Tetralogi Fallot

advertisement
Tetralogi Fallot
Tetralogi fallot adalah kelainan anatomi yang disebabkan oleh kesalahan
dari perkembangan infundibulum ventrikel kanan. Kelainan ini pertama kali
dilaporkan oleh Fallot (1888).
Tetralogi fallot (TF) merupakan penyakit jantung sianotik yang paling
banyak ditemukan dimana tetralogi fallot menempati urutan keempat penyakit
jantung bawaan pada anak setelah defek septum ventrikel,defek septum atrium
dan duktus arteriosus persisten, atau lebih kurang 10 % dari seluruh penyakit
jantung bawaan, dan merupakan penyebab utama di antara penyakit jantung
bawaan sianotik. Tetralogi fallot merupakan penyakit jantung bawaan yang paling
sering ditemukan yang ditandai dengan sianosis
akibat adanya pirau kanan ke
kiri.
Tetralogi fallot (TF) adalah kelainan jantung dengan gangguan sianosis
yang ditandai dengan kombinasi 4 hal yang abnormal meliputi defek septum
ventrikel, stenosis pulmonal, overriding aorta, dan hipertrofi ventrikel kanan.
Komponen yang paling penting dalam menentukan derajat beratnya
penyakit adalah stenosis
pulmonal dari sangat ringan sampai berat. Stenosis
pulmonal bersifat progresif , makin lama makin berat.
Berdasarkan diagnosis Tetralogi Fallot dibagi menjadi 4 klasifikasi :
tetralogi fallot dengan tidak adanya katup pulmonal (3-5%), tetralogi fallot
dengan kanal pada atrioventrikular (2 %), tetralogi fallot dengan atresia pulmonal,
dan tetralogi fallot dengan stenosis pulmonal (paling banyak).
Anamnesis

Riwayat kehamilan : ditanyakan sesuai dengan yang terdapat pada etiologi
(faktor endogen dan eksogen yang mempengaruhi).

Riwayat keluarga : apakah saudara dekatnya ada yang terkena blue babies,
lahir dalam keadaan meninggal karena penyakit jantung kongenital. Dan
1
ditanyakan apakah terdapat anggota keluarga yang lain mengalami penyakit
jantung, seperti hipertensi, arterosklerosis, stroke, PJB, aritmia, dll.

Riwayat Anak
Biasanya anak cenderung mengalami keterlambatan pertumbuhan karena sulit
untuk makan (ketika makan terasa sesak) sehingga asupan kalorinya sangat
sedikit. Apakah saat beraktifitas mengalami dispneu atau takipneu (karena
inadekuat O2 ke jaringan). Ortopneu biasanya diakibatkan kongesti vena
pulmonary. Berkeringat secara abnormal biasanya disebabkan oleh gagal
jantung kongesti. Nyeri pada dada yang disebabkan karena iskemia pada otot
jantung. Pernah mengalami sincope atau tidak (karena stenosis aorta,
hipertensi pulmonal, heart rate yang sangat tinggi/sangat rendah).
Pemeriksaan Fisik
Inspeksi

Pada awal bayi baru lahir biasanya belum ditemukan sianotik, bayi tampak
biru setelah tumbuh.

Clubbing finger tampak setelah usia 6 bulan.

Skoliosis (ke arah kanan)

Serang sianotik mendadak (blue spells/cyanotic spells/paroxysmal hiperpnea,
hypoxic spells) ditandai dengan dyspnea, napas kusmaul, lemas, kejang,
sinkop bahkan sampai koma dan kematian.

Anak akan sering Squatting (jongkok) setelah anak dapat berjalan, setelah
berjalan beberapa lama anak akan berjongkok dalam beberapa waktu sebelum
ia berjalan kembali.

Bentuk dada bayi masih normal, namun pada anak yang lebih besar tampak
menonjol akibat pelebaran ventrikel kanan
Palpasi

Teraba getaran bising sepanjang tepi sternum kiri
Auskultasi
2

Pada auskultasi terdengar bising sistolik yang keras di daerah pulmonal yang
semakin melemah dengan bertambahnya derajat obstruksi. Bising ini adalah
bising stenosis pulmonal, bukan bising defek septum ventrikel. Darah dari
ventrikel kanan yang menuju ventrikel kiri dan aorta tidak mengalami
turbulensi karena tekanan sistolik antara ventrikel kanan dan kiri hampir sama.
Pada serangan anoksia bising menghilang (aliran darah ke paru sangat
sedikit/tidak ada)

Bunyi jantung I keras (penutupan trikuspid yang kuat).

