konstruksi sosial tata ruang pesantren al-muayyad

advertisement
KONSTRUKSI SOSIAL TATA RUANG
PESANTREN AL-MUAYYAD
MANGKUYUDAN SURAKARTA
Yusdani dan Tim Peneliti *
Abstract
The following article denotes the result of research. The research starts with the
question of how the process of the social production of spatial in Al-Muayyad boarding
school? and how the meaning of spatial in Al-Muayyad boarding school? This study
of the spatial interaction as the symbol used by the boarding school to signify a social
relationship. This research is a qualitative and using phenomenological approach to
the steps and stages of data reduction, data presentation, and conclusion / verification
as an intertwined in the time before, during, and after the collection of data in parallel.
The results of this study indicate there are two underlying spatial processes of social
production Pesantren Al-Muayyad, the domination of religious clerics and social
change towards development. In addition, the discourse on space in Al-Muayyad
boarding school in addition to the function also represents a meaning. Utilization of
space in this boarding schools distinguished by sacred and profane space. In addition to
these meanings also have economic meanings.
Keywords: konstruksi sosial, tata ruang, Al-Muayyad, makna dan semiotik
A.PENDAHULUAN
Kajian yang lazim ditemukan di kalangan akademik yang berkaitan
dengan dunia pesantren adalah persoalan pendidikan berbasis kultur
yang diwariskan oleh tradisi masyarakat tradisional.1 Selain itu kajian
* Tim peneliti terdiri dari Drs. Yusdani, M.Ag dosen FIAI UII Yogyakarta ( ketua), Imam
Samroni, S.Pd Mahasiswa S2 Sosiologi UGM Yogyakarta ( anggota), M. Latif Fauzi, S.H.I.,
M.H.I. MA dosen Fakultas Syari’ah IAIN Surakarta (anggota), dan Agnestya Ekawati, S.Sos
Mahasiswa S2 Sosiologi UGM Yogyakarta (anggota).
1
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren Suatu Kajian tentang Unsur dan Nilai
Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994).
24 | TAPIS Vol. XIII, No. 01 Januari-Juni 2013
mengenai kepemimpinan2 di pesantren juga telah banyak disorot sebagai
warisan budaya pesantren yang menjadi ciri khas dan melahirkan kritik
atas kepemimpinan masyarakat yang menganut budaya patrialkal.3 Akan
tetapi dalam sosiologi sebenarnya kajian pesantren sangat berwarna, karena
dengan tradisi berfikir sosiologis pesantren tidak hanya dibaca sebagai
instrumen pendidikan melainkan juga sebuah produksi sosial.
Untuk membuat analisis kritis yang sistematis, penelitian tentang
pesantren khususnya berhubungan dengan produksi sosial tata ruang akan
lebih tajam melihat pergeseran makna ruang pesantren. produksi ruang
memiliki dua makna ganda, artinya tata ruang pesantren tidak sebatas
wadah untuk mengakomodir proses transformasi pengetahuan, tetapi juga
untuk kepentingan lain seperti ekonomi.
Pesantren secara normatif hadir sebagai lembaga yang diharapkan
dapat mencetak para intelektual muda yang ahli dalam bidang ilmu
agama, terutama agama Islam. Namun seiring berjalannya waktu,
pesantren dihadapkan permasalahan cukup kompleks yang berkaitan
dengan hadirnya modernisasi. Salah satunya adalah masalah eksistensi
pesantren di tengah-tengah gempuran lembaga pendidikan formal berbasis
pengetahuan umum. Sebagai lembaga pendidikan yang sadar terhadap
proses dinamisasi pengetahuan, pesantren mulai berbenah diri dengan
merumuskan konsep pendidikan modern. Dengan membangun berbagai
aspek penting dalam menunjang pendidikan, pesantren melakukan
transformasi salah satunya pada aspek ruang.
Dari kategorisasi pola fisik pesantren terjadi pengkategorisasian
pesantren dilihat dari struktur fisik bangunan dan fasilitas yang dimiliki,
terdapat pengklasifikasian sistem tata nilai dalam proses tersebut yang
melibatkan ruang. Dalam dunia pesantren, tata ruang menjadi representasi
dari makna atau nilai-nilai religi yang memiliki keterkaitan hubungan
dengan Tuhan. Oleh karena itu, pemaknaan tata ruang tidak sebatas
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta:
LP3ES, 1982).
2
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Memadu Modernitas untuk Kemajuan Bangsa,
(Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2009).
3
Konstruksi Sosial Tata Ruang
Pesantren Al-Muayyad....| 25
bangunan fisik berdasarkan fungsi dan keberlakuannya, melainkan ada
nilai di dalamnya.
