model demokrasi mengandung arti bahwa penyelenggaraan
desentralisasi dan otonomi daerah menuntut adanya partisipasi dan kemandirian
masyarakat daerah (lokal) tanpa mengabaikan prinsip persatuan negara dan
bangsa. Desentralisasi dan dekonsentrasi merupakan keniscayaan dalam organisasi
negara yang hubungannya bersifat kontinum. Artinya, dianutnya desentralisasi
tidak serta merta meninggalkan faham sentralisasi, karena tanpa sentralisasi maka
desentralisasi tidak akan pernah ada dan sebaliknya sentralisasi ada karena adanya
dukungan dari daerah yang disebut desentralisasi.
Dengan demikian desentralisasi sebenarnya menjelmakan otonomi masyarakat
setempat untuk memecahkan berbagai masalah terutama dalam mendekatkan
pelayanan kepada masyarakat yang bersifat lokal demi tercapainya kesejahteraan
masyarakat yang bersangkutan. Desentralisasi dapat pula disebut dengan
otonomisasi, otonomi daerah yang diberikan kepada daerah atau masyarakat.
Otonomi adalah pemerintahan yang dari, oleh dan untuk rakyat di bagian
wilayah nasional melalui lembaga-lembaga pemerintahan yang secara formal
berada di luar pemerintah pusat. Operasionalisasi otonomi ini mencakup 2 (dua)
komponen utama otonomi. Pertama, komponen wewenang menetapkan dan
melaksanakan kebijaksanaan sebagai komponen yang mengacu pada konsep
pemerintahan yang terdapat dalam pengertian otonomi. Kedua, komponen
kemandirian sebagai komponen yang mengacu pada kata “dari rakyat, oleh rakyat
dan untuk rakyat”.
Menurut Bagir Manan,7 meskipun desentralisasi merupakan otonomi, akan
tetapi desentralisasi tidak sama dengan otonomi, karena otonomi merupakan
inti desentralisasi, sehingga desentralisasi dalam hal ini adalah desentralisasi
yang melahirkan wewenang bagi daerah untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan sendiri dalam wadah pemerintahan lokal.
Selain itu, Jeddawi,8 menyatakan bahwa desentralisasi yang melahirkan
adanya wewenang daerah sesuai dengan pembagian wewenang antara pemerintah
pusat dengan pemerintah daerah. Wewenang pemerintah daerah pada konsep
7 Bagir Manan. Hubungan Antara Pusat Dan Daerah Menurut UUD 1945, (Yogyakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1994), hlm. 11.
8Jeddawi. Memacu Investasi Di Era Otonomi Daerah, Kajian Beberapa Perda Tentang Penanaman
Modal, (Yogyakarta: UII Press, 2005), hlm. 61.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
293
pemerintahan daerah yang merupakan hak atau otonomi , dan otonomi bermakna
pengundangan sendiri yang dalam kepustakaan Belanda, otonomi berarti
pemerintahan sendiri (zelfregering).
Maka, otonomi juga diartikan sebagai membuat undang-undang sendiri
(zelfwegening), melaksanakan sendiri (zelfuitvoering), mengadili sendiri
(zelfrechpraak) dan menindak sendiri (zelfpolitie). Dengan demikian, otonomi
dapatlah diartikan sebagai kebebasan dan kemandirian untuk memelihara dan
memajukan kepenttingan, khususnya daerah dengan wewenang sendiri untuk
menetapkan peraturan sendiri dan menjalankan pemerintahan daerah sendiri tanpa
adanya intervensi dari pihak manapun.
Menurut Kaloh,9 menegaskan bahwa otonomi adalah kewenangan pada lokal
kesatuan maupun pada lokal federasi karena kewenangan mengatur dan mengurus
rumah tangga daerah berada pada pemerintah lokal yang kesatuannya meliputi
segenap kewenangan pemerintah kecuali beberapa urusan tertentu yang menjadi
urusan pemerintah pusat.
Dapatlah dikemukakan bahwa otonomi adalah keleluasaan dalam bentuk hak
dan wewenang serta kewajiban dan tanggung jawab lembaga pemerintah daerah
untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan keadaan
dan karateristik dan kemampuan daerahnya sebagai wujud penyelenggaraan
desentralisasi. Adapun dalam penyelenggaraan otonomi dikenal beberapa asas,
yakni:
i. Asas Otonomi Formal
Urusan rumah tangga daerah tidak ditetapkan dengan peraturan perundangundangan. Kepala daerah diberi kekuasaan untuk mengatur dan mengurus
segala sesuatu yang dianggap penting bagi daerah,l sehingga dapat dikerjakan
dengan tepat.
ii. Asas Otonomi Material
Dalam asas ini urusan rumah tangga daerah dibatasi dan diatur secara rinci
dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini dimaksudkan diadakannya
pembagian urusan mana yang menjadi porsinya pemerintah dan pemerintah
daerah, karena terdapatnya lokal spesifik tertentu pada urusan tersebut.
iii. Asas Otonomi Rill
Asas ini merupakan campuran asas otonomi formal dengan asas otonomi
material. Pembagian urusan ini berdasarkan faktor-faktor yang rill. Akan tetapi
asas ini lebih pada asas otonomi formal karena dengan asas ini diharpkan
adanya keleluasaan bagi daerah buntuk berinisiatif, sehingga daerah dapat
benar-benar mandiri.
iv. Asas Otonomi Luas, Nyata dan Bertanggung Jawab
Prinsip otonomi seluas-luasnya merupakan kewenangan daerah untuk
mengatur dan mengurus semua urusan pemerintahan diluar yang menjadi
urusan pemerintah yang ditetapkan undang-undang.
Daerah memiliki kewenangan membentuk kebijakan daerah dalam rangka
memberikan pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan
masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat maka secara
nyata yang berarti pemberian otonomi yang didasarkan pada faktor-faktor
9 Kaloh, J. Mencari Bentuk Otonomi Daerah, Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan Lokal
Dan Tantangan Global, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hlm. 3.
294
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
perhitungan dan tindakan-tindakan atau kebijaksanaan-kebijaksanaan yang benarbenar dapat menjamin daerah secara nyata, mampu mengurus rumahtangganya
sendiri dengan pertimbangan bahwa setiap daerah memiliki potensi untuk
merealisasikan isi dan jenis otonomi yang dilimpahkan karena isi dan jenis otonomi
bagi daerah tidak selalu sama dengan daerah lain dan dalam penyelenggaraannya
haruslah benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi atau
dapat dipertanggung jawabkan pelaksanaannya pada pemerintah.
Menurut Rias Rasyid,10 (2005:78) bahwa otonomi dan desentralisasi
mempunyai tempatnya masing-masing dan mempunyai keterkaitan yang erat dan
tidak dapat dipisahkan, dimana istilah otonomi lebih ditekankan pada political
aspect (aspek politik yang menyangkut dengan kekuasaan negara), sedangkan
desentralisasi lebih cenderung pada administrative aspect (aspek administrasi).
Mengutip penjelasan tersebut otonomi daerah berarti menyangkut ruang
kewenangan untuk mentelenggarakan pemerintahan yang telah diberikan sebagai
wewenang rumah tangga daerah. Dalam konteks pelaksanaannya otonomi daerah
tidak hanya berorientasi pada tuntutan untuk menyerahkan kewenangan tanpa
menghiraukan makna dari otonomi daerah tersebut.
Konsep Desentralisasi
Desentralisasi sebagai suatu asas yang digunakan dalam bidang pemerintahan
yang merupakan kebalikan dari asas sentralisasi. Dalam asas sentralisasi
kewenangan berada pada pemerintah pusat dan tidak distribusikan ke daerah,
sehingga pejabat-pejabat di daerah hanyalah melaksanakan kehendak pemerintah
pusat dalam mejalankan pemerintahan di daerah. Berbeda dengan asas sentralisasi,
asas desentralisasi menghendaki pemerintah pusat menyerahkan sebagian
kewenangannya kepada penyelenggara pemerintahan di daerah.
Istilah desentralisasi berasal dari dua kata bahasa Latin, de berarti lepas dan
cetrum berarti pusat. Sehingga desentralisasi secara harfiah, bermakna melepaskan
diri dari pusat. Dalam presfektif kajian ketatanegaraan, pemerintahan berdasarkan
asas desentralisasi berkaitan erat dengan pemerintah pusat di mana pemerintah
pusat melimpahkan sebagian kewenangannya kepada pemerintah daerah.11
Desentralisasi dalam UU No. 32 Tahun 2004, adalah penyerahan wewenang
pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonomi untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menurut C.W. Van Der Pot,12 setiap negara kesatuan (unitary State) dapat
disusun dan diselenggarakan menurut asas dan sistem sentralisasi.Sentralisasi
yang disertai pemencaran organ-organ yang menjalankan sebagian wewenang
pemerintahan pusat didaerah dikenal sebagai dekonsentrasi,sementara
desentralisasi tidak semata-mata dilakukan oleh pusat melainkan juga oleh
kesatuan-kesatuan pemerintah yang lebih rendah yang mandiri,bersifat otonom
(teritorial ataupun fungsional).
Namun bagi H. A. Mustari Pide,13 pada dasarnya desentralisasi adalah
pelimpahan atau penyerahan kekuasaan atau kewenangan di bidang tertentu
secara vertikal dari instansi/lembaga pejabat yang lebih tinggi kepada institusi/
10 Rias Rasyid. Desentralisasi dan Otonomi Daerah, (Jakarta: LIPI, 2005), hlm. 78.
11Koesoemahatmadja. Pengantar Kearah Pemerintahan Daerah Di Indonesia, (Bandung: Bina Cipta,
1979), hlm. 14.
12 Bagir, Manan, Loc.Cit, hlm. 40.
13 Mustari, Pide. Otonomi Daerah Dan Kepala Daerah Memasuki Abad XXI, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1990), hlm. 33-34.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
295
lembaga bawahannya sehingga yang diserahi/dilimpahi kekuasaan,wewenang
tertentu berhak bertindak atas nama sendiri dalam urusan tertentu tersebut.
Selain itu, The Liang Gie beranggapan bahwa desentralisasi merupakan
pelimpahan wewenang dari pemerintahah pusat kepada satuan-satuan organisasi
pemerintahan untuk menyelenggarakan segenap kepentingan setempat dan
kelompok penduduk yang mendiami suatu wilayah.14
Dalam pandangan lain, desentralisasi merupakan sebuah mekanisme
penyelenggaraan pemerintahan yang menyagkut pola hubungan antara pemerintah
pusat dan dengan pemerintahan daerah. Dengan demikian, tujuan desentralisasi
menurut Afan Gaffar dkk,15 pemerintahan adalah:
a. Dalam rangka peningkatan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan
pemerintahan,
b. sebagai wahana pendidikan politik masyakat di daerah,
c. memelihara keutuhan negara kesatuan atau integrasi nasional,
d. mewujudkan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan yang dimulai
dari daerah,
e. memberikan peluang bagi masyarakat untuk membentuk karir dalam bidang
politik dan pemerintahan
f. sebagai wahana untuk memberikan peluang kepada masyarakat untuk
berpartisipasi dalam proses perencanaan dan pelaksanaan pemerintahan,
g. untuk mempercepat pelaksanaan pembangunan di daerah dan
h. untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan yang berwibawa.
Teori Kewenangan dan Teori Fungsi
Teori Kewenangan
Salah satu permasalahan yang menojol dalam konteks kebijakan desentralisasi adalah
perbedaan persepsi mengenai pengertian kewenangan (authority). Secara konseptual,
istilah kewenangan dapat diartikan sebagai hak dan atau kewajiban untuk menjalankan satu
atau beberapa fungsi manejemen atas suatu obyek tertentu yang ditangani oleh pemerintah.
Kewenangan merupakan satu konsepsi dalam Hukum Admintrasi Negara. Menurut
Prajudi dalam Madjid H. Abdullah,16 menyatakan bahwa pengertian kewenangan dan
wewenang (competence, bevoegdheid). Selanjutnya dikatakan kewenangan adalah apa
yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan legislatif (diberikan
oleh UU) atau dari kekuasaan eksekutif adaministratif.
Kewenangan atau wewenang adalah suatu istilah yang biasa digunakan dalam lapangan
hukum publik. Namun sesungguhnya, terdapat perbedaan diantara kewenangan dan
wewenang. Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan tersebut
berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang. Sedangkan wewenang hanya
merupakan bagian (“onderdeel”) dari kewenangan. Kewenangan merupakan kekuasaan
dari segolongan orang tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan atau
urusan pemerintahan tertentu yang bulat.
14The Liang, Gie. Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Rpublik Indonesia, Jilid I, (Yogyakarta: Liberty, 1993), hlm. 36.
15 Ibid, hlm. xviii
16 Madjid H. Abdullah. Penataan Hukum Organisasi Perangkat Daerah Dalam Konteks Otonomi Daerah
Berdasarkan Prinsip-Prinsip Tata Pemerintahan Yang Baik, Disertasi Universitas Hasanuddin, Makassar,
2007.
296
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
Menurut Philipus M. Hadjon dalam Jalaluddin,17 bahwa setiap tindak pemerintahan
disyaratkan harus bertumpu atas kewenangan yang sah. Kewenangan itu diperoleh
melalui tiga sumber, yaitu atribusi, delegasi serta mandat. Kewenangan atribusi lasimnya
digariskan melalui pembagian kekuasaan negara oleh undang-undang dasar. Sedangkan
kewenangan delegasi dan mandat adalah kewenangan yang berasal dari pelimpahan.
Sejalan dengan konsep Philipus M. Hardjon, Sie Infakum-Ditama Binbangkum,
memberikan penjelasan bahwa pada dasarnya kewenangan diperoleh oleh seseorang
melalui 2 (dua) cara, yaitu dengan atribusi atau dengan pelimpahan wewenang.
Atribusi adalah wewenang yang melekat pada suatu jabatan. Dalam tinjauan hukum
tata negara, atribusi ini ditunjukan dalam wewenang yang dimiliki oleh organ pemerintah
dalam menjalankan pemerintahannya berdasarkan kewenangan yang dibentuk oleh
pembuat undang-undang. Atribusi ini menunjuk pada kewenangan asli atas dasar konstitusi
(UUD 1945) atau peraturan perundang-undangan. Sedangkan pelimpahan wewenang
adalah wewenang diperoleh melalui dua proses yaitu pelimpahan secara delegasi dan
pelimpahan secara mandat. Pelimpahan secara delegasi biasanya pendelegasian diberikan
antara organ pemerintah satu dengan organ pemerintah lain, pemberi kewenangan
memiliki kedudukan lebih tinggi dari pihak yang diberikan wewenang serta diikuti
dengan pengakuan kewenangan, sedangkan pelimpahan mandat umumnya diberikan
dalam hubungan kerja internal antara atasan dan bawahan dan tidak terjadi pengakuan
kewenangan melainkan hanya bertindak atas nama. Pada pelimpahan delegasi tidak dapat
lagi menggunakan wewenang yang dimilikinya karena telah terjadi pengalihan wewenang
kepada yang diserahi wewenang sedangkan pada pelimpahan mandat, pemberi mandat
masih dapat menggunakan wewenang bilamana mandat telah berakhir
Penyelenggaraan desentralisasi menurut UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, mensyaratkan adanya pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah dengan
daerah otonom. Pembagian urusan pemerintahan didasarkan pada pemikiran bahwa selalu
terdapat urusan pemerintahan yang sepenuhnya tetap menjadi kewenangan pemerintah
dan ada menjadi kewenangan pemerintah daerah. Urusan pemerintah pada dasarnya adalah
hal yang menyangkut terjaminnya kelangsungan hidup bangsa dan negara. Pemerintah
daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali
urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan menjadi urusan pemerintah.
Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerahnya,
pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Urusan
pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah yang tidak diserahkan kepemerintah daerah
meliputi: politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional
dan agama. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang tidak diserahkan ke
pemerintahan di daerah, pemerintah melimpahkan urusan pemerintahan kepada perangkat
pemerintah atau wakil pemerintah di daerah atau dapat menugaskan kepada pemerintahan
daerah dan/atau pemerintahan desa untuk menjalankan urusan pemerintah tersebut.
Kewenangan Daerah
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
Tentang Pemerintahan Daerah pada konsideran huruf (b) bahwa efesiensi dan efektifitas
penyelenggaraan pemerintah daerah perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan
aspek-aspek hubungan antar susunan pemerintah dan antar pemerintahan daerah,
potensi dan keaneka ragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan global dengan
17Jalaluddin. Analisis Hukum tentang Tata Cara dan Mekanisme Dalam Pembentukan Peraturan Daerah,
Tesis. Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin, 2004, hlm. 27.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
297
memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian hak
dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan
pemerintahan negara.
Pengaturan kewenangan daerah sebagaimana dituangkan dalam UU No. 32 Tahun
2004 jo. UU No. 12 Tahun 2008 mengenai penyerahan urusan oleh pemerintah kepada
pemerintah daerah di luar urusan yang dijalankan oleh pemerintah pusat, yakni: (1) Politik
luar negeri, (2) Pertahanan, (3) Keamanan, (4) Moneter, (5) Yustisi dan (6) Agama.
Selain itu, sebagimana yang diatur pada lampiran huruf (T) tentang Perangkat
Daerah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah
Kabupaten Kota, menerangkan dalam tabel sebagai berikut:
Tabel 1
Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan
Pemerintah Daerah Kabupaten Kota
Sub Bidang
Perangkat
Daerah
Sub-Sub
Bidang
Kebijakan
Pemerintah
Pemerintah Daerah Provinsi
1. Penatapan pedoman umum
tentang perangkat daerah.
2. Penetapan kebijakan
norma, standar, prosedur
dan kriteria pembentukan
perangkat daerah.
3. Penetapan pedoman teknis
perangkat daerah.
4. Penetapan pedoman tatalaksana perangkat daerah.
5. Penetapan pedoman analisis
jabatan perangkat daerah.
Pelaksanaan pedoman umum
tentang perangkat daerah provinsi.
Pelaksanaan Kebijakan pembentukan perangkat daerah
skala provinsi.
Pelaksanaan pedoman teknis
perangkat daerah provinsii.
Pelaksanaan pedoman tatalaksana perangkat daerah provinsi.
Pelaksanaan pedoman analisis jabatan perangkat daerah
provinsi.
Sumber: PP No. 38 Tahun 2007
Sebagaimana yang telah digambarkan pada tabel tersebut di atas, telah nampak
jelas bahwa Pemerintah Daerah Provinsi hanya sekedar melaksanakan kebijakan yang
telah dikeluarkan oleh pemerintah tentang organisasi Perangkat Daerah. Hal ini juga
bertentangan dengan asas otonomi maupun asas desentralisasi, sebagaimana yang
tertuang dalam UUD NRI 1945 dan UU No. 32 Tahun 2004 bahwa daerah mempunyai
hak untuk mengatur dan mengurus sendiri pemyelenggaraan pemerintahan di daerah
tidak terkecuali mengenai pembentukan Organisasi Perangkat Daerah. Sedangkan
pengaturan kewenangan urusan dalam Peraturan pemerintah Nomor 38 Tahun 2007
tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi
dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota terdapat 16 urusan wajib dan urusan pilihan yang
harus dilaksanakan oleh pemerintah daerah.
Berikut inventarisasi peraturan perundang-undangan yang tidak sinkron dengan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dari aspek
Kewenangan, yakni:
298
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
Tabel 2
Inventarisasi peraturan perundang-undangan yang tidak sinkron dengan ketentuan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
NO.
UU SEKTORAL
UU NO. 32/2004
PENJELASAN
1.
UU No. 35
Tahun 2009
tentang Narkotika
Pasal 66; BNN
Provinsi & Kab/
Kota merupakan
instansi vertikal

Pasal 10 ayat
(1) terkait aspek
kewenangan yang
diselenggarakan
oleh Pemerintahan
Daerah
Terkait kewenangan tersebut bagaimana
bisa diefektifkan oleh Pemda sesuai dengen
UU No. 32 Tahun 2004 dan PP No. 41
dan Tahun 2007 dimungkinkan dibentuk
kelembagaannya sbagai SKPD, yang justru
UU No. 35 Tahun 2009 menegaskan BNNP
dan BNNK-K adalah instansi vertikal
2.
Keselarasan PP
No. 58 Tahun
2005 tentang
Pengelolaan
Keuangan Daerah
dan PP No. 41
Tahun 2007
tentang OPD.

Pasal 10 ayat
(1) terkait aspek
kewenangan yang
diselenggarakan
oleh Pemda

Pasal 128 ayat (1)
Adanya penegasan yang berbeda terkait
aspek kelembagaan daerah yaitu tentang
perumusan pengelolaan daerah:

PP No. 58 Tahun 2005 berbentu badan,
sedangkan;

PP No. 41 Tahun 2007 berbentuk dinas
3.
Keselarasan PP
No. 38 Tahun
2007 dan PP No.
41 Tahun 2007

Pasal 10 ayat
(1) terkait aspek
kewenangan yang
diselenggarakan
oleh Pemda

Pasal 128 ayat (1)
Dalam PP No.38 Tahun 2007 tidak
menegaskan penelitian dan pengembangan
sebagai bidang urusan pemerintahan (wajib
atau pilihan), sedangkan PP No.42 Tahun
2007 justru ditegaskan sebagai salah satu
perumpunan urusan.
4.
Perpres No.10
Tahun 2006
tentang BPN RI
dan Permendagri
No. 57 Tahun
2007

Pasal 10 ayat
(1) terkait aspek
kewenangan yang
diselenggarakan
oleh Pemda

Pasal 128 ayat (1)

Urusan Pemerintahan Daerah di bidang
pertanahan merupakan urusan wajib
menurut PP No. 38 Tahun 2007 maupun
PP No. 41 Tahun 2007, akan tetapi
dalam Pemendagri No. 57 Tahun 2007
tentang juknis pemetaan organisasi
perangkat daerah dalam huruf N angka
4 dirumuskan bahwa dalam pelaksanaan
tugas Bidang Pelayanan Pertnahan tidak
perlu membentuk dinas pertanahan, tugas
fungsinya diselenggarakan oleh masingmasing SKPD sesuai kewenangannya.
Permendagri ini disamping diskriminatif
juga bertentangan dengan UU No. 32
Tahun 2009 berkenaan lingkup urusan
pemerintahan daerah.

Permendagri ini juga tidak memilki
dasar hukum pembentukan karena tidak
ada dalam UU/PP yang memerintahkan,
sehingga tidak memenuhi unsur sebagai
jenis peraturan perundang-undangan
menurut ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan
ayat (4) UU. No. 10 Tahun 2004 tentang
pembentukan peraturan perundangundangan.
Sumber: Biro Hukum dan Ham (Bagian Perundang-undangan) Prov. Sul-Sel diolah Tahun 2010
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
299
Dari sumber tersebut di atas, terdapat informasi bahwa berkaitan dengan pembentukan
Struktur Organisasi Perangkat Daerah terjadi ketidak sinkronan antara peraturan
perundang-undangan menyangkut tentang berbagai urusan dimana setiap urusan tersebut
juga mengatur tentang organisassi perangkat daerahnya padahal menurut hemat penulis
bahwa harusnya menyangkut pembentukan organisasi perangkat daerah harus berujung
atau sebagai induknya adalah PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah.
Sebagaimana bahwa PP No. 38 Tahun 2007 tentang pembagian urusan pemerintahan
antara pemerintah, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota adalah
turunan dari UU No. 32 Tahun 2004 yang menjelaskan lebih lanjut tentang urusan yang
menjadi kewenangan pemerintah daerah.
Berbincang mengenai aspek kewenangan tersebut antara PP No. 41 Tahun 2007
tentang Organisasi Perangkat Daerah dan PP No.38 Tahun 2007,tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan, menurut hemat penulis terjadi ketidak sinkronan antara keduanya dimana
pada PP No. 38 Tahun 2007 secara tegas menjelaskan mengenai urusan wajib dan urusan
pilihan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah, sedangkan pada PP No. 41 Tahun
2007 tidak secara jelas menyebutkan mana urusan wajib dan urusan pilihan. Di samping
itu, pada Pasal 2 ayat (3) PP No. 38 Tahun 2007 dikatakan bawa urusan pemerintahan yang
dibagi bersama antar tingkat dan/atau susunan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah semua urusan pemerintahan diluar urusan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2). Justru pada Pasal ini semakin membuat ketidak jelasan dari aspek kewenangan, mana
yang seharusnya diurus oleh pemerintah, pemda provinsi dan kabupaten/kota khususnya
dalam pembentukan SOPD.
Menurut Aminuddin Ilmar,18 selama ini, kewenangan penyelenggaraan hubungan
antara pemerintah dengan pemerintah daerah selalu diwarnai dengan hubungan saling
kecurigaan. Lebih lanjut menurut beliau hal ini disebabkan karena disatu sisi ada kekuatiran
bahwa akan terjadi disintegrasi daerah yang ujung-ujungnya akan melahirkan konsepsi
negara federal. Namun dipihak lain, dari sudut pandang daerah melihat adanya keengganan
pemerintah untuk mendelegasikan sebagian wewenangnya kepada daerah sehingga sangat
sulit bagi daerah untuk melahirkan pemerintahan dengan akuntabilitas publik yang cukup
oleh karena itu, tidak sejalan dengan konsep demokratisasi pemerintahan.
Dari hasil wawancara penulis dengan narasumber (anggota DPRD) bahwa pada
dasarnya kewenangan daerah sudah sesuai dengan desentralisasi yang diberikan
pemerintah akan tetapi cara pendelegasian melalui PP No. 38 Tahun 2007 menimbulkan
persoalan dari segi urusan wajib dan pilihan disebabkan karena urusan wajib dan urusan
pilihan tidak lebih sama anatara daerah provinsi dan kabupaten kota sehingga diperlukan
adanya ketegasan urusan mana yang mestinya di selenggarakan oleh pemerintah daerah
provinsi dan mana yang harus dikerjakan oleh kabupaten/kota sehingga dengan seperti itu
akan jelas kewenangannya masing-masing. Lebih lanjut, beliau memberikan salah satu
contoh, masalah pendidikan dimana mulai dari pemerintah, pemerintah daerah provinsi
dan kabupaten/kota masing-masing mengurus masalah pendidikan yang tidak memberikan
kejelasan dengan tegas, bahagian pendidikan apa yang diurus pemerintah (pusat), dan
bahagian pendidikan mana yang diurus pemerintah daerah provinsi dan begitu pula dengan
kabupaten/kota. Sehingga dengan ketidakjelasan dan ketidaktegasan tersebutlah sehingga
membawa dampak terhadap pembentukan organisasi perangkat daerah dimana OPD
daerah yang ada pada pemerintah daerah provinsi tidak berjalan efektif yang berarti tidak
18 Ilmar Aminuddin, 2007. Hubungan Kewenangan Antara Pemerintah Dengan Pemerintah Daerah
Dalam Rangka Meningkatkan Demokratisasi Pemerintahan, Pidato Guru Besar Ilmu Hukum Pada
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, hlm. 1.
300
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
efesien dan juga bisa terjadi benturan-benturan hukum contohnya pendidikan gratis yang
dicanangkan oleh pemerintah provinsi itu tidak semua daerah setuju dengan kebijakan
tersebut dan yang ada adalah konflik of interest atau kepentingan.
Pernyataan tersebut diatas tidak lebih sama dengan pendapat narasumber lainnya
(Biro Hukum Prov. Sul-Sel) bahwa berbicara tentang kewenangan daerah terjadi ketidak
sinkronan antara PP No. 38 Tahun 2007 dengan PP No. 41 Tahun 2007. Beliau juga
memberikan contoh bahwa pada PP No. 38 Tahun 2007 tentang bidang penelitian dan
pengembangan tidak tegas masuk pada bidang urusan pemerintahan (urusan wajib atau
urusan pilihan) sedangkan pada PP No. 41 Tahun 2007, disebutkan bahwa bidang penelitian
dan pengembangan sebagai salah satu perumpunan urusan. Lebih lanjut menurut beliau
dengan kembali memberikan contoh yakni bidang pertanahan didalam PP No. 38 Tahun
2007, masuk dalam urusan wajib artinya bahwa urusan tersebut masuk kedalam urusan
yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah, dalam hal ini Provinsi akan tetapi ternyata
ada Kantor Wilayah yang dibentuk oleh Pemerintah (pusat) di daerah yang diatur dalam
Peraturan Presiden No. 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia. Dari kedua pendapat nara sumber tersebut hanya contoh yang diberikan kepada
penulis yang membedakan diantara keduanya.
Dari berbagai uraian dan pendapat dari beberapa narasumber tersebut di atas, menurut
hemat penulis bahwa PP No. 41 Tahun 2007 tidak sesuai dengan kewenangan daerah
sebagaimana yang telah didesentralisasikan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan,
karena Pemerintah (pusat) sudah cukup jauh mencampuri urusan yang semestinya menjadi
kewenangan daerah dalam hal mengatur struktur organisasi perangkat daerah.
Konsep ideal organisasi pemerintahan hemat srtuktur kaya fungsi menurut hemat
penulis bahwa PP No. 41 Tahun 2007 tentang OPD, adalah salah satu kebijakan yang
dikeluarkan oleh Pemerintah sebagai upaya untuk menciptakan OPD yang efektif dan
efisien dengan ditunjang konsistensi baik pemeritah, pemda provinsi dan pemda kab/kota
dalam hal pelaksanaannya dengan tidak membuka jalur koordinasi maupun konsultasi
untuk menetapkan OPD. Selanjutnya adalah membedakan jumlah dan besaran OPD
antara pemda provinsi dan pemda kab/kota, pemda provinsi dimungkinkan lebih sedikit
jumlah OPDnya dari pada jumlah OPD kab/kota.serta yang terpenting adalah mengubah
paradigma pendekatan baik itu pendekatan akomodatif maupun pendekatan perasaan
dalam pembantukan OPD. Dengan paradigma efisien dan efektif.
Konsekuensi Yuridis Pengaturan Struktur Organisasi Perangkat Daerah yang Sesuai
dan yang Tidak Sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan
Setiap perbuatan yang dilakukan baik itu perorangan maupun sebuah institusi tentunya
mempunyai suatu konsekuensi dari tindakan seperti apa tindakan yang dilakukan tersebut.
Konsekuensi yuridis adalah suatu perbuatan yang mempunyai akbiat atau dampak hukum
yang tentunya suatu tindakan yang berkaitan dengan hukum itu sendiri. Seperti halnya
apabila terjadi ketidakpatuhan atau suatu peraturan dianggap bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi maka akan menimbulkan suatu konsekuensi hukum apakah
konsekuensinya itu adalah berupa revisi/perubahan atau pembatalan.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa telah terjadi ketidaksesuaian
antara beberapa peraturan perundang-undangan, baik itu antara Undang-Undang, antara
Peraturan Pemerintah yang sederajat atau setingkat dan peraturan perundang-undangan
yang tidak sederajat atau setingkat antara undang-undang dengan Peraturan Pemerintah,
antara Peraturan Pemerintah dengan Permendagri dan Peraturan Daerah yang dalam hal ini
tentunya berhubungan dengan Pembentukan Organisasi Perangkat Daerah.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
301
Belum sempurnanya suatu produk perundang-undangan yang ada sebagai suatu
ketentauan atau pedoman dalam penyelenggaraan pemerintahan secara umum dan
penyelenggaraan pemerintahan daerah secara khusus, membuat pera pelaksana dari
peraturan perundang-undangan tersebut dalam menerapkan suatu aturan tidak maksimal
atau optimal diakibatkan karena terjadi multi tafsir atau beda penafsiran antara Pemerintah
(pusat) dengan Pemerintah Daerah.
Berkaitan dengan hal tersebut ada sekurang-kurangnya 5 (lima ) peraturan perundangundangan yang saling bersinggungan khususnya mengenai PP No. 41 Tahun 2007 tentang
Organisasi Perangkat Daerah. Diantaranya, UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (aspek kewenangan) UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang menyangkut
kelembagaannya, PP No. 58 Tahun 2005 Pengelolaan Keuangan Daerah (aspek
kelembagaan), PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan (aspek
urusan kelembagaan). Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang BPN (aspek
kelembagaan) Permendagri No. 57 Tahun 2007 tentang Pemetaan Organisasi Perangkat
Daerah. Dan Peraturan Daerah No.10, 11, 12 Tahun 2009 atas perubahan Perda No. 6, 8, 9,
10 Tahun 2008 sedangkan Perda No. 7 Tahun 2008 tidak mengalami perubahan.
Berdasarkan kenyataan tersebut di atas sebagaimana yang telah dikemukakan pula
sebelumnya, melahirkan suatu konsekuensi hukum dimana ada beberapa asas yang berkaitan
dengan permasalahan tersebut yakni : (a) asas lex superior derogat legi imferiori (aturan
yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi aturan yang
khusus mengenyampingkan aturan yang berlaku umum (b) asas lex spesialis derogat legi
generali dan (c) asas lex posterior derogat legi priori (aturan yang belakangan mengalahkan
aturan yang lebih dahulu, tentang pembentukan Struktur Organisasi Perangkat Daerah.
Melihat kondisi perundang-undangan yang seperti itu, maka diharapkan kepada
pembuat regulasi sebagimana yang dimaksud pada Pasal 7 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2004
tentang Hrarkis yakni (1) UUD NRI Tahun 1945, (2) UU/Perpu, PP, Perpres dan Perda,
yang dibentuk oleh Pemerintah (pusat) maupun Pemerintah Daerah mampu mewujudkan
suatu perauran perundang-undangan yang baik dan bersinergis sehingga dalam penerapan
dan pelaksanaannya tidak menimbulkan multi tafsir dan interpretasi yang berbeda.
Salah satu dampak yang ditimbulkan dalam pembentukan OPD adalah pada pengelolaan
anggran. Dimana apabila terlalu banyak organisasi perangkat daerah maka tentunya juga
akan terjadi pembengkakan angaran yang hanya untuk membiayai organisasi perangkat
daerah saja yang seharusnya anggaran tersebut dapat digunakan untuk pembangunan yang
bermanfaat untuk masyarakat.
PENUTUP
Kesimpulan
Pengaturan Struktur Organisasi Perangkat Daerah yang ditetapkan Pemerintah
melalui PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah belum sejalan dengan
desentralisasi kewenangan daerah dari aspek besaran Organisasi Perangkat Daerah. Hal
ini terbukti dengan dibatasinya kewenangan pemerintah daerah untuk berkreativitas dalam
membentuk organisasinya sendiri.
Pelaksanaan srtuktur organisasi perangkat daerah (PP No.41 Tahun 2007) di Provinsi
Sulawesi Selatan belum berjalan sebagaimana mestinya sampai pada saat ini, sehingga
terjadi keterlambatan penerapan PP No.41 Tahun 2007 yang seharusnya sudah diterapkan
sepenuhnya sejak 1 (satu) tahun setelah berlakunya peraturan tersebut.
