1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dari tahun

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dari tahun ke tahun, penyakit yang ada semakin kompleks dan obat-obat baru
mulai banyak ditemukan. Pencarian dan penemuan obat baru, baik dari bahan
alam maupun sintetik terus dilakukan untuk memperoleh obat dengan aktivitas
terapi paling optimum dan efek samping paling minimum. Salah satu upaya yang
dilakukan adalah mengetahui potensi aktivitas farmakologi, mekanisme aksi dan
spesifitas tempat kerja suatu senyawa obat sehingga ke depannya dapat
dimanfaatkan dengan lebih optimal.
Di antara banyak senyawa alam di Indonesia yang telah diketahui memiliki
aktivitas farmakologis adalah kurkumin. Kurkumin dengan nama IUPHAC 1,7bis(4’-hidroksi-3’-metoksifenil)-1,6-heptadien-3,5-dion adalah komponen utama
rimpang tanaman Curcuma sp. Curcuma sp. mengandung senyawa yang dikenal
sebagai
kurkuminoid,
terdiri
dari
kurkumin,
demetoksikurkumin
dan
bisdemetoksikurkumin. Kurkumin telah banyak diteliti dan dipublikasikan
memiliki aktivitas farmakologis antara lain antioksidan (Sardjiman, 2000),
antiinfeksi (Sajithlal et al., 1998), antiinflamasi (Sardjiman, 1997), antibakteri
(Sardjiman, 2000) dan antikanker (Bharti et al., 2003). Senyawa kurkumin selalu
berada dengan dua substituen lain yang berbeda yaitu demetoksikurkumin dan
bisdemetoksikurkumin, sehingga untuk mendapatkan kurkumin dalam jumlah
banyak sangat sulit dilakukan. Seiring dengan berkembangnya dunia penelitian,
1
2
telah disintesis senyawa analog kurkumin untuk dapat dikembangkan lebih lanjut.
Senyawa analog kurkumin yang telah disintesis di Fakultas Farmasi UGM antara
lain: Pentagamavunon-0 (PGV-0), PGV-1, PGV-2, Heksagamavunon-0 (HGV-0),
HGV-1, Gamavuton-0 (GVT-0), mono-GVT-0, K2GVT-0 dan diasetil-GVT-0.
Pentagamavunon-1 (PGV-1) dengan nama kimia 2,5-bis(4’-hidroksi-3’,5’dimetil-benziliden)-siklopentanon dan rumus molekul
23
24
O3 merupakan
analog kurkumin dengan substituen inti aromatis berupa gugus 4-hidroksi dan 3,5dimetil. Senyawa ini adalah modifikasi struktur kurkumin pada rantai tengahnya,
gugus asetil-aseton diganti dengan siklopentanon. PGV-1 telah diuji aktivitas
farmakologinya secara in vivo dan in vitro di Fakultas Farmasi UGM sebagai
antioksidan, antibakteri, antiinflamasi melalui penghambatan siklooksigenase dan
antikanker (Sardjiman, 2003; Meiyanto, 2006). Namun, potensi PGV-1 dan lead
compound-nya (kurkumin) sebagai obat untuk brain disorder belum pernah digali
karena dua senyawa ini memiliki kelarutan yang kurang baik di dalam cairan
biologis dan tidak efektif dalam menembus blood brain barrier (BBB).
Untuk meningkatkan kelarutan dan bioavailibilitas kurkumin dan PGV-1 yang
diharapkan mampu meningkatkan aktivitas farmakologi, maka dikembangkan
teknologi formulasinya melalui pembuatan formulasi nanopartikel kurkumin dan
nanopartikel PGV-1; metode self nano emulsfying drug delivery system
(SNEDDS) dengan kitosan sebagai pembawa. Uji in vitro dengan sel kanker
menunjukkan bahwa sediaan nanokitosan kurkumin dan nanokitosan PGV-1
mampu menembus dinding sel kanker dan sel normal dengan lebih efektif sebagai
antiinflamasi. Penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa pemberian nanoemulsi
3
kurkumin secara per oral memberikan konsentrasi tinggi di dalam plasma darah
dibandingkan kurkumin tanpa formulasi nanopartikel (Mancuso et al., 2011).
Nanokitosan kurkumin memiliki aktivitas antiinflamasi lebih tinggi
dibandingkan dengan senyawa aslinya (senyawa tanpa formulasi nanopartikel)
(Yin et al., 2011). Selain itu juga diketahui bahwa nanokitosan kurkumin dan
nanokitosan PGV-1 mampu menembus BBB dilihat dari struktur molekulnya
yang bersifat non-polar dan lipofil. Penelitian yang dilakukan ini dapat
memberikan data praklinik dari senyawa uji yang digunakan, mengingat untuk
menjadi obat brain disorder diperlukan tinjauan dari data uji praklinik dan uji
klinik senyawa bersangkutan. Potensi nanokitosan kurkumin dan nanokitosan
PGV-1 sebagai kandidat brain disorders treatment agent baru dapat dilihat dari
aktivitas antioksidan dan kemampuannya menembus BBB. Nanokitosan kurkumin
dan nanokitosan PGV-1 akan menambah daftar senyawa obat untuk penyakit pada
SSP yang selama ini masih sangat terbatas dalam hal jumlah maupun jenisnya.
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi terhadap penemuan
dan pengembangan obat baru berbasis struktur kurkumin yaitu sebagai brain
disorder treatment agent baru berupa kontribusi ketersediaan data uji praklinik
senyawa kurkumin dan PGV-1 sebagai brain disorder treatment agent model uji:
penurunan fungsi kognitif dan gangguan interaksi sosial pada mencit.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka pada penelitian ini
dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
4
1.
Apakah
pemberian
nanokitosan
kurkumin
dan
nanokitosan
PGV-1
mempunyai pengaruh terhadap fungsi kognitif dan gangguan interaksi sosial
pada mencit jantan dewasa yang diinduksi etanol?
2.
