tinjauan pustaka

advertisement
3
TINJAUAN PUSTAKA
Taksonomi Kucing
Kucing kampung (Felis domestica) termasuk dalam ordo karnivora
(pemakan daging). Fowler (1993) mengklasifikasikan kucing kampung (Felis
domestica) sebagai berikut:
kingdom
: Animalia
filum
: Chordata
subfilum
: Vertebrata
kelas
: Mamalia
ordo
: Carnivora
subordo
: Conoidea
famili
: Felidae
subfamili
: Felinae
genus
: Felis
spesies
: Felis domestica
Karakteristik Kucing
Kucing lokal atau kucing kampung (Felis domestica) adalah hasil
persilangan antara Felis silvestris dengan Lybica yang berasal dari keturunan
spesies Fellis silves (Kucing Abissian) (Mason 1984). Terdapat sekitar 40 spesies
kucing liar di dunia, dimana 9 (sembilan) spesies diantaranya dapat ditemukan di
Indonesia. Kucing telah hidup bersama manusia sejak 3500 tahun yang lalu dan
orang mesir kuno memanfaatkannya sebagai pengusir hama tikus dan hama yang
dapat mengancam hasil panen pertaniannya (Mason 1984).
Spesies kucing liar merupakan jenis kucing yang hidup di alam bebas.
Kucing termasuk dalam famili Felidae, termasuk di dalamnya spesies kucing
besar seperti harimau, singa, macan tutul dan jaguar. Kucing kampung (Felis
domestica) merupakan salah satu predator terhebat di dunia dan dapat membunuh
atau memakan beberapa ribu spesies hewan kecil (Moleon dan Gil-Sanchez
2002). Kucing dianggap sebagai karnivora sempurna dengan gigi taring yang
besar dan saluran pencernaan khusus (RED 2003). Gigi premolar dan molar
4
pertama membentuk sepasang taring di setiap sisi mulut yang bekerja efektif
seperti gunting untuk merobek daging. Meskipun ciri ini terdapat pula pada famili
Canidae (anjing), namun demikian ciri ini berkembang lebih baik pada kucing
(Yasuma dan Alikodra 1992).
Kucing memiliki tubuh yang seimbang dan proporsional ditunjang oleh
tulang yang kuat membuat gerakannya semakin lincah dan mampu berlari
kencang (Suwed dan Budiana 2006). Kucing juga mempunyai kemampuan untuk
menyesuaikan posisi tubuh ketika jatuh dari ketinggian, karena kucing memiliki
terminal velocity atau kecepatan jatuh maksimum, yakni 60 mil perjam. Kucing
juga termasuk hewan yang suka merawat diri. Air liur atau saliva kucing yang
dijilatkan ke tubuh dapat membersihkan bagian tubuhnya (RED 2003).
Darah
Darah merupakan jaringan konektif. Jaringan ini berupa cairan yang
mengalir ke seluruh tubuh melalui pembuluh darah pada sistem kardiovaskular
(Colville dan Bassert 2002). Darah membawa berbagai kebutuhan hidup bagi
semua sel tubuh dan menerima produk buangan hasil metabolisme untuk
diekskresikan melalui organ ekskresi (Jain 1993).
Darah terbagi menjadi dua bagian, yaitu cairan dan padatan (sel). Bagian
cairan disebut plasma yang sebagian besar terdiri atas 91-94% air, dan bagian
padatan yang berkisar antara 30-45% dari total kandungan (Lawhead dan Baker
2005). Bagian padatan terbagi dalam tiga jenis, yaitu sel darah merah (eritrosit),
sel darah putih (leukosit) dan platelet (trombosit) (Meyer dan Harvey 2004). Total
volume darah pada kucing berkisar antara 6-8% dari bobot badan (Meyer dan
Harvey 2004).
Menurut Colville dan Bassert (2002), darah memiliki tiga fungsi utama,
yaitu sebagai sistem transportasi, sistem regulasi dan sistem pertahanan tubuh.
Darah sebagai sistem transportasi berperan dalam membawa oksigen, zat nutrisi,
hasil sisa metabolisme, dan hormon. Perannya sebagai sistem regulasi adalah
menjaga homeostasis dan suhu tubuh, sedangkan dalam pertahanan tubuh
berperan dalam melawan benda asing.
