pesantren, radikalisme dan ajaran jihad

advertisement
Tekno Efisiensi
Jurnal Ilmiah KORPRI Kopertis Wilayah IV,
Vol 1, No. 1, Mei 2016
PESANTREN, RADIKALISME DAN AJARAN JIHAD
(MEMAHAMI PENAFSIRAN KONSEP JIHAD DI LINGKUNGAN
LEMBAGA PENDIDIKAN KEAGAMAAN ISLAM PONDOK
PESANTREN)
Oleh:
Lukman Hakim
ABSTRAK - Akhir-akhir ini muncul gerakan radikalisme yang mengatasnamakan ajaran jihad agama Islam.
Gerakan mereka sudah merebak sampai ke beberapa negara Islam termasuk Indonesia. Sesungguhnya awal
mula gerakan ekstrem radikal dalam sejarah Islam adalah berawal dari munculnya kelompok Khawarij yang
menggelorakan jihad dengan tema gerakan lâ hukma illa Allah, tidak ada hukum kecuali hukum Allah. Citacita mereka adalah mendirikan Negara Islam atau Khilafah Islamiyah. Upaya mereka dalam mencapai tujuan
tersebut dilakukan secara radikal, ekstrem penuh kekerasan. Dalil mereka adalah bahwa ajaran Islam dapat
dilakukan secara murni dan konsekuen hanya melalui Negara Islam. Oleh karena itu, negara yang tidak
menggunakan Hukum Islam sebagai dasar hukumnya adalah kafir, dan orang yang menjalankan negara bukan
Islam adalah thagut dan wajib diperangi. Bahkan mereka tidak segan-segan melakukan bunuh diri
menghancurkan objek jihadnya.
Akibat dari gerakan mereka ini, yang terkena imbasnya, khususnya di Indonesia adalah pondok pesantren.
Padahal sesungguhnya pesantren tidak berwajah tunggal, akan tetapi sebagian besar kalangan pesantren
menafsiri jihad bukan dengan peperangan menyerang pihak lain. Kalangan pesantren umumnya menafsiri
jihad dengan berjuang sungguh-sungguh meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan mensejahterakan
umat melalui pendalaman keilmuan agama (tafaqquh fiddîn) sebagai dasar dalam memperjuangkan
kesejahteraan masyarakat sekitarnya (liyundzirû qaumahum). Jihad yang dipahami kalangan pesantren
mengandung dua makna yaitu jihad dalam pengertian memerangi hawa nafsu diri sendiri (jihad an-nafs), dan
jihad dalam artian menegakkan amar ma’ruf nahyi munkar dengan kekuatan. Kesimpulannya, gerakan
radikalisme Islam yang ada sekarang merupakan reinkarnasi dari radikalisme kaum Khawarij masa awal
sejarah Islam. Gerakan mereka cenderung politis, dan tidak ada kaitan dengan penafsiran jihad yang
umumnya dilakukan oleh kalangan pesantren. Oleh karena itu, sesungguhnya tidak ada hubungan langsung
maupun tidak langsung antara pembelajaran konsep jihad dengan gerakan radikalisme yang dilakukan oleh
orang-orang tertentu yang mengatasnamakan alumni pesantren tersebut.
Kata kunci: Pesantren, Radikalisme, Jihad
ABSTRACT - Lately emerging radicalism in the name of jihad teachings of Islam. Their movement has
spread to several Muslim countries, including Indonesia. Indeed, the beginning of radical extreme movement
in the history of Islam is the beginning of the emergence of the Khawarij who inflame jihadist movement
theme lâ hukma illa Allah, there is no law except the law of God. Those ideals are establish an Islamic state
or Caliphate. Their efforts in achieving that goal made a radical, violent extremes. Their premise is that
Islamic teachings can be done purely and consistently only through the Islamic State. Therefore, countries
that do not use Islamic law as a legal basis are infidels, and the people who run the country instead of Islam
is taghouts and must be fought. In fact, they did not hesitate to destroy the object of his jihad suicide.
As a result of their movement, which affected, in particular in Indonesia is a boarding school. When in fact
schools are not single-faced, but most pesantren menafsiri jihad warfare attack not with other parties.
Pesantren generally menafsiri jihad to fight sincerely to improve the quality of human resources and the
welfare of the people through the deepening of scientific religion (tafaqquh Fiddin) as the basis for the
welfare of the surrounding community (liyundzirû qaumahum). Jihad is understood pesantren which contains
two meanings of jihad in the sense of the fight against the passions self (jihad an-nafs), and jihad in the sense
of enforcing commanding the good nahyi evil with force. In conclusion, the movement of Islamic radicalism
have now is a reincarnation of radicalism khawaarij the early history of Islam. They tend to be a political
movement, and is not related to the interpretation of jihad is generally done by the schools. Therefore, there
really is no direct or indirect relationship between learning the concept of jihad by radical movements
performed by certain people in the name of the pesantren alumni.
Keywords: School, Radicalism, Jihad
123
A. Latar Belakang
Munculnya gerakan radikalisme dan fundamentalismeyang dilakukan oleh kelompok ISIS
(Islamic State in Iraq and Syria) akhir-akhir ini mengingatkan kembali pada gerakan
radikal di Indonesia yang dilakukan oleh organisasi-organisasi masa yang
mengatasnamakan Islam seperti JI, JAT, FPI, GARIS, dan lainnya. Gerakan radikal yang
mereka lakukan berdalih agama. Mereka mengatasnamakan jihad sebagai daya dorong
(driving force) untuk melakukan kekerasan terhadap pihak lain. Dan lebih menyedihkan
lagi, para pelaku kekerasan seringkali mengaku sebagai alumni lembaga pendidikan
pesantren.
Kalangan peasantren tentu saja merasa terkejut dengan gerakan radikalisme yang dilakukan
oleh mereka dengan mengatasnamakan alumni pondok pesantren. Sebab selama ini tafsir
jihad oleh kalangan pesantren tidak melahirkan gerakan radikal. Mereka yang melakukan
kekerasan berupa bom bunuh diri atas nama ajaran jihad Islam beranggapan bahwa bom
bunuh diri merupakan bagian dari jihad fi sabilillah dan pelakunya adalah mati syahid. Para
pelaku pemboman ini memegang kebenaran absolut yang tak bisa didiskusikan. Bahwa
non-Muslim hari ini adalah kafir yang bisa dibasmi di manapun mereka berada, tak
terkecuali di Indonesia. Indonesia diputuskan sebagai daerah peperangan (dar al-harb),
dengan demikian membinasakan “yang lain” adalah halal. Mereka membenci “Barat”,
Amerika Serikat, kehidupan sekular, dan demokrasi. Abdul Mouqsith Ghazali,
www.nuonline, diunduh 18 Mei 2011.
