BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pemanasan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Pemanasan global (global warming) adalah suatu tahap peningkatan suhu rata-rata
pada atmosfer, laut dan daratan yang ada di bumi. Suhu rata-rata umum pada permukaan
bumi telah meningkat sebanyak 0,74 + 0,18oC (1,33 + 0,32oF) selama 100 tahun terakhir.
Efek pemanasan global adalah perubahan iklim, kepunahan ekosistem, permukaan air laut
meningkat, banjir, wabah penyakit, kerusakan infrastruktur, kebakaran hutan, tanah gersang,
persediaan air bersih yang berkurang, yang pada akhirnya mengancam kelangsungan dari
kehidupan di bumi (WWF Indonesia, 2015). Salah satu sumber pemanasan global ini adalah
aktifitas industri yang menggunakan bahan-bahan yang dapat merusak lingkungan. Bahanbahan ini tidak hanya bahan baku produk, melainkan juga menyangkut material lainnya
seperti kemasan produk, pelabelan, dan karton pembungkus. Oleh karena itu, banyak pihak
yang mengharapkan agar dunia industri mengembangkan usaha berkelanjutan (sustainability)
yang ramah lingkungan.
Selain itu, isu kerusakan lingkungan hidup yang banyak dipublikasikan melalui
berbagai media massa juga menyebabkan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat akan
pentingnya menjaga kelestarian lingkungan hidup. Masyarakat mulai menyadari bahwa
perilakunya dalam membeli produk dan jasa ternyata memiliki pengaruh langsung terhadap
berbagai masalah lingkungan, sehingga mereka mulai menerapkan prinsip-prinsip green
consumersm sebagai wujud kepedulian terhadap upaya pelestarian lingkungan.
Kerusakan lingkungan dan isu-isu terkait, serta meningkatnya kesadaran masyarakat
dalam menerapkan prinsip-prinsip green consumersm berperan penting dalam memberikan
tantangan kepada perusahaan penyedia barang dan jasa untuk memberikan jaminan bahwa
barang dan jasa yang disediakan aman bagi konsumen, serta ramah dan tidak merusak
lingkungan. Oleh karena itu, bagian pemasaran dari suatu perusahaan dituntut untuk
mempertimbangkan strategi pemasaran yang mendukung kesadaran dalam menjaga
kelestarian lingkungan hidup atau yang dikenal dengan istilah strategi pemasaran hijau
(enviromental marketing atau green marketing) (Siswanto & Rumambi, 2013).
Green marketing jika awalnya lebih berfokus pada konteks ekologi, maka saat ini
bergeser ke konteks sosio-ekonomi dan kelestarian lingkungan. Oleh karena itu, Coddington
(dalam Siswanto & Rumambi, 2013) mendefinisikan green marketing sebagai aktifitas
pemasaran
yang
memahami
pemeliharaan
lingkungan
sebagai
tanggung
jawab
pengembangan bisnis dan sebagai peluang pertumbuhan bisnis. Konsep dasar green
marketing dikembangkan dari pemasaran konvensional yaitu 4P (product, price, promotion
dan place).
Green marketing menjadi bentuk pemasaran yang populer saat ini dan masa yang
akan datang. Banyak perusahaan yang mulai menyadari bahwa mereka adalah anggota dari
komunitas yang lebih luas dan karena itu harus berperilaku dengan cara yang bertanggung
jawab terhadap lingkungan. Ini berarti perusahaan percaya bahwa mereka harus mencapai
tujuan lingkungan untuk berhasil mencapai tujuan bisnisnya. Adapun dampak positif green
marketing bagi organisasi, antara lain meningkatkan perilaku membeli hijau (green purchase)
(Boztepe, 2012); meningkatkan penjualan dan citra perusahaan (Kumar & Lata, 2014); dan
perkembangan berkelanjutan dari suatu organisasi (Rao, 2014).
Perubahan arah model beli konsumen terhadap peningkatan niat untuk membeli
produk yang ramah lingkungan membuat peluang baru bagi produsen yang menjual produk
ramah lingkungan (Haery et al, 2013). Niat membeli adalah keadaan psikologis seseorang
dimana dapat menimbulkan perhatian tinggi terhadap suatu produk dan pada akhirnya akan
mendorong melakukan pembelian (Panggalih & Baridwan, 2013). Niat membeli ini dapat
digunakan untuk memprediksi perilaku yang akan datang, artinya bila konsumen
menunjukkan niat membeli yang tinggi, dapat diduga melakukan pembelian aktual dimasa
yang akan datang.