5
Proses pembentukan darah secara umum disebut hematopoiesis. Sel
darah ini tidak abadi, suatu ketika akan mengalami kerusakan dan kematian,
sehingga harus digantikan dan diproduksi secara teratur. Hal inilah yang
menjadikan hematopoiesis sebagai suatu proses yang berkelanjutan (Colville dan
bassert 2002). Tabel 1 memperlihatkan nilai darah kucing kampung normal.
Tabel 1 Gambaran normal darah kucing (Jain 1993).
Parameter
Eritrosit (x 106/µl)
Hemoglobin (g/dl)
Hematokrit (%)
MCV (fl)
MCH (pg)
MCHC (g/dl)
Leukosit (x103/µl)
Neutrofil (x103/µl)
Limfosit (x103/µl)
Monosit (/µl)
Eosinofil (/µl)
Basofil (/µl)
Trombosit (x 105/µl)
Kisaran
5.0-10.0
8.0-15.0
24.0-45.0
39.0-55.0
13.5-17.5
30.0-36.0
5.50-19.50
2.50-12.50
1.50-7.00
0-850
0-1,500
Rare
3-8
Rata-rata
7.5
12.0
37.0
45.0
15.5
33.2
12.5
7.50
4.00
350
650
0
4.5
Hematopoiesis
Hematopoiesis atau haemopoiesis merupakan proses pembentukan dan
perkembangan
sel-sel
darah
(Dorland
1998).
Secara
umum
aktivitas
hematopoiesis dapat dideteksi pada minggu ketiga kehidupan prenatal. Saat
postnatal, proses hematopoiesis pada mamalia berlangsung di sumsum tulang.
Sumsum tulang memiliki fungsi sebagai tempat memproduksi eritrosit, granulosit,
monosit, platelet dan limfosit B serta menyimpan stem cell (Jain 1993). Proses
hematopoiesis melibatkan beberapa organ yang memiliki fungsi dalam sirkulasi
darah (Schalm 2010).
Gambar 1 menjelaskan tentang pembentukan sel-sel darah dari sel bakal
pluripotensial (stem cell) menjadi sel-sel yang berdiferensiasi. Sumsum tulang
merah bervaskularisasi di jaringan penghubung antara tuberkula dari spons
jaringan tulang. Sebesar 0,05-0,1% dari sumsum tulang merah merupakan derivat
sel masenkim yang disebut sel bakal pluripoten. Saat kelahiran, sumsum tulang
merah aktif memproduksi sel darah. Ketika mulai tumbuh dewasa, terjadi
6
peningkatan produksi sel darah, sumsum tulang merah menjadi inaktif dan
digantikan sumsum tulang kuning yang sebagian besar merupakan sel lemak.
Eritroblas
Retikulosit
Eritrosit
Eosinofil
Mieloblas
Granulosit
Basofil Sel-mast
Neutrofil
Sel Bakal
Monoblas
Monosit
Makrofag
Pluripotensial
Megakarioblas
Megakaryosit
Trombosit
Prolimpoblas
Sel Bakal
Limfosit B
Limfoid
Limfosit T
Gambar 1 Diferensiasi sel darah di sumsum tulang (Tortora dan Bryan 2006).
Eritropoiesis
Eritropoiesis adalah proses pembentukan eritrosit (Dorland 1998). Saat
eritrosit diproduksi, eritrosit yang belum dewasa (retikulosit) masih mengandung
nukleus (Meyer dan Harvey 2004). Eritropoietin (EPO), suatu hormon
glikoprotein, merupakan faktor utama yang merangsang produksi eritrosit
(Guyton dan Hall 1997). Hormon ini akan dilepaskan ketika sel ginjal mendeteksi
adanya hipoksia pada jaringan dan merangsang sumsum tulang untuk
memproduksi lebih banyak eritrosit (Colville dan Bassert 2002; Dorland 1998).