Penelitian ini melihat fenomena tata ruang di Pondok Pesantren AlMuayyad, Kota Surakarta Provinsi Jawa Tengah. Pesantren Al-Muayyad
atau lebih dikenal dengan sebutan pesantren Mangkuyudan ini mengalami
perkembangan yang cukup pesat, mengingat pesantren ini berdiri sejak
tahun 1930 oleh K.H. Abdul Manan yang sekarang berada di bawah
kepemimpinan KH. Drs. Abdul Rozaq Shofawi dan K.H. Abdul Mu’id
Ahmad Shofawi.
Aspek ruang menjadi salah satu indikasi yang dapat disorot dan
dianalisa untuk menjelaskan sebuah realitas sosial di pesantren. Untuk
menjelaskan itu semua, ruang pesantren menjadi objek materiil yang cukup
representatif untuk menjelaskan suatu kondisi sosial masyarakat pesantren,
yang dilihat dari proses produksi ruang dan nilai yang terdapat dalam
ruang pesantren.
Penelitian ini dapat memberi kontribusi konseptual dan memperkaya
basis data tentang dinamika pesantren, sebagai ciri khusus dari Islam yang
berkembang di Indonesia. Pertautan aspek ruang dan nilai-nilai ideologi
yang dialami oleh pesantren meniscayakan penggunaan pendekatan
sosiologis. Kajian pesantren, khususnya Al-Muayyad yang dinilai
mengajarkan Islam moderat, melalui pendekatan sosiologi agama juga
turut memperkuat pengembangan Islam Nusantara.
Berdasar latar belakang di atas, pertanyaan penelitian yang diajukan
dalam penelitian ini adalah bagaimana proses produksi sosial tata ruang
Pesantren Al-Muayyad? dan bagaimana pemaknaan terhadap tata ruang
Pesantren Al-Muayyad?
Perbedaan penelitian ini dengan berbagai penelitian terdahulu
tentang pesantren4 adalah penelitian ini terfokus pada konstruksi tata
Agnestya Ekawati, Tata Ruang Sebagai Simbol Interaksi Sosial Antara Kyai Dan Masyarakat Di pesantren, Studi Dipondok Pesantren Nurul Ummah Kota Gede Yogyakarta. Skripsi, tidak
dipublikasikan (Yogyakarta: Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2009). Inayati Fatima, Penataan dan Pengembangan Pondok Pesantren Al-Muayyad
Sleman Yogyakarta (Dengan Penekanan Desain Arsitektur Islam). Skripsi, tidak dipublikasikan
4
26 | TAPIS Vol. XIII, No. 01 Januari-Juni 2013
ruang pesantren tradisional ke modern di Pondok Pesantren Al-Muayyad.
Di samping itu, analisis penelitian ini lebih ditekankan pada analisis
pemaknaan tata ruang yang terdapat pada Pesantren Al-Muayyad.
B. KAJIAN TEORI
Penelitian ini lebih dalam melihat tata ruang sebagai simbol interaksi
yang digunakan oleh masyarakat pesantren untuk menandakan sebuah
hubungan sosial. Tata ruang pesantren sebagai aspek materiil menunjukkan
sebuah identitas kekuasaan yang mempengaruhi pola hubungan sosial.
Relasi sosial di pesantren pada umumnya menggunakan tata ruang
sebagai simbol-simbol untuk saling mempengaruhi satu sama lain. Seperti
dikemukakan berdasarkan teori interaksionalisme simbolik bahwa interaksi
antarindividu, penggunaan simbol-simbol, interpretasi atau dengan saling
berusaha untuk memahami maksud dari tindakan masing-masing. Artinya,
dalam proses interaksi sosial individu dengan individu yang lain saling
merespon dari interpretasi yang diterimanya melalui simbol-simbol.
(Semarang: Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Semarang, 2003).
Farkhan Mubarok, Konsep perancangan dan Perencanaan Pondok Pesantren Internasional di Surakarta dengan Pendekatan Arsitektur Islam, Skripsi, tidak dipublikasikan. ( Surakarta: Program
Studi Arsitektur Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret, 2010). A.