Tujuan strategi green marketing dalam meningkatkan niat beli hijau (green purchase
intention) ternyata tidak mudah. Meskipun beberapa tokoh beranggapan strategi green
marketing merupakan strategi potensial yang memberikan keunggulan bersaing, namun tokoh
yang lain mengungkapkan pendapat yang sebaliknya. Pemasaran hijau dianggap sebagai
strategi bisnis yang gagal atau belum memberikan kontribusi pada lingkungan dan
pengintegrasian potensi keunggulan bersaing dan kepedulian terhadap lingkungan (Kotler,
2012). Citra sebagai produk yang ramah lingkungan sering dipandang buruk berupa suatu
produk yang memiliki nilai rendah atau tidak benar-benar menepati janji-janjinya mengenai
kinerja produk terhadap lingkungan. Dari kesenjangan antara teori ini terlihat bahwa tidak
semua perusahaan memiliki cukup kemampuan melakukan strategi green marketing.
Perusahaan harus mengintegrasikan konsep-konsep green marketing ke dalam kegiatan
pemasaran rutin agar strateginya berhasil dalam mengatasi banyaknya masalah yang muncul
di pasar. Kurangnya kredibilitas perusahaan baik produk maupun sikap perusahaan, sikap
skeptis dan sinisme konsumen, dan implementasi mengenai program green marketing yang
buruk dari perusahaan merupakan masalah yang harus diatasi dalam situasi saat ini (Kotler,
2012), dan permasalahan ini cenderung berkaitan dengan kepercayaan konsumen terhadap
produk ramah lingkungan (kepercayaan hijau/ green trust).
Green trust hijau adalah sebuah kehendak untuk bergantung pada sebuah produk, jasa
atau merek atas keyakinan atau harapan yang dihasilkan dari kredibilitas, perbuatan baik, dan
kecakapan tentang kinerja lingkungan (Chen, 2010). Prioritas membangun kepercayaan
terhadap konsumen merupakan sesuatu yang penting untuk meningkatkan niat beli konsumen
(Kotler, 2012). Jika konsumen memiliki kepercayaan yang baik terhadap produsen,
perusahaan, maupun produk dan jasa, maka konsumen akan memiliki niat beli yang tinggi.
Hasil penelitian Pratama (2014), Rizwan, et al (2014) serta Kleshami & Monsef (2015)
mengungkapkan bahwa green trust berpengaruh positif terhadap green purchase intention.
Berkaitan dengan permasalahan lingkungan, Chen dan Chang (2012) berpendapat
bahwa perusahaan cenderung terlalu membesar-besarkan kinerja kelingkungan produknya
yang tidak sesuai dengan harapan konsumen, sehingga kepercayaan konsumen terhadap
perusahaan menurun. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan bahwa konsumen
kurang percaya terhadap produk-produk ramah lingkungan akibat tindakan perusahaan yang
terlalu membesar-besarkan kinerja kelingkungan produknya, sehingga perlu dilakukan upaya
untuk meningkatkan green trust yang pada akhirnya meningkatkan green purchase intention,
antara lain dengan meningkatkan persepsi nilai hijau (green perceived value).
Green perceived value adalah penilaian menyeluruh konsumen terhadap seluruh
manfaat yang diterima dan apa yang dikorbankan berdasarkan pada hasrat mengenai
lingkungan, harapan adanya keberlanjutan, dan segala kebutuhan produk ramah lingkungan
(Patterson & Spreng dalam Chen & Chang, 2012). Persepsi nilai dapat menempatkan posisi
yang kuat, memberikan hasil positif dan akan memberikan manfaat jangka panjang.
Konsumen yang memiliki penilaian bahwa suatu produk memiliki kualitas seperti yang
diharapkan, handal dan memiliki kebaikan sesuai dengan yang diinginkan akan memiliki
kepercayaan yang tinggi terhadap produk. Hasil penelitian Pratama (2014), Rizwan, et al
(2014) serta Kleshami & Monsef (2015) mengungkapkan bahwa green perceived value
berpengaruh positif terhadap green purchase intention. Semakin baik green perceived value
maka semakin tinggi green purchase intention.