Bunyi jantung II terpisah dengan komponen pulmonal yang lemah
Pada bayi laki-laki dengan usia 9 bulan dengan keadaan BB tidak naik, sesak
napas, dan sianosis, serta pemeriksaan fisik sebagai berikut :

Tanda vital : HR 130 x/menit ; RR 50 x/menit

Inspeksi : bibir tampak sedikit kebiruan dan jari-jari kebiruan, bertambah
jelas bila menangis ; retraksi dada

Palpasi : pada dinding abdomen : datar dan lemas ; pembesaran hepar (1/31/4) ; lien tidak teraba

Perkusi

Auskultasi : paru : vesikuler dan tidak terdapat ronkhi ; jatung : BJ I-II
normal dengan bising/murmur jelas terdengar.
Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium
Ditemukan
adanya peningkatan hemoglobin dan hematokrit (Ht)
akibat
saturasi oksigen yang rendah. Nilai AGD menunjukkan peningkatan tekanan
partial karbondioksida (PCO2), penurunan tekanan parsial oksigen (PO2) dan
penurunan pH. Pasien dengan Hb dan Ht normal atau rendah
mungkin
menderita defisiensi besi. Nilai juga faktor pembekuan darah (trombosit,
protombin time)

Radiologis
3
Sinar X pada thoraks menunjukkan penurunan aliran darah pulmonal, tidak
ada pembesaran jantung . Tampak pembesaaran aorta asendens. Gambaran
khas jantung tampak apeks jantung terangkat sehingga seperti sepatu.

Elektrokardiogram
Pada neonatus EKG tidak berbeda dengan anak normal. Pada anak mungkin
gelombang T positif di V1, EKG sumbu QRS hampir selalu berdeviasi ke
kanan. Tampak pula hipertrofi ventrikel kanan. Gelombang P di hantaran II
tinggi (P pulmonal)

Ekokardiografi
Memperlihatkan
dilatasi aorta, overriding aorta dengan dilatasi ventrikel
kanan, penurunan ukuran arteri pulmonalis & penurunan aliran darah ke paruparu.

Kateterisasi
Diperlukan sebelum tindakan pembedahan untuk mengetahui defek septum
ventrikel multiple, mendeteksi kelainan arteri koronari dan mendeteksi
stenosis pulmonal perifer. Melihat ukuran a.pulmonalis. Mendeteksi adanya
penurunan saturasi oksigen, peningkatan tekanan ventrikel kanan, dengan
tekanan pulmonalis normal atau rendah.
Diagnosis
Diagnosis kerja
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang didapatkan maka diagnosis
kerjanya  Tetralogi Fallot
Diagnosis banding

Defek septum ventrikel (DVS)
4
Defek
septum
ventrikel
(DVS)
merupakan Penyakit jantung bawaan
(PJB) yang paling sering ditemukan,
sekitar 30% dari semua jenis PJB. Pada
sebagian kasus, diagnosis kelainan ini
ditegakkan
setelah
melewati
masa
neonatus, karena pada minggu-minggu
pertama bising yang bermakna biasanya
belum
terdengar
karena
resistensi
vascular paru masih tinggi dan akan
menurun setelah 8-10 minggu. Pada DVS kecil hanya terjadi pirai dari kiri ke
kanan yang minimal sehingga tidak terjadi gangguan hemodinamik yang
berarti. Pada defek sedang dan besar terjadi pirau yang bermakna dari
ventrikel kiri ke ventrikel kanan.

Duktus Arteriosus Persisten
Duktus Arteriosus Persisten (DPA) adalah
duktus arteriosus yang tetap terbuka setelah
bayi lahir. Kelainan ini merupakan 7% dari
seluruh PJB. DPA sering dijumpai pada
bayi premature, insidensnya bertambah
dengan
berkurangnya
Sebagian
besar
masa
DAP
gestasi.
persisten
menghubungkan aorta dengan a.pulmonalis
kiri. Pada bayi baru lahir, duktus arteriosus
yang
semula
mengalirkan
darah
dari
a.pulmonalis ke aorta akan berfungsi sebaliknya karena resistensi vascular
paru menurun dengan tajam dan secara normal mulai menutup. Maka, dalam
beberapa jam secara fungsional tidak terdapat arus darah dari aorta ke
a.pulmonalis. Bila duktus tetap terbuka, terjadi keseimbangan antara aorta dan
a.pulmonalis. dengan semakin berkurangnya resistensi vascular paru maka
pirai dari aorta ke arah a.pulmonalis (kiri ke kanan) makin meningkat.
5
Etiologi
Pada sebagian besar kasus, penyebab penyakit jantung bawaa tidak diketahui
secara pasti. diduga karena adanya faktor endogen dan eksogen. Faktor –faktor
tersebut antara lain :
Faktor endogen