Bagaimana pengaruh pemberian nanokitosan kurkumin dan nanokitosan
PGV-1 dalam variasi dosis tertentu pada fenotipe penurunan fungsi kognitif
dan gangguan interaksi sosial dari brain disorders?
C. Tujuan Penelitian
1.
Untuk mengetahui
pengaruh
pemberian
nanokitosan kurkumin
dan
nanokitosan PGV-1 terhadap fungsi kognitif dan gangguan interaksi sosial
pada mencit jantan dewasa yang diinduksi etanol.
2.
Untuk mengetahui dosis pemberian nanokitosan kurkumin dan nanokitosan
PGV-1 yang memberikan pengaruh terhadap fenotipe brain disorders yang
berupa penurunan fungsi kognitif dan gangguan interaksi sosial pada mencit
jantan dewasa yang diinduksi etanol.
D. Tinjauan Pustaka
1.
Kurkumin
Kurkumin dengan nama IUPHAC 1,7-bis(4’-hidroksi-3’-metoksifenil)-1,6-
heptadien-3,5-dion adalah komponen utama rimpang tanaman Curcuma sp.
Curcuma sp. adalah anggota Zingiberaceae yang berasal dari Asia Tenggara
(Sardjiman, 1997; Chattopadhyay et al., 2004). Curcuma sp. mengandung
5
senyawa
yang
dikenal
sebagai
kurkuminoid,
terdiri
dari
kurkumin,
demetoksikurkumin dan bisdemetoksikurkumin dengan struktur molekul seperti
terlihat pada gambar 1 (Sardjiman, 2000; Jurenka, 2009).
Gambar 1. Struktur kurkumin (1), demetoksikurkumin (2) dan bisdemetoksikurkumin
(3) (Sardjiman, 2000)
Penelitian tentang kurkumin sebagai bahan aktif untuk berbagai penyakit
telah banyak dilakukan selama dua dekade belakangan ini. Di antara penelitianpenelitian tersebut antara lain melaporkan tentang efek kurkumin sebagai
antioksidan (Sardjiman, 2000), antiinfeksi (Sajithlal et al., 1998), antiinflamasi
(Sardjiman, 1997), antibakteri (Sardjiman, 2000), antikolesterol (Bourne et al.,
1999), antikanker (Bharti et al., 2003) dan anti HIV (Mazumder et al., 1997).
Kurkumin yang diisolasi dari Curcuma sp. sangat potensial sebagai
antioksidan dikarenakan oleh gugus fenolik dan 1,3-diketon. Antioksidan adalah
zat yang dapat menunda atau mencegah terjadinya reaksi oksidasi radikal bebas
dalam oksidasi lipid (Buck, 1991). Senyawa antioksidan alami polifenolik ini
bersifat multifungsional dan dapat berfungsi sebagai penangkal radikal bebas
seperti superoksida dan radikal hidroksil, pengkelat logam seperti besi,
6
menghambat aktivitas enzim oksidatif seperti sitokrom P450 dan peredam
terbentuknya oksigen radikal (Majeed et al., 1995). Aktivitas antioksidan gugus
fenolik ditunjukkan dengan adanya penghambatan lipid peroksidasi dan
penangkal radikal bebas seperti 1,1’-diphenyl picryl hydrazyl (DPP ) dan 2,2’azinobis (3-ethyl-benthiazoline-6-sulphonic acid (ABTS+) (Sardjiman, 1997;
Venkatesan et al., 2003).
Sifat kurkumin dalam menghambat peroksidasi lipid yang terinduksi oleh
berbagai agen selular atau zat asing sangat berperan dalam mekanisme aktivitas
kurkumin sebagai antiinflamasi, antitumor dan aktivitas farmakologi lainnya
(Nurrochmad, 2004). Aktivitas antiinflamasi kurkumin dikaitkan dengan ekspresi
berlebih dari enzim siklooksigenase tipe 2 (COX-2) terutama pada sel kanker
kolon, kanker paru-paru dan kanker payudara (Aggarwal et al., 2005). Aktivitas
antiinflamasi dari kurkumin selain melalui penghambatan enzim COX dapat juga
melalui enzim lipoksigenase (LOX) (Nurrochmad, 2004). Dengan adanya
penghambatan terhadap enzim COX, maka produksi berlebih prostanoid dapat
dicegah dan akan mengurangi efek inflamasi atau mengurangi proliferasi sel
kanker dan mempercepat proses apoptosis (Nurrochmad, 2004). Penghambatan
enzim LOX akan mengurangi produk LOX seperti asam hidroksieikosatetraenat
yang terbukti memacu penyebaran sel kanker dan berpotensi merangsang
terjadinya metastasis (Nurrochmad, 2004).
Kurkumin mampu menghambat proliferasi pada beberapa jenis sel tumor
termasuk di antaranya sel B dan sel T Leukemia, kanker kolon dan epidemoid
carcinoma cells (Bharti et al., 2003). Kurkumin dapat menghambat proliferasi sel
7
kanker payudara (jenis BT20, SKBR3, MCF-7, T47D dan ZR75-I) secara in vitro.
Efek antiproliferasi ini sangat tergantung pada reseptor estrogen (ER) (Aggarwal
et al., 2005). Penghambatan aktivasi pada reseptor estrogen ini akan
mengakibatkan penghambatan aktivitas beberapa faktor transkripsi melalui
induksi RNA polimerase yang dapat menghambat proliferasi sel kanker.
Mekanisme antiproliferasi kurkumin pada sel mieloma dikaitkan dengan
kemampuan kurkumin menghambat nuclear factor-kappa В (NF-κВ) (Bharti et
al., 2003). NF-κВ merupakan faktor transkripsi gen-gen seperti Bcl-2 dan Bcl-XL
yang bersifat antiapoptosis dan cyclin D1 yang bersifat antiproliferatif. Efek
kurkumin pada penghambatan NF-κВ dapat memacu terjadinya apoptosis dan
menekan terjadinya proliferasi. Kurkumin dapat memacu aktivasi enzim caspase7 dan caspase-9 yang dapat menstimulasi proses apoptosis pada sel mieloma
(Bharti et al., 2003).
