BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Penelitian analisis resepsi mencoba untuk mengkaji pemaknaan khalayak yang berbeda terhadap suatu teks media. Pemaknaan ini dapat berbeda-beda karena khalayak diasumsikan tidak mudah terpengaruh ideologi dari media. Konsep utama dalam penelitian analisis resepsi adalah konsep encoding dan decoding dari Stuart Hall, dimana resepsi berfokus pada proses decoding khalayak terhadap media massa. Di dalam proses decoding, khalayak diposisikan memiliki kekuatan untuk menciptakan makna berdasarkan konteks-konteks sosial, pengalaman hidup, maupun faktor lain yang melingkupinya, seperti faktor pendidikan, faktor ideologi, maupun praktek bermedia. Suatu teks media, baik televisi, surat kabar, maupun film, pada dasarnya memiliki makna yang disisipkan ke dalam teks atau yang disebut dengan preferred reading. Pada film khususnya, makna diciptakan oleh pembuat film sebagai pesan yang ingin disampaikan kepada khalayak. Nantinya, secara aktif, khalayak menginterpretasi makna sesuai dengan konstruksi sosialnya. Dengan kata lain, khalayak memiliki kuasa penuh untuk menerima maupun menolak ideologi dan makna yang ada di dalam film. Penelitian ini berfokus pada analisis decoding khalayak terhadap film PK. Film PK ini merupakan film yang memberikan pesan toleransi beragama melalui penggambaran toleransi yang sesuai dengan nilai-nilai toleransi beragama. Adapun khalayak yang menjadi sasaran penelitian adalah mahasiswa pesantren yang secara khusus mempelajari agama Islam dan berada di dalam satu lingkungan, yaitu Pesantren Rausyan Fikr. Penelitian ini melibatkan lima orang informan dengan latar belakang yang beragam. Pemaknaan informan terhadap film PK pun digali hubungannya dengan latar belakang informan dan diposisikan sesuai dengan posisi pembacaan dari Stuart Hall. 117 Pada awalnya, peneliti memprediksi para informan tidak dapat menangkap nilai-nilai toleran yang ada di dalam film karena latar belakang informan yang mendapatkan pendidikan informal (pesantren) hanya satu agama saja, serta pengalaman diskriminasi yang pernah mereka alami. Pada kenyataannya, menurut hasil penelitian, para informan dapat menangkap nilai toleransi dalam film karena apa yang diajarkan di dalam pendidikan pesantren, yaitu ilmu epistemologi Islam. Ilmu ini ternyata mengajarkan Islam secara terbuka atau inklusif. Selain itu, peristiwa diskriminasi pun ternyata tidak menghalangi informan untuk bersikap toleran. Pertama-tama, dapat dilihat bahwa secara umum, pendidikan di dalam pesantren menjadi faktor yang sangat berpengaruh terhadap pemaknaan kelima informan. Asas keterbukaan yang didapatkan informan melalui pengajaran epistemologi Islam membuat para informan memiliki perspektif yang luas perihal keberagaman agama yang ditampilkan di dalam film PK. Tak hanya itu, faktor diskriminasi sosial yang dialami oleh para informan pun turut mengkonstruksi makna toleransi beragama yang ada di dalam film PK. Alih-alih membuat informan semakin tertutup, faktor ini justru menguatkan persepsi informan terhadap toleransi beragama. Selanjutnya, peneliti mengidentifikasi posisi pembacaan lima informan berdasarkan teori dari Stuart Hall, yaitu dominant reading dan negotiated reading. Tidak ditemukan posisi oppositional pada penelitian ini karena faktorfaktor yang memengaruhi dan mengkonstruksi pemaknaan informan, tidak berlawanan dengan nilai-nilai yang ada di dalam film PK. Informan yang berada pada posisi dominant reading berarti sepenuhnya menyetujui hakikat toleransi beragama yang ada di dalam film PK. Hakikat tersebut meliputi empat poin toleransi beragama antara lain menerima perbedaan untuk hidup damai, tidak ada penyeragaman, menerima hak orang lain, dan mengekspresikan keterbukaan terhadap agama lain. Terdapat empat informan 118 yang berada pada posisi ini, antara lain Fadlun, Ulinha, Windari, dan Syamsuddin. Pada informan Fadlun dan Windari, posisi dominant reading pada keduanya disebabkan oleh faktor kelompok sosial. Tergabung dalam organisasi struktural yang sama membuat kedua informan memiliki pandangan yang cukup serupa terhadap nilai-nilai toleransi beragama yang ada di