ANALISIS SISTEM TATANIAGA KAYU JENIS

advertisement
ANALISIS SISTEM TATANIAGA KAYU
JENIS SENGON (Paraserianthes falcataria) DAN
PROSPEK PENGEMBANGANNYA
(Kasus di Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung, Jawa Barat)
Oleh :
Anggun Eka Nugraha Putra
A 14101658
PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006
RINGKASAN
ANGGUN EKA NUGRAHA PUTRA. Analisis Sistem Tataniaga Kayu Jenis
Sengon (Paraserianthes falcataria) dan Prospek Pengembangannya (Kasus di
Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung, Jawa Barat). (Di Bawah Bimbingan
HARIANTO ).
Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya alam dengan
tingkat kenanekaragaman hayati dan tingkat keunikan (endemisme) yang sangat
tinggi sehingga termasuk salah satu negara mega-biodiversity. Keanekaragaman
hayati termasuk di dalamnya jenis-jenis satwa dan tumbuhan serta ekosistemnya,
telah memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. Salah satunya adalah hutan.
Hutan memiliki fungsi tangiable (dapat diukur dari segi ekonomi) dan intangiable
(sulit diukur dari segi ekonomi). Fungsi hutan yang tangiable adalah sebagai
penghasil bahan baku untuk berbagai keperluan bagi masyarakat seperti untuk
kayu gergajian, kayu lapis, kayu pertukangan, pulp, dan kayu energi. Fungsi hutan
yang termasuk fungsi Intangiable yaitu hutan berfungsi sebagai pengatur siklus
hidrologi, penyeimbang ekosistem dan ekologi, pencegah bencana alam (erosi,
longsor dan banjir), tempat rekreasi alam, serta habitat bagi tumbuhan dan satwa.
Tujuan penelitian yaitu, Menganalisis sistem tataniaga kayu gergajian jenis
Sengon (Paraserianthes falcataria) dan Prospek pengembangan budidaya
tanaman Sengon oleh masyarakat di Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung.
Penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai dengan bulan Mei 2005 di
Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
Data yang digunakan yaitu data primer dan sekunder. Data primer
berdasarkan kuisioner yang meliputi karakteristik petani, jenis kayu, harga beli,
harga jual, jumlah kebutuhan kayu, jumlah produksi, sumber pembelian, arah
penjualan, tujuan pembelian, dan teknik pengangkutan. Data sekunder meliputi
informasi keadaan umum, letak geografis dan informasi lain yang berkaitan yang
diperoleh dari Badan Statistik Kabupaten Bandung, Dinas Kehutanan Jawa Barat,
Kantor Kecamatan Cililin, Kantor Kelurahan, dan Perpustakaan. Data yang
diperoleh dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif.
Analisis kualitatif meliputi pengamatan lokasi, karakteristik petani, sistem
budidaya, struktur pasar, perilaku pasar, saluran tataniaga, marjin tataniaga, aspek
pasar dan pemasaran, aspek sosial budaya, dan aspek teknik dan teknologi.
Sedangkan analisis kuantitatif melihat keragaan pasar dengan pendekatan analisis
marjin tataniaga, analisis ekonomi budidaya kayu Sengon yang meliputi
perhitungan B/C (Benefit and cost ratio) , IRR (Internal rate of return), dan NPV
(Net present value).
Umumnya jenis kayu yang diperdagangkan di wilayah penelitian
Kecamatan Cililin adalah jenis kayu Sengon (Paraserianthes falcataria) atau
disebut kayu Albazia.
Jenis kayu lainnya; kayu Afrika (Maesopsis eminii),
Mahoni (Swetinia mahagoni), Manglid (Maglonia blumei), Jati (Tectona grandis),
Suren (Toona sureni), dan Nangka (Arthocarpus heterophyllus).
Jenis kayu pada tingkat Industri Penggergajian Kayu (IPK) dihasilkan
bermacam-macam ukuran seperti; tiang, papan, kaso, kusen, palang, reng dan
palet. Beberapa cara yang digunakan dalam proses penjualan kayu diantaranya;
Petani menawarkan langsung kayu kepada tengkulak atau pengolah; Tengkulak
atau pengolah telah mengamati kebun-kebun kayu milik masyarakat sebelumnya;
Tengkulak dan pengolah mendapatkan informasi dari masyarakat lainnya. Sistem
pembayaran yang diggunakan pada tingkat tengkulak dan pengolah adalsh cara
tunai sebanyak 62,96 persen dan cara mencicil 11,11 persen, dan sisanya 25,93
persen menggunakan cara keduanya. Struktur pasar yang terbentuk berdasarkan
jumlah antara lembaga pemasaran dan petani adalah struktur persaingan tidak
sempurna (Imperfect competitive market).
Lembaga tataniaga kayu Sengon pada wilayah penelitian adalah; Petani
Sengon, Tengkulak kayu, Pengolah kayu, Industri Penggergajian Kayu (IPK),
Pedagang penampung dan Material. Secara umum saluran tataniaga kayu Sengon
di Kec.Cililin dapat dikelompokkan menjadi tujuh saluran tataniaga, yaitu;
Saluran I (Petani, Tengkulak, dan Pedagang Penampung). Saluran II (Petani,
Tengkulak, Industri Penggergajian Kayu (IPK), dan Material). Saluran III (Petani,
Pengolah, dan Pedagang Penampung). Saluran IV (Petani, Pengolah, dan
Material). Saluran V (Petani, Industri, dan Material. Saluran VI Petani,
Tengkulak, Industri Penggergajian Ka yu (IPK), Pedagang
Penampung). Dan
yang terakhir saluran VII (Petani, Tengkulak, dan Industri luar daerah).
Beberapa masalah yang dihadapi oleh petani dan pelaku pasar lainnya
dalam pemasaran kayu Sengon di Kecamatan Cililin diantaranya adalah; Masih
rendahnya pengetahuan petani tentang tata cara bertani atau berkebun kayu
Sengon (budidaya, pemanenan, penaganan pasca panen) yang baik, Terbatasnya
akses informasi pasar oleh petani; Kualitas dan jumlah kayu yang dipanen masih
rendah, Petani tidak memiliki kelompok kerja antara sesama petani atau dengan
pelaku tataniaga lainnya sebagai tempat untuk bertukar pengalaman mengenai
budidaya, pemasaran, atau masalah pertanian lainnya.
Saluran yang paling banyak digunakan adalah saluran tataniaga I (Petani–
Tengkulak–Pedagang Penampung). Dengan marjin tataniaga tengkulak sebesar
36,51 persen dan keuntungan sebesar 154,05 persen, sedangkan Farmer’s share
petani sebesar 63,40 persen dengan keuntungan sebesar 29,22 persen.
Nilai rata-rata marjin keuntungan terbesar diperoleh pengolah sebesar Rp
46.488.10/m3 , diikuti oleh Industri Penggergajian Kayu (IPK) sebesar Rp
40.666.67/m3 , kemudian tengkulak sebesar Rp 36.916.67/ m3 , tengkulak sebesar
Rp 35.375.00/m3 dan yang terendah Petani sebesar Rp 28.132.19/ m3.
Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa sistem tataniaga kayu
gergajian jenis Sengon di wilayah Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung belum
efisien karena tidak adanya pembagian keuntungan yang merata antara pelaku
tataniaga yang terlibat. Usaha budidaya Sengon di wilayah Kecamatan Cililin
Kabupaten Bandung layak untuk dilakukan karena berdasarkan nilai B/C ratio
lebih dari 1 (satu), yaitu sebesar 3,34, dengan nilai NPV positif sebesar 1. 242.738,
dan nilai IRR sebesar 39,85 persen lebih besar dari r yang diinginkan.
Saran yang dapat diberikan diantaranya perlu diadakannya pelatihan
budidaya tanaman Sengon bagi petani secara terpadu, sehingga diharapkan
usahatani tersebut dapat memiliki produktivitas hasil yang tinggi dan dapat
meningkatkan keuntungan petani. Untuk meningkatkan efisiensi sistem tataniaga
kayu Sengon di wilayah Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung, perlu dibentuk
kelompok tani sebagai wadah bagi petani untuk mengetahui informasi pasar,
mendapatkan bantuan modal dan teknologi budidaya yang digunakan.
ANALISIS SISTEM TATANIAGA KAYU
JENIS SENGON (Paraserianthes falcataria) DAN
PROSPEK PENGEMBANGANNYA
(Kasus di Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung, Jawa Barat)
Oleh :
Anggun Eka Nugraha Putra
A 14101658
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Pertanian
Pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006
PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh:
Nama
: Anggun Eka Nugraha Putra
Nrp
: A 14101658
Program Studi : Ekstensi Manajeman Agribisnis
Judul Skripsi
: Analisis Sistem Tataniaga Kayu Jenis Sengon
(Paraserianthes falcataria) dan Prospek Pengembangannya
(Kasus di Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung, Jawa Barat).
Dapat diterima sebagai syarat kelulusan pada Program Sarjana Ekstensi
Manajeman Agribisnis Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Harianto, MS
Nip. 131 430 801
Mengetahui,
Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr.
Nip. 130 422 698
Tanggal Kelulusan 23 Januari, 2006
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENARBENAR MERUPAKAN HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM
PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA SUATU
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Januari 2006
Anggun Eka Nugraha Putra
A 14101658
RIWAYAT HIDUP
Penulis terlahir dari pasangan Drs. H. Aan Supriatna, MM dan
Hj. I. Rohiyah, S.Ag, pada hari Rabu, tanggal 25 Juni 1980, di Kota Bandung
tepatnya di Desa Bongas Cililin. Penulis terlahir sebagai anak pertama dari dua
bersaudara, dengan nama adik kandung Indah Dwi Kartini Putri.
Penulis mengikuti Pendidikan Sekolah Dasar di SDN Ciherang V Sindang
Barang Ciomas Kabupaten Bogor dan lulus pada tahun 1992, kemudian
melanjutkan ke Pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri di SLTPN
7 Kotamadya Bogor dan lulus pada tahun 1995, setelah itu Penulis melanjutkan
Pendidikan ke Sekolah Menengah Umum Negeri di SMUN 7 Kotamadya Bogor,
dan lulus pada tahun 1998. Pada tahun yang sama penulis di terima sebagai
mahasiswa di Program Diploma III Budidaya Hutan Tanaman Jurusan
Manajeman Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dan lulus
pada tahun 2002. Penulis melanjutkan Pendidikan Sarjana pada Program Ekstensi
Manajeman Agribisnis Pertanian Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
periode pada hari tahun 2003/2004.
Selama menjadi mahasiswa penulis aktif berorganisasi di lingkungan
akademik ataupun masyarakat. Beberapa organisasi kepemudaan yang pernah
diikuti dan dipimpin adalah; sebagai Ketua Himpunan Karang Taruna di
lingkungan tempat tinggal; Ketua Himpunan Forum Komunikasi (FORKOM)
Mahasiswa Diploma III Fakultas Kehutanan IPB dan Wakil Ketua Senat Badan
Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Kehutanan IPB periode tahun 1999-2000;
Anggota Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Fakultas Kehutanan Institut
Pertanian Bogor pada tahun yang sama; dan aktif sebagai anggota pada Himpunan
Mahasiswa Ekstensi Manajemen Agribisnis Institut Pertanian Bogor periode
2003-2004; saat ini penulis menjabat sebagai Ketua Himpunan Alumni Fakultas
Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobil’alamin penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas
rakhmat dan karunia -Nya yang telah diberikan, akhirnya penulis dapat
menyelesaikan Skripsi yang berjudul “Analisis Sistem Tataniaga Kayu Sengon
(Paraserianthes falcataria) dan Prospek Pengembangnnya (Kasus di Kecamatan
Cililin, Kabupaten Bandung, Jawa Barat)”.
Skripsi ini merupakan salah satu syarat kelulusan pendidikan pada
Program Ekstensi Manajeman Agribisnis Pertanian, Institut Pertanian Bogor tahun
ajaran 2005/2006 yang disusun berdasarkan kegiatan yang dilakukan oleh penulis
selama melakukan penelitian dan studi literatur yang ada kaitannya dengan
usahatani kayu Sengon.
Selama menyusun skripsi ini, penulis dapat bimbingan, dukungan, serta
dorongan yang tidak sedikit dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis
sampaikan rasa terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya, semoga
segala perhatian yang diberikan, dilimpahkan rakhmat dan karunia dari Allah
SWT. Amiin. Besar harapan penulis semoga skripsi ini dapat memberikan
manfaat bagi penulis khususnya dan umumnya bagi para pembaca.
Bogor, Januari 2006
Penulis
i
UCAPAN TERIMA KASIH
1. Penulis ucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Ayahku
Drs. H. Aan Supriatna, MM dan Bundaku tercinta Hj. I. Rohiyah, SAg,
yang telah memberikan ilmu, do’a, materi, motivasi dan kesabarannya.
2. Untuk Nenekku, dan seluruh Keluarga besar di Desa Bongas Cililin, Bandung.
Atas do’a, kasih sayang dan sajiannya. Untuk Adikku Indah Dwi Kartini Putri
atas semua perhatiannya.
3. Bapak Dr. Ir. Harianto, MS, sebagai dosen pembimbing yang telah
meluangkan waktu dan menyumbangkan ilmunya untuk membantu Penulis
dalam menyusun skripsi.
4. Ibu Ir. Yayah K. Wagiono, MEc, sebagai dosen Layak Uji dan Ketua Program
Sarjana Ekstensi Manajeman Agribisnis Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
5. Ibu Ir. Ratna Winandi. MS, selaku dosen Eva luator pada Kolokium Skripsi.
6. Bapak Muhammad Firdaus. SP. MSi, sebagai dosen Penguji Utama pada
Sidang Skripsi.
7. Ibu Tanti Novianti, SP. MSi, sebagai dosen Penguji Akademik pada Sidang
Skripsi.
8. Saudara Andri Purna, sebagai Pembahas Seminar.
9. Seluruh Staf Sekretariat Ekstensi Manajemen Agribisnis Pertanian Institut
Pertanian Bogor.
10. Teman dekatku tercinta “Eceu” atas kesetiaan mendampingi, semangat dan
kasih sayangnya selama ini.
11. Seluruh teman dan sahabatku, Uyunk ‘geulis atas ide cemerlangnya, Alimi
‘doth, Adi ‘ndut, Rully ‘boun, Eka Cianjur dan Welly atas keceriaanya.
12. Tim Sepakbola dan Futsal atas keringatnya, dan seluruh sahabat kuliah yang
telah membantu dan tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih.
ii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR........................................................................................
i
UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................. ii
DAFTAR ISI....................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL .............................................................................................. vi
DAFTAR GAMBAR.......................................................................................... vii
DAFTAR LAMPIRAN......................................................................................viii
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang .........................................................................................1
1.2. Perumusan Masalah .................................................................................4
1.3. Tujuan ......................................................................................................7
1.4. Ruang Lingkup dan Manfaat Penelitian ..................................................7
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tataniaga .................................................................................................8
2.2. Lembaga dan Saluran Tataniaga ..............................................................9
2.3. Struktur Pasar...........................................................................................11
2.4. Perilaku Pasar...........................................................................................12
2.5. Efisiensi Tataniaga ...................................................................................12
2.6. Marjin Tataniaga ......................................................................................14
2.7. Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria ) ...............................................16
2.7.1. Botani dan Ekologi.......................................................................17
2.7.2. Penanaman ...................................................................................18
2.7.3. Kegunaan .....................................................................................18
2.8. Studi Penelitian Terdahulu .......................................................................20
2.9. Prospek Pengembangan Sengon (Paraserianthes falcataria ) .................22
III. METODE PENELITIAN
3.1. Penentuan Lokasi dan Waktu Penelitian..................................................23
iii
3.2. Jenis dan Pengumpulan Data. ..................................................................23
3.3. Penentuan Responden..............................................................................24
3.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data .................................................... 24
3.4.1. Analisis Lembaga Tataniaga dan Saluran Tataniaga……… ........ 25
3.4.2. Analisis Struktur Pasar..................................................................25
3.4.3. Analisis Marjin Tataniaga ……………………………. ...............25
3.4.4. Analisis Efisiensi Tataniaga………….......................................... 26
3.4.5. Analisis Aspek Pasar dan Pemasaran...........................................27
3.4.6. Analisis Aspek Sosial Ekonomi Budaya.......................................28
3.4.7. Analisis Aspek Teknis dan Teknologi ..........................................28
3.4.8. Analisis Aspek Keuangan (Financial) ..........................................28
3.4.8.1. NPV(Net Present Value) ..............................................................28
3.4.8.2. IRR(Internal Rate of Return) .......................................................29
3.4.8.3. B/C Ratio(Benefit and Cost Ratio)...............................................29
3.5. Kerangka Operasional………….............................................................. 29
IV. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
4.1. Lokasi Penelitian......................................................................................33
4.2. Sarana Perekonomian...............................................................................35
4.3. Jenis Tanaman Pertanian..........................................................................36
4.4. Sarana Sosial Budaya dan Transportasi...................................................36
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Jenis dan Bentuk Kayu yang Diperdagangkan ........................................ 38
5.2. Lembaga Tataniaga dan Distribusi Kayu.................................................41
5.3. Cara Pembelian dan Pembayaran.............................................................42
5.4. Harga dan Struktur Pasar .........................................................................44
5.5. Total Biaya Tataniaga Kayu Sengon Yang Terjadi .................................46
5.6. Saluran Tataniaga dan Marjin Tataniaga .................................................48
5.7. Marjin Keuntungan..................................................................................51
5.8. Hubungan antara Pelaku Tataniaga dengan Saluran Tataniaga ..............54
5.9. Hubungan antara Saluran Tataniaga dengan Biaya
Tataniaga dan Total Keuntungan ............................................................ 56
iv
5.10. Efisiensi Tataniaga ................................................................................ 58
5.11. Masalah Yang Dihadapi Petani dan Pelaku Pasar .................................59
VI. PROSPEK PENGEMBANGAN BUDIDAYA KAYU SENGON
(Paraserianthes falcataria)
6.1. Aspek Pasar dan Pemasaran ...................................................................61
6.2. Aspek Sosial, Ekonomi dan Budaya ........................................................ 62
6.3. Aspek Teknis dan Teknologi ...................................................................62
6.4. Aspek Keuangan (Finansial) ...................................................................63
6.4.1. NPV (Net Present Value) ..............................................................67
6.4.2. IRR (Internal Rate of Return) .......................................................67
6.4.3. B/C Ratio (Benefit and Cost Ratio) ..............................................69
VII. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan..............................................................................................70
7.2. Saran ......................................................................................................71
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................72
LAMPIRAN………….........................................................................................74
v
DAFTAR TABEL
No
Halaman
1. Data Jumlah Kebutuhan Kayu Bulat dan Gergajian Propinsi Jawa barat........ 4
2. Karakteristik Struktur Pasar .............................................................................26
3. Jumlah Penduduk Berdasarkan Usia di Kecamatan Cililin ..............................34
4. Luas Tanaman dan Jumlah Produksi per ton di Kecamatan Cililin .................36
5. Jumlah Sarana Pendidikan di Kecamatan Ciilin ..............................................37
6. Bentuk dan Jenis Kayu Olahan Dalam Berbagai Macam Ukuran di
Kecamatan Cililin .............................................................................................39
7. Sistem Pembayaran Kayu Sengon oleh Tengkulak dan Pengolah
di Kecamatan Cililin .........................................................................................43
8. Persentase Jumlah Lembaga Pemasaran Kayu Sengon
di Kecamatan Cililin .........................................................................................44
9. Harga Rata-rata Kayu Gelondongan (log) di Kecamatan Ciilin ......................45
10. Marjin Tataniaga (M), Farmer’s share (FS) dan Rasio keuntungan (RK) .....50
11. Marjin Keuntungan Pelaku Pasar di Kecamatan Cililin ..................................53
12. Hubungan Saluran Tataniaga dengan Biaya Tataniaga dan
Total Keuntungan di Kecamatan Cililin ..........................................................57
13. Penerimaan dan Keuntungan Usahatani Kayu Sengon Dalam 5000m2 ..........64
14. Analisis Biaya Usahatani Kayu Sengon Dalam 5000m2
di Kecamatan Cililin........................................................................................ 66
15. Perhitungan NPV Usahatani Kayu Sengon dengan r = 30% ..........................67
16. Perhitungan NPV Usahatani Kayu Sengon dengan r = 40% ..........................68
17. Perhitungan Interpolasi Present value dengan r = 30 dan r = 40 ...................68
18. Perhitungan B/C Ratio Pada Usahatani Kayu Sengon
di Kecamatan Cililin........................................................................................ 69
vi
DAFTAR GAMBAR
No
Halaman
1. Hubungan Antara Marjin Tataniaga, Nilai Marjin Tataniaga serta
Marketing Cost dan Charges ..........................................................................15
2. Skematika Konsep Utama Kerangka Penelitian...............................................32
3. Saluran Tataniaga Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria)
di Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung Tahun 2005...................................54
vii
DAFTAR LAMPIRAN
No
Halaman
1. Biaya Produksi Kebun Sengon di Kecamatan Cililin .............................................. 74
2. Saluran Tataniaga I Kayu Sengon di Kecamatan Cililin.......................................... 76
3. Saluran Tataniaga II Kayu Sengon di Kecamatan Cililin ........................................ 77
4. Biaya Tataniaga Saluran I dan II Kayu Sengon di Kecamatan Cililin..................... 78
5. Biaya dan Saluran Tataniaga III Kayu Sengon di Kecamatan Cililin...................... 79
6. Saluran dan Biaya Tataniaga IV Kayu Sengon di Kecamatan Cililin...................... 80
7. Saluran dan Biaya Tataniaga V Kayu Sengon di Kecamatan Cililin ....................... 81
8. Saluran Tataniaga VI Kayu Sengon di Kecamatan Cililin....................................... 82
9. Biaya Tataniaga Saluran VI dan VII Kayu Sengon di Kecamatan Cililin ............... 83
10. Saluran dan Biaya Tataniaga VII Kayu Sengon di Kecamatan Cililin ................... 84
11. Sistem Pembayaran Pengolah dan Tengkulak, Jumlah Penduduk
Menurut Matapencaharian di Kecamatan Cililin .................................................... 85
12. Analisis Biaya Budidaya Kayu Sengon Kayu Sengon di Kecamatan Cililin ......... 86
13. Total Biaya Tataniaga Kayu Sengon di Kecamatan Cililin Kabupaten
Bandung Tahun 2005 ............................................................................................. 87
viii
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya alam dengan
tingkat kenanekaragaman hayati dan tingkat keunikan (endemisme) yang sangat
tinggi sehingga dimasukkan ke dalam salah satu negara mega-biodiversity.