302
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
Konsekuensi yuridis yang ditimbulkan dalam pelaksanaan organisasi perangkat
daerah terjadi ketidakpastian hukum sehingga perlu dilakukan revisi. Namun revisi
Peraturan Daerah yang yang telah dilakukan oleh pemerintah daerah Provinsi Sulawesi
Selatan belum sepenuhnya mengacu pada PP No. 41 Tahun 2007. Karena hasil revisi yang
dilakukan tersebut bukannya merevisi yang sesuai dengan ketentuan yang ada pada PP No.
41 Tahun 2007, bahkan melebihi ketentuan, seperi jumlah organisasi atau lembaga yang
dibentuk.
Saran
Perlu dilakukan restrukturisasi (penataan kembali) struktur organisasi perangkat
daerah dengan berbagai pertimbangan seperi potensi karakteristik dan kebutuhan daerah
sehingga lebih mencerminkan desentralisasi kewenangan daerah yang jelas. Kepastian
hukum dalam suatu produk peraturan perundang-undangan sangat diperlukan sehingga
tidak terjadi multi persepsi antar tingkat pemerintahan.
Konsistensi yang serius dari Pemerintah (pusat) dengan tidak memberikan dispensasi
apapun kepada daerah dengan alasan apapun dengan cara-cara koordinasi atau tawar
menawar sebagaimana yang telah ada dalam ketentuan. Diperlukan pelibatan Pemerintah
Daerah kedepan dalam menyusun suatu kebijakan atau perundang-undangan serta institusi
lain yang ada di pusat sehingga tidak lagi terjadi tumpang-tindih dalam menerapkan suatu
peraturan perundang-undangan. Hal tersebut akan menciptakan suatu produk perundangundangan yang berkesesuaian dan tahan lama.
Perlunya kembali merevisi Peraturan Daerah. Kemudian dilakukan reorganisasi untuk
menetapkan Organiasi Perangkat Daerah melalui Peraturan Daerah yang sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Serta perlunya kesadaran Pmerintah Daerah, khususnya
Peovinsi Sulawesi Selatan agar kiranya dapat menjalankan pemerintahan yang didukung
dengan perangkat daerah yang efisien dan efektif serta berdampak pada penggunaan
anggran yang tepat sasaran.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
303
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Achmad. 2002. Menguak Tabir Hukum, Jakarta: PT. Toko Gunung Agung Tbk.
Asshiddiqie, Jimly, 2008. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, Jakarta: PT. Bhuana Ilmu
Populer.
______________, 2009, Menuju Negara Hukum Yang Demokrasi, Jakarta: PT Bhuana
Ilmu Populer.
Azhary, 1995. Negara Hukum Indonesia, Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Ellydar Chaidir, 2001. Hubungan Tata Kerja Presiden dan Wakil Presiden, Perspektif
Konstitusi, Yogyakarta: UII Press.
Etzioni, Amitai, 1985, Organisasi-Organisasi Modern, Jakarta: Universitas Indonesia
Press.
Gadjong, Agussalim Andi, 2007. Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum,
Jakarta: PT. Ghalia Indonesia.
Gie, The Liang, 1993. Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Rpublik Indonesia
Jilid I, Yogyakarta: Liberty.
Syaukani, HR dkk, 2005. Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Hadjon, M. Philipus, dkk, 2008. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogjakarta:
Gadjah Mada University Press.
Huda, Ni’matul, 2005. Otonomi Daerah Filosofi Sejarah Perkembangan dan Problematika,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
____________, 2009. Hukum Pemerintahan Daerah, Bandung: Nusa Media Ujung
Berung.
Hoessein, Benyamin, 1993. Berbagai Faktor Yang mempengaruhi Besarnya Otonomi
Daerah Tingkat II, Suatu Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah Dari Segi
Ilmu Administrasi Negara, Disertasi, Pasca Sarjana, UI Jakarta.
Ilmar Aminuddin, 2007. Hubungan Kewenangan Antara Pemerintah Dengan Pemerintah
Daerah Dalam Rangka Meningkatkan Demokratisasi Pemerintahan, Pidato
Guru Besar Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
Indrati, Maria Farida, 2007. Ilmu Perundang-undangan (Jenis, Fungsi dan Materi
Muatan), Yogyakarta: Kanisius.
Jalaluddin, 2004. Analisis Hukum tentang Tata Cara dan Mekanisme Dalam Pembentukan
Peraturan Daerah, Tesis. Tidak dipublikasikan Program Pasca Sarjana
Universitas Hasanuddin.
Jeddawi, 2005. Memacu Investasi Di Era Otonomi Daerah, Kajian Beberapa Perda
Tentang Penanaman Modal, Yogyakarta: UII Press.
Kaloh, J, 2002. Mencari Bentuk Otonomi Daerah, Suatu Solusi Dalam Menjawab
Kebutuhan Lokal Dan Tantangan Global, Jakarta: Rineka Cipta.
___________, 1990. Sistem Pemerintahan Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara.
Kusnardi, Muh dkk, 1985. Ilmu Negara, Jakarta: Perintis Press.
Lubis, M. Solly, 2008. Hukum Tata Negara, CV. Mandar Maju, Bandung: Sumber Sari
Indah.
304
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
Madjid H. Abdullah, 2007. Penataan Hukum Organisasi Perangkat Daerah Dalam
Konteks Otonomi Daerah Berdasarkan Prinsip-Prinsip Tata Pemerintahan Yang
Baik, Disertasi Universitas Hasanuddin, Makassar.
Manan, Bagir, 1994. Hubungan Antara Pusat Dan Daerah Menurut UUD 1945, Yogyakarta:
Pustaka Sinar Harapan.
___________, 2001, Menyongsong Fajar Otoda, Yogyakarta: PHS UII.
Mahfud, M.D, 1999. Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Yogyakarta: Gama Madya.
Marbun, MS, 2005. Otonomi Daerah 1945-2005 Proses dan Realita, Perkembangan Otda,
Sejak Zaman Colonial Sampai Saat Ini, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Marzuki, Peter Mahmud, 2009. Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Ndraha, Taliziduhu, 2005. Kybernologi Sebuah Rekonstruksi Ilmu Pemerintahan, Jakarta:
PT. Rineka Cipta.
Pide, Mustari, 1990. Otonomi Daerah Dan Kepala Daerah Memasuki Abad XXI, Jakarta:
Gaya Media Pratama.
Rasyid, Rias, 2005. Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Jakarta: LIPI.
Razak, Askari, 2009. Hakikat Otonomi Daerah Dalam Penyelenggaraan Pelayanan
Publik, Disertasi Universitas Hasanuddin Makassar.
Sabarno, Hari, 2007. Memandu Otonomi Daerah Menjaga Kesatuan Bangsa, Jakarta:
Sinar Grafika.
Sarundajang, 2002. Arus Balik Kekuasaan Pusat Ke Daerah, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
__________, 2005. Babak Baru Sistem Pemerintahan Daerah, Jakarta: Kata Hasta
Pustaka.
Sumali, 2002. Reduksi Kekuasaan Eksekutif di Bidang Peraturan Pengganti UndangUndang (PERPU), Malang: UMM Press.
Sunggono, Bambang, 1997. Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
Soejito, Irawan, 1990. Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Jakarta:
Rineka Cipta.
Thoha, Miftah, 2009. Perilaku Organisasi Konsep Dasar dan Aplikasinya, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada.
Tim Prima Pena, 2006, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Gita Media Press.
Wasistiono, Sadu, 2003. Kapita Selecta Manajemen Pemerintahan Daerah, Bandung:
Focus Media.
Widjaja, HAW, 2005. Penyelenggaraan Otonomi DiIndonesia, Dalam Rangka Sosialisasi
UU. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
___________, 2009, Otonomi Daerah Dan Daerah Otonom, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Wursanto, LG, 2005. Dasar-Dasar Ilmu Organisasi, Yogyakarta: Andi Offseta.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
305
306
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
TANGGUNG JAWAB NEGARA MEMBANGUN
EKONOMI KERAKYATAN DALAM MENGHADAPI
WTO (WORLD TRADE ORGANIZATION)
Laode Abdul Gani
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
TANGGUNG JAWAB NEGARA MEMBANGUN
EKONOMI KERAKYATAN DALAM MENGHADAPI WTO
(WORLD TRADE ORGANIZATION)
Oleh: Laode Abdul Gani
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
Jl. Perintis Kemerdekaan KM. 10, Tamalanrea, Makassar, Sulawesi Selatan
E-mail: [email protected]
Abstract
This research is research that is descriptive and prescriptive with the law and
economics approach, aiming to analyze the position and state responsibilities in building
a democratic economy based on Pancasila and the Constitution mandate NRI 1945 as
listed in Article 27, Article 33 and Article 34 . This study uses the laws bibliography
of materials consisting of primary data and secondary data, analyzed qualitatively and
quantitatively in narrative form without using tables. This study is evaluative about how
state government management consistency associated with the constitutional mandate. The
study also analyzed the general principles of law and legal rules used by the government
in building a democratic economy.
Keywords: State, Responsibility
Abstrak
Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat deskriptif dan preskriptif dengan
menggunakan pendekatan hukum dan ekonomi, bertujuan untuk menganalisis kedudukan
negara dan tanggung-jawabnya dalam membangun ekonomi kerakyatan berdasarkan
amanat Pancasila dan UUD NRI 1945 seperti yang tercantum di dalam Pasal 27, Pasal
33, dan Pasal 34. Penelitian ini menggunakan bahan hukum kepustakaan yang terdiri dari
data primer dan data sekunder, dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif dalam bentuk
narasi tanpa menggunakan tabel. Penelitian ini bersifat evaluative tentang bagaimana
konsistensi pengelolaan negara oleh pemerintah terkait dengan amanat konstitusi.
Penelitian ini juga menganalisis tentang asas-asas hukum dan kaidah-kaidah hukum yang
digunakan oleh pemerintah dalam membangun ekonomi kerakyatan.
Kata Kunci: Negara, Tanggung-Jawab
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
PENDAHULUAN
Negara Republik Indonesia dikenal oleh dunia sebagai negara yang memiliki kekayaan
alam terbesar di dunia. Meliputi kekayaan alam yang ada di darat maupun kekayaan
alam yang ada di laut. Dengan kondisi seperti itu seharusnya Indonesia tidak pantas
menyandang predikat sebagai negara berkembang secara permanen. Potensi kekayaan
alam yang dimilikinya seperti minyak, batubara, emas, perak, dan tembaga, serta kekayaan
alam yang berupa hutan tropis mengandung nilai ekonomi yang sangat memungkinkan
Indonesia menjadi sebuah negara maju di Asia. Dalam konsep falsafah Pancasila yang
harus diperjuangkan adalah menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
sebagaimana tertuang dalam sila ke-5 Pancasila. Demikian pula pembukaan UUD NRI 1945
secara konsepsional menjelaskan tujuan bangsa Indonesia yaitu: melaksanakan ketertiban
dunia, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Selanjutnya, World Trade Organisation
(WTO/GATT) sejarah kelahirannya adalah bertujuan untuk mengakhiri gap/ketimpangan
ekonomi dunia yang tidak adil.
Dilihat dari rekomendasi yang tertuang dalam pembukaan Pancasila UUD NRI 1945
dan WTO, sudah seharusnya Indonesia menjadi sebuah negara yang berdaulat serta dapat
menciptakan masyarakat yang adil dan makmur. Namun kenyataannya, jangankan menjadi
negara maju di Asia, di Asia Tenggara pun Indonesia tergolong paling rendah tingkat
pertumbuhan ekonominya.
Konsep Self Determination sesuai ketentuan piagam PBB (Perserikatan BangsaBangsa), tentang hak setiap negara untuk mengelola kekayaan alamnya secara mandiri tidak
ditangkap oleh pemerintah dalam menentukan arah pembangunan ekonomi kerakyatan.
Sebagai contoh undang-undang No.22/2001 tentang Migas, ditentukan alam salah satu
klausulanya, 75 % produksinya untuk kepentingan ekspor, dan 25 % untuk kepentingan
dalam negeri. Dampak negatif dari undang-undang ini kebutuhn dasar rakyat tentang
gas menjadi sangat mahal. Ini mencerminkan kapitalisasi di bidang Migas yang sangat
merugikan masyarakat menengah ke bawah.
Kekayaan alam bangsa adalah milik masyarakat seluruhnya atau Common Heritage of
Mankind, Specialy for Indonesian People.1 Dalam pengertian bahwa kedaulatan permanen
sebuah negara tentang kekayaan alamnya merupakan sesuatu keniscayaan.2
Kenyataan seperti itu dapat diduga ada sesuatu yang salah di dalam tata kelola
berbangsa dan bernegara. Diduga kesalahan tersebut bermula dari tata kelola yang salah,
berimplikasi pada pembentukan hukum perundang-undangan di bidang ekonomi yang tidak
pro rakyat. Amanat konstitusi negara Republik Indonesia sangat jelas merekomendasikan
kepada pemerintah sebagai pelaksana tata kelola pemerintahan agar membuat peraturan
perundang-undangan yang pro kepada kepentingan rakyat. Undang-undang yang relevan
untuk itu meliputi peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal asing
dan penanaman modal dalam negeri. Sebagai objek dari kedua unsur penanaman modal
tersebut meliputi pertambangan, kehutanan, pertanian,dan industri kepelabuhanan, seperti
bandar udara dan pelabuhan laut. Semua unsur korporasi tersebut pada dasarnya menurut
amanat konstitusi harus diorientasikan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Fakta
menunjukkan korporasi-korporasi tersebut sangat didominasi oleh kepentingan pemilik
modal sehingga kepentingan rakyat gejalanya terabaikan. Hal ini menunjukan falsafah
ideologi ekonomi Pancasila bergeser menjadi ideologi kapitalisme.
1 Lihat, Kemal Baslam, The Concept of The Common Heritage of Mankind in Internasional Law,
hlm.171.
2 Lihat Resolusi PBB No. 3171 (XXVIII) dalam NICI, Schrijver, Soveregnity Over Natural Resources,
Balancing Right ang Duties in an Interdependent World, hlm. 133.
310
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
Ideologi kapitalisme pada tingkat implementasi melahirkan politik ekonomi
kapitalisme. Paham demikian selalu cenderung merugikan negara-negara berkembang
seperti halnya Indonesia. Ideologi sosialisme marxisme juga akan melahirkan politik
ekonomi sosialisme. Hal ini sebenarnya sejalan dengan ideologi bangsa Indonesia
berkaitan dengan pasal 33 UUD NRI 1945 yang mana negara berfungsi sebagai pengendali
ekonomi negara sehingga semua kekayaan alam harus dimaksimalkan sebesar-besarnya
untuk kemakmuran rakyat.3
Indonesia sebagai negara berpenduduk mayoritas Islam, seharusnya merancang
pembangunan ekonomi nasionalnya berdasarkan konsep pemikiran-pemikiran ekonomi
Islam. Hal ini menjadi unsur pembeda dari dua sistem pembangunan ekonomi dunia yaitu
kapitalisme dan sosialisme. Yang keduanya mempunyai kelemahan-kelemahan teoritik.
Dalam pembangunan ekonomi kapitalisme yang ditonjolkan adalah ekonomi pasar,
sehingga pemerintah tidak dapat berbuat banyak terhadap tingkah laku pelaku bisnis baik
dalam skala kecil maupun skala besar. Dalam sistem ini kecenderungan pemerintah selalu
mengikuti kehendak pemilik modal yang menentukan arah pembangunan ekonomi negara.
Dalam sistem ini yang terjadi adalah yang kaya bertambah kaya, yang miskin bertambah
miskin. Hal ini sangat bertentangan dengan paham ideologi Pancasila, juga bertentangan
dengan model pembangunan ekonomi Islam.4
Di pihak lain, pembangunan ekonomi sosialisme menutup kemungkinan adanya
kepemilikan individu dari masyarakat terhadap kekayaan alam, hal ini juga sangat
bertentangan dengan ideologi pembangunan ekonomi Islam yang memungkinkan
kepemilikan individu atau kelompok terhadap korporasi atau kekayaan yang bersifat
individual secara tidak berlebihan. Ideologi kapitalisme memiliki instrumen penting
dalam politik ekonominya berupa penjajahan kepada negara atau bangsa lain. Penjajahan
ini dilakukan guna mempertahankan ideologi kapitalisme. Sebelum perang dunia ke-2,
bentuk penjajahannya berupa penguasaan teritorial dan militer. Setelah perang dunia ke-2
pada pertengahan abad ke-20 sampai menjelang abad ke- 21, penjajahan berubah bentuk
menyusul tidak efektifnya penjajahan model teritorial dan militer. Penjajahan diarahkan
pada penguasaan sumber-sumber ekonomi negara seperti, minyak, gas, batu bara, kayu,
dan jenis pertambangan lainnya serta industri-industri manufaktur dan indusrti-industri
tekstil. Semuanya itu dijalankan dengan kekuatan modal yang didukung oleh IDB
(Intenational Development Bank) dan IMF (International Monetery Found). Sebagai
contoh, Indonesia kini mengalami krisis ekonomi dalam arti pengangguran yang terdiri
dari sekitar 38 juta bangsa Indonesia dan pertumbuhan ekonomi yang kurang dari 7 %
pertahun. Hal ini disebabkan kekuatan paham ekonmomi kapitalisme yang memanjakan
negara berkembang dengan memberi utang secara gampang tetapi dapat dipastikan
sangat sulit untuk mengembalikannya. Kini Indonesia dalam kekuasaan IMF dan IDB,
dan untuk keluar dari cengkraman itu Indonesia membutuhkan beberapa syarat yaitu, tata
kelola pemerintahan yang baik, tranparansi, pemberantasan korupsi dan integritas pelaku
birokrasi.
Di dalam piagam PBB, IMF dan IDB membantu negara berkembang di saat krisis
merupakan kewajiban PBB. Dalam kenyataan, logika itu dibalik sehingga bila PBB
membantu negara-negara berkembang yang berada dalam kondisi krisis maka filosofi
bantuan yang dibangun adalah hak. Sehingga bila bantuan negara donor itu cair, maka
semua peruntukannya negara donor juga turut menentukan. Contoh krisis yang dialami
bangsa Indonesia paska suksesi dari Orde Baru ke Reformasi, semua bantuan negara
donor diarahkan untuk melakukan privatisasi-privatisasi terhadap perusahaan-perusahaan
3 Dikembangkan dari pandangan Abdurrahman al-Maliki, Politik Ekonomi Islam, Vol.1, 2001, hlm. v.
4 Abdurrahman al-Maliki, Politik Ekonomi Islam, ibid, hlm. vi.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
311
milik negara yang dikategorikan menguasai hajat hidup orang banyak sesuai ketentuan
Pasal 33 UUD NRI 1945. Seperti privatisasi terhadap PT. Telkom, privatisasi terhadap
PLN, privatisasi terhadap PT. KAI, privatisasi terhadap Garuda Indonesia, serta hampir
semua perusahaan milik negara telah direkomendasikan oleh negara donor untuk dilakukan
privatisasi. Kecenderungan-kecenderungan seperti ini menunjukkan ketidakberpihakan
serta tidak adanya tanggung jawab negara terhadap pembangunan ekonomi kerakyatan.
Kecenderungan pemerintah untuk menaikkan tarif dasar listrik setiap tahun selalu
berdampak pada pelemahan pembangunan ekonomi rill dari masyarakat bangsa Indonesia.
Ada indikasi sangat kuat bahwa ide kenaikan tarif dasar listrik tidak didasarkan kepada
kepentingan masyarakat bangsa Indonesia, tetapi didasarkan kepada kepentingan pemilik
mayoritas modal PLN. Bila dibandingkan dengan negara-negara maju seperti Eropa, maka
di sana terlihat perusahaan listrik negara (PLN) dan perusahaan transportasi darat, laut, dan
udara, serta perusahaan air dikontrol oleh negara sepenuhnya, sehingga tarif cenderung
stabil dan terkadang turun sampai serendah-rendahnya.
Kini Indonesia terjebak dalam sistem pembangunan ekonomi kapitalisme yang sangat
bertentangan dengan sistem pembangunan ekonomi Islam yang idealnya diadopsi oleh
pemerintah bangsa Indonesia sebagai negara yang berpenduduk mayoritas Islam.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian yang dikemukakan dalam latar belakang masalah tersebut di atas,
dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah bentuk tanggung-jawab negara dalam membangun ekonomi
kerakyatan di Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945?
2. Sejauh mana WTO (World Trade Organization) dapat menjadi instrumen hukum
dalam menghadapi ekonomi kerakyatan di Indonesia?
3. Bagaimanakah penerapan sistem ekonomi kerakyatan dalam rangka pembangunan
ekonomi di Indonesia?
METODE PENELITIAN
Bentuk dan Pendekatan
Penelitian ini akan menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu menuju kepada
pengertian yang dikemukakan oleh Snape dan Spencer (2004) yaitu penelitian menggunakan
pendekatan interprestasi berdasarkan pengertian-pengertian dari makna undang-undang
yang lahir berdasarkan kehendak pemerintah. Pendekatan kualitatif dikembangkan untuk
mengungkapkan gejala-gejala kehidupan masyarakat seperti apa yang dipersepsikan
oleh masyarakat berkaitan dengan lingkungan kehidupan masyarakat bernegara. Melalui
pendekatan ini gejala dalam masyarakat beraitan dengan persepsi masyarakat terhadap
beberapa Undang-undang yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak akan diurakan
dengan menggunakan metode interprestasi.
Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang akan dilakukan melalui metode
perpustakaan dan wawancara secara mendalam terhadap narasumber atau pakar yang ahli
di bidangnya. Dilihat dari sifatnya, penelitian ini dapat digolongkan penelitian analisis
deskriptif. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan secara tepat berkenaan dengan
pengaturan perlindungan terhadap hak-hak dasar masyarakat di bidang ekonomi terutama
berkaitan dengan hak konstitusional masyarakat bangsa Indonesia yang tercermin dalam
Pasal 33, 27 dan Pasal 34 Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia.
312
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
Lokasi Penelitian
Penelitian lapangan diadakan di dua tempat yaitu Makassar dan Jakarta. Untuk
penelitian di bidang kepustakaan akan ditempuh cara melalui perpustakaan Universitas
Hasanuddin di Makassar, Universitas Padjajaran di Bandung, Universitas Indonesia di
Jakarta dan melalui internet.
Sumber dan Prosedur Pengumpulan Data
Penelitian ini akan dilakukan melalui studi hukum normatif atau biasa juga disebut
penelitian hukum doktrinal.
Jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah primer dan sekunder. Untuk itu
akan dilakukan wawancara mendalam terhadap pakar yang dikategorikan bertaraf nasional
dan internasional. Semua permasalahan akan dirinci dan dielaborasi dengan menggunakan
standar pedoman wawancara. Untuk memastikan akurasi data, standar pedoman wawancara
diadaptasi sesuai dengan perkembangan dan informasi di lapangan. Pengamatan dilakukan
guna memahami dan menegaskan bagaimana pemerintah mengeluarkan suatu kebijakan
peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pembangunan ekonomi
kerakyatan.
Studi hukum doktrinal dalam penelitian ini yaitu kajian hukum yang tujuannya untuk
membuktikan benar tidaknya keberpihakan pemerintah terhadap pembangunan ekonomi
kerakyatan melalui beberapa peraturan perundang-undangan. Pembahasan terhadap
permasalahan dalam penelitian ini akan dikemukakan secara analitis terhadap beberapa
peraturan perundang-undangan yang ada termasuk juga pembahasan mengenai konsepkonsep hukum yang tepat dalam rangka pembangunan ekonomi kerakyatan di Indonesia.
Untuk itu diperlukan bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder. Bahan
hukum primer merupakan bahan hukum yang mempunyai otoritas yang terdiri dari peraturan
perundang-undangan, catatan resmi atau risalah dalam pembentukan suatu perundangundangan dan keputusan hakim. Bahan hukum sekunder adalah semua publikasi tentang
hukum yang merupakan dokumen tidak resmi terdiri dari literatur-literatur yang relevan
dengan objek penelitian. Dalam kaitannya dengan penelitian menyangkut pembangunan
ekonomi kerakyatan maka data sekunder akan dimaksimalkan terhadap semua publikasi
hukum yang terkait dengan objek penelitian.
Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknis kualitatif digunakan untuk
mengolah data primer yang diperoleh dari lapangan. Ada tiga tahapan tahapan yang
dilakukan sesuai degan hirarki analisis kualitatif, yaitu:
1. Tahapan mengolah data (data management). Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan
adalah mengidentifikasi (melabeling) dan mengelompokkan data sesuai dengan
tema-tema tau konsep-konsep permulaan, termasuk melakukan ringkasan atau
mensintesis data.
2. Tahapan deskripsi (description), yang mencakup kegiatan identifikasi dimensidimensi kunci dan memetakan tingkatan dan keragaman setiap fenomena yang ada,
termasuk membentuk tipologi dari masing-masing kategori.
3. Tahapan penjelasan (explanotory), yang meliputi penemuan pola-pola yang
menyatu di dalam data, menemukan jawaan kenapa terjadi pola yang demikian,
memberikan penjelasan dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
sebelumnya dab terakhir menjelaskan penerapannya terhadap teori yang lebih luas
atau strategi kebijakan yang ada.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
313
Diakui bahwa ketiga tahapan dalam hirarki tersebut adalah tidak linear namun
demikian peneliti berusaha menyesuaikan dengan tahapan-tahapan yang ada. Sebagaimana
diketahui dalam penelitian hukum normatif, ada kerangkan konsepsional dan landasan atau
kerangka teoritis yang menjadi syarat yang sangat penting. Dalam kerangka konsepsioanal
diungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar
penelitian hukum, dan di dalam landasan/kerangka teoritis diuraikan segalan sesuatu yang
terdapat dalam teori sebagai suatu sistem aneka “theore’ma” atau ajaran (di dalam bahasa
Belanda: “leerstelling”).
Di dalam suatu penelitian hukum, maka paradigma kerangka konsepsioanal meliputi
Masyarakat huku, Subjek hukum, Hak dan kewajiban, Peristiwa hukum, Hubungan hukum,
Objek hukum.5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bentuk Tanggung Jawab Negara dalam Membangun Ekonomi Kerakyatan yang
Berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945
Sebelum menjawab masalah bentuk tanggung jawab negara dalam membangun ekonomi
kerakyatan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945, maka terlebih dahulu haruslah diuraikan apa sesungguhnya yang
dimaksud dengan ekonomi kerakyatan. Menurut Tajuddin Parenta adalah suatu kesalahan
besar bila ekonomi kerakyatan itu diartikan semata-mata terfokus pada kepentingan orangorang miskin di Indonesia. Ekonomi kerakyatan dalam kenyataannya adalah demokrasi
ekonomi yaitu memberi tempat pada semua pelaku ekonomi secara proporsional untuk
melakukan kegiatan ekonominya yang terkait secara fungsional.6 Bila diperhatikan secara
seksama, definisi ekonomi kerakyatan yang dikemukakan oleh Tajuddin Parenta maka
memberi pengertian bahwa pembangunan ekonomi kerakyatan dilaksanakan secara sinergis
antara pelaku-pelaku ekonomi yang terdiri dari pelaku ekonomi mikro, pelaku ekonomi
kecil, pelaku ekonomi menengah, dan pelaku ekonomi yang berskala besar, yang dalam hal
ini disebut dengan model pembangunan ekonomi kemitraan.7
Model pembangunan ekonomi seperti ini dapat dilihat pada praktik beberapa negara
di Amerika Latin seperti Skandinavia dan Brazilia yang mana pemerintah membangun
kerakyatan melalui sistem kemitraan antara koperasi, swasta besar dan swasta kecil, serta
perusahaan-perusahaan pemerintah milik negara. Sistem ini berjalan berdasarkan prinsip
saling menguntungkan antara petani, peternak, industri besar dan industri kecil, sesuai
segmen-segmen usaha yang menjai prioritasnya. Selain Skandinavia dan Brazilia model
pembangunan ekonomi kemitraan juga ada di Jepang. Seperti contohnya, Toyota di Jepang
dibesarkan oleh kelompok usaha kecil menengah dan besar. Intinya adalah pada model ini
tidak ada monopoli seperti yang ada di beberapa negara berkembang, seperti Indonesia
monopoli masih ada pada beberapa perusahaan besar seperti PLN (Perusahaan Listrik
Negara) dan PT. Kereta Api Indonesia.
Ada beberapa indikator yang harus digunakan untuk mengetahui tentang bagaimana
bentuk tanggung jawab negara dalam membangun ekonomi kerakyatan Indonesia. Adapun
indikator-indikator yang dimaksud adalah sebagai berikut:
5 Soeryono Soekanto dan Sri Mamudji. (Jakarta: Rajawali Press, 2010). hlm. 7.
6 Tajuddin Parenta, Dalam Kuliah Khusus Penunjang Disertasi, Makassar, 23 Juni 2011.
7 Lihat, Pasal 1-5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah.
314
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
Indikator Hukum
Indikator hukum ini dimaksudkan untuk melihat secara legalitas formal bahwa
sungguh-sungguh pemerintah berkehendak untuk membangun ekonomi kerakyatan
dengan membuat undang-undang khusus untuk itu. Bila dilihat keberadaan UndangUndang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah, maka
dapat disimpulkan bahwa pemerintah berkeinginan kuat untuk membangun ekonomi
kerakyatan. Akan tetapi dalam hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti yang
menjadi kendala dalam rangka membangun ekonomi kerakyatan adalah lemahnya
penegakan hukum di dalam implementasi aturan-aturan hukum yang ada. Berbicara
mengenai penegakan hukum, maka fokus perhatian di sini tertuju pada aparat penegak
hukum meliputi polisi, jaksa, dan hakim. Fenomena lemahnya penegakan hukum ini
dalam analisis yang dilakukan peneliti menunjukkan telah terjadi pembiyaran sistemaik
di antara para pejabat penyelenggara negara.
Di beberapa negara maju seperti Eropa, tidak membutuhkan banyak undangundang dalam membangun ekonomi bangsanya. Masyarakat Ekonomi Eropa misalnya
atau yang disebut dengan MEE, mereka membangun bangsanya dengan satu komitmen
yang bulat dan ini merupakan kontrak sosial antara pemerintah dan rakyat bahwa
organisasi negara lahir tidak lain tujuannya adalah memakmurkan seluruh masyarakat
ekonomi Eropa. Mereka sadar benar bahwa tidak ada yang akan membangun
kekuatan ekonomi masyarakat Eropa kecuali mereka sendiri.8 Dilihat dari komitmen
masyarakat Ekonomi Eropa dalam membangun ekonomi bangsanya, dapat ditarik
kesimpulan tentative bahwa pemerintah-pemerintah pada masyarakat ekonomi Eropa
telah menerapkan pembangunan ekonomi yang sangat relevan dengan aturan-aturan
yang ada di dalam agama Islam. Contoh misalnya dalam Al-Qur’an dikatakan bahwa,
“Tidak ada yang merubah nasib suatu kaum/golongan, kecuali kaum atau golongan itu
sendiri yang mengubahnya.” Prinsp ini dikalangan masyarakat ekonomi Eropa disebut
CCN (Commitment, Consistency, and Nationalism).
Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 tidak cukup menjadi penggerak dalam
membangun ekonomi kerakyatan, kecuali didukung dengan undang-undang yang
lain, seperti Undang-Undang Perbankan yang melaksanakan fungsi intermediasi
menghimpun dana menyediakan kredit dengan bunga rendah serta dapat diakses dengan
persyaratan-persyaratan yang tidak kaku. Dapat diberi contoh misalnya solusi yang
dilakukan oleh Yunus di Bangladesh yang memberikan masukan kepada pemerintah
agar pengusaha mikro kecil menengah diberi kemudahan dalam bentuk pinjaman bank
tanpa agunan. Inti daripada pembangunan ekonomi kerakyatan adalah menghidupkan
dan memperkuat sektoril sebagai sokoguru dalam proses pencapaian masyarakar
yang adil dan makmur dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Usaha kecil dan
menengah merupakan penggerak ekonomi rakyat dengan indikator Biro Pusat Statistik
tahun 2006 mengatakan bahwa, “jumlah pengusaha kecil mencapai 48.929 juta atau
sekitar 99,99 % dari total pengusaha kecil, menengah dan besar”.
Lokasinya sebagian besar berada di pedesaan dan sisanya tersebar di kabupaten
kota dan provinsi. Kegiatan bisnisnya yang paling dominan berada di sektor pertanian
dalam arti luas yang berbasis sumber daya alam serta bertujuan ekspor. Dari hasil
pembangunan sektoril di bidang pertanian ini dapat menyumbang ekspor sebesar
15,70% dari total ekspor nasional memberikan andil yang signifikan yaitu 53,28% (Rp
1.778 Milyar). Usaha menengah sektoril ini menyerap tenaga kerja sekitar 85,42juta
8 Diolah dan dikembangkan dari hasil diskusi dengan Parlemen Eropa, Oktober 2009, Universitas Utrecht,
Belanda.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
315
atau sekitar 99,18 dari total pekerja di semua sektor di Indonesia. Dampak positif dari
pemberdayaan UKM sangat signifikan mengurangi pengangguran dengan cepat dan
mudah. Namun demikan, dibalik keberhasilan UKM-UKM tersebut masih banyak
yang belum dapat berhubungan dengan perbankan sebagai sokoguru dalam penguatan
permodalan UKM. Mengapa demikian dapat disebabkan oleh beberapa alasan, antara
lain:
a. Karena adanya kecenderungan, UKM itu lebih difokuskan kepermodalam saja,
sementara faktor-faktor produksi lainnya seperti tempat usaha/kepemilikan,
teknologi dan SDM kurang mendapatkan perhatian. Oleh sebab itu, UKM
sebagai entitas bisnis menjadi berkurang daya tariknya.9
b. Belum ada kebijakan publik yang mampu mendorong semua pihak yang terlibat
dalam UKM bersatu dalam kebijakan dan tindakan, misalnya seperti program
Bimas yang mampu menyatukan semua departemen terkait karena misinya
jelas yaitu swasembada beras.
c. Keberadaan Undang-undang Perbankan sendiri yang bernuansa kapitalisme
atau tidak memihak kepada kepentingan-kepentingan UKM.
Indikator Penegak Hukum
Hukum dapat di personifikasi sebagai subjek hukum yang energinya melekat pada
manusia itu sendiri. Yang artinya kekuatan hukum itu sangat ditentukan oleh unsurunsur moralitas, integritas, kecerdasan, serta keberanian dari person-person pejabat
penyelenggara negara yang terkait dengan keberadaan UKM itu sendiri (The Man
Behind The Gun). Badan Usaha Milik Negara yang menurut Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah di kategorikan sebagai
usaha besar, diberi kewajiban oleh undang-undang tersebut untuk menghimpun dana
serta sebagian dana dari BUMN tersebut diperuntukan bagi kegiatan:
a. Sebagai penjamin kredit pada usaha mikro kecil dan menengah.
b. Sebagai pembinaan calon nasabah yaitu membiayai berbagai pelatihan dari
UKM dan bimbingan agar UKM menjadi bankable.
c. BUMN dapat mengembangkan UKM dengan menetapkan batasan minimum
portofolio UKM setiap bank.
d. Diperlukan kebijakan publik yang dapat menstimulir pihak-pihak terkait yang
mempunyai komitmen tinggi dalam membangun UKM seperti program Bimas
dalam rangka swasembada beras. Untuk itu dapat dibuat misalnya program
akselerasi UKM dalam rangka meningkatkan kesempatan kerja.
