BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Hubungan antara perilaku pemberian kredit oleh perbankan dan pergerakan harga
saham menjadi salah satu topik yang menarik untuk dibahas. Hal ini dikarenakan
dalam dasawarsa terakhir terdapat beberapa fenomena yang menggambarkan
hubungan kedua variabel ini. Fenomena tersebut salah satunya adalah krisis
keuangan yang menghantam perekonomian dunia, yaitu krisis keuangan Asia
Timur pada 1998 dan krisis keuangan global pada 2008. Krisis keuangan 2008,
dikenal dengan krisis keuangan global, diklaim memiliki efek penyebaran yang
lebih luas dibandingkan krisis keuangan Asia Timur pada 1998 karena melibatkan
negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, serta Asia
Pasifik (Mishkin dan Eakins, 2012: 216). Krisis keuangan global 2008
mendemonstrasikan bagaimana kredit pemilikan rumah yang macet di AS
(subprime mortgages) terlihat memiliki dampak kepada penurunan harga saham
yang diwakilkan dengan penurunan Dow Jones Industrial Average (DJIA) pada
Maret 2009 sebesar 53,8 persen dalam waktu kurang dari 1,5 tahun (Saunders dan
Cornett, 2011: 24).
Subprime
mortgages
merupakan
sebuah
inovasi
keuangan
dalam
pembentukan kelas peminjam kredit pemilikan rumah yang baru. Sebelum tahun
2000, kelas peminjam yang dapat memperoleh kredit pemilikan hunian adalah
kelas layak kredit (prime) (Mishkin, 2010: 207). Kemajuan teknologi komputer
1
dan teknik statistik yang dikenal dengan data mining, mendorong evaluasi
kuantitatif dari risiko kredit untuk suatu kelas baru dari kredit pemilikan hunian
yang lebih berisiko. Subprime mortgages merupakan kredit bagi peminjam
dengan catatan kredit yang kurang memenuhi syarat. Alt-A mortgages merupakan
kredit bagi peminjam dengan tingkat ekspektasi gagal bayar yang lebih tinggi dari
prime, tetapi dengan catatan kredit yang lebih baik dari peminjam subprime
(Mishkin dan Eakins, 2012: 211).
Kemudian, harga perumahan pun meningkat dan keuntungan pemberi
pinjaman menjadi tinggi, standar penerbitan bagi subprime mortgages turun ke
standar yang lebih rendah lagi. Peminjam yang lebih berisiko dapat memperoleh
kredit, dan jumlah dari kredit relatif terhadap nilai rumah, the loan-to-value
(LTV), meningkat (Mishkin dan Eakins, 2012: 213). Ketika harga aset meningkat
terlalu jauh dari fundamentalnya (terjadi penggelembungan harga), akhirnya
kenaikan harga perumahan tanpa disertai nilai fundamental tersebut mengalami
penurunan tajam. Penggelembungan harga yang dimaksud adalah kenaikan yang
tidak berkelanjutan pada harga suatu kelas dari aset, misalnya perumahan
(Hubbard dan O'Brien, 2012: 14). Dengan penurunan harga perumahan setelah
puncaknya pada 2006, keburukan pada sistem keuangan mulai terungkap.
Penurunan harga perumahan mendorong banyak subprime borrowers menemukan
bahwa kredit mereka sudah jauh melebihi nilai rumahnya (Mishkin, 2010: 209).
Ketika ini terjadi, pemilik rumah yang sedang berusaha, lebih memilih untuk pergi
dari rumah mereka dan menyerahkan rumah mereka kepada lembaga pemberi
pinjaman. Gagal bayar kredit pun melonjak tajam, akhirnya mendorong kepada
lebih dari satu juta kredit diambang penutupan.
Tanda-tanda terjadinya krisis di Amerika Serikat sebenarnya sudah tampak
pada awal tahun 2008. Pada Maret 2008, Bear Stearns yang telah banyak
berinvestasi pada sekuritas yang terkait subprime, terpaksa dijual kepada J. P.
Morgan Chase kurang dari 5 persen nilai perusahaan tersebut pada tahun
sebelumnya (Saunders dan Cornett, 2011: 25). Krisis tersebut dengan cepat
berubah menjadi resesi yang mengakibatkan jatuhnya pasar saham di AS. Kondisi
tersebut semakin diperparah dengan pernyataan kebangkrutan Lehman Brothers,
bank investasi dengan aset terbesar ke empat dan mempekerjakan 25.000 pegawai
pada 15 September 2008 (Mishkin, 2010: 211).