Memang diakui bahwa sebagian mereka yang melakukan bom bunuh diri dan melakukan
kekerasan sebagian mengaku alumni pesantren. Mereka bisa mengaji dan sedikit
menafsirkan kitab suci. Mereka biasanya dikenal tekun beribadah. Masyarakat sekitar
mengenal orang-orang itu sebagai yang ramah dan santun, walau di balik keramahan dan
kesantunan itu tersimpan bom yang menyeramkan. Bagaimana kita meletakkan pelaku bom
bunuh diri ini dengan ajaran keislaman yang mereka pedomani? Adakah doktrin pesantren
turut memberikan kontribusi terhadap semarak kekerasan berbasis keislaman di Indonesia
sekarang?
Ada beberapa lembaga pendidikan pondok pesantren yang sudah dikenal memiliki brand
melakukan gerakan radikal seperti Pondok Pesantren Ngruki Solo, Pondok Pesantren Umar
bin Khaththab NTB, Pondok Pesantren Miftahul Huda Utsmaniyyah Cihaurbeuti Ciamis,
dan pesantren sejenis lainnya.Lembaga pendidikan Islam Pondok Peasntren inilah yang
kerap santrinya melakukan gerakan radikal melalui organisasi gerakan yang menjadi wadah
mereka seperti Jaringan Islam (JI), Front Pembela Islam (FPI), Jama’ah Anshorut Tauhid
(JAT), Gerakan Reformasi Islam (GARIS), dan lainnya.
Namun demikian, akibat gerakan radikal yang mereka lakukan, imbasnya adalah kepada
lembaga pendidikan Islam pesantren. Hal ini dibuktikan dengan adanya kecurigaan pihak
pemerintah terhadap lembaga pendidikan Islam pesantren. Padahal sesungguhnya lembaga
pendidikan Islam pesantren tidak berwajah tunggal. Artinya, penafsiran ajaran jihad oleh
lembaga pendidikan Islam pesantren berbeda-beda penekannya. Menurut Moqsith
GhazaliMoqsith Ghazali, www.nuonline.com. Diunduh 19 mei 2011.pesantren tidak
berwajah tunggal. Menurutnya, sekurangnya ada dua tipologi pesantren jika dilihat dari
gerakan dan tafsir keislaman yang dikembangkannya. Pertama, pesantren yang
124
mengajarkan pentingnya merawat harmoni sosial dan toleransi antar-umat beragama. Para
pengasuh pesantren ini biasanya berpendirian bahwa Indonesia adalah wilayah damai (dar
al-salam) karena itu jalan kekerasan dalam memperjuangkan Islam tak seharusnya dipilih.
Di berbagai forum dan kesempatan, para kiai ini terlibat dalam dialog dan kerja sama
agama-agama di Indonesia. Mereka juga mengadvokasi kaum tertindas terutama kelompok
minoritas.Dari sudut politik, pesantren ini tak punya agenda politik “menyimpang”. Mereka
tak hendak mendirikan negara Islam apalagi Khilafah Islamiyah seperti yang kerap
diperjuangkan kelompok-kelompok Islam lain. Para kiai dan santrinya sepakat bahwa
Indonesia dengan Pancasila dan UUD 1945nya telah memberi jaminan dan kebebasan bagi
umat Islam Indonesia untuk menjalankan ajaran Islam, sehingga tak diperlukan lagi bentuk
formal negara Islam.Bagi mereka, pilihan terhadap Pancasila sebagai dasar negara
merupakan pilihan tepat di tengah pluralitas masyarakat Indonesia.Tegas dikatakan bahwa
negara bangsa dalam bentuk NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) merupakan
keputusan final.Pesantren-pesantren dalam jenis pertama ini biasanya sudah berumur tua,
bahkan beberapa di antaranya berdiri jauh sebelum Indonesia merdeka.Secara
keorganisasian, para kiai pesantren ini dekat bahkan menjadi pengurus organisasi sosial
keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU), Nahdlatul Wathan (NW), dan lainlain.Pesantren-pesantren yang secara ideologis dekat dengan NU telah membuat sebuah
asosiasi pesantren bernama RMI (Rabithah Ma`ahid Islamiyah).Saya berpandangan, secara
sosio-politik tak ada yang perlu dikhawatirkan dari pesantren jenis pertama ini.
Kedua, ada pesantren yang menggendong ideologi politik Timur Tengah, seperti
Wahabisme, Ikhwanul Muslimin, Talibanisme, dan lain-lain.Tak sedikit dari pesantren ini
yang mengintroduksi jalan-jalan kekerasan dalam menjalankan ajaran Islam.Mereka
memandang non-Muslim dewasa ini sebagai kafir harbi yang boleh diperangi. Karena itu,
mereka tak menyukai kerja sama agama-agama. Para kiai pesantren ini banyak
menyuarakan jihad (dalam pengertian perang melawan Kristen, Yahudi, dan Amerika)
ketimbang ijtihad (dalam arti pengembangan intelektualitas dan keilmuan Islam).Itu
sebabnya mereka berpendirian bahwa bom Mega Kuningan bukan bom bunuh diri,
melainkan bom syahid.Secara politik, para kiai pesantren ini menolak Pancasila dan
demokrasi.Sebagian dari mereka tak mengikuti Pemilu karena dianggap produk Barat dan
sekularisme yang dianggap thagut.Mereka berjuang bagi tegaknya sebuah negara yang
berdasarkan syari`at Islam; al-Qur’an dan Hadits. Mereka berpandangan bahwa pilihan
terhadap NKRI, Pancasila, dan UUD 1945 merupakan pilihan yang keliru ketika jumlah
umat Islam di Indonesia adalah (konon) 85%. Sebagai gantinya, maka perlu diperjuangkan
berdirinya sebuah negara Islam.Secara kuantitatif, jumlah pesantren seperti ini tak banyak
tapi belakang mulai bertambah. Saya menangkap alarm bahaya ketika pemerintah terus
membiarkan ideologi kekerasan diinjeksikan kepada anak-anak muda di pesantrenpesantren ini. Pemerintah perlu mengecek bukan hanya materi ajar dan kurikulum
pesantren ini, melainkan juga penting diteliti bagaimana para kiai dan ustad mendidik dan
mengajar mereka, baik di kelas maupun di mesjid dan mushalla.