Selain meningkatkan green perceived value, upaya untuk meningkatkan green trust
adalah dengan menurunkan persepsi risiko hijau (green perceived risk). Menurut Petrus &
Ryan (dalam Chen & Chang, 2012) green perceived risk adalah harapan negatif mengenai
konsekuensi terhadap lingkungan yang terkait dengan perilaku pembelian. Dengan demikian
konsumen cenderung memiliki harapan negatif, baik mengenai fungsi maupun kinerja produk
yang dibelinya yang akan berpengaruh pada kerusakan lingkungan maupun rasa nyaman bagi
penggunanya. Oleh karena itu, pemasar yang bersikap dan bertindak jujur kepada
konsumennya akan mampu menurunkan green perceived risk dan mendorong munculnya
green trust. Hasil penelitian Kleshami & Monsef (2015) dan Rahardjo (2015)
mengungkapkan bahwa green perceived risk berpengaruh negatif terhadap green trust.
Sebaliknya, Pratama (2014), Rizwan, et al (2014), dan Kwok, et al (2015) mengungkapkan
bahwa green perceived risk tidak berpengaruh terhadap green trust.
Selain meningkatkan green trust, ternyata green perceived value juga akan
meningkatkan green purchase intention (Pratama, 2014; Rizwan, et al., 2014; dan Kleshami
& Monsef, 2015). Sebaliknya, green perceived risk hanya meningkatkan green trust, namun
tidak meningkatkan green purchase intention (Pratama, 2014; Rizwan, et al., 2014; dan
Kleshami & Monsef, 2015). Sementara Rahardjo (2015) dan Al-Zu’bi, et al (2015)
mengungkapkan bahwa green perceived risk memberikan pengaruh langsung terhadap green
purchase intention.
Perkembangan pemasaran hijau di Indonesia berjalan lambat, namun berdasarkan
survei yang dilakukan oleh AC Nielsen, masyarakat yang ada di Indonesia telah
menunjukkan bahwa konsumen memiliki kepedulian yang besar terhadap permasalahan
lingkungan dan terlihat dengan adanya “Go Green Campaign” yang telah dilakukan
pemerintah pusat maupun daerah di hampir seluruh Indonesia (Pratama, 2014). Selain itu,
saat ini mulai banyak perusahaan yang menerapkan green marketing di dalam sistem
pemasaran produknya, seperti PT LG Electronics Indonesia.
PT LG Electronics Indonesia merupakan salah satu perusahaan besar multinasional
yang bergerak di bidang produk elektronik, informasi dan komunikasi. Salah satu produk
elektronik yang dihasilkan adalah lemari es. Lemari es merupakan produk home appliance
yang digunakan oleh konsumen dalam jangka waktu lama (diatas 3 tahun). Oleh karena itu,
menurut Eric Setiadi selaku Direktur Marketing LG (2015) mendeskripsikan produk lemari
es sebagai produk yang tahan lama, hemat energi dan sehat. LG memproduksi lemari es
dengan teknologi yang dapat menghemat energi dan memberikan kesegaran makanan dalam
lemari es, sehingga harapan konsumen untuk dapat hidup sehat dapat tercapai.
Lemari es LG dianggap sebagai produk hijau karena menerapkan teknologi yang
ramah lingkungan, yaitu smart inverter compressor. Keunggulan dari teknologi ini sehingga
dianggap ramah lingkungan adalah hemat energi, pendinginan lebih cepat, durabilitas (bisa
mengantisipasi naik-turunnya tegangan listrik, dan kenyamanan (comfort). Kesemuanya
diracang dengan konsep energy saving.
Selain menggunakan teknologi smart inverter compressor, PT LG Electronics
Indonesia
juga
berkomitmen
tidak
menggunakan
Bahan
Perusak
Ozon
(BPO)
hydrochlorofluorocarbon (HCFC). Komitmen ini sejalan dengan kebijakan pemerintah yang
melarang penggunaan HCFC mulai Januari 2015. Menurut PP No. 46 Tahun 2005 tentang
Ratifikasi Amandemen Montreal setiap perusahaan melakukan pengurangan HCFC 10%
pada tahun 2015 dan 97,5% pada tahun 2030.
Sylvia Renate Wiranjaya selaku Research Director Frontier Consulting Group (2013)
mengungkapkan bahwa konsumen sebelum memutuskan untuk membeli sebuah lemari es
biasanya akan mencari informasi terlebih dahulu di toko elektronik juga banyak supermarket
elektronik dengan cara membandingkan merek yang satu dengan merek lainnya. Hal yang
dibandingkan adalah harga, keawetan, kapasitas, energi yang digunakan, serta fungsi
tambahan lainnya. Berdasarkan urutan merek lemari es yang masih menempati urutan teratas
adalah Sharp, LG, Toshiba dan Sanyo.