Krisis subprime mortgages yang dimulai pada Agustus 2007 mendorong
kepada salah satu kelesuan pasar saham terburuk dalam 50 tahun terakhir. Krisis
subprime mortgages memiliki suatu dampak negatif besar pada perekonomian
yang menuju penurunan prospek pertumbuhan perusahaan-perusahaan AS, dengan
demikian mengurangi tingkat pertumbuhan dividen (Mishkin, 2010: 152). Tingkat
pertumbuhan dividen yang rendah akan menurunkan harga saham. Perbaikan yang
tidak menentu bagi perekonomian AS dan pelebaran selisih kredit yang dihasilkan
dari krisis subprime mortgages juga akan meningkatkan required return dari
investasi pada saham (Mishkin dan Eakins, 2012: 354). Dengan begitu, kenaikan
pada required return akan menghasilkan penurunan pada harga saham. Pada tahap
awal krisis keuangan, penurunan pada prospek pertumbuhan dan selisih kredit,
juga akan menurunkan pasar saham. Dengan demikian, di pasar saham terjadi
penurunan lebih dari 40 persen dari nilai puncak pada tahun sebelumnya
(Mishkin, 2010: 152).
Krisis subprime mortgage di Amerika Serikat pada 2008 segera menyebar
ke berbagai negara, termasuk Indonesia. Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS
yang semula Rp9.000, segera berfluktuasi pada pertengahan September 2008.
Hingga akhir September 2008, rupiah terdepresiasi menjadi Rp12.650
(Bank
Indonesia, 2010). Terdepresiasinya rupiah tentu saja membuat khawatir
perusahaan-perusahaan yang memiliki ketergantungan tinggi terhadap bahan baku
impor, serta memiliki kredit luar negeri yang segera jatuh tempo. Menurunnya
nilai tukar rupiah mendorong peningkatan harga barang terutama untuk produkproduk elektronik. Pada 2008, tingkat inflasi di Indonesia sempat menyentuh
12,56 persen. Bank Indonesia (2010) juga mengumumkan pada Desember 2008
bahwa dalam kurun waktu lima bulan cadangan devisa milik Indonesia sudah
berkurang sebesar 15 persen menjadi USD51,6 miliar dari USD60,6 miliar pada
Juli 2008. Indikasi lain yang terjadi dari pasar uang Indonesia adalah penurunan
peringkat risiko gagal bayar Indonesia. Hal ini berarti risiko menyimpan surat
hutang dari pemerintah Indonesia menjadi semakin tinggi sehingga menjadi
disinsentif bagi investor.
Berbagai fakta tersebut merupakan pertanda sedang terjadinya krisis
keuangan di Indonesia. Krisis keuangan merupakan gangguan yang signifikan
pada aliran dana dari pemberi pinjaman kepada peminjam dana (Hubbard dan
O'Brien, 2012: 348) Krisis keuangan global ini juga berpengaruh kepada kinerja
indeks harga saham gabungan (IHSG) di bursa efek Indonesia (BEI) 1. Apalagi
pasar modal dan pasar uang di Indonesia masih didominasi oleh investor asing.
Akibatnya krisis keuangan seperti subprime mortgage dapat menyebabkan panic
selling oleh investor asing yang turut mempengaruhi keputusan investor domestik
untuk menjual sahamnya. Saham-saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) terus
mengalami koreksi akibat masih berlanjutnya tekanan dari Wall Street dan bursa
regional. Pada Oktober 2008, IHSG terkoreksi hingga 1.451,7 atau sebesar 10,38
persen, sehingga membuat otoritas bursa harus menutup perdagangan BEI selama
dua hari dari 8 Oktober hingga 10 Oktober 2008 (Bank Indonesia, 2010). Hal ini
dimaksudkan untuk melindungi para investor dari penurunan yang lebih jauh lagi.