dalam film PK. Misalnya, pada poin kedua, yaitu tidak adanya penyeragaman, keduanya sepakat Peekay mengajarkan bahwa setiap agama memiliki jalannya masing-masing, sehingga tidak perlu memaksa pihak lain untuk mengikuti keyakinan tertentu. Faktor kelompok sosial yang rutin berdiskusi menjadi penyebab kedua informan tersebut memiliki pandangan bahwa pendapat dan sudut pandang memang bukan untuk disamakan, namun untuk dihargai dan didengar. Pada posisi dominant reading ini terdapat pula informan Syamsuddin dan Ulinha. Namun, yang membedakan keduanya dari dua informan sebelumnya adalah terpenuhinya aspek dukungan yang antusias terhadap perbedaan. Aspek ini merupakan keberlanjutan teori yang dikemukakan oleh Walzer, yaitu suatu dorongan yang lebih jauh setelah seseorang memenuhi keempat aspek toleransi beragama. Di dalam memaknai toleransi beragama dalam film PK. Syamsuddin dan Ulinha pun memenuhi poin kelima ini, dimana keduanya memberikan pandangan antusias yang berkaitan dengan latar belakang masing-masing informan. Ulinha dan Syamsuddin sama-sama menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk mencari kebenaran agamanya, termasuk dengan cara mempelajari agama lain seperti yang digambarkan dalam film PK. Keduanya bahkan menyebutkan memiliki keinginan untuk mempelajari konsep agama lain. Hal inilah yang tidak ditemukan di kedua informan sebelumnya. Tak hanya sejalan dengan teks media, kedua informan ini sanggup menunjukkan sikap toleran yang lebih jauh dibandingkan dengan informan lainnya. 119 Pada informan Ulinha, faktor pendidikan formal menjadi penyebab utama pemaknaan yang sangat toleran pada teks media. Pasalnya, ia berkuliah di jurusan Sosiologi Agama yang notabene nya mempelajari berbagai agama, perananannya, serta hubungan agama dengan masyarakat, sehingga keinginan untuk mempelajari agama lain itu muncul. Informan Syamsuddin mendapat pengaruh dari kelompok sosial yang ia geluti, yaitu Jaringan Gusdurian. Meskipun sama-sama mendapat pengaruh dari kelompok sosial sebagaimaan Fadlun dan Windari, Jaringan Gusdurian ini secara aktif mempertemukan anggotanya, termasuk Syamsuddin, dalam diskusi lintas agama. Anggota jaringan ini tidak hanya terbatas pada Islam saja, namun juga Buddha, Kristen, dan Konghucu. Pemaknaan Syamsuddin yang sangat toleran pun disinyalir terekonstruksi dari pengalaman-pengalamannya di dalam kelompok sosial ini. Posisi Negotiated Reading berarti informan menerima sebagian makna dan menolak sebagian lainnya. Bahkan, tak jarang informan menawarkan pemikiran baru yang sesuai dengan konteks latar belakang budayanya. Dari kelima informan, Zainul adalah satu-satunya informan yang berada pada posisi ini. Hal ini dapat dilihat melalui penolakannya terhadap poin ketiga dalam hakikat toleransi beragama, yaitu poin menerima hak orang lain. Pada poin ini, Zainul menyebutkan ketidaksetujuannya terhadap pernikahan beda agama dan menolak untuk mengakui ajaran ritual agama lain. Pernikahan beda agama yang digambarkan dalam film Peekay disebutnya sebagai suatu isu yang ‘tidak nyambung’. Sementara itu, ritual agama lain disebut Zainul sebagai ajaran yang tidak rasional karena beberapa dari ajaran tersebut tampak menyakiti diri sendiri dan tidak bermanfaat. Faktor ideologi sufisme dari Zainul menjadi faktor yang dianalisa peneliti telah merekonstruksi pemaknaan Zainul terhadap film PK. Ideologi ini menganggap bahwa untuk mencapai Tuhan, seseorang harus menutup diri dari segala hubungan antar manusia yang tidak bermanfaat. Oleh karena itu, Zainul tidak memandang pernikahan beda agama sebagai sesuatu yang wajar dan 120 bermanfaat, bahkan bagi pelakunya. Tak hanya itu, sufi pun percaya bahwa puncak dari hubungan manusia dengan Tuhan adalah cinta, sehingga di mata Zainul, tidaklah mungkin ajaran agama yang benar menyuruh umatnya untuk menderita dan menyakiti dirinya sendiri. Perbedaan makna tersebut menunjukkan bahwa khalayak secara aktif memaknai teks media berdasarkan faktor-faktor sosial dan pengalaman hidupnya. Pada informan Fadlun, Windari, Ulinha, dan Syamsuddin, faktor sosial dan pengalaman hidup tersebut justru mendukung pemaknaan mereka sehingga menjadi