Fais Guzairi, Tata Ruang Ergonomis Pada Kamar Santri. Skripsi, tidak dipublikasikan. (Malang:
Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Ibrahim Malang, 2010). Abdul Rozak,
Pola-Pola Komunikasi Guru di SMU Pesantren Al-Muayyad Surakarta. Jurnal Penelitian Agama,
Vol. XIII, No. 3 September-Desember , 2004. Dwi Nugraheni Nurliana, Pengaruh Sikap Tentang Kebersihan Diri Terhadap Timbulnya Skabies (Gudik) Pada Santriwati di Pondok Pesantren
Al-Muayyad Surakarta, Skripsi, tidak dipublikasikan. ( Surakarta: Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2008). Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren
Suatu Kajian tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren. ( Jakarta: INIS, 1994). Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, ( Jakarta: LP3ES,
1982). Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Memadu Modernitas untuk Kemajuan Bangsa,
(Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2009). Abdurahman Mas’ud, Intelektual Pesantren
Perhelatan Agama dan Tradisi. Yogyakarta: LKiS, 2004). Abdurahman Mas’ud, Dari Haramain
ke Nusantara Jejak Intelektual Arsitek Pesantren. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006).
Ronald Lukens- Bull, A Peaceful Jihad: Negotiating Identity and Modernity in Muslim Java (New
York: Palgrave Macmillan, 2005). Aziz dan Chirotun Chisaan,”Pembelajaran Sejarah di
Pesantren” dalam BASIS, No. 07 -08 Tahun ke-59, 2010: 36. Jurnal Millah (2011) mengulas
kontribusi pesantren dalam dinamika Islam Indonesia.
Konstruksi Sosial Tata Ruang
Pesantren Al-Muayyad....| 27
Bagi Blumer dalam Poloma5 interaksionalisme simbolis bertumpu pada
tiga premis, manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan maknamakna yang ada pada sesuatu bagi mereka. Hal tersebut berasal dan
“interaksi sosial seseorang dengan orang lain”, dan makna-makna tersebut
disempurnakan di saat proses interaksi sosial berlangsung.
Menurut pandangan Milton dalam Maliki6 bahwa dalam teori-teori
semiotika segala sesuatu adalah simbol yang bertindak sebagai perantara
dari subyek-subyek yang berinteraksi. Dalam kehidupan manusia, tidak
ada yang inheren dalam sebuah obyek tertentu, karena setiap obyek
menyuguhkan makna yang berbeda-beda. Karena itu Fashri7 menjelaskan
bahwa makna sesuatu tergantung dari cara orang “merepresentasikannya”.
Begitu juga dengan simbol-simbol agama, simbol agama dalam kehidupan
manusia menyatakan sebuah kekuatan makna yang dalam berbagai hal
menjadi dasar dalam menentukan perilaku sosial. Karena melalui simbolsimbol manusia dapat dengan mudah menstimulir individu lainnya melalui
makna-makna yang telah diberikan arti secara kolektif.
Simbol merupakan salah satu bagian dari agama yang bertindak
sebagai perantara untuk menyampaikan makna-makan dan nilai-nilai
ideology agama. Namun pada sisi lain simbol agama sering dipergunakan
sebagai sarana untuk mencapai sebuah kepentingan. Begitu pernyataan
Berger dalam Maliki,8 secara operasional simbol-simbol agama yang biasa
digunakan sebagai sarana kekuasaan mencakup tindakan: (1) menggunakan
berbagai property atau icon keagamaan seperti kosa kata keagamaan,
menaruh sajadah atau kaligrafi di kantor maupun ruang tamu rumahnya,
memasang tasbih di kendaraan dinas atau pribadi, serta menjalankan
berbagai rutinitas agama rakyat, (2) menjalin hubungan dengan pemimpin/
ormas/partai keagamaan,(3) memobilisasi dukungan kelompok maupun
institusi agama, terutama elite agama seperti kyai dan ulama, (4) merekrut
M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007). h. 258.
Zainuddin Maliki, Agama Priyayi (Makna Agama di Tangan Elite Penguasa), (Yogyakarta:
5
6
Pustaka Marwa, 2004). h. 82.
Fauzi Fashri, Penyingkapan Kuasa Simbol, ( Yogyakarta: Juxtapose, 2007), h. 19.
Zainuddin, Agama, h. 63.
7
8
28 | TAPIS Vol. XIII, No. 01 Januari-Juni 2013
staf yang merepresentasi kelompok keagamaan tertentu dalam jabatan
strategis, (5) formalisasi kebijakan keagamaan seperti pembuatan kebijakan,
institusi, penganggaran kegiatan, pembangunan sarana ibadah maupun
penyediaan fasilitas keagamaan.
