PENDAHULUAN Latar Belakang Tebu (Saccharum

advertisement
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tebu (Saccharum officinarum) merupakan salah satu komoditas tanaman
penghasil gula yang juga memiliki potensi sebagai sumber bahan bakar nabati yang
penting dalam mendukung ketahanan pangan maupun energi terbarukan (Maas et
al., 2009; Riyanti, 2009; Hartemink, 2008). Kebutuhan tebu sat ini terus mengalami
peningkatan, dan diperkirakan akan terus bertambah seiring penambahan penduduk.
Usahatani tebu di Indonesia telah dilakukan sejak zaman penjajahan kolonial HindiaBelanda. Potensi yang dimiliki Indonesia sebagai produsen gula didukung dengan
ketersediaan lahan, tenaga kerja, dan pasar yang cukup menjanjikan (Dirjen Industri
Agro dan Kimia, 2009).
Perkebunan yang ada di Indonesia secara umum hanya mengusahakan satu
jenis tanaman saja pada luasan lahan tertentu. Sistem tersebut disebut dengan
budidaya monokultur. Sistem budidaya monokultur memiliki beberapa kekurangan
antara lain adalah pengurasan unsur hara dalam jumlah yang besar, diversitas fauna
yang terdapat dalam lingkungan produksi rendah, kegagalan panen akibat serangan
hama dan penyakit berisiko tinggi, dan berkurangnya produktivitas lahan (Magarey,
1999). Lahan yang secara terus menerus ditanami tebu secara intensif mengalami
kekahatan unsur hara karena pengurasan dan pelindian. Aktivitas yang dilakukan
manusia dalam budidaya tanaman juga secara langsung maupun tidak menyebabkan
lahan terdegradasi. Lahan yang terdegradasi dapat dikategorikan sebagai lahan yang
mengalami penurunan fungsinya dari kapasitas semestinya untuk dapat berproduksi
secara maksimal. Kondisi tersebut dapat dicirikan dengan rendahnya sifat kimia
maupun fisika tanah (Nurida dan Rachman, 2012)
Budidaya tebu yang dilakukan diluar pulau Jawa banyak dilakukan pada
lahan-lahan marginal dengan berbagai faktor pembatas pertumbuhan tanaman.
Ultisol merupakan salah satu tanah yang banyak dimanfaatkan untuk komoditas
perkebunan, karena memiliki luasan yang besar. Luasan Ultisol hampir mencapai
25% dari total keseluruhan luasan daratan di Indonesia (Prasetyo dan Suriadikarta,
2006; Subagyo et al., 2004). Bahan induk Ultisol dapat berkembang dari batuan
masam maupun basa.
Ultisol daerah tropis secara umum berkembang dari batuan induk masam,
pada daerah dengan curah hujan yang tinggi sehingga memiliki pH yang rendah.
Tanah masam dapat dikategorikan sebagai tanah yang memiliki pH < 5,5 pada
daerah permukaan (von Uexkull dan Mutert, 1995). Permasalahan yang dihadapi
pada tanah masam adalah kelarutan logam berat seperti Al, Fe yang tinggi pada pH
rendah. Ultisol dicirikan dengan adanya horison kandik yang memiliki kapasitas
pertukaran kation sangat rendah < 16 cmol(+) per kg klei(clay) (dengan 1N NH4Oac
pH 7) atau kapasitas pertukaran kation efektif < 12 cmol(+) per kg klei (jumlah basa
terekstraksi dengan 1 N HH4Oac pH 7 ditambah dengan Al terekstraksi dengan 1N
KCl), mengalami penurunan kandungan C-organik dengan penambahan kedalaman,
dan adanya akumulasi klei (horison argilik) pada lapisan bawah, dan berwarna
kemerahan yang disebabkan adanya pelapisan oksida besi pada butir mineral (Soil
Survey Staff, 2014).
Selain didominasi oleh bahan induk yang tidak subur, kondisi regional Ultisol
pada umumnya juga terletak pada daerah yang jauh dari aktivitas gunung berapi.