Keanekaragaman hayati termasuk di dalamnya jenis-jenis satwa dan tumbuhan
serta ekosistemnya, telah memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. Salah
satunya adalah hutan. Hutan merupakan sumber daya alam yang memiliki peranan
yang sangat penting bagi kehidupan makhluk hidup di dunia. Hutan memiliki
fungsi tangiable (dapat diukur dari segi ekonomi) dan intangiable (sulit diukur
dari segi ekonomi). Fungsi hutan yang tangiable adalah sebagai penghasil bahan
baku untuk berbagai keperluan bagi masyarakat seperti untuk kayu gergajian,
kayu lapis, kayu pertukangan, pulp, dan kayu energi. Sedangkan fungsi hutan
yang termasuk fungsi Intangiable yaitu hutan berfungsi sebagai pengatur siklus
hidrologi, penyeimbang ekosistem dan ekologi, pencegah bencana alam (erosi,
longsor dan banjir), tempat rekreasi alam, serta habitat bagi tumbuhan dan satwa.
Pada masa awal pembangunan Indonesia, eksploitasi sumber daya hutan
hanya berorientasi pada timber based management yang menitikberatkan pada
manfaat untuk menghasilkan devisa Negara. Memasuki Abad 21, pembangunan
kehutanan Indonesia dihadapkan pada permasalahan yang makin kompleks yaitu
Indonesia dikenal sebagai negara dengan laju pengurangan luas hutan alam yang
terbesar di dunia. Data menunjukkan laju pengurangan luas hutan tersebut di
Sumatera mencapai 2 persen per tahun, di Jawa mencapai 0,42 persen per tahun,
2
di Kalimantan mencapai 0,94 persen per tahun, di Sulawesi mencapai 1 persen per
tahun dan di Irian Jaya mencapai 0,7 persen per tahun. Pengurangan luas hutan
tersebut terja di akibat proses laju penurunan mutu hutan (degradasi) dan
penggundulan hutan (deforestasi). Beberapa studi menunjukkan laju degradasi
dan deforestasi hutan di Indonesia mencapai rata -rata 1-1,5 juta hektar per
tahunnya 1. Hal tersebut telah memberikan implikasi yang sangat luas dan
mengkhawatirkan bagi kehidupan masa depan. Fungsi-fungsi lingkungan yang
mendukung kehidupan manusia terabaikan, beranekaragam kehidupan flora dan
fauna yang membentuk mata rantai kehidupan menjadi rusak dan hilang, yang
terjadi saat ini adalah banjir di beberapa daerah serta kebakaran hutan yang
menimbulkan kabut asap. Selain itu laju kerusakan yang tinggi mengakibatkan
sumber daya hutan Indonesia mengalami penurunan potensi kayu yang sangat
berarti dari tahun ke tahun. Disisi lain permintaan untuk kebutuhan kayu
perumahan, pulp, gergajian, energi, dan bahan baku lainnya meningkat seiring
dengan bertambahnya jumlah penduduk Indonesia, dampaknya adalah persediaan
kayu yang ada tidak dapat mencukupi kebutuhan.
Berdasarkan hasil paduserasi Tata Guna Hutan dengan Rencana Tata
Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) yang dituangkan kedalam keputusan
Gubernur Jawa Barat nomor 17, luas potensi sumber daya hutan di Propinsi Jawa
Barat seluas 784.119 ha, atau sekitar 22,57 persen dari luas daratan Jawa Barat.
Luas tersebut terdiri dari hutan produksi 295.635 ha, hutan lindung 210.138 ha.
Selain kawasan hutan hasil paduserasi, di Jawa Barat terdapat hutan milik atau
hutan rakyat seluas 98.127,78 ha. Berdasarkan aspek pengelolaan, kawasan hutan
seluas 792.467 ha atau sekitar 79,19 persen dari luas kawasan hutan Jawa
1
WWW.dephut.goid/informasi/peta%20tematik/DEFOREST.HTM-4k.
3
Barat sepenuhnya dikelola oleh Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. Sisanya
berupa kawasan konservasi seluas 208.267 ha atau sekitar 20,81 persen dari luas
kawasan hutan Jawa Barat yang terdiri dari kawasan suaka alam dan kawasan
pelestarian alam yang dikelola oleh unit-unit pengelolaan Taman Nasional.
Berdasarkan data mengenai jumlah kebutuhan kayu bulat dan kayu
gergajian di Propinsi Jawa Barat pada Tabel 1, besarnya jumlah kebutuhan kayu
di wilayah Jawa Barat sangat tergantung kepada Perum Perhutani sebagai
lembaga resmi yang bekerja sama dengan Pemerintah dalam pemanfaatan hasil
hutan kayu dan non kayu. Sejak lima tahun lalu kebutuhan kayu diperkirakan
mencapai sekitar lima juta meter kubik per tahun. Sedangkan, produksi kayu bulat
Perhutani setiap tahun rata-rata hanya satu juta meter kubik. Pada 1999, produksi
kayu bulat Perhutani tercatat 1,8 juta meter kubik. Pada 2000 menurun menjadi
1,6 juta meter kubik. Penurunan produksi itu membuat Perhutani menurunkan
target tebangan tahun 2003, menjadi 931.503 meter kubik, dan tahun 2004
diturunkan lagi menjadi 847.320 meter kubik. Kebutuhan bahan baku kayu untuk
industri maupun perorangan di Jawa semakin hari kian meningkat. Pasokan dari
pulau lain dipastikan tidak mencukupi, karena arus pembangunan fisisk yang
membutuhkan bahan baku kayu dalam jumlah banyak.
Kebutuhan kayu bulat tahun 2001 jumlahnya semakin menurun
dibandingkan denagan tahun-tahun sebelumnya. Menurunnya jumlah kebutuhan
kayu bulat untuk Perum Perhutani tersebut sesuai dengan kebijakan Departemen
Kehutanan yang menerapkan kebijakan untuk mengurangi dan menghentikan
sementara kegiatan pemanenan atau penebangan kayu rimba di wilayah Perum
Perhutani unit III Jawa Barat. Kebijakan ini ditujukan untuk mengurangi dampak
4
yang kerusakan alam disebabkan menurunnya daya dukung alam bagi lingkungan
sekitarnya sehingga terjadi bencana alam seperti tanah longsor, banjir, dan
kekeringan. Selain itu juga ditujukan untuk mengembalikan potens i tegakan kayu
sehingga volume kayu yang dipanen meningkat2. Disisi lain berbeda dengan
kondisi kebutuhan kayu bulat pada Perum Perhutani yang semakin menurun,
jumlah kebutuhan kayu untuk kayu gergajian semakin meningkat. Sesuai data
Dirjen Pengusahaan Hutan yang terdapat pada Tabel 1, Pada tahun 2000 jumlah
kebutuhan kayu gergajian sebesar 501.000.00/ m3 , kemudian meningkat menjadi
702.356.30/m 3, pada tahun 2001.
Tabel. 1. Data Jumlah Kebutuhan Kayu Bulat dan Gergajian Propinsi Jawa Barat
Tahun 1995-2001
JENIS KEBUTUHAN KAYU
(m3)
KAYU BULAT
KAYU GERGAJIAN
1995
Jawa Barat
0
7.889.81
Perum Perhutani
1.869.850.44
0
1996
Jawa Barat
0
44.969.71
Perum Perhutani
1.949.203.24
1997
Jawa Barat
374.340.17
45.930.02
Perum Perhutani
1.821.297
1998
Jawa Barat
0
145.020.13
Perum Perhutani
2.027.682.19
1999
Jawa Barat
0
444.877.10
Perum Perhutani
1.890.900.78
2000
Jawa Barat
0
501.000.00
Perum Perhutani
897.615.38
2001
Jawa Barat
0
702.356.30
Perum Perhutani
1.455.403
Sumber : Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan (2003)
TAHUN
PROPINSI/LEMBAGA
KEHUTANAN
Sumber daya hutan memiliki keterbatasan untuk memperbaharui alam
yang ada didalamnya. Daya regenerasi hutan lebih rendah apabila dibandingkan
dengan tingkat pemanfaatan sumber daya kayu untuk pemenuhan kebutuhan
hidup manusia. Semakin tinggi kebutuhan akan sumber daya hutan, maka akan
2
WWW.grenomies.org/docs%semi201004_hutan.doc
5
semakin berkurang potensi sumber daya hutan tersebut, dan apabila kondisi ini
semakin hari semakin tidak terkendali maka kondisi ekosistem hutan akan
menjadi rusak dan luas kawasan hutan akan semakin berkurang karena adanya
kegiatan ekploitasi dan konversi areal hutan untuk kebutuhan-kebutuhan lainnya.
(Soerianegara, 1996).
Pertimbangan ekonomi dalam hal ekploitasi, produksi dan konsumsi harus
diimbangi dengan pertimbangan ekologi dalam hal regenerasi, rehabilitasi dan
konservasi. Kecepatan ekploitasi sumber daya hutan harus seimbang dengan
kecepatan tumbuh dari sumber daya hutan tersebut. Ekploitasi sumber daya hutan
banyak dilakukan untuk memenuhi kebutuhan manusia, salah satunya adalah
untuk bahan baku kayu gergajian. Di daerah pedesaan dan perkotaan telah banyak
tersebar industri-industri kayu gergajian dengan menggunakan jenis bahan baku
kayu yang berbeda. Di daerah pedesaan seperti di Kecamatan Cililin Kabupaten
Bandung, jenis bahan baku yang umum digunakan adalah jenis kayu Sengon
(Paraserianthes falcataria).
1.2. Perumusan Masalah
Kayu Sengon terkenal murah dan mudah dalam penggunaanya sebagai
kayu gergajian. Di wilayah Kecamatan Cililin, harga kayu Sengon sangat
tergantung terhadap kualitas dan kuantitasnya di alam. Dengan meningkatnya
jumlah industri penggergajian kayu, kebutuhan pasokan bahan baku kayu Sengon
akan semakin meningkat. Berdasarkan pengamatan awal di lokasi penelitian,
Kecamatan Cililin memiliki kondisi lingkungan alam yang subur dengan kondisi
topografi lahan yang berbukit. Kondisi lingkungan ini sangat sesuai untuk
6
tanaman Sengon sehingga dapat tumbuh dengan baik. Akan tetapi kondisi tersebut
belum didukung oleh sistem budidaya yang baik oleh petani sebagai produsen
kayu. Petani di Kecamatan Cililin masih mengandalkan bibit Sengon yang tumbuh
liar di alam dengan tingkat keberhasilan tumbuhnya yang rendah. Oleh karena itu
pengamatan mengenai prospek pengembangan budidaya Sengon mulai dari
pembibitan sampai dengan pemasaran hasil kayu sangat penting. Dengan
diketahuinya tingkat kelayakan budidaya Sengon di wilayah tersebut, diharapkan
dapat menjadi acuan bagi Pemerintah Daerah dan pengusaha untuk berinvestasi
menanam kayu Sengon. Dis isi lain, secara tidak langsung hal ini juga dapat
membantu meningkatkan keuntungan petani kayu Sengon di tempat penelitian.
Petani sebagai produsen kayu di Kecamatan Cililin belum menganggap
tanaman Sengon sebagai suatu komoditi yang bernilai ekonomi tinggi. Hal ini
terlihat dari sedikitnya jumlah petani yang mengelola kebunnya dengan baik.
Terbatasnya kemampuan petani dalam budidaya Sengon menjadi salah satu
penyebab mereka kurang memiliki daya saing dalam menawarkan kayu Sengon,
sehingga volume kayu dan keuntungan dari hasil penjualan yang didapatnya
sedikit. Harga kayu yang dijual lebih ditentukkan oleh para tengkulak dan
memposisikan petani sebagai penerima harga (price taker). Posisi tersebut
mengakibatkan peran tengkulak lebih menonjol dan mendapatkan keuntungan
yang lebih besar dibandingkan petani. Walaupun kondisi tersebut adalah kondisi
yang umumnya terjadi dalam suatu usahatani, akan tetapi perlu dikaji lebih jauh
mengenai sistem tataniaga yang sedang terjadi saat ini sehingga dapat diketahui
apakah sistem tataniaga tersebut sudah efisien atau belum.
7
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang ingin dicapai, yaitu :
1. Menganalisis sistem tataniaga kayu jenis Sengon di Kecamatan Cililin,
Kabupaten Bandung.
2. Menganalisis prospek pengembangan budidaya tanaman Sengon oleh
masyarakat di Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung.
1.4. Ruang Lingkup dan Manfaat Penelitian
Ruang lingkup penelitian meliputi kegiatan tataniaga kayu Sengon di
Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung. Kegiatan tersebut meliputi kegiatan
budidaya tanaman di persemaian, penanaman, pemanenan, distribusi, dan proses
jual beli. Termasuk kedalamnya analisis pendapatan dan biaya usahatani serta data
mengenai jumlah dan fungsi saluran serta lembaga tataniaga yang terlibat seperti
produsen dan konsumen akhir. Konsumen akhir dalam penelitian ini
diartikan sebagai sekelompok orang atau individu yang membeli kayu untuk
diperjual belikan dengan cara dirubah bentuknya ataupun disesuaikan dengan
kebutuhan para pengguna.
Manfaat pe nelitian yang diharapkan adalah sebagai referensi bagi
penelitian mengenai sistem tataniaga kayu Sengon selanjutnya, dan acuan untuk
Pemerintah Daerah dalam rangka pengembangan budidaya Sengon secara terpadu
di kebun-kebun masyarakat, serta acuan bagi pengusaha yang ingin berinvestasi
pada usahatani kayu Sengon di Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tataniaga
Definisi tataniaga menurut Kohls, R.L. (1967) adalah keragaan dari semua
aktivitas bisnis dalam upaya menyalurkan produk atau jasa mulai dari titik
produksi sampai ketangan konsumen. Tataniaga merupakan suatu kegiatan
manusia yang diarahkan untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan melalui
proses pertukaran, yaitu meliputi kegiatan untuk memindahkan barang dan jasa
dari produsen ke konsumen (Kotler,1990).
Pengertian tataniaga dapat dilihat dengan pendekatan manajerial (aspek pasar)
dan aspek ekonomi. Berdasarkan aspek manajerial, tataniaga merupakan analisis
perencanaan organisasi, pelaksanaan dan pengendalian pemasaran untuk
menentukkan kedudukan pasar. Sedangkan berdasarkan aspek ekonomi, tataniaga
merupakan distribus i fisik dan aktivitas ekonomi yang memberikan fasilitasfasilitas untuk begerak, mengalir dan pertukaran komponen barang dan jasa dari
produsen ke konsumen. Selain itu tataniaga merupakan kegiatan produktif karena
meningkatkan, menciptakan nilai guna bentuk, waktu, tempat dan kepemilikan.
Dengan demikian tataniaga pertanian dapat diartikan sebagai semua bentuk
kegiatan dan usaha yang berhubungan dengan perpindahan hak milik dan fisik
dari barang-barang hasil pertanian dan kebutuhan usaha pertanian dari tangan
produsen ke konsumen, termasuk di dalamnya kegiatan-kegiatan tertentu yang
menghasilkan perubahan bentuk dari barang untuk mempermudah penyalurannya
dan memberikan kepuasan yang lebih tinggi kepada konsumen (Limbong, 1997).
9
Dalam menganalisis sistem tataniaga Khols, R.L. (1967), selanjutnya
mengemukakan beberapa pendekatan yang digunakan, yaitu :
1. Pendekatan Fungsi (the fungsional approach)
Merupakan pendekatan yang digunakan untuk mengetahui fungsi tataniaga
apa saja yang dijalankan oleh pelaku yang terlibat dalam tataniaga. Fungsifungsi tersebut adalah fungsi pertukaran (pembelian dan penjualan), fungsi
fisik (penyimpanan, transportasi, dan pengolahan) dan fungsi fasilitas
(standarisasi, resiko, pembiayaan, dan informasi pasar).
2. Pendekatan Kelembagaan (the institutional approach)
Merupakan pendekatan yang digunakan untuk mengetahui berbagai macam
lembaga atau pelaku yang terlibat dalam tataniaga. Pelaku-pelaku itu adalah
pedagang perantara (merchant middleman) yang terdiri dari pedagang
pengumpul, pedagang pengecer, pedagang spekulatif, agen, manufaktur; dan
organisasi lainnya yang terlibat.
3. Pendekatan Sistem (the behavior system approach)
Merupakan pelengkap dari pendekatan fungsi kelembagaan, untuk mengetahui
aktivitas-aktivitas yang ada dalam proses tataniaga, seperti perilaku lembaga
yang terlibat dalam tataniaga dan kombinasi dari fungsi tataniaga. Pendekatan
ini terdiri dari the input-output system, the power system, dan the
communication system.
2.2. Lembaga dan Saluran Tataniaga
Hanafiah dan Saefudin (1983), menjelaskan bahwa lembaga tataniaga adalah
badan-badan yang menyelenggarakan kegiatan atau fungsi tataniaga dimana
10
barang bergerak dari produsen sampai ke konsumen. Lembaga tataniaga ini bisa
termasuk golongan produsen, pedagang perantara, dan lembaga pemberi jasa.
Saluran tataniaga merupakan cara yang digunakan untuk menyampaikan produk
oleh produsen kepada konsumen. Saluran tataniaga sangat penting terutama untuk
melihat tingkat harga pada masing-masing lembaga pertanian dan harga jual
produk di pasaran. Panjang pendeknya saluran tataniaga suatu produk pertanian
tergantung kepada beberapa faktor yaitu ;
1. Jarak dari produsen ke konsumen
Semakin jauh jarak antara produsen dan konsumen akan cenderung
menciptakan saluran tataniaga yang panjang dengan aktivitas dan pelaku
bisnis yang lebih banyak.
2. Sifat komoditas
Produk yang cepat rusak membutuhkan saluran tataniaga yang relatif pendek
agar dapat segera sampai ke konsumen untuk diolah atau dikonsumsi.
3. Skala produksi
Skala produksi yang semakin besar menyebabkan saluran tataniaga akan
semakin banyak melibatkan sejumlah lembaga tataniaga. Dengan demikian
kehadiran pedagang perantara diharapkan dalam penyaluran produk sehingga
saluran yang akan dilalui cenderung lebih panjang.
4. Kekuatan modal yang dimiliki
Produsen dengan modal yang besar cenderung memiliki saluran tataniaga
yang pendek karena fungsi tataniaga yang dapat dilakukan lebih banyak
dibandingkan dengan produsen yang modalnya lemah. Dengan kata lain,
pedagang dengan modal yang besar cendrung memperpendek saluran TN.
11
2.3. Struktur Pasar
Struktur pasar (market structure) adalah suatu dimensi yang menjelaskan
pengambilan keputusan oleh perusahaan atau industri, jumlah perusahaan dalam
suatu pasar, distribusi perusahaan menurut berbagai ukuran seperti size atau
concentration , deskripsi produk dan diferensiasi produk, syarat-syarat entry dan
sebagainya (Limbong, 1997). Struktur pasar dicirikan oleh konsentrasi pasar,
differensiasi produk, dan kebebasan keluar-masuk pasar. Dalam analisis sistem
tata niaga, struktur pasar sangat diperlukan karena secara otomatis akan dijelaskan
bagaimana perilaku penjual dan pembeli yang terlibat (market conduct) dan
selanjutnya akan menunjukkan keragaan yang terjadi dari struktur dan perilaku
pasar (market performance) yang ada dalam sistem tataniaga tersebut.
Hammond dan Dahl (1977), menetapkan empat faktor penentu dari
karakteristik struktur pasar, yaitu; Jumlah atau ukuran perusahaan, Kondisi atau
keadaan komoditas, Kondisi keluar masuk perusahaan, dan tingkat pengetahuan
yang dimiliki oleh partisipan dalam tataniaga. Berdasarkan strukturnya, pasar
digolongkan menjadi dua yaitu Pasar bersaing sempurna dan bersaing tidak
sempurna. Pasar bersaing sempurna jika terdapat banyak pembeli dan penjual,
setiap pembeli maupun penjual hanya menguasai sebagian kecil dari barang dan
jasa, sehingga tidak dapat mempengaruhi harga pasar (price taker), barang atau
jasa homogen serta pembeli dan penjual bebas keluar masuk pasar (freedom to
entry and to exit). Sedangkan pasar tidak ber saing sempurna dapat dilihat dari dua
sisi, yaitu sisi penjual dan pembeli. Dari sisi pembeli terdiri dari pasar monopsoni,
oligopsoni, dan sebagainya. Dari sisi penjual terdiri dari pasar persaingan
monopolistik, monopoli, oligopoli dan sebagainya.
12
2.4. Perilaku Pasar
Perilaku pasar menunjukkan tingkah laku perusahaan dalam struktur pasar
tertentu, terutama bentuk-bentuk keputusan apa yang harus diambil dalam
menghadapi berbagai struktur pasar. Perilaku pasar meliputi kegiatan penjualan,
pembelian, penentua n harga dan strategi tataniaga. Perilaku pasar dapat dilihat
dari proses pembentukan harga dan stabilitas pasar, serta ada tidaknya praktek
jujur dari lembaga yang terlibat dalam tataniaga (Azzaino,1983).
2.5. Efisiensi Tataniaga
Kohls, R.L.(1967), menjelaskan bahwa untuk memahami efisiensi tataniaga
harus terlebih dahulu memahami tataniaga sebagai suatu aktifitas bisnis yang
ditujukan untuk menyampaikan suatu produk kepada konsumen. Output dari
aktifitas tataniaga adalah kepuasan konsumen terhadap suatu produk dan jasa,
sedangkan input-nya adalah semua sumber daya usaha yang meliputi tenaga kerja,
kapital, dan manajemen yang digunakan perusahaan dalam proses produksi.
Sehingga efisiensi tataniaga dapat diartikan sebagai maksimisasi dari rasio inputoutput, atau efisiensi dapat diartikan sebagai suatu perubahan yang menyebabkan
berkurangnya biaya input pada suatu pekerjaan tanpa mengurangi kepuasan
konsumen dari keluaran suatu produk atau jasa.
Efisiensi dalam pengertian sederhana merupakan keluaran (output) yang
optimum dari penggunaan seperangkat masukan (input). Hanafiah dan Saefudin
(1983), menjelaskan bahwa pengertian efisiensi tataniaga akan berbeda tergantung
dari sudut pandang mana kita melihatnya. Pengertian efisiensi tataniaga yang
dimaksud oleh pengusaha tentunya akan berbeda dengan yang dimaksudkan oleh
13
konsumen. Perbedaan ini timbul karena adanya perbedaan kepentingan antara
pengusaha dan konsumen. Pengusaha menganggap suatu sistem tataniaga efisien
apabila penjualan produknya mendatangkan keuntunga n yang tinggi baginya,
sebaliknya konsumen menganggap sistem tataniaga tersebut efisien apabila
konsumen mudah mendapatkan barang yang diinginkan dengan harga rendah.
Suatu perubahan yang dapat meningkatkan kepuasan konsumen akan output
barang atau jasa me nunjukkan suatu perbaikan tingkat efisiensi tataniaga.