Berbagai jenis penyakit genetik : kelainan kromosom (down syndrom,
DiGeorge sindrom)

Anak yang lahir sebelumnya menderita penyakit jantung bawaan

Adanya
penyakit tertentu dalam keluarga seperti
diabetes melitus,
hipertensi, penyakit jantung atau kelainan bawaan.
Faktor eksogen

Riwayat kehamilan ibu : sebelumnya ikut program KB oral atau suntik,
minum obat-obatan tanpa resep dokter (thalidomide, dextroamphetamine.
aminopterin, amethopterin, jamu)

Ibu menderita penyakit infeksi : rubella

Pajanan terhadap sinar –X

Nutrisi yang kurang pada saat kehamilan

Alcohol

Ibu hamil yang berusia > 40 tahun

Nutrisi yang buruk saat kehamilan
Para ahli berpendapat bahwa penyebab endogen dan eksogen tersebut
jarang terpisah menyebabkan penyakit jantung bawaan. Diperkirakan lebih dari
90% kasus penyebab adalah multifaktor. Apapun sebabnya, pajanan terhadap
faktor penyebab harus ada sebelum akhir bulan kedua kehamilan , oleh karena
pada minggu ke delapan kehamilan pembentukan jantung janin sudah selesai.
Patofisiologi
Terpapar faktor endogen & eksogen
selama kehamilan trimester I-II
6
Kelainan jantung kongenital sianotik : tetralogi fallot
Stenosis pulmonal
Obstruksi >>> berat
Defek septum ventrikel
Overiding aorta
Tek. sistolik puncak ventrikel
kanan = kiri
Pirau kanan --kiri
Aliran
darah paru
O2 dlm darah
Obstruksi aliran darah
keluar vent kanan
Hipertrofi Aliran darah Percampuran darah
vent kanan
kaya O2 dg CO2
aorta 
Hipoksemia
Sesak
Sianosis (blue spells)
Kelemahan tubuh
Hipoksia & laktat ↑
O2 di otak
Asidosis metabolik
kesadaran
 Gangguan pertukaran gas
 PK.Hipoksemia
 Krg pengetahuan ortu :
diagnostik,prognosis&perawatan
Bayi/anak cepat lelah :
jika menetek,berjalan, beraktifitas




Ggn nutrisi kurang dr keb
Intoleransi aktivitas tubuh
Gangguan pola nafas
Gangguan pertumbuhan
& perkembangan
Anak
 Takut pada anak
 Kecemasan anak
kejang
 Perubahan perfusi jar serebral.
 Ggn integritas kulit.
 Risiko cedera
kompensasi
Jangka panjang sirkulasi kolateral
Perdarahan
polisitemia
Trombosis
PK : embolisme paru
MRS
 PK : syok hipovolemik
 Gangguan
keseimbangan
cairan & elektrolit
 Gangguan perfusi jaringan
Orang tua
 Krg pengetahuan klg ttg cara merawat anak dg asma
 Kecemasan orang tua,perubahan proses keluarga, koping keluarga
inefektif
7
Karena adanya VSD yang besar dan stenosis pulmonal maka akan terjadi
perubahan hemodinamik. Stenosis pulmonal yang terjadi itu menyebabkan darah
yang berasal dari vena cava superior dan inferior seluruhnya akan tertampung
dalam ventrikel kanan. Kemudian masuk ke aorta tanpa membebani ventrikel kiri,
sehingga timbul hipertrofi ventrikel kanan sedangkan ventrikel kiri relatif kecil.
VSD tersebut menyebabkan terjadinya shunt kanan ke kiri sehingga timbul
sianosis. Stenosis pulmonal menyebabkan aliran darah ke pulmo jadi menurun
sehingga terjadi hipoksemia yang dikompensasi dengan polisitemia.
Penatalaksanaan
Pada penderita yang mengalami serangan sianosis maka terapi ditujukan untuk
memutus patofisiologi serangan tersebut, antara lain dengan cara :
Medika Mentosa

Morphine
sulfat 0,1-0,2 mg/kg SC, IM atau IV untuk menekan pusat
pernafasan dan mengatasi takipneu.

