BAB V KESIMPULAN Proses integrasi ekonomi melalui

advertisement
127
BAB V
KESIMPULAN
Proses integrasi ekonomi melalui pelabuhan Semarang dari tahun 18251939, dipengaruhi berbagai tantangan, mulai dari kondisi geologis pelabuhan
Semarang yang tidak sempurna, kondisi perekonomian global yang tidak stabil,
hingga perkembangan teknologi yang cepat. Sebagai fungsi integratif dalam
mengintegrasikan ekonomi, pelabuhan Semarang mempunyai dua peran. Pertama,
pelabuhan Semarang mengintegrasikan antar pusat-pusat produksi di pedalaman
Jawa Tengah dan antara pusat-pusat produksi dengan pasar global dalam perannya
sebagai pelabuhan ekspor-impor. Kedua, pelabuhan Semarang mengintegrasikan
ekonomi nasional melalui jejaring pelabuhan-pelabuhan yang ada di hampir
seluruh Indonesia, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam perannya
sebagai entrepot. Dengan demikian integrasi ekonomi tersebut telah memberikan
kemudahan akses terhadap sirkulasi barang, orang, jasa dan uang. Akumulasi dari
semua aktivitas ekonomi tersebut menjadi laju pendorong bagi pertumbuhan
ekonomi Indonesia.
Fungsi integratif pertama ditandai oleh empat hal penting. Pertama, pada
tahun 1825 ditandai dengan kebijakan pemerintah kolonial membuka pelabuhan
bebas di Indonesia, termasuk pelabuhan Semarang telah membuka celah yang
lebar terhadap akses ekonomi Indonesia terhadap ekonomi global, maupun
sebaliknya. Hal tersebut telah membuat arus masuk dan keluar barang semakin
mudah. Kedua, yakni pada tahun 1830, yang ditandai dengan kebijakan
128
Cultuurstelsel. Dalam kebijakan tersebut pemerintah kolonial memperkenalkan
tanaman-tanaman untuk komoditi ekspor seperti kopi, gula, nila maupun teh, dan
masyarakat Indonesia diwajibkan untuk menanam tanaman-tanaman tersebut,
sehingga menyebabkan terbentuknya pusat-pusat produksi di hampir seluruh
pedalaman Jawa Tengah.
Ketiga, pada tahun 1862, pemerintah kolonial melakukan revolusi sistem
transportasi di Indonesia dalam bentuk pembangunan jejaring kereta api pertama
yang diterapkan di Jawa Tengah. Hal tersebut telah menyebabkan antar pusatpusat produksi di Jawa Tengah terintegrasi dengan pelabuhan Semarang.
Keempat, pada tahun 1870 kebijakan ekonomi liberal yang diterapkan oleh
pemerintah kolonial menyebabkan aliran-aliran modal swasta ikut bermain dalam
perekonomian Indonesia. Hal ini menyebabkan peningkatan yang luar biasa dalam
produksi pada industri pertanian. Dengan demikian arus ekspor dan impor juga
mengalami kenaikan.
Sementara itu pada fungsi integratif kedua, ditandai oleh dua hal penting.
Pertama, pada tahun 1825 yang ditandai oleh penetapan pelabuhan Semarang
sebagai salah satu pelabuhan bebas, selanjutnya ditetapkan pula sebagai entrepot
pada tahun yang sama. Hal ini menyebabkan pelabuhan Semarang berfungsi pula
sebagai pelabuhan penyimpanan barang, yang kemudian akan didistribusikan ke
pelabuhan-pelabuhan lain di Indonesia, baik secara langsung maupun tidak.
Kedua, pada tahun 1888 yang ditandai dengan pendirian perusahaan pelayaran
milik kerajaan atau Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM). Melalui
perusahaan pelayaran tersebut, pelabuhan Semarang ikut mengintegrasikan
129
ekonomi nasional melalui jejaring pelabuhan yang ada di hampir seluruh
Indonesia.
Proses-proses tersebut dilakukan oleh pemerintah kolonial karena
beberapa faktor. Pertama, posisi pelabuhan Semarang berada dalam jalur
pelayaran dan perniagaan nasional dan internasional, sehingga pemerintah
kolonial tidak terlalu sulit dalam pengelolaannya, meskipun tetap diperlukan pula
investasi modal untuk pengembangan pelabuhan agar memenuhi syarat. Kedua,
wilayah Jawa Tengah merupakan daerah yang subur sehingga sesuai untuk
produksi pertanian yang berskala besar. Terakhir, kondisi demografis penduduk
Jawa Tengah yang terbilang cukup besar dimanfaatkan sebagai pasar untuk
komoditi impor yang berasal dari industri di Eropa dan Amerika, khususnya
Belanda.