Sebaliknya suatu perubahan yang dapat mengurangi biaya input tetapi juga
mengurangi kepuasaan konsumen menunjukkan suatu penurunan tingkat efisiensi
tataniaga. Banyak cara yang digunakan untuk meningkatkan efisiensi tataniaga
yaitu dengan cara sebagai berkut :
1. Menghilangkan persaingan yang tidak bermanfaat,
2. Mengurangi jumlah pedagang perantara pada saluran,
3. Membuka metode cooperative,
4. Memberi bantuan kepada konsumen,
5. Standarisasi dan implikasi.
Untuk melihat efisiensi dapat dengan dua konsep yaitu pertama, dengan
konsep analisis struktur, perilaku dan keragaan pasar serta konsep kedua yaitu
dengan konsep rasio input-output. Penggunaan konsep yang kedua yaitu dengan
rasio input-output menghadapi kesulitan dalam pengukuran kepuasan konsumen,
sehingga pengukuran tingkat efisiensi tataniaga dilakukan melalui pendekatan lain
yaitu melalui efisiensi operasional dan efisiensi harga. Efisiensi operasional
menekankan pada keterkaitan harga dalam mengalokasikan komoditas dari
produsen ke konsumen akibat perubahan tempat, bentuk dan waktu yang diukur
14
melalui keterpaduan pasar yang terjadi akibat pergerakan komoditas dari satu
pasar ke pasar lainnya. Sedangkan efisiensi harga menekankan kepada
kemampuan meminimumkan biaya yang dipergunakan untuk menggerakkan
komoditas dari produsen ke konsumen atau kemampuan meminimumkan biaya
untuk menyelenggarakkan fungsi-fungsi tataniaga. Efisiensi harga dapat didekati
dengan perhitungan biaya dan marjin tataniaga. Istilah bia ya tataniaga yang
dimaksud adalah mencakup jumlah pengeluaran yang dikeluarkan oleh pelaku
tataniaga untuk pelaksanaan kegiatan pemasaran produk. Biaya tataniaga suatu
produk biasanya diukur secara kasar dengan marjin. Pada pengukuran efisiensi
ekonomis, margin tataniaga sering digunakan sebagai alat ukur untuk mengetahui
efisiensi dari sistem tataniaga tersebut (Hanafiah dan Saefudin. 1983).
2.6. Marjin Tataniaga
Marjin adalah suatu istilah yang digunakan untuk menyatakan perbedaan
harga yang terjadi pada suatu tingkat yang berbeda dalam sistem tataniaga. Pada
suatu perusahaan istilah marjin merupakan uang yang ditentukkan secara internal
accounting , yang diperlukan untuk menutupi biaya dan laba, dan ini merupakan
perbedaan antara harga pembelian dan penjuala n. Hanafiah dan Saefudin (1983)
Hammond dan Dahl (1977) mendefinisikan marjin tataniaga sebagai
perbedaan harga di tingkat petani (Pf) dengan harga pedagang pengecer (Pr).
Marjin tataniaga menjelaskan perbedaan harga dan tidak memuat pernyataan
mengenai jumlah produk yang dipasarkan. Marjin tataniaga juga dapat
digambarkan sebagai jarak vertikal antara kurva permintaan atau kurva
penawaran. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1.
15
Nilai Marjin Tataniaga
Harga
= (Pr-Pf).Qr,f
Sr
Pr
Marjin Tataniaga {
(Pr-Pf)
Sf
Pf
Dr
Df
0
Qr,f
Marketing Costs
(pembayaran untuk faktor -faktor produksi)
Marketing Charges
(pembayaran untuk
lembaga tataniaga)
Gaji/Upah
Bunga
Sewa
Keuntungan
Pengecer
Grosir
Pengolah
Pengumpul
Gambar 1. Hubungan Antara Marjin Tataniaga, Nilai Marjin Tataniaga
serta Marketing Costs dan Charges.
Sumber: Hammond dan Dahl (1977)
Keterangan :
(Pr-Pf), Qr,f
= Nilai marjin tataniaga
Pr
= Harga di tingkat pedagang pengecer
Pf
= Harga di tingkat petani
Sr
= Suplai di tingkat pengecer (derived supply)
Sf
= Suplai di tingkat petani (primary supply)
Dr
= Permintaan di tingkat pengecer (derived demand)
Df
= Permintaan di tingkat petani (primary demend)
Qr,f
= Jumlah keseimbangan di tingkat petani dan tingkat pengecer
16
Dari Gambar 1, dapat dilihat bahwa terbentuknya marjin tataniaga merupakan
hasil perkalian antara selisih harga di dua tingkat lembaga tataniaga (Pr-Pf)
dengan jumlah komoditas yang dipasarkan (Qr,f). Nilai marjin tataniaga pada
dasarnya dapat dianalisis berdasarkan dua aspek kajian, yaitu (Marketing cost)
biaya tataniaga dan (Marketing charges) beban tataniaga. Biaya tataniaga
merupakan semua jenis biaya yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga dalam
menyampaikan komoditas dari titik produsen ke konsumen dan beban tataniaga
merupakan penerimaan yang diperoleh lembaga tataniaga sebagai imbalan dari
menyelenggarakan fungsi-fungsi tataniaga.
2.7. Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria)
Budi, S.H. (1992), menyatakan bahwa Sengon merupakan salah satu jenis
tanaman yang tumbuh dengan cepat di daerah tropis. Untuk pertama kalinya pada
tahun 1871, Teysmann menemukan Tanaman Sengon di pedalaman Pulau Banda,
yang kemudian dibawa ke Kebun Raya Bogor. Dari kebun inilah kemudian
Sengon tersebar ke berbagai daerah mulai dari Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi, sampai Irian Jaya. Pada saat ini Sengon juga dijumpai di Negara
Filipina, Malaysia, Srilanka, dan India. Dengan nama biasa atau nama ilmiah
apapun yang dikenal, kayu Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen)
merupakan pohon serbaguna yang berharga untuk daerah tropis beriklim lembab.
Species ini juga merupakan salah satu species yang dapat digunakan sebagai kayu
plup, kayu bakar, pohon hias, naungan (kopi, teh dan ternak sapi) dan produk
kayu lainnya. Pemanfaatan potensial yang sedang di uji coba dalam penanaman
hutan adalah dengan sistem tumpang sari.
17
2.7.1. Botani dan Ekologi
Paraseriamthes falcataria termasuk keluarga Leguminosae (sub-keluarga
Mimosoideae). Jenis ini sudah dikenal luas dengan nama yang lamanya, Albizia
falcataria, atau juga pernah di sebut A. moluccana dan A. Falcata ”Falcate”,
artinya melengkung seperti sabit sesuai dengan bentuk daunnya. Ranting daun
berpasang-pasangan, panjang antara 23-30 cm. Bunganya berwarna putih gading,
polongnya tipis, rata, panjang 10-13 cm dengan lebar 2 cm. Falcataria termasuk
pohon besar hingga mencapai ketinggian 24-30 m, dengan diameter 80 cm. Jika di
tempat terbuka akan membentuk tajuk yang besar berbentuk payung. Pada
penanaman sebanyak 1000-2000 pohon/ha, tajuk akan menyempit, karena
membutuhkan banyak cahaya. Setelah berumur 3-4 tahun akan memproduksi biji
secara teratur dalam jumlah banyak. Sengon tumbuh secara alami di Indonesia,
Papua Nugini dan Kepulauan Solomon dari 10ºLS-30ºLU. Dalam habitat
alamiahnya bisa tumbuh dari permukaan laut sampai 1200 m. Dengan curah hujan
2000-4000 mm, serta musim kemarau kurang dari dua bulan dengan suhu antara
22ºC-34ºC. Meski lebih menyukai tanah basa (NAS 1983 dalam Budi 1992),
namun dapat pula tumbuh baik pada tanah masam. Berdasarkan hasil analisa
korelasi dan regresi ganda memperlihatkan bahwa kedalaman lapisan tanah atas
merupakan indikator yang paling penting untuk kualitas tempat tumbuh Sengon.
Akar Sengon relatif menguntungkan dibandingkan akar pohon lainnya. Akar
tunggangnya cukup kuat menembus ke dalam tanah. Sementara itu akar
rambutnya tidak terlalu besar, dan tidak semrawut. Akar rambut tersebut akan
dimanfaatkan oleh pohon induknya untuk menyimpan zat nitrogen, oleh sebab itu
tanah di sekitar pohon Sengon akan menjadi subur (Budi, S.H. 1992).
18
2.7.2. Penanaman
Pada umumnya tanaman Sengon diperbanyak dengan biji. Biji tersebut dapat
dibeli di penangkar benih, kios-kios pertanian, ataupun dicari di bawah pohon
induk. Jumlah biji Sengon sebanyak 42000 per kg dengan perkecambahan biji
mudah dan hanya membutuhkan perendaman air semalam. Agar perkecambahan
seragam, biji-biji tersebut dapat dimasukan dalam air panas atau dalam masam
belerang pekat (H2SO4) selama 10 menit, dilanjutkan dengan perendaman dalam
air selama 15 menit. Anakan Sengon ditanam setelah tiga bulan di persemaian
dan akan tumbuh dengan cepat di lahan (NAS, 1983 dalam NFTA World
Education. 1991).
Penanaman Sengon diawali dengan pengaturan jarak tanam dan pembuatan
lubang tanam. Jarak tanam untuk produksi kayu Pulp dengan waktu rotasi antara
6-8 tahun adalah 3 m x 3 m. Jika yang diinginkan kayu tebangan untuk papan,
pada umur 6-8 tahun tegakan dapat dijarangkan sampai 6 m x 6 m dan dipanen
pada umur 15 tahun. Pada lahan yang lebih subur, umumnya jarak tanam untuk
produksi kayu Pulp 4 m x 4 m. Dari penelitian tentang jarak tanam yang lebih
rapat ditemukan bahwa pertumbuhan dengan jarak 2 m x2 m secara signifikan
lebih cepat di bandingkan dengan 1 m x 1 m. Adapun ukuran lubang tanman
panjang 30 cm x 30 cm x 30 cm.
2.7.3. Kegunaan
Bagian terpenting yang bernilai ekonomis pada tanaman Sengon adalah
kayunya. Sengon lebih dikenal sebagai tana man Pulp. Kegunaan lainnya, yaitu
sebagai serat dan bahan papan, peti kemas, kotak-kemasan, korek api, sumpit,
19
mebel ringan. Kayunya sukar di gergaji dan tidak kuat atau tidak tahan lama.
Tajuknya yang jarang memberikan naungan untuk tanaman kopi, teh, dan cokelat.
Disamping itu, berfungsi pula sebagai tanaman penahan angin bagi pohon pisang.
Pada percobaan di Pulau Hawaii memperlihatkan besarnya kegunaan dalam
sistem tumpang sari dengan Eucalyptus , terutama di daerah basah. Dalam
penanaman Eucalyptus bersama Sengon dengan perbandingan 50 : 50 pada jarak
tanam 2m x 2m, sesudah berumur 4 tahun berukuran 1,3 m. Pepohonan
Eucalyptus akan memperlihatkan hasil 58 persen lebih tinggi dan 55 persen lebih
besar, dibandingkan dengan tegakan Eucalyptus saja. Dalam percobaan campuran
Sengon 34 persen dan 50 persen
Eucalyptus, total biomasa yang dihasilkan
Eucalyptus dan Sengon akan sama atau lebih baik dari pada penanaman jenis
Eucalyptus saja (Schubert, dkk.1998 dalam NFTA World Education.1991).
Sengon juga berpotensi dalam alley farming. Di Indonesia, pada percobaan di
tanah asam (pH 4,2) yang ditanam dalam larikan-larikan dengan jarak 4 m,
menghasilkan pupuk hijau (bahan kering) 2-3 ton/ha/tahun. Penggunaannya
sebagai pupuk hijau akan meningkatkan produksi kopi 4 kali lipat, apabila
dibandingkan dengan plot pembanding. Namun pada tahun 1988 muncul
keprihatinan akan keberlanjutan pertumbuhannya dalam sistem Alley cropping
(Evensen, komunikasi pribadi). Sengon di tanam sebagai pohon hias, meski jarang
hidup lebih dari 50 tahun dan cabang-cabangnya yang rapuh dapat menjadi
masalah di daerah yang banyak angin. Raharjo dan Cheke (1985) dalam NFTA
World Education (1991), melaporkan bahwa daunnya disukai kelinci, di Samoa
Barat, Philipina dan Jawa, kayunya dimanfaatkan seba gi kayu bakar dan di tanam
di kebun pekarangan bersama dengan tanaman merambat dan buah-buahan.
20
2.8. Studi Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian mengenai kayu Sengon (Paraserianthes falcataria), kayu
gergajian dan sistem tataniaga produk pertanian pernah dilakukan sebelumnya.
Beberapa judul penelitian yang pernah diteliti diantaranya adalah ;
Firman, N.S.(1998), melakukan penelitian mengenai Analisis Efisiensi
Tataniaga
Mangga
Cengkir,
Arumanis,
dan
Gedong.
Hasil
penelitian
menunjukkan marjin tataniaga di lokasi penelitian tidak merata dengan marjin
terbesar pada pengepul dan Pedagang Antar Kota (PAK). Struktur pasar di tingkat
petani, tengkulak dan PAK dari sisi pembeli termasuk ke pasar oligopsoni.
Sedangkan struktur pasar di tingkat pengepul dan pedagang grosir (PG) dari sisi
penjual adalah pasar oligopoli. Dari hasil analisis marjin tataniaga dan
keterpaduan pasar disimpulkan sistem tataniaga di lokasi penelitian belum efisien.
Maryatun (1999), melakukan penelitian mengenai Analisis Biaya dan
Pemasaran (Marketing Margin) Kayu Gergajian di DKI dengan studi kasus di
daerah Kalibaru. Penelitian tersebut bertujuan untuk mendapatkan gambaran
tentang profil perdagangan yang berada di wilayah Kalibaru, mengidentifikiasi
lembaga -lembaga yang terlibat dan menentukan efisiensi saluran tataniaganya.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui lembaga tataniaga yang terlibat dalam
pemasaran kayu gergajian di Kalibaru adalah; distributor, pedagang besar dan
pengecer. Tingkat pengecer pada kayu Borneo Kalimantan merupakan tingkat
tataniaga yang efisien secara ekonomi, sedangkan kayu Keruing pada tingkat
distributor adalah jenis kayu yang efisien secara operasional.
Harviana (1999), dalam penelitiannya mengenai Peningkatan Nilai Tambah
Tegakan Sengon (Paraserianthes falcataria) Melalui Penggunaannya Sebagai
21
Bahan Baku Industri Penggergajian Kayu dan Medium Density Fiberboard
(MDF), mengemukakan bahwa bahan baku MDF bisa dihasilkan dari limbah
industri penggergajian kayu (laminated board) karena tidak memerlukan
persyaratan ya ng tinggi. Nilai tambah per satuan m3 log untuk industri MDF
dengan harga semula Rp 43.560,- mengalami peningkatan sebesar Rp 134.168,dan industri laminated board dengan harga semula Rp 66.000,- mengalami
peningkatan sebesar Rp.128.844,-. Jika satu hektar tanaman Sengon menghasilkan
150 m3 nilai tambah log/ha untuk MDF Rp 20.125.238,- dan untuk laminated
board Rp 19.326.624,-. Nilai NPV laminated board Rp 149.160,-/m3 dan nilai
internal rate of return (IRR) untuk industri sebesar 47,5 persen dan industri MDF
sebesar 42,0 persen, 26,5 persen dan 20,0 persen pada tingkat harga yang berbeda.
Tingkat suku bunga yang diisyaratkan sebesar 10 persen, sehingga berdasarkan
IRR industri tersebut layak untuk dilaksanakan.
Pada tahun (2000), Gunawan, J. Meneliti mengenai Pemanfaatan Limbah
Industri Penggergajian Untuk Balok Laminasi. Tujuan yang ingin dicapai yaitu
membuat kayu berlapis majemuk dengan perekat (balok laminasi) dengan
memanfaatkan sebetan yang banyak mengandung kayu gubal atau potongan kayu
ukuran kurang. Berdasarkan hasil penelitian produk ini memiliki keunggulan
komparatif berupa harga pokok yang rendah dan bisa memanfaatkan limbah kayu.
Berbeda dengan kajian penelitian terdahulu, studi mengenai analisis efisiensi
tataniaga kayu Sengon (Paraserianthes falcataria) belum pernah dilakukan
sebelumnya. Kelebihan penelitian ini, selain melihat efisiensi sistem tataniaga
yang terjadi, juga dikaji mengenai prospek pengembangan budidaya kayu Sengon
di wilayah penelitian.
22
2.9. Prospek Pengembangan Budidaya Sengon (Paraserianthes falcataria)
Dalam melakukan pengembangan suatu jenis usaha perlu terlebih dahulu
menilai dan mempertimbangkan usaha tersebut di masa yang akan datang.
Penilaian di sini tidak lain adalah memberikan rekomendasi apakah usaha tersebut
layak untuk dilakukan atau tidak. Untuk mengukur kelayakan tersebut secara
umum ada beberapa aspek yang akan dikaji, yaitu meliputi; aspek hukum, aspek
sosial ekonomi dan budaya, aspek pasar dan pemasaran, aspek teknis dan
teknologi, aspek manajemen, dan aspek keuangan. (Suratman, 2002).
Aspek hukum berkaitan dengan keberadaan secara legal dimana usaha tersebut
akan dilaksanakan yang meliputi ketentuan hukum yang berlaku termasuk
perizinan, badan hukum yang diusulkan, dan sebagainya. Aspek sosial ekonomi
budaya mencakup pengaruh usaha terhadap pendapatan nasional, penambahan dan
pemerataan kesempatan kerja, dampak pergeseran hidup masyarakat setempat
dan lain sebagainya. Aspek pasar dan pemasaran berkaitan dengan adanya
potensi pasar dari produk yang akan di pasarkan, analisis kekuatan pesaing
yang
mencakup
program
pemasaran
yang
akan
dilakukan,
estimasi
penjualan yang memungkinkan dapat diraih (market share). Aspek teknis dan
teknologi berkaitan dengan pemilihan lokasi proyek, pemilihan jenis mesin atau
peralatan lain sesuai dengan kapasitas produksi yang akan digunakan termasuk
lay-out dan pemilihan teknologi yang sesuai. Aspek manajemen berkaitan dengan
manajemen dalam pembangunan usaha dan manajemen dalam operasionalnya.
Dan yang terakhir aspek keuangan berkaitan dengan dari manasumber dana yang
akan diperoleh dan proyeksi pengembaliannya dengan tingkat biaya modal
dari sumber dana yang bersangkutan.
23
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Penentuan Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai dengan bulan Mei 2005 di
Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Lokasi ini dipilih dengan
pertimbangan kedekatannya terhadap bahan baku kayu, dan banyaknya industri
gergajian yang tersebar disekitar wilayah penelitian.
3.2. Jenis dan Pengumpulan Data
Data yang digunakan yaitu data primer dan sekunder. Data primer diperoleh
melalui pengamatan dan wawancara langsung di lapangan. Wawanca ra dilakukan
berdasarkan kuisioner yang meliputi pertanyaan mengenai karakteristik petani,
jenis kayu, harga beli, harga jual, jumlah kebutuhan kayu, jumlah produksi,
sumber pembelian, arah penjualan, tujuan pembelian, dan teknik pengangkutan.
Kuisioner tersebut diberikan kepada individu atau kelompok yang terlibat dalam
saluran tataniaga kayu Sengon di wilayah Kecamatan Cililin, yaitu meliputi petani
sebagai produsen kayu, pengusaha seperti pemilik material ataupun pemilik
industri penggergajian kayu, lembaga Pemerintah yang terlibat seperti Perum
Perhutani ataupun Penyuluh Kehutanan, dan masyarakat sekitar sebagai
konsumen. Sedangkan data sekunder meliputi informasi mengenai keadaan
umum, letak geografis dan informasi lain yang berkaitan dengan objek penelitian
yang diperoleh dari Badan Statistik Kabupaten Bandung, Dinas Kehutanan Jawa
Barat, Kantor Kecamatan Cililin, Kantor Kelurahan, dan Perpustakaan.
24
3.3. Penentuan Responden
Responden
penelitian
ditentukan
secara
sengaja
(purposive) dengan
melakukan penelusuran saluran tataniaga mulai dari tingkat petani sampai ke
tingkat konsumen akhir. Penentuan responden diambil berdasarkan informasi dari
responden sebelumnya sehingga jalur tataniaga tersebut tidak terputus. Responden
petani diambil di wilayah sekitar Ke camatan Cililin, meliputi petani yang
memiliki kebun yang sedang atau telah ditanami kayu Sengon dan petani yang
memproduksi bibit Sengon untuk digunakan sendiri atau untuk dijual. Responden
konsumen meliputi semua orang baik individu ataupun kelompok yang melakukan
pembelian kayu Sengon di wilayah penelitian.
3.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis
kualitatif dilakukan dengan pengamatan terhadap keadaan lokasi, karakteristik
petani, sistem budidaya, struktur pasar, perilaku pasar, saluran tataniaga, marjin
tataniaga, aspek pasar dan pemasaran, aspek sosial budaya, dan aspek teknik dan
teknologi. Struktur pasar yang diamati didekati dengan melihat jumlah penjual
dan pembeli, kebebasan untuk keluar masuk pasar, penentuan harga dan sumber
informasi. Sedangkan analisis kuantitatif dilakukan untuk melihat keragaan pasar
dengan pendekatan analisis marjin tataniaga, analisis ekonomi budidaya kayu
Sengon yang meliputi perhitungan NPV (Net Present Value), IRR (Internal Rate
of Return) , B/C Ratio (Benefit and Cost Ratio).
25
3.4.1. Analisis Lembaga Tataniaga dan Saluran Tataniaga
Analisis ini ditujukan untuk mengidentifikasi lembaga–lembaga dan saluran
tataniaga yang digunakan dalam pemasaran kayu Sengon. Identifikasi tersebut
meliputi identitas, fungsi, dan tata cara lembaga–lembaga tersebut dalam rangka
memasarkan kayu Sengon sampai kepada konsumen akhir.
3.4.2. Analisis Struktur Pasar
Analisis struktur pasar ditujukan untuk mengetahui kondisi persaingan
diantara produsen dan konsumen kayu yang terdapat di wilayah penelitian. Untuk
lebih jelasnya mengenai struktur pasar dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Karakteristik Struktur Pasar
Karakteristik
Jumlah
Sifat Produk
Struktur Pasar
Sisi Penjual
Sisi Pembeli
Partisipan
Banyak
Standar
Persaingan murni
Persaingan murni
Banyak
(Homogen)
Persaingan
Persaingan
Differensiasi
monopolistik
Monopolistik
Beberapa
Standar
Oligopoli murni
Oligopsoni murni
Beberapa
Differensiasi
Oligopoli
Oligopsoni
differensiasi
differensiasi
Monopoli
Monopsoni
Satu
Unik
Sumber : Hammond dan Dahl, 1997
3.4.3. Analisis Marjin Tataniaga
Marjin tataniaga dihitung berdasarkan pengurangan harga penjualan dengan
pembelian pada setiap tingkat lembaga yang terlibat dalam tataniaga kayu Sengon.