Natrium Bikarbonat 1 Meq/kg BB IV untuk mengatasi asidosis

Oksigen dapat diberikan, walaupun pemberian disini tidak begitu tepat karena
permasalahan bukan karena kekurangan oksigen, tetapi karena aliran darah ke
8
paru menurun. Dengan usaha di atas diharapkan anak tidak lagi takipnea,
sianosis berkurang dan anak menjadi tenang. Bila hal ini tidak terjadi dapat
dilanjutkan dengan pemberian :

Propanolol 0,01-0,25 mg/kg IV perlahan-lahan untuk menurunkan denyut
jantung sehingga serangan dapat diatasi. Dosis total dilarutkan dengan 10 ml
cairan dalam spuit, dosis awal/bolus diberikan separohnya, bila serangan
belum teratasi sisanya diberikan perlahan dalam 5-10 menit berikutnya.

Berikan transfusi darah bila kadar hemoglobin kurang dari 15 g/dl, sekali
pemberian 5 ml/kgBB

Propanolol oral 1 mg/kg/hari dalam 4 dosis dapat digunakan untuk serangan
sianotik

Bila ada defisiensi zat besi segera diatasi

Pemberian Prostaglandin E1 untuk sianosis atau pada keadaan akut
(vasodilator arteriol dan menghambat agregasi trombosit)

Pemberian Vasopressor pada awal serangan atau jika terapi lain gagal
(methoxamine, phenylephrine)
Non Medika Mentosa

Posisi lutut ke dada agar aliran darah ke paru bertambah

Perhatikan kebersihan mulut dan gigi untuk meniadakan sumber infeksi
terjadinya endokarditis infektif atau abses otak.

Hindari dehidrasi
Pembedahan

Bedah paliatif
Bedah paliatif yang biasa dilakukan adalah operasi B-T (Blalock-Taussig)
Shunt
yang
bertujuan
meningkatkan
sirkulasi
pulmonal
dengan
menghubungkan a.subklavia dengan a.pulmonalis yang ipsilateral. Umumnya
operasi paliatif dilakukan pada bayi kecil atau dengan hipoplasia a.pulmonalis
dan pasien yang sering mengalami sianotik. Selain BT Shunt terdapat pula
Potts Shunt, Waterston Shunt, dan Glenn Shunt. Tetapi BT Shunt merupakan
yang paling sering digunakan karena memberikan hasil yang paling baik.
9
Tetapi BT Shunt juga menimbulkan beberapa komplikasi walaupun angka
kejadiannya sangat kecil. Komplikasi yang mungkin terjadi antara lain :
hipoplasia pada lengan, gangren pada digitalis, cedera nervus frenikus,
stenosis a.pulmonal.

Bedah Korektif
Pada bedah korektif dilakukan koreksi total yang dapat didahului atau tanpa
bedah paliatif. Bila arteri pulmonalis tidak terlalu kecil, umumnya koreksi
total dilakukan pada pasien tetralogi Fallot di bawah usia 2 tahun.
Prognosis
Jika tidak dilakukan tindakan operasi maka rata-rata mencapai umur 15 tahun.
Dengan operasi paliatif dan korektif makan prognosis akan menjadi lebih baik.
Epidemiologi
Tetralogi fallot (TF) merupakan penyakit jantung sianotik yang paling banyak
ditemukan dimana tetralogi fallot menempati urutan keempat penyakit jantung
bawaan pada anak setelah defek septum ventrikel,defek septum atrium dan duktus
arteriosus persisten. Di US angka kejadiannya mencapai 3-6 dari 10000 kelahiran.
Tetralogi fallot merupakan penyebab tersering pada PJB yang menyebabkan
sianosis. Lebih sering terjadi pada pria dibandingkan wanita.
Komplikasi

Trombosis pulmonal
Trombosis disebabkan karena meningkatnya viskositas darah yang disebabkan
oleh polisitemia. Dehidrasi dapat meningkatkan resiko untuk terjadinya
trombosis. Trombosis dapat terjadi di mana saja tapi yang berbahaya jika
terjadi di paru dan otak.

CVA trombosis

Abses otak
Penyakit jantung bawaan sianotik dengan pirau dari kanan ke kiri, terutama
terjadi pada anak yang berusia lebih dari 2 tahun, dikenal luas sebagai faktor
10
predisposisi abses otak. Pada penderita ditemukan polisitemia dengan aliran
darah yang lambat, sehinga dapat menyebabkan terjadinya infark kecil di
dalam otak yang merupakan tempat abses mulai timbul. Aliran darah pirau
dari kanan ke kiri, tidak difiltrasi di paru-paru, sehingga memudahkan
terjadinya septikemia. Hal-hal tersebut merupakan faktor predisposisi
terjadinya abses otak pada penderita penyakit jantung bawaan sianotik.
Terjadinya abses dapat dibagi menjadi empat stadium, yaitu: fase serebritis
dini, fase serebritis lambat, pembentukan kapsul dini dan pembentukan kapsul
lambat. Abses otak pada penyakit jantung bawaan sianotik biasanya soliter,
sering terdapat pada lobus frontalis, temporalis, dan parietalis.