Penulis melakukan telaah dan analisis bahwa apa sesungguhnya yang ingin dicapai
dalam proses penguatan UKM adalah menciptakan suatu sikap kreatif, inovatif,
produktif, serta berkualitas bagi UKM agar kelak dapat bersaing dalam menghadapi
pasar bebas dalam era golalisasi. Namun dalam hal ini tentu diperlukan kontrol
pemerintah yang sangat kuat sehingga dalam posisi Indonesia di satu pihak sebagai
anggota WTO, akan tetapi dipihak lain sebagai sebuah negara berkembang, pemerintah
Indonesia harus mempunyai komitmen yang kuat untuk memperkuat industri dalam
negeri disetiap sektor yang dikelola oleh UKM. Sebagaimana kita ketahui Indonesia
sebagai negara agraris maka kegiatan UKM atau segmen usaha UKM harus diarahkan
kepada daya kreatifitas inovasi dan produktifitas serta kualitas yang tinggi di bidang
pertanian sehingga kita mampu berswasembada pangan dalam jangka panjang. Selain
9 Hernando De Soto, The Mysthery of Capital: Why Capitalsm Triumphs in The West an Fails Everywhere Else.
316
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
itu, Indonesia juga sebagai sebuah negara kepulauan dimana lautan lebih luas daripada
daratan, maka pemerintah harus mempunyai komitmen yang kuat pula agar penguatan
UKM juga diarahkan kepada masyarakat pantai yang bekerja secara turun-temurun
sebagai nelayan-nelayan tradisional. Memperhatikan kondisi rill Indonesia maka
negara ini seharusnya penggerak utama ekonominya (prime mover) bertumpu pada
sumber daya laut dan agraria atau sektor pertanian dan sektor perikanan.10
Potensi sumber daya laut dan pertanian yang demikian besar menurut analisis
penulis seandainya pemerintah berkomitmen kuat untuk mengarahkan UKM
melakukan akselerasi di sektor tersebut maka pada gilirannya Indonesia akan sangat
kuat menghadapi perdagangan bebas dalam WTO. Namun kenyataan menunjukkan
bahwa sumbangan ekonomi sektor kelautan dan pertanian masih sangat rendah oleh
karena baru menyumbang sekitar 21% terhadap PDB (Produk Domestik Bruto),
dibandingkan dengan negara-negara lain yang memiliki garis pantai lebih kurang
dari Indonesia. Seperti misalnya Jepang yang garis pantainya hanya sekitar 31 ribuan
km tapi telah menyumbang hampir 55 % terhadap PDB (Produk Domestik Bruto),
dibandingkan Indonesia yang panjang garis pantainya mencapai 81 ribu km. Kenyataan
ini, seharusnya sudah cukup alasan bagi pemerintah Indonesia untuk melakukan suatu
kebijakan baru atau terobosan baru yang sungguh-sungguh agar potensi laut pada garis
pantai yang 81 ribu km itu dapat memacu pertumbuhan ekonomi nasional melalui
bangkitnya sektor ekonomi UKM.
Pemikiran selama ini dari sejak orde lama sampai orde baru, dan sekarang
reformasi. Nampak sangat jelas melihat bahwa sektor kelautan masih terpinggirkan,
meskipun dalam era reformasi ini pemerintah sudah mempunyai kehendak yang
kuat untuk memperkuat sektor kelautan dengan diciptakannya Menteri Kelautan dan
Perikanan. Namun Departemen Kelautan dan Periakanan ini sudah ada, akan tetapi
disamping umurnya yang masih muda maka terlihat pula anggaran dari APBN yang
diperuntukkan disektor ini masih sangat rendah. Demikian pula sektor pertanian,
walaupun ada Badan Pertanahan Nasional (BPN) sejak orde lama tetapi penguatan
disektor ini sebagai Prime Mover pembangunan ekonomi kerakyatan belum terlihat
signifikan. Tentu ada beberapa alasan yang kuat mengapa sektor pertanian ini tidak
mampu menjadi pendorong ekonomi negara yang kuat, menurut analisis penulis ada
beberapa hal yang menyebabkan itu terjadi:
a. tata kelola kepemilikan lahan yang tidak memihak rakyat petani penggarap.
b. kebijakan kepemilikan tanah bagi pejabat tidak dibatasi.
c. kurangnya perhatian pemerintah atau tidak adanya skala prioritas bagi
pemerintah untuk menjadikan sektor pertanian sebagai penggerak pertumbuhan
ekonomi nasional.
Bila dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara yang lain seperti Vietnam,
Thailand, Kamboja, Birma, Indonesia kalah jauh bila dilihat dari kemajuan sektor
pertanian ini. Terbukti misalnya sampai pada hari ini Indonesia masih mengimpor
beras dari negara-negara Asia Tenggara tersebut, termasuk juga negara di timur jauh
seperti Jepang, walaupun industri pertanian Jepang tidak menjadi Prime Mover,
sebagai negara industri maju Jepang tidak kalah kemajuannya di bidang pertanian.
Dan Indonesia juga mengimpor beras dari Jepang. Untuk kepentingan jangka panjang
sekarang adalah kesempatan yang baik untuk melakukan introspeksi serta memulai
perencanaan-perencanaan yang baru dan secara fokus Indonesia menyatakan bahwa
10 Diolah dan dikembangkan dari pikiran-pikiran Marzuki DA dalam buku Pemikiran dan Strategi Memberdayakan Sektor Ekonomi UKM di Indonesia, Penerbit Yayasan Massaile, 2006, hlm. 33.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
317
Prime Mover pertumbuhan ekonomi rakyatnya belum berada pada sektor industri
tetapi masih berada pada sektor pertanian. Keragu-raguan untuk bersikap demikian
hanya akan menambah ketertinggalan bangsa ini dalam jangka panjang. Sebenarnya
agak tragis memang cara membangun ekonomi bangsa ini.
Mengapa demikian penulis katakan, oleh karena di penghujung pemerintahan
Orde Baru (Soeharto) isu yang dikembangkan dan berkembang bahwa Indonesia sudah
sejajar dengan Korea, Hongkong, dan Taiwan, Singapura, dan Malaysia, yang masuk
kategori The New Industrial Countries (NICS). Maka apabila dalam era reformasi ini
kita mencanangkan suatu pola pembangunan ekonomi dengan Prime Mover pertanian,
maka kesannya adalah kita mundur. Menurut penulis, stigma mundur atau maju
dalam menetapkan perencanaan pembanguan ekonomi sebuah bangsa itu tidak terlalu
penting, maka yang lebih penting sebetulnya adalah kemampuan merencanakan dan
memastikan masa depan yang lebih baik. Jadi lebih baik mundur untuk maju, daripada
maju dalam utopia yang permanen. Suatu kesalah besar yang perlu dicatat oleh
bangsa ini bahwa dalam pemanfaatan sumber-sumber kekayaan alamnya termasuk
hasil pertanian, kelautan, dan kehutanan selalu diekspor dalam bentuk gelondongan
sehingga yang terjadi adalah nilai tambah dari sektor ini dinikmati oleh negara-negara
pengimpor contoh yang dekat di kasat mata adalah negara tetangga kita Singapura dan
Malaysia sebagai negara pengimpor kayu terbesar dari Indonesia.
Sedangkan hasil-hasil pertanian seperti coklat nilai tambahnya dinikmati oleh
negara Eropa sebagai industri coklat terbesar di dunia, setelah menjadi barang jadi
dalam bentuk coklat kemasan Indonesia mengimpornya kembali dengan harga yang
sangat mahal. Demikian pula rumput laut, belum diarahkan secara signifikan oleh
pemerintah pusat agar setiap provinsi memiliki industri pengolahan rumput laut yang
dikelola oleh UKM.
Posisi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UKM) sudah lama diakui sebagai sektor
usaha yang sangat penting oleh karena peranannya sungguh sangat nyata. Seperti
contoh misalnya, disaat krisis moneter pada tahun 1998 yang terkenal dengan era
penghujung orde baru semua pengusaha besar yang ada di Indonesia sangat merasakan
dampak negative dari krisis global itu. Akan tetapi dalam kenyatannya UKM menikmati
keuntungan yang sangat besar terutama yang mengelola segmen usaha pertanian.
UKM tersebut dalam kenyataannya dapat memecahkan masalah lapangan kerja bagi
pencari kerja dan menyerap tenaga kerja sekitar 99,45% serta mempunyai nilai ekspor
18,72%. Dari posisi UKM yang sangat strategis tersebut maka kondisi makro ekonomi
Indonesia selama ini dapat bertahan dan tidak ambruk dari akibat krisis ekonomi global.
Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut maka UKM sewajarnya
mendapatkan kemudahan-kemudahan di dalam memperkuat modalnya melalui
pinjaman bank dengan bunga yang rendah. Akan tetapi apa yang terjadi dalam
penelitian penulis melalui kepustakaan di Eropa (Utrecht) menunjukkan bahwa suku
bunga yang diterapkan bagi bank-bank yang ada di Indonesia baik swasta maupun
bank pemerintah tergolong paling tinggi di dunia. Ini menunjukkan tidak adanya
kekoherensian antara undang-undang UKM atau kehendak pemerintah di satu pihak
untuk memberi porsi signifikan pada UKM dan ketentuan-ketentuan dalam UndangUndang Perbankan tidak sinkron. Sehingga dengan demikian sasarannya tidak bisa
dicapai. Namun harus disadari kelemahan UKM tidak hanya terletak pada persoalan
modal, akan tetapi persoalan lain adalah mekanisme kemitraan usaha yang tidak jelas
sekalipun Undang-undang UKM No. 20 Tahun 2008 telah menunjuk pengusaha besar
sebagai mitra yang harus bertanggung jawab membesarkan UKM agar dapat mencapai
daya saing secara global.
318
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
Jika kita membaca sejarah globalisasi ekonomi dari tahun 1947 sejak GATT
lahir sampai sekarang yang dikenal dengan WTO yang lahir pada tahun 1994 di
Montego By, prinsip dasarnya adalah sangat mulia yaitu ingin menghilangkan gap
atau kesenjangan ekonomi blok utara dan blok selatan dunia (di utara dikategorikan
negara maju, sedangkan di Selatan negara miskin atau berkembang).11
Apabila diperhatikan dengan seksama filosofi lahirnya WTO, maka sangat
beralasan bila Presiden Suharto pada tahun 1994 dalam pertemuan APEC yang ke-2
di Bogor menyatakan bahwa siap atau tidak siap kita harus masuk menjadi anggota
WTO, tentu tidak harus dilihat sebagai suatu kesalah besar oleh karena filosofi
lahirnya WTO adalah untuk mencapai proses-proses kesetaraan ekonomi dunia
melalui pembangunan ekonomi di beberapa regional dunia seperti APEC, AFTA,
NAFTA, MEE, dan lain-lain. Kekeliruan kita setelah kita menjadi anggota WTO
tidak menetapkan arah kebijakan yang jelas tentang hal apa yang harus segera kita
lakukan untuk menunjang berjalannya mekanisme WTO tersebut. China misalnya
dalam menyikapi WTO tahun 1994 nampak dingin-dingin saja. Akan tetapi dalam
kedinginan itu dia mampu membaca tentang hal apa sebetulnya yang harus dibangun
oleh setiap negara anggota WTO. Yang dilakukan China adalah bukan langsung
menciptakan industri-industri yang kuat sekalipun itu mampu dia lakukan.
Akan tetapi China yang berpenduduk lebih dari satu milyar melakukan terobosan
dengan membangun infrastruktur seperti jalan, kerata api, dan telekomunikasi pada
seluruh penjuru China dengan harapan bahwa potensi rakyat yang begitu besar
seluruh hasil-hasil produksinya terutama sektor pertanian dapat mengakses pasar
dengan mudah. China menyikapi WTO sangat jauh dari kepentingan-kepentingan
politik atau dengan kata lain tidak ingin menyikapi WTO secara politik. Itulah
sebabnya China menjadi anggota WTO nanti pada tahun 2002. Tidak seperti halnya
Indonesia yaitu setahun setelah WTO lahir pada tahun 1995 lahirlah Undang-Undang
No.7 tahun 1995 yang terkenal dengan Undang-Undang Ratifikasi terhadap WTO.
Oleh karena sudah menjadi Undang-undang Nasional, maka wajib hukumnya WTO
tersebut diimplementasikan di Indonesia. Apa yang terjadi dengan sikap terburu-buru
serta bernuansa politik tersebut adalah bukti menunjukkan bahwa tidak ada satupun
komoditi unggulan terutama sektor industri yang dapat dikategorikan sebagai Prime
Mover pertumbuhan ekspor yang bisa bersaing secara global. Sebagai akibatnya
adalah Indonesia hanya menjadi pasar bagi negara-negara anggota WTO yang lain di
satu pihak kita tidak dapat menjangkau pasar negara-negara anggota WTO yang lain.
Pertanyaannya adalah dimana prinsip pemerataan itu?
Jawabannya adalah pemerataan itu bukan pemberian, akan tetapi upaya yang
maksimal yang direncanakan dan dilaksanakan oleh setiap negara anggota WTO.
China dan Jepang sangat menikmati kondisi tersebut. Produk-produk China sudah
mendominasi Eropa dan Amerika artinya mereka sudah menikmati pemerataan itu.
Bila membedah kenyataan ini maka tentu Indonesia perlu melakukan restrukturisasi
di bidang kebijakan perencaan dan pelaksanaan pembangunan ekonominya sehingga
nampak dengan jelas masyarakat menengah ke bawah dapat tersentuh dengan baik.
Inilah yang disebut dengan pembangunan ekonomi kerakyatan, yang oleh Mubyarto
disebut Sistem Pembangunan Ekonomi Pancasila. Apa yang dimaksud dengan Sistem
Ekonomi Pancasila oleh Mubyarto adalah suatu model pembangunan ekonomi
11 Diolah dan dikembangkan dari John H. Jackson, William J. Davey, Alan O. Sykes, Jr., dalam International Economic Relations Cases, Material, and Text, Third Edition, 1995, hlm. 1. Demikian pula
dapat dilihat dalam Dasar-Dasar Hukum lahirnya WTO yang tertuang dalam pembukaan lahirnya
WTO di Marakesh
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
319
nasional yang tidak hanya memburu pertumbuhan, akan tetapi yang paling penting
adalah pemerataan. Di zaman orde baru sistem ekonomi Pancasila yang dikembangkan
Mubyarto banyak mendapat tantangan dari kelompok Mafia Barkley. Kelompok Barkley
memprovokasi rezim orde baru bahwa ekonomi Pancasila yang menitikberatkan pada
pemerataan tidak lain adalah komunis, yang tentu saja rezim orde baru sangat benci
dengan komunis oleh karena trauma pada peristiwa G30-SPKI 1965 sebagai akibatnya
Sistem Ekonomi Pancasila ditolak untuk dikembangkan pada zaman orde baru tersebut.
Pilihannya adalah menggunakan sistem ekonomi liberal kemudian dibungkus dengan
campur tangan pemerintah secara tidak signifikan. Sebagai akibatnya adalah terjadinya
hegemoni kapitalisme barat dalam melakukan penguasaan sumber-sumber kekayaan
alam seperti pertambangan, kehutanan, dan perbankan.
Fakta ini menunjukkan Indonesia tidak mampu mengimplementasikan
kedaulatannya di bidang ekonomi sehingga tanggung jawab negara dalam membangun
ekonomi kerakyatan menjadi terabaikan. Antara kedaulatan di bidang ekonomi dan
tanggung jawab negara dalam membangun ekonomi kerakyatan merupakan satu
kesatuan yang utuh dan bersifat gradual. Artinya kedaulatan ekonomi membicarakan
tentang politik ekonomi, yaitu pemerintah harus mampu membuat regulasi yang
berorientasi kepada pemagaran hukum terhadap seluruh kekayaan alam bangsa
Indonesia menurut semangat Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945. Sedangkan tanggung jawab negara membangun ekonomi
kerakyatan adalah suatu proses implementasi dari aturan-aturan hukum ekonomi
sebagai produk antara DPR dan Pemerintah atau Legislatif dan Eksekutif. Spirit yang
terkandung dalam Pasal 33 UUD NRI 1945 meliputi:
a. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan;
b. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh negara; dan
c. Bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Berdasarkan ketiga prinsip tersebut dapat disaksikan betapa sangat besarnya peran
negara dalam sistem ekonomi kerakyatan. Sebagaimana dilengkapi oleh Pasal 27 ayat 2
dan Pasal 34, peran negara dalam sistem ekonomi kerakyatan antara lain meliputi lima hal
sebagai berikut:
a. Mengembangkan koperasi;
b. Mengembangkan BUMN;
c. Memastikan pemanfaatan bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung di
dalamnya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
d. Memenuhi hak setiap warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan
yang layak;
e. Memelihara fakir miskin dan anak terlantar.
Perbedaan antara sistem ekonomi kerakyatan, kapitalisme, dan Neoliberalisme dapat
diuraikan sebagai berikut:
Sistem Ekonomi Kerakyatan
a. Menyusun perekonomian sebagai usaha bersama berdasar atas azas
kekeluargaan; mengembangkan koperasi (Pasal 33 ayat 1).
b. Menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak; mengembangkan BUMN (Pasal 33
ayat 2).
c. Menguasai dan memastikan pemanfaatan bumi, air, dan segala kekayaan yang
terkandung di dalamnya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 33
320
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
ayat 3).
d. Mengelola anggaran negara untuk kesejahteraan rakyat; memberlakukan pajak
progresif dan memberikan subsidi.
e. Menjaga stabilitas moneter.
f. Memastikan setiap warga negara memperoleh haknya untuk mendapatkan
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 27 ayat 2).
g. Memelihara fakir miskin dan anak terlantar (Pasal 34).
Sistem Kapitalisme
a. Mengintervensi pasar untuk menciptanya kondisi kesempatan kerja penuh.
b. Menyelenggarakan BUMN pada cabang-cabang produksi yang tidak dapat
diselenggarakan oleh perusahaan swasta.
c. Menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dengan pemerataan
pembangunan.
d. Mengelola anggaran negara untuk kesejahteraan rakyat; memberlakukan pajak
progresif dan memberikan subsidi.
e. Menjaga stabilitas moneter.
f. Memastikan setiap warga negara memperoleh haknya untuk mendapatkan
pekerjaan dan penghidupan yang layak.
g. Memelihara fakir miskin dan anak terlantar.
Sistem Neoliberalisme
a. Mengatur dan menjaga bekerjanya mekanisme pasar; mencegah monopoli.
b. Mengembangkan sektor swasta dan melakukan privatisasi BUMN.
c. Memacu laju pertumbuhan ekonomi, termasuk dengan menciptakan lingkungan
yang kondusif bagi masuknya investasi asing.
d. Melaksanakan kebijakan anggaran ketat, termasuk menghapuskan subsidi.
e. Menjaga stabilitas moneter.
f. Melindungi pekerja perempuan, pekerja anak, dan bila perlu menetapkan upah
minimum.12
Bila ditelaah secara seksama dari ketiga sistem tersebut maka nampak jelas
yang paling sesuai bagi Indonesia adalah sistem ekonomi kerakyatan atau demokrasi
ekonomi menurit falsafat Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945.
Indikator Sistem
Indikator ini dimaksudkan untuk menguji sikap konsistensi pemerintah
dalam rangka mengimplementasikan spirit konstitusi yang terkait dengan masalah
pengelolaan ekonomi negara seperti tertuang dalam Pasal 33, Pasal 27, dan Pasal 34
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Secara ekstrim umumnya di dunia mengenal tiga sistem ekonomi, yaitu sistem
Liberal, Sosialis, dan Campuran. Pertanyaan yang muncul adalah Indonesia menganut
sistem apa. Sebelum menjawab pertanyaan tersebut maka terlebih dahulu penulis
menguraikan bagaimana mekanisme yang berlaku pada ekonomi liberal, seperti
Amerika dan Eropa. Dalam kenyataan menunjukkan bahwa sekalipun mereka
menganut paham ekonomi pasar sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada
dalam WTO akan tetapi masih tetap memberikan subsidi kepada masyarakat petani
di negaranya. Padahal diketahui bahwa subsidi adalah salah satu larangan dalam
12 Diolah dan dikembangkan dari pandangan Revrisond Baswir.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
321
mekanisme perdagangan di WTO. Selain subsidi yang diberikan kepada masyarakat
petani di kedua benua tersebut juga dalam hal tertentu mereka melakukan proteksi
terhadap barang-barang asing yang secara signifikan memasuki pasar mereka. Hal ini
pula dilarang oleh mekanisme perdagangan di WTO.
Apa yang dipraktikan oleh negara-negara di dua benua tersebut mestinya
sudah cukup memberikan spirit bagi bangsa Indonesia sebagai sebuah negara yang
sedang berkembang untuk merencanakan bangun sistem ekonominya. Sesuai amanat
konstitusi, seperti yang tertuang dalam Pasal 33 UUD NRI 1945 sistem yang paling
ideal sebagai Prime Mover pembangunan ekonomi bangsa adalah menganut sistem
ekonomi campuran. Ekonomi campuran dalam implementasinya ternyata menganut
paham Neoliberalism yang sangat jauh dari sentuhan ekonomi kerakyatan. Akan tetapi
sesungguhnya jika memperhatikan fenomena yang terjadi di Amerika dan Eropa,
sistem itu tidak penting tetapi apapun mekanisme yang dilakukan oleh negara dalam
melakukan perencaaan dan pembangunan ekonomi bangsanya masyarakat menengah
kebawah harus diberdayakan. Jadi sistem itu tidak penting, tetapi yang penting adalah
kebijakan yang berisikan hati nurani, moralitas, dan keadilan, sehingga masyarakat
menengah ke bawah dapat memperoleh hak-hak ekonominya seperti yang tercantum
dalam Pasal 27 UUD NRI 1945, yaitu hak mendapatkan penghidupan dan pekerjaan
yang layak.
Pada dasarnya, sekalipun secara ekstrim sistem ekonomi dunia hanya mengenal
tiga, akan tetapi sesungguhnya setiap negara berhak untuk menentukan sistem ekonomi
yang dianutnya. Sistem ekonomi kerakyatan yang di wacanakan oleh Mubyarto dimulai
tahun 1979 diprediksi yang paling cocok bagi bangsa Indonesia, akan tetapi mendapat
banyak tantangan dengan beberapa alasan. Pertama, harus diakui bahwa teori sistem
ekonomi kerakyatan pada dasarnya belum ada, sehingga sulit menetapkan definisinya
secara pasti. Hal itu disebabkan oleh karena kerangka pikir ideologinya umumnya
hanya bersumber dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Namun demikian, dipercaya banyak pihak justru hal tersebut sebenarnya harus menjadi
landasan utama dalam menyusun ideologi kebijakan ekonomi suatu bangsa.13
Seperti telah dipraktikkan di beberapa negara maju, yang umumnya mempunyai
dasar politik kapitalisme sosialis, seperti Jerman, Perancis, dan China. Ketiga negara
kapitalis sosialis tersebut menerapkan sistem ekonomi kerakyatan sekalipun mereka
penganut ideologi capitals liberalis. Tentu saja mereka tidak menggunakan sistem
ekonomi kerakyatan akan tetapi praktiknya itulah yang disebut dengan ekonomi
kerakyatan yang sesungguhnya. Di Indonesia misalnya, pemikiran paradigma ekonomi
kerakyatan dipercaya beberapa ahli, yang diilhami oleh pemikiran-pemikiran Bung
Hatta, yang kemudia tertung dalam kutipan penjelasan Pasal 33 UUD NRI 1945.
Meskipun memang harus diakui bahwa secara eksplisit tidak ditemukan ungkapan
ekonomi kerakyatan dalam Pasal 33 UUD NRI 1945, kecuali istilah Demokrasi
Ekonomi, namun beberapa ahli ekonomi meyakini bahwa itu dapat disamakan
artinya dengan ekonomi kerakyatan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
Sistem Ekonomi Kerakyatan hanya ungkapan lain dari Demokrasi Ekonomi; Kedua,
berdasarkan pengertian tersebut banyak ahli menyimpulkan bahwa ada tiga substansi
dalam ekonomi kerakyatan, yaitu:
1. Perlunya partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam proses produksi
nasional. Artinya adanya jaminan keikutsertaan seluruh anggota masyarakat
dalam mendayagunakan seluruh potensi sumber daya ekonomi nasional, seperti
13 Marzuki DA, Op Cit, hlm. 48.
322
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
tertuang dalam Pasal 27 ayat 2 UUD NRI 1945, yang menegaskan bahwa tiaptiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan.
2. Dengan partisipasi seluruh masyarakat berarti mereka dapat turut menikmati
hasil produksi nasional terutama fakir miskin seperti tertuang dalam Pasal 34
UUD NRI 1945, yaitu fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara.
3. Kegiatan pembentukan produksi nasional dan pembagian hasil produksi
nasional tersebut harus berlangsung di bawah pimpinan atau pemilikan anggota
masyarakat, itu artinya seluruh anggota masyarakat bukan hanya menjadi
objek pembangunan tapi harus menjadi subjek pembangunan. Sehingga
seluruh anggota masyarakat dalam partisipasinya tersebut perlu turut memiliki
modal dan faktor produksi nasional, yaitu meliputi material, intelektual, dan
institusional.
Ketiga, dengan substansi ekonomi kerakyatan seperti itu maka jelas pihak-pihak
yang menganut pemahaman ekonomi kapitalisme Neoliberalisme utamanya selalu
berupaya untuk menghalangi agar pemerintahan di suatu negara yang menganut
paham demokrasi ekonomi tidak dapat menerapkan prinsip ekonomi tersebut karena
akan mengancam kepentingan ekonomi meraka. Inilah yang menjai tantangan berat
bagi terciptanya sistem ekonomi kerakyatan di Indonesia. Diperlukan kegigihan bagi
bangsa ini untuk berani menciptakan jati diri sehingga mampu berdaulat tidak hanya
berdaulat di bidang politik akan tetapi yang paling penting adalah kedaulatan di bidang
ekonomi.
Bidang ekonomi tersebut meliputi keseluruhan faktor-faktor produksi yaitu
kehutanan, pertambangan, pertanian, perikanan, serta minyak dan gas bumi. Adapun
orientasi maksimal jangka panjang dari mekanisme seperti itu adalah upaya yang
sungguh-sungguh untuk mencapai pasar global serta mempunyai kemampuan daya
saing dari setiap segmen usaha industri dan pertanian. Sehingga dalam menghadapi
WTO pada tahun 2020 tidak ada keraguan lagi; Keempat, untuk kepentingan tersebut
maka ada beberapa agenda besar yang harus disiapkan pemerintah, yaitu:
1. Memperjuangkan pengurangan utang luar negeri dan memperbaiki pengelolaan
utang domestik agar pembangunan ekonomi idak bermodal utang (overdraft
economy).
2. Membatasi eksploitasi investor asing terhadap sumber daya alam strategis.
3. Meningkatkan disiplin pengelolaan keuangan negara dengan memerangi praktik
KKN, Korupsi, pengurangan pengangguran dan kemiskinan, serta peningkatan
kualitas manusia Indonesia melalui proses-proses pendidikan dan pelatihan.
4. Demokratisasi pengelolaan BUMN dan menghindari praktik-praktik privatisasi
yang tidak pro-rakyat.
5. Membenahi sistem pengelolaan keuangan masyarakat pada lembaga-lembaga
perbankan, utamanya bank milik pemerintah termasuk bank sentral agar dapat
mendukung kebijakan-kebijakan pembangunan ekonomi pemerintah yang pro
kepentingan rakyat.
6. Pembatasan penguasaan dan retribusi penguasaan lahan terutama pertanian
oleh pihak-pihak tertentu secara tidak adil, sesuai amanat Pasal 33 UUD NRI
1945 dan juga Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960 Pasal 2 mengatakan
bahwa, negara berhak mengatur peruntukan penggunaan, persediaan, dan
pemeliharaan lahan pertanian bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
323
7. Penyesuaian dan pembenahan undang-undang lembaga ekonomi masyarakat
seperti koperasi dan lembaga-lembga keuangan masyarakat kecil (BPR) agar
dapat menjadi lembaga ekonomi kekeluargaan, agar sektor ekonomi potensial
masyarakat dapat diolah lebih produktif oleh masyarakat daerah sendiri-sendiri.
Tata kelola ekonomi yang pro-rakyat dapat diambil sebagai contoh yang
dilakukan oleh pemerintah kerajaan Inggris pada tahun 1979 yang disebut dengan
British Privatization Taking Capitalism to the people.14 Semula pemerintah kerajaan
Inggris menolak privatisasi, akan tetapi berkat kecerdikan dan inovasi dari Thomas
Moore, beliau terkenal sebagai tokoh di belakang privatisasi yang sukses di Inggris,
mengatakan bahwa privatisasi itu baik untuk meningkatkan kualitas industri apapun
dari suatu negara dengan syarat-syarat sebagai berikut :
1. Harus dilihat dengan seksama kondisi objektif dari suatu perusahaan negara
sehingga bila sudah terjadi surplus dalam proses produksinya maka BUMN
seperti itu tidak perlu lagi di privatisasi. Artinya, BUMN yang sudah positif
dalam menjalankan manajemen bisnis secara profesional, tidak ada alasan
untuk di privatisasi.
2. Bila suatu BUMN karena faktanya tidak efisien maka itu harus di privatisasi
dengan syarat pembeli saham pertama dari BUMN itu di utamakan karyawan
da bahkan buruh.
3. Pembelian saham oleh karyawan setiap anggota atau grup tidak boleh melebihi
15 % dari total jumlah saham di BUMN tersebut.
Dengan demikian terjadilah privatisasi yng pro-rakyat oleh karena seluruh modal
kapitalisme telah terbagi rata pada seluruh pemegang kepentingan (Stakeholder).
British Privatization Taking Capitalism to the people artinya suatu modal privatisasi
yang memindahkan modal-modal kapitalisme ketangan rakyat yang berkaitan dengan
ekonomi menengah kebawah. Model privatisasi pada pemerintah kerajaan Inggris
berhasil dari segi pertumbuhan. Sebelum privatisasi sekitar tahun 1980an, secara
keseluruhan BUMN-BUMN di Inggris rugi sekitar 3 Milyar Pound sterling tiap tahun.
Sekarang setelah privatisasi telah memberikan keuntungan yang signifikan, rata-rata
2 Milyar Poundsterling tiap tahun dan mampu menggerakkan dana sebesar 7 Milyar
Poundsterling dalam bisnis di pasar modal. Pada thun 1979, sebelum digencarkan
upaya privatisasi penduduk Inggris yang memiliki saham perusahaan hanya 7 %, pada
tahun 1991 naik 25 % dari jumlah penduduk.15
Perbedaan yang sinifikan kepemilikan saham oleh rakyat Inggris bila dibandingkan
sebelum dan sesudah privatisasi disebabkan, pertama, pada saat privatisasi para
karyawan atau buruh dalam perusahaan-perusahaan negara diransang untuk membeli
saham perusahaan yang mengalami privatisasi. Kedua, pengendalian yang tajam agar
satu orang atau satu kelompok orang dari interest group yang sama, tidak membeli
saham perusahaan lebih dari 15%, khususnya yang berkaitan dengan saham yang
mempunyai hak suara. Dengan perkataan lain, seseorang atau suatu kelompok dari
group yang memiliki privat interest yang sama tidak boleh mempunyai hak suara lebih
dari 15 %.16 Ketiga, meningkatkan mutu social responsibility dari para pemegang
saham perusahaan negara yang ikut privatisasi, melalui dialog yang diciptakan
untuk pendidikan dan peningkatan tanggung jawab bersama, untuk menggerakkan
apa yang mereka sebut democratic participation antara lain melalui perluasan basis
14 Thoby Mutis. Op.cit. hlm. 94.
15 Ibid.
16 Ibid, hlm. 95.
324
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
pemilikan modal dalam perusahaan.17 Kata democratic participation adalah sama
artinya dengan pohon-pohon koperasi yang dikemukakan oleh Bung Hatta sebagai
bangun perencanaan dan pembangunan ekonomi kerakyatan Indonesia. Bung Hatta
menjelaskan bahwa demokrasi ekonomi ala Indonesia di maksudkan agar tidak terjadi
monopoli kepemilikan faktor-faktor produksi dalam sistem perekonomian negara.18
Bila dibandingkan model privatisasi di Inggris dan Indonesia sekarang ini maka
nampak jelas perbedaannya terutama diliat dari segi siapa-siapa yang membeli
saham BUMN yang diprivatisasi tersebut. Indonesia misalnya sudah memprivatisasi
perbankan, PLN, Telkom, Pelabuhan, dan beberapa perusahaan negara lainnya. Akan
tetapi dalam kenyataannya saham-saham BUMN tersebut telah di monopoli oleh
pemodal asing sehingga spirit Pasal 33 UUD NRI 1945 telah berpindah ke Inggris dan
tidak berada di Indonesia. Di Indonesia adalah teori tapi di Inggris adalah kenyataan.
Sehingga dengan demikian jangankan karyawan dan buruh bisa dapat memiliki sahamsaham BUMN yang diprivatisasi, pengusaha swasta nasional sekalipun tidak diberi
kesempatan untuk membeli saham-saham tersebut. Kesimpulan sementara yang dapat
ditarik bahwa sesungguhnya privatisasi yang di wacanakan dalam WTO dari sudut
pandang sejarahnya adalah sangat positif karena bertujuan mulia yaitu menciptakan
penyetaraan kemampuan daya saing dari semua negara anggota terkait apapun
industri-industri unggulannya. Jika selama ini baik orang awam maupun pakar melihat
privatisasi sebagai suatu kesalahan maka sesungguhnya hal itu tidak benar.
Akan tetapi kuncinya adalah tergantung dari kehendak pemerintah untuk
menggunakan teori apa dalam menjalankan privatisasi itu. Kesan kita selama ini bahwa
negara-negara di Eropa dan Amerika melakukan privatisasi yang jauh dari kepentingan
rakyat sama sekali tidak benar, terbukti dengan gagasan Thomas Moore di Inggris
yang merekomendasikan kepada pemerintah agar melakukan privatisasi yang pro
rakyat. Pertanyaan yang harus dijawab adalah mengapa privatisasi gagal di Indonesia,
padahal seharusnya dalam menghadapi WTO semangat privatisasi dengan tujuan
meningkatkan daya saing di bidang ekspor merupakan keniscayaan. Untuk menjawab
pertanyaan ini perlu membedah politik hukum ekonomi Indonesia apakah dijalankan
secara konsisten atau tidak. Amandemen UUD NRI 1945 tahun yang sudah mengalami
empat kali amandemen sangat berpengaruh terhadap politik ekonomi Indonesia. Di
jaman Orde Baru, semua regulasi yang berkaitan dengan perencanaan pembangunan
ekonomi nasional berada di eksekutif. Setelah era reformasi, maka perencanaan dan
pembangunan ekonomi nasional dan politik ekonomi nasional berada ada tiga tempat,
yaitu di eksekutif, legislatif, dan partai. Kompromi-kompromi dari tiga komponen
inilah yang melahirkan politik ekonomi nasional. Di satu pihak sangat jelas bahwa
kepentingan mereka juga berbeda-beda. Namun, yang jelas mereka sama-sama tidak
memihak rakyat. Dalam privatisasi yang benar, perusahaan-perusahaan BUMN tidak
diarahkan untuk mempunyai kedudukan monopoli, tetapi untuk melaukan persaingan
yang fair yang disebut dengan Contestable market.19
Sehingga penataan aspek at least cost combination disadari secara tajam oleh para
pengelola dan pemegang saham. Ini terungkap dalam ucapan Thomas Moore “…since
the competition is the best way to keep prices low and quality high, the state; job is to
make competition real…” , yang artinya persaingan adalah jalan terbaik untuk mejaga
kestabilan harga yang rendah dengan kualitas yang tinggi, negara mempunyai tugas
17 Ibid.
18 Lihat, Mohammad Hatta, Membangun Ekonomi Indonesia, Kumpulan Pidato Ilmiah yang disusun oleh
Meutia Farida Swasono dan I Wangsa Widjaya, 1985, hlm. 80.