Besarnya marjin tataniaga pada dasarnya merupakan penjumlahan dari biayabiaya tataniaga dan keuntungan yang diterima lembaga tataniaga. Secara
26
matematis hubungan antara marjin tataniaga, biaya tataniaga dan keuntungan
lembaga tataniaga dapat dinyatakan sebagai berikut :
Mi
Mi
Hji – Hbi
= Hji – Hbi, dan
= Bi + ði , sehingga
= Bi + ði
Keterangan :
Mi
= Marjin tataniaga pada pasar tingkat ke -i (Rp/kg)
Hji
= Harga penjualan pada pasar tingkat ke -i (Rp/kg)
Hbi
= Harga pembelian pada pasar tingkat ke -i (Rp/kg)
Bi
= Biaya tataniaga pada pasar tingkat ke-i (Rp/kg)
ði
= Keuntungan tataniaga pada pasar tingkat ke -i (Rp/kg)
i
= 1,2,3.....n.
Penyebaran marjin tataniaga kayu Sengon dapat juga dilihat berdasarkan
persentase keuntungan terhadap biaya tataniaga pada masing-masing lembaga
tataniaga. Perhitungan dilakukan dengan mempergunakan rumus :
Rasio Biaya – Keuntungan (%) =
ði x 100 %
Bi
Keterangan :
ði = Keuntungan tataniaga lembaga ke -i (Rp/kg)
Bi = Biaya tataniaga lembaga ke-i (Rp/kg)
3.4.4. Analisis Efisiensi Tataniaga
Analisis efisiensi tataniaga dilakukan dengan cara menilai sistem tataniaga
kayu Sengon berdasarkan kriteria yang telah umum digunakan. Kohls, R.L.
(1967), menjelaskan kriteria yang digunakan untuk mengukur efisiensi tataniaga
dapat berdasarkan dua pendekatan yaitu melalui efisiensi operasional dan efisiensi
27
harga. Efisiensi operasional menekankan pada keterkaitan harga dalam
mengalokasikan komoditas dari produsen ke konsumen akibat perubahan tempat,
bentuk dan waktu yang diukur melalui keterpaduan pasar yang terjadi akibat
pergerakan komoditas dari satu pasar ke pasar lainnya. Efisiensi harga
menekankan kepada kemampuan meminimumkan biaya yang dipergunakan untuk
menggerakkan komoditas dari produsen ke konsumen atau kemampuan
meminimumkan
biaya
untuk
menyelenggarakkan fungsi-fungsi tataniaga.
Berdasarkan kedua kriteria tersebut dapat disimpulkan bahwa suatu sistem
tataniaga dianggap efisien apabila sebagai berikut :
1. Mampu menyampaikan produk atau jasa dari produsen ke konsumen dengan
biaya yang murah tanpa mengurangi kepuasan konsumen dari keluaran produk
atau jasa tersebut. Biaya tataniaga suatu produk biasanya diukur secara kasar
dengan marjin. Pada pengukuran efisiensi ekonomis marjin tataniaga sering
digunakan sebagai alat ukur untuk mengetahui efisiensi dari sistem tataniaga.
2. Adanya pembagian yang merata dari harga yang diberikan konsumen akhir
kepada seluruh lembaga yang terlibat dalam sistem tataniaga tersebut.
3.4.5. Analisis Aspek Pasar dan Pemasaran
Kajian aspek pasar dan pemasaran berkaitan dengan ada tidaknya potensi
pasar dan peluang pasar kayu Sengon untuk diperjualbelikan di masa yang
akan datang. Aspek ini melihat secara umum bagaimana cara memasarkan hasil
kayu Sengon, kemana kayu Sengon tersebut akan dijual, dan siapa yang akan
membelinya. Selain itu juga melihat bagaimana kondisi harga dan pasar yang
berlaku pada saat itu.
28
3.4.6. Analisis Aspek Sosial Ekonomi dan Budaya
Aspek ini mengkaji mengenai dampak usaha pengembangan budidaya
Sengon terhadap sosial ekonomi dan budaya masyarakat setempat. Secara umum
dari sisi ekonomi apakah usaha tersebut dapat menambah atau justru mengurangi
pendapatan penduduk setempat. Dari sisi sosial dengan adanya kegiatan usaha
tersebut apakah wilayah sekitarnya semakin ramai, jalan semakin baik,
bertambahnya fasilitas umum atau tidak dan sebagainya. Dari sisi budaya,
apakah dengan adanya kegiatan usaha tersebut ada pergeseran perilaku
masyarakat dari adat kebiasaan.
3.4.7. Analisis Aspek Teknis dan Teknologi
Kajian aspek teknis dan teknologi menitikberatkan pada penilaian atas
kelayakan usaha pengembangan kayu Sengon di wilayah Kecamatan Cililin
Kabupaten Bandung dari sisi teknis dan teknologi. Penilaian tersebut meliputi
kelayakan lokasi penanaman, keberadaan alat dan peralatan, teknologi yang
diterapkan, serta kesiapan sumber daya manusia sebagai tenaga kerja.
3.4.8. Analisis Aspek Keuangan (Financial)
3.4.8.1. NPV (Net Present Value)
Untuk mengetahui apakah usulan investasi suatu proyek layak atau tidak
layak dilaksanakan yaitu dengan cara mengurangkan antara Present valu e (nilai
saat ini) dan aliran kas bersih operasional atas proyek investasi selama umur
ekonomis dengan Initial investment (kas awal). Jika nilai NPV proyek positif,
maka proyek tersebut dinyatakan layak, sedangkan jika nilai NPV proyek tersebut
negatif maka dinyatakan tidak layak.
29
3.4.8.2. IRR (Internal Rate of Return)
Untuk mengetahui suatu usulan investasi proyek layak atau tidak digunakan dengan
cara membandingkan antara IRR dengan tingkat keuntungan yang diharapkan (Inexpected
rate of return). Perhitungan dilakukan dengan mencari discount rate yang dapat
menyamakan present value dari aliran kas dengan present value dari investasi atau kas
awal (Initial investment).Cara sederhana untuk mencari nilai IRR adalah dengan teknik
interpolasi, dengan terlebih dahulu mencari nilai present value hasil NPV yang
berlawanan arah yaitu NPV yang bernilai positif dengan NPV yang bernilai negatif.
3.4.8.3. B/C Ratio (Benefit and Cost Ratio)
Perhitungan B/C ratio adalah untuk mengetahui apakah dengan suatu pengorbanan
tertentu akan diperoleh manfaat. Usulan investasi akan diterima atau layak untuk
dikembangkan apabila nilai B/C ratio mempunyai nilai lebih dari 1 (satu). Adapun rumus
yang digunkan adalah sebagai berikut :
B/C ratio =
Manfaat yang telah dinilai sekarang
Pengorbanan yang telah dinilai sekarang
3.5. Kerangka Operasional Penelitian
Hutan sebagai salah satu sumber daya alam memiliki manfaat bagi
kehidupan makhluk di dunia, manfaat tersebut sesuai dengan fungsi hutan yang
dapat diukur dengan nilai ekonomi (fungsi tangiable) dan tidak dapat diukur
dengan nilai ekonomi (fungsi intangiable ). Dengan fungsinya yang ekonomis,
hutan telah memberikan manfaat berupa hasil hutan kayu dan non kayu. Hasil
hutan kayu berupa kayu bulat (gelondongan atau log) dan berbagai jenis kayu sisa
hasil tebangan. Hasil hutan kayu tersebut digunakan sebagai bahan baku pada
industri-industri kayu gergajian, yang kemudian dimanfaatkan untuk bahan baku
30
kayu pertukangan dan juga kayu energi. Kayu pertukangan umumnya digunakan
untuk pembuatan tiang, papan, palang, bahan baku meubel serta berbagai macam
jenis kebutuhan kayu lainnya. Kebutuhan dan permintaan bahan baku kayu
gergajian sangat tergantung terhadap kualitas, kuantitas, dan harga kayu.
Berdasarkan kualitas, bahan baku kayu tersebut harus sesuai dengan bentuk fisik
yang diinginkan. Berdasarkan kuantitas, bahan baku kayu tersebut harus tersedia
dalam jumlah yang memadai untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat mendadak.
Sedangkan berdasarkan harga, bahan baku kayu tersebut harus memiliki harga
yang terjangkau oleh konsumen. Salahsatu bahan baku kayu yang digunakan
untuk industri kayu gergajian di wilayah Kecamatan Cililin, kabupaten Bandung
yaitu jenis kayu Sengon (Paraserianthes falcataria) atau dikenal dengan nama
daerah kayu Albisia atau Jengjen. Banyaknya jumlah kayu Sengon yang tumbuh
alami di wilayah Kecamatan Cililin menjadikan kayu Sengon sebagai pilihan
utama untuk industri penggergajian. Hal ini yang menjadikan kebutuhan kayu di
wilayah tersebut semakin meningkat dari hari kehari. Akan tetapi disisi lain
peningkatan kebutuhan kayu tersebut tidak dapat diimbangi oleh pasokan bahan
baku yang tersedia di alam yang semakin hari jumlahnya semakin menurun.
Berdasarkan pengamatan awal di wilayah penelitian, masih sedikit jumlah
petani sebagai produsen kayu yang mengelola kebun-kebun Sengon-nya dengan
baik. Umumnya asal bibit Sengon yang tumbuh liar di sekitar kebun dibiarkan
saja tanpa ada perawatan khusus yang diberikan, kalaupun ada hanya sebatas
membersihkan tanaman dari gulma (tanaman liar atau pengganggu). Petani
beranggapan bahwa hasil penjualan kayu Sengon hanya merupakan pendapatan
sampingan sehingga mereka enggan untuk mengeluarkan biaya tambahan untuk
31
pemeliharaan kebun. Kurangnya motivasi petani untuk membudidayakan tanaman
Sengon secara terpadu di wilayah Kecamatan Cililin, dan adanya penurunan
jumlah pasokan bahan baku kayu Sengon dari alam menjadi hal yang menarik
untuk melakukan kajian lebih jauh mengenai prospek pengembangan kayu
Sengon di kebun-kebun milik masyarakat. Selain itu untuk mengetahui kondisi
sistem tataniaga kayu Sengon di wilayah penelitian, perlu juga dikaji
lebih jauh mengenai bagaimana tingkat efisiensi sistem tataniaga kayu Sengon
yang sedang terjadi saat ini.
Pengukura n tingkat efisiensi tataniaga tersebut dilakukan dengan
pendekatan marjin tataniaga dan sistem tataniaga yang ada, yaitu dengan
mengidentifikasi lembaga tataniaga dan jalur tataniaga kayu Sengon serta kondisi
harga yang belaku di tingkat produsen dan konsumen di wilayah penelitian.
Kajian mengenai efisiensi sistem tataniaga dan prospek pengembangan kayu
Sengon tersebut dirasakan penting sebagai salah satu cara untuk meningkatkan
produktivitas hasil panen kayu petani sehingga dapat memberikan keuntungan
yang lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi sebelumnya. Dengan diketahuinya
tingkat efisiensi sistem tataniaga kayu yang terjadi, maka selanjutnya diharapkan
dapat dirumuskan beberapa alternatif strategi pengembangan pertanian sebagai
salah satu cara untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.
Untuk lebih jelasnya mengenai kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat
pada Gambar 2.
32
SUMBERDAYA HUTAN
Fungsi Tangiable
(dapat diukur dengan nilai Ekonomi)
Hasil Hutan Non Kayu
- Rekreasi, getah, air, rotan,
buah-buahan dll.
Kualitas, Kuantitas dan
Harga
-
Prospek pengembangan
budidaya kayu Sengon
Analisis aspek pasar dan
pemasaran
Analisis aspek sosial,
ekonomi dan budaya
Analisis aspek teknis dan
teknologi
Analisis aspek keuangan
(financial)
- IRR
- NPV
- Net B/C Ratio
Fungsi Intangiable
(sulit diukur dengan nilai ekonomi)
Hasil Hutan Kayu
- Hasil kayu bulat (log) dan kayu sisa hasil
tebangan.
Industri Kayu Gergajian
- Suplai bahan baku untuk kayu pertukangan
dan energi
Bahan Baku Kayu Gergajian di
Kecamatan Cililin
- Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria)
Analisis Sistem Tataniaga
- Lembaga dan jalur tataniaga kayu Sengon
Analisis Marjin Tataniaga
- Selisih harga di tingkat produsen dan
konsumen
Hasil : Efisien atau Tidak ?
Layak atau tidak?
Efisien atau layak
Tidak Efisien atau tidak layak
- Sebagai referensi untuk
pengembangan budidaya kayu Sngon.
- Masukan bagi sistem Tataniaga kayu
jenis lainnya.
- Dapat dikembangkan budidaya
Sengon secara intensif.
- Perlu dirumuskan sistem tataniaga yang
lebih efisien sebagai masukan bagi
produsen, pengusaha, konsumen, dan
Dinas Kehutanan Daerah.
- Perlu dikaji lebih jauh mengenai
alternatif cara untuk pengembangan
Sengon.
Gambar 2. Skematika Konsep Utama Kerangka Penelitian
33
BAB IV
KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
4.1. Lokasi Penelitian
Wilayah Kecamatan Cililin berada pada ketinggian 600 mdpl, dengan suhu
maksimum minimum 28°C-13°C. Curah hujan di wilayah Kecamatan Cililin
sebesar 700 mm/t dengan uj mlah hari hujan sebanyak 120 hari. Jarak pusat
pemerintahan Kecamatan dari Kelurahan yang terjauh sejauh 10 km atau sekitar 2
jam perjalanan darat. Ibukota kabupaten berjarak 21 km atau sekitar 1 jam
perjalanan darat. Ibukota propinsi 39 km atau 2 jam perjalanan darat.
Luas wilayah Kecamatan Cililin terdiri atas tanah sawah, tanah hutan, dan
tanah fasilitas umum. Tanah sawah tersebar seluas 1109,2 ha yang terdiri atas
irigasi setengah teknis, irigasi sederhana, dan tanah sawah tadah hujan. Sedangkan
untuk tanah hutan terdiri atas tanah hutan lebat, dan hutan sejenis seluas 795 ha.
Untuk tanah fasilitas umum seluas 16642,04 ha, digunakan untuk keperluan
lapangan olah raga, taman rekreasi, jalur hijau, dan pemakaman. Wilayah
Kecamatan Cililin terdiri atas 11 Desa dengan Dusun sebanyak 28, jumlah Rukun
Warga (RW) sebanyak 85 RW, dan Rukun Tetangga (RT) sebanyak 338 RT.
Jumlah Kepala Keluarga di Kecamatan Cililin sebanyak 16.884 KK, dengan
didominasi kaum laki-laki sebanyak 32.184 orang dan kaum perempuan sebanyak
32.184 orang. Jumlah penduduk berdasarkan usia didominasi oleh penduduk
berumur 25-55 tahun dan jumlah penduduk yang paling sedikit yaitu penduduk
berumur 80 tahun keatas. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 3.
34
Tabel 3. Jumlah Penduduk Berdasarkan Usia di Kecamatan Cililin tahun 2005
No
a.
b.
c.
Golongan Umur (tahun)
0-6
7-12
13-18
19-24
25-55
56-79
80 tahun keatas
0-4
5-9
11-14
15-19
20-24
25-29
30-34
35-39
40 tahun keatas
0-5
6-16
17-25
26-55
56 tahun keatas
Jumlah (orang)
8419
7469
6913
6994
27488
4951
920
5894
6930
4874
5442
5935
4805
4747
4715
20304
7097
13350
10838
26702
6184
Sumber : Kantor Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung.
Jenis pekerjaan yang umumnya dimiliki oleh penduduk Kecamatan Cililin
adalah sebagai Petani yaitu sebanyak 8.838 orang dan pedagang yaitu sebanyak
2007 orang. Jenis pekerjaan sebagai Petani dipilih karena selain kondisi
lingkungan alam yang subur juga merupakan jenis pekerjaan yang diturunkan dari
keluarga sebelumnya. Jenis pekerjaan lainnya yaitu sebagai buruh industri, buruh
bangunan, buruh perkebunan, buruh pertambangan, tukang ojeg, Petani ikan
jarring apung, buruh gergaji kayu, pengusaha kayu, pengrajin wajit dan kerupuk
serta pengrajin bilik. Selain jenis pekerjaan Wiraswasta, banyak juga penduduk
yang memilih profesi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), yaitu sebagai Guru dan
ABRI. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 16.
35
4.2. Sarana Perekonomian
Seperti wilayah pedesaan lainnya di Indonesia, kegiatan perekonomian di
wilayah Kecamatan Cililin digerakkan oleh kegiatan Koperasi yang terdiri atas
Koperasi simpan pinjam sebanyak 11 buah, dan Koperasi Unit Desa (KUD)
sebanyak 12 buah. Kegiatan Koperasi juga di dukung oleh adanya Bank
konvensional yaitu bank BRI sebanyak 2 unit. Dalam kegiatannya bank BRI
menjadi sarana simpan pinjam masyarakat wilayah Kecamatan Cililin guna
mendukung kegiatan usaha seperti berdagang, bertani dan berbagai jenis usaha
lainnya. Adapun jumlah pasar induk sebagai pusat perdagangan sebanyak 1 buah
dengan didukung oleh pasar permanen dan semi permanen yang tersebar di
beberapa wilayah pedesaan sebanyak 6 buah. Pasar-pasar desa tersebut memiliki
jadwal waktu buka tersendiri atau disebut sebagai “hari pasar”, dalam seminggu
pasar desa hanya buka dua sampai tiga kali saja , yaitu pada hari Selasa, Jum’at
atau hari Sabtu.
Jumlah industri yang tersebar di wilayah Kecamatan Cililin sebanyak 676
buah industri kecil rumah tangga. Industri kecil tersebut dapat menyerap sebanyak
kurang lebih 750 orang tenaga kerja per tahun. Pada umumnya industri kecil
tersebut bergerak di bidang pangan jadi seperti industri kecil wajit, kerupuk
tepung, keripik singkong, dan pangan olahan lainnya. Industri lainnya adalah
industri kecil furniture kayu dan Industri Penggergajian Kayu (IPK) sebanyak 11
unit. Selain di sektor industri kecil rumah tangga penyerapan tenaga kerja di
wilayah Kecamatan Cililin juga diserap oleh sektor usaha lainnya seperti usaha
rumah makan sebanyak 35 orang, usaha perdagangan sebanyak 53 orang, usaha
angkutan sebanyak 364 orang, dan usaha lainnya sebanyak 172 orang.
36
4.3. Jenis Tanaman Pertanian
Jenis tanaman utama yang umumnya diusahakan oleh masyarakat
Kecamatan Cililin adalah jenis tanaman Padi dengan luas areal tanaman sebesar
588 ha dengan rata -rata produksi 23 ton. Kemudian diikuti dengan jenis tanaman
lainnya seperti tanaman Sayur -sayuran seluas 628,7 ha, Jagung seluas 24,5 ha ,
Ketela pohon seluas 51 ha, dan buah-buahan seluas 16 ha. Untuk jenis tanaman
perdagangan yang sudah diusahakan adalah jenis tanaman Kelapa seluas 130 ha,
dan Kopi seluas 10 ha. Rata-rata luas tanah pertania n yang diusahakan oleh
penduduk adalah seluas 766,45 ha. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
Tabel 4.
Tabel 4. Luas Tanaman/ha dan Jumlah Rata-rata Produksi/ton Tahun 2005
No
Jenis Tanaman
Luas
Luas yang
Rata- rata
tanaman/ha Di panen/ha produksi/ton
1 Padi
310
255
23
2 Jagung
15,5
5
4
3 Ketela Pohon
30
15
6
4 Sayur-sayuran
26,7
602
5 Buah-buahan
10
6
6 Tanaman lainnya
10
7
2
Sumber : Kantor Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung (2005) .
Jumlah
588
24,5
51
628,7
16
19
4.4. Sarana Sosial Budaya dan Transportasi
Pembangunan di wilayah Kecamatan Cililin sangat didukung oleh
berbagai sarana dan prasarana sosial budaya masyarakat, seperti sarana
pendidikan, kesehatan, dan peribadatan. Untuk sarana pendidikan terdiri atas
Taman kanak-kanak (TK), Sekolah dasar (SD), Sekolah menengah pertama
(SMP), dan Sekolah menengah atas (SMA). Berdasarkan Tabel 6 dapat dilihat
bahwa sarana dan prasarana pendidikan di wilayah Kecamatan Cililin sudah
37
mencukupi. Selain sarana pendidikan, terdapat juga sarana peribadatan bagi umat
Islam sebanyak 164 buah mesjid dan 342 buah surau atau mushhola. Tempat
peribadatan untuk umat beragama lainnya tidak ada, karena dari keseluruhan
masyarakat Kecamatan Cililin beragama Islam. Untuk sarana dan prasarana
kesehatan di wilayah Kecamatan Cililin, terdapat sebanyak 8 unit Puskesmas
dengan dibantu oleh 25 orang Dokter, 12 Perawat, dan 10 orang Bidan. Jumlah
sarana pendidikan yang ada di Kecamatan Ciliin dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Jumlah Sarana Pendidikan di Kecamatan Cililin Tahun 2005
No
1.
2.
3.
4.
Tingkat Pendidikan
Taman Kanak-kanak (TK)
Sekolah Dasar (SD)
a. Sekolah Dasar (SD) Negeri
b. SD Inpres
c. Madrasah Ibtidaiyah Negeri
Sekolah Menengah Pertama (SMP)
a. Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri
b. SMP Swasta Umum
c. SMP Swasta Islam
d. Madrasah/Tsanawiyah Negeri
e. Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri
f. Madrsah/Tsanawiyah Negeri
g. SMP Swasta Umum
h. SMP Swasta Islam
Sekolah Menengah Umum (SMU)
a. SMU Negeri
b. SMU Swasta Islam
c. SMU Swasta Umum
d. Madrsah/Aliyah Negeri
e. Akademik Swasta
Jumlah Unit
11
18
14
8
1
2
4
4
1
4
2
4
1
4
3
1
1
Sumber : Kantor Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung (2005)
Alat angkutan utama yang digunakan oleh masyarakat adalah angkutan
kendaraan bermotor roda dua (ojeg) sebanyak 934 unit, becak 70 unit, delman 15
unit, dan kendaraan angkutan umum lainnya yaitu oplet atau mikrolet.
38
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Jenis dan Bentuk Kayu yang Diperdagangkan
Umumnya jenis kayu yang diperdagangkan di wilayah penelitian
Kecamatan Cililin adalah jenis kayu Sengon (Paraserianthes falcataria) atau
yang lebih dikenal oleh masyarakat sekitar dengan sebutan kayu Albazia. Jenis
kayu lain yang turut diperdagangkan di Kecamatan Cililin antara lain; kayu Afrika
(Maesopsis eminii), Mahoni (Swetinia mahagoni), Manglid (Maglonia blumei),
Jati (Tectona grandis ), Suren (Toona sureni), dan Nangka (Arthocarpus
heterophyllus).