sejalan dengan ideologi yang ditawarkan teks media. Oleh sebab itu, apabila dilihat dari sisi konsep encoding dan decoding, keempat informan ini sepenuhnya menerima toleransi beragama yang ada di dalam film PK. Hanya saja, pada informan Zainul, terdapat faktor ideologi yang ‘menghalanginya’ untuk bersikap sepenuhnya menyetujui toleransi agama yang ada di dalam film PK. Faktor ini memengaruhi informan dengan cukup kuat sehingga ia menolak poin menerima hak-hak orang lain sebagaimana kemudian makna diproduksi sesuai dengan ideologi yang dianutnya. Tak hanya itu, ditemukan pula pemaknaan unik yang berbeda-beda dari setiap informan. Dengan kata lain, setiap informan memiliki keunikan pemaknaan sesuai dengan kehendaknya. Penelitian ini pun menunjukkan bahwa setiap informan memiliki keunikan pemaknaan yang tidak dimiliki oleh informan lainnya. Pada informan Zainul, keunikannya terletak pada pemaknaannya perihal ketidaksetujuannya terhadap beberapa ritual dan cara beribadah yang digambarkan dalam film PK. Secara spesifik, Zainul menyebutkan perihal adegan agama Sikh yang menyiram susu kepada batu, berguling di depan kuil, dan adegan Asuro yang mencambuk dirinya sendiri. Ia menyebutkan bahwa ritual-ritual tersebut tidak rasional dan tidak mungkin merupakan ajaran dari Tuhan. 121 Sementara itu, informan Fadlun memiliki keunikan pemaknaan pada pemaknaannya yang menganggap sosok Peekay sebagai sosok yang sangat toleran. Menurutnya, Peekay ini sangat toleran karena mau membantu orang mengungkap kebenaran tanpa memaksa siapapun untuk mengikuti dirinya. Keunikan pada informan Ulinha adalah ketika ia menggunakan referensi toleransi yang diajarkan dalam Islam. Ia menyebutkan istilah “Bagiku agamaku, dan bagimu agamamu.” Istilah toleransi ini dijadikan dasar oleh Ulinha untuk bertoleransi terhadap cara ibadah dan keyakinan orang lain. Tidak ada informan yang menggunakan referensi ayat dalam bertoleransi selain Ulinha. Pada Windari, keunikannya terletak pada pandangannya yang menyebutkan bahwa Peekay sangat terbuka karena dia tidak fanatik dan tidak percaya begitu saja oleh orang-orang di sekelilingnya. Ia berusaha untuk melakukan pencarian dengan caranya sendiri. Menurut Windari, hal itulah yang memang harus dilakukan oleh orang-orang. Selagi seseorang belum bisa membuktikan bahwa apa yang dianutnya memang benar, tidak seharusnya seseorang bersikap fanatik terlebih dahulu. Informan Syamsuddin memiliki pandangan yang unik soal Peekay dan cara-cara yang dilakukannya untuk mencapai Tuhan. Menurutnya, Peekay hadir di dunia seperti kertas kosong, sebagaimana diungkapkan oleh John Locke. Hal ini tentunya berbeda dengan orang-orang yang sudah didoktrin agama sejak kecil dan bersaksi meyakini agama yang diturunkan pada dirinya. Namun, menurut Syamsuddin, jika dirinya harus mencoba cara-cara yang dilakukan oleh Peekay, menurutnya hal itu bukanlah masalah. Pada penelitian ini, dapat disimpulkan secara garis besar, faktor-faktor yang melingkupi audiens mendukung pemaknaan mereka sehingga sejalan dengan teks media. Disaat ada faktor yang berbenturan dengan ideologi tersebut, audiens pun melakukan negosiasi pemaknaan dengan teks. Dengan kata lain, kekuatan terbesar untuk mencipatakan makna ada pada audiens beserta dengan faktor-faktor yang melingkupinya. Faktor-faktor tersebut dapat mendukung 122 audiens untuk sejalan dengan ideologi teks media atau menolak ideologi dominan dalam teks media. B. Keterbatasan Penelitian Peneliti mendapati beberapa keterbatasan dalam penelitian ini. Pertama, penelitian hendaknya dilakukan dalam jangka waktu yang lebih lama agar peneliti dapat lebih mendalami informan. Interaksi antara peneliti dan informan pun dapat terbangun dengan lebih mendetail untuk mendapatkan pandangan yang sedalam-dalamnya dari setiap informan. Keberagaman informan pun dapat dilakukan agar hasil analisis menjadi lebih tajam. Peneliti pun dapat menambah jumlah informan agar faktor sosial budaya kian beragam. Tak hanya itu, objek penelitian atau film dalam penelitian ini pun seharusnya dapat lebih didalami dengan lebih rinci, sehingga preffered reading pada film pun dapat dikaji dengan lebih mendalam. 123