Berdasarkan gambaran tersebut di atas, timbul pertanyaan: mengapa mereka melakukan
tindakan radikal mengatas namakan jihad? Bagaimana tafsiran mereka terhadap ajaran
Islam tentang jihad? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan inilah dan sekaligus
meluruskan makna jihad menurut penafsiaran kalangan pesantren secara umum, maka
artikel ini ditulis untuk dibaca dan dipahami oleh semua kalangan, terutama kalangan luar
pesantren dan kalangan pesantren itu sendiri.
125
B. Akar Sejarah Munculnya Gerakan Radikal dalam Sejarah Islam
Kesimpulan yang diperoleh dari hasil kajian menunjukkan bahwa awal mula munculnya
gerakan radikal dalam sejarah Islam adalah berawal dari adanya pemikiran ekstrem terhadap
ajaran Islam sehingga melahirkan berbagai macam firqoh. Adalah Harun Nasution (Harun
Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press,
1985), hal. 1). yang mengatakan keanehan dalam Islam, bahwa sebagai agama, persoalan
yang pertama-tama timbul adalah dalam bidang politik dan bukan dalam bidang teologi.
Tetapi persoalan politik ini segera meningkat menjadi persoalan teologi.
Alasan mendasar masalah politik menjadi penyebab utama timbulnya perpecahan dalam
sejarah Islam adalah karena Nabi Muhammad Saw mempunyai peran ganda kepemimpinan
selama periode Makkah maupun Madinah. Selama di Makkah Nabi Muhammad Saw hanya
mempunyai fungsi kepala agama, dan tidak mempunyai fungsi kepala pemerintahan, karena
kekuasaan politik yang ada saat itu masih dikuasai kelompok kafir non Islam, belum jatuh ke
tangan Nabi Muhammad Saw. Akan tetapi di Madinah, Nabi Muhammad Saw di samping
menjadi kepala agama juga menjadi kepala pemerintahan. Beliaulah yang mendirikan
kekuasaan politik yang dipatuhi di Madinah. Sebelum itu di Madinah tidak ada kekuasaan
politik.(1996:3).
Atas dasar itulah, maka tidak mengherankan jika masyarakat Madinah ketika wafatnya Nabi
Muhammad Saw sibuk memikirkan pengganti beliau untuk mengepalai negara yang baru
lahir itu, sehingga pemakaman Nabi Muhammad SAW merupakan soal kedua bagi mereka.
Dari sinilah mulai timbul soal khilafah, soal pengganti Nabi Muhammad Saw sebagai kepala
negara. Sebagai Nabi atau Rasul, tentu saja tidak dapat digantikan, karena masalah kenabian
atau zaman kenabian sudah berakhir pada kenabian Muhammad Saw.
Estapeta kepemimpinan Islam pasca Nabi Muhammad SAW yang diawali oleh Abu Bakar
dapat dikatakan belu melahirkan pemikiran Islam yang ekstrem. Sejarah meriwayatkan
bahwa Abu Bakar lah yang disetujui oleh masyarakat Islam di waktu itu menjadi pengganti
atau Khalifah Nabi dalam mengepalai negara kaum muslimin. Kemudian Abu Bakar
digantikan oleh Umar ibn al-Khattab, dan Umar digantikan oleh Utsman ibn ’Affan.
Persoalan mulai timbul pada masa kepemimpinan ’Utsman ibn ’Affan. Bahkan Harun
Nasution (1997 :4.) menegaskan bahwa berawal pada kepemimpinan ’Utsman ibn ’Affan
sampai wafatnya adalah sejarah awal mulai munculnya kekerasan dan pemikiran Islam
ekstrem. ’Utsman termasuk dalam golongan pedagang Quraisy yang kaya. Kaum
keluarganya terdiri dari orang aristokrat Makkah yang karena pengalaman dagang mereka,
mempunyai pengetahuan tentang administrasi. Pengetahuan mereka ini bermanfaat dalam
memimpin administrasi daerah-daerah di luar Semenanjung Arabia yang bertambah banyak
masuk ke bawah kekuasaan Islam. Akan tetapi para ahli sejarah menggambarkan bahwa
’Utsman adalah orang yang lemah dan tidak berani atau sanggup menentang ambisi kaum
keluarganya yang kaya dan berpengaruh itu. Ia mengangkat mereka menjadi Gubernurgubernur di daerah yang tunduk kepada kekuasaan Islam. Gubernur-gubernur yang diangkat
oleh ’Umar ibn al-Khattab banyak yang diganti oleh keluarga ’Utsman.
126
Pertempuran demi pertempuran pun tidak dapat dihindari antara ’Ali dengan para
penantangnya terutama Mu’awiyah. Dalam suatu pertempuran di Siffin, antara tentara ’Ali
dengan Mu’awiyah, pasukan ’Ali dapat mendesak tentara Mu’awiyah sehingga kucar-kacir.
Pada saat pasukan Mu’awiyah terdesak, ’Amr ibn al-’As sebagai tangan kanan Mu’awiyah
meminta berdamai dengan cara mengangkatkan mushaf Al-Qur’an ke atas. Sebagian
pasukan ’Ali terutama dari kalangan Qurra’ mendesak supaya ’Ali menerima ajakan damai
tersebut. Namun sebagian pengikut ’Ali lainnya kurang setuju.
Ajakan damai pasukan Mu’awiyah yang digagas oleh ’Amr ibn al-’As pada akhirnya
diterima oleh ’Ali dalam bentuk arbitrase. Maka diangkatlah dua orang perwakilan dari
masing-masing kubu yang akan berdamai. Dari kubu Mu’awiyah ditunjuk ’Amr ibn al-’As,
sedangkan dari kubu ’Ali diangkat Abu Musa al-Asy’ari. Setelah kedua utusan tersebut
ditetapkan, maka berjalanlah pelaksanaan arbitrase. Utusan ’Ali dipersilahkan terlebih
dahulu untuk berbicara karena pertimbangan usianya yang lebih tua. Abu Musa al-Asy’ari
utusan ’Ali menyatakan bahwa pihak ’Ali setuju apabila kedua orang atau kubu (’Ali dan
Mu’awiyah) diberhentikan dari jabatannya masing-masing demi kedamaian ummat Islam.