Untuk jenis kayu Sengon pada tingkat Industri Penggergajian Kayu (IPK)
dapat dihasilkan bermacam-macam kayu olahan dengan berbagai macam ukuran
seperti; bentuk tiang, papan, kaso, kusen, palang, reng dan palet. Untuk bentuk
tiang dapat dibuat dengan ukuran 10 cm x 10 cm. Papan dibuat dengan ukuran 3
cm x 20 cm. Kaso atau usuk berukuran 6 cm x 6 cm. Kusen untuk bahan jendela
dan pintu biasanya berukuran 7cm x 15cm atau 8cm x 15cm. Palang dada
umumnya berukuran 5 cm x 10 cm. Reng berukuran 2 cm x 3 cm dan merupakan
jenis kayu olahan yang paling kecil. Sedangkan palet yang digunakan untuk bahan
baku pembuat beraneka ragam meubel berukuran 3 cm x 8 cm atau 3 cm x 10 cm.
Semua jenis kayu olahan umumnya memiliki panjang dengan ukuran yang sama
yaitu 200 cm, 250 cm, dan 300 cm. Kecuali untuk jenis palet dapat dihasilkan
kayu dengan ukuran 100 cm, 120 cm, dan 140 cm. Pada umumnya untuk industri
gergajian, selain menyediakan kayu dengan ukuran dan jenis tertentu, industri
39
juga menyediakan ukuran kayu pesanan berdasarkan kebutuhan konsumen. Ada
beberapa
keuntungan
yang
didapatkan
oleh
industri
gergajian
apabila
mendapatkan pesanan dari material-material di sekitar wilayah kota Bandung,
seperti daerah Batujajar, Padalarang, dan Cimahi, hal ini karena spesifikasi ukuran
kayu olahan yang lebih kecil dari seharusnya (potongan khusus). Untuk tiang
berukuran 8 cm x 8 cm, papan berukuran 2 cm x 18 cm, kaso berukuran 4,5 cm x
4,5 cm dan palang dada yang berukuran 4,5 cm x 8 cm. Sortimen khusus tersebut
ditampung oleh material-material tersebut dengan standar harga yang sama.
Sehingga walaupun bahan baku yang tersedia di lokasi industri kurang memadai
akan tetapi tetap dapat dimanfaatkan sehingga tidak ada bahan baku yang
terbuang percuma. Data selengkapnnya tercantum pada Tabel 6.
Tabel 6. Bentuk dan Jenis Kayu Olahan Dalam Berbagai Macam Ukuran Kayu
di Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung Tahun 2005
No
Bentuk Kayu
1
Tiang
2
Papan
3
Kaso
4
Palang
Ukuran Yang Dijual (cm)
Ukuran Khusus (cm)
10 x 10 x 200,
10 x 10 x 250,
10 x 10 x 300.
3 x 20 x 200,
3 x 20 x 250,
3 x 20 x 300.
6 x 6 x 250,
5 x 10 x 250,
5 x 10 x 300.
8 x 8 x 200,
8 x 8 x 250,
8 x 8 x 300.
2 x 18 x 200,
2 x 18 x 250,
2 x 18 x 300.
4.5 x 8 x 200,
4.5 x 8 x 250,
4.5 x 8 x 300.
5 x 10 x 200,
5 x 10 x 250,
5 x 10 x 300.
4.5 x 8 x 200,
4.5 x 8 x250,
4.5 x 8 x 300.
Kayu olahan yang akan diperdagangkan umumnya diberikan perlakuan
terlebih dahulu dengan cara dikering anginkan di bawah terik sinar matahari
selama kurang lebih 3-7 hari. Kemudian kayu disusun berdasarkan jenis dan
ukurannya sehingga memudahkan dalam pengangkutan.
40
Di tingkat IPK selain dihasilkan kayu dengan jenis dan ukuran tertentu,
juga dihasilkan kayu sisa hasil olahan (rendimen) yang berupa serbuk gergajian,
potongan-potongan kayu dan kulit kayu (bablir). Ketiganya dapat dimanfaatkan
dan memiliki nilai jual untuk digunakan sebagai kayu bakar. Pada saat
berlangsungnya penebangan, cabang dan ranting pohon yang sudah ditebang hak
kepemilikannya ditentukkan berdasarkan kesepakatan antara pihak penjual (petani
Sengon) dengan pembeli (tengkulak dan pengolah). Kepemilikan cabang dan
ranting ini tidak mempengaruhi harga jual pohon yang bersangkutan.
Pada umumnya cabang dan ranting yang terbuang dijadikan bahan baku
kayu bakar oleh masyarakat untuk keperluan memasak dirumah ataupun bagi
industri kecil rumah tangga seperti industri wajit, kerupuk dan pembuatan genting
dan batu bata. Adanya cabang dan ranting yang digunakan sebagai kayu bakar
oleh masyarakat, dirasakan sebagai nilai tambah bagi tengkulak dan pengolah,
selain hasil utama berupa kayu gelondongan. Beberapa hal yang menjadi alasan
tengkulak dan pengolah untuk menjual kayu bakar atau menyerahkannya kepada
pemilik kebun, yaitu tergantung lokasi penebangan. Apabila dirasakan biaya
pemungutan kayu bakar lebih besar dari harga jualnya maka tengkulak atau
pengolah lebih baik memberikannya kepada petani pemilik kebun. Selain itu juga
tergantung kepada cuaca pada saat pengangkutan, apabila cuaca hujan maka
kondisi jalan akan sedikit terhambat karena kondisi tanah yang becek sehingga
para kuli angkut kayu akan kesulitan membawanya. Kesulitan lainnya karena
kondisi geografis daerah Cililin yang berbukit dan bergunung sehingga umumnya
kayu yang dipanen berada diatas lereng bukit yang cukup tinggi dengan jalan
yang masih berupa tanah.
41
5.2. Lembaga Tataniaga dan Distribusi Kayu
Lembaga tataniaga yang terlibat dalam kegiatan tataniaga kayu Sengon
pada wilayah penelitian adalah ; Petani kebun sengon, Tengkulak kayu, Pengolah
kayu, Industri Penggergajian Kayu (IPK), Pedagang penampung dan Material.
1. Petani Kebun Sengon
Produsen penghasil kayu yang berasal dari lahan milik sendiri atau sewa.
2. Tengkulak Kayu
Merupakan pedagang yang membeli pohon berdiri dan menjualnya dengan
merubah bentuk atau masih bentuk gelondongan (log). Kayu-kayu tersebut
dikumpulkan dan diletakkan di tepi jalan, dikenal juga sebagai “pengepul”.
3. Pengolah Kayu
Merupakan pedagang perantara yang menjual kayu log dan kayu yang sudah
dirubah bentuk dengan menyewa gergaji (bandsaw).
4. Industri Penggergajian Kayu (IPK)
Industri yang memiliki alat gergajian untuk mengolah kayu log menjadi kayu
ukuran tiang, papan, kusen, reng, palet atau bentuk lainnya yang diinginkan.
5. Pedagang Penampung
Pedagang yang mampu membeli dan menampung kayu dari tengkulak,
pengolah dan Industri Penggergajian Kayu (IPK) untuk dijual ke material atau
konsumen lainnya dikenal juga dengan nama “ bandar kayu ”.
6. Material
Pedagang yang membeli kayu olahan (tiang, papan, reng, kaso) dari pengolah
atau IPK yang kemudian dikumpulkan di sebuah tempat (took) untuk dijual.
42
5.3. Cara Pembelian dan Pembayaran
Pada umumnya proses penjualan kayu Sengon dan jenis kayu lainnya
dilakukan petani dalam bentuk pohon berdiri, akan tetapi ada juga yang
menawarkan kayu dalam bentuk sudah ditebang. Ada beberapa cara yang
digunakan dalam proses penjualan kayu di Kecamatan Cililin, diantaranya :
1. Petani menawarkan langsung kayu yang akan dijualnya kepada tengkulak atau
pengolah dengan menyebutkan kondisi fisik kayu seperti jenis, umur, dan
volume kayu.
2. Tengkulak atau pengolah telah mengamati kebun-kebun kayu milik
masyarakat sebelumnya. Apabila ada jenis dan ukuran kayu yang dibutuhkan
maka akan langsung menanyakkan apakah akan dijual atau tidak.
3. Tengkulak dan pengolah mendapatkan informasi dari masyarakat lainnya.
Informasi tersebut ditindak lanjuti dengan mensurvei langsung ke lokasi
kebun kayu. Umumnya orang yang telah memberikan informasi tersebut
mendapatkan upah dari tengkulak atau pengolah yang bersangkutan.
Setelah salah satu dari ketiga proses tersebut dilaksanakan, maka petani
dan tengkulak atau pengolah langsung melakukan tawar menawar harga sampai
terjadinya transaksi jual beli. Pada proses transaksi tersebut dibahas mengenai
kesepakatan pembayaran apakah dengan sistem tunai (kontan) atau tempo
(mencicil). Tengkulak atau pengolah yang tidak memiliki modal yang besar
umumnya melakukan pembayaran dengan cara mencicil, kadangkala para
tengkulak atau pengolah ini meminjam modal terlebih dahulu kepada industri
yang sudah menjadi langganannya untuk menutupi kekurangan pembayaran.
Kerjasama antara industri dengan tengkulak ataupun pengolah terjalin karena
43
adanya permintaan yang tinggi terhadap kebutuhan kayu untuk industri, sehingga
mereka memanfaatkan jasa tengkulak atau pengolah untuk mencukupi kebutuhan
kayu. Berdasarkan pengamatan di wilayah Kecamatan Cililin diperoleh data
bahwa pada tingkat tengkulak dan pengolah yang menggunakan sistem
pembayaran tunai sebanyak 62,96 persen dan 11,11 persen dengan cara mencicil,
sisanya sebanyak 25,93 persen menggunakan cara keduanya.
Industri Penggergajian Kayu (IPK) yang ada di wilayah penelitian
berjumlah 8 unit industri. Industri tersebut tersebar di wilayah Desa Cililin,
Bongas, Rancapanggung, Ciririp, Warung awi, Sasak bubur, dan Tangan-tangan.
Dari seluruh industri tersebut tercatat sebanyak 50 persen industri melakukan
pembayaran kayu secara tunai dan sebanyak 25 persen dengan cara mencicil serta
sisanya sebanyak 25 persen melakukan pembayaran keduanya. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Sistem Pembayaran Kayu Sengon oleh Tengkulak dan Pengolah di
Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung Tahun 2005
No
Pelaku TN
A
B
Pengolah
Tengkulak
Total
Persen (%)
Kontan
8 Orang
9 Orang
17
62,96
Sistem Pembayaran
Tempo
Keduanya
0 Orang
2 Orang
3 Orang
5 Orang
3
7
11,11
25,93
Pembayaran dengan mencicil biasanya memakan waktu berkisar antara 3
sampai 2 bulan setelah penebangan. Hal ini memang dirasakan memberatkan bagi
petani karena umumnya mereka menjual kayu untuk membayar kebutuhankebutuhan penting yang bersifat mendadak seperti untuk membayar iuran sekolah
anak, membayar hutang piutang, membiayai hajatan seperti biaya pernikahan,
biaya naik haji, ataupun biaya terkena musibah seperti sakit.
44
Umumnya petani memprioritaskan penjualan kayunya kepada orang yang
sudah dipercaya akan membayar dengan lancar seperti kepada orang-orang yang
memiliki jabatan penting di wilayah desanya seperti; Guru, Petugas Kantor Desa,
ataupun Juragan-juragan tanah yang terkenal memiliki modal yang besar dan
memiliki sifat yang jujur.
5.4. Harga dan Struktur Pasar
Salah satu indikator untuk melihat struktur pasar adalah lembaga
pemasaran, umumnya komoditas pertanian memiliki jalur pemasaran yang relatif
panjang. Berdasarkan perbandingan jumlah petani dengan jumlah tengkulak,
pengolah ataupun IPK, struktur pasar yang terbentuk dari sisi petani adalah
oligopsoni. Jumlah petani yang lebih banyak daripada tengkulak, pengolah
maupun industri penggergajian menyebabkan petani menjadi pene rima harga
(price taker). Lebih jelasnya dapat dilihat di Tabel 8.
Tabel 8. Persentase Jumlah Lembaga Pemasaran Kayu Sengon di Kecamatan
Cililin, Kabupaten Bandung Tahun 2005
No
1.
2.
3.
4.
5.
Pelaku Pasar
Petani
Pengolah
Tengkulak
IPK
Material
Total
Jumlah (Orang)
40
10
17
11
8
86
Persen (%)
46.51
11.63
19.77
12.79
9.30
100
Pada tingkat pemasaran selanjutnya jumlah pedagang kayu atau tengkulak
lebih banyak daripada jumlah Industri Penggergajian Kayu (IPK). Dengan
demikian struktur pasar yang terbentuk adalah monopsoni. Hambatan untuk
masuk sebagai pelaku pasar baru lebih tinggi karena membutuhkan sejumlah
45
modal (Capital) yang besar, dan dalam proses penentuan harga didominasi oleh
Industri Pengolahan Kayu (IPK) sehingga menempatkan tengkulak sebagai
penerima harga. Dengan demikian struktur pasar yang terbentuk berdasarkan
jumlah antara lembaga pemasaran dan petani adalah struktur persaingan tidak
sempurna (Imperfect competitive market). Harga jual dan beli kayu gelondongan
jenis Sengon pada setiap tingkatan pelaku tataniaga di Kecamatan Cililin berbeda beda, untuk harga beli rata-rata di tingkat tengkulak sebesar Rp 88.708.33/m3
dengan harga jual rata –rata Rp 144.791.67/m3. Pada tingkat pengolah harga beli
rata–rata sebesar Rp 92.023.80/m3 dan harga jual rata -rata sebesar Rp
119.999.99/m3 dan di tingkat industri harga jual rata–rata sebesar Rp
187.500.00/m3 dengan harga beli rata –rata sebesar Rp 216.250.00/m3. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Harga Rata -rata Kayu Gelondongan (Log) di Kecamatan Cililin
Kabupaten Bandung Tahun 2005
Pelaku TN
Tengkulak
Pengolah
Industri
Saluran TN
I
II
VI
VII
Rata – rata
III
IV
Rata – rata
II
V
VI
Rata – rata
Harga Beli
(Rp/m 3)
85.000
85.000
87.500
98.333.33
88.708.33
80.714.28
103.333.33
92.023.80
300.000
117.500
145.000
187.500.00
Harga Jual
(Rp/m 3)
133,889
132.500
145.000
169.166.67
144.791.67
106.666.66
133.333.33
119.999.99
240.000
208.750
200.000
216.250.00
46
5.5. Total Biaya Tataniaga Kayu Sengon Yang Terjadi di Kecamatan
Cililin Kabupaten Bandung
Biaya tataniaga adalah biaya -biaya yang digunakan dalam proses
pergerakan barang dari tangan konsumen ke tangan produsen. Umumnya terdiri
atas komponen biaya seperti; biaya tenaga kerja, sewa, advertasi, depresiasi,
transportasi, pengemasan, pajak, dan pengeluaran lainnya yang tak terduga.
(Azzaino, 1983). Sehingga biaya tataniaga kayu Sengon di Kecamatan Cililin
yaitu biaya pada tingkat petani dan biaya manufaktur yang terdiri atas biaya
produks i kayu olahan, dan biaya asah gergaji, sedangkan biaya penggunaan bahan
bakar pada tingkat industri kayu (IPK) tidak termasuk kedalam biaya tataniaga.
Total biaya yang harus dikeluarkan pada saluran tataniaga I yaitu sebesar Rp
27.500/m3 , yang mencakup biaya tataniaga tengkulak yang digunakan untuk
tenaga kerja sebesar Rp 11.500/m3, bongkar muat sebesar Rp 5.000/m3, Chainsaw
sebesar Rp 5.000/m3 , dan transportasi sebesar Rp 6.000/m3.
Pada saluran tataniaga II, total biaya yang dikeluarkan yaitu sebesar Rp
21.882.37/m3. Biaya tersebut terdiri dari biaya tengkulak dan industri. Biaya
tengkulak mencakup biaya tataniaga untuk tenaga kerja sebesar Rp 2.878.08/m3,
bongkar muat sebesar Rp 1.251.34./m3 , Chainsaw sebesar Rp 1.251.34/m3 dan
transportasi sebesar Rp 1.501.61/m3. Sedangkan biaya industri mencakup biaya
produksi sebesar Rp 4.833.33/m3, biaya transportasi sebesar Rp 4.500/m3. biaya
penyusutan sebesar Rp 666.67/m3, biaya asah gergaji sebesar Rp 1.666.67/m3 , dan
biaya bahan bakar sebesar Rp 3.333.33/m3.
Untuk saluran tataniaga III diperoleh total biaya tataniaga pengolah
sebesar Rp 41.714.29/m3 yang mencakup biaya tataniaga untuk tenaga kerja
sebesar Rp 8.714.29/m3, bongkar muat sebesar Rp 5.000/m3 , biaya transportasi
47
sebesar Rp 8.000/m3, dan sewa bandsaw sebesar Rp 20.000/m3. Untuk saluran
tataniaga IV diperoleh total biaya tataniaga pengolah sebesar Rp 21.000/m3 yang
mencakup biaya tataniaga untuk tenaga kerja sebesar Rp 5.000/m3, bongkar muat
sebesar Rp 2.000/m3 , biaya transportasi sebesar Rp 9.000/m3, dan sewa bandsaw
sebesar Rp 5.0000/m3.
Biaya tataniaga untuk saluran V mencakup biaya untuk industri yang
digunakan untuk biaya produksi sebesar Rp 8.375/m3 , biaya pemanenan sebesar
Rp 4.500/m3 , biaya transportasi sebesar Rp 43.000/m3 , biaya penyusutan sebesar
Rp 4.000/m3 , biaya asah gergaji sebesar Rp 9.000/m3, biaya bahan bakar sebesar
Rp 5.375/m3. dan biaya bongkar muat sebesar Rp 2.000/m3. Total biaya yang
harus dikeluarkan pada saluran tataniaga VI yaitu sebesar Rp 58.000/m3 , yang
mencakup biaya tataniaga tengkulak dan industri. Biaya tataniaga tengkulak
mencakup biaya untuk tenaga kerja sebesar Rp 17.500/m3 , dan transportasi
sebesar Rp 10.500/m3. Biaya tataniaga untuk industri digunakan untuk biaya
produksi sebesar Rp 7.500/m3, biaya transportasi sebesar Rp 5.000/m3, biaya
penyusutan sebesar Rp 3.500/m3, biaya asah gergaji sebesar Rp 5.000/m3 , dan
biaya bahan bakar sebesar Rp 9.000/m3.
Total biaya yang harus dikeluarkan pada saluran tataniaga VII yaitu
sebesar Rp 25.016.67/m3, yang mencakup biaya tataniaga tengkulak yang
digunakan untuk tenaga kerja sebesar Rp 9.166.67/m3 , bongkar muat sebesar Rp
3.750.00/m3, Chainsaw sebesar Rp4.600/m3 , dan transportasi sebesar Rp
7.500/m3. Untuk lebih jelasnya mengenai total biaya tataniaga yang dikeluarkan
oleh pela ku tataniaga di Kecamatan Cililin dapat dilihat pada Lampiran 13.
48
5.6. Saluran Tataniaga dan Marjin Tataniaga
Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian secara umum saluran
tataniaga kayu Sengon (Paraserianthes falcataria) di Kecamatan Cililin dapat
dikelompokkan menjadi tujuh saluran tataniaga, yaitu :
Saluran I terdiri atas Petani, Tengkulak, dan Pedagang Penampung.
Sedangkan saluran II terdiri atas Petani, Tengkulak, Industri Penggergajian Kayu
(IPK), dan Material. Saluran III terdiri atas Petani, Pengolah, dan Pedagang
Penampung. Saluran IV terdiri atas Petani, Pengolah, dan Material.
Untuk
Saluran V terdiri atas Petani, Industri, dan Material. Saluran VI Petani,
Tengkulak, Industri Penggergajian Kayu (IPK), Pedagang
Penampung.
Sedangkan yang terakhir saluran VII terdiri atas Petani, Tengkulak, dan Industri
(Luar daerah). Untuk saluran tataniaga I pada tingkat tengkulak terdapat marjin
tataniaga sebesar 36,51 persen dari harga beli pedagang penampung, dengan
rincian mencakup biaya tataniaga sebesar 15.35 persen dan keuntungan sebesar
21,16 persen. Sedangkan pada tingkat petani farmer’s share yang diterima sebesar
63,40 persen. Untuk rasio keuntungan yang diterima petani sebesar 29,22 persen
sedangkan di tingkat tengkulak sebesar 154,05 persen.
Pada saluran tataniaga II, marjin tataniaga di ringkat tengkulak sebesar
37,73 persen yang meliputi biaya tataniaga sebesar 13,77 persen dan keuntungan
sebesar 23,96 persen. Sedangkan pada tingkat industri mempunyai marjin
tataniaga sebesar 16,66 persen dari harga beli pedagang penampung dengan
rincian biaya tataniaga sebesar 16,45 persen dan keuntungan industri sebesar
11,36 persen.
Untuk rasio keuntungan ditingkat petani sebesar 29,22 persen,
tengkulak 173,97 persen dan industri sebesar 166,66 persen. Sedangkan farmer’s
49
share yang diterima sebesar 64,16 persen. Marjin tataniaga yang diperoleh
pengolah pada saluran tataniaga III sebesar 35,14 persen yang meliputi biaya
tataniaga sebesar 16,45 persen dan keuntungan sebesar 18,69 persen. Sedangkan
rasio keuntungan yang diperoleh ditingkat petani sebesar 22,70 persen dan pada
tingkat pengolah sebesar 35,14 persen . Farmer’s share pada tingkat petani
sebesar 67,60 persen.
Pada saluran tataniaga IV marjin tataniaga pada tingkat pengolah sebesar
44,14 persen. Farmer’s share pada tingkat petani sebesar 55,86 persen dengan
rasio keuntungan petani sebesar 57,09 persen dan di tingkat pengolah sebesar
87,77 persen. Untuk saluran tataniaga V farmer’s share ditingkat petani sebesar
56,29 persen. Marjin tataniaga di tingkat industri sebesar 43,71 persen dengan
rincian biaya tataniaga sebesar 15,28 persen dan marjin keuntungan sebesar 28
persen. Untuk rasio keuntungan di tingkat petani sebesar 78,63 persen dan di
tingkat industri sebesar 199,18 persen.
Marjin tataniaga sebesar 27,5 persen diperoleh industri penggergajian kayu
(IPK) pada saluran tataniaga VI dengan rincian sebesar 14,30 persen untuk biaya
tataniaga dan sebesar 13,20 persen untuk marjin keuntungan. Rasio keuntungan
untuk petani sebesar 33,02 persen dan untuk tingkat tengkulak sebesar 105,36
persen dan pada tingkat industri sebesar 83,33 persen. Pada saluran tataniaga VII
farmer’s share pada tingkat petani sebesar 58,13 persen dengan marjin tataniaga
di tingkat tengkulak sebesar 41,87 persen dengan perincian biaya tataniaga
sebesar 10,87 persen dan keuntungan sebesar 31 persen. Rasio keuntungan pada
tingkat petani sebesar 49,48 persen dan di tingkat tengkulak sebesar 274,45
persen.Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 10.