Perdarahan
Bayi
dengan
sianosis
disertai
dengan
lamanya
polisetimia
akan
mengakibatkan trombositopenia dan kelainan pembekuan darah.

Endokarditis

Aritmia
Stenosis mitral
Definisi
Stenosis mitral adalah suatu keadaan di mana terjadi gangguan aliran darah
dari atrium kiri melalui katup mitral oleh karena obstruksi pada level katup mitra.
Kelainan struktur mitral ini menyebabkan gangguan pembukaan sehingga timbul
gangguan pengisian ventrikel kiri saat diastole.
Etiologi
Penyebab tersering stenosis mitral adalah endokarditis reumatika, akibat
reaksi yang progresif dari demam reumatik oleh infeksi streptokokkus. Penyebab
lain walaupun jarang dapat juga stenosis mitral congenital, deformitas parasut
mitral, vegetasi dari systemic lupus erythematosus (SLE), karsinosis sistemik,
eposit amiloid, akibat obat fenfluramin/phentermin, rhemotoid arthritis (RA),
serta kalsifikasi annulus maupun daun katup pada usia lanjut akibat proses
degenerative.
Beberapa keadaan juga dapat menimbulkan obstruksi aliran masuk ke
ventrikel kiri seperti Cor triatrium, miksoma atrium serta thrombus sehingga
menyerupai stenosis mitral. Dari pasien dengan penyakit jantung katup ini 60%
dengan riwayat demam rematik, sisanya menyangkal. Selain dari pada itu, 50%
pasien dengan karditis rematik akut tidak berlanjut sebagai penyakit jantung katup
secara klinik (Rahimtoola). Pada kasus di klinik (data tidak dipublikasi) juga
terlihat beberapa kasus demam rematik akut yang tidak berlanjut menjadi penyakit
jantung katup, walaupun ada di antaranya memberi manifestasi chorea.
11
Kemungkinan hal ini disebabkan karena pengenalan dini dan terapi atibiotik yang
adekuat.
E. Patologi
Pada stenosis mitral akibat demam rematik akan terjadi proses peradangan
(valvulitis) dan pembentukan nodul tipis di sepanjang garis penutupan katup.
Proses ini akan menimbulkan fibrosis dan penebalan daun katup, kalsifikasi, fusi
kommisura, fusi serta pemendekan korda atau kombinasi dari proses tersebut.
Keadaan ini akan menimbulkan distorsi dari apparatus mitral yang normal,
mengecilnya area katup mitral menjadi seperti bentuk mulut ikan (fish mouth) atau
lubang kancing (button hole). Fusi dari kommisura ini akan menimbulkan
penyempitan dari orifisium primer sedangkan fusi korda mengakibatkan
penyempitan dari orifisium sekunder.
Pada endokarditis rematika, daun katup dan korda akan mengalami sikatris
dan kontraktur bersamaan dengan pemendekan korda sehingga menimbulkan
penarikan daun katup menjadi bentuk funnel shaped.
Kalsifikasi biasanya terjadi pada usia lanjut dan biasanya lebih sering pada
perempuan dibandingkan laki-lakiserta lebih sering pada keadaan gagal ginjal
kronik. Apakah proses degeneratif tersebut dapat menimbulkan gangguan fungsi
masih perlu evaluasi lebih jauh, tetapi biasanya ringan. Proses perubahan patologi
sampai terjadinya gejala klinis (periode laten) biasanya memakan waktu berahuntahun (10-20 tahun).
F. Patofisiologi
Pada keadaan normal, area katup mitral mempunyai ukuran 4-6 cm2. Bila
area orifisiumkatu ini berkurang sampai 2 cm2, maka diperlukan upaya aktif
atrium kiri berupa peningkatan tekanan atrium kiri agar aliran transmitral yang
normal tetap terjadi. Stenosis mitral kritis terjadi bila pembukaan katup berkurang
hingga menjadi 1 cm2. Pada tahap ini, dibutuhkan suatu tekanan atrium kiri
sebesar 25 mmHg untuk mempertahankan cardiac output yang normal.
Gradien transmitral merupakan “hall mark” stenosis mitral selain luasnya
area katup mitral, walaupun Rahimtoola berpendapat bahwa gradien dapat terjadi
akibat aliran besar melalui katup normal atau aliran normal melalui katup sempit.