Setelah utusan ’Ali tampil, gililran ’Amr ibn al-’As utusan Mu’awiyah tampil dan
menyatakan bahwa setelah mendengar pernyataan dari utusan ’Ali, maka ia menyatakan
bahwa Mu’awiyah tidak mau mundur dan dinyatakan sah sebagai Khalifah.
Tentu saja hasil arbitrase yang penuh kelicikan ini menimbulkan gejolak terutama dari kubu
’Ali. Dan, ’Ali sendiri tidak mau menerima putusan tersebut dan tidak mau meletakkan
jabatannya sebagai Khalifah yang sah. Oleh karena itu, kekhalifahan saat itu menjadi dua
yakni yang dipimpin oleh ’Ali sebagai Khalifah resmi dan syah, dan Khalifah Mu’awiyah
hasil arbitrase yang licik. Akibatnya timbullah gejolak dan pemberontakan dimana-mana
sampai akhirnya ’Ali terbunuh.
Ada satu hal yang menarik kaitannya dengan munculnya pemikiran ekstrem dalam ajaran
Islam, yakni munculnya pemikiran sebagian pengikut ’Ali yang berpendapat bahwa putusan
hasil arbitrase antara ’Ali dan Mu’awiyah adalah tidak sah, karena diputuskan oleh manusia,
bukan dari Allah. Oleh karena itu sebagian pengikut ’Ali memandang putusan hanya dari
Allah dengan kembali kepada hukum-hukum Allah yang ada dalam Al-Qur’an, la hukma
illa lilllah (tidak ada hukum selain dari hukum Allah), atau la hakama illa Allah (tidak ada
pengantara selain dari Allah).
Atas dasar itulah, maka mereka yang melakukan arbitrase saat itu dianggap bersalah, dan
mereka dianggap kafir. Pandangan mereka didasarkan atas firman Allah SWT surat alMaidah ayat 44:
٤٤:‫ ل ائ ة‬. ْ ‫م ْن ل ْم يحْ ْم ب ا أ ْنز ه فأ ل ك هم ْل افر‬
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, meka mereka itu
adalah orang-orang yang kafir”.(Soenarjo, dkk., Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta:
Depag RI, 2009), hal. 167).
Ayat inilah yang menjadi landasan kaum Khawarij dalam memandang bahwa orang-orang
yang melakukan arbitrase yaitu ’Ali, Mu’awiyah, ’Amr ibn al-’As, Abu Musa al-Asy’ari
dan lainnya adalah kafir dan harus dibunuh. Inilah barangkali sejarah awal pemikiran
ekstrem dalam ajaran Islam yang diawali dengan munculnya Khawarij, sebagai kelompok
pengikut ’Ali awalnya yang marah terhadap hasil keputusan arbitrase. Bahkan dalam
perkembangan selanjutnya, pemikiran ekstrem ini tidak hanya ditujukan kepada mereka
127
yang mengikuti dan menyetujui arbitrase, akan tetapi orang yang berbuat dosa besar atau
murtakib al-kaba’ir, juga dipandang kafir dan wajib dibunuh karena darahnya
halal.(Nasution, hal. 7).
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pemikiran ekstrem dalam ajaran
Islam pertama kali dimunculkan oleh kaum Khawarij yang menolak dan tidak menyetujui
atau menentang hasil keputusan arbitrase antara kelompok ’Ali dengan Mu’awiyah, bahkan
menganggap mereka adalah kafir. Alasan mereka adalah karena keputusan arbitrase
dilakukan oleh hukum manusia, bukan dari hukum Allah. Oleh karena itu, setiap keputusan
yang tidak mendasarkan pada hukum Allah, maka hukumnya adalah kafir, dan wajib
dibunuh karena darahnya halal.
Pertanyaannya adalah siapa kaum Khawarij ini dan mengapa mereka melakukan kekerasan
serta memiliki pemikiran yang sangat ekstrem dan cenderung kejam? Mereka, kata Abu
Zahra, suka menyabung nyawa dalam bahaya meskipun tidak ada pendorong untuk berbuat
itu.(M. Abu Zahra, Sejarah Alran-aliran dalam Islam Bidang Politik dan Aqidah,
diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Shobahussurur (Gontor : PSIA, 1991), hal 77)
Ironisnya mereka sangat kejam dan sama sekali tidak toleran dengan perbedaan pendapat
sesama Muslim, tapi sangat toleran dengan Ahlul Kitab.
Karena tuntutan mereka tidak dipenuhi ‘Ali, akhirnya mereka meninggalkan kamp ‘Ali di
Kufah pergi ke luar kota menuju desa Harura yang tidak seberapa jauh dari Kufah. Dari
nama desa Harura inilah, maka untuk pertama kali mereka itu dikenal dengan nama
golongan Al-Harûriyah. Di Harura inilah mereka membentuk organisasi sendiri dan
memilih Abdullah ibn Wahab ar-Rasibi dari Banu ‘Azd sebagai pemimpin
mereka.(Shiddiqi, Hasbi Ash-Shiddiqie, Syi’ah dan Khawarij, (Jakarta: Bulan Bintang,
1987), hal. 39).
Karena mereka keluar dari kubu ‘Ali itulah kemudian mereka dikenal dengan al-Khawârij,
bentuk jama’ dari Khâriji (yang keluar). Menurut Syahrastani, yang disebut Khawârij,
adalah siapa saja yang keluar dari (barisan) imam yang hak yang telah disepakati oleh
jama’ah, baik ia keluar pada masa sahabat di bawah pimpinan al-Aimmah ar-Râsyiddîn atau
pada masa tabi’in atau pada masa imam mana pun di setiap masa.(Muhammad Abd alKarim asy-Syahrastani, Al-Milal wan Nihal (Beirut: Dar al-Fikr, tt), hal. 144).