Kurkumin menunjukkan aktivitas terhadap berbagai penyakit neurologis,
termasuk Alzheimer Disease (AD) (Lim et al., 2001), sklerosis (Natarajan &
Bright, 2002), penyakit Parkinson (Zbarsky et al., 2005), epilepsi (Sumanont et
al., 2004), cedera otak (Ghoneim et al., 2002), terkait usia degenerasi otak
(Calabrese et al., 2003), schizopherenia (Bishnoi et al., 2008), nyeri neuropatik
(Sharma et al., 2006) dan depresi (Xu et al., 2005).
AD adalah penyakit neurodegeneratif yang melibatkan peradangan, kerusakan
oksidatif dan akumulasi beta-amyloid (Abeta). Plak Abeta adalah fragmen protein
tidak larut yang merupakan hasil pemotongan yang tidak sempurna dari suatu
protein yang disebut amyloid precursor protein (APP) (Huang et al., 1992).
8
Perbedaan otak normal dan otak pada penderita AD terlihat seperti gambar 2.
Penyakit ini merusak memori dan kemampuan berpikir dari waktu ke waktu. Pada
awalnya, memori jangka pendek mulai menurun ketika sel-sel di hipokampus
mulai mengalami kerusakan dan kematian.
Gambar 2. Otak normal dan otak penderita AD (Lim et al., 2001)
Penelitian Lim et al., (2001), menunjukkan bahwa kurkumin pada dosis
rendah menurunkan plak Abeta secara signifikan (43%-50%). Kurkumin
menurunkan plak Abeta, protein teroksidasi dan mencegah penurunan fungsi
kognitif (Yang et al., 2005). Kemampuan kurkumin dalam kelasi logam-logam
seperti Cu dan Fe dapat mencegah terjadinya agregasi amyloid. Sejauh ini
penelitian tentang efek kurkumin di otak adalah mengurangi disfungsi kognitif,
kerusakan saraf sinaptik, deposisi plak amyloid dan kerusakan oksidatif (Baum &
Ng, 2004).
9
2.
Pentagamavunon-1
Pengembangan studi hubungan struktur dan aktivitas kurkumin yang
dilakukan oleh Tim Molnas Fakultas Farmasi UGM memperoleh senyawa analog
kurkumin antara lain pentagamavunon-1 (PGV-1) atau 2,5-bis(4’- hidroksi-3’,5’dimetil-benzilidin)-siklopentanon (No. Paten: US 6777477 B2). Senyawa ini
pertama kali disintesis oleh Sardjiman (1997). PGV-1 dengan struktur molekul
seperti terlihat pada gambar 3, merupakan analog kurkumin dengan substituen inti
aromatis berupa gugus 4-hidroksi dan 3,5-dimetil. PGV-1 menunjukkan aktivitas
antiproliferatif terhadap sel kanker payudara T47D lebih kuat dibanding kurkumin
(Da’i, 2007; Meiyanto, 2006). Penelitian lain menunjukkan bahwa modifikasi
kurkumin pada inti aromatis dengan gugus 4-hidroksi dan 3,5-dimetil memiliki
aktivitas penangkap radikal
50
sebesar 94,26%) (Youssef et al., 2004). Banyak
penelitian-penelitian menunjukkan bahwa PGV-1 memiliki aktivitas yang mirip
bahkan beberapa lebih baik dibanding kurkumin dan analog kurkumin lainnya.
H3C
CH3
O
OH
HO
CH3
H3C
Gambar 3. Struktur molekul PGV-1 (Sardjiman, 1997)
Pada hasil penelitian yang dilaporkan Orbayinah et al., (2003), menunjukkan
perbedaan
kemampuan
analog
kurkumin
yaitu
PGV-0,
PGV-1
dan
Heksagamavunon-1 (HGV-1) dalam menghambat aktivitas enzim COX. Senyawa
PGV-0 mempunyai daya hambat enzim COX lebih kecil dibandingkan PGV-1
dan HGV-1 yang mempunyai gugus metil pada cincin aromatiknya. Hal ini
mungkin disebabkan karena gugus metil mempunyai halangan sterik terhadap
10
gugus hidroksi fenolik yang lebih kecil daripada gugus metoksi sehingga PGV-1
dan HGV-1 lebih mudah berikatan dengan sisi aktif enzim COX.
PGV-1 mempunyai sifat asam lemah, lebih kaku dan lebih mudah larut dalam
lipid daripada kurkumin yang membuatnya lebih mudah untuk menembus
membran sel dan lebih stabil ketika berinteraksi dengan reseptor. Berdasarkan
penelitian lebih lanjut mengenai isomer geometrik dengan menggunakan analisis
X-ray crystallographic menunjukkan bahwa PGV-0 dan PGV-1 mempunyai
isomer geometrik E-E. Oleh karena itu berdasarkan hasil penelitian ini diketahui
bahwa substituen dimetil pada cincin aromatis, PGV-1 memainkan suatu peran
penting pada aktivitas sitotoksik (Dai, 2007).
PGV-0 dan PGV-1 menunjukkan aktivitas antiproliferasi melalui modulasi
perkembangan siklus sel (Meiyanto et al., 2006; Dai et al., 2007). PGV-1 lebih
bagus daripada kurkumin dan PGV-0 dalam menginduksi apoptosis pada sel
T47D. PGV-1 menunjukkan suatu profil yang berbeda dengan kurkumin dan
PGV-0 dalam aktivitas antiproliferasi. PGV-1 (2,5 M) dapat untuk memodulasi
perkembangan siklus sel melalui penghentian G2/M daripada penghentian G-1,
diikuti dengan hyperploidy sel dan kerusakan mitosis pada sel T47D (Dai et al.,
2007).