Pemanfaatan agama dalam pembentukan simbol-simbol kekuasaan
itu menurut Anderson berlangsung terutama sesudah abad ke-15, Maliki9
Banyak para penguasa seperti kyai yang memanfaatkan simbol-simbol
agama yang dilekatkan pada benda-benda yang dikeramatkan. Hampir
setiap unsure dari simbol-simbol agama mengandung nilai-nilai dan
makna-makna yang diserap dan mempengaruhi kesadaran penganutnya,
karena basis dari penggunaan simbol-simbol agama disuport dengan elite
agama yang dianggap mampu menerjemahkan keinginan Tuhan.
Simbol sendiri dalam kajian semiotika adalah ilmu mengenai “tanda”
dalam kehidupan manusia yang sesungguhnya memiliki kemampuan
untuk memberikan makna pada setiap aktivitas sosial dan budaya. Untuk
menangkap fenomena semiotic mengenai “tanda” merujuk pada Ferdinand
de Saussure 10 melihat tanda sebagai pertemuan antara bentuk ( yang tercitra
dalam kognisi seseorang) dan makna (atau isi, yakni yang difahami oleh
manusia pemakai tanda). Dalam teorinya de Saussure, significant (penanda)
bukanlah bunyi bahasa secara konkret, tetapi merupakan citra tentang
bunyi bahsa (image acoustique). Artinya, segala sesuatau yang ada disekitar
kita yang dapat dilihat dalam “bentuk” juga memiliki “makna” tertentu.
Hubungan antara bentuk dan makan tidak sebatas hubungan perorangan
atau pribadi, akan tetapi melibatkan banyak hal dalam hubungan sosial
yang didasari oleh kesepakatan bersama dan telah diketahui.
Dalam perkembangan kajian budaya, pendekatan semiotika Barthesian
menjadi salah satu fondasi penting sehingga tanpa pemahaman yang
cukup tentang semiotika Barthesian, setiap studi tentang kajian budaya
hanya akan menyentuh lapisan superfisialnya saja atau hanya terkurung
Ibid. h. 48.
H. Benny Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2011).
9
10
h. 3
Konstruksi Sosial Tata Ruang
Pesantren Al-Muayyad....| 29
oleh idiom-idiom yang lebih cepat basi.11 Selain itu, jika dicermati lebih
seksama pendekatan semiotika lebih berwarna ketika dipasangkan dengan
pendekatan-pendekatan lainnya. Salah satunya yaitu mensandingkan
pendekatan semiotika dengan pendekatan ideologi. Teori ideologi
mengatakan bahwa apa yang nampaknya biasa, natural, lumrah sebenarnya
memendam ketidaksadaran akan suatu distorsi. Apa yang tampaknya
biasa, sudah diterima umum ternyata sudah mengandung muatan
ideologis, yaitu ideologi dominan (dalam hal ini burjuis). 12
Ruang menjadi kepanjangan dari diri manusia, manusia memberikan
batasan, aturan, bahkan memiliki fungsi tertentu. Manusia melihat ruang
berdasarkan fungsi, keperluan dan tujuan tertentu yang kemudian
berkembang menjadi ruang sakral, privasi, publik dan profan. Ruang
dalam fungsinya telah masuk dalam batasan ruang mental dan ruang secara
sosial, yaitu ruang dibentuk dan difungsikan serta diberi sifat oleh manusia
berdasarkan pengetahuan. Ruang sebagai simbol memenuhi kebutuhan
manusia akan pengalaman-pengalaman metafisik, keabadian, otentitas dll.
Menurut Hoed13 semiotik melihat ruang sebagai tanda karena ruang
dimaknai oleh manusia. Oleh karena itu, ruang merupakan bagian dari
masyarakat dan kebudayaan. Tanda menurut Saussure mempunyai tiga
wajah, Sunardi:14 tanda itu sendiri (sign), aspek material (entah berupa suara,
huruf, bentuk, gambar, gerak) dari tanda yang difungsikan menandakan
atau yang dihasilkan oleh aspek material (signifier), dan aspek mental atau
konseptual yang ditunjukkan oleh aspek material (signified). Dengan begitu,
tanda menjadi lebih progresif. Ruang (sign) menjadi aspek material yang
difungsikan untuk menandai yang telah dihasilkan oleh signifier, dan aspek
metal yaitu memisahkan antara ruang privat, profan, publik dan sakral.
Lebih jauh lagi memahami ruang dalam konsep tanda, manusia juga
memenuhi ruang dalam dimensi makna. Manusia memenuhi kebutuhan
ruang dalam kehidupan sosialnya berdasarkan fungsi dan memberikan
ST, Sunardi, Semiotika Negativa, (Yogyakarta: Penerbit Buku Baik, 2004). h. VII.
Ibid. h. xx
13
Hoed, Semiotik, h. 110.
