SENIN, 24 OKTOBER 2011 B12 SEREMONI >> VIHARA MAHA DHARMA Terpencil, tapi Rutin Dikunjungi HARIANDI HAFID (TEMPO) Vihara Maha Dharma hanya mempunyai fungsi spiritual, sehingga bentuknya mengikuti arsitektur lokal. etak Vihara Maha Dharma tampak tersembunyi dan diapit oleh permukiman sekitar di Jalan Pongtiku I, Makassar. Dari luar, bentuk bangunannya tidak mencirikan vihara. Apalagi jika yang melihatnya bukan umat Buddha yang telah mengenal ciri khusus bangunan vihara. Padahal vihara ini menjadi tempat sembahyang semua umat Buddha yang ada di Makassar. “Hampir semua umat Buddha bersembahyang di sini,” kata pemilik Vihara Maha Dharma, Laudy Sentosa Lauw Hing Peng. Tidak seperti vihara lain yang sarat ornamen Buddha dan Tionghoa pada eksteriornya.Vihara yang juga merupakan rumah kediaman Master Liaw, sapaan akrab Laudy Sentosa, ini tidak memiliki patung naga pada atap dan patung simbol singa pada pintu masuk. Bangunannya lebih mirip rumah permu- L kiman biasa dengan pagar tinggi berwarna merah. Menurutnya Liaw, arsitektur kelenteng pada dasarnya lebih banyak menggunakan simbol Tionghoa. Sebab, selain berfungsi sebagai tempat ritual, fungsi lain tempat ini adalah pusat aktivitas masyarakat. Sedangkan vihara mempunyai fungsi spiritual saja, sehingga bentuknya mengikuti arsitektur lokal. Di Makassar, vihara berarsitektur tradisional Tionghoa terdapat di Vihara Dharma Loka di Jalan Lombok. Vihara Maha Dharma dulunya adalah rumah tinggal keluarga. Tempat ini sudah mengalami pemugaran sebanyak tiga kali sejak didirikan pada 1978. Liaw menyebutkan awalnya area sembahyang vihara ini berukuran kecil. Namun, karena banyak umat yang berdatangan dalam waktu bersamaan, akhirnya rumah warga di samping bangunan ini dibeli un- tuk menambah daya tampung area sembahyang.“Kami membeli rumah di belakang dan di samping kanan untuk perluasan.” Pintu masuk yang menghadap ke samping atau sebelah timur membuat tata letak area ritual ini berbentuk huruf L. Saat masuk, para tamu akan menjumpai ruang tunggu yang suasananya mirip ruang tamu pada rumah umumnya. Di dekat kursi tunggu ini terdapat meja Liaw. Sedangkan di bagian dalam terdapat dua altar. Menurur Liaw, meski tempat ini tergolong kecil dan bukan berada di kawasan pecinan, vihara ini dikenal tidak hanya di Makassar, tapi juga sampai Pulau Jawa. Setiap tanggal 1 dan 15 pada penanggalan Cina, vihara ini dipenuhi umat untuk sembahyang. Demikian pula saat peringatan ulang tahun para dewa atau hari perayaan Buddha dan hari kebesaran lainnya. Saat mengunjungi area pemakaman, mereka membakar dupa serta meletakkan makanan dan buah-buahan di depan jirat anggota keluarga. Selain itu, mereka menimbun tanah di sana agar jirat semakin tinggi dan kokoh.Setelah itu,anggota keluarga menjalankan upacara sembahyang kepada nenek moyang dan menuang arak di atas jirat. Di Tiongkok, biasanya musim hujan datang pada hari Qing Ming. Suasana ini dapat menambah rasa sedih dan rindu terhadap orang yang sudah pergi. Penyair terkenal Tiongkok pada abad ke-9 Masehi, Du Mu, pernah menulis sajak Qing Ming, yang berbunyi “Hujan turun tak henti-hentinya pada hari Qing Ming, mereka yang dalam perjalanan untuk menziarahi kubur kaum keluarga juga terlihat sedih yang amat sangat.” Berziarah dan membersihkan kuburan nenek moyang pada hari Qing Ming merupakan bagian penting dalam kebudayaan tradisional Tiongkok dan masih diperingati hingga hari ini. Bahkan pemerintah di sana menyatakan Qing Ming sebagai hari libur umum. Tapi Qing Ming bukan hanya berisi kesedihan. Ia juga dikenal sebagai musim untuk menginjak rumput-rumput yang kembali menghijau, tanda agar warga keluar rumah menikmati keindahan musim semi. Pada saat itu, orangorang akan berkumpul sembari mengikatkan ranting pohon di atas kepala mereka. Sebagian warga juga berjalan-jalan keluar kota. ● ABD AZIS kisah Merayakan Hari yang Terang FAHMI ALI (TEMPO) erayaan Hari Terang dikenal dengan nama tradisi Qing Ming. Perayaan ini adalah satu perayaan dari 24 musim dalam sistem kalender Cina pada zaman kuno. Perayaan Hari Terang adalah salah satu tradisi yang berusia ratusan tahun di daratan Tiongkok. Tradisi ini jatuh pada bulan ketiga kalender lunar atau biasanya jatuh pada 5 April dan setiap tahun kabisat. Pada perayaan Hari Terang, masyarakat Tiongkok akan pergi ke kuburan. Dalam budaya tradisional Tiongkok, Hari Terang adalah hari untuk memuja nenek moyang yang telah meninggal. Berdasarkan catatan sejarah, tradisi yang dimulai sekitar 2.500 tahun lalu itu tidak hanya dilakukan oleh etnis Han, tapi juga etnis lainnya. P ● ICHSAN AMIN