PGV-1 juga berinteraksi dengan suatu polimer tubulin yang menimbulkan
penghambatan depolimerisasi mikrotubula seperti yang ditunjukkan dengan
kondensasi tubulin. Fenomena ini menyerupai aktivitas taxol sebagai agen anti
mikrotubul (Dai et al., 2007). Hasil temuan ini menunjukkan bahwa PGV-1
berperan sebagai suatu inhibitor mikrotubular, dapat dikelompokkan sebagai suatu
11
agen anti mikrotubular dan berpotensi untuk dikembangkan sebagai agen anti
kanker (Widaryanti et al., 2008). Sejauh ini, belum banyak dilakukan penelitian
tentang aktivitas terapetik dari PGV-1. Penelitian tentang efektivitas nanopartikel
PGV-1 dalam lingkup neuro science belum pernah dilakukan.
3.
Uji Perilaku
a. Social interaction test
Social interaction test digunakan untuk mengetahui gangguan neuropsikiatrik
yang dikarakteristikkan pada gangguan perilaku sosial dan proses pengenalan
sosial, meliputi depresi, autism spectrum disorders (ASD), bipolar disorders,
obsessive-compulsive disorders dan schizhoprenia (Kaidanovich-Beilin et al.,
2011). Social interaction test adalah hasil dari kelompok riset di Universitas North
Carolina, dalam konsultasi dengan dokter, terapis dan tenaga profesional lainnya
di bidang autisme yang mencoba merancang serangkaian tes perilaku mencit
untuk model aspek-aspek tertentu dari autis (Moy et al., 2004).
Gangguan dalam interaksi sosial dan komunikasi adalah indikator diagnostik
utama dalam ASD (American Psychiatric Association, 1994). Autisme dalam hal
ini dikaitkan dengan gangguan interaksi sosial yang ditandai dengan kelainan
perilaku pada tiga aspek: hubungan sosial, komunikasi dan aktivitas motorik
(American Psychiatric Association, 1994).
12
Gambar 4. Alat uji social interaction test
Penelitian Moy et al (2004) memberikan gambaran uji perilaku pada mencit
menggunakan alat social interaction test yang terdiri dari 3 kompartemen seperti
terlihat pada gambar 4. Terdapat 2 sesi tes pada uji perilaku ini. Pada tahap
pertama disebut social novelty, menggambarkan proses awal pengenalan sosial.
Mencit diberikan pilihan antara berinteraksi dengan kurungan berisi mencit
stranger yang ada di satu sisi kompartemen atau tetap sendirian di kompartemen
tengah atau di kompartemen seberang berinteraksi dengan kurungan kosong.
Mencit dalam posisi di kompartemen tengah, tidak dianggap dalam penilaian uji
perilaku. Kompartemen tengah yang ada dalam uji ini berfungsi sebagai ruang
mencit uji untuk berpikir dalam menentukan pilihan untuk berinteraksi. Mencit
stranger ditempatkan di kurungan yang memungkinkan kontak visual, auditori
dan penciuman, tetapi menghalangi interaksi agresif atau seksual. Interaksi yang
dinilai disini adalah mencit uji mendekat sampai menyentuh kurungan. Berada
dalam kompartemen yang terdapat kurungan, namun tidak menyentuh kurungan
tidak dianggap sebagai interaksi. Parameter yang diamati pada sesi pertama
meliputi durasi dan frekuensi berinteraksi dengan kurungan berisi stranger 1 serta
13
durasi dan frekuensi berinteraksi dengan kurungan kosong (Kaidanovich-Beilin et
al., 2011). Penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa sebagian besar, tetapi
tidak semua, mencit memilih untuk menghabiskan lebih banyak waktu
berinteraksi dengan mencit stranger 1.
Tahap kedua dari uji ini disebut social affiliation, yaitu menggambarkan uji
preferensi untuk kebaruan interaksi sosial. Dalam hal ini, mencit diberi pilihan
antara mencit asing dari tahap pertama (stranger 1) dan mencit asing yang benarbenar baru (stranger 2). Pada sesi ini parameter-parameter yang diamati adalah
durasi dan frekuensi berinteraksi dengan kurungan berisi stranger 2 serta durasi
dan frekuensi berinteraksi dengan kurungan berisi stranger 1 (Kaidanovich-Beilin
et al., 2011). Penelitian terdahulu menyatakan bahwa sebagian besar, tetapi tidak
semua, mencit normal lebih banyak menghabiskan waktu dengan kurungan berisi
mencit stranger 2 daripada kurungan berisi mencit stranger 1 (KaidanovichBeilin et al., 2011).
b. Radial 8-arm maze test (Tarantino & Bucan, 2000)
Radial 8-arm maze test digunakan untuk mengetahui adanya brain disorder
yang berupa deficit in learning and memory atau penurunan fungsi kognitif
(Tarantino & Bucan, 2000). Pada uji ini akan dinilai memori belajar dan
mengingat ruang dengan melihat waktu yang dihabiskan dalam mencari makanan
di ujung akhir dari ke delapan lengan. Alat uji radial 8-arm maze test seperti
terlihat pada gambar 5.
Hewan uji ditempatkan pada tengah alat, selama 6 menit dibiarkan untuk
mengeksplorasi ruang mencari makanan. Tedapat makanan (pelet) tersembunyi
14
pada akhir ujung lengan yang diletakkan menurut pola uji (Seo et al., 2013).
Terdapat 4 pola yaitu:
1) N-R-N-R-N-R-N-R
No reward (N) adalah tangan yang tidak berisi makanan, sedangkan Reward
(R) adalah tangan yang terdapat makanan. Pola ini berupa peletakan makanan
yang berseling satu pada tiap tangan. Tangan yang tidak berisi makanan
ditutup pada pintunya.
2) RR-NN-RR-NN
Pola ini berupa peletakan makanan (sebagai reward) yang berseling dua
pada tiap tangan di mana tangan yang tidak berisi makanan ditutup pada
pintunya.