14
ST, Sunardi, Semiotika, h. 41.
11
12
30 | TAPIS Vol. XIII, No. 01 Januari-Juni 2013
makna pada ruang-ruang tersebut. Manusia merekayasa ruang seperti
rumah, asrama, kantor, rumah ibadah, cagar budaya seperti candi, lahan
pertanian, pabrik dll. Rekayasa ruang-ruang tersebut juga diisi dan diberi
makna.
Diskusi awal mengenai ruang akan menjadi lebih jelas ketika diawali
dengan teori kapitalisme yang berulang-ulang dikemukakan oleh Marx
mengenai struktur ekonomi masyarakat (alat-alat produksi dan hubunganhubungan sosial dalam produksi) merupakan dasar dari rangkaian yang
sebenarnya. Usaha menggerakkan modal dalam proses produksi baik
berupa tenaga kerja, uang, barang, maupun jasa tidak dapat berjalan tanpa
adanya ruang. Ruanglah yang menjadi kunci dari akumulasi kapital.
Dari aktivitas akumulasi kapital, Henri Levebre dalam teorinya
produksi ruang (production of space) lebih dalam menjelaskan bahwasanya
produksi ruang menjadi kunci dari keberhasilan kapitalisme. Hal ini
dapat difahami sebagai perilaku manusia dalam mengorganisikan ruang
sebagai bentuk usaha yang difahami sebagai produksi melalui hubungan
sosial dan berorientasi pada kepentingan kapital. Ruang dalam konteks
global membentuk ruang hampa yang diciptakan sebagai pusat produksi
kapitalis. Seperti pusat-pusat kegiatan bisnis dan kegiatan yang menjadi
tempat perputaran uang dan modal.
Persoalan ruang pesantren di Indonesia merupakan persoalan ekonomi
pilitik yang sebenarnya masuk ke wilayah kritik terhadap kapitalisme,
kapitalisme tidak semata-mata praktek akumulasi akan tetapi juga
menaklukkan ruang untuk terus mempertahankan nafas kapitalisme di
muka bumi. Nafas kapitalisme mensyaratkan ketersediannya ruang yang
menjadi tempat berlangsungnya akumulasi alat produksi. Melalui teori
kapitalismenya Marx, Levebre mengindikasikan runtuhnya persoalan
ruang secara ilmiah ke dalam ruang secara sosial. Levebre mengungkapkan:
“The space thus produced also serves as a tool of thought and of action;
that in addition to being a means of production it is also a means of control,
and hence of domination, of power; yet that, as such, it escapes on part
from those who would make use of it. The social and political (state) forces
which engendered this space now seek, but fail, to master it completely; the
Konstruksi Sosial Tata Ruang
Pesantren Al-Muayyad....| 31
very agency that has forced spatial reality towards a sort of uncontrollable
autonomy now strives to run it into the ground, then shackle and enslave
it.”15
Secara sosial, ruang dikonstruksikan dan diciptakan sebagai kontrol.
Ruang yang dikonstruksikan dan diciptakan oleh menusia melalui
hubungan sosial yang melahirkan sebuah pengetahuan merupakan upaya
dari dominasi dan melanggengkan sebuah kekuasaan. Argumen Levebre
mengenai produksi ruang lebih memfokuskan pada persoalan bagaimana
peradaban barat menciptakan konsep ruang melalui kontruksi dan struktur
pengetahuan. Pengetahuan masyarakat mengenai ruang yang terakumulasi
kemudian divisualisasikan dalam praktek sosial dan diposisikan sebagai
produksi. Terlepas dari penggunaannya, wacana mengenai ruang telah
ada sebelumnya sehingga manusia dapat menggolongkan kebutuhannya
berdasarkan ruang sacral profan, privat dan publik. Dengan dasar itulah
manusia dapat mengembangkan konsep ruang berdasarkan konsep sakral,
profan, privat dan publik untuk memaknai lingkungan di sekitarnya.
Aktivitas produksi ruang sebagai kontrol yang dikonstruksikan
oleh manusia berdasarkan pengetahuan yang diperoleh dari hubungan
sosial merupakan upaya politisasi terhadap ruang untuk mendapatkan
keuntungan. Hal ini lah yang ingin disampaikan oleh Levebre dalam
mempertajam tesis Marx yang mereduksi segala praktik sosial kedalam
dimensi ekonomi. selain itu, Levebre juga menjelaskan bagaimana produksi
ruang juga menginvestasikan makna. Ruang sebagai bentuk materiil tidak
hanya termanifestasikan dalam bentuk ruang secara geografis namun
ruang juga mengalami proses pemaknaan-pemaknaan.