50
Tabel 10. Marjin Tataniaga (M), Farmer’s share (FS), dan Rasio Keuntungan
(RK) Pelaku Tataniaga di Kecamatan Cililin Tahun 2005
Saluran
I
II
III
IV
V
VI
VII
Keterangan
FS
M
RK
FS
M
RK
FS
M
RK
FS
M
RK
FS
M
RK
FS
M
RK
FS
M
RK
Petani
63,40
29,22
67,60
29,22
75,66
22,70
55,86
57,09
56,29
78,63
60,35
33,02
58,13
49,48
Tengkulak
36,51
154,05
37,73
173,97
39,65
105,36
41,87
274,45
Pengolah
35,14
52,72
44,14
87,77
-
Industri
16,66
166,66
43,71
199,18
27,5
83,33
-
Dari Tabel 10 dilihat bahwa marjin tataniaga terbesar dimiliki oleh
pengolah yaitu sebesar 44,14 persen pada saluran tataniaga IV. Hal ini terjadi
karena harga beli kayu pada tingkat pengola h lebih rendah dibandingkan dengan
harga jual kayu olahannya, sehingga petani sebagai produsen yang merupakan
level paling rendah (hulu) adalah pihak yang dirugikan. Farmer’s share (FS) pada
saluran tataniaga ke V memiliki nilai terkecil bila dibandingkan dengan FS
saluran tataniaga lainnya yaitu sebesar 56,29 persen . Kecilnya nilai FS ini tidak
diikuti oleh rendahnya nilai rasio keuntungan (RK) petani. Hal ini menunjukkan
bahwa nilai FS tidak dapat menjadi ukuran tinggi rendahnya nilai keuntungan
yang akan diperoleh petani. Sedangkan marjin tataniaga terkecil diperoleh tingkat
industri pada saluran tataniaga II yaitu sebesar 16,66 persen.
Kecilnya nilai marjin tataniaga pada industri ini disebabkan karena
panjangnya jalur tataniaga yang terjadi, sehingga marjin tataniaga yanmg
51
dihasilkan lebih kecil karena banyaknya pelaku tataniaga yang terlibat. Rasio
keuntungan terbesar pada saluran ini lebih dinikmati oleh pengolah yaitu sebesar
Rp 173.97.-/m3. hal ini menunjukkan adanya pembagian rasio keuntungan yang
tidak merata di tingkat petani, tengkulak, pengolah dan industri penggergajian.
5.7. Marjin Keuntungan
Marjin keuntungan adalah selisih dari marjin tataniaga dengan biaya yang
dikeluarkan oleh setiap pelaku tataniaga. Marjin keuntungan merupakan
keuntungan bersih yang diterima pelaku tataniaga dalam kegiatan tataniaga.
Setelah mengetahui biaya-biaya yang terjadi pada masing-masing perhitungan
marjin keuntungan yang didapat semua pelaku tataniaga yang terjadi di wilayah
penelitian belum termasuk limbah penebangan, seperti kayu bakar yang diperoleh
para pelaku tataniaga.
Rata-rata keuntungan petani di wilayah Kecamatan Cililin adalah sebesar
Rp 27.989.34/m3. Sedangkan untuk tengkulak rata-rata sebesar Rp 28.916.67/m3,
Pengolah rata -rata sebesar Rp 76.190.48/m3 , dan untuk industri rata -rata sebesar
Rp 40.666.67/m3, rata-rata keuntungan petani memiliki nilai terkecil dibandingkan
dengan pelaku tataniaga lainnya, hal ini tentunya sangat merugikan petani sebagai
pihak produsen kayu yang berada pada level paling bawah. Rendahnya tingkat
keuntungan petani disebabkan karena marjin keuntungan lebih dinikmati oleh para
tengkulak dan pengolah. Nilai RK dan M pada tingkat tengkulak dan pengolah
berbanding jauh dengan nilai FS dan RK petani (Tabel 11).
Pada tingkat petani marjin keuntunagan terbesar diperoleh pada saluran
tataniaga V, yaitu sebesar Rp 51.720.63/m3. Sedangkan keuntungan petani yang
terkecil terdapat pada saluran tataniaga III yaitu sebesar Rp 14934.91/m3. pada
52
saluran V nilai rasio keuntungan petani memiliki nilai paling besar dibandingkan
dengan pelaku tataniaga lainnya yaitu sebesar 78,63 persen. Hal ini menunjukkan
bahwa nilai RK dapat menunjukkan besar kecilnya keuntungan yang didapatkan
oleh petani. Dengan besarnya nilai RK ini juga menunjukkan bahwa jalur V
merupakan jalur yang lebih menguntungkan bagi petani. Sedangkan pada tingkat
tengkulak keuntungan yang terbesar diperoleh pada saluran II yaitu sebesar Rp
31.750/m3. dan yang terkecil yaitu pada saluran I sebesar Rp 25.500/m3. Besarnya
tingkat keuntungan pada saluran I karena tengkulak mendapatkan harga jual lebih
tinggi pada tingkat industri, sehingga keuntungan yang didapatkan lebih tinggi.
Rata–rata harga beli kayu Sengon di tingkat industri mencapai Rp 187.500.00/m3.
Untuk tingkat pengolah keuntungan terbesar diperoleh pada saluran
tataniaga IV yaitu sebesar Rp 131.666.67/m3. Pendeknya jalur tataniaga ini
menjadi penyebab besarnya keuntungan yang diperoleh oleh pengolah. Dari total
keuntungan sebesar Rp 169.220.63/m3. pengolah mendapatkan 77,80 persen dari
keuntungan tersebut dan sisanya diperoleh petani. Keuntungan terbesar diperoleh
industri pada saluran tataniaga V yaitu sebesar Rp 60.750/m3. Saluran ini
memberikan keuntungan yang besar kepada industri penggergajian kayu (IPK)
karena mereka membeli bahan baku kayu langsung kepada petani atau tanpa
perantara. Hal ini dapat menekan biaya yang biasanya dikeluarkan apabila
menggunakan saluran tataniaga lainnya. Selain itu dengan pendeknya jalur
tataniaga, maka keuntungan yang didapat akan lebih besar karena sedikitnya
pelaku yang terlibat. Keuntungan terbesar diperoleh industri pada saluran
tataniaga V yaitu sebesar Rp 60.750/m3. Saluran ini memberikan keuntungan yang
besar kepada Industri Penggergajian Kayu (IPK) karena mereka membeli bahan
53
baku kayu langsung kepada petani atau tanpa perantara. Hal ini dapat menekan
biaya yang biasanya dikeluarkan apabila menggunakan saluran tataniaga lainnya.
Selain itu dengan pendeknya jalur tataniaga, maka keuntungan yang didapat akan
lebih besar karena sedikitnya pelaku yang terlibat. Keterangan lebih jelasnya
dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Marjin Keuntungan Pelaku Pasar di Kecamatan Cililin Kabupaten
Bandung Tahun 2005
Saluran
I
II
III
IV
V
VI
VII
Jumlah
Rata - rata
Petani
(Rp/m3)
19.220.63
19.220.63
14.934.91
37.553.96
51.720.63
21.720.63
32.554.00
Tengkulak
(Rp/m 3)
28.334.00
31.750.00
29.500.00
51.916.67
Pengolah
(Rp/m3)
-
196.9 25.39
141.500.00
92.976.2
28.132.19
35.375.00
46.488.10
27.142.86
65.833.34
-
Industri
(Rp/m3)
25.000.00
60.750.00
25.000.00
110.750.00
36.916.67
Dari Tabel 10 diketahui bahwa rata-rata keuntungan terbesar dimiliki oleh
pengolah dengan jumlah sebesar Rp 46.488.10/m3 , kemudian diikuti oleh industri
sebesar Rp 36.916.67/m3. Selanjutnya pada tengkulak sebesar Rp 35.375.00/m3,
yang terakhir adalah petani sebesar Rp 28.132.19/m3, secara keseluruhan petani
merupakan pihak yang dirugikan atau memiliki keuntungan yang terkecil. Hal ini
yang menjadi salah saut hambatan petani untuk mengembangkan usaha budidaya
kayu Sengon di Kecamatan Cililin. Kecilnya keuntungan masih menjadi indikator
bagi masyarakat untuk berkebun kayu Sengon. Umumnya petani mengembangkan
tanaman kayu Sengon dengan perlakuan yang biasa-biasa saja sehingga hasil
panen kayu yang didapatkan jauh dari harapan. Jumlah panen kayu yang
54
didapatkan sedikit dan dengan waktu panen yang relatif lama. Hal ini merupakan
salah satu cara petani untuk mensiasati keuntungan panen yang sedikit, sehingga
dapat menekan biaya produksi seperti biaya bibit, biaya pupuk, dan biaya
perawatan tanaman.
5.8. Hubungan Antara Pelaku Tataniaga Dengan Saluran Tataniaga
Berdasarkan jumlah pelaku tataniaga yang terlibat, didapatkan banyaknya
pengguna saluran I sebanyak 22,5 persen, saluran II sebesar 17,5 persen, saluran
III berjumlah 17,5 persen, saluran IV sebesar 7,5 persen, saluran V dan VI
masing-masing sebesar 10 persen, dan saluran VII sebesar 15 persen. Persentase
tersebut merupakan hasil pembagian berdasarkan jumlah pelaku tataniaga kayu
Sengon di Kecamatan Cililin. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 3.
I = 22,5 %
Tengkulak
Industri
VI =10 %
II = 17,5%
V = 10 %
Petani
Industri
Material
Pedagang
Penampung
IV= 7,5 %
III = 17,5 %
Pengolah
Tengkulak
VII = 15 %
Industri Luar Daerah
Gambar 3. Saluran Tataniaga Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria)
di Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung tahun 2005
55
Umumnya saluran tataniaga kayu Sengon yang terjadi di lokasi penelitian
merupakan suatu kebiasaan yang telah mereka lakukan selama ini. Seperti
contohnya beberapa petani kayu telah memiliki pembeli atau langganan khusus
yang siap menampung hasil panen dari kebunnya. Beberapa hal yang menjadi
alasan petani untuk tidak berpindah langganan dalam menjual hasil panennya
adalah karena faktor kepercayaan antara para pelaku tataniaga. Hasil pengamatan
dan analisis data di lapangan, didapatkan bahwa saluran tataniaga yang banyak
dipilih oleh pelaku tataniaga adalah saluran tataniaga I (Petani–Tengkulak–
Pedagang Penampung) yaitu sebesar 22,5 persen.
Saluran tataniaga yang paling sedikit dipilih adalah saluran tataniaga IV
(Petani–Pengolah–Material) yaitu 7,5 persen. Saluran tataniaga I banyak dipilih
disebabkan karena petani di Kecamatan Cililin cenderung bersifat pasif sehingga
hal ini membuka peluang bagi para tengkulak untuk mencari bahan baku kayu ke
wilayah-wilayah desa yang kemudian di tawarkan kepada pedagang penampung.
Selain itu keuntungan lainnya yang didapatkan oleh para tengkulak dan pedagang
penampung adalah mereka hanya membeli kayu berbentuk gelondongan (log),
sehingga tidak memerlukan perlakuan khusus untuk merubah bentuk kayu. Hal ini
dapat mengurangi biaya yang dikeluarkan oleh tengkulak dan pedagang
penampung, disisi lain keuntungan dari hasil penjualan kayu log lebih tinggi dan
perputaran uangnya lebih cepat. Lebih tinggi karena jumlah pelaku tataniaga lebih
sedikit, dengan resiko usaha yang sedikit pula. Perputaran uang lebih cepat karena
kayu log dapat cepat dibeli atau ditampung oleh Industri Penggergajian Kayu
(IPK) atau para pengrajin kayu olahan.
56
Saluran tataniaga IV merupakan saluran yang paling sedikit dipilih oleh
pelaku tataniaga di Kecamatan Cililin. Ada beberapa alasan yang mendasarinya,
alasan pertama karena adanya persaingan antara tengkulak dan pengolah di
wilayah penelitian, sehingga menyulitkan pengolah untuk mendapatkan kayu
langsung dari petani. Alasan kedua, karena umumnya pengolah sudah memiliki
langganan khusus yang memasok bahan baku kayu Sengon, atau dapat juga
disebut untuk beberapa ora ng tengkulak sudah merupakan “tangan panjang” dari
para pengolah kayu. Umumnya para pengolah menjual kayu Sengon selain dalam
bentuk kayu log juga menjual kayu dalam bentuk dan ukuran tertentu, sehingga
lebih menguntungkan bagi mereka untuk mengolah bahan baku yang sudah ada
sambil menunggu pasokan bahan baku kayu log dari tengkulak dibandingkan
dengan mencari bahan baku kayu log sendiri ke para petani. Hal ini mengurangi
biaya untuk pencarian dan lebih efektif dari segi waktu.
5.9. Hubungan Antara Saluran Tataniaga dengan Biaya Tataniaga
dan Total Keuntungan
Dari keseluruhan saluran tataniaga yang terjadi di wilayah penelitian dapat
dibagi menjadi dua klasifikasi saluran tataniaga yaitu saluran tataniaga pendek
dan saluran tataniaga panjang. Salura n tataniaga pendek adalah saluran tataniaga
dimana hanya terdapat tiga pelaku tataniaga saja yang terlibat dalam saluran
tersebut. Yang termasuk kedalam saluran tataniaga pendek adalah saluran
tataniaga II, III, IV, V, dan VII. Saluran tataniaga panjang adalah saluran dimana
terdapat lebih dari tiga pelaku tataniaga yang terlibat. Yang termasuk ke dalamnya
yaitu saluran tataniaga I dan VI.
57
Tabel 12. Hubungan antara Saluran Tataniaga dengan Biaya Tataniaga dan Total
Keuntungan di Kecamatan Cililin Ta hun 2005
Jenis Saluran
Pendek
Panjang
Saluran
Biaya Tataniaga (Rp/m 3)
Total Keuntungan (Rp/m 3)
I
III
IV
28.334.00
44.285.71
21.000.00
43.720.63
27.142.86
65.833.34
V
VII
Rata - rata
II
76.250.00
25.016.67
38.977.28
23.250.00
60.750.00
51.916.67
49.872.70
56.750.00
VI
38.000.00
54.500.00
Rata - rata
30.625.00
58.750.00
Berdasarkan keterangan Tabel 12 dapat dilihat bahwa panjang pendeknya
saluran tataniaga yang terjadi dapat mempengaruhi besarnya rata rata biaya
tataniaga dan total keuntungan yang didapat oleh pelaku tataniaga. Untuk saluran
tataniaga yang pendek memiliki biaya rata–rata sebesar Rp 38.977.28/m3 dengan
total keuntungan rata–rata sebesar Rp 49.872.70/m3.
Untuk saluran tataniaga yang lebih panjang mendapatkan biaya rata –rata
sebesar Rp 30.625.00/m3 dengan rata -rata total keuntungan sebesar Rp
58.750.00/m3. Total keuntungan yang didapatkan saluran tataniaga yang lebih
panjang nilainya lebih kecil, hal ini disebabkan karena saluran tataniaga yang
lebih pendek dapat meminimalisasi jumlah pelaku tataniaga yang terlibat sehingga
keuntungan yang didapatkan dapat lebih besar. Sama halnya untuk perbedaan
biaya rata -rata, pada saluran yang lebih panjang ada akumulasi biaya tataniaga
yang lebih besar karena lebih banyak pelaku tataniaga yang terlibat sehingga
keuntungan yang diperoleh pelaku tataniaga semakin kecil.
58
5.10. Efisiensi Tataniaga
Berdasarkan kepada kriteria Kohls, R.L. (1967), yaitu suatu sistem
tataniaga disebut efisien jika mampu menyampaikan produk atau jasa dari
produsen ke konsumen dengan biaya yang semurah-murahnya dan adanya
pembagian yang merata dari harga yang diberikan konsumen kepada lembaga
yang terlibat. Dengan demikian saluran tataniaga kayu Sengon yang memiliki
biaya tataniaga paling rendah adalah
saluran tataniaga IV (Petani-Pengolah-
Material). Saluran ini memiliki biaya tataniaga paling rendah dibandingkan
dengan saluran lainnya yaitu sebesar Rp 21.000.00/m3.
Rendahnya biaya tataniaga pada saluran ini karena pengolah memiliki
upah tenaga kerja yang relatif lebih kecil dibandingkan saluran tataniaga lainnya.
Selain itu pengolah dapat menjual kayu tersebut langsung ke material sehingga
keuntungan yang didapatkan lebih banyak. Rendahnya biaya tataniaga pada
saluran ini tidak diimbangi dengan besarnya farmer’s share (FS) yang diterima,
terbukti FS yang diterima pada saluran ini merupakan FS terendah dibandingkan
saluran tataniaga lainnya yaitu sebesar 55,86 persen. Kecilnya FS ini
menunjukkan bahwa keuntungan yang diterima petani rendah. Keuntungan petani
hanya sebesar Rp 37.553.96/m3 dengan biaya sebesar Rp 65.779.37/m3 sedangkan
keuntungan pengolah sebesar Rp 65.833.34/m3 dengan biaya Rp 21.000.00/m3.
Jumlah biaya yang dikeluarkan petani tinggi, tetapi keuntungan rendah.
Sedangkan biaya yang dikeluarkan pengolah rendah tetapi keuntungannya lebih
tinggi. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan saluran tataniaga kayu Sengon
di Kecamatan Cililin belum efisien karena tidak terpenuhinya kriteria kedua yaitu
adanya pembagian hasil yang merata diantara pelaku yang terlibat.
59
5.11. Masalah Yang Dihadapi Petani dan Pelaku Pasar di Kecamatan
Cililin
Beberapa masalah yang dihadapi oleh petani dan pelaku pasar dalam
pemasaran kayu Sengon di Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung diantaranya
adalah :
1. Masih rendahnya pengetahuan petani tentang tata cara bertani atau berkebun
kayu Sengon (budidaya, pemanenan, penaganan pasca panen) yang baik
sehingga hasil produksi kayu umumnya masih sedikit untuk setiap kebunnya.
2. Terbatasnya akses informasi pasar oleh petani, mereka hanya mengetahui dari
sesama petani atau tengkulak atau hanya menunggu pembeli datang ke kebun.
3. Sebagian besar petani tidak mengetahui secara pasti spesifikasi ukuran, jenis
dan kualitas kayu yang dibutuhkan pasar, sehingga mereka umumnya menjual
kayu dalam bentuk log atau pohon berdiri.
4. Kualitas dan jumlah kayu yang dipanen masih rendah, karena konsumen
seperti tengkulak dan pedagang pengumpul memanen sebelum usia kayu siap
panen (ijon) hal ini karena kebutuhan keuangan yang mendesak dari petani.
5. Petani tidak memiliki kelompok kerja antara sesama petani atau dengan
pelaku tataniaga lainnya sebagai tempat untuk bertukar pengalaman mengenai
budidaya, pemasaran, atau masalah pertanian lainnya.
Dengan keadaan seperti ini petani tidak memiliki kesempatan untuk
melakukan diferensiasi produk, hal ini diindikasikan dengan kecilnya marjin
pemasaran yang diterima petani dibandingkan dengan pelaku tataniaga lainnya.
60
BAB VI
PROSPEK PENGEMBANGAN BUDIDAYA
SENGON (Paraserianthes falcataria)
Sengon merupakan salah satu jenis tanaman yang dapat tumbuh dengan
cepat (fast growing species) di daerah tropis. Dalam perkembangannya Sengon
belum diusahakan secara sungguh-sungguh dan hanya dianggap sebagai tanaman
pelengkap dan bukan dirancang sebagai tanaman pokok. Padahal disisi lain
Sengon memiliki berbagai macam manfaat bagi kehidupan masyarakat seperti
sebagai tanaman penghijauan dan reboisasi, pelindung dan penyubur tanah , bahan
baku kayu energi, bahan baku kayu pertukangan, dan bahan baku kayu serat yaitu
industri pulp dan kertas. (Budi, S.H. 1992).
Dengan berbagai macam kegunaannya tersebut Sengon merupakan
salahsatu jenis tanaman yang diutamakan oleh Departemen Kehutanan untuk
dibudidayakan secara luas ke dalam bentuk Hutan Tanaman Industri (HTI).
Tujuan utama HTI adalah untuk menyediakan bahan baku kayu bagi industri
perkayuan
secara
mantap
dan
berkesinambungan,
peningkatan
devisa,
peningkatan produktivitas lahan kritis, penyediaan kesempatan kerja dan ikut serta
dalam meningkatkan produksi bahan pangan, palawija dan hortikultura melalui
pelaksanaan agroforestry. (Djojosoebroto, J. 2000).
Berdasarkan hasil kajian penelitian yang dilihat secara umum berdasarkan
4 aspek yaitu; aspek pasar dan pemasaran, aspek sosial ekonomi dan budaya,
aspek teknis dan teknologi, aspek keuangan (financial) maka prospek
pengembangan budidaya Sengon secara intensif di Kecamatan Cililin Kabupaten
Bandung adalah sebagai berikut :
61
6.1. Aspek Pasar dan Pemasaran
Dilihat dari aspek pasar, jumlah pembeli atau konsumen kayu Sengon di
wilayah Kecamatan Cililin cukup banyak yang terdiri dari konsumen kelompok
ataupun individu seperti industri penggergajian kayu, perusahaan matrial,
pengolah kayu, industri kecil rumah tangga, ataupun konsumen rumah tangga
sebagai pengguna langsung bahan baku kayu. Selain itu berdasarkan informasi
dari pemilik Industri Penggergajian Kayu (IPK), jumlah kebutuhan kayu
gelondongan (log ) jenis Sengon semakin meningkat tetapi disisi lain pasokan
bahan baku dari pekebun kayu disekitar wilayah Kecamatan Cililin semakin
berkurang. Adanya kesenjangan (gap) antara suplai dan deman tersebut menjadi
sebuah peluang untuk melakukan usaha budidaya Sengon secara intensif. Hal ini
ditunjang pula dengan kedekatan antara lokasi kebun budidaya masyarakat dengan
lokasi konsumen seperti Industri Penggergajian Kayu (IPK) dan usaha kerajinan
kayu meubel.