3) NN-RRRR-NN
Pola peletakan makanan yang mana 4 tangan berisi makanan diapit oleh 2
tangan tanpa makanan dengan pintu yang ditutup.
4) RR-NNNN-RR
Pola peletakan makanan yang mana 4 tangan tanpa makanan dengan pintu
yang ditutup diapit oleh 2 tangan yang masing-masing berisi makanan.
Pola yang digunakan dalam uji perilaku ini berperan dalam menguji aktivitas
belajar dan mengingat. Dilakukan lebih dari 1 macam penyusunan pelet sehingga
akan memaksimalkan kerja mencit uji dalam belajar dan mengingat (TarantinoBucan, 2000). Fungsi belajar disini berkaitan dengan motivasi mencit dalam
mencari makanan, didukung dengan kemampuan olfaktori mencit uji mencium
pelet yang tersembunyi.
15
Gambar 5. Radial 8 arm-maze
Untuk analisis perilaku, memasuki lengan yang mengandung pelet dianggap
sebagai pilihan yang tepat, memasuki lengan tanpa pelet dianggap sebagai
kesalahan referensi memori dan masuk kembali dari lengan yang dipilih
sebelumnya dianggap kesalahan kerja memori (Sutula et al., 1995).
Uji perilaku dengan alat ini dapat menggambarkan adanya penurunan fungsi
kognitif pada hewan coba. Menurut Shaffer (1989), perkembangan kognitif adalah
perubahan yang terlihat pada kemampuan dan keterampilan mental pada selang
waktu tertentu, secara khusus perubahan yang timbul pada kegiatan mental seperti
perhatian, persepsi, belajar, berpikir dan mengingat. Fungsi kognitif ini berkaitan
dengan proses belajar dan ingatan. Proses belajar dapat diartikan sebagai
modifikasi yang permanen dari perilaku yang terjadi sebagai akibat dari latihan,
pengalaman dan observasi. Ingatan dapat diartikan sebagai kemampuan untuk
menerima informasi dan mengubah perilaku sesuai dengan kondisi lingkungan.
Mengingat merupakan kemampuan untuk menyimpan dan menggunakan kembali
pengetahuan yang telah dipelajari sebelumnya secara sadar (Jared, 2010).
16
Banyak daerah dan struktur di otak sebagaimana korteks serebri juga
berperan dalam belajar dan mengingat. Ingatan didistribusikan secara berlebihan
di daerah korteks. Hal-hal yang berasal dari ingatan jangka pendek dapat diubah
untuk disimpan menjadi ingatan jangka panjang oleh hipokampus. Hipokampus
(terletak di antara lobus temporal otak) dan bagian media lobus temporal (bagian
yang terletak paling dekat dengan garis tengah badan) juga berperan dalam proses
penggabungan ingatan (Sutula et al., 1995).
Pada mencit, ada daerah yang berperan dalam proses penyimpanan informasi
yaitu hipokampus. Pada tikus dan mencit, hipokampus berperan dalam
mempelajari spatial map. Hipokampus memiliki tiga fungsi utama yang terkait
dengan fungsi inhibisi, memori, dan spasial. Fungsi inhibisi diperoleh dari hasil
observasi yang menyebutkan bahwa hewan dengan kerusakan hipokampus akan
lebih hiperaktif. Hasil observasi lain menyebutkan bahwa hewan dengan
kerusakan hipokampus akan mengalami kesulitan untuk menghambat respon yang
sebelumnya telah dipelajari (McNaughton & Gray, 2000). Sedikit kerusakan pada
hipokampus akan membawa dampak yang besar pada perilaku hewan uji
(Carlson, 2004).
4.
Otak dan Sawar Darah Otak
Otak adalah organ yang mengkonsumsi 20% oksigen dari tubuh meskipun
porsinya hanya 2% dari berat badan tubuh.
Dalam penuaan normal, otak
mengakumulasi ion-ion seperti besi (Fe), tembaga (Cu) dan zink (Zn). Akibatnya,
otak membutuhkan antioksidan yang mengontrol dan mencegah pembentukan
17
reactive oxygen species (ROS) (Smith et al., 2007). Di dalam otak terdapat jutaan
neuron atau saraf-saraf. Neuron dalam SSP berkomunikasi menggunakan
kombinasi sinyal kimia dan listrik. Neuron berfungsi menghantarkan impuls atau
sinyal dari reseptor ke pusat saraf dan meneruskannya ke efektor. Neuron tersusun
atas badan sel saraf, dendrit, dan akson. Akson berfungsi menghantarkan impuls
dari badan sel saraf menuju neuron lain. Agar impuls dapat disampaikan ke sistem
saraf pusat dan efektor, sel-sel saraf akan saling berhubungan melalui sinapsis.
Sinapsis adalah titik temu antara terminal akson salah satu neuron dengan neuron
lain. Regulasi yang tepat dari sinapsis dan akson ini penting untuk penghantaran
sinyal saraf yang efektif (Abbott, 1992).
Sawar darah otak atau yang lebih dikenal dengan Blood Brain Barrier (BBB)
adalah struktur membran yang secara primer berfungsi untuk melindungi otak dari
bahan-bahan kimia dalam sirkulasi darah dan mencegah masuknya makromolekul
masuk ke otak, di mana fungsi metabolik masih dapat dilakukan. Gambaran
skematis dari BBB seperti terlihat pada gambar 6. Sawar darah otak ini terdiri dari
sel-sel endotelial, yang tersusun sangat rapat di kapiler otak. Kepadatan yang
tinggi ini membatasi lewatnya substansi-substansi melalui aliran darah (Wolburg
et al., 2009).