Dalam kehidupan di pesantren, pandangan Levebre dapat dilihat
pada persoalan bagaimana ruang itu diproduksi berdasarkan ideologi
sebagai basis pengetahuan di pesantren. Ruang pesantren yang terdiri
dari bangunan masjid, asrama, ndalem, madrasah, dan ruang sekolah
formal difahami sebagai ruang sakral sekaligus d isisi lain ruang pesantren
juga dibaca secara kritis masuk dalam ruang dominan, yakni dengan
Henri Levebre,. The Production of Space. Translated by Donald Nicholson-Smith, (Oxford:
Blackwell, 1991). h. 26.
15
32 | TAPIS Vol. XIII, No. 01 Januari-Juni 2013
menempatkan ruang sebagai hasil konstruksi dari hegemonisasi kekuasaan
kyai. Selain itu, wacana mengenai ruang pesantren sekarang ini lebih
merepresentasikan berbagai kepentingan karena ruang pesantren tidak
hanya menjalankan fungsinya sebagai tempat berlangsungnya pendidikan
melainkan terdapat pertarungan wacana.
C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Kehidupan di Pesantren Al-Muayyad, dapat dilihat pada persoalan
bagaimana ruang-ruang di pondok ini diproduksi berdasarkan ideologi
sebagai basis pengetahuan di pesantren. Ruang pesantren yang terdiri
dari bangunan masjid, asrama, ndalem, madrasah, dan ruang sekolah
formal difahami sebagai ruang sakral sekaligus di sisi lain ruang pesantren
juga dibaca secara kritis masuk dalam ruang dominan, yakni dengan
menempatkan ruang sebagai hasil konstruksi dari hegemonisasi kekuasaan
kyai. Selain itu, wacana mengenai ruang pesantren sekarang ini lebih
merepresentasikan berbagai kepentingan karena ruang pesantren tidak
hanya menjalankan fungsinya sebagai tempat berlangsungnya pendidikan
melainkan terdapat pertarungan wacana.
Pandangan tersebut terkait dengan fenomena produksi sosial tata
ruang pesantren adalah, tata ruang sebagai realitas tidak berangkat dari
ruang kosong melainkan hasil dari konstruksi sosial. Tata ruang terlepas
dari bentuk materi memiliki makna serta nilai yang diwacanakan oleh
kyai melalui pengetahuan mengenai ruang yang mempengaruhi pola
hubungan sosial di pesantren. Realitas tata ruang di pesantren tidak
semata-mata sebuah realitas obyektif, tetapi dimaknai sebagai realitas
ganda sebab makna-makna ruang tersebut mengalami pergeseran akibat
dari modernisasi seperti sekarang ini.
Menggunakan referensi ruang untuk membaca sebuah realitas sosial
nampaknya memiliki relevansi dalam menganalisis tata ruang pesantren,
khususnya pesantren Al-Muayyad. Mengingat, pesantren ini telah
hadir sejak tahun 1930 hingga sekarang sehingga sekarang ini memiliki
ketersediaan ruang-ruang umum yang mensyarakatkan pesantren modern.
Konstruksi Sosial Tata Ruang
Pesantren Al-Muayyad....| 33
Dalam analisis kritis, cukup kuat dapat menjelaskan, tidak hanya sebatas
pemahaman sosioligis, namun mencoba menjembatani antara sosiologi,
budaya, sejarah, tata kota dan arsitektur. Dengan begitu melalui ruang
pulalah dapat diketahui makna politis yang lebih terbuka. Tata ruang
pesantren menjadi salah satu ranah yang substantif dalam menfasirkan
beragam makna, sehingga di sini nampak bagaimana makna-makna itu
muncul dari perbedaan ruang dilihat aspek sejarahnya.
Titik tolak dari pandangan mengenai produksi ruang yaitu pada
konsep triad dalam menjelaskan proses produksi. Ketiga konsep tersebut
merupakan sebuah rangkaian kegiatan produksi ruang yang tidak
dapat dipisahkan. Konsep triad yang terdiri dari praktik sosial (Spatial
Practice), ruang representasional (Representational Space) dan representasi
ruang (Representations of Space) ini dalam kasus tata ruang Pesantren AlMuayyad tidak semata-mata menyangkut persoalan simbolisasi ruang
dalam pemaknaan ideologi, namun terdapat representasi dari pertarungan
wacana terhadap nilai-nilai ekonomis.