Eritropoietin diproduksi oleh ginjal dan beberapa diantaranya disintesis
oleh hati (Jain 1993). Menurut Ganong (2001), eritropoietin akan meningkatkan
jumlah stem cell (sel bakal) di sumsum tulang. Stem cell akan menjadi prekursor
eritrosit dan akhirnya menjadi eritrosit. Proses eritropoiesis dikendalikan oleh
kadar oksigen di dalam jaringan (Jain 1993). Pembentukan eritrosit dihambat oleh
meningkatnya jumlah eritrosit di dalam sirkulasi darah yang berada pada kisaran
normal dan dirangsang oleh keadaan anemia dan hipoksia (Bast et al. 2000).
Kadar oksigen yang bekurang dalam jaringan akan menyebabkan eritropoietin
7
menstimulasi untuk terjadinya eritropoiesis. Mekanisme eritropoiesis terus
berlanjut selama keadaan hipoksia di dalam sel belum berkurang. Jika penyebab
hipoksia dihilangkan, kelebihan eritrosit akan membuat sumsum tulang berespons
untuk mengurangi laju eritropoiesis (Frandson 1996). Jumlah seluruh eritrosit
dalam sirkulasi darah tergantung pada kecepatan produksi eritrosit dalam sumsum
tulang (Guyton dan Hall 1997).
Apabila terjadi pendarahan, sintesis hemoglobin meningkat, dan
pembentukan serta pelepasan eritrosit dari sumsum tulang akan meningkat (Bast
et al. 2000) Menurut Ganong (1997), kadar eritropoietin dalam darah sangat
meningkat pada keadaan anemia. Hal ini dapat terjadi karena jumlah eritrosit yang
rendah akan merangsang ginjal untuk mensekresikan eritropoietin sampai
keadaan anemia dapat diatasi.
Proeritroblas
Basofil eritroblas
Polikromatofil eritroblas
Eritrosit
Retikulosit
Ortokromatil eritroblas
Gambar 2 Pembentukan eritrosit (Guyton dan Hall 1997).
Tahapan diferensiasi eritrosit ditunjukkan pada Gambar 2. Sel pertama
yang dibentuk dalam rangkaian pembentukan eritrosit adalah proeritroblas yang
akan membelah menjadi basofil eritroblas. Selanjutnya sel sudah dipenuhi oleh
hemoglobin dengan konsentrasi 34%, menyebabkan nukleus memadat menjadi
kecil, dan pada saat bersamaan retikulum endoplasma direabsorpsi. Sel pada tahap
ini disebut retikulosit dan masih mengandung sedikit bahan basofilik yang secara
normal akan menghilang, dan sel kemudian akan menjadi eritrosit matang
(Guyton dan Hall 1997). Selama proses pematangan eritrosit, setelah
pembentukan hemoglobin dan pelepasan inti sel masih diperlukan waktu selama
beberapa hari lagi untuk melepaskan sisa-sisa RNA. Saat proses pematangan
8
akhir, eritrosit selain mengandung sisa-sisa DNA juga mengandung berbagai
fragmen mitokondria dan organel lainnya (Hoffbrand et al. 2005).
Eritrosit (Sel Darah Merah)
Eritrosit merupakan salah satu unsur yang dibentuk dalam sumsum
tulang (Dorland 1998). Eritrosit memiliki tiga fungsi utama, yaitu sebagai alat
transportasi oksigen (O2) menuju jaringan, transportasi karbon dioksida (CO2)
menuju paru-paru dan sistem buffer ion hidrogen (H+) (Meyer dan Harvey 2004).
Eritrosit memiliki masa hidup yang terbatas dan secara tetap akan digantikan
secara terus-menerus (Lawhead dan baker 2005). Sel ini secara normal
bersirkulasi dalam darah selama beberapa bulan (Meyer dan Harvey 2004). Umur
eritrosit pada hewan domestik berkisar antara 2-5 bulan, tergantung pada spesies
(Meyer dan Harvey 2004). Eritrosit kucing berada dalam sirkulasi selama 70-80
hari (Craigmyle 1994).