Akibat dari integrasi tersebut, sirkulasi ekspor dan impor di pelabuhan
Semarang semakin lancar. Integrasi tersebut semakin mengikatkan antara
pedalaman di Jawa Tengah dengan pasar global maupun dengan pelabuhanpelabuhan lain di Indonesia. Integrasi tersebut jelas memberikan dampak yang
sangat tinggi berupa akumulasi keuntungan yang diperoleh dari ekspor.
Keuntungan tersebut dipakai untuk pembiayaan keuangan pemerintah kolonial
(government expenditure) dan sebagian sisanya untuk pembangunan di Belanda
(sharing profit).
Akan tetapi, ketika investasi swasta ikut bermain dalam perekonomian
Indonesia, peningkatan investasi tersebut justru menyebabkan perlambatan pada
kinerja ekspor, karena sebagian besar kebutuhan untuk memenuhi industri padat
130
modal harus didatangkan dari impor, sehingga pembiayaan impor diambil dari
keuntungan ekspor. Meskipun demikian, aktivitas perdagangan di pelabuhan
Semarang dan industri pertanian padat modal di pedalaman semakin meningkat.
Sementara itu, integrasi ekonomi nasional yang dilakukan melalui
pelabuhan Semarang memberikan dampak positif pada hubungan ekonomis.
Hampir seluruh pelabuhan di Indonesia, mulai dari pelabuhan-pelabuhan di
Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara hingga Kawasan Timur
lainnya, telah terintegrasi melalui pelabuhan Semarang, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Selain itu, telah terjalin relasi dengan negara-negara di
Eropa, Amerika Serikat, Australia, negara-negara Asia dan Afrika. Beberapa
negara telah mendirikan cabang konsulatnya di Semarang untuk mempererat
hubungan dagang. Relasi tersebut sebenarnya telah terjalin jauh sebelum investasi
swasta masuk ke Indonesia. Hubungan tersebut berlanjut dan semakin meningkat
saat teknologi kapal uap dan pembukaan Terusan Suez dibuka.
Lebih jauh lagi, integrasi ekonomi tersebut telah menciptakan dua iklim
ekonomi yang saling berkaitan. Pertama, integrasi ekonomi tersebut menciptakan
keterbukaan akses kepada pasar global yang memungkinkan terjadi pertumbuhan
ekonomi. Kedua, integrasi tersebut menyebabkan Indonesia rawan terhadap krisis
atau resesi, misalnya pada pertengahan abad ke-20 saat Depresi 1930 melanda
perekonomian dunia.
Sementara itu, dari kedua fungsi integratif tersebut dan didukung oleh data
perdagangan yang terekam baik dalam administrasi pemerintah kolonial telah
menyanggah anggapan yang muncul bahwa pelabuhan Semarang adalah
131
pelabuhan yang setengah gagal (berkaitan dengan kondisi fisik). Hal tersebut
ditunjukkan pada kinerja perdagangannya yang cukup tinggi. Karakteristik
pelabuhan Semarang ternyata mirip dengan pelabuhan Surabaya, yakni nilai
ekspor dan impornya hampir sebanding. Dibandingkan dengan pelabuhan Jakarta,
nilai ekspor pelabuhan Semarang jauh lebih besar. Hal tersebut menunjukkan
bahwa kontribusi ekspor pelabuhan Semarang terhadap PDB/GDP Indonesia
cukup besar. Hal ini jelas telah membantah anggapan tersebut.
Pelabuhan Semarang sebagai salah satu koridor ekonomi Indonesia mulai
mengalami penurunan pada pertengahan abad ke-20. Penurunan tersebut
ditunjukkan oleh semakin berkurangnya pasokan komoditi-komoditi ekspor dari
pusat-pusat produksi di pedalaman Jawa Tengah. Pusat-pusat produksi di sebelah
selatan dan timur pelabuhan Semarang mulai memindahkan pasokannya ke
pelabuhan Surabaya. Sementara, pusat-pusat produksi di sebelah barat daya
pelabuhan Semarang memindahkan pasokannya ke pelabuhan Cilacap. Hal
tersebut senada dengan analisis Howard Dick yang menyatakan bahwa peran
Semarang mulai memudar dan tidak berperan lagi sebagai pusat ekonomi di Jawa
Tengah, sumber-sumber ekonomi tersebut hampir sebagian besar terserap ke
wilayah Jawa Timur dan Jawa Barat.1 Hal ini menyebabkan pelabuhan Semarang
mulai tertinggal dari pelabuhan Surabaya dan bahkan pelabuhan Jakarta.
1
Howard Dick, “Peran Ekonomi Kota Surabaya” dalam Howard Dick,
James J. Fox, Jamie Mackie (Eds), Balance Development: East Java in the New
Order. (Jakarta: Gramedia, 1997), hlm. 474.
Download