Dalam kesehariannya, masyarakat pesantren hidup dalam lingkup
sosial yang mengadopsi nilai-nilai ideologi. Adapun terdapat materi
umum semata-mata sebagai pertahanan untuk menghadapi globalisasi
pendidikan. Tata ruang pesantren khususnya Pesantren Al-Muayyad
adalah sebuah kawasan yang dihuni oleh santri yang terdiri bangunan
masjid, asrama, sekolah umum dan madrasah, koprasi, dapur umum,
ndalem, mini market dan bengkel. Tata ruang Pesantren Al-Muayyad
sekarang ini dapat dimaknai sebagai upaya untuk menghadapi globalisasi
pendidikan yang menuntut pesantren tidak hanya sebatas pendidikan
agama dengan fasilitas terbatas, tetapi di sisi lain ruang pesantren AlMuayyad juga merepresentasikan sebuah kepentingan.
Untuk menjelaskan ketiga konsep triad dalam persoalan produksi sosial
tata ruang pesantren Al-Muayyad berangkat dari hadirnya ruang-ruang
pesantren yang selama ini diketahui sebagai tempat proses pendidikan
agama tidak hanya terdiri dari bangunan asrama, ndalem, masjid. ruangruang pesantren Al-Muayyad dengan beberapa fasilitas lainnya dapat
dimaknai sebagai strategi pesantren untuk mempertahankan eksistensi
34 | TAPIS Vol. XIII, No. 01 Januari-Juni 2013
pendidikan pesantren di tengah-tengah gempuran modernisasi di dunia
pendidikan. Lahirnya fasilitas-fasilitas ruang lainnya seperti koperasi,
sekolah umum, minimarket dan bengkel dapat dibaca lebih kritis lagi
sebagai ruang dominasi dengan melekatkan ruang sebagai bagian dari
gejala homogenisasi ruang ke dalam konteks ekonomi.
Sebagai contoh gagasan untuk menghadirkan ruang-ruang sekolah
umum pada kawasan pesantren adalah bentuk spasialisasi dominan dimana
logika ruang sebagai tempat pemenuhan kebutuhan pendidikan formal
merubah cara pandang sebagai ruang produksi untuk mempertahankan
pesantren di tengah-tengah gempuran globalisasi pendidikan. Persoalannya
kemudian adalah, ketika logika terhadap pemanfaatan ruang pesantren
dengan memperbanyak ruang umum seperti fasilitas pendidikan umum,
minimarket, dan bengkel sebagai usaha pemenuhan ekonomi dinilai
berhasil, maka kapitalisasi lahan menemukan jalannya. Setelah nilai tanah
dianggap produktif dalam menunjang keberlangsungan roda ekonomi
pesantren, maka pesantren pun melipatgandakan nilai ruang hidup dengan
bertumpuk ke atas atau tingkat.
D.SIMPULAN
Sebagai penutup dari keseluruhan uraian, analisis dan diskusi hasil
penelitian ini dapat dikemukakan kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut:
1. Bahwa ada dua hal yang melatarbelakangi proses produksi sosial
tata ruang Pesantren Al-Muayyad, yaitu dominasi kekuasaan
kyai. Pesantren Al-Muayyad seperti halnya dengan pesantren
pada umumnya memiliki sistem kepemimpinan yang sentralistik,
pemegang tampuk kepemimpinan tertinggi dipegang oleh kyai.
Kyai juga membangun kekuasaannya melalui simbol-simbol agama.
Kesadaran pentingnya menjaga eksistensi kepemimpinannya,
kyai membangun sebuah sistem simbol berdasarkan nilai-nilai
agama. Di sampimg itu, perubahan sosial keagamaan menuju
pembangunan. Pesantren Al-Muayyad telah menjadi bagian dari
proses globalisasi, kebutuhan masyarakat terhadap pendidikan
Konstruksi Sosial Tata Ruang
Pesantren Al-Muayyad....| 35
mengkonstruksikan sebuah kepentingan ruang. Kesadaran
masyarakat terhadap kebutuhan pendidikan modern dan tidak
hanya pendidikan keagamaan mengkonstruksikan sebuat wacana
tentang kebutuhan ruang. Kebutuhan fasilitas lebih inilah yang
kemudian memproduksi sebuah dimensi ruang pesantren menjadi
lebih homogeni.