18
Gambar 6. Tight Junction Blood Brain Barrier (Wolburg et al., 2009)
Dinding-dinding kapiler dibuat dari sel-sel endotel yang memiliki celah-celah
kecil. Bahan kimia yang larut dapat melewati celah ini, dari darah ke jaringan atau
dari jaringan ke darah. Di otak, sel-sel endotel ini tersusun rapat dan disebut
dengan tight junction. Adanya tight junction membuat gerakan molekul-molekul
yang menuju dan dari otak terhambat. Masuknya molekul-molekul obat ke dalam
otak dapat melalui mekanisme difusi pasif, ABC Transporter Efflux, Solute
Linked-Carriers (SLC), Transitosis dan migrasi sel mononuklear. Difusi pasif
dapat terjadi apabila molekul obat bersifat non-polar dan larut dalam lipid. Pada
ABC Transporter Efflux, melibatkan transporter seperti MRP1 atau MRP2 dalam
menembus tight junction. SLC terjadi apabila molekul obat berikatan dengan
carrier misalnya glukosa, peptida kecil atau asam amino. Carrier tersebut akan
19
mempermudah masuknya obat ke dalam otak. Transitosis adalah mekanisme
transport obat melewati BBB dengan di perantarai reseptor yang sesuai.
Sedangkan migrasi sel mononuklear adalah mekanisme transport obat melewati
BBB tanpa perantara, menyerupai difusi pasif namun melibatkan migrasi sel
mononuklear yang mengandung molekul obat (Wolburg et al., 2009).
Gambar 7. Mekanisme transpor obat melewati BBB (Wolburg et al., 2009)
5.
Nanokitosan
Nanopartikel didefinisikan sebagai partikel dengan diameter lebih kecil dari
100 nm. Material atau struktur yang mempunyai ukuran nano akan mempunyai
sifat-sifat yang berbeda dari material aslinya. Nanopartikel memiliki luas
permukaan yang besar sehingga penyerapan bahan aktif meningkat (Huang et al.,
1992). Karakteristik spesifik dari nanopartikel bergantung pada ukuran, distribusi,
morfologi, dan fasenya. Seiring berkembangnya teknologi, nanopartikel semakin
banyak digunakan dalam sistem pembawa obat untuk melewati hambatan organ
20
seperti sawar darah otak (Hosokawa, 2007). Kurkumin dan pentagamavunon
(PGV) merupakan salah satu contoh kandidat obat yang menerapkan teknologi
nanopartikel sebagai upaya untuk memperbaiki bioavailibilitasnya (Jayanti,
2011).
Keuntungan menggunakan nanopartikel sebagai penghantar obat di antaranya
ukuran partikel dan karakteristik permukaannya mudah dimanipulasi sesuai target
sasaran; mengurangi dosis pemberian; mempertahankan pelepasan obat;
meningkatkan efikasi terapi; mengurangi efek samping; penargetan ke jaringan
atau organ tertentu dan sistem ini dapat dipakai untuk berbagai rute pemberian
termasuk oral maupun parenteral (Mohanraj & Chen, 2006).
Kriteria polimer yang ideal sebagai pembawa dalam formulasi nanopartikel
adalah mudah untuk disintesis dan dikarakteristik, biokompatible, biodegradable,
memiliki respon imun yang minimum, sifat toksisitasnya yang rendah, larut air,
dan tidak mahal untuk pembuatan skala besar, dapat diaplikasikan untuk berbagai
obat, protein, dan polinukleotida (Tiyaboonchai, 2003).
Self Nano Emulsfying Drug Delivery System SNEDDS adalah sistem yang
terdiri dari campuran minyak, surfaktan dan ko-surfaktan yang dapat membentuk
nanoemulsi secara spontan ketika bertemu fase air melalui agitasi yang ringan
dalam lambung dengan ukuran tetesan emulsi berkisar nanometer (Mahmoud et
al., 2009). Selain meningkatkan kelarutan dan disolusi, sistem SNEDDS dapat
meningkatkan ketersediaan hayati obat di dalam plasma darah (Gupta et al.,
2011). Metode SNEDDS lebih dipilih daripada metode nanoemulsi yang
mengandung air karena lebih stabil dan lebih praktis sehingga memungkinkan
21
untuk dijadikan bentuk sediaan hard atau soft gelatin capsule. Metode SNEDDS
juga dapat meningkatkan kelarutan obat yang sukar larut dalam air dengan
melewati tahapan disolusi obat (Gupta et al., 2011).
Gambar 8. Struktur kitosan (Hosokawa, 2007)
Kitosan merupakan suatu polimer alami yang diperoleh dari deasetilasi alkali
pada kitin. Struktur molekul kitosan seperti terlihat pada gambar 8. Kitin dapat
ditemukan dalam eksoskeleton hewan-hewan pada famili Crustaceae (kepiting,
udang dan lobster), serangga dan beberapa jamur. Kitosan digunakan secara luas
dalam bidang pengobatan dan bioteknologi. Kitosan menjadi bahan penting dalam
dunia farmasi karena memiliki kemampuan biodegradasi, biokompabilitas serta
daya toksisitasnya yang rendah. Selain itu, kitosan juga bersifat mukoadesif dan
polielektrolitik (Hirano, 1986). Kitosan memberikan penghantaran yang baik
dalam administrasi biomakromolekul seperti peptida, protein, oligonukleotida dan
plasmid di permukaan biologis.
Kitosan merupakan polimer yang populer digunakan dalam sistem
nanopartikel. Kitosan dilaporkan memiliki kemampuan untuk membuka kait antar
sel (tight junction) pada membran usus secara sementara (Bhardwaj dan Kumar,
2006; Martien et al., 2008) melalui mekanisme translokasi protein Claudin-4
(Cldn4), Zonnula occludens-1 (ZO-1) dan Occludin dari membran sel ke sitosol
(Smith et al., 2007; Yeh et al., 2011), sehingga sangat potensial untuk
22
dikembangkan sebagai bahan utama pembuatan nanopartikel yang ditujukan
untuk aplikasi per oral.
Ditinjau dari struktur kimianya, kitosan merupakan suatu polimer multifungsi
sehingga menyebabkan kitosan mempunyai reaktifitas kimia yang tinggi (Tokura,
1995). Muatan pada gugus amonium yang positif memiliki kelebihan dapat
mengadakan interaksi ionik dengan asam sialat pada membran intestinal saluran
cerna (Vllasaliu et al., 2010). Kitosan merupakan senyawa yang tidak larut
dalam air
dan larutan basa kuat, sedikit larut dalam HCl dan HN
.