BEI perlahan mulai bangkit setelah jatuh karena krisis yang melanda
perekonomian Indonesia. Kondisi ini didorong oleh beberapa faktor, yaitu
membaiknya
perekonomian
makro
Indonesia
yang
ditunjukkan
dengan
pertumbuhan PDB yang meningkat, nilai tukar rupiah yang stabil terhadap dolar
AS, inflasi yang relatif rendah dan net export yang terus naik (Bank Indonesia,
2008). Hal ini merupakan tanda positif bagi investor untuk kembali menanamkan
dananya di pasar modal Indonesia, sehingga harga saham-saham di BEI ikut
terangkat. Meskipun pasar modal telah menunjukkan kinerja yang semakin maju,
sektor perbankan tetap vital bagi perekonomian di negara berkembang dan di
beberapa negara maju. Bahkan, saham bukan merupakan sumber pendanaan
eksternal yang paling banyak digunakan. Perusahaan mengambil pinjaman dari
1
Bursa Efek Indonesia (BEI) merupakan hasil peggabungan antara Bursa Efek Surabaya ke Bursa
Efek Jakarta. BEI mulai beroperasi pada tanggal 1 Desember 2007 (Warsito, 2009).
bank dengan kategori pinjaman commercial and industrial (C&I) untuk
membiayai investasi jangka panjang, seperti membeli mesin dan peralatan, atau
untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek, seperti membiayai bahan baku
(Hubbard dan O'Brien, 2012: 286).
Salah satu dampak dari krisis ini adalah kemungkinan terjadinya bank
panics, yaitu suatu ketika berbagai bank jatuh secara bersamaan karena adanya
penyebaran rasa takut nasabah dari satu bank ke bank yang lainnya (Saunders dan
Cornett, 2011: 530). Dalam keadaan panik akibat kondisi bisnis yang memburuk
dan ketidakpastian kesehatan bank mereka, para nasabah takut akan keselamatan
depositonya, tidak mengetahui kualitas dari portofolio kredit bank, dan akhirnya
menarik deposito mereka hingga bank menjadi jatuh. Ketika sejumlah bank jatuh
pada periode waktu yang pendek, akan ada kehilangan produksi informasi dalam
pasar keuangan dan kehilangan langsung dari fungsi intermediasi keuangan bank.
Mishkin (2010) juga menambahkan bahwa menurunnya kredit bank selama krisis
juga mengurangi penawaran dana kepada kreditur, sehingga mendorong kenaikan
tingkat suku bunga yang lebih tinggi.
Hubungan perkembangan pasar saham dan perantara keuangan telah
meningkat secara signifikan untuk menentukan pembangunan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi yang sehat akan selalu disertai dengan pasar keuangan
yang sehat untuk menyebarkan pengaruh pertumbuhan menuju sektor riil.
Meningkatnya keberadaan perantara keuangan memainkan peranan yang penting
dalam menyediakan bantuan untuk perkembangan perusahaan (Karim, Lih, dan
Karim, 2012).
Sebagian besar indikator-indikator pasar saham memiliki korelasi yang
sangat tinggi dengan perkembangan sektor perbankan di mana sebagian besar
pasar-pasar saham negara maju cenderung memiliki sektor perbankan yang maju
juga (Demirguct-Kunt dan Levine, 2006). Perkembangan pasar saham memainkan
peranan yang penting dalam memprediksi pertumbuhan ekonomi masa depan
(Levine dan Zervos, 1998). Dengan demikian, ekonom meyakini bahwa harga
saham
dapat
merefleksikan
beragam
variabel
makroekonomi
untuk
mengindikasikan pembangunan ekonomi saat ini dan merupakan suatu alat
prediksi bagi pembangunan ekonomi masa depan. Akan tetapi, jika kemampuan
memprediksi pergerakan harga saham bisa diperolah dengan baik dari informasi
perilaku pemberian kredit oleh perbankan, ini berarti pasar modal tidak berjalan
dengan efisien dan begitu pula sebaliknya (Karim, Lih, dan Karim, 2012).
Kim dan Moreno (1994), Ibrahim (2006), dan Karim, Lih, dan Karim (2012)
mempelajari hubungan antara kredit bank dan harga saham. Kim dan Moreno
(1994) menemukan bahwa ada hubungan positif dari perubahan harga saham
terhadap kredit bank di Jepang. Ibrahim (2006) menemukan bahwa kredit bank
bereaksi positif terhadap kenaikan harga saham, tetapi tidak ada pengaruh dari
kredit bank terhadap harga saham. Sementara itu, Karim, Lih, dan Karim (2012)
mendapat hasil bahwa kredit bank tidak memainkan peranan signifikan dalam
mempengaruhi harga saham dan harga saham tidak memiliki pengaruh terhadap
aktivitas kredit bank.