19 Op.Cit, hlm. 97.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
325
membuat persaingan yang nyata. Dari teori ekonomi pun sering tergambar bahwa real
competition atau perfect competition adalah yang paling mungkin menciptakan situasi
kenikmatan yang diraih seseorang atau lembaga yang tidak menimbulkan trade off
bagi yang lain (pareto optimum).
Peranan WTO Dalam Menghadapi Ekonomi Kerakyatan
Untuk memahami kebaikan dan keburukan dari WTO sebagai instrumen hukum dalam
membangun ekonomi kerakyatan, maka diperlukan indikator-indikator sebagai tolak ukur
penilaian. Indikator-indikator yang dimaksudkan oleh penulis antara lain, peluang pelaku
usaha miro kecil menengah, peningkatan efisiensi pengelolaan usaha mikro kecil menengah
dan koperasi, kerjasama dalam investasi.
Peluang Pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah
Literatur yang berbicara tentang sistem ekonomi kerakyatan telah banyak
diuraikan oleh ahli-ahli ekonomi baik ahli dalam negeri maupun luar negeri. Namun
sesungguhnya apa yang dimaksud dengan ekonomi kerakyatan disimpulkan bahwa
tidak lain adalah demokrasi ekonomi yang memberi tempat kepada semua pelaku
ekonomi secara proporsional untuk melaksanakan kegiatan ekonominya dan satu
sama lain terkait secara fungsional. Jadi ekonomi kerakyatan tidak dimaksudkan untuk
hanya mempersoalkan pentingnya penguatan ekonomi masyarakat miskin, akan tetapi
suatu pemikiran yang komprehensif yang diletakkan kepada prinsip-prinsip kemitraan.
Dalam prinsip kemitraan terkandung makna yang paling mendalam, yaitu bahwa yang
kuat berkewajiban mendorong yang lemah, dan yang lemah berkewajiban untuk taat
dalam menjalankan fungsi-fungsi bisnis yang profesional (Empowering Each Sectors).
Alfred Marshall, dalam bukunya yang terkenal Principles of Economics (1890)
menyatakan: Ekonomi adalah studi tentang manusia sebagaimana mereka hidup dan
berbuat serta berpikir dalam urusan kehidupan biasa. Selanjutnya dikatakan bahwa,
ekonomi mempelajari segi tindakan individu dan masyarakat, yaitu tindakan yang
paling erat berhubungan dengan perolehan dan penggunaan barang-barang yang
diperuntukan bagi kesejahteraan.20
Dari pandangan Marshall tersebut, penulis melakukan analisis yang mendalam
kemudian berpendapat bahwa apapun sistem perekonomian yang dianut oleh suatu
bangsa bukan sesuatu yang harus dipandang major, oleh karena sesungguhnya yang
ingin dicapai dalam sistem tersebut adalah tercapainya kesejahteraan masyarakat.
Sistem hanyalah panduan tentatif yang mengelola proses dalam rangka menjalankan
fungsi-fungsi tanggung jawab negara bagi pemerintah untuk memenuhi hajat hidup
orang banyak. Pada zaman orde lama Indonesia menggunakan sistem ekonomi
komando atau ekonomi terpimpin yang didasarkan kepada prinsip kepercayaan diri
yang maksimal bahwa tidak ada yang dapat membangun kekuatan ekonomi bangsa ini
kecuali bangsanya sendiri. Atas dasar pandangan ini, Bung Karo mengirim pemudapemuda Indonesia yang cerdas menuntut ilmu di Eropa pada era tahun 1960-an.
Tujuannya adalah bahwa kekayaan alam bangsa ini yang tergolong nomor wahid di
dunia jangan diserahkan secara gelondongan kepada ahli-ahli asing, oleh karena ahli
asing itu sudah pasti hanya memburu rente semata. Pemikiran untuk memperkuat
ekonomi bangsa semata-mata ada pada kekuatan rakyat Indonesia sendiri. Pada era orde
baru (pasca Bung Karno) yang dikenal dengan era Suharto, sistem ekonomi bangsa ini
mulai dibuka untuk masuknya modal asing. Sebagai hasil dari keterbukaan ini lahirlah
Freeport pada tahun 1967 dan Inco tahun 1968 sebagai investor besar pertama yang
20 Op.Cit, Tom Gunardi, hlm. 1
326
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
masuk di Indonesia. Dalam kenyataannya baik sistem komando yang diterapkan oleh
Bung Karno maupun sistem keterbukaan yang diterapkan oleh rezim Suharto tidak
mampu melahirkan suatu kinerja yang sungguh-sungguh konsisten terhadap konstitusi
terkait Pasal 27, Pasal 33, dan Pasal 34 UUD NRI 1945.
Kenyataan kegagalan tersebut menimbulkan pertanyaan bahwa sistem apakah
sebetulnya yang paling benar untuk diterapkan dalam memperkuat ekonomi masyarakat
bangsa Indonesia. Penulis berpandangan bahwa untuk menjawab pertanyaan tersebut
harus dilihat siapa yang mengendalikan sistem. Sistem tidak lain adalah regulasi
atau aturan yang isinya adalah soal mekanisme, fungsi-fungsi, tanggung jawab, dan
konsistensi, integritas, moralitas, kesadaran dan kepedulian. Kalimat kepedulian dan
kesadaran harus dimaknai yaitu peduli dan sadar terhadap spirit konstitusi yaitu UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, yang mengatakan bahwa:
Perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan. Kepedulian
dan kesadaran bahwa pemerintah mempunyai tanggung jawab mengelola bangsa ini
secara efisien, efektif, transparan, dan kompetitif dalam pergaulan internasional.
Pertanyaan mendasar yang harus dijawab oleh penulis adalah terkait apakah
WTO dapat menjadi instrument dalam membangun ekonomi kerakyatan? Setelah
melakukan bedah literature, penulis berpendapat bahwa sistem ekonomi kerakyatan
adalah yang paling mungkin membuat bangsa ini dapat maju berkompetisi dalam
pergaulan internasional.
Akan tetapi tentu harus melalui beberapa persyaratan sebagai berikut:
a. Konsisten, yaitu suatu pemikiran bahwa yang akan bertarung dalam pasar
global adalah pelaku-pelaku bisnis nasional yang berkualitas, inovatif, dan
bertanggung jawab. Untuk itu, diperlukan aturan hukum sebagai alat ukur
untuk menilai apakah pemerintah sungguh-sungguh berpihak kepada penguatan
ekonomi kerakyatan atau tidak. Jika aturan hukum tersebut sudah ada, tetapi
yang menjadi masalah adalah soal efektifitasnya, maka tentu hal itu siapapun
departemen terkait atau pejabat terkait dengan hal itu harus diberi sanksi
yang tegas. Prinsip kegotong-royongan dalam era global, penulis berpendapat
bahwa hal itu bisa dijual dan telah banyak pakar dunia di bidang ekonomi yang
mendukung hal itu. Antara lain Thomas Moore di Inggris yang terkenal sebagai
Bapak Privatisasi di Inggris yang pro-rakyat yang dimulai pada tahun 1980.
b. Transparan, yaitu suatu pemikiran bahwa sistem ekonomi kerakyatan tidak
diarahkan semata-mata mendistorsi orang miskin dan orang kaya, akan tetapi
ekonomi kerakyatan yang dimaksud adalah keterkaitan secara fungsional
antara sesama pelaku ekonomi yang bertujuan mempersempit gap antar
keduanya. Sebagai konsekuensinya maka perencanaan pembangunan ekonomi
kerakyatan harus transparan dalam hal manajemen, modal, metode, material,
dan machine. Yang dimaksud machine dalam ilmu manajemen adalah energi
keseluruhan yang menggerakan industri produktif yang berorientasi profit.
Jadi, intinya adalah bahwa jika WTO hendak dijadikan sebagai instrument
hukum dalam menghadapi ekonomi kerakyatan, maka kata kuncinya adalah
terletak pada komitmen pemerintah memperkuat ekonomi kerakyatan. Seperti
yang dilakukan oleh Thomas Moore di Inggris.
c. Keinginan, yaitu pemerintah harus sungguh-sungguh sadar bahwa untuk
menjadikan WTO sebagai instrument hukum dalam membangun ekonomi
kerakyatan, maka kuncinya adalah Indonesia jangan dijadikan objek WTO
tetapi harus menjadi subjek yang setara dan mandiri dalam rangka menentukan
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
327
arah kebijakan pengelolaan sumber-sumber kekayaan alam Indonesia. Terkait
soal keinginan ini, G.H. Adink seorang ahli Tata Negara di Utrecht bahwa
menurut hasil penelitiannya yang dilakukan di Afrika seperti Nikaragua dan
Zimbabwe, keberhasilan kedua negara tersebut mengintegrasikan ekonomi
kerakyatan dengan WTO disebabkan oleh sikap pemerintah yang konsisten,
transparan, dan berkehendak.21
Peningkatan efisiensi pengelolaan usaha
Jika kita melakukan kajian yang menyeluruh, maka akan muncul suatu pemikiran
bahwa jika ideologi kapitalisme bisa dijual di dunia dan memiliki kekuatan pangsa
pasar yang begitu besar, mengapa kita tidak memikirkan bahwa ideologi ekonomi
kerakyatan adalah hal yang paling mungkin untuk dijual di pasar global. Instrumen
hukum internasional dalam WTO tidak harus dimaknai hilangnya kekuatan-kekuatan
hukum nasional yang terkait dengan perencanaan dan pembangunan ekonomi sebuah
bangsa berdaulat. WTO tidak mematikan demokrasi ekonomi yang berenergikan
elemen-elemen koperasi masyarakat dari sebuah bangsa berdaulat.
WTO harus dimaknai sebagai sebuah kekuatan energi baru yang men-charge
faktor-faktor produksi yang selama ini dikelola oleh golongan pengusaha mikro kecil
dan menengah seperti UKM di Indonesia. Memang dibutuhkan paradigma baru untuk
merekonstruksi bangun pikir pemerintah Indonesia dalam rangka usaha memajukan
kesejahteraan masyarakat. Pemikiran untuk menjual ideologi ekonomi kerakyatan
adalah suatu paradigma baru yang mesti diupayakan menjadi sebuah kenyataan.
Asas gotong royong dan kekeluargaan yang tertuang dalam Pasal 33 UUD NRI 1945
sesungguhnya merupakan milik bersama umat manusia secara kodrati sehingga tidak
mungkin terjadi resistensi akan hal itu.22
Pemikiran selama ini yang mendikotomikan antara globalisasi dan ekonomi
kerakyatan semata-mata didasarkan pada kenyataan tidak berdayanya negara-negara
berkembang untuk berkompetisi melalui mekanisme WTO di pasar global. Jika
dikaji secara seksama kenyataan itu disebabkan suatu mekanisme yang keliru dalam
penerapan rambu-rambu hukum WTO, yaitu negara-negara seakan-akan disuruh
bertanding secara bebas antara negara kuat dengan negara berkembang tanpa melalui
pelatihan-pelatihan terlebih dahulu seperti lazimnya dalam dunia olahraga misalnya.
Dalam dunia olahraga manapun tidak ada pertandingan yang besar (Big Match) tanpa
melalui proses-proses latihan terlebih dahulu. Ilustrasi ini penulis lakukan untuk
memberi arahan pada pemerintah bangsa Indonesia agar tidak berfikir membenci
WTO akan tetapi bagaimana berfikir menjadikan WTO sebagai kekuatan baru dalam
menghadapi pertandingan besar pada tahun 2020. Kuncinya adalah memaksimalkan
latihan sampai pada batas waktu yang ditentukan. Jadi, dibutuhkan pertandinganpertandingan yang kecil sebelum masuk ke gelanggang pertandingan yang besar.
Bagi Indonesia ada zona AFTA dan APEC sebagai tangga untuk masuk pada
zona WTO dalam prinsip pertarungan bebas (Free Fight Liberalism) tahun 2020.
Yang menjadi pertanyaan adalah apakah Indonesia mempunyai kepedulian dan
kesadaran tentang kekuatan mengikat (Legaly Binding) dari WTO dalam artian tidak
selalu berlindung dalam asas demi kepentingan umum WTO harus dikesampingkan.
Toleransi-toleransi mengenyampingkan WTO ada ketentuannya, yaitu apabila kita
berada pada posisi yang disebut Invant Indutry (Industri bayi). Indonesia yang telah
21 Op.Cit, G.H. Adink, hlm.15.
22 Laode Abdul Gani, Tesis S2 di Bandung, 1997.
328
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
merdeka selama 66 tahun sangat tidak logis untuk selalu memposisikan diri sebagai
pemilik-pemilik industri bayi. Dari sudut logika maka Indonesia mestinya merasa
malu bila selalu berlindung dibalik ketidak mampuannya.
Hernando de Soto menyanggah asas laissez-faire oleh karena dalam penelitiannya
menemukan bahwa keberhasilan seseorang tidak ditentukan oleh prakarsa dan kerja
keras tetapi pada kemampuan pengusaha untuk menarik hati Presiden, Menteri,
dan pejabat-pejabat pemerintah lainnya yang biasanya berarti kemampuan untuk
“membeli” mereka. Alih-alih mendukung kegiatan untuk menghasilkan kekayaan
baru, sistem itu malah mematahkan semangat setiap orang yang ingin berusaha
kearah itu dan memilih sekedar memutar modal pokok yang ada dan yang makin
lama makin susut.23
Memang harus diakui campur tangan negara dalam sistem perekonomian seperti
yang dipraktikan Indonesia di era orde baru adalah sebuah kesalahan besar, yaitu
mengukur kemajuan sektor ekonomi bertumpuk pada indikatr tunggal yaitu GNP
(Growth National Product) sementara pelakunya dalam sektor-sektor produksi hanya
sekitar 20 % dari total penduduk nasional. Sehingga terjadilah kesenjangan antara
pemikiran ekonomi positif dan pemikiran ekonomi normatif. Ekonomi positif hanya
berbicara tentang bagaimana kenyataan yang sebenarnya, sedangkan pemikiran
ekonomi nortmatif berbicara tentang bagaimana kenyataan yang seharusnya. Yoseph
Stiglitz dan George Stigler, serta Milton Friedman adalah penggagas-penggagas peran
ekonomi negara dan kelembagaan yaitu membicarakan masalah ekonomi dikaitkan
dengan masalah-masalah politik, sosial, dan agama.
Kerjasama dalam investasi
Dalam WTO terdapat TRIPS (Trade Related Aspect of Investment Measures),
yang mengatur tentang bagaimana pergerakan investasi atau modal dari negara ke
negara yang lain melalui perjanjian-perjanjian internasional baik bilateral maupun
multilateral. Indonesia termasuk negara yang selalu menerima bantuan dana sindikasi
dari beberapa negara maju, seperti yang dikenal negara-negara G20, sebagai donator
tetap Indonesia di jaman orde baru. Piagam PBB mengatakan bahwa bila suatu negara
berdaulat tertentu mengalami krisis ekonomi maka negara tersebut wajib hukumnya
menurut hukum internasional untuk dibantu. Lembaga PBB yang berkompeten untuk
membantu negara-negara yang bermasalah dalam bidang ekonominya adalah IMF
(International Monetery Found) dan World Bank. Indonesia termasuk peminjam
tetap dari dua lembaga keuangan PBB tersebut. Hal ini tentu menunjukkan bahwa
Indonesia dipercaya sebagai debitur yang lancar membayar bunga dan pokok
pinjaman. Pada dasarnya sebagian besar negara-negara di dunia baik negara maju
maupun negara berkembang memerlukan investasi asing dalam negerinya. Akan
tetapi fakta menunjukkan negara-negara maju di Eropa dan Amerika menopang
pertumbuhan ekonominya dengan kekuatan industri dalam negerinya, sehingga
investasi asing hanya bersifat temporer dan komplementer. Artinya, perencanaan dan
pembangunan ekonomi kerakyatan suatu negara prime mover nya adalah kekuatan
ekonomi nasional melalui sektor industri manufaktur.
23 Ibid.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
329
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini, maka peneliti dapat
menyimpulkan sebagai berikut:
1. Bila dilihat dari tiga indikator bentuk tanggug-jawab negara yaitu, indikator hukum,
indikator penegak hukum, dan indikator sistem hukum, maka spirit atau amanat
konstitusi sebagaimana tertera pada Pasal 27, Pasal 33, dan Pasal 34 UUD NRI
1945, belum efektif sebagaimana mestinya. Sehingga dengan demikian masyarakat
bangsa Indonesia dapat melakukan Constitutional Complain.
2. WTO (World Trade Organization) dapat menjadi instrumen hukum dalam
membangun ekonomi kerakyatan dengan syarat pemerintah harus berdaulat dalam
arti mandiri dan percaya diri dalam mengelola sumber-sumber kekayaan alamnya
berdasarkan prinsip-prinsip kedaulatan negara dan prinsip hak menentukan nasib
sendiri menurut ketentuan hukum internasional.
3. Penerapan sistem ekonomi kerakyatan dala membangun ekonomi Indonesia dilihat
dari tiga indikator, yaitu pelaku usaha UKM, peningkatan efisiensi pengelolaan
usaha, dan kerjasama dalam investasi, pemerintah belum berpihak kepada
kepentingan rakyat.
Saran
Berdasarkan hasil pembahasan serta kesimpulan yang diajukan, maka peneliti
mengemukakan saran sebagai berikut:
1. Tanggung-jawab negara dalam membangun ekonomi kerakyatan harus dimulai
dengan sikap konsistensi pemerintah, yaitu mensinergikan unsur-unsur penegakan
hukum, penegak hukum, dan sistem hukum.
2. Tanggung-jawab negara membangun ekonomi kerakyatan dalam menghadapi WTO
haruslah dipandang WTO sebagai instrumen hukum dalam membangun ekonomi
kerakyatan dengan syarat melakukan penguatan-penguatan industri nasional,
melakukan efisiensi, transparansi, inovasi, dan produk-produk yang berkualitas
yang diyakini mampu berkompetisi secara global.
3. Sistem ekonomi kerakyatan harus dijual di pasar global sebagai mekanisme yang
paling objektif dan adil untuk diterapkan bagi seluruh negara di dunia. Jadi, peneliti
menyarankan sistem ekonomi kerakyatan harus menjadi milik bersama umat
manusia berdasarkan prinsip-prinsip keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum
(unity).
330
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
DAFTAR PUSTAKA
Adolf, Huala, 1994. Masalah-Masalah Hukum Dalam Perdagangan Internasional, Jakarta:
Rajawali Press.
__________, 2006. Hukum Perdagangan Internasional, Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada.
__________, 1991. Arbitrase Komersial Internasional, Jakarta: Rajawali.
Asshiddiqie, Jimly, 2005. Hukum Acara Pengujian Undang-undang. Cetekan Pertama.
Klaten: CV. Sahabat.
Asia Pasific Law Review. Editor, David Campbell. 1994. Special Issue. Hongkong
Number I.
A.M.W. Pranarka, 1987. Epistehologi Dasar Suatu Pengantar. Jakarta: CSIS.
A. Tony Prasetiantono. 1995. Agenda Ekonomi Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Baslar, Kemal, 1998. The Concept of the Common Heritage of Mankind in International
Law. Netherlands: Martinus Nijhoff Publishers.
Bakker, Anton dan Achmad Charris, 1994. Metodologi Penelitian Filsafat. Cetakan ke-4.
Jogyakarta: Kanisius.
Bedjaoui, Mohammed. Menuju Tata Ekonomi Dunia Baru. Jakarta: Gunung Agung.
Bhagwati, Jagdish, 1992. Protectionism 1988, Terjemahan Tom Gunadi. Bandung: Ankasa.
Butler N.Henry, 1987. Legal Environment of Business Goverment Regulation and Public
Policy Analysis. America: South Western Publishing.
Blodgett, Ralph H, 1945. Comparative Economic system, Revised. United States of
America: The Macmillan Company.
Burgenthal, Maier, 1985. Public International Law In Anutshell 2nd ed. West Publishing.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
331
332
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
PERTANGGUNGJAWABAN DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DALAM SISTEM
KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA
J. Victor Mailangkay
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
PERTANGGUNGJAWABAN DEWAN PERWAKILAN
RAKYAT DAERAH DALAM SISTEM KETATANEGARAAN
REPUBLIK INDONESIA
Oleh: J. Victor Mailangkay
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sulawesi Utara
Jl. Achmad Yani, No. 2, Sario, Manado, Sulawesi Utara
E-mail: [email protected]
Abstract
The results of the research indicated that, First, the nature of the DPRD responsibility in the exercise of its authority and function represent a relationship between the
representative and represented based on truth which will deliveri people legitimacy as
the owner of sovereiggnty, the main pillar of democracy , which will support the national
stability in general and the local region in particular, 2) the implmentation of the current
DPRD responsibility is not optimum yet. Which is indicated by: a) the implementation
of DPRD function as a representation of the people and local goverment executor is not
optimum yet, b) there is no mechanism of DPRD direct responsibility to the people, therefore the people may not be able to make direct evaluation on the DPRD performance, 3)
ideal concept of establishing responsible DPRD in the realization of good local legislative
governance is to make a change in the mechanism of DPRD member candidate by political parties, the establisment of independent or non partisan by courtesy board, deciding
performance standart of DPRD and the improvement of code of ethic substance as well
as the consistency in their maintenance.
Keywords: Responsibility, Regional Representative Council
Abstrak
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertama, hakikat pertanggungjawaban DRPD
dalam pelaksanaan kewenangan dan fungsinya adalah hubungan antara wakil dengan
terwakil yang dilandasi kepercayaan yang akan melahirkan legitimasi dari rakyat sebagai pemilik kedaulatan sebagai pilar utama demokrasi. Kedua, pelaksanaan pertanggungjawaban DPRD saat ini belum optimal. Hal ini ditandai dengan; a) belum optimalnya pelaksanaan fungsi-fungsi DRPD dalam kedudukan sebagai wakil rakyat dan sebagai
penyelenggara pemerintahan daerah; b) belum ada suatu mekanisme pertanggungjawaban DRPD yang bertanggungjawab dalam rangka perwujudan good local legislative
governance adalah dengan melakukan perubahan dalam mekanisme pencalonan anggota
DRPD oleh partai Politik, pembentukan badan kehormatan yang independen atau norpartisan, penetapan standar kinerja DRPD serta perbaikan subtansi kode etik serta konsistensi dalam penegakannya.
Kata Kunci: Pertanggungjawaban, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
PENDAHULUAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945)
adalah konstitusi negara Indonesia yang merupakan hasil kesepakatan seluruh rakyat
Indonesia. Keberlakuan UUD NRI 1945 berlandaskan pada legitimasi kedaulatan rakyat
sehingga UUD NRI 1945 merupakan hukum tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Oleh karena itu, hasil-hasil perubahan UUD NRI Tahun 1945 berimplikasi
terhadap seluruh lapangan kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama karena perubahan
tersebut meliputi hampir keseluruhan materi UUD NRI 1945. Jika naskah asli UUD NRI
1945 berisi 71 butir ketentuan, maka setelah empat kali mengalami perubahan materi
muatan UUD NRI Tahun 1945 mencakup 199 butir ketentuan.1
Negara Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat atau democratie (democracy).
Pemilik kekuasaan tertinggi dalam negara adalah rakyat. Kekuasaan yang sesungguhnya
adalah berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Kekuasaan bahkan diidealkan
diselenggarakan bersama-sama dengan rakyat. Dalam sistem konstitusional UndangUndang Dasar, pelaksanaannya kedaulatan rakyat itu disalurkan dan diselenggarakan
menurut prosedur konstitusional yang ditetapkan dalam hukum dan konstitusi (constitutional
democracy).
Istilah demokrasi menurut C.F. Strong2 digunakan sangat beragam. Ada kalanya
digunakan untuk menyebut suatu pemerintahan dan hal ini kerap dikonotasikan dengan
kondisi suatu masyarakat. Namun, dalam dunia kontemporer, ketika nasionalisme menjadi
dasar bagi demokrasi politik, maka demokrasi yang berkembang adalah suatu demokrasi
politik yang mengisyaratkan bahwa pemerintah harus bergantung pada persetujuan
maupun ketidaksetujuan rakyat. Jadi, demokrasi yang dimaksud dalam pengertian C.F.
Strong ini adalah suatu sistem pemerintahan yang mayoritas anggota komunitas politiknya
turut berpartisipasi melalui cara perwakilan yang menjamin bahwa pemerintah harus
mempertanggungjawabkan segala tindakannya kepada kelompok mayoritas tersebut.
Dengan kata lain, negara konstitusional kontemporer dalam pandangan C.F. Strong adalah
negara yang sistem demokrasi politiknya berdasarkan pada suatu sistem perwakilan yang
demokratis dan menjamin kedaulatan rakyat.
Prinsip kedaulatan rakyat (democratie) dan kedaulatan hukum (nomocratie)
hendaklah diselenggarakan secara beriringan sebagai dua sisi dari mata uang yang sama.3
Untuk itu, UUD NRI 1945 menganut pengertian bahwa Negara Republik Indonesia
adalah negara hukum yang demokrasi (democratische rechtsstaat) dan sekaligus adalah
negara demokrasi yang berdasarkan atas hukum (constitutional democracy) yang tidak
terpisahkan satu sama lain.4
Ide konstitusionalisme menjadi tumpuan kehidupan bernegara dalam upaya
mewujudkan hukum yang supreme di suatu negara yang demokratik, dalam pandangan
Soetandyo Wignjosoebroto,5 harus dikembalikan kepada esensi doktrinalnya yaitu pertama,
doktrin kebebasan sebagai hak manusia yang asasi dan kodrati karena hak tersebut ada
meskipun tidak diberikan oleh negara. Kedua, doktrin rule of law yang menjadikan hukum
sebagai ide dasar tertinggi di antara norma apapun di dalam kehidupan bernegara.
1 Jimly Asshiddiqie. Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945.
Makalah Disampaikan dalam Simposium yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM. Jakarta. 2003. Hlm. 1
2 C.F. Strong. Konstitusi-konstitusi Politik Moderen : Studi Perbandingan tentang Sejarah dan Bentukbentuk Konstitusi Dunia (terj. dari Modern Political Constitutions : an Introduce to Comparative Study of
Their History and Existing oleh SPA Team Work ) Nuansa dan Nusamedia : Bandung. 2004. Hlm. 17
3 Jimly Asshiddiqie. Op cit . 2003. Hlm. 1
4 Ibid.
5 Dalam Jimly Asshiddiqie. Konstitusi dan Ketatanegaraan Indonesia Kontemporer. The Biography Institute. Jakarta. 2007. Jakarta. Hlm. 120
336
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
Istilah “rechtsstaat” (negara hukum) adalah suatu istilah yang baru muncul pada
abad ke-19 jika dibandingkan istilah-istilah terkenal lainnya dalam ketatanegaraan, seperti
demokrasi, konstitusi, kedaulatan, dan sebagainya. Terkait dengan doktrin negara hukum,
Brian Z. Tamanaha,6 mengemukakan bahwa:
They all emphasize that the primary value of the rule of law the essence of what it
does is to provide predictability, thereby allowing people to plan and that this is
highly valued because it enhances individual autonomy. Above all, the rule of law
is about legal liberty. Another point of unanimity is that the rule of law is neutral
with regard to a wide range of alternative substantive content. Fuller asserted that
his notion of legality was “indifferent toward the substantive aims of the law and is
ready to serve a variety of such aims with equal efficiency.
Jadi dalam pandangan Brian Z. Tamanaha, nilai utama esensi negara hukum adalah
untuk memberikan prediktabilitas, sehingga memungkinkan orang untuk merencanakan
dan bahwa hal ini sangat dihargai karena meningkatkan otonomi individu. Namun, tidak
hanya cukup dengan mencakup aturan hukum yang dipahami secara formal tetapi juga
mencakup jauh lebih pada substansi kepastian, kejelasan, publisitas, prospektivitas. Teori
ini menekankan bahwa unsur-unsur ini diperlukan dalam suatu negara hukum adalah aturan
hukum yang disahkan dan tidak boleh menyimpang dari aturan-aturan untuk mencapai
keadilan subtantif. Dalam tulisan yang sama, Brian Z. Tamanaha, mengemukakan pula
bahwa:
Those who expouse substantive conceptions of the rule of law seek to go beyond
this. They accept that the rule of law has the formal attributes mentioned above but
they wish to take the doctrine further. Certain substantive rights are said to be based
on or derived from the rule of law. The concept is used as the foundation for these
rights which are then used to distinguish between “good” laws which comply with
such rights. and “bad” laws which do not. 7
Olehnya itu, menurut Brian Z. Tamanaha, konsep substantif dari negara hukum
berusaha untuk melampaui konsepsi negara hukum formal. Negara hukum memiliki
atribut formal tetapi hak substantif warga negara harus diberikan dalam rangka mencapai
supremasi hukum. Konsep substansif digunakan sebagai dasar yang kemudian digunakan
untuk membedakan antara hukum yang baik, dan hukum yang buruk.
Dalam ketentuan perundang-undangan tentang mekanisme pertanggungjawaban
DPRD kepada rakyat, sejauh ini, belum diatur dan belum dipahami secara luas dengan
benar. Dalam realitasnya, tampak bahwa mekanisme pertanggungjawaban pemerintahan
dimaknai secara sempit yaitu pertanggungjawaban badan eksekutif terhadap badan
legislatif. Sedangkan mekanisme pertanggungjawaban badan legislatif terhadap rakyat,
dalam hal ini rakyat pemilihnya, sama sekali belum diatur secara tegas dan proporsional.
Demikian pula halnya dengan mekanisme pertanggungjawaban badan eksekutif dan badan
yudikatif terhadap rakyat, juga belum diatur dalam sebuah ketentuan perundang-undangan
yang dipandang memadai dan dijadikan pedoman dalam penyelenggaraan pemerintahan.8
Pandangan lain dikemukakan oleh Taliziduhu Ndraha,9 yang selanjutnya
mengemukakan tentang materi yang harus dipertanggungjawabkan, yakni meliputi:
Berbagai produk kebijakan legislatif dan eksekutif yang ternyata merugikan rakyat
banyak, demikianpun melalui sikap dan perilaku, tutur kata, ucapan, pidato, janji, sumpah
6 Brian Z. Tamanaha. The Rule of Law Theory. Oxford University . New York. 2001. Hlm. 5
7 Ibid.
8 Paimin Napitupulu. Peran dan Pertanggungjawaban DPR, Kajian di DPRD Provinsi DKI Jakarta. PT
Alumni . Bandung. 2005. Hlm. 2
9 Taliziduhu Ndraha. Kybernology. Program Pascasarjana Kerjasama Universitas Padjajaran dan Institut
Ilmu Pemerintahan. Jakarta. 2001. Hlm. 142.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
337
jabatan dan komitmen diri aparat legislatif dan eksekutif dalam melaksanakan tugasnya
harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat.
Reformasi sistem pemerintahan yang terjadi tahun 1998 membuktikan bahwa yang
diperintah sudah tidak mempercayai pemerintah dan mandat sebagai pengelola kekuasaan
negara sudah dicabut, dan yang diperintah menggantikan pemimpin pemerintahan yang
baru, yang dipercaya mampu memberikan akses yang luas kepada yang diperintah untuk
ikut terlibat dalam proses pemerintahan. Jarak kekuasaan, jarak sosial dan jarak geografis
pelayanan didekatkan dengan yang diperintah melalui penerapan konsep desentralisasi dan
kebijakan otonomi daerah.
Dampak langsung reformasi pemerintahan dengan dikembalikannya hak otonomi
bagi pemerintah daerah dan masyarakat, adalah munculnya euforia politik DPRD yang
telah memicu lahirnya konflik vertikal dan horizontal sepanjang proses pemerintahan. Hal
ini tercermin antara lain dalam kasus-kasus seperti pemilihan kepala daerah, pemaksaan
yang dilakukan oleh anggota DPRD untuk mendudukkan orang-orangnya di badan
eksekutif, mudahnya DPRD menolak Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) badan eksekutif
dan ditolaknya RAPBD serta berbagai rancangan peraturan daerah lainnya yang disusun
badan eksekutif, permintaan anggota DPRD akan fasilitas yang berlebihan, penolakan
DPRD melaporkan harta kekayaan, keterlibatan anggota DPRD Provinsi dalam kasuskasus serta adanya kesepakatan diam-diam antara DPRD dengan badan eksekutif terhadap
beberapa Perda dan kebijakan pelaksanaannya, pelesiran DPRD ke luar negeri, dan lain
sebagainya.10 Hal tersebut menunjukkan bahwa proses pemerintahan dalam bingkai euforia
otonomi daerah telah melahirkan konflik dalam hubungan antar lembaga pemerintah dengan
masyarakat, sebagaimana dikemukakan Rasyid11 bahwa:
Lembaga legislatif memaksa lembaga eksekutif menjadi subordinatnya sehingga
makna filosofis otonomi daerah menjadi kabur dan sulit dipahami. Besarya kewenangan
politik DPRD telah mendatangkan ketakutan, kekakuan dan keengganan badan eksekutif
untuk berkreasi, berinovasi, berprakarsa, fleksibel, proaktif dan berbagai kata kunci otonomi
daerah lainnya. Pejabat badan eksekutif menjadi lebih berhati-hati dan meminimalkan
kreatifitas dan inovasinya dalam proses pemerintahan. Mereka takut dan kuatir, jangan
sampai dibantai anggota DPRD dan diturunkan dari singgasana badan eksekutif. Singkat
kata DPRD sekarang menjadi penguasa tunggal dan menjadi raja-raja kecil dalam proses
pemerintahan di daerah.
Sesungguhnya implementasi hak DPRD harus dijadikan sebagai instrumen checks
and balances antara badan legislatif dan badan eksekutif demi tercapainya stabilitas
pemerintahan dan ketaatan lembaga pemerintahan terhadap instrumen hukum sebagai
pembatas kewenangan dan kekuasaaan masing-masing pihak.