Menurut Widodo (2005) perbedaan antara kitin dan kitosan didasarkan pada
kandungan nitrogennya.
6.
Etanol sebagai Agen Stres Oksidatif Perusak Otak
Etanol disebut juga etil alkohol dengan rumus kimia
OH merupakan
larutan tidak berwarna, volatil dan dapat bercampur dengan air dengan titik
didihnya 78,4° C. Etanol cepat diserap dan didistribusikan dalam jaringan tubuh
yang banyak mengandung air seperti darah dan otak. Senyawa ini diketahui
mampu menimbulkan efek neurotoksik akibat peningkatan stres oksidatif (Heaton
et al., 2000). Stres oksidatif yang terjadi timbul karena adanya radikal bebas yang
terbentuk dari etanol (Winarsi, 2007). Stres oksidatif juga diakibatkan karena
terjadinya penurunan level glutation hippocampus. Penurunan level glutation
hippocampus dalam jangka panjang dapat menyebabkan gangguan aktivitas
motorik, endokrinologi, kemampuan kognitif dan meningkatkan resiko terjadinya
penyakit neurodegeneratif (Miller dan O’ allaghan, 2005).
23
Etanol dimetabolisme oleh tubuh terutama oleh hati dengan bantuan enzim
alkohol dehidrogenase (ADH) dan koenzim nikotinamid-adenin-dinukleotida
(NAD) menjadi asetaldehid. Proses oksidasi etanol juga terjadi di otak (Zakhari et
al., 2006). Asetaldehid oleh enzim aldehid dehidrogenase (ALDH) diubah
menjadi asam asetat (Deitrich et al., 2006). Di dalam sel otak terdapat enzim
sitokrom P450-2E1 yang membantu produksi asetaldehid yang menyebabkan
terbentuknya radikal bebas berupa oksigen reaktif dan toksik sehingga dapat
menyebabkan kerusakan jaringan SSP dan inflamasi pada otak (Zakhari et al,
2006). Radikal bebas dapat menyebabkan peroksidasi lipid, oksidasi protein,
perubahan spesies oksigen reaktif (ROS) dan akhirnya menyebabkan kematian
neuron otak (Vandarajan et al., 2000). Gambaran singkat metabolisme etanol
dalam tubuh seperti terlihat pada gambar 9.
Gambar 9. Proses oksidasi etanol dalam tubuh (Zakhari, 2006)
Etanol terbukti dapat merusak SSP ditandai dengan berkurangnya jumlah
neuron pada hipokampus. Neuron-neuron yang berkurang adalah hipokampus
bagian CA1. Hipokampus bagian CA1 menyokong terjadinya long-term
24
potentiation (LTP) (Adiningsih, 2013; Lynch, 2004). Kerusakan akibat etanol
pada otak menyebabkan penurunan fungsi kognitif dan memori karena adanya
stres oksidatif yang menginduksi radikal bebas dan adanya lesi pada hipokampus
(Butterfield et al., 1999). Efek etanol pada otak bergantung pada dosis
pemberiannya. Penelitian pendahuluan menunjukkan pemberian etanol 10% v/v
pada mencit secara kronis dapat mengaktivasi astroglia dan mikroglia pada
korteks serebral dan memacu aktivitas sinyal TLR4 sehingga menyebabkan
neuroinflamasi (Blanco et al., 2005). Pemberian etanol secara kronis selama 30
hari dapat menyebabkan kerusakan hipokampus CA1 pada tikus (Fowler et al.,
2014) dan pemberian selama akut selama 7 hari menyebabkan kerusakan
hipokampus CA1 pada mencit (Adiningsih, 2013).
7. Natrium Butirat
Natrium butirat atau sodium butyrate (SB) dikenal sebagai senyawa inhibitor
histon deasetilasi (IHD). Struktur molekul dari natrium butirat dapat dilihat pada
gambar 10. Natrium butirat memiliki aktivitas antidepresan pada otak tikus
(Schroeder et al., 2007). Selain itu, natrium butirat telah terbukti menginduksi
neurogenesis di otak tikus setelah iskemia serebral (Kim et al., 2009). Natrium
butirat dilaporkan dapat menembus BBB dan meningkatkan asetilasi histon pada
penelitian in vivo (Simonini et al., 2006). Pemulihan fungsi memori berkorelasi
dengan peningkatan asetilasi histon hipokampus dan peningkatan ekspresi gen
yang terlibat dalam fungsi kognitif (Cohen et al., 2013). Pemberian natrium
25
butirat 1,2 g/kgBB selama 21 hari dilaporkan mampu meningkatkan contextual
learning and memory (Govindarajan et al., 2011).
Gambar 10. Struktur molekul natrium butirat (James, 2003)
Asetilasi histon merupakan salah satu dari 3
mekanisme epigenetik.
Terjadinya proses epigenerik (epigenesis) merupakan konsekuensi adanya
interaksi antara gen dengan lingkungannya dan dapat terjadi akibat tidak
terekspresinya
informasi
genomik
(silenced
genes)
(Holliday,
2005).
Keseimbangan asetilasi dan deasetilasi protein histon menentukan suatu gen aktif
atau nonaktif. Ketika histon dalam keadaan deasetilasi (dikatalis histon
deasetilasi yang melepas gugus asetil dari histon), kromatin berada dalam
keadaan menutup dan hal ini menghambat faktor transkripsi DNA dan
menonaktifkan gen.