Tabel 1.1
Top Brand Index Lemari Es Tahun 2012-2015
2012
2013
2014
2015
TBI
TOP
TBI
TOP
TBI
TOP
TBI
TOP
1. Sharp
26,4% TOP 24,8% TOP 21,2% TOP 26,9% TOP
2. LG
16,1% TOP 18,7% TOP 18,3% TOP 19,5% TOP
3. Toshiba
14,1% TOP 13,1%
11,9% TOP 12,1% TOP
4. Sanyo
13,6%
9,4%
13,6% TOP 11,2%
5. Samsung
7,8%
7,8%
9,9%
8,8%
6. Panasonic
7,4%
6,2%
7,7%
8,5%
7. Polytron
5,0%
5,8%
6,8%
7,0%
Sumber: http://www.topbrand-award.com/top-brand-survey/surveyresult/top_brand_index_2012-2015
No.
Merek
Tabel 1.1 menunjukkan bahwa berdasarkan merek, kedudukan Sharp dan LG selama
tahun 2012-2014 tidak berubah, yaitu Sharp menduduki peringkat pertama, sedangkan LG
menduduki peringkat kedua. Meski demikian, TBI Sharp pada tahun 2013-2014 turun drastis
dan meningkat sedikit di tahun 2015 dibandingkan pada tahun 2012. Hal ini berbeda dengan
TBI LG yang terus meningkat dari tahun 2012-2015.
Strategi pemasaran lemari es LG menurut Eric Setiadi selaku Direktur Marketing LG
dalam wawancaranya dengan Syukron Ali dari SWA Online (2015) adalah ketahanan,
teknologi, desain, citra merek, layanan purna jual, promotor/in store, display (having
experience of customer), dan digital service. Dari beberapa strategi ini, strategi pemasaran
yang dianggap paling penting berkaitan dengan promotor, karena mereka menjadi
representatif dari LG, yaitu menjadi ujung tombak yang dapat menjelaskan kelebihan produk
LG dengan produk lainnya. Strategi yang lainnya adalah display product in store dengan
keterangan produk secara detail dan menarik. Melalui strategi ini, LG berharap konsumen
memiliki persepsi nilai yang baik dan mengurangi persepsi risiko sehingga kepercayaan
terhadap produk meningkat.
Berdasarkan penjabaran di atas, maka judul dari penelitian ini adalah “PENGARUH
GREEN PERCEIVED VALUE DAN GREEN PERCEIVED RISK TERHADAP GREEN
TRUST DAN GREEN PURCHASE INTENTION(GREEN MARKETING): STUDI KASUS
PADA KONSUMEN LEMARI ES MEREK LG DI KOTA SEMARANG”
1.2
RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah dalam penelitian ini dijabarkan dalam rumusan pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaruh green perceived value terhadap green trust pada konsumen lemari es
merek LG di Kota Semarang?
2. Bagaimana pengaruh green perceived risk terhadap green trust pada konsumen lemari es
merek LG di Kota Semarang?
3. Bagaimana pengaruh green perceived value terhadap green purchase intention pada
konsumen lemari es merek LG di Kota Semarang?
4. Bagaimana pengaruh green perceived risk terhadap green purchase intention pada
konsumen lemari es merek LG di Kota Semarang?
5. Bagaimana pengaruh green trust terhadap terhadap green purchase intention pada
konsumen lemari es merek LG di Kota Semarang?
1.3
TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengetahui dan menganalisis pengaruh green perceived value terhadap green trust pada
konsumen lemari es merek LG di Kota Semarang.
2. Mengetahui dan menganalisis pengaruh green perceived risk terhadap green trust pada
konsumen lemari es merek LG di Kota Semarang.
3. Mengetahui dan menganalisis pengaruh green perceived value terhadap green purchase
intention pada konsumen lemari es merek LG di Kota Semarang.
4. Mengetahui dan menganalisis pengaruh green perceived risk terhadap green purchase
intention pada konsumen lemari es merek LG di Kota Semarang.
5. Mengetahui dan menganalisis pengaruh green trust terhadap terhadap green purchase
intention pada konsumen lemari es merek LG di Kota Semarang.
1.4
MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini diharapkan memberikan kegunaan sebagai berikut:
1. Secara teoritis memberikan bukti empiris mengenai pengaruh green perceived value dan
green perceived risk terhadap green trust dan green purchase intention sehingga strategi
green marketing semakin berkembang.
2. Secara praktis memberikan informasi dan referensi pihak-pihak yang tertarik dengan
green marketing, khususnya mengenai upaya untuk meningkatkan green purchase
intention dalam kaitannya dengan green perceived value, green perceived risk dan green
trust.
Download