Kedudukan hukum DPRD pada era reformasi mengalami proses reposisi yang cukup
radikal. Pada masa lampau, kedudukan DPRD adalah salah satu unsur dari pemerintahan
daerah atau eksekutif (Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan Daerah). Ini berarti DPRD lebih dominan diposisikan sebagai mitra Kepala
Daerah dalam perumusan sekaligus implementasi kebijakan di daerah dibandingkan sebagai
fungsi kontrol dan penyeimbang kekuatan eksekutif. Dalam kedudukannya yang demikian,
DPRD sama sekali tidak mencerminkan representasi dari rakyat di daerahnya. Oleh karena
itulah dalam Pasal 14 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
DPRD dikembalikan kepada kedudukan aslinya, yakni sebagai badan legislatif. Seiring
dengan fungsi barunya ini, DPRD juga diberikan hak untuk meminta pertanggungjawaban
10 Kajian Balitbang Kompas. Konflik Vertikal dan Horisontal Dalam Implementasi Otonomi Daerah, Terkait Dengan Perilaku DPRD. Kumpulan artikel, Januari 2000 sampai Desember 2002. Jakarta. Hlm 6
11 Ryaas Rasyid. Otonomi Daerah dan Kewenangannya. Jurnal Widyapraja Tahun XXV. Cilacap. 2000.
Hlm. 38.
338
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
Kepala Daerah.12
Keluhan masyarakat terhadap wakil-wakilnya di lembaga DPRD, baik menyangkut
perilaku, pernyataan yang dilontarkan, maupun tuntutan berbagai fasilitas bagi anggota
DPRD. Anggota DPRD masih banyak terjebak pada pemenuhan kebutuhan pribadi dan
kelompoknya, sementara kepentingan masyarakat belum teraktualisasi secara optimal.
Otonomi yang diharapkan memberikan berkah bagi masyarakat ternyata baru dinikmati
oleh elite politik lokal saja..
Namun, dalam kenyataan saat ini muncul sebuah implikasi dari kedudukan DPRD
sebagai unsur penyelenggara pemerintahan di daerah yaitu munculnya suatu relasi baru
dalam pola hubungan antara eksekutif dengan DPRD. Jika dalam Undang-undang No.
22 Tahun 1999 kecenderungan muncul relasi yang ”legislative heavy” maka dalam era
Undang-undang No. 32 Tahun 2004 pola relasi yang tampak adalah executive heavy.13 Hal
ini merupakan implikasi dari pemilihan kepada daerah secara langsung sehingga secara
politik, Kepala Daerah tidak lagi dipilih oleh DPRD sehingga Kepala Daerah seolah-olah
tidak lagi accountable kepada DPRD melainkan kepada rakyat.
Beberapa contoh yang dikemukakan oleh Kacung Marijan,14 melalui penelitian yang
dilakukan di beberapa daerah, yaitu:
Di Kabupaten Mojokerto, pasangan Achmady-Suwandi memperoleh dukungan 87,31
persen suara pemilih yang sah. Mereka didukung oleh tiga partai besar (PKB, PDIP, Golkar),
dua partai pertengahan (PAN, PKS) dan sejumlah partai kecil. Dalam komposisi seperti ini
maka kontrol DPRD terhadap Kepala Daerah hampir tidak ada. DPRD menyetujui hampir
seluruh kebijakan yang diambil oleh Kepala Daerah. Mekanisme keputusan apapun yang
ditempuh baik model pluralitas, mayoritas maupun dua pertiga, kekuatan kepala daerah
akan selalu memang. Dengan kata lain, pola kehidupan demokrasi cenderung mengarah
pada executive heavy.
Dari kasus di atas merupakan contoh pola hubungan yang tidak seimbang antara
DPRD dengan Kepala Daerah. Fenomena ini tentu saja sangat bertentangan dengan jiwa
demokrasi di mana mekanisme check and balance merupakan suatu keharusan demi
terwujudnya tujuan dari penyelenggaraan pemerintahan di daerah sesuai dengan amanat
UUD NRI 1945 dan UU Pemerintahan Daerah yaitu pemerintahan daerah yang mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan,
untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan,
pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan
memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan
suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia..
Terlepas dari persoalan perundang-undangan, DPRD sesungguhnya bisa menjadi
tumpuan masyarakat agar segenap aspirasinya dapat diakomodasikan secara lebih baik.
Di dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 itu pula dengan tegas dinyatakan bahwa
DPRD memiliki tugas dan wewenang, hak dan kewajiban yang kesemuanya berujung
pada pembinaan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, meningkatkan
kesejahteraan rakyat di daerah berdasarkan demokrasi ekonomi, serta memfasilitasi tindak
lanjut penyelesaiannya. Dengan hak dan kewenangan yang dimilikinya, DPRD sebenarnya
dapat mengontrol eksekutif agar terwujud good governance seperti yang diharapkan rakyat
karena akar dari hak dan kewenangan anggota DPRD adalah kedaulatan rakyat.
Salah satu masalah pelik dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan yang
demokratis adalah perwujudan akuntabilitas publik dari seluruh lembaga penyelenggara
12 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. Cetakan 7. Pusat Studi
Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia . Jakarta. 1999. Hlm. 330.
13 Kacung Marijan. Sistem Politik Indonesia, Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru. Kencana . Jakarta.
2011. Hlm. 203
14 Ibid. Hlm. 205
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
339
pemerintahan yang bekerja di atas legalitas dan legitimasi masyarakat, termasuk dalam
hal ini DPRD. Akuntabilitas kepada publik pada dasarnya adalah perwujudan tanggung
jawab kepada pemilik kedaulatan. Pemilik kedaulatan di sini tentu saja adalah rakyat.
Oleh karenanya, seluruh lembaga penyelenggara pemerintahan baik di tingkat pusat
maupun daerah harus mempertanggungjawabkan hasil kerjanya kepada rakyat. Selain
pola hubungan antara DPRD dengan Kepala Daerah, akuntabilitas DPRD saat ini juga
dipengaruhi oleh faktor internal dari DPRD. Akuntabilitas dibutuhkan oleh seluruh DPRD
di Indonesia dalam upaya mewujudkan demokrasi dan kedaulatan rakyat. Berbagai masalah
yang terkait dengan pertanggungjawaban DPRD terjadi di Indonesia antara lain di DPRD
Provinsi Sulawesi Utara dalam kurun waktu 2004-2009, setidaknya berbagai masalah yang
dihadapi DPRD dalam kebijakan daerah, antara lain:
1. Lemahnya dukungan data dan akses ke sumber data yang dapat membantu DPRD
untuk terlibat aktif dalam proses perumusan Kebijakan Umum APBD dan pengawasan program. Data-data yang menjadi basis kebijakan lebih didasarkan pada data
yang bersumber dari eksekutif.
2. Kaburnya hubungan antara anggota DPRD dengan konstituensinya menyebabkan
lemahnya akuntabilitas anggota dewan secara individual.
3. Tanggungjawab lebih bersifat kolektif, sehingga kurang tajam dalam melaksanakan
fungsi dan tugasnya secara perorangan. Bagi sebagian anggota DPRD, tidak ada
perasaan bersalah jika tidak hadir dalam rapat pembahasan APBD.
4. Terjadinya alineasi DPRD dari kegiatan administrasi pemerintahan daerah seharihari, sehingga menyebabkan kurangnya pengetahuan mereka terhadap day to day
administration yang dilakukan oleh birokrasi Pemda. Akibatnya, anggota DPRD
kurang tahu kondisi aktual pemerintah daerah.
5. Rendahnya pemahaman sebagian anggota (kecenderungannya mayoritas) terhadap
berbagai aturan serta pengelompokan (nomenklatur) anggaran dalam APBD menyebabkan anggota DPRD tidak detail dalam melakukan pembahasan.
6. Sempitnya waktu, bahkan terlambat dan cukup lama penyerahan RAPBD dari eksekutif kepada DPRD menyebabkan sempitnya waktu pencermatan (baik di Komisi
maupun di Badan Anggaran), sehingga menyebabkan mundurnya penetapan APBD.
7. Buruknya manajemen rapat di DPRD, sehingga baik proses maupun hasil menjadi
tidak terstruktur dan tidak terdokumentasi dengan baik, sehingga pembahasan menjadi tidak fokus, berlarut-larut, dan bahkan ahistoris.
8. Rendahnya pressure dan assistensi dari masyarakat akan mengurangi kepekaan
anggota DPRD terhadap efektivitas anggaran, yang menyebabkan tidak tepat sasaran. DPRD dalam kondisi tersebut akan lebih merupakan partner bagi eksekutif
dibanding sebagai unsur penyeimbang. Dalam skala nasional, beberapa kenyataan
terkait dengan kinerja DPRD dimuat dalam beberapa harian Surat Kabar.
Dalam rangka hal terselenggaranya good local governance diperlukan pengembangan
dan penerapan sistem pertanggungjawaban DPRD yang tepat, jelas dan nyata sehingga
fungsi dan peran DPRD baik sebagai penyelenggaraan pemerintahan maupun sebagai
representasi dari rakyat dapat berdaya guna, berhasil guna dan bertanggung jawab.Menurut
Sedarmayanti,15 perlu diperhatikan pula adanya mekanisme untuk meregulasi akuntabilitas
pada setiap instansi pemerintah dan memperkuat peran dan kapasitas parlemen serta
tersedianya akses yang sama pada informasi masyarakat luas.
Di era otonomi daerah ini, dengan bergesernya pusat-pusat kekuasaan dan
meningkatnya operasionalisasi dan berbagai kegiatan lainnya di daerah maka konsekuensi
logis pergeseran tersebut harus diiringi dengan meningkatnya good governance di daerah.
Akuntabilitas sebagai salah satu prinsip good governance dewasa ini boleh dikatakan
15 Sedarmayanti. Good Governance (Kepemerintahan Yang Baik) Dalam Rangka Otonomi Daerah. Mandar
Maju. Bandung. 2003. Hlm. 2
340
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
sebagai harga mati yang harus dilakukan. Tanggung jawab DPRD selain disebabkan
oleh adanya tuntutan perkembangan paradigma good governance dan perkembangan
demokratisasi juga karena kesadaran kritis masyarakat yang sudah mulai tumbuh subur.
Ketiadaan akuntabilitas melahirkan fenomena berkurangnya kepercayaan masyarakat
kepada DPRD. Demonstrasi yang terjadi di banyak daerah kepada DPRD merupakan
gejala yang patut untuk dicermati karena demonstrasi tersebut pada dasarnya merupakan
suatu ketidakharmonisan antara terwakil dengan para wakilnya.
Pada dasarnya pemerintahan mulai level pusat sampai daerah sebagai agen pelaksana
penyelenggaraan pemerintahan diserahi ”kekuasaan” oleh rakyat untuk melaksanakan
pemerintahan demi mewujudkan perannya sebagai pelaksana pembangunan, pembuat
regulasi, pemberi layanan kepada masyarakat dan pemberdayaan masyarakat. Oleh karena
itu, sebagai pihak yang diberi kekuasaan hendaknya penyelenggara pemerintahan memiliki
kewajiban untuk mempertanggungjawabkan kekuasaan yang diberikan rakyat kepada
mereka, jika tidak demikian pemerintahanya akan menjadi taruhannya.16
Good local legislative governance dalam pandangan penulis tidak dapat dilepaskan
dari konsep good governance namun demikian dibutuhkan suatu pengkajian lebih jauh
untuk menentukan prinsip-prinsip yang menjadi dasar bagi terwujudnya Good local
legislative governance. Spirit dari pemerintahan yang bersih dan berwibawa secara nyata
juga dapat ditemukan dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme serta beberapa
Undang-undang yang terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan telah menormakan
prinsip-prinsip pemerintahan yang baik dalam ketentuan-ketentuannya namun dalam
kenyataannya masih banyak masalah yang terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan
khususnya pelaksanaan tugas, wewenang dan tanggung jawab DPRD menimbulkan
suatu issu yaitu terdapat suatu kesenjangan yang signifikan antara prinsip-prinsip good
governance dengan implementasi tanggung jawab DPRD sehingga diperlukan suatu
konsep ideal mengenai pertanggunggungjawaban DPRD dalam suatu bingkai good local
legislative governance sebagai pengembangan dari good governance.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkandi atas, penulis merumuskan rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana hakikat pertanggungjawaban Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia?
2. Bagaimana pelaksanaan dan konsep ideal pertanggungjawaban Dewan Perwakilan
Daerah (DPRD) dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia?
METODE PENELITIAN
Tipe Penelitian
Pelaksanaan penelitian ini adalah suatu penelitian hukum yang akan mengkaji
dan menganalisis pertanggungjawaban Dewan Perwakilan Rakrat Daerah dalam sistem
Ketatanegaraan Indonesia dalam 3 (tiga) tataran hukum, yaitu teori hukum (rechtstheorie),
filsafat hukum (rechtsfilosofie), dan dogmatik hukum (rechtsdogmatiek). Teori hukum,
filsafat hukum dan dogmatik hukum kemudian diarahkan kepada praktek hukum yang
menyangkut pembentukan hukum dan penerapan hukum.
16 Hendrikus Triwibawanto Dedeona. Akuntabilitas Kelembagaan Eksekutif. Jurnal Ilmu Administrasi.
STIA LAN. Bandung Volume 4 Nomor 4 tanggal 1 Maret 2007. Hlm. 16
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
341
Jenis Dan Sumber Data
Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari para informan dengan cara
wawancara langsung dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) dan
data sekunder, yaitu data yang diperoleh melalui bahan-bahan dari sekretariat DPRD
Provinsi dan Kabupaten/ Kota yang diperoleh dengan cara penelusuran arsip.
Teknik Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data dalm penelitian ini dilakukan dengan cara kuesioner,
wawancara kepada para responden di provinsi Sulawesi Utara yang menjadi sampel yaitu
50 .0rang tokoh masyarakat, 25 orang akademisi, dan 25 orang anggota partai politik. Selain
itu dilakukan pula studi kepustakaan yang berfungsi untuk pengambilan data sekunder.
Analisis Data
Setelah data yang diperoleh data ini dianalisis dengan memakai metode analisis
kualitatif yang kemudian peneliti mencoba untuk menganalisis semua informasi yang
diperoleh dalam proses wawancara maupun terhadap semua literatur dan peraturan
perundang-undagan yang berkaitan untuk menemukan sebuah konsep baru dalam
pertanggungjawaban DPRD di Indonesia.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hakikat Materil Pertanggungjawab Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kepercayaan masyarakat terhadap sebuah lembaga publik adalah hal yang sangat
vital karena akan terkait dengan kesediaan masyarakat untuk mentaati hukum. Kepercayaan
masyarakat ini sulit untuk diukur dan dirumuskan namun tanda-tandanya dapat terlihat
dengan jelas. Bila terjadi perubahan yang nyata dalam opini masyarakat maka hal tersebut
akan berkaitan dengan tingkat kepercayaan masyarakat.
Untuk terciptanya suatu hubungan yang harmonis antara pejabat publik dengan rakyat
maka setiap pejabat seharusnya memiliki landasan yang pasti dalam bertindak dan mengambil
keputusan. Mereka harus mengabdi pada kepentingan umum dan bukan sebaliknya. Oleh
karena itu, di samping persyaratan teknis, mereka juga harus memiliki landasan normatif
yang terkandung dalam nilai-nilai moral.
Tolok ukur untuk mengetahui legitimasi seorang wakil di hadapan masyarakat luas
adalah tingkah laku politik mereka dalam menjalankan peran yaitu kesesuaiannya dengan
nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. Jika prosedur yang ditempuh seseorang untuk
menjadi anggota DPRD sejalan dengan nilai yang dianut oleh masyarakat maka hal tersebut
akan memudahkan seorang anggota DPRD untuk memperoleh kepercayaan rakyatnya. Atas
dasar inilah kemudian DPRD akan memperoleh dukungan, loyalitas dan kerjasama dari para
konstituennya dan sekaligus menjadi dasar kekuatan anggota DPRD baik secara individu
maupun secara keseluruhan berfungsi sebagai wakil rakyat.
Paimin Napitupulu,17 mengemukakan bahwa peranan perwakilan dari lembaga
perwakilan rakyat daerah berkenaan erat dengan hubungan antara DPRD dengan anggota
masyarakat yang mereka wakili secara individu berdasarkan kelompok maupun secara
keseluruhan. Hubungan ini bertolak dari teori demokrasi yang mengajarkan bahwa anggota
masyarakat mengambil bagian atau berpartisipasi dalam proses perumusan dan penentuan
kebijaksanaan pemerintahan.
Penulis mengutip pandangan Roscoe Pound,18 yang mengemukakan bahwa
pertanggungjawaban membutuhkan adanya iktikad baik dan pertanggungjawaban
diletakkan pada suatu jabatan karena 4 (empat) alasan:
17 Paimin Napitupulu. Menuju Pemerintahan Perwakilan. Alumni. Bandung. 2007. Hlm. 48-49
18 Hendra Nurtjahyo. Filsafat Demokrasi. Bumi Akasara. Jakarta. 2008. Hlm. 21
342
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
a) Bahwa orang lain akan mempunyai pengharapan baik dan sewajarnya yang diciptakan oleh janji atau kelakuan lain.
b) Bahwa mereka yang akan menepati janji karena padanya dilekatkan perasaan
susila dari masyarakat
c) Bahwa mereka akan berbuat rajin dan dapat dipercaya dalam hubungan pekerjaan
dan jabatan
d) Bahwa mereka akan mengganti dengan uang atau barang yang senilai atas apa
yang sudah diterimanya secara keliru atau oleh keadaan yang tidak disangkasangka sehingga mereka menerima yang tidak sewajarnya atau tidak sepatutnya
yang tidak mungkin diterimanya dalam keadaan biasa.
Iktikad baik akan melahirkan kepercayaan kepada seorang pejabat yang menjalankan kekuasaan. Kekuasaan ini akan stabil jika mendapatkan legitimasi. Olehnya itu, hakikat
pertanggungjawaban DPRD dalam sistem ketatanegraan Indonesia ada 2 (dua), yaitu hakikat
secara formal dan hakikat secara materil. Hakikat pertanggungjawaban DPRD secara formal
adalah pelaksanaan fungsi-fungsi DPRD secara optimal sehingga dapat menjadi lembaga
yang mampu mengemban kepercayaan dari rakyat. Hakikat pertanggungjawaban secara materil adalah pelaksanaan tugas dan kewajiban anggota DPRD berdasarkan etika dan moral
agar mampu mendukung optimalisasi kinerja DPRD sebagai lembaga yang memperoleh
legitimasi dari rakyat.
Demokrasi Deliberatif sebagai Bingkai Pertanggungjawaban DPRD di Indonesia
Istilah demokrasi dikenal pada abad kelima sebelum Masehi. Masyarakat Yunani,
khususnya Athena, menyusun sebuah konsep baru tentang kehidupan politik dan praktikpraktik yang ditimbulkannya di banyak negara-kota. Konsep ini mereka beri nama sebagai
Demokratia atau pemerintahan oleh rakyat, yang berasal dari kata ‘demos’ yang berarti
rakyat dan ‘kratia’ yang berarti pemerintahan.19 Menurut masyarakat Yunani, demokrasi
setidaknya harus memenuhi enam persyaratan yaitu:20
1) Warga negara harus cukup serasi dalam kepentingannya mereka sehingga mereka
sama-sama memiliki suatu perasaan yang kuat tentang kepentingan umum dan
bertindak atas dasar itu, sehingga tidak nyata-nyata bertentangan dengan tujuan
atau kepentingan pribadi mereka.
2) Warga negara benar-benar harus amat padu dan homogen dalam hal ciri-ciri khas
yang, kalau tidak demikian halnya, cenderung menimbulkan konflik politik dan
perbedaan pendapat yang tajam mengenai kepentingan umum. Menurut pandangan ini, tidak ada negara yang dapat berharap menjadi sebuah polis yang baik apabila warga-negaranya memiliki perbedaan besar dalam sumberdaya ekonominya
dan jumlah waktu lowong yang mereka punyai, atau apabila mereka menganut
agama yang berbeda-beda, atau menggunakan bahasa yang berlainan, atau berbeda dalam hal ras, budaya atau (menurut istilah yang kita gunakan sekarang)
kelompok etnis.
3) Jumlah warga-negara harus sangat kecil, yang secara ideal bahkan jauh lebih kecil dari 40.000 - 50.000 yang terdapat di Athena di masa Pericles. Jumlah demos
yang kecil itu penting karena tiga alasan: jumlah itu akan menolong menghindari
keragaman dan karena itu juga menghindari ketidakserasian yang akan timbul
oleh karena perluasan tapal batas yang akan mencakup, seperti Persia, rakyat
yang bermacam-macam bahasa, agama, sejarah, dan etnisnya dan hampir tidak
19 Robert A. Dahl dalam Deddy Ismatullah dan Asep A. Sahid Gatara. Ilmu Negara dalam Multi Perspektif
Kekuasaan, Masyarakat, Hukum dan Agama. Pustaka Setia. Bandung. 2007. Hlm. 119
20 Isjwara dalam Deddy Ismatullah dan Asep A. Sahid Gatara. 2007. Ibid. Hlm. 13
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
343
ada persamaan diantara mereka. Hal itu juga penting agar warga-negara mempunyai pengetahuan tentang kota dan saudara-saudara mereka sesama warga-negara,
dari pengamatan, pengalaman, dan diskusi, yang akan memungkinkan mereka
mengetahui kebaikan bersama dan membedakannya dari kepentingan pribadi atau
perseorangan. Terakhir, jumlah yang kecil itu juga penting, jika warga-negara harus berkumpul agar berfungsi sebagai penguasa kota yang berdaulat.
4) Warga negara harus dapat berkumpul dan secara langsung memutuskan undangundang dan keputusan-keputusan mengenai kebijakan. Demikian kokohnya
pandangan ini dipercayai, sehingga orang Yunani mengalami kesukaran untuk
membayangkan adanya pemerintahan perwakilan, apalagi menerimanya sebagai
alternatif yang sah terhadap demokrasi langsung. Tentu saja, pada waktu-waktu
tertentu dibentuk liga, atau konfederasi dari negara-negara kota itu. Tetapi sistem
yang benar-benar bersifat federal dengan pemerintahan perwakilan telah gagal
berkembang, yang tampaknya untuk sebagian, disebabkan gagasan perwakilan itu
tidak dapat berhasil bersaing dengan kepercayaan yang menonjol dalam keinginan
dan legitimasi tentang pemerintahan langsung dengan majelis-majelis langsung
pula.
5) Partisipasi warga negara tidak terbatas pada pertemuan-pertemuan Majelis saja.
Mereka berpartisipasi dengan aktif dalam memerintah kota. Orang memperkirakan bahwa di Athena terdapat lebih dari seribu jabatan yang harus diisi, sebagian
kecil di antaranya dengan pemilihan, tetapi kebanyakan dengan undian, dan hampir semua dari jabatan ini untuk jangka waktu satu tahun dan hanya dapat diduduki
sekali seumur hidup. Bahkan dengan jumlah rakyat yang besar di Athena, setiap
warga hampir pasti akan menduduki suatu jabatan untuk jangka waktu setahun,
dan sebagian besar akan menjadi anggota dari Dewan Lima Ratus, yang akan amat
penting itu, yang akan menentukan acara untuk Majelis.
6) Negara kota harus tetap sepenuhnya otonom. Liga, konfederasi, dan aliansi
kadang-kadang memang penting untuk pertahanan atau perang, tetapi semuanya
itu tidak boleh dibiarkan mengurangi otonomi mutlak dari negara-kota dan kedaulatan mejelis dalam negara itu. Karena itu pada prinsipnya setiap kota harus
berswasembada, tidak hanya secara politik, tetapi untuk menghindari ketergantungan yang berlebih-lebihan pada perdagangan luar negeri, kehidupan yang baik itu
sudah pasti pula suatu kehidupan yang sederhana. Dengan cara begini, demokrasi
dihubungkan dengan sifat-sifat kebajikan hidup sederhana, bukan dengan kemakmuran.
Dalam perkembangannya, konsep demokrasi seperti yang dianut di Yunani mengalami berbagai perubahan-perubahan sesuai perkembangan pengetahuan. Dalam perspektif
yang bersifat horizontal, menurut Jimly Asshiddiqie,21 gagasan demokrasi yang berdasar
atas hukum (constitutional democracy) mengandung empat prinsip pokok, yaitu: (i) adanya
jaminan persamaan dan kesetaraan dalam kehidupan bersama; (ii) pengakuan dan penghormatan terhadap perbedaan atau pluralistik; (iii) adanya aturan yang mengikat dan dijadikan
sumber rujukan bersama; dan (iv) adanya penyelesaian sengketa berdasarkan mekanisme
aturan yang ditaati bersama.
Affan Gaffar,22 mengemukakan bahwa dalam ilmu politik dikenal dua macam pemahaman tentang demokrasi yaitu pemahaman secara normatif dan permahaman secara em21 Jimly Asshiddiqie. Menuju Negara Hukum Yang Demokratis. PT Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia. Jakarta. 2009. Hlm. 209
22 Affan Gaffar dalam Achmad Ruslan. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Kualitas Produk Hukumnya. Disertasi. Universitas Hasanuddin. Makassar. 2005.Hlm. 27
344
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
pirik. Untuk pemahaman yang kedua dikenal dengan istilah procedural democracy. Dalam
pemahaman secara normatif, demokrasi merupakan sesuatu yang hendak dilakukan/diselenggarakan oleh sebuah negara seperti dalam ungkapan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Ungkapan normatif tersebut biasanya termuat dalam konstitusi masing-masing
negara seperti dalam UUD NRI 1945 sebaliknya pandangan demokrasi dalam contoh empirik adalah musyarawarah mufakat. Dengan demikian tidak selamanya demokrasi normatif sesuai dengan demokrasi empirik. Demokrasi secara empirik adalah pengejawantahan
demokrasi dalam kehidupan bernegara.
Persamaan hak merupakan satu konsep lainnya yang menyertai perkembangan demokrasi. Konsep persamaan hak ini merupakan sebuah kemajuan dalam perkembangan
teori demokrasi, dimana pada masa Yunani demokrasi hanyalah dimiliki oleh kalangankalangan tertentu saja sementara para budak dan wanita dianggap tidak memiliki hak politik apapun. Konsep persamaan hak telah muncul semenjak abad ketujuh belas di Inggris
yang dibawa oleh kalangan Puritan, Leveller dan Commonwealth. Salah satu dari anggota
Leveller, Richard Overton, pada tahun 1646 menuliskan bahwa semua manusia adalah
sama karena telah dilahirkan dengan perantara alam ke dunia ini, masing-masing dengan kemerdekaan dan kepatutan aslinya. Secara alami Tuhan telah menjadikan manusia
merdeka. Setiap orang secara alami, merupakan raja, pendeta, nabi, dalam wilayah dan
batasnya masing-masing, dari mana tidak ada pendukung yang dapat ikut serta mengambil
bagian selain dengan perwakilan, penyerahan dan persetujuan yang bebas darinya yang
memiliki hak itu.23
Tradisi demokrasi perwakilan pertama kali digagas oleh kaum Leveller selama masa
perang saudara di Inggris. Namun demokrasi perwakilan sendiri baru diterima secara luas
jauh satu abad kemudian. Diterimanya tradisi demokrasi perwakilan oleh masyarakat tidak lepas dari perkembangan wilayah-wilayah kekuasaan dari negara-kota menjadi negara
modern (negara-bangsa) yang memiliki luas wilayah lebih besar dan juga memiliki jumlah
penduduk yang sangat besar. Hal ini dapat dilihat dari pendapat Destutt de Tracy,24 bahwa
perwakilan atau pemerintah perwakilan, dapat dianggap sebagai sesuatu penemuan baru,
yang tidak dikenal pada masa Montesqiueu. Demokrasi perwakilan adalah demokrasi
yang dibuat menjadi praktis untuk jangka waktu lama dan mencakup wilayah yang luas. Demokrasi langsung yang menjadi persyaratan demokrasi Yunani berganti menjadi
demokrasi perwakilan. Pada demokrasi perwakilan rakyat diberi kesempatan memilih
wakil-wakil yang mereka inginkan, yang terhimpun ke dalam partai-partai politik, untuk
menduduki kursi-kursi mejelis (parlemen) lewat mekanisme pemilihan umum. Nantinya
para wakil-wakil rakyat inilah yang akan menyusun kebijakan-kebijakan atau mengambil
keputusan-keputusan penting.25 Salah satu persoalan demokrasi yang belum tuntas hingga saat ini adalah berkaitan
dengan sistem perwakilan yang menjadi ciri utama demokrasi modern. Lewat mekanisme
pemilihan umum rakyat dipaksa untuk memilih wakil-wakilnya yang akan duduk di parlemen yang digambarkan sebagai wujud suara rakyat. Dalam banyak kasus, suara parlemen cenderung berbeda dengan kemauan rakyat. Parlemen memiliki pendapatnya sendiri
yang dipengaruhi oleh beragam faktor. Situasi demikian tentunya telah menyimpang dari
konsep demokrasi yang berarti kedaulatan ada di tangan rakyat. Kedaulatan yang diwakilkan bukanlah bentuk kedaulatan murni karena suara rakyat tidak dapat diwakilkan seperti
pemikiran Rousseau bahwa kedaulatan tidak dapat diwakilkan, dan dengan alasan yang
23 Pipit R. Kartawidjaya. Pemerintah Bukanlah Negara. Study Komparasi Administrasi Pemerintah Republik Indonesia dengan Negara Jerman. Henk Publishing Watch in e.v. Berlin .Surabaya.2006. Hlm. 43
24 Pipit R. Kartawidjaya. 2006. Ibid.
25 Inu Kencana Syafi’i. Pengantar Ilmu Pemerintahan. Refika Aditama. Bandung. 2001. Hlm. 129
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
345
sama tidak dapat pula dipindahkan haknya. Intinya adalah kehendak umum dan kehendak
itu harus berbicara untuk dirinya sendiri, atau bukan dirinya sendiri: tidak mungkin ada
yang di tengahnya. Oleh karena itu para utusan rakyat bukan dan tidak mungkin menjadi
wakil rakyat.26
Terbagi-baginya rakyat ke dalam bagian-bagian atau kelompok-kelompok masyarakat akan melahirkan berbagai macam kepentingan yang tidak selamanya berjalan seiring,
adakalanya bertolak belakang. Jadi sebuah hal yang mustahil bila satu orang di parlemen
yang mewakili sekian ribu orang dapat berbicara berdasarkan kepentingan-kepentingan
dari seluruh rakyat yang ia wakilkan. Keanehan berikutnya adalah rakyat manakah yang
diwakilkan oleh para wakil-wakil rakyat tersebut. Petani, buruh, pengusaha, kaum profesional atau lainnya. Konsep perwakilan adalah sebuah konsep yang kabur. Tidak mungkin
satu orang yang duduk di parlemen dapat sekaligus mewakili kepentingan buruh dan pengusaha, petani dan pemilik tanah, mahasiswa serta dosen dan pemilik yayasan pendidikan.27 Muammar Qathafi28 pernah pula mengungkapkan bahwa parlemen dipilih dari konstituen atau partai atau koalisi partai-partai atau dibentuk dengan beberapa metode tetapi
semua prosedur ini tidak demokratis karena membagi populasi menjadi kelompok-kelompok kecil sehingga satu anggota parlemen mewakili ribuan, ratusan ribu atau jutaan rakyat tergantung jumlah populasinya. Ini berarti bahwa anggota parlemen tidak mempunyai
hubungan organisasional dengan pemilih, karena, seperti halnya anggota lainnya, dipandang sebagai wakil dari keseluruhan rakyat. Inilah apa yang dikehendaki oleh demokrasi
tradisional yang hidup saat ini. Oleh karena itu, rakyat benar-benar terasing dan terpisah
dari wakilnya. Karena setelah memenangkan suara rakyat, para wakil rakyat merampas
kedaulatan mereka dan bertindak memaksa mereka. Di sini, Qathafi menjelaskan bahwa
anggota parlemen tidak memiliki hubungan apa-apa dengan konstituennya. Jadi, menurutnya mana mungkin anggota parlemen tersebut dapat memahami kebutuhan-kebutuhan
konstituen.
Pelaksanaan dan Konsep Ideal Pertanggungjawaban Dewan Perwakilan Daerah
(DPRD) dalam Sistem ketatanegaraan Republik Indonesia
Pelaksanaan pertanggungjawaban DPRD baik secara formal maupun materil belum
optimal. Secara formal, DPRD belum optimal dalam pelaksanaan fungsi-fungsinya. Hal ini
antara lain disebabkan oleh: Pertama, substansi hukum dalam peraturan perundang-undangan
yang tidak mendukung optimalisasi pelaksanaan fungsi-fungsi DPRD; Kedua, belum adanya
Standar Ukuran Kinerja, Rencana Strategis dan Rencana Kerja Tahunan; Ketiga, belum
adanya sebuah Badan Akuntabilitas dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan; dan
keempat, belum adanya suatu mekanisme pertanggungjawaban DPRD kepada rakyat.
Secara materil, anggota DPRD belum optimal dalam pelaksanaan tugas dan
kewajibannya antara lain disebabkan reduksi peran anggota DPRD oleh intervensi Partai
Politik yang tidak didasari oleh kepentingan rakyat. Begitu juga penyusunan tata tertib dan
kode etik yang relatif lambat, selain Badan Kehormatan (BK) DPRD yang belum independen
dan eksternal, serta pola hubungan antara DPRD dan rakyat yang belum ideal.
Konsep ideal dalam pertanggungjawaban DPRD secara kelembagaan (formal) ialah
melalui: 1) Penguatan DPRD melalui perubahan peraturan perundang-undangan yang
menghambat pelaksanaan fungsi-fungsi DPRD akan mendukung prinsip kepastian hokum;
2) Penyusunan Standar Ukuran kinerja, Rencana Strategis, Rencana Kerja Tahunan
26 Jean Jacques Rousseau. Kontrak Sosial. (diterjamahkan dari buku du contract social oleh Sumarjo). Erlangga. Jakarta. 1986. Hlm. 82.
27 Pipit R. Kartawidjaya. 2006. Op cit. Hlm.56
28 Muammar Qathafi dalam Anis Ibrahim. Legislasi dalam Perspektif Demokrasi. Disertasi. Universitas
Diponegoro. Semarang. 2008. Hlm. 32
346
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
sebelum Pelantikan Anggota DPRD yang ditetapkan menjadi keputusan DPRD pada
kesempatan pertama setelah pelantikan; 3) Pembentukan lembaga akuntabilitas dalam
rangka pelaksanaan fungsi pengawasan; dan 4) Pelaporan kinerja DPRD secara Berkala.
Adapun konsep ideal dalam pertanggungjawaban secara materil (personal) adalah
sebagai berikut: 1) Mekanisme fit and poreper test dalam pemilihan bakal calon anggota
legislative; 2) Penyusunan Tata tertib dan Kode etik sebelum Pelantikan Anggota DPRD
yang yang ditetapkan menjadi keputusan DPRD pada kesempatan pertama setelah
pelantikan; 3) Pembentukan Badan Kehormatan yang independen dan nonpartisan; 4)
Perbaikan pola hubungan rakyat dengan DPRD dengan pendirian Kantor Konstituen dan
recalling oleh rakyat melalui partai politik.