Eritrosit pada mamalia berbentuk bikonkaf (cekung), tidak memiliki
nukleus dan organel sehingga tidak memiliki kemampuan untuk mensintesis
protein (Weiss dan Wardrob 2010). Kucing memiliki eritrosit yang berbentuk
cakram bikonkaf tanpa inti (Craigmyle 1994) (Gambar 3). Eritrosit kucing sedikit
berbeda dibandingkan dengan eritrosit anjing (Cowell et al. 2008), dimana
eritrosit anjing memiliki bentuk bikonkaf yang terlihat lebih jelas dibandingkan
dengan eritrosit kucing (Swenson dan Reece 1993).
Eritrosit dibentuk melalui proses pematangan yang terdiri dari beberapa
tahap yaitu pembelahan dan perubahan morfologi sel berinti, mulai dari rubriblas,
prorubrisit, rubrisit, dan metarubrisit (Bast et al. 2000). Rubriblas disebut juga
pronormoblas atau proeritroblas. Sel ini mempunyai inti yang bulat dengan
beberapa anak inti serta khromatin yang halus. Ukuran sel rubriblas berkisar
antara 18-25 µm. Jumlah rubriblas dalam sumsum tulang pada keadaan normal
kurang dari 1% dari seluruh sel berinti (Bast et al. 2000).
Prorubrisit disebut juga normoblas basofilik atau eritroblas basofilik.
Prorubrisit mempunyai khromatin inti yang terlihat kasar dan anak inti yang tidak
terlalu jelas. Sitoplasmanya mulai mengandung hemoglobin sehingga warna
sitoplasma menjadi sedikit kemerahan. Ukuran sel lebih kecil dibandingkan
9
dengan rubriblas. Jumlah prorubrisit pada keadaan normal berkisar antara 1-4%
dari seluruh sel di dalam sumsum tulang. Prorubrisit dapat diwarnai dengan warna
basa dan sel inti akan mengumpulkan sedikit hemoglobin (Bast et al. 2000).
Rubrisit disebut juga normoblas polikromatik yang memiliki inti sel yang
mengandung kromatin yang kasar dan menebal secara tidak teratur (Bast et al.
2000). Tidak ditemukan anak inti, dan sitoplasma lebih banyak mengandung
warna merah (kandungan hemoglobin) dan warna biru (kandungan asam
ribonukleat). Warna merah terlihat lebih dominan pada sel rubrisit karena banyak
mengandung hemoglobin (Bast et al. 2000).
Metarubrisit disebut juga normoblas ortokromatik atau eritroblas
ortokromatik (Bast et al. 2000). Sel ini memiliki inti sel yang kecil dan
mengandung lebih banyak hemoglobin sehingga warnanya lebih merah, walaupun
masih tersisa warna biru. Jumlah metarubrisit pada keadaan normal berkisar
antara 5-10% pada sumsum tulang.
Menurut Frandson (1996), beberapa faktor fisiologis yang mempengaruhi
jumlah eritrosit di dalam sirkulasi darah meliputi jenis hewan, jenis kelamin, dan
umur. Jumlah eritrosit pada kucing berkisar antara 5.00-10.00 x106 /µl (Jain
1993). Hewan dengan ukuran eritrosit yang kecil memiliki jumlah eritrosit lebih
tinggi, dan sebaliknya hewan yang memiliki ukuran eritrosit lebih besar memiliki
jumlah eritrosit yang lebih rendah (Jain 1993).
Jumlah eritrosit pada kucing
jantan sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan kucing betina, karena pada kucing
jantan dipengaruhi oleh hormon androgen (Schalm 2010). Berdasarkan umur,
jumlah eritrosit pada saat kelahiran hampir 12 kali lipat dibandingkan dengan
kucing dewasa (Schalm 1986).
Faktor-faktor patologis yang dapat mempengaruhi jumlah eritrosit yaitu
defisiensi besi, penyakit hati, penyakit ginjal, dan nutrisi. Sintesis hemoglobin
pada kasus defisiensi besi terganggu sehingga pembentukan eritrosit terhambat.
Defisiensi besi, Cu, vitamin, dan asam amino sangat berpengaruh pada jumlah
eritrosit seperti yang dilaporkan oleh Triastuti (2006).