Sebagai akibatnya kenaikan tekanan atrium kiri akan diteruskan ke vena
pulmonalis dan seterusnya mengakibatkan kongesti paru dan serta keluhan sesak
(exertional dyspnue).
Derajat besar ringannya stenosis mitral selain berdasarkan gradient
transmitral , dapat juga ditentukan oleh luasnya area katup mitral serta hubungan
antara lamanya waktu penutupan katup aorta dan kejadian opening snap.
Berdasarkan luasnya area katup mitral, derajat stenosis mitral sebagai berikut :
1. Minimal : bila area > 2,5 cm2
2. Ringan : bila area 1,4 – 2,5 cm2
3. Sedang : bila area 1 – 1,4 cm2
4. Berat
: bila area < 1,0 cm2
5. Reaktif : bila area < 1,0 cm2
Keluhan dan gejala stenosis mitral mulai akan muncul bila luas area katup
mitral menurun sampai seperdua normal (< 2 – 2,5 cm2). Hubungan antara
12
gradient dan luasnya area katup serta waktu pembukaan katup mitral dapat dilihat
pada table di bawah ini :
Derajat Stenosis
A2-OS interval
Area
Gradien
Ringan
>110 msec
>1,5 cm2
<5 mmHg
Sedang
80-110 msec
>1 dan < 1,5 cm2
5-10 mmHg
2
Berat
<80 msec
<1 cm
>10 mmHg
A2-OS : Waktu antara penutupan katup aorta dan pembukaan katup mitral
Kalau kita lihat fungsi lama waktu pengisian dan besarnya pengisian,
gejala/simpton akan muncul bila waktu pengisian menjadi pendek dan aliran
transmitral besar, sehingga terjadi kenaikan tekanan atrium kiri walaupun area
belum terlalu sempit (> 1,5 cm2). Pada stenosis mitral ringan simpton yang
muncul biasanya dicetuskan oleh faktor yang meningkatkan kecepatan aliran atau
curah jantung atau menurunkan periode pengisian diastole, yang akan
meningkatkan tekanan atrium kiri secara dramatis. Beberapa keadaan antara lain :
(1) latihan, (2) stress emosi, (3) infeksi, (4) kehamilan, dan (5) fibrilasi atrium
dengan respon ventrikel cepat.
Dengan bertambah sempitnya area mitral maka tekanan atrium kiri akan
meningkat bersamaan dengan progresi keluhan. Apabila area mitral < 1 cm2 yang
berupa stenosis mitral berat maka akan terjadi limitasi dalam aktivitas.
Hipertensi pulmonal merupakan komplikasi yang sering terjadi pada
stenosis mitral, dengan patofisiologi yang kompleks. Pada awalnya kenaikan
tekanan atau hipertensi pulmonal terjadi secara pasif akibat kenaikan tekanan
atrium kiri. Demikian pula terjadi perubahan pada vascular paru berupa
vasokonstriksi akibat bahan neurohumoral seperti endotelin, atau perubahan
anatomic yaitu remodel akibat hipertrofi tunika media dan penebalan intima
(reactive hypertension). Kenaikan resistensi arteriolar paru ini sebenarnya
merupakan mekanisme adaptif untuk melindungi paru dari kongesti. Dengan
meningkatnya hipertensi pulmonal ini akan menyebabkan kenaikan tekanan
pulmonal sekunder dan seterusnya sebagai gagal jantung kanan dan kongesti
sistemik.
Perjalanan Penyakit
Stenosis mitral merupakan suatu proses progresif kontinyu dan penyakit
seumur hidup. Merupakan penyakit “a disease of plateaus” yang pada mulanya
hanya ditemui tanda dari stenosis mitral yang kemudian dengan kurun waktu (1020 tahun) akan diikuti dengan keluhan, fibrilasi atrium dan akhirnya keluhan
disabilitas.
Di luar negeri, periode laten biasa berlangsung lebih lama sampai keluhan
muncul, sedangkan di Negara kita manifestasi muncul lebih awal, hal ini dapat
karena tidak atau lambatnya terdeteksi, pengobatan yang kurang adekuat pada fase
awalnya.
Angka 10 tahun survival pada stenosis mitral yang tidak diobati berkisar
50%-60%, bila tidak disertai keluhan atau minimal angka meningkat 80%. Dari
kelompok ini 60% tidak menunjukkan progresi penyakitnya. Tetapi bila simpton
muncul, biasanya ada fase plateu selama 5-20 tahun sampai keluhan itu benarbenar berat, menimbulkan disabilitas. Pada kelompok pasien dengan kelas III-IV