Konsep tersebut, baik secara kelembagaan maupun secara personal dilakukan dengan
mengacu pada 7 (tujuh) prinsip Good Local Legislative Governance yang terdiri dari Prinsip
kepastian hukum (legal certainty), Prinsip profesionalisme (profesionalism), Prinsip
moral dan etika (morality and etichs), Prinsip transparan, partisipasi dan daya tanggap
(transparancy, participation and responsiveness), Prinsip kesepakatan (consensus), Prinsip
pemberdayaan (empowerment), dan Prinsip legitimasi publik (public legitimate). Oleh
karena itu, seyogianya dilakukan perbaikan dan pembenahan dalam pertanggungjawaban
DPRD sebagai wakil rakyat baik secara formal (kelembagaan) maupun secara materil
(personal ) sehingga kinerja DPRD dapat optimal dan dapat memperoleh legitimasi dari
rakyat antara lain dengan melakukan perubahan terhadap peraturan perundang-undangan
yang terkait dengan DPRD dan partai politik yang memuat mekanisme fit and proper test
dalam penjaringan bakal calon anggota DPRD, pembentukan Badan Akuntabilitas, Badan
Kehormatan yang independen, Penyusunan Dan Penetapan Renstra 5 tahun, Rencana Kerja
1 tahun, Standar Kinerja serta Tata Tertib dan Kode Etik DPRD sebelum pelantikan yang
ditetapkan menjadi keputusan DPRD pada kesempatan pertama setelah pelantikan anggota
DPRD dan mekanisme pelaporan pertanggungjawaban secara berkala kepada rakyat.
Seyogianya dilakukan perubahan terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait
dengan pelaksanaan fungsi DPRD, antara lain: Pertama, untuk pelaksanaan fungsi legislasi
dengan melakukan perubahan terhadap Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dalam kaitannya dengan pembatalan Perda, Undang-Undang No. 27
Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah dan Dewan Pewakilan Rakyat Daerah dan Peraturan Pemerintah No. 16
Tahun 2010 tentang Pedoman Tata Tertib Dewan Pewakilan Rakyat Daerah dalam kaitan
dengan pembentukan naskah akademik.
Kedua, untuk pelaksanaan fungsi anggaran dengan melakukan perubahan terhadap
Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-undang No. 1 Tahun
2004 tentang Perbendaharaan Negara, Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006
jo. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. No. 59 Tahun 2007 dan diubah dengan Peraturan
Menteri Dalam Negeri No. 21 Tahun 2011 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
Perubahan terhadap paket perundang-undangan untuk pengelolaan keuangan daerah ini
terkait dengan kejelasan mekanisme penjaringan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan
keuangan daerah.
Ketiga, untuk pelaksanaan fungsi pengawasan dengan melakukan perubahan terhadap
Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 terkait dengan kewenangan DPRD mengawasi hanya
produk hukum berupa Peraturan Daerah.
Dalam mengemban tanggung jawab secara kelembagaan dan secara personal, DPRD
dan anggota DPRD seyogianya dapat menerapkan prinsip-prinsip Good Local Legislative
Governance yang terdiri dari Prinsip kepastian hukum (legal certainty), Prinsip
profesionalisme (profesionalism), Prinsip moral dan etika (morality and etichs), Prinsip
transparan, partisipasi dan daya tanggap (transparancy, participation and responsiveness),
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
347
Prinsip kesepakatan (consensus), Prinsip pemberdayaan (empowerment), dan Prinsip
legitimasi publik (public legitimate).
PENUTUP
Kesimpulan
1. Hakikat pertanggungjawaban DPRD dalam pelaksanaan kewenangan dan fungsinya
adalah kinerja DPRD dalam melaksanakan fungsi-fungsinya dan mempertanggungjawabkan kepada rakyat dalam hubungan antara wakil dengan terwakil yang dilandasi
kepercayaan yang akan melahirkan legitimasi dari rakyat sebagai pemilik kedaulatan
dan sebagai pilar demokrasi yang mendukung kestabilan negara pada umumnya dan
daerah pada khususnya.
2. Pelaksanaan pertanggungjawaban DPRD saat ini belum optimal hal ini ditandai denagn
1) belum optimalnya pelaksanaan fungsi-fungsi DPRD dalam kedudukan sebagai wakil
rakyat dan sebagai penyelenggara pemerintahan daerah. 2) penyusunan tata tertib dan
kode etik relatif lambat. 3) belum memiliki standar ukuran kinerja.
3. Konsep ideal untuk mewujukan DPRD yang bertanggungjawab dalm rang perwujudan
good local legilative governance adalah dengan melakukan perubahan dalam mekanisme
pencalonan anggota DPRD melalui mekanisme fit and proper test.
Saran
1. Seyogianya dilakukan perubahan terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait
DPRD dan partai politik yang memuat mekanisme fit and proper test bagi calon anggota DPRD, pembentukan badan akuntabilitas, pembentukan badan kehormatan yang
independen, nonpartisan dan eksternal, penyusunan dan penetapan rencana strategi 5
tahun, rencana kerja satu tahun, stsndar ukuran kinerja DPRD serta tata tertib dan kode
etik sebelum pelantikan anggota DPRD serta mekanisme pelaporan pertanggungjawabn secara berkala kepada rakyat.
2. Seyogianya dilakukan pembenahan terhadap DPRD yaitu 1) secara kelembagan dengan membentuk badan akuntabilitas serta badan kehormatan yang independen, nonpartisan dan eksternal 2) secara personal dengan melakukan perbaikan prilaku dan
moralitas yang dapat menjadi teladan bagi masyarakat sekaligus dapat menjaga citra,
harkat dan martabat DPRD di hadapan rakyat sehingga dapat memperoleh legitimasi
dari seluruh rakyat didaerah dimana ia menjadi wakil rakyat.
3. Seharusnya masyarakat dapat mengubah persepsi terhadap kedudukan seorang anggota DPRD dengan tidak hanya melihat mereka sebagai personal namun merupakan
bagian dari sebuah sistem politik dan sistem kenegaraan yang memiliki tugas dan
fungsi yang diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan.
348
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
DAFTAR PUSTAKA
Afan Gafar. Politik Indonesia, Transisi Menuju Demokrasi. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Brian Z. Tamanaha. The Rule of law Theory. Oxford University. New York 2011
C.F. Strong. Konstitusi-konstitusi Politik Moderen : Studi Perbandingan tentang Sejarah
dan Bentuk-bentuk Konstitusi Dunia (terj. dari Modern Political Constitutions : an
Introduce to Comparative Study of Their History and Existing oleh SPA Team Work)
Nuansa dan Nusamedia. Bandung. 2004
Hendrikus Triwibawanto Dedeona. Akuntabilitas Kelembagaan Eksekutif. Jurnal Ilmu
Administrasi. STIA LAN. Bandung Vol. 4 Nomor 1 Maret 2007
Jimly Asshiddiqie. Menuju Negara Hukum Yang Demokratis. PT Bhuana Ilmu Populer
Kelompok Gramedia. Jakarta. 2009
______________. Kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam Struktur Ketatanegaraan
Indonesia. Makalah disampaikan dalam Kuliah Umum di Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Kamis, 2 September 2004
______________. Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD
Tahun 1945. Makalah Disampaikan dalam Simposium yang dilakukan oleh Badan
Pembinaan Hukum Nasional. Departemen Kehakiman dan HAM. 2003
Kacung Marijan. Sistem Politik Indonesia, Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru.
Kencana. Jakarta. 2011
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, cetakan
7. Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia .
Jakarta. 1999
Paimin Napitupulu. Menuju Pemerintahan Perwakilan. Alumni. Bandung. 2007
_______________.Peran dan Pertanggungjawaban DPR, Kajian di DPRD Provinsi DKI
Jakarta. Alumni. Bandung. 2005
Ryaas Rasyid. Otonomi Daerah dan Kewenangan. Jurnal Widyapraja Thaun XXV Cilacap
2000.
Sedarmayanti. Good Governance (Kepemerintahan yang Baik) dalam Rangka Otonomi
Daerah. Mandar Maju . Bandung. 2003
Taliziduhu Ndara. Kybernology PPSU Universitas Padjajaran dan Institut Ilmu
Pemerintahan. Bandung. 2001
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
349
350
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
PERAN PENYIDIK DALAM UPAYA
PERLINDUNGAN KORBAN TINDAK PIDANA
PERDAGANGAN ORANG
Grubert T. Ughude
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
PERAN PENYIDIK DALAM UPAYA PERLINDUNGAN KORBAN
TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
Oleh: Grubert T. Ughude
Kepolisian Daerah Provinsi Sulawesi Utara
Jl. Bethesda No. 62. Manado, Sulawesi Utara
E-mail: [email protected]
Abstract
Since the establishment of UUPTPPO, then the much-needed role of law enforcement
officials in particular Investigators to conduct the fight against criminal trafficking.
Investigators in addition to perform tasks and functions to process the perpetrator of the
crime trade person based on the law of criminal procedure, on the other hand UUPTPPO
specifically mandated the existence of a duty of Investigators to provide reasonable
protection of the rights of victims of criminal acts of trafficking.
Keywords: Investigators, Effort Protection, Trading Crimes
Abstrak
Sejak diberlakukannya UUPTPPO, maka sangat dibutuhkan peran aparat penegak
hukum khususnya Penyidik untuk melakukan pemberantasan tindak pidana perdagangan
orang. Penyidik disamping menjalankan tugas dan fungsinya untuk memproses pelaku
tindak pidana perdagangan orang berdasarkan hukum acara pidana, di sisi lain
UUPTPPO secara khusus mengamanatkan adanya kewajiban Penyidik untuk memberikan
perlindungan hak-hak korban tindak pidana perdagangan orang.
Kata Kunci: Penyidik, Perlindungan Korban, Tindak Pidana Perdagangan Orang
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
PENDAHULUAN
Sejak diundangkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang (UUPTPPO) terhitung mulai tanggal 19 April 2007,
maka sejak itu pula UUPTPPO diberlakukan. UUPTPPO merupakan keinginan manifestasi
bangsa Indoensia untuk mencegah dan menanggulangi tindak pidana perdagangan orang
didasarkan pada nilai-nilai luhur, komitmen nasional untuk melakukan upaya pencegahan
sejak dini, penindakan terhadap pelaku dan perlindungan korban dari tindak pidana
perdagangan orang.
Tindak pidana perdagangan orang merupakan pengingkaran hak asasi manusia,
bahkan UUPTPPO memandang bahwa perdagangan orang merupakan bentuk modern
dari perbudakan manusia. Penjelasan Umum UUPTPPO, pada alinea ke-3, menyebutkan
bahwa berdasarkan bukti empiris, perempuan dan anak adalah kelompok yang paling
banyak menjadi korban tindak pidana perdagangan orang. Korban diperdagangkan tidak
hanya untuk tujuan pelacuran atau bentuk eksploitasi seksual lainnya, tetapi juga mencakup
bentuk eksploitasi lain, misalnya kerja paksa atau pelayanan paksa, perbudakan, atau
praktik serupa perbudakan. Pelaku tindak pidana perdagangan orang melakukan perekrutan,
pengangkutan, pemindahan, penyembunyian, atau penerimaan orang untuk tujuan
menjebak, menjerumuskan, atau memanfaatkan orang tersebut dalam praktik eksploitasi
dengan segala bentuknya dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan,
pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, atau memberi bayaran
atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas
korban.
Perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak, telah meluas dalam bentuk
jaringan kejahatan baik terorganisasi maupun tidak terorganisasi. Perdagangan orang
bahkan melibatkan tidak hanya perorangan tetapi juga korporasi dan penyelenggara negara
yang menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya. Jaringan pelaku perdagangan orang
memiliki jangkauan operasi tidak hanya antar wilayah dalam negeri tetapi juga antar negara.
Dengan semakin berkembangnya modus operandi pelaku tindak pidana perdagangan
orang yang meresahkan masyarakat dan membawa penderitaan secara fisik maupun psikis
terhadap saksi korban, menuntut adanya peran aparat penegak hukum khususnya Polri
selaku Penyidik untuk memberikan perlindungan hukum terhadap saksi korban tindak
pidana perdagangan orang. Polri selaku alat negara yang melaksanakan tugas pokok
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakkan hukum; dan memberikan
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat merupakan hal yang harus
dilaksanakan.1
Dalam melaksanakan tugas pokok di bidang penyidikan, sesuai dengan amanat Pasal
14 Ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia (UUPolri), mengatur bahwa Polri melakukan penyelidikan dan
penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan
perundang-undangan lainnya.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) maupun UUPolri, sebagai
dasar pelaksanaan tugas penyidikan yang diemban oleh Polri mengatur bahwa penyidikan
adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat
terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
1 Lilik Mulyadi. Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif, Teoretis dan Praktik, (Bandung: PT. Alumni,
2008), hlm. 43
354
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
Sebagai dasar upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan orang,
Pasal 28 UUPTPPO menyatakan bahwa penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di
sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana perdagangan orang, dilakukan berdasarkan
Hukum Acara Pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
Dengan demikian, sistem dan pola penyidikan tindak pidana perdagangan orang tetap
sesuai dengan KUHAP dan UUPolri, kecuali ada ketentuan khusus yang diatur dalam
UUPTPPO, seperti perlakuan dan perlindungan hukum terhadap saksi korban tindak
pidana perdagangan orang.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai
berikut:
1. Bagaimanakah tipologi dan bentuk perlindungan korban tindak pidana perdagangan
orang?
2. Bagaimanakah kekuatan alat bukti keterangan saksi dan kewajiban Penyidik dalam
melindungi hak saksi korban tindak pidana perdagangan orang?
METODE PENELITIAN
Tipe penelitian yang dipakai adalah penelitian normatif-yuridis dengan menggabungkan metode penelitian primer, sekunder dan tersier. Penelitian dengan pendekatan normatif
diarahkan untuk mengkaji peran Penyidik dalam upaya perlindungan korban tindak pidana
perdagangan orang sebagaimana yang diterapkan di Indonesia. Jenis dan sumber data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data primer, yaitu data empiris yang diperoleh dari
informan berdasarkan hasil wawancara langsung dengan responden. Serta data sekunder,
yaitu data yang diperoleh melalui studi kepustakaan, referensi-referensi teoritis, peraturan
perundang-undangan, doktrin-doktrin dari berbagai pakar hukum, dan data-data yang diperoleh langsung dari lokasi penelitian.
Proses analisis terhadap isi peraturan perundang-undangan dilakukan melalui mekanisme yang bersifat sirkuler yaitu analisis sudah mulai dilakukan di tengah-tengah proses
pengumpulan data. Juga dengan menggunakan metode content analitys untuk mendapatkan kesimpulan.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pengertian Korban Tindak Pidana
Secara global dan representatif, pengertian korban tindak pidana termuat pada
Pasal 1 Deklarasi PBB No. 40/30 tanggal 25 November 1985 tentang Prinsip-prinsip Dasar
Keadilan Bagi Korban Penyalahgunaan Kekuasaan, pada angka 1 Declaration of basic
principles of justice for victim of crime and abuse of power, yang dinyatakan sebagai
berikut:
”Victims means person who, individually or collectively, have suffered harm,
including physical or mental injury, emotional suffering, economic loss or substansial
impairment of their fundamental right, through acts or omissions that are in violation
of criminal laws operative within member states, including those laws proscribing
criminal abuse power” (Korban berarti orang-orang yang secara pribadi atau kolektif
telah menderita kerugian, termasuk luka fisik atau mental, penderitaan emosional,
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
355
kerugian ekonomi atau perusakan cukup besar atas hak-hak dasarnya, lewat tindakan
atau penghapusan yang bertentangan dengan hukum pidana yang berlaku di negaranegara anggota, termasuk hukum yang melarang penyalahgunaan kekuasaan yang
bisa dikenai sanksi).
Pasal 1 agngka 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban (UUPSK), memberikan definisi korban adalah seseorang yan mengalami
penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak
pidana. Selanjutnya Pasal 1 angka 3 UUPTPPO, menyatakan bahwa korban adalah
seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan/atau
sosial, yang diakibatkan tindak pidana perdagangan orang.
Menurut Pasal 1 angka 6 Peraturan Kapolri Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pembentukan
Ruang Pelayanan Khusus dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana,
yaitu:
“Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual,
ekonomi dan/atau sosial yang diakibatkan oleh tindak pidana”.
Berdasarkan definisi tentang korban sebagaimana dikemukakan di atas, Lilik Mulyadi
melihat dari tiga aspek, yaitu:2
a. Ditinjau dari sifatnya, ada yang individual dan kolektif. Korban individual karena
dapat diidentifikasi sehingga perlindungan korban dilakukan secara nyata tetapi
korban kolektif lebih sulit diidentifikasi;
b. Ditinjau dari jenisnya, korban kejahatan ada yang bersifat langsung yaitu korban
kejahatan itu sendiri dan tidak langsung (semu/abstrak) yaitu masyarakat. Menurut
Sellin dan Wolfgang3 jenis korban dapat berupa:
Primary victimization adalah korban individual. Jadi korbannya adalah orang
perorangan atau bukan kelompok;
Secondary victimization di mana yang menjadi korban adalah kelompok
seperti badan hukum;
Tertiary victimization yang menjadi korban adalah masyarakat luas;
Mutual victimization yang menjadi korban adalah si pelaku sendiri;
No victimization, bukan berarti tidak ada korban, melainkan korban tidak
segera dapat diketahui, misalnya konsumen yang tertipu dalam menggunakan
suatu hasil produksi.
c. Ditinjau dari kerugiannya maka dapat diderita oleh seseorang, kelompok
masyarakat maupun masyarakat luas. Selain itu kerugian korban dapat bersifat
materiil yang dapat dinilai dengan uang atau imateriil yakni perasaan takut, sedih,
kejutan psikis dan lain sebagainya.
Arif Muladi dan Barda Nawawi Arief,4 berpendapat bahwa konsep pengaturan
terhadap korban kejahatan, pertama-tama yang diperhatikan adalah esensi kerugian
yang diderita si korban. Ternyata esensi kerugian tersebut tidak hanya bersifat materiil
atau penderitaan fisik saja melainkan juga yang bersifat psikologis. Hal ini dalam
bentuk trauma, kehilangan kepercayaan terhadap masyarakat dan ketertiban umum.
Simtom dan sindrom tersebut dapat berupa kegelisahan, rasa curiga, sinisme, depresi,
kesepian dan pelbagai perilaku penghindaran yang lain.
2 Abdullah Muhaddar Ed.,i & Husni Thamrin, Perlindungan Saksi & Korban Dalam Sistem Peradilan
Pidana, (Surabaya: Putra Media Nusantara, 2010), hlm. 54
3 Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Kriminologi & Victimologi, (Jakarta: Djambatan, 2003),
hlm. 120-121
4 Arif Muladi dan Barda Nawawi. Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung: PT. Alumni, 2007), hlm. 84
356
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
Dalam rangka pengaturan hukum pidana terhadap korban kejahatan, secara mendasar
dikenal dua model,5 yakni:
a. Model hak-hak prosedural (The procedural rights model);
Pada model yang ini penekanan diberikan pada dimungkinkannya si korban
untuk memainkan peranan aktif di dalam proses kriminal atau di dalam jalannya
proses peradilan. Dalam hal ini si korban kejahatan diberi hak untuk mengadakan
tuntutan pidana atau untuk membantu jaksa atau hak untuk dihadirkan dan
didengar disetiap tingkatan sidang pengadilan yang kepentingannya terkait di
dalamnya, termasuk hak untuk diminta konsultasi oleh lembaga pemasyarakatan
sebelum diberikan lepas bersyarat dan pada akhirnya hak untuk mengadakan
perdamaian atau peradilan perdata. Di Perancis hal ini disebut partie civile
model (civil action systems). Pendekatan semacam ini melihat si korban sebagai
seorang subyek yang harus diberi hak-hak yuridis yang luas untuk menuntut dan
mengejar kepentingan-kepentingannya;
b. Model pelayanan (The Service Model)
Pada model pelayanan (The Service Model), penekanan diletakkan pada perlunya
diciptakan standar-standar baku bagi pembinaan korban kejahatan, yang dapat
digunakan oleh polisi, misalnya dalam bentuk pedoman dalam rangka notifikasi
kepada korban dan atau kejaksaan dalam rangka penanganan perkaranya,
pemberian kompensasi sebagai sanksi pidana yang bersifat restitutif dan dampak
pernyataan-pernyataan korban sebelum pidana dijatuhkan. Pendekatan ini
melihat korban kejahatan sebagai sasaran khusus untuk dilayani dalam kerangka
kegiatan polisi dan para penegak hukum yang lain”.
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa korban
adalah orang secara pribadi atau bersama-sama yang menderita secara fisik, psikis,
mental atau secara materiil sebagai akibat dari peristiwa tindak pidana yang wajib
mendapat perlindungan hukum. Terkait dengan kemampuan dan kehendak korban
untuk memberikan keterangan dihadapan aparat penegak hukum khususnya Penyidik,
maka korban tersebut dipandang sebagai saksi korban dari tindak pidana.
Tipologi dan Perlindungan Korban Tindak Pidana
Tipologi korban tindak pidana dimensinya dapat ditinjau dari dua perspektif, yaitu:
1. Ditinjau dari perspektif keterlibatan korban dalam terjadinya kejahatan. Melalui
kajian ini, maka Ezzat Abdel Fattah,6 menyebutkan beberapa tipologi korban,
yaitu:
a. non participating victim adalah mereka yang menyangkal/menolak kejahatan
dan penjahat tetapi tidak turut berpartisipasi dalam menanggulangi kejahatan;
b. latent or predisposed victims adalah mereka yang mempunyai karakter
tertentu cenderung menjadi korban pelanggaran tertentu;
c. provocative victims adalah mereka yang menimbulkan kejahatan atau pemicu
kejahatan;
d. participating victims adalah mereka yang tidak menyadari atau memiliki
perilaku lain sehingga memudahkan dirinya menjadi korban;
e. false victims adalah mereka yang menjadi korban karena dirinya sendiri.
5 Ibid. hlm. 85
6 Lilik Mulyadi. 2003. Op cit. hlm. 214
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
357
2. Ditinjau dari perspektif tanggung jawab korban itu sendiri, maka Stephen
Schafer mengemukakan tipologi korban menjadi tujuh bentuk, yaitu:
a. unrelated victims adalah mereka yang tidak ada hubungan dengan si pelaku
dan menjadi korban karena memang potensial. Untuk itu, dari aspek
tanggung jawab sepenuhnya berada di pihak korban;
b. provocative victims merupakan korban yang disebabkan peranan korban
untuk memicu terjadinya kejahatan. Karena itu, dari aspek tanggung jawab
terletak pada diri korban dan pelaku secara bersama-sama;
c. participating victims hakikatnya perbuatan korban tidak disadari dapat
mendorong pelaku melakukan kejahatan. Misalnya, mengambil uang di
bank dalam jumlah besar yang tanpa pengawalan, kemudian dibungkus
dengan tas plastic sehingga mendorong orang untuk merampasnya. Aspek
ini pertanggungjawaban sepenuhnya ada pada pelaku;
d. biologically weak victims adalah kejahatan yang disebabkan adanya
keadaan fisik korban seperti wanita, anak-anak, dan manusia lanjut usia
(manula) merupakan potensial korban kejahatan. Ditinjau dari aspek
pertanggungjawabannya terletak pada masyarakat atau pemerintah setempat
karena tidak dapat memberi perlindungan kepada korban yang tidak berdaya;
e. socially weak victims adalah korban yang tidak diperhatikan oleh masyarakat
bersangkutan seperti para gelandangan dengan kedudukan sosial yang lemah.
Untuk itu, pertanggungjawabannya secara penuh terletak pada penjahat atau
masyarakat;
f. selfvictimizing victims adalah korban kejahatan yang dilakukan sendiri
(korban semu) atau kejahatan tanpa korban. Untuk itu pertanggungjawabnnya
sepenuhnya terletak pada korban karena sekaligus sebagai pelaku kejahatan;
g. political victims adalah korban karena lawan politiknya. Secara sosiologis,
korban ini tidak dapat dipertanggungjawabkan kecuali adanya perubahan
kontelasi politik.
Berhubungan dengan tipologi perlindungan terhadap korban tindak pidana maka
perlindungan korban dapat dilihat dari dua makna, yaitu: Pertama, dapat diartikan
sebagai perlindungan hukum untuk tidak menjadi korban tindak pidana (berarti
perlindungan hak asasi manusia atau kepentingan hukum seseorang). Kedua, dapat
diartikan sebagai perlindungan untuk memperoleh jaminan/santunan hukum atas
penderitaan/kerugian orang yang telah menjadi korban tindak pidana (jadi identik
dengan penyantunan korban). Bentuk santunan itu dapat berupa pemulihan nama
baik (rehabilitasi), pemulihan keseimbangan batin (antara lain dengan pemaafan),
pemberian ganti rugi (restitusi, kompensasi, jaminan/santunan kesejahteraan sosial)
dan sebagainya.7
Dengan adanya UUPSK, memberikan perlindungan hak-hak korban tindak pidana.
Hak-hak korban tindak pidana, tersebut meliputi:
memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya,
serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang,
atau telah diberikannya;
ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan
dukungan keamanan;
memberikan keterangan tanpa tekanan;
mendapat penerjemah;
7 Arif Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.cit. hlm. 84
358
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
bebas dari pertanyaan yang menjerat;
mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;
mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;
mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
mendapat identitas baru;
mendapatkan tempat kediaman baru;
memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
mendapat nasihat hukum; dan/atau
memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan
berakhir.
Demikian pula menyangkut tata cara pemberian perlindungan korban tindak pidana
telah diatur dalam UUPSK, dan secara khusus tata cara perlindungan korban dari tindak
pidana perdagangan orang diatur dalam UUPTPPO.
Dari hal-hal yang diuraikan di atas, Penulis menguraikan inti atau pokok dari
pendapat Muladi,8 bahwa alasan korban tindak pidana perlu dilindungi, yaitu:
Pertama, proses pemidanaan dalam hal ini mengandung pengertian, baik dalam arti
umum maupun dalam arti konkret. Dalam arti umum, proses pemidanaan merupakan
wewenang pembuat undang-undang, sesuai dengan asas legalitas, yang menegaskan
bahwa, baik poena maupun crimen harus ditetapkan terlebih dahulu apabila hendak
menjatuhkan pidana atas diri seorang pelaku tindak pidana. Dalam arti konkret, proses
pemidanaan berkaitan dengan penetapan pidana melalui infrastruktur penitensier
(hakim, petugas lembaga pemasyarakatan dan sebagainya). Kedua, argumentasi lain
yang mengedepankan perlindungan hukum bagi korban tindak pidana adalah argumen
kontrak sosial dan argumen solidaritas sosial. Ketiga, perlindungan korban tindak
pidana biasanya dikaitkan dengan salah satu tujuan pemidanaan yang dewasa ini
banyak dikedepankan yakni penyelesaian konflik.
Perlindungan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
Secara khusus UUPTPPO mengatur tentang perlindungan saksi dan korban dalam
bab tersendiri yaitu Bab V UUPTPPO. Pasal 43 UUPTPPO, menyatakan:“Ketentuan
mengenai perlindungan saksi dan korban dalam perkara tindak pidana perdagangan
orang dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini”.
Ketentuan tersebut di atas, sepanjang tidak diatur dalam UUPSK kewajiban Penyidik
untuk memberikan perlindungan saksi khususnya korban tindak pidana perdagangan
orang tetap berpedoman pada UUPTPPO. Terkait dengan suatu peristiwa, dalam Pasal
8 UUPSK menyatakan bahwa perlindungan dan hak saksi dan korban diberikan sejak
tahap penyelidikan dimulai dan berakhir sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang.
UUPTPPO maupun UUPSK, sudah merupakan langkah maju sebagai upaya
memberikan perlindungan terhadap korban, tetapi di sisi lain masih menimbulkan
pertanyaan. Hal tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Arief Amrullah,9 sebagai
berikut: “Kendati telah ada ketentuan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap
korban, akan tetapi yang masih perlu dipertanyakan apakah perlindungan korban
yang terimplementasikan dalam UUPSK sesuai dengan konsep perlindungan korban.
8 Lilik Muladi, Op.cit. hlm. 43
9 Dalam Abdussalam, R., Penegakan Hukum Di Lapangan Oleh Polri, (Jakarta: Dinas Hukum Polri, 1997),
hlm. 126
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
359
Pertanyaan ini mengemuka, karena apabila memperhatikan beberapa ketentuan dalam
UUPSK tampaknya pembuat UUPSK masih bias dalam memahami konsep tentang
perlindungan korban dan kaitannya dengan akses korban dalam sistem peradilan pidana,
sehingga apa yang telah dinyatakan dalam bagian konsideran tidak diimplementasikan
secara konsisten dalam pasal-pasalnya”.
Arief Amrullah,10 mencontohkan ketentuan Pasal 6 UUPSK menyatakan bahwa
korban dalam pelanggaran HAM yang berat, selain berhak atas hak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 UUPSK, juga berhak untuk mendapatkan bantuan medis,
dan bantuan rehabilitasi psikososial. Pencantuman “pelanggaram HAM yang berat”
dalam Pasal 6 itu, demikian juga dengan bentuk perlakuan yang berbeda dari korban
kejahatan lainnya, sebagaimana hak untuk mendapatkan bantuan medis dan bantuan
rehabilitasi psikosoial, barangkali tanpa disadari oleh pembuat undang-undang bahwa
apa yang diatur dalam Pasal 6 UUPSK telah menanamkan adanya diskriminasi
dalam memberikan perlindungan terhadap korban, termasuk korban tindak pidana
perdagangan orang.
Perlindungan hukum bagi masyarakat khususnya yang terlibat langsung dalam
peristiwa pidana sangatlah penting karena masyarakat baik kelompok maupun
perorangan, dapat menjadi korban atau bahkan sebagai pelaku kejahatan. Perlindungan
hukum korban kejahatan sebagai bagian dari perlindungan kepada masyarakat, dapat
diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti melalui pemberian restitusi dan kompensasi,
pelayan medis, dan bantuan hokum.11
Muladi,12 berpendapat bahwa dalam penanganan perkara pidana kepentingan
korban sudah saatnya untuk diberikan perhatian khusus, selain sebagai saksi yang
mengetahui terjadinya suatu kejahatan juga karena kedudukan korban sebagai subyek
hukum yang memiliki kedudukan sederajat di depan hukum (equality before the law).
Perhatian kepada korban dalam penanganan perkara pidana hendaknya dilakukan atas
dasar belas kasihan dan hormat atas martabat korban (compassion and respect for their
dignity).
Terkait dengan hak saksi dan/atau korban selama dalam hubungan dengan
penanganan suatu tindak pidana, KUHAP hanya membatasi pada beberapa hak saksi
dan/atau korban. Bahkan disatukan dengan hak tersangka atau terdakwa. Hal ini dapat
dilihat pada rumusan norma yang terdapat pada terbatas pada hak saksi dan/atau
korban atau tersangka atau terdakwa sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 117, Pasal
173, Pasal 177 dan Pasal 178 KUHAP, adalah sebagai berikut:
Hak memberi keterangan kepada Penyidik tanpa tekanan dari siapapun dan/atau
dalam bentuk apapun;
Hak untuk dapat memberi keterangan tanpa hadirnya terdakwa;
Hak untuk mendapat penterjemah apabila saksi tidak paham bahasa Indoensia;
Apabila saksi bisu atau tuli, berhak untuk mendapat penterjemah orang yang
pandai bergaul dengan saksi atau terdakwa.
Substansi dari Pasal 45 UUPTPPO, bahwa untuk melindungi saksi dan/atau korban,
di setiap provinsi dan kabupaten/kota wajib dibentuk ruang pelayanan khusus pada
kantor kepolisian setempat guna melakukan pemeriksaan di tingkat penyidikan bagi
saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang. Apabila hal tersebut, tidak
ditunjang dengan sarana dan prasana pada masing-masing kantor kepolisian setempat,
10 Ibid.
11 M. Mansyur Arief Dikdik & Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, Antara Norma
dan Kejahatan, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006).
12 Ibid.
360
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
dapat dipastikan bahwa penegakan hukum terhadap pemberantasan tindak pidana
perdagangan orang akan mengalami hambatan. Setidak-tidaknya peran Polri selaku
Penyidik dalam penegakan hukum tidak berjalan efektif.
Sebagai upaya memberikan perlindungan saksi korban tindak pidana perdagangan
orang, dan tindak lanjut peaksanaan amanat Pasal 45 UUPTPPO mengatur bahwa untuk
melindungi saksi dan/atau korban, di setiap provinsi dan kabupaten/kota wajib dibentuk
ruang pelayanan khusus pada kantor kepolisian setempat guna melakukan pemeriksaan
di tingkat penyidikan bagi saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang.
Pasal 45 Ayat (1) dan Ayat (2) UUPTPPO, tersebut telah dijabarkan melalui Peraturan
Kapolri Nomor 3 tahun 2008 tentang pembentukan ruang pelayanan khusus dan tata
cara pemeriksaan saksi dan/atau korban.
Pada praktiknya, keterbatasan sarana dan prasarana sangat berpengaruh dalam
penegakan hukum. UUPTPPO, sudah jelas dan memiliki nilai validitas. Menjadi
persoalan ketika undang-undang itu ditegakkan atau diberlakukan pada peristiwa
nyata, sebagaimana dialami oleh alat penegak hukum khususnya Penyidik selama
melakukan pemeriksaan para pihak yang terlibat baik saksi dan/atau korban maupun
tersangka.
Norma yang dimuat dalam Pasal 45 Ayat (1) UUPTPPO adalah norma yang berisi
“kewajiban”. Timbul pertanyaan, bagaimana jika di kantor kepolisian setempat belum
dibentuk ruang pelayanan khusus? Apakah ada sanksi yang diterapkan, dan diberikan
kepada siapa, apakah kepada kepolisian atau kepada provinsi atau kabupaten/kota
yang tidak membentuk ruang pelayanan khusus pada kantor kepolisian setempat?
Pertanyaan lain adalah, jenis perlindungan terhadap saksi dan/atau korban
yang bagaimana diharapkan oleh UUPTPPO? Dan apakah dengan pembentukan
ruang pelayanan khusus terhadap saksi dan/atau korban bisa mencapai tujuan yang
diharapkan? Fungsi apa yang harus dilakukan oleh kepolisian sebagai sub sistem hukum
dalam menjabarkan UUPTPPO terkait dengan pembentukan ruang pelayanan khusus
perlindungan saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang? Pertanyaanpertanyaan ini menyoroti hal mendasar yang diatur dalam UUPTPPO terkait dengan
perlindungan saksi dan/atau korban tindak perdagangan orang di tataran penyelidikan
dan penyidikan oleh pihak kepolisian sebagai sub sistem peradilan pidana di Indonesia.