Secara etimologis Syahrastani benar, tapi secara terminologi apalagi secara historis nama
Khawarij hanya diberikan kepada kelompok yang keluar dari kubu ‘Ali seperti yang
disebut di atas, dan disebut juga al-Harûriyah karena mereka pergi memisahkan diri ke
Harura. Tapi dibanding dengan nama-nama lain(Di samping Al-Khawarij dan AlHarûriyah, mereka juga dikenal dengan nama-nama: Asy-Syurah (karena mengatakan kami
telah menjual diri untuk taat kepada Allah, tampaknya mereka ambilkan dari Q.S.2:207:
“Ada manusia yang menjual dirinya untuk memperoleh keridhaan Allah”, Al-Mariqah
(karena mereka lepas dari agama seperti lepasnya anak panah dari busurnya, tapi mereka
menolak nama ini karena menurut mereka, merekalah orang-orang yang beriman,
sedangkan para penentangnya lah yang kafir dan musyrik) dan Al-Muhakkimah (karena
mereka bersemboyankan La hukma illa lillah). ‘Ali Mushthafa Al-Ghazaly, Târîkh alFiraq al-Islamiyah wa Nasyah ‘Ilmi ‘l-Kalâm inda al-Muslimîn(Cairo: Maktabah
Muhammad ‘Ali Shabij wa Aulâduh, 1958), hal. 246 – 265). yang dipanggilkan kepada
128
mereka maka nama Khawarij lah yang paling umum bisa dipakaikan untuk semua
kelompok pecahan Khawarij, sebab dalam perkembangan sekanjutnya kita akan lihat
kelompok ini paling mudah memisahkan diri dari kelompok awalnya karena perbedaan
pendapat yang kadang-kadang tidak prinsip. Khurûj sudah merupakan dustûr mereka.(Ibid,
hal 265). Dalam bahasa Inggris Khawarij ditulis Kharijites dan dialihbahasakanmenjadi
(Seceders, Rebels. G.E. Von Grunebaum, Cassical Islam, A History 600 A.D.-1258 A.D.,
diterjemahkan dari bahasa Jerman ke bahasa Inggris oleh Katherine Watson (Chicago :
Aldine Publising Compay, 1970) hal. 60).
Alasan kaum Khawarij melakukan kekerasan pada awalnya adalah berkaitan dengan
kedudukan ’Ali yang melakukan tahkim perdamaian gencetan senjata terhadap tawaran
Mu’awiyah melalui ’Amr bin ’Ash.Mereka menilai ‘Ali ibn Abi Thalib salah karena
menyetujui dan kesalahan itu membuat ‘Ali menjadi kafir. Mereka memaksa ‘Ali
mengakui kesalahan dan kekufurannya untuk kemudian bertaubat. Begitu ‘Ali menolak
pandangan mereka walaupun dengan mengemukakan argumentasi, mereka menyatakkan
keluar dari pasukan ‘Ali dan kemudian melakukan pemberontakan dan kekejamankekejaman. Yang menjadi sasaran pengkafiran tidak hanya ‘Ali bi Abi Thalib sendiri, tapi
juga Mu’awiyah ibn Abi Sufyan, ‘Amru ibn ‘Ash, Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain yang
mendukung mereka. Dalam perkembangan selanjutnya mereka perdebatkan apakah ‘Ali
hanya kafir atau musyrik.(Menurut Abu al-Hasan al-Asy’ary Khawarij sepakat
mengkafirkan ‘Ali tapi berbeda pendapat tentang kemusyrikannya. Lihat Abu Al-Hasan AlAsy’ary, Maqâlat al-Islamiyîn wa Ikhtilâf al-Mushallîn, (Cairo : Maktabah an-Nahdhah
al-Mishriyah, 1969) I, hal.167).
Menurut pandangan Harun Nasution, kaum Khawarij pada umumnya terdiri dari orangorang Arab Badawi. Hidup di padang pasir yang tandus membuat mereka bersifat
sederhana dalam cara hidup dan pemikiran, tetapi keras hati serta berani, dan bersikap
merdeka, mereka tetap bersikap bengis, suka kekerasan dan tak gentar mati. Sebagai orang
Badawi mereka tetap jauh dari ilmu pengetahuan. Ajaran-ajaran Islam sebagaimana
terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits, mereka artikan menurut lafaznya dan haus
dilaksanakan sepenuhnya.(Harun Nasution, 1997 : 13).
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pemikiran ekstrem dalam ajaran
Islam diawali dengan penolakan terhadap hasil arbitrase antara ’Ali dan Mu’awiyah.
Kelompok yang menolak inilah yang melahirkan kaum Khawarij. Mereka memandang
bahwa orang-orang yang mengikuti dan menyetujui arbitrase adalah bersalah dan kafir
sehingga wajib dibunuh karena darahnya halal. Saat ini pemikiran Khawarij berkembang
menjadi ideologi gerakan kaum radikal seperti ISIS dan lainnya. Bahkan saat ini gerakan
mereka diarahkan pada upaya mendirikan Negara Islam atau Khilafah Islamiyah di
berbagai negara yang berpenduduk muslim. Mereka tidak segan-segan menghabisi dan
lawan-lawannya yang menentang gerakan mereka.Menurut mereka mendirikan Negara
Islam adalah wajib hukumnya, dan jihad adalah cara yang perlu dilakukan untuk
menegakkan Negara Islam/Khilafah Islamiyah di dunia ini.
C. Tafsir Jihad Kalangan Pesantren dan Gerakan Radikalisme
Pendidikan pesantren merupakan salah satu jenis pendidikan Islam yang berkembang di
Indonesia. Pendidikan pesantren adalah pendidikan Islam yang diselenggarakan secara
tradisional, bertolak dari pengajaran Qur’an dan Hadits, dan merancang segenap kegiatan
129
pendidikannya untuk mengajarkan kepada para santri bahwa Islam sebagai pandangan
hidup.(Mochtar Buchori, “Pendidikan Islam di Indonesia: Problema Masa Kini dan
Perspektif Masa Depan”, dalam Muntaha Azhari dan Abdul Mun’im Saleh (Peny.), Islam
Indonesia Menatap Masa Depan, Cet. I (Jakarta: P3M, 1989), hal. 184).
Syarat-syarat sebuah lembaga pendidikan Islam disebut pesantren adalah sebagai berikut:
Adanya pengasuh, seperti kyai/ajengan, tuan guru, buya, tengku, atau ustadz.
1. Adanya mesjid sebagai pusat kegiatan ibadah dan tempat belajar.
2. Adanya santri atau siswa yang belajar.
3. Adanya asrama/pondokan sebagai tempat santri tinggal/mondok.
4. Adanya pengkajian kitab kuning atau kitab klasik tentang ilmu-ilmu ke-Islaman
berbahasa Arab gundul sebagai sumber belajarnya.(Departemen Agama RI, Pedoman
Supervisi Pondok Pesantren Salafiyah dalam Rangka Wajib Belajar Pendidikan
Dasar, Cet. I (Jakarta: Dirjen Binbagais Depag RI, 2002), hal. 11-12).