Penyakit hati dan ginjal kronis dapat menyebabkan terjadinya penurunan
jumlah eritrosit. Ginjal merupakan tempat utama diproduksinya eritropoietin,
dimana target utamanya adalah sumsum tulang (Schalm 1986). Eritropoietin
10
dibentuk di hati pada masa fetus, dan di ginjal pada saat dewasa (Meyer et al.
1992). Bila masa ginjal berkurang akibat penyakit ginjal, maka hati tidak dapat
mengkompensasi dan terjadilah anemia (Ganong 1997).
Gambar 3 Eritrosit Kucing (Schalm 2010).
Hemoglobin (Hb)
Hemoglobin merupakan pigmen pembawa oksigen, terdiri atas empat
rantai polipeptida globin yang berbeda dan masing-masing terdapat beberapa ratus
asam amino (Dorland 1998). Hemoglobin terdiri atas dua komponen yaitu heme
dan globin (Colville dan Bassert 2002). Menurut Ganong (2001), kemampuan
eritrosit mengikat oksigen disebabkan oleh adanya Hb.
Hemoglobin diproduksi oleh eritrosit selama proses pematangan. Sintesis
heme berlangsung di mitokondria, sedangkan globin merupakan bagian protein
yang diproduksi di ribosom (Colville dan Bassert 2002). Setiap kelompok heme
mengandung atom besi (Fe++) yang akan mengikat, mengangkut, dan memberikan
oksigen ke jaringan (Weiss dan Wardrob 2010). Empat heme dalam setiap
kelompok melekat dengan molekul globin sehingga setiap molekul Hb akan
membawa empat molekul oksigen (Colville dan Bassert 2002).
Menurut McCurnin dan Bassert (2006), hemoglobin bertanggung jawab
dalam membawa oksigen dari paru paru menuju jaringan. Afinitas Hb terhadap
oksigen dapat dipengaruhi oleh pH, suhu, dan konsentrasi 2,3-difosfogliserat (2,3DPG) dalam eritrosit (Colville dan Bassert 2002). Keadaan pH yang asam, akan
membuat oksigen di dalam jaringan berkurang sehingga kemampuan Hb
membawa oksigen menurun. Hemoglobin mempunyai tiga fungsi diantaranya,
mengatur pertukaran oksigen dengan karbondioksida di dalam jaringan tubuh,
11
mengambil oksigen dari paru-paru kemudian dibawa ke seluruh jaringan tubuh,
dan membawa karbondioksida dari jaringan tubuh sebagai hasil metabolisme ke
paru-paru untuk dibuang (McCurnin dan Bassert 2006).
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi konsentrasi Hb diantaranya
beberapa keadaan seperti gangguan sintesis Hb, defisiensi besi, dan infeksi kronis
(Cunningham 1997). Gangguan pada sintesis Hb misalnya thalassemia
(kongenital) (Sodikoff 1995) dan anemia defisiensi zat besi. Thalassemia
merupakan kelompok anemia hemolitik herediter yang ditandai dengan penurunan
kecepatan sintesis satu rantai atau lebih polipeptida Hb, sehingga pada kasus
tersebut akan mempengaruhi konsentrasi Hb (Dorland 1998).
Hematokrit / Packed Cell Volume (PCV)
Hematokrit
merupakan persentase eritrosit dari total volume darah
(Dorland 1998). Nilai ini didapatkan dengan melihat tiga bagian hasil dari
sentrifugasi eritrosit yang mengendap yaitu eritrosit di lapisan dasar, leukosit dan
trombosit pada lapisan tengah (buffy coat), dan plasma darah di lapisan atas. Nilai
normal hematokrit bervariasi diantara spesies, dan tergantung pada umur dan jenis
kelamin dari setiap individu (Schalm 1986; Jain 1993).
Faktor fisiologis lainnya yang dapat mempengaruhi nilai hematokrit yaitu
jenis kelamin dan dehidrasi (Stockham dan Scott 2008). Saat dehidrasi, tubuh
mengambil cairan vaskular untuk melakukan homeostasis, sehingga terjadi
peningkatan konsentrasi hematokrit dalam darah (Stockham dan Scott 2008).