prognosis jelek di mana angka hidup dalam 10 tahun < 15%.
13
Apabila timbul fibrilasi atrium prognosanya kurang baik (25% angka
harapan hidup 10 tahun) disbanding pada kelompok irama sinus (46% angka
harapan hidup 10 tahun). Resiko terjadinya emboli arterial meningkat pada
fibrilasi atrium.
G. Manifestasi Klinis
Riwayat
Kebanyakan pasien dengan stenosis mitral bebas keluhan dan biasanya
keluhan utama berupa sesak napas, dapat juga fatigue. Pada stenosis mitral yang
bermakna dapat mengalami sesak pada aktivitas sehari-hari, paroksismal
nocturnal dispnea, ortopnea atau edema paru yang tegas. Hal ini akan dicetuskan
oleh berbagai keadaan meningkatnya aliran darah melalui mitralatau menurunnya
waktu pengisian diastole, termasuk latihan, emosi, infeksi respirasi, demam,
aktivitas seksual, kehamilan serta fibilasi atrium dengan respons ventrikel cepat.
Fatigue juga merupakan keluhan umum pada stenosis mitral. Wood
menyatakan bahwa pada kenaikan resistensi vascular paru lebih jarang mengalami
Paroksismal noktural dispnea atau orthopnea. Oleh karena vascular tersebut akan
menghalangi (sumbatan) sirkulasi pada daerah paroksimal kapiler paru. Hal ini
mencegah kenaikan dramatis dari tekanan vena pulmonalis tetapi tentunya dalam
situasi curah jantung rendah. Oleh karena itu simpton kongesti paru akan
digantikan oleh keluhan fatigue akibat rendahnya curah jantung pada aktivitas dan
edema perifer.
H. Diagnosis
1. Pemeriksaan Fisis
Temuan klasik pada stenosis mitral adalah “opening snap” dan bising
diastole kasar pada daerah mitral. Tetapi sering pada pemeriksaan rutin sulit
bahkan tidak ditemukan rumble diastole dengan nada rendah, apalagi bila tidak
dilakukan dengan hati-hati. Di luar negeri, kasus stenosis mitral ini jarang yang
berat, sehingga gambaran klasik tidak ditemukan sedangkan di Indonesia kasus
berat masih banyak ditemukan
2. EKG
Memperlihatkan gambaran P mitral berupa takik (notching ) gelombang P
dengan gambaran QRS yang masih normal dan Right Axis Deviation. Pada
stenosis mitral reumatik, sering dijumpai adanya fibrilasi atau flutter atrium.
3. Pemeriksaan Foto Thoraks
- Dapat menunjukkan pembesaran atrium
- Pelebaran arteri pulmonal
- Aorta yang relatif kecil
- Pembesaran ventrikel kanan
- Perkapuran di daerah katup mitral atau perkardium
- Pada paru-paru terlihat tanda-tanda bendungan vena
- Edem Interstitial berupa garis Kerley terdapat pada 30% pasien dengan tekanan
atrium kiri < 20 mmHg dan 70% pada tekanan atrium >20 mmHg
3. Ekokardiografi Doppler.
14
Dengan ekokardiografi, dapat dilakukan evaluasi struktur dari katup,
pliabilitas dari daun katup, ukuran dari area katup dengan planimetri. Sedangkan
dengan Doppler dapat ditentukan gradien dari mitral serta ukuran dari area mitral
dengan cara mengukur “pressure half time” terutama bila struktur katup
sedemikian jelek karena kalsifikasi sehingga dengan pengukuran planimetri tidak
dimungkinkan.
4. Ekokardiografi Transesofageal
Ekokardiografi Transesofageal merupakan pemeriksaan ekokardiografi
dengan menggunakan tranduser endoskop sehingga jendela ekokardiografi akan
lebih luas terutama untuk struktur katup, atrium kiri atau apendiks atrium.
5. Kateterisasi
Kadang perlu dilakukan kateterisasi jantung untuk menentukan luas dan
jenispenyumbatannya. Walaupun demikian pada keadaan tertentu masih
dikerjakan setelah suatu prosedur ekokardiografi yang lengkap.
Saat ini kateterisasi dipergunakan secara primer untuk suatu prosedur
pengobatan intervensi non bedah yaitu valvulotomi dengan balon.
I. Penatalaksanaan