Hakikat dari pendidikan pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk
memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran agama Islam (tafaqquh fiddîn) dengan
menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat seharihari. Penyelenggaraan lembaga pendidikan pesantren berbentuk asrama yang merupakan
komuntas tersendiri di bawah pimpinan kyai atau ulama dibantu oleh seorang atau beberapa
orang ulama dan atau para ustadz yang hidup bersama di tengah-tengah para santri dengan
mesjid atau surau sebagai pusat kegiatan peribadatan keagamaan, gedung-gedung sekolah
atau ruang-ruang belajar sebagai pusat kegiatan belajar, serta pondok-pondok sebagai
tempat tinggal para santri.(Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Cet. IV
(Jakarta: INIS, 1994),
hal. 6).
Dari berbagai macam pengertian mengenai pesantren sebagaimana tersebut di atas, maka
dapat ditegaskan di sini bahwa pendidikan pesantren merupakan sebuah sistem yang unik.
Tidak hanya unik dalam pendekatan pembelajaran tetapi unik dalam pandangan hidup dan
tata nilai yang dianut, cara hidup yang ditempuh, struktur pembagian kewenangan dan
semua aspek-aspek kependidikan dan kemasyarakatan lainnya. Oleh sebab itu, tidak ada
definisi yang dapat secara tepat mewakili pendidikan pesantren yang ada. Masing-masing
pesantren mempunyai keistimewaan sendiri, yang tidak dimiliki oleh pesantren lainnya.
Meskipun demikian, dalam hal-hal tertentu pendidikan pesantren memiliki persamaan.
Persamaan-persamaan inilah yang lazim disebut sebagai ciri-ciri pendidikan pesantren, dan
selama ini dianggap dapat mengimplikasikan pesantren secara kelembagaan.
Atas dasar itu, maka dalam tulisan ini dapat disimpulkan bahwa sebuah lembaga
pendidikan dapat disebut pesantren apabila di dalamnya minimal terdapat lima unsur
pokok, yaitu : kyai, santri, pengajian, asrama, mesjid dan segala aktivitas pendidikan
keagamaan dan kemasyarakatan.
Minimal ada dua tugas utama lembaga pendidikan Islam Pondok Pesantren sebagaimana
tersurat dalam surat at-Taubah ayat 122:
:‫ لتوبة‬. ْ
130
ْ‫جعوْ ل ْي ْ لعلَ ْ يح‬
‫ْ قوْ م ْ إ‬
ْ ‫ماك‬
‫انال ْ منوْ نلي ْنفر ْ كافَةفلوْ انفرم ْن لِفرْ قةم ْن ْ طائفةليتفقَ وْ فيال ِ يْنولي ْن‬

“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang).Mengapa tidak
pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya
apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS.
At-Taubah, 9: 122).
Ayat di atas mengisyaratkan tentang pentingnya tugas sebuah lembaga pendidikan Islam,
yaitu melakukan tafaqquh fiddîn’ dan juga ‘wa liyundzirû qaumahum’ (memberi peringatan
kepada kaumnya). Artinya, di samping kewajiban menuntut ilmu, pesantren juga dituntut
untuk memperhatikan situasi kondisi kebutuhan masyarakat sekitarnya, seperti kebutuhan
akan pentingnya pemimpin siyasi yang berpihak kepada kepentingan Islam. Oleh karena
itu, tafaqquh fiddîn harus menjadi‘al-marji’iyyah al-‘ulyâ’ (referensi utama) bagi setiap
muslim dalam liyundzirû qaumahum’; dan sebagai ‘al-mi’yar al-asasi’ (standar utama)
untuk melihat problema yang dihadapi umat Islam saat ini, seperti kemiskinan, kebodohan,
maksiyat, dan lainnya.
Dalam kajian Ibnu ‘Asyur, lafazah ‘tafaqquh’ (dalam kalimat: liyatafaqqahû fiddîn ‘wa
liyundzirû qaumahum’) mengikuti wazan tafa’ul yang menyiratkan makna takalluf
(bersungguh-sungguh dan mengerahkan semua potensi) guna memperoleh pemahaman
yang benar dalam urusan agama guna kepentingan umat.(Tafsir Ibnu ‘Asyur ,X/229).
Atas dasar itu, kalangan pesantren menafsirkan perkataan jihad dengan pemaknaan
pengerahan kekuatan dan kemampuan yang diaplikasi dalam gerakan berupa: Pengerahan
kekuatan dan kemampuan menerusi kata-kata.
1.
2.
Pengerahan kekuatan dan kemampuan melalui perbuatan nyata, seperti berlawan (sama
dengan atau tanpa senjata), menyumbang uang atau harta benda.
Pengerahan kekuatan dan kemampuan dengan keengganan untuk membuat sesuatu
perkara atau kengganan untuk berkata-kata, seperti enggan mentaati ibu bapa dalam
perkara maksiat.(Abi Ya’la Muhammad Ibnu Husain al-Farâ’i al-Hanbali, Al-Ahkâm
Al-Sulthaniyyah, (Beirut: Dâr al-Kitab Al-‘Alamah, t.t.), hal. 56).
Pengertian jihad dari segi bahasa tidak menghadkan aliran, ideologi maupun agama si
pengguna istilah jihad tersebut. Oleh yang demikian bagi orang Islam, jihad yang dilakukan
adalah fî sabilillah pada jalan Allah.Jihad berasal dari kata jâhada, yujâhidu, jihâd. Artinya
adalah saling mencurahkan usaha. Lebih jauh lagi Imam an-Naisaburi dalam kitab tafsirnya
menjelaskan arti kata jihad –menurut bahasa-, yaitu mencurahkan segenap tenaga untuk
memperoleh maksud tertentu.(Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid,
(Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1339 H), hal. 76).
Dengan demikian, makna jihad yang lebih tepat diambil oleh kaum Muslim adalah
berperang di jalan Allah melawan orang-orang kafir dalam rangka meninggikan kalimat
Allah. Pengaburan makna jihad dalam pengertian syariat ini, dengan cara mengalihkannya
ke pengertian yang lebih umum, seperti jihad pembangunan, meuntut ilmu, mencari nafkah,
berpikir keras mencari penyelesaian, dan sejenisnya yang dianggap sebagai aktivitas jihadmerupakan upaya untuk menghilangkan makna jihad dalam pengertianal-qitâl, al-harb,
atau al-ghazwu, yaitu berperang (di jalan Allah).
131
Untuk menentukan bahwa suatu pertempuran itu tergolong jihad fi sabilillah (sesuai dengan
definisi diatas) atau termasuk perang saja, maka kita perlu mencermati fakta tentang jenisjenis peperangan yang dikenal dalam khasanah Islam. Di dalam Islam terdapat kurang lebih
12 jenis peperangan, yaitu:
1.