Pasal 1 angka 2 Peraturan Kapolri Nomor 3 tahun 2008 tentang Pembentukan
Ruang Pelayanan Khusus dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan/atau Korban Tindak
Pidana, dinyatakan bahwa Ruang Pelayanan Khusus yang selanjutnya disingkat RPK
adalah ruangan yang aman dan nyaman diperuntukkan khusus bagi saksi dan/atau
korban tindak pidana termasuk tersangka tindak pidana yang terdiri dari perempuan
dan anak yang patut diperlakukan atau membutuhkan perlakukan secara khusus, dan
perkaranya sedang di tangani di kantor polisi.
Mengkaji substansi Pasal 45 Ayat (1) UUPTPPO, bahwa ruang pelayanan khusus
yang dibentuk di kantor kepolisian setempat adalah sebagai tempat pemeriksaan
saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang. Pasal 45 Ayat (2) UUPTPPO
menjadi pertimbangan utama dibentuknya Peraturan Kapolri Nomor 3 tahun 2008.
Substansi Peraturan Kapolri Nomor 3 tahun 2008 bukan hanya ditujukan untuk
melindungi saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang, tetapi termasuk
semua jenis saksi dan/atau korban tindak pidana, termasuk tersangka tindak pidana
yang terdiri dari perempuan dan anak yang patut diperlakukan atau membutuhkan
perlakukan secara khusus, dan perkaranya sedang di tangani di kantor polisi. Hal ini
pun tampak pada tujuan pembentukan Ruang Pelayanan Khusus (RPK) sebagaimana
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
361
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2008, yaitu untuk
memberikan pelayanan dan perlindungan khusus kepada perempuan dan anak yang
menjadi saksi, korban dan/atau tersangka yang ditangani RPK.
Berdasarkan hal di atas, penulis berpendapat bahwa Pasal 45 Ayat (1) dan Ayat (2)
UUPTPPO jelas hanya membatasi pembentukan ruang pelayanan khusus di kantor
kepolisian diperuntukkan bagi saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan
orang. Ruang pelayanan khusus yang dibentuk di kantor kepolisian terkait dengan
penanganan tindak pidana perdagangan orang tidak termasuk diperuntukan untuk
pemeriksaan tersangka perempuan dan anak. Perluasan makna Pasal 45 UUPTPPO,
yang diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 8 tahun 2008 akan memberikan pengaruh
pada saat proses penyelidikan dan penyidikan tindak pidana perdagangan orang.
Antara saksi dan/atau korban dengan tersangka perempuan akan dapat berhubungan
secara langsung, dan ini mempengaruhi secara langsung kondisi psikologis saksi dan/
atau korban di saat menjalani pemeriksaan. Maka hendaknya Peraturan Kapolri Nomor
3 tahun 2008, materinya harus sesuai dengan amanat dari UUPTPPO yaitu intinya
pembentukan ruang pelayanan khusus di kepolisian setempat hanya untuk kepentingan
pemeriksaan saksi dan/atau korban, tidak termasuk tersangka perempuan dan anak
yang melakukan tindak pidana.
Kekuatan Alat Bukti Keterangan Saksi Korban Tindak Pidana Perdagangan
Orang
Ketentuan khusus Pasal 30 UUPTPPO, menyatakan bahwa sebagai salah satu alat
bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan
bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan satu alat bukti yang sah lainnya.
Ketentuan ini merupakan perluasan makna Pasal 185 KUHAP. KUHAP tidak
merumuskan secara eksplisit tentang kedudukan dan pentingnya keterangan seorang
saksi korban. Demikian pula Pasal 30 UUPTPPO, tidak memberi penjelasan kriteria
seorang dikatakan sebagai saksi korban yang memberi keyakinan kepada alat penegak
hukum khususnya Penyidik untuk menilai bahwa keterangan saksi korban ditambah
satu alat bukti sudah cukup untuk mendakwa seseorang sebagai pelaku tindak pidana.
Hal ini berarti, menilai seorang telah menjadi korban tindak pidana tergantung
bagaimana tanggapan atau penilaian Penyidik terhadap keterangan saksi korban
termasuk memberitahukan hak-haknya untuk turut berperan dalam penegakan hukum.
Secara empiris, pada tahap penyidikan tindak pidana perdagangan orang penerapan
norma hukum yang diatur dalam Pasal 30 UUPTPPO, efektif ketika Penyidik menerima
pengaduan atau laporan dari saksi korban yang memberikan keyakinan kepada Penyidik
bahwa dia-lah korban tindak pidana. Pada tahap awal penyelidikan yang dilanjutkan
dengan kegiatan penyidikan keterangan saksi korban, tidak atau disertai dengan alat
bukti lain berupa catatan-catatan yang dibuat korban atau diperoleh korban ketika
mengalami peristiwa. Biasanya, dengan hanya berdasarkan keterangan saksi korban
yang memberi keyakinan kepada Penyidik bahwa benar yang bersangkutan adalah
korban dari tindak pidana, Penyidik dapat melakukan tindakan kepolisian terhadap
orang yang diduga sebagai pelaku.
Pada peristiwa tertentu, seperti saksi korban telah mengalami atau berhubungan
dengan pelaku, ketika mengajukan laporan atau pengaduan kepada Penyidik sering
didukung dengan bukti surat, pesan singkat dalam ponsel seluler atau Short Message
Service (SMS), atau tiket pemberangkatan saksi korban menuju dan “lari” dari lokasi
pekerjaan, dan atau alat bukti lain yang sesuai dengan ketentuan UUPTPPO. Apabila
362
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
Penyidik yang menerima laporan adalah personel yang membidangi tugas perlindungan
perempuan dan anak, mereka secara langsung melakukan wawancara singkat untuk
mengetahui peristiwa yang terjadi. Berdasarkan keyakinan Penyidik bahwa laporan
atau pengaduan yang disampaikan oleh saksi korban dinilai cukup memberi petunjuk
bahwa benar ada peristiwa pidana, maka langsung mendatangi tempat kejadian perkara
untuk melakukan penangkapan dilanjutkan dengan interogasi kepada pihak yang
diduga sebagai pelaku.
Keterangan saksi korban ditambah dengan satu alat bukti berupa surat, hubungan
komunikasi yang terekam dalam alat telekomunikasi atau tiket pemberangkatan
yang dimiliki saksi korban, mendorong Penyidik untuk melakukan penyidikan. Hasil
penyidikan terhadap saksi korban, diawali dengan wawancara atau tanya jawab yang
dituangkan dalam berita acara pemeriksaan saksi korban sudah mampu menerapkannya
pada tahap penyelidikan dan penyidikan. Penyelidikan dan penyidikan merupakan
“pintu masuk” pada sistem peradilan pidana di Indonesia. Maka kemampuan Penyidik
untuk menggali substansi yang terkandung dalam Pasal 30 UUPTPPO dikaitkan dengan
fakta hukum yang terjadi adalah penting untuk meyakinkan Jaksa selaku Penuntut
Umum bahwa dengan keterangan saksi korban ditambah laporan polisi dipandang
sudah cukup memenuhi unsur telah terjadi tindak pidana perdagangan orang. Hal
ini menjadi bahan penilaian dan keyakinan hakim ketika memeriksa dan memutus
perkara tindak pidana perdagangan orang di depan persidangan, bahwa keterangan
saksi korban ditambah dengan satu alat bukti cukup mendakwa seorang sebagai pelaku
tindak pidana.
Kewajiban Penyidik Melindungi Hak Saksi Korban Tindak Pidana Perdagangan
Orang
Hak untuk dirahasiakan identitas
Pasal 33 Ayat (1) dan Ayat (2) UUPTPPO, mengatur bahwa mulai tahap penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, pelapor berhak dirahasiakan nama
dan alamatnya atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya
identitas pelapor. Dalam hal pelapor meminta dirahasiakan nama dan alamatnya atau
hal-hal lain, kewajiban merahasiakan identitas tersebut diberitahukan kepada saksi
dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana perdagangan orang sebelum
pemeriksaan oleh pejabat yang berwenang yang melakukan pemeriksaan.
Secara normatif mulai dari tahap kegiatan penyidikan, pelapor yang melapor berhak
dirahasiakan nama dan alamatnya atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan
dapat diketahuinya identitas pelapor, apabila pelapor meminta idetitasnya dirahasiakan.
Secara empiris, pelapor tindak pidana perdagangan orang, bisa berasal dari keluarga
korban atau dari saksi korban sendiri. Hak untuk merahasiakan identitas pelapor
khususnya saksi korban, dengan serta merta menjadi kewajiban Penyidik merahasiakan
identitas korban atau saksi tindak pidana perdagangan orang. Pertanyaannya, bagaimana
cara Penyidik untuk merahasiakan identitas saksi korban selaku pelapor tindak pidana
perdagangan orang, yang dihadapkan pada lingkungan yang begitu transparan dan
terbuka? Apakah ada sanksi yang diterima Penyidik ketika tidak melaksanakan norma
yang diatur dalam Pasal 33 UUPTPPO?
UUPTPPO, tidak menjelaskan lebih rinci bagaimana bentuk dan cara alat penegak
hukum khususnya Penyidik untuk merahasiakan identitas pelapor. Kerahasiaan identitas
korban atau pelapor merupakan hal yang utama untuk menjamin keselamatan korban
atau pelapor dari tindakan tersangka atau pihak lain akibat terungkapnya suatu tindak
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
363
pidana. Polisi sebagai alat penegak hukum yang diberi kewenangan untuk menjamin
keselamatan warga negara khususnya korban atau pelapor suatu tindak pidana, serta
merta ada kewajiban yang melekat untuk memberikan perlindungan hukum atas
keselamatan korban atau pelapor.
Pasal 33 UUPTPPO tidak sepenuhnya memberikan jaminan kerahasiaan dan
keselamatan kepada pelapor tindak pidana perdagangan orang. Hal ini dikarenakan,
bahwa Penyidik sebelum melakukan rangkaian kegiatan penyidikan untuk mencari
dan menemukan tersangka, dalam praktik didahului dengan kegiatan penyelidikan.
Kegiatan penyelidikan merupakan “filter” setiap Penyidik untuk dapat melakukan
tindakan penyidikan. Pada tahap penyelidikan sejauh mungkin memberikan
perlindungan terhadap saksi dan/atau korban dengan memperhatikan hak asasi manusia
dengan tidak melakukan upaya paksa.
Kegiatan penyelidikan merupakan kegiatan awal sebelum dan/atau bersamaan
dengan kegiatan penyidikan. Kegiatan penyelidikan dilakukan atas dasar laporan
atau pengaduan pelapor atau saksi atau korban, maka kerahasiakan identitas saksi
pelapor atau korban tidak terjamin. Hal ini dapat terjadi karena rangkaian kegiatan
penyelidikan adalah untuk membuktikan bahwa peristiwa yang dilapor adalah
peristiwa tindak pidana. Karena ini adalah kegiatan penyelidikan untuk membuktikan
suatu peristiwa yang dilapor adalah peristiwa pidana atau bukan, sering kali pelapor
atau saksi atau korban secara langsung atau tidak langsung membuka identitas pada
publik melalui media masa dan juga tidak ada permintaan khusus kepada Penyidik
atau Penyelidik pada tahap penyelidikan untuk merahasiakan identitasnya. Maka, pada
tahap penyelidikan ini identitas pelapor atau saksi korban sudah terpublikasi yang
akhirnya tidak memberikan jaminan kerahasiaan identitas pelapor, sampai pada tahap
kegiatan penyidikan apabila peristiwa yang dilapor adalah peristiwa tindak pidana.
Keterangan saksi korban merupakan alat bukti utama untuk mengungkap adanya
suatu peristiwa tindak pidana perdagangan orang. Dalam praktik, keterangan saksi
korban sejauh mungkin dirahasiakan untuk kepentingan pencarian alat bukti lain dan
untuk keselamatan saksi korban. Potensi tantangan yang sering dihadapi Penyidik
ketika melakukan tindakan yang mewajibkan untuk merahasiakan identitas pelapor
khususnya identitas saksi korban, yaitu ketika melakukan pemeriksaan atas isi laporan
yang disampaikan oleh saksi korban yang tidak didampingi oleh orang tua (khusus
korban anak) atau LSM yang berurusan dengan perlindungan korban tindak pidana.
Kewajiban Penyidik untuk merahasiakan identitas pelapor dituangkan pula dalam
berita acara pemeriksaan kepada setiap orang yang menjadi saksi ketika diperiksa
dan diminta keterangan untuk membuktikan dugaan tindak pidana perdagangan orang
yang disangkakan kepada pelaku.
Korban tindak pidana perdagangan orang, sering mengalami kekerasan fisik,
psikis, atau seksual. Kondisi ini mewajibkan Penyidik untuk mengambil tindakan
yang memastikan korban yang teridentifikasi atau mereka yang diduga sebagai calon
korban dapat diselamatkan dari eksploitasi. Tindakan penyelamatan yang dilakukan
oleh Penyidik terhadap korban juga melekat kewajiban untuk merahasiakan identitas
korban atau saksi pelapor. Dalam kegiatan penyidikan kewajiban untuk merahasiakan
identitas korban dan atau pelapor yang terkait dengan tindak pidana perdagangan
orang, sulit dilakukan oleh Penyidik. Hal ini dikarenakan oleh faktor media yang sudah
begitu terbuka untuk memberitakan setiap peristiwa yang terjadi dalam masyarakat.
Penyidik menyadari betul bahwa merahasiakan identitas saksi atau korban, merupakan
kewajiban Penyidik, di samping itu sebagai upaya untuk menjaga keselamatan saksi
364
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
atau korban tindak pidana perdagangan orang. Ketika Penyidik melakukan pemeriksaan
terhadap setiap pihak yang berkaitan dengan penanganan tindak pidana perdagangan
orang, secara lisan maupun tertulis Penyidik memberitahukan untuk merahasiakan
identitas pelapor dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang untuk keselamatan
mereka, dan juga mengingatkan apabila pihak-pihak yang diperiksa dengan sengaja
tidak mengindahkan peringatan dan memberitakan kepada khalayak umum, maka
mereka harus bertanggung jawab secara pidana apabila pemberitaan tersebut merugikan
pelapor atau korban tindak pidana perdagangan orang.
Hak untuk didampingi advokat dan/atau pendamping
Pasal 35 UUPTPPO merupakan norma baru dalam hal memberi perlindungan
hukum terhadap saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang. Pasal 35
UUPTPPO mengatur bahwa selama proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan
di sidang pengadilan, saksi dan/atau korban berhak didampingi oleh advokat dan/atau
pendamping lainnya yang dibutuhkan. Dengan demikian Pasal 35 UUPTPPO tersebut,
berlaku juga kewajiban Penyidik untuk memberi perlindungan kepada korban untuk
didampingi advokat dan/atau pendaping lain yang dibutuhkannya. Dalam praktik, hak
untuk didampingi advokat lebih sering digunakan oleh tersangka atau terdakwa karena
untuk membela kepentingan hukum pada saat yang bersangkutan ditetapkan sebagai
tersangka atau terdakwa. Saksi dan/atau korban amat jarang menggunakan haknya
untuk didampingi advokat kecuali LSM yang berurusan dengan korban, meskipun
undang-undang telah memberikan jaminan perlindungan hukum tersebut.
Perlindungan saksi dan/atau korban antara lain melalui pemberian hak untuk
didampingi advokat atau pendamping lainnya sejak tahap penyidikan sebagaimana
diatur dalam Pasal 35 UUPTPPO, merupakan norma yang responsif atas kondisi
dari pentingnya pemberian hak saksi korban selama dalam proses penanganan suatu
tindak pidana. Penggunaan hak oleh saksi korban sejak tahap penyidikan tindak pidana
perdagangan orang, sejalan dengan asas perlindungan saksi dan korban menurut
UUPSK.
Pasal 3 UUPSK, mengatur bahwa perlindungan saksi dan/atau korban berasaskan
pada penghargaan atas harkat dan martabat manusia; rasa aman; keadilan; tidak
diskriminatif; dan kepastian hukum. Menurut Muhadar, dkk13
Pasal 3 UUPSK
berdasarkan atas asas perlindungan, hak atas rasa aman, hak atas keadilan, dan
penghormatan atas harkat dan martabat manusia.
Dengan pemberian hak saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang
untuk didampingi penasehat hukum atau pendamping lainnya, sebagaimana diatur
dalam Pasal 35 UUPTPPO akan memberi jaminan perlindungan hak asasi manusia
sebagai korban tindak pidana.
Penyidik yang menangani perkara tindak pidana perdagangan mengetahui dan
memberi kesempatan pada tahap penyelidikan atau ketika ditingkatkan pada tahap
penyidikan, saksi dan/atau korban menggunakan haknya untuk didampingi Advokat
atau pendamping lainnya. Penyidik memandang penting saksi dan/atau korban untuk
menggunakan hak untuk didampingi, karena dalam praktik banyak faktor-faktor
yang menuntut kehadiran advokat atau pendamping lain, ketika saksi dan/atau korban
mengalami hal-hal yang berkaitan dengan keamanan, kesehatan, bimbingan, nasihat
atau bantuan. Di sisi lain, Penyidik kesulitan menghadirkan pihak-pihak yang mampu
memahami karakteristik dan kondisi korban yang mengalami peristiwa tindak pidana.
Pada tahap pemeriksaan, dalam kondisi tertentu Penyidik memberlakukan saksi
13 Abdullah Muhaddar Ed.,i dan Thamrin, Husni., Op.cit, hlm. 74-75
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
365
khususnya korban secara sensitif dan berusaha menghormati hak-haknya. Karena, tidak
jarang ketika Penyidik mulai melakukan pemeriksaan, misalnya melalui wawancara
awal, korban merasa curiga, bingung, belum sepenuhnya mencerikan peristiwa yang
dialaminya karena tidak percaya kepada petugas dan bentuk trauma lainnya.
Hak untuk mendapatkan informasi perkembangan kasus
Pasal 36 UUPTPPO mengatur bahwa selama proses penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di depan sidang pengadilan, korban berhak mendapatkan informasi tentang
perkembangan kasus yang melibatkan dirinya. Informasi tentang perkembangan kasus,
dapat berupa pemberian salinan berita acara setiap tahap pemeriksaan. Hak korban
untuk mendapatkan informasi tentang perkembangan kasus, yang dimulai dari tahap
penyidikan merupakan bentuk pengakuan hak korban yang ada dalam UUPTPPO.
Implementasi ketentuan ini, harus dapat diwujudkan oleh semua alat penegak hukum
khususnya Penyidik dalam melaksanakan kegiatan penyidikan dalam rangka menjamin
akuntabilitas dan transparasi penanganan suatu perkara.
Pasal 39 Peraturan Kapolri Nomor 12 tahun 2009 tentang Pengawasan dan
Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Polri, merumuskan bahwa
dalam hal menjamin akuntabilitas dan transparansi penyidikan, Penyidik wajib
memberikan surat pemberitahuan perkembangan hasil penyidikan (SP2HP) kepada
pihak pelapor baik diminta atau tidak diminta secara berkala paling sedikit 1 kali
setiap 1 bulan. Laporan perkembangan hasil penyidikan dapat disampaikan kepada
pihak pelapor baik dalam bentuk lisan atau tertulis. Teknis pelaksanaan yang dilakukan
Penyidik yaitu cara penyampaian SP2HP ditujukan pelapor atau korban tindak pidana.
Hak korban untuk mendapatkan informasi tentang perkembangan kasus yang
melibatkan dirinya khususnya mulai dari tahap penyidikan, Polri telah menyusun dan
menerapkan melalui apa yang disebut SP2HP sebagaimana disebutkan di atas, sebagai
bentuk Quick Wins bidang transparansi penyidikan. Dalam Pedoman Pelaksanaan Quick
Wins Bidang Transparansi Penyidikan tahun 2009 yang disusun oleh Bareskrim Polri,
merumuskan bahwa pemberitahuan perkembangan hasil penyelidikan/penyidikan
dilaksanakan melalui:
Surat pemberitahuan perkembangan hasil penyelidikan / penyidikan;
Desk telepon (petugas penerima pengaduan perkembangan hasil penyelidikan/
penyidikan melalui telepon);
Website, pengadu menanyakan perkembangan hasil penyelidikan/penyidikan
melalui website;
SMS, pengadu menanyakan perkembangan hasil penyelidikan/penyidikan
melalui telepon seluler;
Gelar perkara, pengadu menyampaikan keluhannya dalam forum gelar perkara.
SP2HP sebagai surat yang diberikan kepada pelapor/pengadu/korban tentang
perkembangan hasil penyelidikan dan penyidikan ditandatangani oleh Atasan Penyidik
dengan melalui tahapan:
Penerimaan laporan/pengaduan diberikan pada saat telah mengeluarkan surat
perintah penyelidikan/penyidikan dalam waktu 3 (tiga) hari;
SP2HP yang diberikan kepada pelapor/pengadu/korban berisi bahwa “laporan/
pengaduan saudara telah diterima dan akan dilakukan penyelidikan/penyidikan
oleh Penyelidik atau Penyidik atas nama, HP, website, dalam waktu…. Hari
sesuai dengan kriteria”.
Syarat pemberian SP2HP pada tingkat penyelidikan maupun tingkat penyidikan
berdasarkan kualifikasi pembuktian untuk kasus ringan, sedang, atau sulit dan sangat
366
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
sulit sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Untuk Tahap penyelesaian dan
penyerahan berkas perkara, SP2HP diberikan pada saat pelimpahan berkas perkara
tahap pertama. Pada saat berkas perkara dikembalikan (P-18 dan P-19), maka SP2HP
diberikan setelah dilakukan pelimpahan kembali berkas perkara ke jaksa penuntut
umum. Demikian juga pada saat penyerahan berkas perkara dan tersangka pada tahap
kedua, SP2HP disampaikan kepada pelapor/pengadu/korban.
Mengkaji mekanisme atau tata cara penyampaian informasi perkembangan
penanganan perkara oleh Penyidik kepada pelapor/pengadu/korban tersebut di atas,
memberi jaminan kepastian hukum dan manfaat kepada setiap orang untuk dapat
mengikuti setiap perkembangan penanganan kasus yang dilakukan oleh Penyelidik
atau Penyidik.
Dalam praktik, penerapan ketentuan pedoman pelaksanaan Quick Wins bidang
transparansi penyidikan pada setiap perkara adalah berbeda berdasarkan kriteria tingkat
kesulitan dan ketentuan pidana yang dilanggar. Apabila dikaitkan dengan kriteria
tingkat kesulitan dalam penyidikan tindak pidana perdagangan orang, maka hampir
dipastikan tindak pidana perdagangan orang masuk kategori sulit atau sangat sulit,
sesuai dengan karakteristik tindak pidana perdagangan orang yaitu sebagai kejahatan
transnasional dan extra ordinary crime, yang dalam penyelesaiannya memerlukan
penanganan khusus.
Penyidik selama melakukan proses penyidikan tindak pidana perdagangan
orang sudah melaksanakan amanat dari UUPTPPO yaitu membuat SP2HP kepada
korban, yang ditujukan kepada korban atau keluarga korban. Penerbitan SP2HP oleh
Penyidik, dibuat dan dikirim pada awal penyidikan, pertengahan penyidikan dan akhir
penyidikan ketika tahap I dan berkas perkara dinyatakan sudah lengkap oleh JPU dan
ketika pengiriman tahap II oleh Penyidikan kepada JPU. Pemberitahuan oleh Penyidik
kepada korban atau keluarga korban tentang perkembangan hasil penyidikan, selama
ini sudah dilakukan karena Penyidik berpendapat bahwa hal tersebut sudah merupakan
tanggung jawab Penyidik sebagai respons atas perlindungan korban khususnya hak
untuk memperoleh informasi perkembangan penyidikan.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
peran Penyidik dalam upaya perlindungan korban tindak pidana perdagangan orang, sangat
diperlukan ketika diketahui ada peristiwa tindak pidana perdagangan orang, baik karena
berdasarkan laporan atau pengaduan korban dan/atau keluarga atau temuan langsung oleh
Penyidik.
Saran
Keterangan saksi korban sebagai alat bukti, menjadi hal utama dalam upaya melindungi
korban dari tidak pidana perdagangan orang. Hak-hak khusus dari korban tindak pidana
perdagangan orang yang dijamin dan dilindungi oleh hukum melalui UUPTPPO, menjadi
kewajiban Penyidik untuk mampu memberi perlindungan terhadap korban, yaitu dalam
hal menjaga kerahasiaan identitas korban, memberi kesempatan kepada korban untuk
didampingi penasehat hukum atau advokat dan/atau pendamping lainnya, serta kewajiban
Penyidik menyampaikan perkembangan penanganan perkara kepada korban atau
keluarganya selama dalam tahap penyidikan.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
367
DAFTAR PUSTAKA
Abdussalam, R., 1997. Penegakan Hukum Di Lapangan Oleh Polri, Jakarta: Dinas Hukum
Polri.
Ali, Achmad, 1998. Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Jakarta: PT. Yarsif
Watampone.
Arief, Nawawi, Barda. 2008, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana
dalam Penanggulangan Kejahatan, Jakarta: Prenada Media Group.
Farhana, 2010. Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia, Jakarta: Sinas Grafika.
Mansur, Dikdik, M. Arief & Gultom, Elisatris, 2006. Urgensi Perlindungan Korban
Kejahatan, Antara Norma dan Kejahatan, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Muhadar, Abdullah. Ed.,i & Thamrin, Husni, 2010. Perlindungan Saksi & Korban Dalam
Sistem Peradilan Pidana, Surabaya: Putra Media Nusantara.
Muladi & Arief, Nawawi, Barda., 2007, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: PT.
Alumni.
Mulyadi, Lilik, 2003. Kapita Selekta Hukum Pidana, Kriminologi & Victimologi, Jakarta:
Djambatan.
___________, 2008. Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif, Teoretis dan Praktik,
Bandung: PT. Alumni.
Soekanto, Soerjono, 1989. Kegunaan Ssiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum, Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti.
_______________, 2008. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta:
PT. Rajagrafindo Persada.
368
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
KETERKAITAN INTEGRITAS APARAT
PENYELENGGARA NEGARA TERHADAP EFEKTIVITAS
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Adensi Timomor
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
KETERKAITAN INTEGRITAS APARAT PENYELENGGARA
NEGARA TERHADAP EFEKTIVITAS PEMBERANTASAN TINDAK
PIDANA KORUPSI
Oleh: Adensi Timomor
Fakultas Hukum Universitas Negeri Manado
Jl. Malalayang Dua, Manado, Sulawesi Utara
E-mail: [email protected]
Abstract
Law enforcement intelligence not only intellectually but also a spiritual intelligence.
In other words, the rule of law must be done with full determination, empathy, dedication,
commitment and courage with the substance of the law was supported by an ideal and a
community cooperative. Awareness of the law will give influence on the obedience of the
law enforcement organizer of forming a collective adherence to State institutions so that
the integrity of the host State as reflection apparatus awareness and observance of the law
governing the country as a personal and institutional will embody the effectiveness in the
eradication of criminal acts of corruption.
Keywords: Law Enforcement, Integrity
Abstrak
Penegakan hukum bukan hanya kecerdasan intelektual akan tetapi juga merupakan
kecerdasan spiritual. Dengan kata lain, penegakan hukum harus dilakukan dengan penuh
determinasi, empati, dedikasi, komitmen serta keberanian dengan didukung oleh substansi
hukum yang ideal dan masyarakat yang kooperatif. Kesadaran hukum akan memberikan
pengaruh pada ketaatan hukum aparat penyelenggara negara yang membentuk ketaatan
kolektif lembaga penyelenggara negara sehingga integritas aparat penyelenggara negara
sebagai refleksi kesadaran dan ketaatan hukum penyelenggara Negara secara personal
dan kelembagaan akan mewujudkan efektivitas dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Kata Kunci: Penegakan Hukum, Integritas
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
PENDAHULUAN
Tujuan nasional termaktub dalam Alenia IV Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh
tumpah darah Indonsia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa
serta melaksanakan perdamaian dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan
sosial.
Dalam UUD NRI 1945 ditegaskan pula bahwa Indonesia adalah negara hukum. Hal
ini berarti negara Republik Indonesia merupakan negara yang menjunjung tinggi hak asasi
manusia, menjamin persamaan kedudukan semua warga negara Indonesia dalam hukum
dan pemerintahan, serta wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan tanpa ada
kecualinya.1 Sejalan dengan dinamika masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan dan
dalam upaya mewujudkan tujuan negara hukum, ternyata ada banyak faktor penghambat
pembangunan yang berkembang bersamaan dengan berkembangnya pembangunan itu
sendiri. Salah satu faktor penghambat pembangunan itu adalah tindak pidana korupsi.
Masalah korupsi merupakan masalah yang sangat sentral di dalam kurun waktu
pembangunan dewasa ini dan sering hal itu menimbulkan perbincangan dan diskusi yang
berkepanjangan oleh berbagai kalangan masyarakat. Korupsi telah merupakan penyakit
kronis di Indonesia. Korupsi merupakan suatu penyakit masyarakat yang menggerogoti
kesejahteraan rakyat, menghambat pelaksanaan pembangunan, merugikan ekonomi dan
mengabaikan moral, oleh karena itu harus segera diberantas.2
Untuk mencegah terjadinya tindakan penyelewengan bagi penyelenggara negara
telah ada instrumen-instrumen hukum yang berfungsi mencegah dan mengontrol sekaligus
mengancam apabila melakukan tindakan melawan hukum. Intrumen-instrumen hukum itu
antara lain Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (UUPTPK) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Namun, keberadaan
instrumen hukum ini ternyata belum efektif membuat seseorang “mengurungkan” niatnya
untuk tidak melakukan perbuatan melawan hukum.
Sejak era reformasi, banyak peraturan perundang-undangan dan yang diterbitkan dalam
upaya mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi demikian pula pembentukan
lembaga-lembaga yang dapat mendukung optimalisasi pemberantasan tindak pidana
korupsi namun instrumen dan perangkat hukum yang ada tersebut belum cukup ampuh
atau efektif menekan niat dan perilaku menyimpang para penyelenggara negara untuk tidak
melakukan tindakan melawan hukum.
Kemampuan peraturan perundang-undangan dan lembaga negara serta aparat penegak
hukum dalam upaya mencegah niat penyelenggara negara untuk melakukan tindak pidana
korupsi merupakan hal yang mendasar dan memiliki kompleksitas yang cukup tinggi
karena berkaitan langsung dengan manusia yang disatu sisi pembuat aturan tetapi disisi
lain pelanggar aturan.
Berlakunya UU PTPK dan pembentukan lembaga-lembaga dalam rangka pemberantasan
tindak pidana korupsi ternyata belum cukup untuk mencegah dan menanggulangi tindak
pidana korupsi di Indonesia. Pasca pembentukan dan perubahan UU PTPK tindak pidana
korupsi ternyata tetap terjadi di Indonesia.
Pembicaraan mengenai pemberantasan korupsi pada dasarnya terkait erat dengan tiga
hal yaitu substansi hukum, sutruktur hukum dan kultur hukum. Tanpa sinergitas antara
1 Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 mengatur (1) Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebelum dilakukannya amandemen UUD NRI 1945, ketentuan ini tidak dicantumkan dalam batang tubuh UUD NRI
1945 karena sebelumnya Pasal 1 UUD NRI 1945 hanya terdiri dari 2 pasal yaitu (1) Negara Indonesia
ialah Negara kesatuan yang berbentuk Republik dan (2) Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.
2 ST. Harun Pudjiarto. 1994. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, RajaGrafindo : Jakarta. Hlm. 4-5.
372
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
ketiganya maka penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi akan mustahil untuk
dilaksanakan. Dalam kenyataan yang ada saat ini ketiga hal ini masih berjalan pada
kesimpangsiuran yang menimbulkan ketidakpastian.
Kesulitan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi saat ini disebabkan pula oleh
faktor aparat penyelenggara negara. Lembaga-Lembaga vertikal, (Polisi, Peradilan,
Pajak, Imigrasi, Bea Cukai, Militer dll), masih dipersepsikan sangat korup. Menurut
versi Transparansi Indonesia, bahwa lembaga peradilan merupakan lembaga paling tinggi
tingkat inisiatif meminta suap (100%), disusul Bea Cukai (95%), Imigasi (90%) BPN
(84%), Polisi (78%) dan Pajak (76%).3
Beberapa fakta yang cukup agak mengejutkan publik adalah ternyata perbuatan
melawan hukum ini tidak saja dilakukan oleh pejabat-pejabat teknis dan pimpinan di
daerah–daerah, tetapi juga sampai kepada pejabat-pejabat tinggi negara lintas kementerian
dan lembaga negara. Tindakan tersebut dilakukan juga oleh anggota lembaga legislatif
(DPR) yang merupakan representasi rakyat dan dihormati karena dianggap dapat dipercaya
membawakan dan memperjuangkan aspirasi masyarakat. Namun dalam kenyataannya
mereka pun banyak yang tidak konsisten dan dengan begitu mudahnya mengingkari
kepercayaan konstituennya dan turut serta baik secara perorangan maupun secara bersamasama melakukan tindakan melawan hukum yang merugikan negara. Tindakan melawan
hukum oleh anggota lembaga legislatif ini tidak saja terjadi di tingkat pusat tetapi sampai
di daerah-daerah.
Beberapa dugaan korupsi yang terjadi di beberapa lembaga negara antara lain
dugaan korupsi terhadap majelis hakim Pengadilan Negeri Solo yang memberikan Vonis
bebas kepada sembilan terdakwa korupsi. Majelis hakim dalam memberikan vonis bebas
terhadap terdakwa kasus korupsi dengan mengalihkan pertanggungjawaban pidana ke
ranah administratif. Dalam hal tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) terbukti, majelis
hakim berdalih bahwa terdakwa kasus korupsi dapat dibebaskan karena perbuatannya
bukan merupakan tindak pidana, misalnya dalam kasus dugaan korupsi pengadaan alat
medis Kabupaten Banjarnegara tahun 2006 dengan terdakwa Direktur PT Dharma Mulia
Multi Farma Semarang dan Ary Gunawan, kepala Seksi Sarana dan Tenaga Kesehatan
Kabupaten Banjarnegara sebesar Rp 2,9 miliar,4 kasus korupsi Mantan Wakil Bupati
Karanganyar Sri Sadoyo Hardjomigoeno Suparno dan mantan Ketua DPRD Karanganyar
Suparno yang merupakan terdakwa kasus dugaan korupsi APBD 2001-2006 sebesar
Rp2,9 miliar.5
Putusan bebeas dapat pula dilihat dalam dalam kasus dugaan korupsi APBD 2003
sebesar Rp 4,2 miliar oleh sembilan anggota DPRD Solo, kasus korupsi pembangunan
sarana dan prasarana lapangan Sorogenen, dan kasus korupsi oledh Kepala Bidang
Pendidikan Luar Sekolah Pekalongan, serta Bendahara BLK Mungkid Magelang dalam
dugaan korupsi dana bantuan revitalisasi gedung BLK Tempuran, Magelang, dugaan
korupsi terhadap pakar hukum pidana Universitas Padjajaran pada tahun 2008 yang
diduga terjerat dalam kasus korupsi Departemen Hukum dan HAM.6
3 Hasil Survey Lembaga Transparansi Internasional (TI) tahun 2010 yang dimuat dalam situs: http://www.
hukumonline.com/klinik/detail/lt4cc69e823d092/beda-kewenangan-kpk,-kepolisian-dan-kejaksaan-selaku-penyelidik-dan-penyidik.