1. Pendekatan Klinis pasien dengan Stenosis Mitral
Pada setiap pasien stenosis mitral anamnesis dan pemeriksaan fisis
lengkap harus dilakukan. Prosedur penunjang EKG, foto thoraks, ekokardiografi
seperti yang disebutkan di atas harus dilakukan secara lengkap.
2. Pendekatan Medis
a. Prinsip Umum
Stenosis mitral merupakan kelainan mekanik, oleh karena itu obat bersifat
suportif atau simptomatik terhadap gangguan fungsional jantung atau pencegahan
terhadap infeksi. Beberapa obat seperti antibiotic golongan penisilin, eritromisin,
sulfa, sefalosporin untuk demam rematik atau pencegahan endokarditis sering
dipakai. Obat-obat inotropik negative seperti β-blocker atau Ca-blocker dapat
memberi manfaat pada pasien dengan irama sinus yang memberi keluhan pada
saat frekuensi jantung meningkat seperti pada latihan. Retriksi garam atau
pemberian diuretic secara intermitten bermanfaat jika terdapat bukti adanya
kongesti vascular paru.
b. Fibrilasi Atrium
Prevalensi 30-40% akan muncul akibat hemodinamik yang bermakna
karena hilangnya kontribusi atrium terhadap pengisian ventrikel serta frekuensi
ventrikel yang cepat. Pada keadaan ini pemakaian digitalis merupakan indikasi,
dapat dikombinasikan dengan penyekat beta atau antagonis kalsium.
c. Pencegahan embolisasi sistemik
Antikoagulan warfarin sebaiknya dipakai pada stenosis mitral dengan
fibrilasi atrium atau irama sinus dengan kecenderungan pembentukan thrombus
untuk mencegah fenomena tromboemboli.
d. Valvotomi mitral perkutan dengan Balon
Pertama kali diperkenalkan oleh Inoue pada tahun 1984 dan pada tahun
1994 diterima sebagai prosedur klinik. Mulanya dilakukan dengan dua balon
tetapi akhir-akhir ini dengan perkembangan dalam pembuatan balon, prosedur
valvotomi cukup memuaskan dengan prosedur satu balon.
15
Balon mitral valvuloplasty (BMV) adalah suatu tindakan minimal invasif
untuk memperlebar penyempitan katup mitral dengan melakukan dilatasi terhadap
katup mitral dengan menggunakan balon. Katup mitral adalah katup yang
menghubungkan atrium kiri dengan ventrikel kiri, sehingga darah akan berjalan
satu arah dari atrium kiri ke ventrikel kiri kemudian ke seluruh tubuh.
Penyempitan dari katup mitral (mitral stenosis) ini akan menyebabkan darah
tertahan di atrium kiri yang lama lama akan mengakibatkan pembesaran atrium
kiri, peningkatan tekanan di paru, peningkatan tekanan darah paru, dan akhirnya
kegagalan pompa dari ventrikel kanan bila tidak ditangani dengan baik. Penyebab
paling sering dari mitral stenosis adalah penyakit demam rematik, akibat dari
infeksi tenggorokan karena kuman Streptococus Hemolyticus grup A yang
kemudian akibat reaksi antigen-antibodi menyerang pada katup mitral.
Prosedur BMV
Tidak semua pasien dengan mitral stenosis dapat dilakukan tindakan
BMV. Pasien akan dilakukan ekokardiografi untuk mengevaluasi apakah
penyempitan katup mitralnya dapat diperlebar dengan tindakan BMV, dan dinilai
apakah terdapat bekuan darah di dalam ruang jantung. Bila tidak memenuhi
syarat, pasien biasanya akan dianjurkan untuk operasi.
Tindakan BMV dilakukan dengan pembiusan/ anastesi lokal di pangkal paha.
Setelah akses pembuluh darah vena didapatkan, maka melalui kateter sebuah
jarum Mullin dimasukkan ke atrium kanan untuk menembus sekat antara atrium
kanan dan kiri. Sekat yang ditembus ini sebagai jalan masuk dari balon untuk
mencapai katup mitral. Lubang sekat biasanya kecil dan tidak akan menimbulkan
efek apa apa terhadap pasien. Katup mitral akan diperlebar dengan cara inflasi
balon Inoue berkali-kali yang dievaluasi dengan ekokardiografi. Bila sudah
dianggap cukup balon akan dikeluarkan dari tubuh.
16
17
Download