2.
3.
Perang melawan orang-orang murtad.
Perang melawan para pengikut bughât.
Perang melawan kelompok pengacau (al-hirabah atau quthâ at-thuruq) dari kalangan
perompak dan sejenisnya.
4. Perang mempertahankan kehormatan secara khusus (jiwa, harta benda dan
kehormatan).
5. Perang mempertahankan kehormatan secara umum (yang menjadi hak Allah atau hak
masyarakat).
6. Perang menentang penyelewengan penguasa.
7. Perang fitnah (perang saudara).
8. Perang melawan perampas kekuasaan.
9. Perang melawan ahlu dzimmah.
10. Perang ofensif untuk merampas harta benda musuh.
11. Perang untuk menegakkan Daulah Islam.
12. Perang untuk menyatukan negeri-negeri Islam.(Abi Ya’la Muhammad Ibnu Husain alFarâ’i al-Hanbali, hal 41).
Perang melawan orang-orang murtad maksudnya adalah Murtad menurut Imam Nawawi,
yaitu orang yang keluar dari agama Islam, mengeluarkan kata-kata atau tindakan kekufuran,
dengan disertai niat, baik niatnya mencela, karena kebencian, atau pun berdasarkan
keyakinan.(Ibnu Ruysd, hal. 84). Orang yang murtad di beri batas waktu, bisa tiga hari atau
pun lebih untuk bertobat. Jika jangka waktu yang diberikan berakhir, sementara yang
bersangkutan tetap tidak berubah, maka ia wajib dibunuh.Jika yang murtad itu merupakan
satu komunitas, baik didukung oleh negara kafir atau pun berdiri sendiri, hukumnya juga
sama, yaitu wajib diperangi sebagaimana halnya memerangi musuh, bukan seperti
memerangi bughât.(hal. 87).
Perang melawan para pengikut bughat. Bughat adalah bentuk jamak yang merupakan isim
fail (kata benda) yang artinya mencari, menuntut, berbuat zalim.(Ahmad Warson Munawwir,
Kamus Al-Munawwir, (Yogyakarta: PP Al-Munawwir, 1984), hal. 65; Ali, Attabik &
Ahmad Zuhdi Muhdlor.1998, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, Cet. Ke-3. (Yogyakarta
: Yayasan Ali Maksum PP Krapyak, 1998), hal. 341). Dengan demikian, secara bahasa,
bughat (dengan bentuk jamaknya) artinya adalah orang yang melampaui batas, atau orang
yang berbuat.
Secara syar’i, Bughat menurut Imam Asy-Syafi’i adalah kaum muslimin yang menyalahi
imam dengan jalan memberontak kepadanya, tidak mentaatinya, atau mencegah hak yang
yang seharusnya wajib mereka tunaikan (kepada imam), dengan syarat mereka
mempunyai kekuatan (syaukah), ta`wil, dan pemimpin yang ditaati (muthaaâ’ti) dalam
kelompok tersebut.(Taqiyyuddin Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, (Semarang: Mathba’at
Mohammad Toha Putra, tanpa tahun), hal. 197-198).
132
Bughat adalah mereka yang memiliki kekuatan, kemudian menyatakan keluar atau
memisahkan diri dari Daulah Islamiyah, melepaskan ketaatannya kepada negara (Khalifah),
mengangkat senjata, dan mengumumkan perang terhadap negara. Tidak dibedakan lagi
apakah mereka memisahkan diri dari Khalifah yang adil atau zhalim; baik mereka
memisahkan diri karena adanya perbedaan (penafsiran) dalam agama atau mungkin ada
motivasi dunia. Semuanya tergolong bughat selama mereka mengangkat senajata atau
pedang terhadap kekuasaan Islam.(Ibnu Katsir, Tafsîr Ibnu Katsîr, (Beirut: Dâr Al-Qur’ân
Al-Karîm, 1981), hal. 221).
Definisi jihad dalam Syariah Islam sebagaimana yang dimaksudkan di dalam al-Qur’an dan
Sunnah adalah lebih khusus berbanding dengan maknanya dari segi bahasa. Jihad
bermaksudkan mengerahkan tenaga dan usaha untuk berperang pada jalan Allah, samada
secara langsung (bertempur di medan perang), ataupun dengan harta, akal fikiran,
membekalkan tentera tambahan, logistik, bantuan perubatan bagi tentera dan
sebagainya.(Abi Ya’la Muhammad Ibnu Husain al-Farâ’i al-Hanbali, hal. 40).
Menurut ayat ini, Allah memerintahkan orang-orang Islam keluar beramai-ramai untuk
berperang pada jalan Allah walau dalam apapun situasi dan keadaan sekalipun, samada
dengan nyawa dan juga harta benda. Jika diteliti, kita akan dapati dalam kebanyakan ayatayat dan wahyu yang diturunkan oleh Allah Ta’ala berkenaan jihad, istilah jihad sering
digandingkan atau dikaitkan dengan frasa, berjihad dengan harta dan nyawa ataupun jiwa.
Ini tidak membuktikan bahawa jihad dengan harta adalah lebih baik atau lebih diutamakan
daripada berjihad dengan nyawa. Akan tetapi, ia menjelaskan hakikat berjihad pada jalan
Allah yang pada kebiasaannya meliputi dua komponen utama, iaitu harta dan nyawa.
Harta adalah perlu untuk mempersiapkan peralatan dan kelengkapan peperangan,
manakala nyawa atau jiwa raga adalah penting sebagai bala tentara. Selain itu, adalah
menjadi fitrah manusia lebih menyayangi nyawa berbanding dengan harta. Justru, ketika
membicarakan tentang jihad dan menyeru orang-orang Islam untuk keluar berjihad, Allah
Taala sering mendahulukan frasa, jihad dengan harta, dengan tujuan untuk memberi
semangat dan mendorong mereka berjihad, kerana jihad dengan harta adalah lebih mudah
untuk dilakukan. Sebagaimana di maksudkan oleh ayat-ayat di dalam al-Qur’an, hadits dan
sunnah Rasulullah s.a.w. berkenaan jihad juga memfokuskan dan mengkhususkan makna
jihad kepada bertempur dan berperang pada jalan Allah.(Ibnu Katsir, hal. 222).