IHD menghambat aktivitas histon deasetilasi dan menjaga histon tetap dalam
keadaan terasetilasi sehingga mengaktifkan gen karena kromatin membuka dan
memungkinkan faktor transkripsi berinteraksi dengan DNA (Juliandi et al.,
2010). Faktor transkripsi Sox5, Fezf2 dan Satb2 diketahui mengatur migrasi dan
posisi neuron. Variasi genetik dari tiga faktor transkripsi tersebut ditemukan pada
pasien dengan gangguan perkembangan dan bicara, kelemahan intelektual,
schizofrenia dan autism spectrum disorder (ASD) (Cooper et al., 2011; Lamb et
al., 2012). Abnormalitas yang berhubungan dengan kondisi diatas termasuk
diantaranya kesulitan komunikasi dan gangguan interaksi sosial (McFarlane et
26
al., 2008). Perubahan 3 faktor transkripsi ini berkontribusi pada munculnya
gangguan kognitif dan gangguan perkembangan saraf motorik (Muhchyi et al.,
2013).
E. Landasan Teori
Kerusakan otak dewasa akibat etanol menyebabkan penurunan fungsi kognitif
seperti gangguan belajar dan memori. Hal ini disebabkan adanya stres oksidatif
yang menginduksi terbentuknya radikal bebas yang menyebabkan kerusakan dan
kematian sel. Radikal bebas dapat menyebabkan peroksidasi lipid, oksidasi
protein, perubahan Reactive Oxygen Species (ROS) dan akhirnya menyebabkan
kematian neuron otak. Tingkat tinggi dari konsumsi oksigen, kandungan lemak
tak jenuh ganda yang tinggi dan relatif kurangnya enzim antioksidan
menyebabkan otak lebih rentan terhadap kerusakan oksidatif dibanding organ atau
jaringan lain. Pemberian etanol secara akut selama 7 hari diketahui menyebabkan
kerusakan hippocampus CA1 pada mencit.
Natrium butirat dikenal sebagai senyawa inhibitor histon deasetilasi. Natrium
butirat memiliki aktivitas antidepresan pada otak tikus. Selain itu, natrium butirat
telah terbukti menginduksi neurogenesis di otak tikus setelah iskemia serebral dan
dilaporkan dapat menembus BBB pada penelitian in vivo. Pemulihan fungsi
memori berkorelasi dengan peningkatan asetilasi histon hipokampus dan
peningkatan ekspresi gen yang terlibat dalam fungsi kognitif. Pemberian natrium
butirat 1,2 g/kgBB selama 21 hari dilaporkan mampu meningkatkan contextual
learning and memory.
27
Banyak penelitian menyebutkan bahwa kurkumin dapat mengurangi
kerusakan oksidatif dan penurunan memori yang terkait dengan proses penuaan.
Sharma (2006) mengemukakan keberadaan kurkumin sebagai neuroproteksi
melalui mekanisme antioksidan akan mencegah kematian sel sehingga gangguan–
gangguan yang diakibatkan kerusakan maupun kematian sel ini dapat dicegah,
termasuk kematian sel di hippocampus terkait dengan fungsi memori. Untuk
mendapatkan kurkumin dalam jumlah banyak sangat sulit dilakukan. Seiring
dengan berkembangnya dunia penelitian, telah disintesis senyawa analog
kurkumin untuk dapat dikembangkan lebih lanjut. Salah satu senyawa analog
kurkumin yang telah dikembangkan adalah PGV-1.
PGV-1
atau
2,5-bis(4’-hidroksi-3’,5’-dimetil-benzilidin)-siklopentanon
pertama kali disintesis oleh Sardjiman (1997). PGV-1 merupakan senyawa
analog dari kurkumin dengan substituen inti aromatis berupa gugus 4-hidroksi dan
3,5-dimetil. PGV-1 dilaporkan memiliki aktivitas sebagai antikanker, antioksidan
dan antiinflamasi. Kurkumin dan PGV-1 bersifat non-polar dan lipofil ditinjau
dari struktur molekulnya, sehingga dapat menembus BBB. Banyak penelitianpenelitian menunjukkan bahwa PGV-1 memiliki aktivitas yang mirip bahkan
beberapa lebih baik dibanding kurkumin dan analog kurkumin lainnya. Namun,
potensi PGV-1 dan lead compoundnya (kurkumin) sebagai obat untuk brain
disorder belum pernah digali dikarenakan dua senyawa ini memiliki kelarutan
yang kurang baik di dalam cairan biologis dan tidak dapat menembus BBB.
Untuk meningkatkan kelarutan dan bioavailibilitas kurkumin dan PGV-1
yang
diharapkan
mampu
meningkatkan
aktivitas
farmakologi,
maka
28
dikembangkan teknologi formulasinya melalui pembuatan formulasi nanopartikel
kurkumin dan PGV-1; metode self nano emulsfying drug delivery system
(SNEDDS) dengan kitosan sebagai pembawa. Uji in vitro dengan sel kanker
menunjukkan bahwa sediaan nanokitosan kurkumin dan PGV-1 mampu
menembus dinding sel kanker dan sel normal dengan lebih efektif sebagai
antiinflamasi. Penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa pemberian nanoemulsi
kurkumin secara per oral memberikan konsentrasi tinggi di dalam plasma darah
dibandingkan kurkumin tanpa formulasi nanopartikel.
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi terhadap penemuan
dan pengembangan obat baru berbasis struktur kurkumin yaitu sebagai brain
disorder treatment agent baru berupa kontribusi ketersediaan data uji praklinik
senyawa kurkumin dan PGV-1 sebagai brain disorder treatment agent model uji:
penurunan fungsi kognitif dan gangguan interaksi sosial.
F. Hipotesis
1.
Nanokitosan kurkumin dan nanokitosan PGV-1 meningkatkan fungsi kognitif
dalam hal proses belajar dan ingatan serta menurunkan gangguan interaksi
sosial pada hewan uji.
2.
Perubahan perilaku pada fenotipe brain disorders yang berupa penurunan
fungsi kognitif dan gangguan interaksi sosial pada mencit jantan dewasa yang
diinduksi etanol 10% v/v selama 7 hari dipengaruhi oleh dosis pemberian
nanokitosan kurkumin dan nanokitosan PGV-1 selama 21 hari.
Download