Dari aspek pemasaran hasil kayu, umumnya konsumen yang ingin
membeli kayu, dengan sengaja mencari informasi dengan mendatangi kebunkebun petani kayu Sengon, sehingga hal ini memudahkan dalam proses penjualan
kayu bagi petani. Selain mengurangi biaya transportasi, hal ini juga mengurangi
kekhawatiran petani pada proses penebangan dan pendistribusian kayu dari
kebun petani karena umumnya kayu tersebut dibeli pada saat pohon
berdiri sehingga apabila telah terjadi kesepakatan antara Petani dengan
pembeli,
maka
kegiatan
berikutnya
yaitu
kayu sepenuhnya menjadi tanggung jawab pembeli.
penebangan
dan
distribusi
62
6.2. Aspek Sosial, Ekonomi dan Budaya
Dilihat dari aspek sosial, dengan dikembangkannya usaha budidaya
sengon dilahan kosong atau dikebun-kebun masyarakat maka secara tidak
langsung ataupun tidak, akan dapat menyerap banyak tenaga kerja lokal. Tenaga
kerja tersebut dibutuhkan untuk pekerja di lokasi persemaian, penanaman,
pemeliharaan, transportasi, atau pemanenan hasil kayu. Disisi lain juga dengan
bertambahnya jumlah pasokan bahan baku kayu Sengon, akan merangsang tenaga
kerja di sektor usaha lainnya seperti sektor industri kayu gergajian, meubel,
ataupun sektor kerajinan kayu lainnya.
Dari sisi ekonomi, dengan dikembangkannya usaha budidaya Sengon yang
lebih intensif, tentunya dapat mengangkat kesejahteraan petani dan semua pihak
yang terlibat (mulltiplier effect). Dari sisi budaya, bila diamati masyarakat
setempat memiliki budaya bertani seperti menanam padi dan tanaman palawija
lainnya, sehingga apabila dilakukan penyuluhan dan pendekatan secara terus
menerus dari Depertemen Pertanian dan Kehutanan, maka tidak akan sulit untuk
mengajak petani untuk ikut dalam usaha budidaya kayu Sengon.
6.3. Aspek Teknis dan Teknologi
Prospek pengembangan budidaya Sengon di Kecamatan Cililin ditunja ng
dengan kondisi iklim yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman Sengon, yaitu pada
ketinggian 0-1.500 mdpl. Kondisi tanah yang subur di Kecamatan Cililin sangat
sesuai untuk pertumbuhan Sengon yang dapat tumbuh dalam kondisi tanah kritis
sekalipun. Lokasi ke bun-kebun masyarakat yang terbuka dan terkena sinar
matahari langsung sangat sesuai untuk Sengon sebagai salah satu jenis tanaman
fast growing species.
63
Tersedianya lahan-lahan kosong hak milik masyarakat, adat istiadat,
ataupun Negara yang tidak dimanfaatkan merupakan salah satu modal (Capital)
yang
dapat
digunakan
untuk
mengembangkan
budidaya
kayu
Sengon.
Tersedianya bibit dan tanaman induk sebagai sumber bibit di sekitar wilayah
Kecamatan Cililin memberikan kemudahan dalam penyediaan benih dan bibit
Sengon untuk kebutuhan penanaman. Selain itu banyaknya penduduk usia muda
yang tidak memiliki pekerjaan dapat diarahkan untuk memenuhi ketersediaan
tenaga kerja langsung untuk kegiatan selama budidaya.
6.4. Aspek Keuangan (Finansial)
Setelah ketiga aspek ya itu aspek pasar dan pemasaran, aspek sosial
ekonomi dan budaya, aspek teknis dan teknologi di daerah Kecamatan Cililin
dinyatakan sudah layak, maka aspek berikutnya yang perlu dikaji yaitu aspek
keuangan (Finansial). Berdasarkan perhitungan biaya dan keuntungan, dengan
memisalkan jumlah lahan yang akan ditanami seluas 5000 m2 dan merupakan
lahan sewa didapatkan jumlah biaya yang diinvestasikan dalam jangka waktu 5
tahun sebesar Rp 4.688.500 yang terdiri atas biaya tetap dan biaya tidak tetap.
Biaya tetap digunakan untuk membayar sewa tanah sebesar Rp 600.000/thn, dan
untuk membeli peralatan-peralatan yang dibutuhkan. Sedangkan biaya tidak tetap
digunakan untuk membeli kebutuhan produksi seperti bibit, pupuk, obat, dan
membayar upah tenaga kerja. Hasil perhitungan menunjukkan keuntungan yang
didapatkan sebesar Rp 10.529.700. Dengan penerimaan hasil penjualan kayu pada
tahun ke-5 sebesar Rp 14.340.000. Penerimaan tersebut ditambah lagi dengan
penerimaan yang didapatkan dari hasil penjualan tanaman Singkong dengan
memisalkan bahwa pada tahun ke -1 dan ke-2 untuk memanfaatkan lahan yang
64
masih kosong digunakan sistem penanaman tumpangsari dengan siklus panen dua
kali setiap tahunnya. Sistem penanaman ini diterapkan sebagai salah satu cara
untuk meningkatkan produktivitas lahan kosong karena kondisi tanaman utama
(Sengon) masih berukuran kecil. Dengan adanya tanaman Singkong di sepanjang
jalur penanaman, akan sangat membantu dalam menaungi bibit sehingga dapat
mengurangi resiko kematian pada minggu-minggu pertama penanaman. Selain itu
dapat membantu bibit untuk mencapai tinggi yang optimum karena sifat tanaman
Sengon yang selalu mengejar cahaya matahari (fast growing species). Hasil
penjualan panen singkong tersebut sebesar Rp 625.000/thn. Untuk lebih jelasnya
mengenai penerimaan dan keuntungan usahatani kayu Sengon dapat dilihat
pada Tabel 13.
Tabel 13. Penerimaan dan Keuntungan Usahatani kayu Sengon Dalam 5000 m2
No
1.
2.
3.
4.
5.
Uraian
Tahun ke-1
a. Panen tanaman singkong
50% x 5000 x 0,5 kg (2x2) x Rp. 500/kg x (2xpanen)
Tahun ke-2
a. Panen tanaman singkong
Tahun ke-3
a. Penjarangan
15% dari jumlah tanaman
15% x 844 x 0,2 m 3 x 10.000
Tahun ke-4
Tidak ada (tanaman pisang untuk konsumsi sendiri)
Tahun ke-5
a. Panen kayu 844 pohon – (884 x 15 % untuk penjarangan)
717 pohon x 0,5 m²/phn x 40.000
Total Penerimaan
Total Biaya Keseluruhan
Keuntungan
Nilai
312.500
312.500
253.200
0
14.340.000
15.218.200
6.780.500
8.437.700
65
Penerimaan usahatani lainnya didapatkan pada tahun ke -3 dari hasil panen
kayu pada saat me lakukan penjarangan. Penjarangan merupakan cara yang umum
digunakan untuk mengurangi kepadatan tajuk tanaman sehingga bibit Sengon
dapat tumbuh besar karena mendapatkan cahaya yang cukup dan memilki akar
yang cukup kuat. Dengan adanya penjarangan, akar tanaman tidak akan sulit
untuk mendapatkan makanan (unsur mikro dan makro) yang cukup bagi
pertumbuhan fisiologis tanaman. Kayu yang dijarangi atau ditebang merupakan
kayu hasil seleksi yang apabila dilihat secara fisik kayu tersebut kurang bernilai
ekonomis, seperti bentuknya tidak lurus /jelek, berpenyakit, dan memiliki batang
yang paling kecil bila dibandingkan dengan yang lainnya. Berdasarkan penelitianpenelitian terdahulu jumlah pohon yang dijarangi sebesar 15 persen dari
jumlah keseluruhan pohon yang ada. Dengan jumlah volume kayu diperkirakan
sudah mencapai kurang lebih 0.2 m3/pohon dan harga yang berlaku sebesar
kurang lebih Rp 10.000/m3.
Dari hasil perhitungan biaya dan keuntungan pada Tabel 13 dan 14, dapat
dilihat bahwa usahatani kayu Sengon di Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung,
dkatakan layak untuk dikembangkan karena memberikan keuntungan yang cukup
besar yaitu sebesar Rp 8.437.700 /musim tanam (5 thn), atau sebesar
Rp 1.687.540 /thn. Untuk melihat lebih jauh mengenai kelayakan usahatani kayu
Sengon tersebut, dapat dilakukan dengan tiga pendekatan lain yaitu dengan
perhitungan NPV (Net Present Value), IRR (Internal Rate of Return) dan B/C
Ratio (Benefit and Cost Ratio).
66
Tabel 14. Analisis Biaya Usahatani kayu Sengon Dalam 5000 m²
No
Uraian
I
1.
Biaya Tetap
Biaya Tahun Ke-I
1. Sewa Tanah 5000 m²x 600.000/th
2. Alat-alat
a. Cangkul 2 buah @ Rp. 30.000
b. Golok 2 buah @ Rp. 25.000
c. Alat peny iraman 1 buah
Total
Biaya Tidak Tetap
Tahun ke 1
a. Bibit 5000 m² : (3x2) = 844 bibit x Rp 500,Bibit cadangan 20% = 169 x Rp 500 ,b. Pupuk kandang = 10 ton x 15000/kg
c. Obat
Pestisida 1,5 kg x 9000
Insektisida 1.5 kg x 14000
d. Bibit tanaman Singkong
Total
d. Tenaga Kerja
1. P embuatan lubang (1HOK=22 lubang)
38 HOK x @ Rp. 15000
2. Penanaman (I HPK = 40)
21 HOK x @ Rp. 15000
3. Penyiraman
25 HOK x @ Rp. 15000
4. Penyulaman
10 HOK x @ Rp. 15000
5. Penyiangan
10 HOK x @ Rp. 15000
6. Pemupukan
12 HOK x @ Rp. 15000
7. Pengendalian
10 HOK x @ Rp. 15000
Total Biaya Tahun Ke-1
Biaya Tahun Ke 2 s/d 4
a. Pupuk kandang 150.000 x 1 kali
b. Obat pestisida + insektisida
34.500 x 5 kali
c. Tenaga Kerja
1. Penyiangan
4 x @ Rp. 15,000
2. Pemupukan
4x @ Rp. 18.000
3. Pengendalian
4x @ Rp. 15.000
4. Penjarangan
15 HOK x @ Rp. 15.000
5. Panen 10 HOK @ Rp. 20.000 (rokok, mkn,minum,dll)
Total Biaya Tahun Ke-2 s/d 4
Total Biaya Tidak Tetap
Rp. 2.681.000 + Rp. 939.500
Total Biaya Keseluruhan
II
1.
2.
III
IV
Nilai (Rp)
3.000.000
60.000
50.000
50.000
3.160.000
422.000
84.500
150.000
13.500
21.000
100.000
791.000
570.000
315.000
375.000
150.000
150.000
180.000
150.000
2.681.000
150.000
172.500
60.000
72.000
60.000
225.000
200.000
939.500
3.620.500
6.780.500
67
a. NPV (Net Present Value)
Berdasarkan hasil perhitungan NPV usahatani budidaya kayu Sengon di
Kecamatan Cililin dengan nilai r (tingkat keuntungan yang disyaratkan) yang
diharapkan sebesar 30 persen didapatkan hasil positif sebesar Rp 1.710.564. Hal
ini berarti usahatani kayu Sengon tersebut layak untuk diusahakan. Nilai initial
Investment merupakan nilai investasi awal usaha budidaya yang akan dilakukan
meliputi biaya sewa tanah seluas 5000 m², dan biaya alat-alat yang dibutuhkan.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15. Perhitungan NPV Usahatani Kayu Sengon dengan r = 30 %
Tahun Ke-
Aliran Kas Bersih
r = 30 %
Present Value (Rp)
1
312.500
0.76923
240.384
2
312.500
0.59172
184.913
3
253.200
0.45517
115.249
4
0
0.35013
0
5
14.340.000
0.26933
3.862.192
Total PV of Cash Flow
4.402.738
Initial Investment
3.160.000
b. IRR (Internal Rate of Return)
Berdasarkan hasil teknik interpolasi, yaitu dengan terlebih dahulu mencari
nilai Present Value hasil NPV yang berlawanan arah yaitu NPV yang bernilai
positif dengan NPV yang ber nilai negatif. Untuk NPV yang bernilai positif pada
usahatani kayu Sengon dapat digunakan NPV pada Tabel 16 di atas. Sedangkan
NPV negatif -nya dapat dilihat pada Tabel 16 sebagai berikut :
68
Tabel 16. Perhitungan NPV Usahatani Kayu Sengon dengan r = 40 %
Tahun Ke-
Aliran Kas Bersih
r = 40 %
Present Value (Rp)
1
312.500
0.71429
223.216
2
312.500
0.51020
159.438
3
253.200
0.36443
92.274
4
0
0.26031
0
5
14.340.000
0.18593
2.666.236
Total PV of Cash Flow
3.141.164
Initial Investment
3.160.000
NPV
-188.36
Hasil interpolasi nilai NPV pada usahatani kayu Sengon di Kecamatan
Cililin menunjukkan nilai IRR yang lebih besar daripada tingkat keuntungan yang
diharapkan, yaitu sebesar 39.85. Sehingga berdasarkan ketentuan maka usulan
investasi usahatani kayu Sengon tersebut
layak untuk dilanjutkan. Nilai r
merupakan nilai sekarang dari 1 rupiah pada akhir tahun. Perhitungan interpolasi
tersebut dapat dilihat pada Tabel 17.
Tabel 17. Perhitungan Interpolasi Present Value Dengan r 30 dan 40
r
PV (Rp)
40
3.141.164
30
4.402.738
Selisih 10
1.261.574
Sehingga IRR yang diinginkan adalah :
IRR = 30 % + 1.242.738 x 10 % = 39.85 %
1.261.574
IRR (39.85 %) > r yang diinginkan (30 %)
69
c. B/C Ratio (Benefit and Cost Ratio)
Perhitungan B/C ratio adalah untuk mengetahui apakah dengan suatu
pengorbanan tertentu akan diperoleh manfaat. Usulan investasi akan diterima atau
layak untuk dikembangkan apabila nilai B/C ratio mempunyai nilai lebih dari 1
(satu). Adapun rumus yang digunakan adalah sebagai berikut :
B/C ratio
=
Manfaat yang telah dinilai sekarang
Pengorbanan yang telah dinilai sekarang
Untuk perhitungan B/C ratio pada usahatani kayu Sengon dapat dilihat pada Tabel
18 sebagai berikut :
Tabel 18. Perhitungan B/C ratio pada Usahatani Kayu Sengon
Biaya Tetap
Jumlah
Biaya Tidak Tetap
Jumlah
- Sewa Tanah
Rp. 3.000.000
- Tahun ke-1
Rp.
880.000
- Penyusutan alat 15%
Rp.
- Tahun ke-2 s/d 4
Rp.
648.000
Total
Rp. 3.024.000
Total Biaya
Rp. 3.024.000 + Rp. 1.528.500 = Rp. 4.552.500
Penerimaan
Rp. 15.218.200
B/C ratio
Rp. 15.218.200
24.000
Rp. 1.528.500
= 3.34
Rp. 4.552.500
Berdasarkan hasil perhitungan B/C ratio diatas, nilai B/C ratio pada investasi
usahatani kayu Sengon di Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung lebih dari
1(satu), sehingga usaha tersebut dinyatakan layak untuk dilakukan.
70
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan
1. Saluran yang paling banyak digunakan dalam kegiatan tataniaga kayu Sengon
(Paraserianthes Falcataria) di Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung adalah
saluran tataniaga I (Petani– Tengkulak–Pedagang Penampung). Dengan marjin
tataniaga tengkulak sebesar 36,51 persen dan keuntungan sebesar 154,05
persen, sedangkan Farmer’s share petani sebesar 63,40 persen dengan
keuntungan sebesar 29,22 persen.
2. Rata-rata marjin keuntungan terbesar dimiliki oleh pengolah dengan jumlah
sebesar
Rp
46.488.10/m3,
kemudian
diikuti
oleh
IPK
sebesar
Rp
36.916.67/m3. Selanjutnya tengkulak sebesar Rp 35.375.00/m3 , dan yang
terakhir adalah petani sebesar Rp 28.132.19/m3.
3. Sistem tataniaga kayu gergajian jenis Sengon di wilayah Kecamatan Cililin
Kabupaten Bandung belum efisien karena tidak adanya pembagian yang
keuntungan yang merata antara pelaku tataniaga yang terlibat.
4. Usaha budidaya Sengon di wilayah Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung
layak untuk dilakukan karena berdasarkan nilai B/C ratio le bih dari 1 (satu),
yaitu sebesar 3,34, dengan nilai NPV positif sebesar 2.242.738 dan nilai IRR
sebesar 39.85 persen lebih besar dari r yang diinginkan.
71
7.2. Saran
1. Perlu adanya pelatihan budidaya tanaman Sengon (Paraserianthes falcataria)
secara terpadu bagi petani yang ada di wilayah Kecamatan Cililin, sehingga
diharapkan usahatani tersebut dapat memiliki produktivitas hasil yang tinggi
dan pada akhirnya dapat meningkatkan keuntungan bagi petani.
2. Untuk meningkatkan efisiensi sistem tataniaga kayu Sengon di wilayah
Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung, perlu dibentuk kelompok tani sebagai
wadah bagi petani untuk mengetahui informasi pasar, mendapatkan bantuan
modal dan teknologi budidaya yang digunakan.
72
DAFTAR PUSTAKA
Arief,A. 1994. Hutan. Hakikat dan Pengaruhnya Terhadap Lingkungan. Yayasan
Obor Indonesia. Jakarta.
Azzaino, Z. 1983. Pengantar Tataniaga Pertanian. Departemen Ilmu-ilmu Sosial
Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Budi, S.H. 1992. Budidaya Sengon. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Djojosoebroto, J. 2000. Hutan Tanaman Industri (HTI) Merupakan Model
Pengelolaan Hutan Produksi di Masa Depan. Makalah Kuliah Umum.
Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Djakman, D. C. 1999. Dasar-dasar Manajemen Keuangan. Salabenda empat.
Jakarta.
Firman, N. 1998. Analisis Efisiensi Tataniaga Mangga Cengkir, Arumanis dan
Gedong. Kasus di Desa Kebulen, Kecamatan Jatibarang, Kabupaten
Indramayu, Jawa Barat. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian.
Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Gunawa n, J. 2000. Pemanfaatan Limbah Industri Penggergajian Untuk Balok
Laminasi. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas
Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Harvina, N. 1999. Peningkatan Nilai Tambah Tegakan Sengon (Paraserianthes
falcataria) Melalui Penggunaannya Sebagai Bahan Baku Industri
Penggergajian Kayu dan Medium Density Fiberboard (MDF). Jurusan
Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian
Bogor.
Harianto. 2003. Studi Kelayakan Proyek Pertanian (SKPP). Bahan Kuliah
Mahasiswa Ekstensi Manajemen Agribisnis. Institut Pertanian Bogor.
Hammond, J.W. dan Dale C. Dahl. 1977. Market and Price Analysis. The
Agricultural Industries. McGraw- Hill Book Company, Inc.
Hanafiah dan Saefudin. 1983. Tataniaga Hasil Perikanan. Universitas Indonesia
Press. Jakarta.
Kotler, P. 1990. Dasar–dasar Pemasaran. CV. Intermedia. Jakarta.
Kohls, R.L. 1967. Marketing of Agricultural Products. The Macmillan Company.
New York.
73
Maryatun, S. 1999. Analisis Biaya dan Pemasaran (Marketing Marjin), Kayu
Gergajian di DKI Jakarta (Studi Kasus di Kalibaru). Jurusan Ilmu-ilmu
Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
NFTA World Education. 1991. Paraserianthes falcataria : Juara Pertumbuhan di
Asia Tenggara. Lembar Informasi Pohon Pengikat Nitrogen. Konsorsium
Pengembangan Dataran Tinggi Nusa Tenggara. Nitrogen Fixing Tree
Asociational. Arkansas. Studio Driya Media. Jakarta.
Limbong, W.H. 1991. Tataniaga Pertanian. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi
Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Padlinurjaji, I.M. Ruhendi, S. 1983. Penggergajian. Makalah Kuliah. Fakultas
Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Rizkiawan, B. 2003. Kajian Penge mbangan Bisnis Analisis Kelayakan Usaha Unit
Bisnis Breeding Sari Buah Farm. Kabupaten Kuningan, Propinsi Jawa
Barat Institut Pertanian Bogor.
Ruhendi, S. Padlinurjaji, I.M. 1983. Penggergajian Makalah Kuliah. Fakultas
Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Suratman. 2002. Studi Kelayakan Proyek. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi.
Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.
Suhendang. 1993.Menguak Permasalahan Pengelolaan Hutan Alam Tropis di
Indonesia. Forum Pengkajian Pengelolaan Hutan Tropis. Fakultas
Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Soerianegara, I. 1996. Ekologi, Ekologisme, dan Pengelolaan Sumberdaya Hutan.
Himpunan Alumni Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Soekartawi, Soeharjo. A. Dillon, J.L. Handover, J.B. 1986. Ilmu Uasahatani dan
Penelitian Untuk Pengembangan Petani Kecil. Penerbit Universitas
Indonesia. Jakarta.
Wayan, I.R.. et all. 2001. Prisiding Pembangunan Pertanian dan Kehutanan tahun
2001 ke depan. Buku I. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian. Badan
Penelitian dan Pengemba ngan Pertanian. Bogor.
Winandi, R. 2003. Tataniaga Pertanian. Bahan Kuliah Mahasiswa Ekstensi
Manajemen Agribisnis. Institut Pertanian Bogor.