2. Bahwa wacana mengenai ruang di Pesantren Al-Muayyad selain
diberi fungsi juga merepresentasikan sebuah makna. Pemanfaatan
atas ruang di pesantren dibedakan berdasarkan ruang sakral dan
profan. Ruang-ruang sakral pada pesantren seperti masjid, ndalem
dan makam menurunkan aturan-aturan dan norma-norma yang
harus ditaati. Ruang pesantren sebagai simbol agama kemudian
menunjukkan makna-makna ideologis yang inheren dalam sebuh
nilai dan norma yang berlaku. Selain makna-makna tersebut, juga
ada makna-makna ekonomi. Transformasi Pesantren Al-Muayyad
menjadi seperti sekarang ini menyisakan banyak fenomena
menarik terutama terkait dengan pergantian kepemimpinan.
Kebijakan pesantren mengenai batasan ruang akses santri ke
masyarakat menutup kran pendapatan penduduk sekitar, hal
ini juga diakui sebagai antisipasi pelanggaran santri. Akan
tetapi fasilitas pesantren yang mewadahi seluruh kepentingan
santri juga dianggap oleh warga sebagai kematian dari rantai
mata pencaharian, santri tidak lagi leluasa berinteraksi karena
terbatasnya ruang sosial santri dengan masyarakat sekitar.
DAFTAR PUSTAKA
A. Fais Guzairi, Tata Ruang Ergonomis Pada Kamar Santri. Skripsi, tidak
dipublikasikan, Malang: Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri
Maulana Ibrahim Malang, 2010.
Abdul Rozak, Pola-Pola Komunikasi Guru di SMU Pesantren Al-Muayyad
Surakarta. Jurnal Penelitian Agama, Vol. XIII, No. 3 SeptemberDesember , 2004.
36 | TAPIS Vol. XIII, No. 01 Januari-Juni 2013
Abdurahman Mas’ud, Dari Haramain ke Nusantara Jejak Intelektual Arsitek
Pesantren. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006.
Abdurahman Mas’ud, Intelektual Pesantren Perhelatan Agama dan Tradisi.
Yogyakarta: LKiS, 2004.
Agnestya Ekawati,, Tata Ruang Sebagai Simbol Interaksi Sosial Antara Kyai Dan
Masyarakat Di pesantren, Studi Dipondok Pesantren Nurul Ummah Kota
Gede Yogyakarta. Skripsi, tidak dipublikasikan, Yogyakarta: Fakultas
Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009.
Aziz dan Chirotun Chisaan,”Pembelajaran Sejarah di Pesantren” dalam
BASIS, No. 07 -08 Tahun ke-59,2010.
Dwi Nugraheni Nurliana, Pengaruh Sikap Tentang Kebersihan Diri Terhadap
Timbulnya Skabies (Gudik) Pada Santriwati di Pondok Pesantren AlMuayyad Surakarta, Skripsi, tidak dipublikasikan, Surakarta: Fakultas
Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2008.
Farkhan Mubarok, Konsep perancangan dan Perencanaan Pondok Pesantren
Internasional di Surakarta dengan Pendekatan Arsitektur Islam, Skripsi,
tidak dipublikasikan, Surakarta: Program Studi Arsitektur Jurusan
Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret, 2010.
Fauzi Fashri, Penyingkapan Kuasa Simbol, Yogyakarta: Juxtapose, 2007.
H. Benny Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, Jakarta: Komunitas
Bambu, 2011.
Henri Levebre, The Production of Space, Translated by Donald NicholsonSmith, Oxford: Blackwell,1991.
Inayati Fatima, Penataan dan Pengembangan Pondok Pesantren Al-Muayyad
Sleman Yogyakarta (Dengan Penekanan Desain Arsitektur Islam). Skripsi,
tidak dipublikasikan, Semarang: Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik
Universitas Diponegoro Semarang, 2003.
Konstruksi Sosial Tata Ruang
Pesantren Al-Muayyad....| 37
Jurnal Millah (2011) mengulas kontribusi pesantren dalam dinamika Islam
Indonesia.
M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007.
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren Suatu Kajian tentang Unsur
dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS, 1994
Mastuhu. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren Suatu Kajian tentang Unsur
dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren Jakarta: INIS, 1994.
Ronald Lukens- Bull, A Peaceful Jihad: Negotiating Identity and Modernity in
Muslim Java. New York: Palgrave Macmillan, 2005.
ST, Sunardi, Semiotika Negativa, Yogyakarta: Penerbit Buku Baik, 2004.
Zainuddin Maliki, Agama Priyayi Makna Agama di Tangan Elite Penguasa),
Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2004.
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Memadu Modernitas untuk Kemajuan
Bangsa. (Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2009).
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Memadu Modernitas untuk Kemajuan
Bangsa, Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2009.
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup
Kyai, Jakarta: LP3ES, 1982.
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup
Kyai, Jakarta: LP3ES, 1982.
Download