4 Dalam Putusan Pengadilan Negeri Banjarnegara No. 233/Pid.B/2008/PN. Bjn tanggal 9 Juli 2009 jo
Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Tengah No. 497/PID/2009/PT.Smg tanggal 19 Januari 2010 jo Putusan
Mahkamah Agung RI No. 1003 K/PID SUS/2010 tanggal 20 Januari 2011. Dalam perkara ini direktur
PT Dharma Mulia Multi Farma Semarang dinyatakan bebas dari segala tuntutan sedangkan Ary Gunawan diputus bersalah dan melakukan tindak pidana korupsi.
5 Antara news.com. 25 Terdakwa Kasus Korupsi Mendapat Vonis Bebas Jumat, 15 Januari 2010 05:00
WIB | http://www.antaranews.com/berita/1263506437/25-terdakwa-kasus-korupsi-mendapat-vonis-bebas
6Kompas.com, 25 Terdakwa Korupsi Miliaran Rupiah Divonis Bebas. 14-01-10, 11:02 PM. http://forum.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
373
Putusan bebas terhadap terdakwa dalam dugaan tindak pidana korupsi terjadi pula
di Provinsi Sulawesi Utara antara lain dalam kasus putusan bebas terhadap terdakwa
Recky Pontoh pada tanggal 6 Oktober 2010.7 Kenyataan ini menunjukan bahwa aparat
penegak hukum dalam pelaksanaan tugas-tugas kerap kali mengesampingkan rasa keadilan
masyarakat dengan hanya mengutamakan kepastian hukum dalam proses penanganan
tindak pidana korupsi.
Terkait dengan penegakan hukum Satjipto Rahardjo8 mengemukakan bahwa pada
hakikatnya penegakan hukum mengandung nilai substansial yaitu keadilan dan penegakan
hukum bertolak dari pilar utamanya yaitu determinasi dan komitmen kuat dari sub sistem
yang terkait dengan penegakan hukum. Penegakan hukum bukan hanya kecerdasan
intelektual akan tetapi juga merupakan kecerdasan spiritual. Dengan kata lain, penegakan
hukum harus dilakukan dengan penuh determinasi, empati, dedikasi, komitmen serta
keberanian dengan didukung oleh substansi hukum yang ideal dan masyarakat yang
kooperatif.
RUMUSAN MASALAH
Dari uraian di atas, penulis mengidentifikasi permasalahan yang kemudian dirumuskan dalam rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana ruang lingkup Tindak Pidana Korupsi dalam sistem hukum Indonesia?
2. Bagaimana keterkaitan integritas Penyelenggara Negara dan Pemberantasan
Korupsi?
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif yaitu metode yang meneliti status kelompok manusia, suatu objek dan sebuah kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu
peristiwa dimasa sekarang. Adapun tujuan penelitian deskriptif adalah memberikan sebuah gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta, sifat dan hubungan
antara fenomena yang diteliti.
Alasan penggunaan metode deskriptif ini juga karena dalam rangka pencarian fakta
dan interpretasi yang tepat, mempelajari masalah-masalah masyarakat, serta tata cara berlaku dalam masyarakat dan situasi tertentu, termasuk sikap, pandangan serta prosses berlangsungnya sesuatu.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Ruang Lingkup Tindak Pidana Korupsi
Kata korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio atau corruptus yang kemudian diadopsi dalam banyak bahasa antara lain bahasa Inggris yaitu kata corruption, bahasa Belanda yaitu corruptive dan bahasa Prancis yaitu corrupt. Kata korupsi yang digunakan di
Indonesia berasal kata corruptive dalam bahasa Belanda.9 Dalam bahasa Indonesia, secara
kompas.com/nasional/27245-25-terdakwa-korupsi-miliaran-rupiah-divonis-bebas.html
7 Pontoh di Putus bebas, dimuat dalam http://www.pacifictv.tv/minahasa/1704-pontoh-di-putus-bebas.
html).
8 Satjipto Rahardjo. 2009. Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis. Genta Publishing : Jakarta Hlm.
3-7.
9 Andi Hamzah. 2009. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional.Edisi
Kelima. RajaGrafindo Persada: Jakarta. Hlm. Halaman 4
374
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
harfiah tindak pidana korupsi berasal dari kata “tindak pidana” dan kata “korupsi”.10
Pandangan lain tentang istilah korupsi dikemukakan oleh Lilik Mulyadi bahwa tindak pidana merupakan istilah teknis-yuridis dari bahasa Belanda “Strafbaar Feit” atau
“delict” dengan pengertian sebagai sebuah perbuatan yang dilarang oleh peraturan hukum
dan tentu saja dikenakan sanksi pidana bagi siapa saja yang melanggarnya. Istilah korupsi
berasal dari bahasa Latin Corruptie. Corruptie berasal dari kata corrumpore yang berarti
merusak.11
Asal kata korupsi berasal dari kata corrumpere. Dari bahasa latin inilah kemudian
diterima oleh banyak bahasa di Eropa, seperti: dalam bahasa Inggris menjadi corrupti
on atau corrupt, sedangkan dalam bahasa Belanda, menjadi corruptie. Arti harfiah dari
korupsi adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, tidak bermoral, penyimpangan arti dari kesucian, dapat disuap. Korupsi adalah perbuatan yang buruk seperti
penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya.12
Dalam Ensiklopedia Grote Winkler Prins, disebutkan bahwa korupsi dipersamakan
dengan penyuapan sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah berikut ini:13
Corruptio=omkoping, noemt men het verschijnsel dat ambrenaren of andere
personen in dienst der openbare zaak (zie echter hieronder voor zogenaamd niet
ambtelijk zaak (zie echter hieronder voor zogenaamd niet ambtelijk corruptie ) sicht
laten omkopen.
Sampai dengan dekade 70 an, penelitian mengenai korupsi belum banyak dilakukan,
hal ini diakui oleh Gunnar Myrdal,14 “Although corruption is very much issue in the public
debate in all South Asian countries..., it is almost taboo as a research loyic and is rarely mentioned in scholarly discussions of the problems of government asld planning”. Barulah pada dekade 90an bermunculan penelitian empirik yang berkaitan dengan korupsi.
Mauro menganalisa satu set data terbaru yang berisi indek subjektif korupsi, besarnya
red tape, efisiensi sistem hukum, dan berbagai kategori stabilitas politik negara-negara secara cross section. Menurut analisanya, korupsi terbukti menurunkan investasi, oleh karena itu menurunkan pertumbuhan ekonomi. Hasilnya adalah kuat mengontrol endogenitas
dengan mempergunakan index ethnolinguistic fractionalization sebagai instrumen.15
Baharuddin Lopa,16 mengemukakan korupsi berdasarkan sifatnya dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) bentuk, yakni:
a) Korupsi yang Bermotif Terselebung yakni korupsi yang secara sepintas kelihatannya bermotif politik, tetapi secara tersembunyi sesungguhnya bermotif
mendapatkan uang semata.
b) Korupsi yang Bermotif Ganda yaitu seorang melakukan korupsi secara lahiriah
kelihatannya hanya bermotifkan mendapatkan uang, tetapi sesungguhnya bermotif lain, yakni kepentingan politik.
Berbagai definisi yang menjelaskan dan menjabarkan makna korupsi dapat kita temui.
Dengan penekanan pada studi masing-masing individu maka korupsi menjadi bermakna
luas dan tidak hanya dari satu perspektif saja. Setiap orang bebas memaknai korupsi .
10 Kamus Hukum.Fockema Andreae. 1983. Bina Cipta: Bandung huruf c
11Lilik Mulyadi. 2000. Tindak Pidana Korupsi, Tinjauan Khusus Terhadap Proses Penyidikan, Penuntutan, Peradilan serta Upaya Hukumnya Menurut Undang-Undang No. 31 Tahun 1999. Citra Aditya
Bhakti: Bandung. Hlm. 15
12 Poerwadarminta. 1999. Kamus Bahasa Indonesia. Balai Pustaka: Jakarta. Hlm. 543
13 Andi Hamzah. 2009. Op.cit. Hlm. 5
14 Laurence Busse. 1996. The Perception of Corruption: A market Discipline Corruption Model (MDCM)
Goizueta Business School, Emory University, Atlanta, Georgia U.S.A. Hlm. 65
15 Ibid.
16 Baharuddin Lopa. 1983. Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum. LP3S: Jakarta.Hlm. 34
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
375
Namun satu kata kunci yang bisa menyatukan berbagai macam def inisi itu adalah bahwa
korupsi adalah perbuatan tercela dan harus diberantas.
Secara yuridis, pengertian korupsi diuraikan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menggantikan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1971, memberikan beberapa pengertian tindak pidana korupsi sebagai
berikut:
a) Pasal 2 menyatakan, “setiap orang yang secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara.”
b) Pasal 3 menyatakan, “setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan,
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan atau sarana yang
ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian Negara.”
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
menetukan bahwa korupsi adalah:
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonornian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Unsur-unsur pada pasal tersebut adalah:
a) setiap orang
b) Yang secara melawan hukum
c) Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
d) Yang dapat merugikan neuangan negara.
Keterkaitan Integritas Penyelenggara Negara dan Pemberantasan Korupsi
Penyelenggara negara mempunyai peran penting dalam mewujudkan cita-cita perjuangan bangsa. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945
yang menyatakan bahwa yang sangat penting dalam pemerintahan dan dalam hal hidupnya
negara adalah semangat para penyelenggara negara dan pemimpin pemerintahan.
Dalam rangka penyelamatan dan normalisasi kehidupan nasional sesuai tuntutan reformasi diperlukan kesamaan visi, persepsi, dan misi dari seluruh penyelenggara negara
dan masyarakat. Kesamaan visi, persepsi, dan misi tersebut harus sejalan dengan tuntutan
hati nurani rakyat yang menghendaki terwujudnya penyelenggara negara yang mampu
menjalankan tugas dan fungsinya, yang dilaksanakan secara efektif, efisien, bebas dari
korupsi, kolusi, dan nepotisme.17
Dalam rangka menciptakan penyelenggara negara yang bebas dari korupsi, kolusi, dan
nepotisme maka dibentuk Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang memuat tentang ketentuan yang
berkaitan langsung atau tidak langsung dengan penegakan hukum terhadap tindak pidana
korupsi, kolusi dan nepotisme yang khusus ditujukan kepada para penyelenggara negara
dan pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan
negara sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
17 Penjelasan Umum Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas dari
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
376
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
Undang-undang tersebut merupakan bagian atau subsistem dari peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan penegakan hukum terhadap perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sasaran pokok undang-undang ini adalah para penyelenggara negara
yang meliputi pejabat negara pada lembaga tertinggi negara, pejabat negara pada lembaga
tinggi negara, menteri, gubernur, hakim, pejabat negara, dan atau pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyeienggaraan negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi,
kolusi dan nepotisme, dalam undang-undang ini ditetapkan asas-asas umum penyelenggaraan negara yang meliputi asas kepastian hukum, asas tertib penyeienggaraan negara,
asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas, dan
asas akuntabilitas.
Pengaturan tentang peren serta masyarakat dalam undang-undang ini dimaksud untuk
memberdayakan masyarakat dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan negara yang
bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dengan hak dan kewajiban yang
dimiliki masyarakat diharapkan dapat lebih bergairah melaksanakan kontrol sosial secara
optimal terhadap penyelenggaraan negara dengan tetap mnenaati rambu-rambu hukum
yang berlaku.
Untuk dapat mencapai sasaran secara efektif maka diatur pembentukan Komisi
Pemeriksa yang bertugas dan berwenang melakukan pemeriksaan harta kekayaan pejabat
negara sebelum, selama, dan setelah menjabat, termasuk meminta keterangan baik dari
mantan pejabat negara, keluarga dan kroninya, maupun para pengusaha, dengan tetap
memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak asasi manusia. Susunan keanggotaan Komisi Pemeriksa terdiri atas unsur Pemerintah dan masyarakat mencerminkan
independensi atau kemandirian dari lembaga ini.
Undang-undang ini mengatur pula kewajiban para Penyelenggara Negara, antara
lain mengumumkan dan melaporkan harta kekayaannya sebelum dan setelah menjabat.
Ketentuan tentang sanksi dalam undang-undang ini berlaku bagi penyelenggara negara,
masyarakat, dan Komisi Pemeriksa sebagai upaya prefentif dan represif serta berfungsi sebagai jaminan atas ditaatinya ketentuan tentang asas-asas urnum penyelenggaraan
negara, hak, dan kewajiban penyelenggara negara, dan ketentuan lainnya sehingga dapat
diharapkan memperkuat norma kelembagaan, moralitas individu dan sosial.
Penyelenggara negara dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 adalah pejabat
negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang
fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pembicaraan tentang penyelenggara negara dalam pandangan peneliti merupakan
pembicaraa mengenai personal dan kelembagaan. Individu dan lembaga merupakan dua
bagian yang tidak terpisahkan. Kapaitas individu akan menentukan kualitas kelembagaan
demikian pula sebaliknya kualitas sebuah lembaga akan ikut menentukan kapasitas individu yang menjadi bagiannya.
Korupsi sebagai sebuah tindak pidana melekat pada personal atau individu bukan
pada lembaga namun demikian pembahasan mengenai individu dan kelembagaan tidak
bisa dipisahkan dalam membahas masalah korupsi. Selanjutnya untuk lingkup yang lebih
besar maka individu dan lembaga akan menjadi pembahasan tidak terpisahkan dengan
lingkungan territorial atau wilayah. Jadi, tingginya angka korupsi di suatu wilayah akan
selalu berkaitan erat dengan kinerja lembaga dan kapasitas individu dari lembaga tersebut.
Dalam pembahasan mengenai integritas penyelenggara negara dengan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia, peneliti menggunakan pijakan berpikir pada
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
377
teori integritas dalam sosiologi. George Ritzer dan Douglas J. Goodman,18 mengemukakan
ada dua bentuk integrasi yaitu pertama, teori mikro dan makro yang berupaya mengintegrasikan berbagai teori mikro dan makro, dan kedua, teori yang mengkombinasikan kedua
level analisis tersebut sekaligus.
Lebih lanjut, George Ritzer dan Douglas J. Goodman menyebut ada empat bentuk
pendekatan dalam upaya mengintegrasikan mikro-makro, yakni:19 1) perumusan paradigma sosiologi terpadu, 2) sosiologi dengan paradigma yang multi dimensi, 3) pengembangan satu model dari mikro ke makro, dan 3) integrasi melalui basis mikro untuk memahami
sisi makro. Pada pendekatan paradigma sosiologi terpadu, George Ritzer dan Douglas J.
Goodman melihat upaya mengkombinasikan mikro dan maro melalui dua aspek berbeda,
yakni 1) dari level mikro dan makro, dan 2) dari sisi objektif dan subjektif. Kedua aspek
ini melahirkan empat dimensi yaitu makro-objektif, makro-subjektif, mikro-objektif, dan
mikro-subjektif. Seluruh fenomena sosial mikro dan makro adalah juga fenomena objektif
atau subjektif.20
Olehnya itu, hubungan antara persoalan personal tingkat mikro dan publik tingkat
makro digunakan untuk menganalisis dunia sosial dengan tidak memprioritaskan salah
satu tingkat, namun menegaskan perlunya dipelajari hubungan dialektika di antara dimensi tersebut.21
Tokoh lainnya yang memberikan pandangan tentang teori integrasi adalah J. Alexander yang menggunakan cara berfikir Ritzer namun tidak meniru analisanya. Alexander
tidak memberi penekanan pada mikro-makro, tapi pada masalah keteraturan. Levelnya bukan mikro atau makro, tapi individual dan kolektif. Ia memfokuskan pada tindakan (action)
yang bergerak dari materialis ke idealis.22 Alexander lebih menekankan di level makro. Ia
merasa bahwa fenomena kolektif tak dapat diterangkan melalui penjelasan bagaimana di
level mikro.
Pandangan berbeda dikemukakan oleh James Coleman, yang telah berupaya mengaplikasikan teori pilihan rasional yang berada di level mikro ke fenomena makro dengan
berbasiskan teori Max Weber tentang Etika Protestan, dan Coleman pun membangun sebuah model integratif. Menurutnya, kedua level ini berhubungan secara kausalitas. Konsep
model dari mikro ke makro dari Coleman memusatkan perhatian pada masalah hubungan
dari mikro ke makro dan mengurangi arti penting masalah hubungan dari makro ke mikro.
Coleman menjelaskan baik itu masalah dari makro ke mikro maupun masalah mikro ke
makro, namun penekanannya tetap pada relasi dari mikro ke makro.23
Pandangan berikutnya tentang integrasi dikemukakan oleh Randall Collins yang memfokuskan pada interaksi dalam rantai, yang berkait satu sama lain dan menghasilkan suatu
skala yang yang lebih besar. Berbeda dengan Alexander yang lebih kuat berada di sisi
makro, Collins berada di sisi mikro. Collins mengemukakan pandangannya bahwa seluruh
fenomena makro dapat ditafsirkan sebagai kombinasi dari kejadian mikro. Struktur sosial
dapat ditafsirkan secara empiris menjadi pola interaksi mikro yang berulang-ulang.24
Dalam perkembangan sosiologi terkait dengan teori interaksi, sebuah pandangan postmodernisme dikemukakan oleh Anthony Giddens yang dikenal dengan Teori Strukturasi.
Ia berpendapat bahwa struktur dan agensi adalah dua hal berbeda namun merupakan kesatuan (dualitas), di mana tidak dapat mempelajarinya terpisah satu sama lain. Manu18 George Ritzer dan Douglas J. Goodman. 2007. Teori Sosiologi Moderen (Terj. Alihmandan). Kencana :
Jakarta. Hlm. 154
19 Ibid. Hlm. 155-156
20 Ibid.
21 Ibid. Hlm. 158
22 Ibid. Hlm. 361
23 Ibid. Hlm. 374
24 Ibid. Hlm. 485
378
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
sia melalui aktivitasnya dapat menciptakan kesadaran sekaligus kondisi terstruktur (the
structural conditions) sehingga aktivitas semua orang dapat berlangsung. Tidak mungkin
terjadi agensi tanpa struktur, demikian pula sebaliknya, tidak akan tercipta struktur yang
saling tergantung jika tidak diciptakan individu.25
Konsep pokok dari teori strukturasi terletak pada pemikiran tentang struktur sistem,
dan sifat rangkap dari struktur. Struktur bukanlah realitas yang berada di luar pelaku, namun ia adalah aturan dan sumber daya (rules and resources) yang mewujud pada saat
diaktifkan oleh pelaku dalam suatu praktik sosial.
Dari uraian di atas terlihat bahwa dalam setiap bentuk pemberantasan tindak pidana
korupsi baik pada bentuk pencegahan maupun penindakan penegakan hukum) peran
aparat penyelenggara negara sangat dibutuhkan. Dalam bentuk pencegahan peran aparat
pemerintah sebagai birokrasi, DPRD sebagai wakil rakyat , akademisi sebagai kaum
intelektual pembentuk karakter generasi muda, sangat penting dalampemberantasan
korupsi. Namun dalam kenyataannya, tindak pidana korupsi justru terjadi dilingkungan
penyelenggara negara. Hal ini merupakan suatu fenomena yang perlu dicermati sebagai
suatu kenyataan sosial yang memperlihatkan sebuah hubungan antara penyelenggara
negara dengan tindak pidana korupsi.
Tindak pidana korupsi pada cabang-cabang kekuasaan negara terjadi bukan hanya
di Indonesia seperti pandangan Daniel Kaufmann and Paul Siegelbaun,26 bahwa tindak
pidana korupsi di semua negara terjadi pada cabang-cabang kekuasaan negara sebagaimana
dikutip sebagai berikut:
a) In the executive branch of government, the most common picture is that of a
public official accepting or soliciting a bribe for the performance or non-performance of an action associated with his or her office. Bribery, in the form
of “facilitation” payments, kick-backs, expensive gifts, etc. are at the center of
“grand corruption” that may involve the privatization of large state assets, massive procurement contracts and the like to “petty corruption” that involves routine speed money, small bribes, etc. Usually, these types of corrupt practices are
identified and prohibited by criminal statutes with corresponding sanctions. They
also emerge at the interface of private and public sectors, as companies seek to
either purchase state assets below market price or to deliver their line of business through contracts.
b) corrupt acts are practiced within the administrative domain. These include such
behaviour as nepotism and cronyism based on a “spoils system,” resulting from
a pervasive politicization of the bureaucracy; ghost workers on public payroll;
purchase of public offices; collection of unauthorized fees, falsification or the destruction of records; arbitrary administrative action and bending or circumventing established regulations. Thus, rather than the bureaucracy serving the public
interest, the bureaucracy itself becomes an instrument for propagating the political interests of the leadership, its own self-interest, or the personal interests of
those within it. These types of acts are generally prohibited by civil service and
administrative procedures acts and regulations with administrative sanctions.
In addition, some of these practices are also covered by the criminal statutes.
Corrupt administrative practices, then emerge at the interface of the political
leadership and the supposedly-neutral and professional public administration.
c) Corrupt practices also manifest themselves in the legislative branch in many
countries. Campaign financing has come under increasing scrutiny, especially
25 Ibid. Hlm. 507
26 Daniel Kaufmann and Paul Siegelbaun, Combating Corruption for Devolopment, the rule of law, Transparancy and Accontability. 2002, Hlm. 2
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
379
unregulated “soft” donations in developed countries, as they are seen as an investment to influence future decision-making in the event that a party becomes
elected. During elections, fraud and vote rigging also undermine democratic
principles and the legitimacy of outcomes. Once in office, many elected officials
become involved in influence-peddling, trying to obtain decisions to favour their
own interests or those of the organizations with which or individuals with whom
they are affiliated. The outcomes of these kinds of acts result in ethnic or regional
favouritism, “boss” or “machine” politics, etc. Apart from laws regulating elections, it is more difficult to achieve a consensus around the prohibitions and sanctions against these types of activities. There are ethics legislations and conflict-ofinterest policies that cover them. These types of corrupt acts occur at the interface
between political parties or their membership and the private sector as well as
various interest groups or influential individuals.
d) Corruption is particularly pernicious in the judiciary, an institution that is supposed to uphold the rule of law. In some cases, judges extract bribes not only for
delivering a verdict in a predetermined way but even for merely hearing a case.
Lower order court clerks can also solicit bribes for producing or hiding certain
information that is crucial to cases. The independence of the judiciary itself can
be undermined by the executive branch influencing the appointment and promotion of judges. In such situations, judges are pressured to reach verdicts not based
on justice but on political expediencies.
Pandangan yang dikemukakan oleh Daniel Kaufmann and Paul Siegelbaun di atas
menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi justru terjadi pada penyelenggara negara baik
eksekutif, legislatif, akademisi bahkan aparat penegak hukum. Dalam pandangannya
korupsi hanya bisa terjadi apabila seseorang atau pihak tertentu mempunyai hak monopoli
atas urusan tertentu serta ditunjang oleh diskresi atau keleluasaan dalam menggunakan
kekuasaannya, sehingga cenderung menyalahgunakannya, namun lemah dalam hal
pertanggung jawaban kepada publik (akuntabilitas).
Korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara negara mendapat perhatian dan penekanan tersendiri karena pada kasus korupsi, penyelenggara negara memiliki peranan ganda
yaitu sebagai pelaku dan pemberantas korupsi itu sendiri.
Mendasarkan kembali persoalan pemberantasan korupsi pada teori struktural yang
dikemukakan oleh Anthony Giddens,27 bahwa struktur dan agensi adalah dua hal berbeda
namun merupakan kesatuan (dualitas) struktur tidak hanya mengekang (constraining) atau
membatasi apa yang dapat dijalankan pelaku, melainkan juga memberi kemungkinan (enabling) terjadinya praktik sosial maka keterkaitan antara integritas penyelenggara negara
dalam pemberantasan korupsi adalah sebagai berikut:
Tindak pidana korupsi sebagai kenyataan
Lembaga penyelenggara negara sebagai structure
Aparat penyelenggara negara sebagai agency
Tindak pidana korupsi sebagai sebuah kenyataan yang dilakukan oleh aparat penyelenggara negara merupakan suatu interaksi yang terjadi dalam hubungan antara individu
dengan individu baik di dalam lembaga tersebut maupun dengan pihak lain di luar lembaga
tersebut di mana struktur yang ada tidak menciptakan sebuah kondisi yang dapat membatasi atau mengekang prilaku individu.
Dalam upaya pemberantasan korupsi yang melibatkan aparat penyelenggara Negara
baik dalam pencegahan maupun penindakan dibutuhkan integritas dari penyelenggara
negara baik kelembagaan maupun personal. Secara kelembagaan dengan membuat sebuah
27 Ibid.
380
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
sistem yang handal dan integritas personal dalam melaksanakan tugas dan kewajiban dengan mengacu pada asas-asas pemerintahan yang layak antara lain yang dimuat dalam Undang-undang No. 28 Tahun 1999 yaitu asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggara
negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas, asas akuntabilitas, asas efisiensi dan asas efektivitas.
PENUTUP
Kesimpulan
Integritas penyelenggara negara didasari pada kesadaran hukum dari aparat
penyelenggara negara yang kemudian akan membentuk kesadaran hukum secara kolektif
pada lembaga penyelenggara negara. Kesadaran hukum ini melekat pada prilaku dan bukan
pada hukum sebagai aturan.
Saran
Kesadaran hukum akan memberikan pengaruh pada ketaatan hukum aparat
penyelenggara negara yang membentuk ketaatan kolektif lembaga penyelenggara negara
sehingga integritas aparat penyelenggara negara sebagai refleksi kesadaran dan ketaatan
hukum penyelenggara Negara secara personal dan kelembagaan akan mewujudkan
efektivitas dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
381
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Ali. 2005. Keterpurukan Hukum di Indonesia. (Penyebab dan Solusinya). Penerbit
Ghalia Indonesia: Bogor
__________. 2009. Menguak Teori Hukum (legal Theory) dan teori keadilan (Judicial
Jurisprudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprodence). Kenacana.
Jakarta.
Andi Hamzah. 2009. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasional. Edisi Kelima. RajaGrafindo Persada: Jakarta
Baharuddin Lopa. 1983. Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum. LP3S: Jakarta.
George Ritzer- Douglas J. Goodman. 2007. Teori Sosiologi Modern (terj. Oleh Alimandan).
Kencana: Jakarta.
Laurence Busse. 1996. The Perception of Corruption: A market Discipline Corruption
Model (MDCM) . Goizueta Business School, Emory University, Atlanta, Georgia
U.S.A.
Lilik Mulyadi. 2000. Tindak Pidana Korupsi, Tinjauan Khusus Terhadap Proses Penyidikan,
Penuntutan, Peradilan serta Upaya Hukumnya Menurut Undang-Undang No. 31
Tahun 1999. Citra Aditya Bhakti: Bandung.
Poerwadarminta. 1999. Kamus Bahasa Indonesia. Balai Pustaka: Jakarta.
Pormadi Simbolon. 2011. Conscientization Integritas Diri. Sekolah Tinggi Filsafat: Malang.
Satjipto Rahardjo. 2009. Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis. Genta Publishing:
Jakarta
382
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
Biodata Penulis
Fakriansa, S.H., M.Kn.
Lahir di Fak-fak, 5 Desember 1974. Meraih gelar Sarjana Hukum pada Universitas
Cenderawasih, Jayapura, Papua tahun 2003. Pada tahun 2011, penulis menamatkan
studi Magister Kenotariatan (M.Kn) pada Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
Syamsuddin Muchtar, S.H., M.H.
Lahir di Beutang, Polewali Mandar, 24 Oktober 1963. Menyelesaikan studi S-1 Ilmu
Hukum di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin tahun 1987. Gelar Magister Ilmu
Hukum diperoleh pada Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin tahun 2002.
Selain sebagai Dosen Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, penulis
juga menjabat sebagai Sekretaris pada Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unhas
periode 2004-2008 dan periode 2008-2012. Adapun beberapa karya ilmiah yang pernah dihasilkan, diantaranya: “Pola Pembaharuan Hukum Pidana (Pemikiran tentang Eksistensi Undang-Undang Pengadilan Anak dalam Mengantisipasi Berlakunya KUHP Baru)” diterbitkan oleh Jurnal Ilmu Hukum Amannagappa Desember
2004; “Asas-Asas Hukum Pidana Inggris dan Perbandingannya dengan Asas Hukum
Pidana Indonesia” diterbitkan oleh Jurnal Ilmu Hukum Amannagappa Maret 2008.
Tuan Afero Harahap, S.H., M.H.
Lahir di Kendari, 21 Mei 1984. Saat ini adalah staf pengajar pada Fakultas Hukum
Universitas Ichsan Gorontalo. Memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Negeri Haluoleo, Kendari tahun 2008. Penulis menyelesaikan program Magister Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin,
Makassar, pada tahun 2011.
Dr. Wiwie Heryani, S.H., M.H.
Lahir di Makassar, 25 Januari 1968. Menyelesaikan program studi Ilmu Hukum (S-1)
pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (1994). Memperoleh gelar Magister
Ilmu Hukum (S-2) pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin di tahun 2002. Kemudian penulis menyelesaikan studi Doktor Ilmu Hukum (S3) pada PPs Universitas
Hasanuddin di tahun 2008. Saat ini, selain aktif sebagai staf pengajar pada program
S-1 dan S-2, penulis juga menjabat sebagai Sekretaris pada Bagian Hukum Masyarakat dan Pembangunan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
Aswiwin Sirua, S.H., M.H.
Lahir di Makassar, 21 Februari 1980. Menamatkan pendidikan Sarjana Hukum (SH)
di Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia (2003), dan Master Hukum (MH)
pada program Pascasarjana Universitas Hasanuddin (2010). Kini sedang menempuh
Program Doktor Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
Saat ini, penulis aktif sebagai staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Timur (UIT) Makassar.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
383
Biodata Penulis
Laode Abdul Gani, S.H., M.H.
Lahir di Raha, 31 Desember 1958. Penulis adalah Dosen pada bagian Hukum
Internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Pendidikan S-1 diperoleh
dari Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (1985), dan menyelesaikan program
studi S-2 pada Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung. Saat ini penulis
sedang dalam proses penyelesaian program studi Doktor Ilmu Hukum (S-3) pada
PPs Universitas Hasanuddin.
J. Victor Mailangkay, S.H., M.H.
Lahir di Makassar, 20 September 1957. Menamatkan studi S-1 dan S-2 pada
Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi, Manado. Saat ini, selain kembali
menempuh studi lanjutan pada program Doktor Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, penulis juga menjabat sebagai Ketua Badan
Legislasi DPRD Provinsi Sulawesi Utara Periode 2009-2014.
Grubert Taalungan Ughude, S.H., M.H.
Lahir di Talaud, 4 September 1970. Penulis adalah anggota Kepolisian Daerah
Sulawesi Utara. Menyelesaikan program studi Ilmu Hukum (S-1) dan Magister
Hukum (S-2) pada Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi, Manado. Dan
saat ini sedang menempuh studi lanjutan studi Doktor Ilmu Hukum pada Program
Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
Drs. Adensi Timomor, S.H., M.Si.
Lahir di Mariri Lama, Bolaang Mongondow, 11 Agustus 1959. Menyelesaikan
Pendidikan S1 di IKIP Manado tahun 1988. Program Magister (S-2) diperoleh
pada Program Pascasarjana Psikologi Sosial Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, tahun 1997. Menamatkan studi Ilmu Hukum (S-1) di Fakultas Hukum UKI
Tomohon Sulawesi Utara, tahun 2007. Saat ini penulis sementara menempuh
Program Doktor Ilmu Hukum pada PPs Universitas Hasanuddin.
384
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
PERSYARATAN PENULISAN
JURNAL PENELITIAN HUKUM
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN
1. Naskah merupakan laporan penelitian orisinal yang dibuat secara mandiri atau
berkelompok dan belum pernah diterbitkan sebelumnya.
2. Isi tulisan harus relevan dengan disiplin ilmu hukum dan ditulis dalam tata bahasa
Indonesia atau bahasa Inggris yang baik dan benar.
3. Sistematika penulisan sedapatnya memuat: Judul (tidak lebih dari 12 kata; Nama Penulis
(tanpa gelar akademik); Abstrak maksimal 100 kata yang dibuat dalam Bahasa Indonesia
dan Bahasa Inggris, yang berisi tujuan, metode dan hasil penelitian, serta kata kunci.
4. Sistematika penulisan terdiri dari: PENDAHULUAN; RUMUSAN MASALAH;
METODE PENELITIAN; HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN; PENUTUP;
serta Daftar Pustaka (tersusun secara alpabetis).
5. Setiap naskah menggunakan teknik pengutipan Footnote.
6. Daftar pustaka atau rujukan sedapatnya bersumber dari jurnal ilmiah lain atau sejenisnya,
dengan kisaran waktu terbit kurang dari 10 tahun terakhir.
7. Penulisan dilakukan dengan aplikasi pengolah kata MS Word dengan menggunakan
Font Times New Roman ukuran 12 dengan jarak spasi 1,5 pada kertas ukuran A4.
8. Jumlah halaman minimal 20 dan maksimal 25 halaman (termasuk daftar pustaka).
Ketentuan margin yaitu: top dan left margin 4 cm, right dan bottom margin 3 cm. Tulisan
diserahkan kepada redaksi berupa satu rangkap print-out dan soft copy dalam bentuk
CD-RW, berisi file tulisan dalam format doc.
9. Penulisan tidak menggunakan pemisahan bab dengan angka. Pembagian antara Judul,
Sub Judul, Sub Anak Judul dilakukan dengan urutan sebagai berikut:
CAPITAL BOLD;
CAPITAL;
Bold;
Bold Italic; dan
Italic.
10.Tabel (jika ada) dbuat dengan model terbuka (tanpa garis vertikal).
11.Penulis melampirkan curriculum vitae singkat yang meliputi nama lengkap, gelar
akademik, tempat dan tanggal lahir, pendidikan terakhir, lembaga tempat bertugas,
jabatan yang dipangku (jika ada) alamat lengkap (lembaga, rumah serta nomor telepon
kantor, rumah dan HP) serta alamat e-mail.
12.Setiap tulisan akan ditelaah oleh mitra bestari dan jika diperlukan, redaksi akan mengirim
kembali tulisan untuk diperbaiki sebelum dimuat. Pengiriman naskah perbaikan
dilakukan melalui e-mail kepada alamat e-mail redaksi.
13.Tulisan yang tidak dimuat dapat diambil kembali pada redaksi.
Jurnal Penelitian Hukum terbit setiap bulan Januari, Mei dan September.
Tulisan dapat diantar langsung atau dikirim ke:
Alamat Redaksi:
JURNAL PENELITIAN HUKUM
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
Jl. Perintis Kemerdekaan KM. 10, Tamalanrea, Makassar, 90245.
Telepon: (0411) 584686 / 0811442470 / 081342439090
e-mail: [email protected]
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
385
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 1 No. 2 Januari 2012
Download