LAMPIRAN
Lampiran 1. BIAYA PRODUKSI KEBUN SENGON KECAMATAN CILILIN (Paraserianthes falcataria) Tahun 2005
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
Nama
Mamad
Ateng
Usep
Ahmad
Mahmud
Atang
Koasasih
H. Kurnia
H. Adang
Asep
Udin
Mamat
H. Amin
Asep Saepulloh
Endin
Ali
Umar
H. Awang
Saepul
Solihin
Eman
Dadang
Ocim
Aep
Sumarna
Luas lahan
Biaya Pengelolaan Tahun 2005 (Rp)
(Ha)
Tenaga Kerja
Pupuk
Bibit
Obat
0,14
0
0
137500
35000
2,5
200000
58000
0
48000
1,71
0
435000
0
30000
1,42
300000
217500
50000
24000
1,5
400000
100000
100000
0
0,21
0
2500
0
0
0,85
105000
30000
0
0
1,42
400000
350000
40000
0
0,28
48000
40000
0
10000
0,71
0
0
50000
0
0,21
250000
25000
50000
25000
2
700000
0
100
50000
0,36
400000
0
50000
20000
0,71
30000
180000
0
0
1
250000
0
20000 100000
0,57
120000
40000
0
0
1
150000
0
100000
0
0,28
200000
15000
0
0
0,14
0
0
150000
5000
0,35
60000
0
100000
0
2,14
3000000
45000
65000
0
0,71
300000
50000
100000
0
0,29
0
30000
0
5000
0,43
400000
0
0
9000
0,05
0
30000
13750
8000
Jumlah
172500
306000
465000
591500
600000
2500
135000
790000
98000
50000
350000
850000
470000
210000
370000
160000
250000
215000
155000
160000
3110000
450000
35000
409000
51750
Volume
(m3)
0
8
1
25
17
1
6
20
2
5
4
14
5
3
14
4
2
4
4
12
20
16
3
5
2
Biaya Produksi
(Rp/m3)
0
38250
465000
23660
35294,12
2500
22500
39500
10000
10000
87500
60714,29
94
70
26428,57
40
125
53750
38750
13333,33
155500
28125
11666,67
81800
25875
Lanjutan
26 H. Encu
27 Aang
28 Adi
29 Iip
30 Marwan
31 H. Ahmad Sueb
32 Otang
33 Mang Karna
34 Yayat
35 Mang Ocim
36 Badru
37 Idis
38 Usep
39 Ato
40 Rahmat
Jumlah
Rata – rata
Persentase
0,5
1,14
0,71
2,14
1,5
3
2
1
0,57
0,71
0,42
0,71
1,28
0,85
0,28
37,79
0,95
2,29
100000
0
108000
35200
500000
794000
450000
0
500000
100000
0
49000
68000
25000
40000
11360200
284005
67,80
30000
0
20000
50000
45000
120000
25000
360000
200000
50000
30000
30000
50000
36000
0
2694000
67350
16,15
0
0
20000
30000
60000
500000
8000
0
0
6700
0
120000
100000
100000
25000
1645950
41148,75
9,82
10000
0
3000
25000
20000
0
0
72000
24000
0
7500
10000
10000
50000
7500
608000
15200
3,83
140000
0
151000
140200
625000
1414000
483000
432000
724000
156700
37500
650000
840000
436000
72500
16758,150
418953,73
100
1
15
6
14
5
6
10
25
6
3
2
20
10
5
2
327
8.18
100
140
0
25166,67
10014,29
125
235666,67
48300
17280
120666,67
52233,33
18750
32500
84000
87200
36250
2631174,6
65779,37
100
Lampiran 2. SALURAN TATANIAGA I KAYU SENGON KECAMATAN CILILIN TAHUN 2005
PETANI
A. Bi. Produksi
b. Keuntungan Petani
c. Harga Jual
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Nama Tengkulak
UDIN
AMRU
ATAN
H. ACENG
ONIH
TISNA
UNTUNG
ISMET SOPIAN
RUKAYAT
TOTAL
RATA - RATA
PELAKU
FS (%)
RK (%)
KET :
Rp/M3
65,779.37
19,220.63
85,000.00
Harga Beli
Rp/m3
100,000.00
80,000.00
100,000.00
75,000.00
100,000.00
75,000.00
80,000.00
80,000.00
75,000.00
765,000.00
85,000.00
PETANI
63.40
29,22
FS = FARMER SHARE
RK = RASIO KEUNTUNGAN
TENGKULAK
137,84
Harga Jual
Rp/m3
165,000.00
140,000.00
140,000.00
120,000.00
150,000.00
125,000.00
120,000.00
125,000.00
120,000.00
1,205,000.00
133,889.00
Marjin TN
65,000.00
60,000.00
40,000.00
45,000.00
50,000.00
50,000.00
40,000.00
45,000.00
45,000.00
440,000.00
48,889.00
Biaya TN
23,000.00
30,000.00
10,000.00
15,000.00
15,000.00
20,000.00
19,500.00
30,000.00
22,500.00
185,000.00
20,556.00
Keuntungan
42,000.00
30,000.00
30,000.00
30,000.00
35,000.00
30,000.00
20,500.00
15,000.00
22,500.00
255,000.00
28,334.00
Lampiran 3. SALURAN TATANIA GA II KAYU SENGON KECAMATAN CICLILIN TAHUN 2005
PETANI
A. Bi. Produksi
b. Keuntungan Petani
c. Harga Jual
No
1
2
3
4
Rp/M3
65,779.37
19,220.63
85,000.00
Harga Beli
Rp/m3
Nama Tengkulak
H. Ace
H. Umar
Supendi
Engkos
80,000.00
85,000.00
75,000.00
100,000.00
340,000.00
85,000.00
TOTAL
RATA - RATA
No
1
2
3
Harga Beli
Rp/m3
Industri
Ade
Asep Pratama
Ahmad Hoer
TOTAL
RATA - RATA
PELAKU
FS (%)
RK (%)
FS = FARMER SHARE
RK = RASIO KEUNTUNGAN
PETANI
64.16
29.22
Harga Jual
Rp/m3
120,000.00
140,000.00
110,000.00
160,000.00
530,000.00
132,500.00
Harga Jual
Rp/m3
150,000.00
200,000.00
250,000.00
600,000.00
200,000.00
TENGKULAK
200,000.00
240,000.00
280,000.00
720,000.00
240,000.00
INDUSTRI
173.97
166.66
Marjin TN
40,000.00
65,000.00
35,000.00
60,000.00
200,000.00
50,000.00
Marjin TN
50,000.00
40,000.00
30,000.00
120,000.00
40,000.00
Biaya TN
18,000.00
20,000.00
15,000.00
20,000.00
73,000.00
18,250.00
Biaya TN
15,000.00
18,000.00
12,000.00
45,000.00
15,000.00
Keuntungan
22,000.00
45,000.00
20,000.00
40,000.00
127,000.00
31,750.00
Keuntungan
35,000.00
22,000.00
18,000.00
75,000.00
25,000.00
Lampiran 4. BIAYA TN SALURAN I
Biaya (Rp/m3)
Produksi
1. Tenaga Kerja
2. Bongkar Muat
3. Chainsaw
4. Transportasi
Jumlah
Total Biaya
Petani
65,779.37
1
15,000.00
0.00
5,000.00
3,000.00
23,000.00
%
70.51
Tengkulak
2
3
10,000.00
10,000.00
0.00
0.00
0.00
5,000.00
5,000.00
7,500.00
15,000.00
22,500.00
93,279.37
Rata - rata
11,500.00
5,000.00
5,000.00
6,000.00
27,500.00
%
12.33
5.36
5.36
6.43
100.00
BIAYA TN SALURAN II
Biaya (Rp/m3)
Produksi
Tenaga Kerja
Bongkar Muat
Chainsaw
Transportasi
Jumlah
Produksi
Pemanenan
Transportasi
Penyusutan
Asah gergaji
Bahan bakar
Jumlah
Total Biaya Keseluruhan
Petani
65,779.37
%
65.00
Tengkulak
1
2
8,000.00
5,000.00
0.00
0.00
5,000.00
5,000.00
5,000.00
10,000.00
18,000.00
20,000.00
Industri
7,500.00
0.00
2,500.00
2,000.00
0.00
3,000.00
15,000.00
3
5,000.00
0.00
5,000.00
10,000.00
20,000.00
5,000.00
2,000.00
0.00
0.00
8,000.00
3,000.00
0.00
0.00
3,000.00
2,000.00
2,000.00
5,000.00
18,000.00
12,000.00
101,195.37
4
10,000.00
0.00
5,000.00
5,000.00
20,000.00
Rata - rata
4,833.33
0.00
4,500.00
666.67
1,666.67
3,333.33
15,000.00
Rata - rata
7,000.00
0.00
5,000.00
6,250.00
18,250.00
%
4.77
0.00
4.44
1.97
2.47
3.29
100.00
%
6.91
0.00
4.94
6.17
Lampiran 5. SALURAN TATANIAGA III KAYU SENGON KECAMATAN CICLILIN TAHUN 2005
PETANI
A. Bi. Produksi
b. Keuntungan Petani
c. Harga Jual
No
Rp/M3
65,779.37
14,934.91
80,714.28
Beli dari
Petani
(Rp/m3)
Pengolah
Harga jual
Log
Olahan
(Rp/m3)
(Rp/m3)
100,000.00
125,000.00
1
Komar
75,000.00
2
Dadang
70,000.00
0.00
3
Usep
90,000.00
4
Parman
100,000.00
5
Mamat
6
Dayat
7
Sukarna
Log
Biaya TN
(Rp/m3)
Jasa
Sewa
Bandsaw
Keuntungan
Log
Jasa
50,000.00
12,000.00
20,000.00
13,000.00
18,000.00
31,000.00
120,000.00
0.00
50,000.00
15,000.00
20,000.00
0.00
15,000.00
15,000.00
120,000.00
160,000.00
30,000.00
70,000.00
20,000.00
30,000.00
10,000.00
20,000.00
30,000.00
0.00
150,000.00
0.00
50,000.00
20,000.00
25,000.00
0.00
5,000.00
5,000.00
85,000.00
0.00
125,000.00
0.00
40,000.00
15,000.00
20,000.00
0.00
5,000.00
5,000.00
75,000.00
100,000.00
125,000.00
25,000.00
50,000.00
18,000.00
20,000.00
7,000.00
12,000.00
19,000.00
70,000.00
0.00
120,000.00
50,000.00
50,000.00
20,000.00
20,000.00
30,000.00
10,000.00
40,000.00
565,000.00
320,000.00
925,000.00
130,000.00
360,000.00
120,000.00
155,000.00
60,000.00
85,000.00
145,000.00
80,714.29
106,667
132,143
32,500.00
51,428.57
17,142.86
22,142.86
15,000.00
12,142.86
20,714.29
PETANI
67,60
22.70
TENGKULAK
Rata - rata
52.72
Biaya TN SALURAN III
Biaya (Rp/m3)
Produksi
Petani
65,779.37
1
%
59.77
2
3
Pengolah
4
5
6
7
Rata - rata
%
Tenaga Kerja
Bongkar Muat
Sewa Chainsaw
6,000.00
0.00
0.00
10,000.00
0.00
0.00
10,000.00
0.00
0.00
8,000.00
5,000.00
0.00
10,000.00
0.00
0.00
10,000.00
0.00
0.00
7,000.00
5,000.00
0.00
8,714.29
5,000.00
0.00
7.91
4.54
0.00
Transportasi
6,000.00
5,000.00
10,000.00
7,000.00
15,000.00
8,000.00
8,000.00
8,428.57
7.66
20,000.00
20,000.00
30,000.00
25,000.00
20,000.00
20,000.00
20,000.00
22,142.86
20.12
32,000.00
35,000.00
50,000.00
45,000.00
45,000.00
38,000.00
40,000.00
44,285.71
Sewa Bandsaw
Jumlah
Total Biaya
Total
25,000.00
Total
PELAKU
FS (%)
RK (%)
Marjin TN
110,065.40
100.00
Lampiran 6. SALURAN TATANIAGA IV KAYU SENGON KECAMATAN CICLILIN TAHUN 2005
PETANI
A. Bi. Produksi
b. Keuntungan Petani
c. Harga Jual
Rp/M3
65,779.37
37,553.96
103.333.33
No
Beli dari
Petani
100,000.00
100,000.00
110,000.00
310,000.00
103,333.33
PETANI
55,86
57.09
1
2
3
Pengolah
H. Tatang
Mang Ibro
Otong
Total
Rata - rata
PELAKU
FS (%)
RK (%)
Harga Jual
Log
Olahan
125,000.00
230,000.00
125,000.00
250,000.00
150,000.00
230,000.00
400,000.00
710,000.00
133,333.33
236,666.67
TENGKULAK
Marjin
Log
Olahan
25,000.00
130,000.00
25,000.00
150,000.00
40,000.00
120,000.00
90,000.00
400,000.00
30,000.00
133,333.33
87.77
BIAYA TN SALURAN IV
Biaya (Rp/m3)
Produksi
Petani
65,779.37
1
Tenaga Kerja
Bongkar Muat
Sewa Chainsaw
Transportasi
Sewa Bandsaw
Jumlah
Total Biaya
%
75.80
Pengolah
2
5,000.00
0.00
0.00
5,000.00
5,000.00
15,000.00
3
5,000.00
5,000.00
0.00
2,000.00
0.00
0.00
5,000.00
8,000.00
0.00
5,000.00
10,000.00
20,000.00
86,779.37
Rata - rata
5,000.00
2,000.00
0.00
9,000.00
5,000.00
21,000.00
%
5.76
2.30
0.00
10.38
5.76
100.00
Biaya TN
15,000.00
10,000.00
20,000.00
45,000.00
15,000.00
Keuntungan
Log
Jasa
10,000.00
115,000.00
15,000.00
135,000.00
20,000.00
100,000.00
45,000.00
350,000.00
15,000.00
116,666.67
Total
125,000.00
150,000.00
120,000.00
395,000.00
131,666.67
Lampiran 7. SALURAN TATANIAGA V KAYU SENGON KECAMATAN CICLILIN TAHUN 2005
PETANI
A. Bi. Produksi
b. Keuntungan Petani
c. Harga Jual
No
1
2
3
4
Industri
Utay
Maman
Asep
Darma
Total
Rata - rata
PELAKU
FS (%)
RK (%)
Rp/M3
65,779.37
51,720.63
117,500.00
Beli dari
Petani
100,000.00
120,000.00
110,000.00
140,000.00
470,000.00
117,500.00
PETANI
56.29
78.63
Harga Jual
Olahan
180,000.00
180,000.00
225,000.00
250,000.00
835,000.00
208,750.00
TENGKULAK
Marjin TN
80,000.00
60,000.00
115,000.00
110,000.00
365,000.00
91,250.00
Biaya TN
35,000.00
20,000.00
40,000.00
27,000.00
122,000.00
30,500.00
Keuntungan
45,000.00
40,000.00
75,000.00
83,000.00
243,000.00
60,750.00
199.18
Biaya TN Saluran V
Biaya
Produksi
Kegiatan
Produksi
Pemanenan
Bongkar muat
Sewa Chainsaw
Transportasi
Penyusutan
Asah gergaji
Bahan bakar
Jumlah
Total Biaya
Petani
65,779.37
1
7,500.00
4,000.00
0.00
0.00
18,000.00
1,000.00
0.00
4,500.00
35,000.00
%
46.31
Industri
2
3
9,000.00
10,000.00
0.00
5,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
5,000.00
10,000.00
1,000.00
1,000.00
0.00
9,000.00
5,000.00
5,000.00
20,000.00
40,000.00
142,029.37
4
7,000.00
0.00
2,000.00
0.00
10,000.00
1,000.00
0.00
7,000.00
27,000.00
Rata - rata
8,375.00
4,500.00
2,000.00
0.00
43,000.00
4,000.00
9,000.00
5,375.00
76,250.00
%
5.90
3.17
1.40
0.00
30.28
3.00
6.33
3.79
100.00
Lampiran 8. SALURAN TATANIAGA VI KAYU SENGON KECAMATAN CICLILIN TAHUN 2005
PETANI
A. Bi. Produksi
b. Keuntungan Petani
c. Harga Jual
No
1
2
No
1
2
Tengkulak
Ali
Mamad
Total
Rata - rata
Industri
Rp/M3
65,779.37
21,720.63
87,500.00
Beli dari
Petani
100,000.00
75,000.00
175,000.00
87,500.00
Harga Jual
Log
150,000.00
140,000.00
290,000.00
145,000.00
Beli dari
Petani
Harga Jual
Log
Asep Pratama
H. Otong
Total
Rata - rata
140,000.00
150,000.00
290,000.00
145,000.00
PELAKU
FS (%)
RK (%)
PETANI
60.35
33.02
190,000.00
210,000.00
400,000.00
200,000.00
TENGKULAK
105.36
Marjin TN
50,000.00
65,000.00
115,000.00
57,500.00
Marjin TN
50,000.00
60,000.00
110,000.00
55,000.00
Industri
83.33
Biaya TN
25,000.00
31,000.00
56,000.00
28,000.00
Biaya TN
28,000.00
32,000.00
60,000.00
30,000.00
Keuntungan
25,000.00
34,000.00
59,000.00
29,500.00
Keuntungan
22,000.00
28,000.00
50,000.00
25,000.00
Lampiran 9. Biaya Tataniaga S aluran VI
Biaya (Rp/m3)
Produksi
Tenaga Kerja
Bongkar muat
Chainsaw
Transportasi
Jumlah
Produksi
Pemanenan
Transportasi
Penyusutan
Asah Gergaji
Bahan bakar
Jumlah
Toatal Biaya
Petani
%
65,779.37
53.14
Tengkulak
1
2
15,000.00
20,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
10,000.00
11,000.00
25,000.00
31,000.00
Industri
1
2
5,000.00
10,000.00
0.00
0.00
5,000.00
5,000.00
5,000.00
2,000.00
5,000.00
5,000.00
8,000.00
10,000.00
28,000.00
32,000.00
123,779.37
Rata - rata
17,500.00
0.00
0.00
10,500.00
28,000.00
Rata - rata
7,500.00
0.00
5,000.00
3,500.00
5,000.00
9,000.00
30,000.00
%
14.14
0.00
0.00
8.48
%
6.06
0.00
4.03
2.82
4.03
7.27
100.00
Lampiran 10. SALURAN TATANIAGA VII KAYU SENGON KECAMATAN CICLILIN TAHUN 2005
PETANI
A. Bi. Produksi
b. Keuntungan Petani
c. Harga Jual
No
1
2
3
4
5
6
Industri
Rp/M3
65,779.37
32,554.00
98,333.33
Beli dari
Petani
Harga Jual
Log
Rukayat
Ali
Udin
Ismet Sopian
Onih
Atan
Total
Rata - rata
100,000.00
100,000.00
90,000.00
120,000.00
95,000.00
85,000.00
590,000.00
98,333.33
180,000.00
160,000.00
175,000.00
200,000.00
150,000.00
150,000.00
1,015,000.00
169,166.67
Marjin TN
80,000.00
60,000.00
85,000.00
80,000.00
55,000.00
65,000.00
425,000.00
70,833.33
Biaya TN
27,500.00
21,000.00
9,000.00
15,000.00
20,000.00
21,000.00
113,500.00
18,916.67
Keuntungan
52,500.00
39,000.00
76,000.00
65,000.00
35,000.00
44,000.00
311,500.00
51,916.67
PELAKU
FS (%)
RK (%)
PETANI
58.13
49.48
Biaya TN Saluran VII
Biaya (Rp/m3)
Produksi
Petani
65,779.37
%
72.44
Tengkulak
Tenaga Kerja
Bongkar muat
Chainsaw
Transportasi
Jumlah
Total Biaya
1
8,000.00
4,000.00
5,000.00
10,500.00
27,500.00
2
6,000.00
3,500.00
4,000.00
7,500.00
21,000.00
3
6,000.00
0.00
3,000.00
0.00
9,000.00
4
10,000.00
0.00
0.00
5,000.00
15,000.00
90,796.04
5
10,000.00
0.00
5,000.00
5,000.00
20,000.00
6
10,000.00
0.00
6,000.00
5,000.00
21,000.00
Rata - rata
9,166.67
3,750.00
4,600.00
7,500.00
25,016.67
%
7.36
3.01
3.69
6.02
100.00
TENGKULAK
274.45
85
Lampiran 11. SISTEM PEMBAYARAN TENGKULAK DAN PENGOLAH
No
A
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
B
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
Pelaku TN
Pengolah
Komar
Dadang
Usep
Parman
Mamat
Dayat
Sukarna
H. Tatang
M ang Ibro
Otong
Tengkulak
Udin
Ali
Amru
Atan
H. Aceng
Onih
Tisna
Untung
Ismet Sopian
Rukayat
H. Ace
H. Umar
Supendi
Engkos
M amad
Asep.P
H. Otong
Total
Persen (%)
Sistem Pembayaran
Kontan
Tempo
Keduanya
17
62,96
3
11,11
7
25,93
JUMLAH PENDUDUK MENURUT MATA PENCAHARIAN
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Jenis Pekerjaan
Petani
Buruh tani
Pengusaha sedang/besar
Pengrajin kecil
Buruh industri
Buruh bangunan
Buruh pertambangan
Buruh perkebunan
Pedagang
Pengangkutan
Pegawai negeri sipil
ABRI
Pensiunan ABRI/PNS
Peternak
Jumlah (orang)
8838
3443
20
807
1615
550
6
12
2007
539
951
93
483
119
Lampiran 12. Analisis Biaya Kegiatan Budidaya Sengon (Paraserianthes falcataria ) di Kecamatan Cililin Tahun 2005
No
I
1
2
3
4
a
b
c
d
e
f
g
h
i
Kegiatan
Biaya
Bibit
Pupuk
Obat
Tenaga Kerja
Pembuatan Lubang
Penanaman
Penyiraman
Penyulaman
Penyiangan
Penjarangan
Pemupukan
Pengendalian
Panen
Total Biaya
Penerimaan Panen
Pendapatan Bersih
Tahun (Rp)
1
2
Rp 506,500
Rp 150,000
Rp 34,500
Rp 150,000
Rp 34,500
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
57,000
31,500
37,500
15,000
15,000
Rp
15,000
Rp 18,000
Rp 15,000
Rp
Rp
18,000
15,000
3
Total (Rp)
4
5
Rp 34,500
Rp 34,500
Rp 34,500
Rp 15,000
Rp 22,500
Rp 15,000
Rp 15,000
Rp 15,000
Rp 15,000
Rp 15,000
Rp 200,000
Rp 506,500
Rp 300,000
Rp 172,500
Rp
Rp
57,000
Rp
31,500
Rp
37,500
Rp
15,000
Rp
75,000
Rp
22,500
Rp
36,000
Rp
75,000
Rp 200,000
Rp 1,528,500
Rp15,218,200
Rp13,690,000
Lampiran 13. Total Biaya Tataniaga Kayu Sengon di Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung Tahun 2005
Biaya Tataniaga
Tengkulak
1. Tenaga Kerja
2. Bongkar Muat
3. Chainsaw
4. T ransportasi
Pengolah
1. Tenaga Kerja
2. Bongkar Muat
3. Sewa Chainsaw
4. Transportasi
5. Sewa Bandsaw
Industri
1. Produksi
2. Pem anenan
3. Transportasi
4. Penyusutan
5. Asah gergaji
6. Bahan bakar
7. Bongkar muat
8. Sewa Chainsaw
Total
Saluran I
(Rp/m3)
%
11.500.00
5.000.00
5.000.00
6.000.00
42
18
18
22
Saluran II
(Rp/m3)
%
2.878.08
1.251.34
1.251.34
1.501.61
-
-
-
27.500.00
100
4.833.33
0.00
4.500.00
666.67
1.666.67
3.333.33
0.00
0.00
21.882.37
13
6
6
7
Saluran III
(Rp/m3) %
Saluran IV
(Rp/m3) %
Saluran V
(Rp/m3) %
Saluran VI
(Rp/m3) %
Saluran VII
(Rp/m3) %
-
-
-
-
-
-
17.500.00
0.00
0.00
10.500.00
30
0
0
18
9.166.67
3.750.00
4.600.00
7.500.00
37
15
18
30
-
8.714.29
5.000.00
0.00
8.000.00
20.000.00
0.21
0.12
0.00
0.19
0.48
5.000.00
2.000.00
0.00
9.000.00
5.000.00
24
10
0
43
24
-
-
-
-
-
22
0
21
3
8
15
0
0
100
41.714.29
100
21.000.00
100
8.375.00
4.500.00
43.000.00
4.000.00
9.000.00
5.375.00
2.000.00
0.00
76.250.00
11
6
56
5
12
7
3
0
100
7.500.00
0.00
5.000.00
3.500.00
5.000.00
9.000.00
0.00
0.00
58.000.00
13
0
9
6
9
16
100
25.016.67
100
Gambar 3. Berbagai Jenis Kayu Olahan Yang Siap Diperdagangkan
Download