Luka terbuka dan infeksi parasit merupakan faktor yang bersifat patologis yang
dapat mempengaruhi nilai hematokrit dalam darah. Jumlah eritrosit pada kasus
tersebut berkurang secara cepat, sehingga konsentrasi hematokrit dalam darah
berkurang, dan hewan akan mengalami anemia. Anemia juga dapat terjadi apabila
eritrosit
mengalami
hemolisis
yang
lebih
cepat
dibandingkan
dengan
pembentukannya atau apabila sel eritrosit tidak berhasil matang secara normal
(Frandson 1996).
Hemokonsentrasi atau disebut juga polisitemia merupakan kebalikan dari
anemia yang berarti bahwa rasio sel darah merah terhadap cairan berada diatas
normal. Hal ini dapat ditunjukkan dengan nilai hematokrit yang tinggi baik
12
disebabkan oleh jumlah eritrosit yang bertambah maupun jumlah cairan vaskular
yang menurun (Stockham dan Scott 2008).
Indeks Eritrosit
Indeks eritrosit terdiri atas MCV (mean corpuscular volume), MCH
(mean corpuscular hemoglobin), dan MCHC (mean corpuscular hemoglobin
concentration). Indeks eritrosit digunakan untuk mengklasifikasi jenis anemia
secara morfologi (Riswanto 2009). Jenis anemia berdasarkan indeks eritrosit dapat
digolongkan menjadi enam, yaitu anemia normocytic normochromic, macrocytic
hypochromic, macrocytic normochromic, microcytic hypochromic, microcytic
normochromic, dan normocytic hypocromic (Sodikoff 1995).
Mean Corpuscular Volume (MCV)
Mean Corpuscular Volume menggambarkan rataan volume eritrosit.
Nilai ini mengindikasikan eritrosit tersebut termasuk mikrositik, normositik, atau
makrositik. Nilai MCV bervariasi pada setiap spesies. Hewan mamalia memiliki
ukuran eritrosit yang lebih kecil dibandingkan dengan burung, reptil, amfibi.
Ukuran eritrosit yang kecil pada mamalia ini menyebabkan hewan mamalia
memiliki jumlah eritrosit yang lebih banyak (Meyer dan Harvey 2004).
Menurut Schalm (2010), nilai MCV yang normal menggambarkan
ukuran eritrosit yang normal. Nilai MCV yang rendah memiliki ukuran eritrosit
yang lebih kecil dari ukuran normal. Nilai MCV yang rendah dapat ditemukan
pada anemia mikrositik. Penyebab anemia mikrositik yaitu defisiensi besi dan
penyakit kronis (Nordenson 2006). Eritrosit yang berukuran besar merupakan
eritrosit muda dan yang berukuran kecil merupakan eritrosit yang sudah dewasa.
Apabila di dalam sirkulasi darah banyak terdapat eritrosit yang berukuran kecil,
dimungkinkan terjadi kegagalan dalam proses eritropoiesis. Nilai MCV diperoleh
dari penghitungan rumus sebagai berikut :
(
)
∑
(Schalm 1986).
13
Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH)
Mean Corpuscular Hemoglobin merupakan penghitungan massa
hemoglobin dalam eritrosit. Mean Corpuscular Hemoglobin menggambarkan
rataan bobot hemoglobin dalam eritrosit. Nilai ini selalu berkorelasi dengan MCV
dan MCHC. Nilai MCH diperoleh dari penghitungan rumus sebagai berikut :
(
)
∑
(Schalm 1986).
Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC)
Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration menggambarkan rataan
konsentrasi hemoglobin dalam eritrosit. Nilai MCHC mengindikasikan eritrosit
dalam keadaan normokromik atau hipokromik. Normokromik mengacu pada nilai
MCHC yang normal, sedangkan apabila lebih rendah dari nilai normal disebut
hipokromik (Meyer et al 1992). Nilai MCHC diekspresikan dalam g/dl eritrosit
(Meyer & Harvey 2004). Rendahnya nilai MCHC dapat disebabkan oleh
gangguan sintesis hemoglobin, sintesis eritrosit, atau keadaan darah yang encer
akibat peningkatan cairan plasma atau kehilangan sejumlah eritrosit (Cunningham
1997). Nilai MCHC dapat diperoleh dari penghitungan rumus sebagai berikut :
(
)
(Schalm 1986).
Download