D. Kesimpulan
Kesimpulan dari hasil kajian ini adalah bahwa gerakan radikalisme berdasarkan
pemahaman keagamaan Islam yang ekstrem semakin marak di dunia. Mereka
mengatasnamakan jihad dalam menggelorakan cita-cita mereka mendirikan Negara Islam
atau Khilafah Islamiyah. Pandangan ekstrem mereka dilandasan oleh pemikiran bahwa jika
suatu negara tidak menggunakan hukum Allah, maka dianggap kafir dan harus diperangi.
Pemikiran ekstrem mereka saat ini sesungguhnya dipengaruhi secara langsung ataupun
tidak langsung oleh pemikiran ekstrem kelompok Khawarij pada masa Islam awal.
Akibat dari gerakan radikal mereka, yang sering mendapat imbas negatifnya adalah
kalangan pesantren. Sebab, para pelaku gerakan radikal ekstrem umumnya mengakui
sebagai alumni pesantren. Padahal sesungguhnya kalangan pesantren umumnya
menafsirkan jihad dengan gerakan sungguh-sungguh dengan menggunakan seluruh
133
kekuatan untuk merubah situasi masyarakat yang lebih baik melalui gerakan tafaqquh
fiddîn, bukan memerangi musuh-musuh Islam dengan kekerasan
KEPUSTAKAAN
Abdul Mouqsith Ghazali, “Pesantren, Terorisme, dan Langkah Penyelamatan”,
www.nuonline, diunduh 07 September 2014.
Abdurrahman Wahid. (1988). “Pesantren sebagai Subkultur” dalam M. Dawam Rahardjo
(ed.). Pesantren dan Pembaharuan. Jakarta: LP3ES.
-----------------. (2001). Menggerakkan Tradisi. Yogyakarta: LKiS.
Abî Bakri Jabir Al-Jazairi. (1994). Aisara At-Tafâsîr Al-Kalâm Al-‘Aliyyi Al-Kabîr.
Madinah: Maktabah Al-‘Ulûm wa Al-Hikam.
Abi Ya’la Muhammad Ibnu Husain al-Farâ’i al-Hanbali. (t.t.). Al-Ahkâm Al-Sulthaniyyah.
Beirut: Dâr al-Kitab Al-‘Alamah.
Abu Al-Hasan Al-Asy’ary. (1969). Maqâlat al-Islamiyîn wa Ikhtilâf al-Mushallîn. Cairo :
Maktabah an-Nahdhah al-Mishriyah.
Ahmad Tafsir. (1992). Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Rosda Karya.
Ahmad Warson Munawwir. (1984). Kamus Al-Munawwir. Yogyakarta: PP Al-Munawwir.
‘Ali Mushthafa Al-Ghazaly. (1958). Târîkh al-Firaq al-Islamiyah wa Nasyah ‘Ilmi ‘lKalâm inda al-Muslimîn.Cairo: Maktabah Muhammad ‘Ali Shabij wa Aulâduh.
Attabik Ali & Ahmad Zuhdi Muhdlor. (1998), Kamus Kontemporer Arab Indonesia.
(Yogyakarta : Yayasan Ali Maksum PP Krapyak.
Chabib Thoha, “ Mencari Format Pesantren Salaf”, dalam Majalah Bulanan Rindang
No. 9 Th.XXVI April 2001, hal. 87
Departemen Agama RI. (2002). Pedoman Supervisi Pondok Pesantren Salafiyah dalam
Rangka Wajib Belajar Pendidikan Dasar. Jakarta: Dirjen Binbagais Depag RI.
Faisal Ismail. (1984). Percikan Pemikiran Islam.Yogyakarta: Bina Usaha.
Harun Nasution. (1985). Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan.
Jakarta: UI Press.
Hasan Ibrahim Hasan. (1957). Târîkh al-Islâm, as-Siyâsy wa ad dîny wa ats-Tsaqaiy walIjtimâ’iy. Cairo: Maktabah an-Nahdhah al-Mishriyah.
Hasbi Ash-Shiddiqie. (1987). Syi’ah dan Khawarij. Jakarta: Bulan Bintang.
Hoy, Wayne K. and Cecil G. Miskel. (2008). Educational Administration: Theory,
Research and Practice. New York: McGraw-Hill Education.
Ibn Al-Atsîr. (1965). al-Kâmil fi’ t-Târikh Jilid III. Beirut : Dar as-Shadr.
Ibnu Katsir. (1981). Tafsîr Ibnu Katsîr. Beirut: Dâr Al-Qur’ân Al-Karîm.
----------------. (t.t.). Al-Bidâyah wa an Nihâyah Jilid VII. Beirut: Dar al-Kutub al‘Ilmiyah.
Ibnu Rusyd. (1339 H). Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid. Cairo: Mustafa alBabi al-Halabi wa Auladuh.
Mahyuddin Haji Yahaya. (1986). Sejarah Awal Perpecahan Umat Islam (11 – 78 H/632 –
698 M). Kualalumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka.
Mastuhu. (1994). Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: INIS.
Mochtar Buchori, “Pendidikan Islam di Indonesia: Problema Masa Kini dan Perspektif
Masa Depan”, dalam Muntaha Azhari dan Abdul Mun’im Saleh (Peny.).
(1989).Islam Indonesia Menatap Masa Depan.Jakarta: P3M.
Muhaimin dan Abdul Mujib. (1993).Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Filosofik dan
Kerangka Dasar Operasionalnya. Bandung: Trigenda Karya.
134
Muhammad Abd al-Karim asy-Syahrastani. (t.t.). Al-Milal wan Nihal. Beirut: Dar al-Fikr.
Muhammad Abu Zahra. (1991). Sejarah Alran-aliran dalam Islam Bidang Politik dan
Aqidah. Diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Shobahussurur. Gontor : PSIA.
Muhammad ibn Jarir Ath-Tahabari. (1979). Târîkh al-Umam wa al-Muluk. Beirut : Darul
Fikir.
Shaban, M.A. (1993). Sejarah Islam (Penafsiran Baru) 600 – 750. Diterjemahkan dari
bahasa Inggris oleh Machnun Husein. Jakarta : Rajawali Pers.
Soenarjo, dkk. (2009).Al-Qur’an dan Terjemahnya.Jakarta: Depag RI.
Taqiyyuddin Al-Husaini. (t.t.).Kifayatul Akhyar.Semarang: Mathba’at Mohammad Toha
Putra.
Von Grunebaum, G.E. (1970). Cassical Islam, A History 600 A.D.-1258
A.D.Diterjemahkan dari bahasa Jerman ke bahasa Inggris oleh Katherine Watson.
Chicago : Aldine Publising Compay.
135
Download