Beragamnya hasil penelitian mengenai hubungan antara perilaku pemberian
kredit oleh perbankan dengan pergerakan harga saham yang telah disebutkan
diatas serta relatif belum banyaknya literatur yang membahas persoalan ini di
Indonesia membuat penulis tertarik melakukan penelitian yang berjudul Analisis
Hubungan Antara Perilaku Pemberian Kredit oleh Perbankan dan Pergerakan
Harga Saham: Studi Empiris di Indonesia 2005:7–2013:1. Dengan adanya
penelitian ini diharapkan akan menghasilkan suatu temuan yang menunjukkan ada
atau tidaknya hubungan antara pergerakan harga saham dan perilaku pemberian
kredit oleh perbankan di Indonesia.
1.2. Rumusan Masalah
Setelah krisis keuangan Asia 1998 terjadi, begitu banyak literatur yang membahas
tentang krisis ekonomi dan keuangan. Penelitian-penelitian tersebut mencakup
integrasi keuangan internasional, efisiensi kebijakan moneter, dan efficient market
hypothesis (EMH). Literatur mengenai krisis ekonomi dan keuangan semakin
bertambah ketika krisis tersebut ternyata kembali terjadi pada tahun 2008 dengan
skala efek yang lebih besar karena mencakup Amerika Serikat, negara-negara
Eropa, dan Asia Pasifik, sehingga dinamakan krisis keuangan global. Namun,
relatif belum banyak penelitian yang berfokus pada hubungan antara perilaku
pemberian kredit oleh perbankan dengan pergerakan yang terjadi pada harga
saham. Turunnya IHSG di pasar modal yang disertai dengan kontraksi simpanan
nasabah dan pemberian kredit oleh perbankan merupakan hal yang menarik untuk
diteliti. Turunnya IHSG segera direspons oleh investor karena muncul sentimen
ketidakpercayaan dalam menanamkan modal di Indonesia. Kemudian, terdapat
pula fenomena bank panics dan kontraksi yang terjadi pada kredit bank karena
banyaknya bank yang bermasalah seperti yang terjadi pada krisis 1998.
Kondisi keuntungan perusahaan secara normatif dapat dicerminkan melalui
harga saham. Apabila perekonomian sedang baik, investor akan berekspektasi
bahwa pendapatan dan dividen akan naik, sehingga harga saham pun akan
meningkat (Jones, 2007: 367). Sebaliknya, dengan turunnya harga saham
menyebabkan ekspektasi investor tentang kinerja perusahaan menjadi turun. Jika
hal ini terjadi karena kontraksi perekonomian dan penurunan kinerja terjadi pada
semua perusahaan, maka perbankan juga akan mengurangi kredit yang diberikan
yang dapat menyebabkan kontraksi kredit secara keseluruhan (Kim dan Moreno,
1994). Ketika pertumbuhan ekonomi melambat atau terjadi kontraksi, inflasi dan
suku bunga cenderung tinggi. Kenaikan inflasi akan menyebabkan kontraksi di
pasar modal. Tingginya suku bunga dan perekonomian yang melambat akan
menyebabkan permintaan kredit berkurang. Oleh karena itu, menarik untuk
melihat bagaimana pengaruh perilaku perbankan dalam memberikan kredit
dengan pergerakan harga saham.
1.3. Hipotesis
Berdasarkan uraian tentang hubungan antara perilaku perbankan dalam
memberikan kredit dengan pergerakan harga saham, dapat diajukan hipotesis
sebagai berikut:
H:
Terdapat hubungan kausalitas satu arah antara pergerakan harga saham
terhadap perilaku pemberian kredit oleh perbankan.
Hipotesis ini diharapkan menunjukkan perubahan signifikan pada pergerakan
harga saham secara positif akan mempengaruhi perilaku pemberian kredit oleh
perbankan di Indonesia.
1.4. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara perilaku pemberian
kredit oleh perbankan dengan pergerakan harga saham di Indonesia pada periode
Juli 2005-Januari 2013.
1.5. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi pemerintah dan bagi
akademisi sebagai berikut:
1.
Bagi pemerintah
Dapat mengambil kebijakan dengan melihat secara tepat hubunganhubungan yang terjadi antara variabel tersebut.
2.
Bagi akademisi
Memberikan pemahaman bagi pengembangan penelitian sejenis dan
menyediakan bukti empiris mengenai hubungan antara perilaku pemberian
kredit oleh perbankan terhadap pergerakan harga saham di Indonesia.
Download