Aktivitas vulkanisme merupakan salah satu penyumbang alami unsur hara salah
satunya Sulfur. Pada daerah yang tidak terjangkau oleh aktivitas vulkanisme pada
umumnya akan memiliki kesuburan tanah yang rendah. Tingginya curah hujan pada
daerah . Studi pelindian unsur hara pada tanah Ultisol yang dibudidayakan tanaman
tebu telah dilakukan oleh Ghiberto et al. (2015). Pelindian tertinggi unsur hara Ca
termasuk besar yaitu 135,7 kg ha-1 dan Sulfur sebesar 4,6 dan 8,4 kg ha-1. Rendahnya
tingkat kesuburan pada tanah masam disebabkan karena toksisitas Al, toksisitas Mn,
toksisitas Fe (pada kondisi tereduksi), defisiensi P, Ca, Mg, dan K (Von Eexkull dan
Mutert, 1995) .
Penggunaan gipsum pada tanah-tanah masam telah banyak dilaporkan oleh
Sumner (), pada tanah subtropis Oksisol (Blum et al., 2013). Sedangkan penggunaan
kapur pertanian banyak difokuskan sebagai pengkoreksi pH pada tanah-tanah
masam. Pengaruh jangka panjang kapur terhadap kemasaman tanah telah diteliti
oleh Cifu (2004) pada Ultisol subtropis di Zhejiang Tengah, China. Sumber kalsium
sebagai bahan amandemen tanah merupakan kunci dalam keberhasilan untuk
meningkatkan sifat tanah pada tanah – tanah masam (Gomez-Paccard et al. 2013).
Penggunaan kapur dan gipsum juga secara efektif menurunkan kelarutan fosfor
reaktif, sehingga dapat meminimalkan kehilangan fosfor dalam tanah (Murphy dan
Stevens, 2010) .
Pengapuran pada tanah dengan tingkat pelapukan tinggi yang diaplikasikan
pada permukaan tanah mampu meningkatkan Ca2+ pada kompleks pertukaran kation
(Briedls et al., 2012). Jembatan – jembatan kation yang terbentuk dengan adanya
Ca2+ meningkatkan kestabilan agregat tanah dan menjaga cadangan karbon dalam
agregat. Pengapuran yang dilakukan bersamaan dengan pemupukan nitrogen juga
bertujuan untuk meningkatkan hasil produksi tanaman (Caires et al., 2015). Selain
mempengaruhi sifat kimia tanah penggunaan kapur dan gipsum juga memberikan
pengaruh terhadap sifat biologi maupun fisika tanah.
Kriteria untuk menentukan kebutuhan kapur pada tanah dapat ditentukan
berdasarkan pH tanah, kejenuhan basa, kejenuhan Al (Fageria dan Baligar, 2008).
Penentuan dosis yang diberikan sebaiknya tidak hanya didasarkan pada hasil yang
akan dicapaii tetapi juga dampak ekologis dan nilai ekonomis.Perhitungan jumlah
dosis sumber Ca yang diberikan pada umumnya didasarkan pada Aluminium tertukar
(Al-dd) tanah (Hartatik et al., 1993). Penyusunan rekomendasi kebutuhan kapur juga
dapat didasarkan pada nisbah Al:S (Schroeder et al., 1995).
Kemampuan tanah berproduksi secara optimal dapat dipulihkan dengan
adanya penambahan berupa bahan amandemen, amelioran (pembenah tanah),
pupuk. Kapur dan gipsum bersifat multifungsi, banyak tersedia, dan memiliki harga
yang relatif murah sehingga memiliki berbagai keuntungan dalam aplikasinya. Kedua
bahan tersebut diharapkan mampu untuk memperbaiki sifat fisik maupun kimia tanah
pada Ultisol. Amandemen kapur dan gipsum pertanian yang diberikan diharapkan
mampu memperbaiki sifat fisik maupun kimia tanah.
Perumusan Masalah
Apakah dengan penggunaan phosphogipsum dan kapur pertanian mampu
memperbaiki sifat fisik maupun kimia Ultisol dan meningkatkan pertumbuhan,
maupun biomassa tanaman tebu?.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian uji aplikasi pupuk gipsum dan kapur pertanian adalah:
1. Mengetahui pengaruh pemberian pupuk gipsum dan kapur pertanian terhadap
sifat fisik,kimia tanah, serta pertumbuhan tanaman tebu
2. Mengetahui dosis optimal pemberian gipsum dan kapur pertanian untuk
meningkatkan sifat fisik,kimia tanah serta pertumbuhan tanaman tebu.
Download