AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK DAUN DAN

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Kitolod (Laurentia longiflora (L). Peterm)
Kitolod tergolong tanaman semak dan berbatang lurus yang banyak dikenal
diberba gai suku da n daerah de ngan nama yang berbeda-beda. Nama tanaman
kitolod untuk daerah Melayu adalah lidah payau, di daerah Sunda dikenal dengan
nama daun kitolod atau jarojet, di daerah Jawa Tengah dikenal dengan nama
kenda l atau sangkobak, di Inggris di dikenal dengan Star of Betlehem dan di Cina
dikenal dengan tong ban cao (Dalimarta 2008).
Tanaman Kitolod diklasifikasikan ke dalam divisi Magnoliophyta, Kelas
Magnoliopsida, Sub Kelas Asterida e, Ordo Campanulales, Famili Campanu
laceae, Genus Laurentia da n Spesies Laurentia longiflora (L). Peterm (Dalimarta
2008). Tanaman yang berasal dari Hindia Barat ini tumbuh liar di pinggir saluran
air atau sungai, pematang sawah, sekitar pagar dan tempat-tempat lainnya yang
lembab dan terbuka. Kitolod dapat ditemukan dari dataran rendah sampai 1.100 m
di atas permukaan laut (Dalimarta 2008).
Gambar 1. Daun Kitolod
Tumbuhan ini merupaka n terna tegak, seringkali mulai bercabang pada
pangkal batang, tinggi mencapai 60 cm, bercabang dari pangkalnya, bergetah
putih yang rasanya tajam dan mengandung racun. Daun tunggal, duduk,
bentuknya lanset, permukaan kasar, ujung runcing, pangkal menyempit, tepi
melekuk ke dalam, bergigi sampai melekuk menyirip. Panjang da un 5-17 cm,
lebar 2-3 cm, warnanya hijau (Dalimarta 2008).
Gambar 2. bunga Kitolod
Bunganya tegak, tunggal, keluar dari ketiak daun, bertangkai panjang,
mahkota berbentuk bintang berwarna putih. Buahnya berupa buah kotak
berbentuk lonceng, merunduk, merekah menjadi dua ruang, berbiji banyak.
Perbanyakannya dengan biji, stek batang atau anakan (Dalimarta 2008).
Menurut Dalimarta (2008) penggunaan daun dan bunga kitolod sendiri dapat
digunakan dalam bentuk segar seperti tumbuka n, perasan, seduhan, dan rebusan,
yang oleh masyarakat daun dan bunga kitolod dimanfaatkan sebagai obat mata,
katarak, sakit gigi, asma, bronchitis, radang tenggorok, luka dan obat kanker.
Kemampuannya sebagai obat karena daun kitolod mengandung zat bioaktif
seperti senyawa alkaloid, flavonoid, dan saponin (Dalimarta 2008). Zat bioaktif
adalah zat yang termasuk metabolit sekunder yang bersifat aktif secara biologis.
Aktivitasnya antara lain sebagai antimikrob yaitu suatu zat yang dapat membunuh
atau menghambat pertumbuhan mikrob seperti bakteri, khamir, dan kapang yang
dapat digunakan untuk industri pangan dan farmasi (Heyne 1987).
Menurut Ismaylova (2008) daun kitolod mempunyai aktivitas sebagai anti
bakteri pada pasien penderita konjungtivitis. Bakteri yang berhasil diisolasi
teridentifikasi sebagai Stapylococcus hominis. Selain itu juga dilaporkan bahwa
ekstrak seduhan daun kitolod memiliki aktivitas antibakteri lebih besar
dibandingkan ekstrak refluks daun kitolodnya.
Konjungtivitis
Konjungtivitis lebih dikenal sebagai pink eye, yaitu adanya inflamasi pada
konjungtiva atau peradangan pada konjungtiva (selaput bening yang menutupi
bagian berwarna putih pada mata dan permukaan bagian dalam kelopak mata).
Tanda-tanda konjungtivitis, yakni konjungtiva berwarna merah (hiperemi)
dan membengkak, produksi air mata berlebihan, kelopak mata bagian atas nampak
menggelantung (pseudoptosis) seolah akan menutup akibat pembengkakan
konjungtiva dan peradangan sel-sel konjungtiva bagian atas, pembesaran
pembuluh darah di konjungtiva dan sekitarnya sebagai reaksi yang tidak spesifik
akibat peradangan, pembengkakan kelenjar (folikel) di konjungtiva dan
sekitarnya,
terbentuknya membran oleh proses koagulasi fibrin (komponen
protein) serta dijumpainya sekret dengan berbagai bentuk (kental hingga
bernanah) (Friedlaender 1995).
Gambar 3. Mata dengan konjungtivitis
Konjungtivitis dapat disebabkan oleh berbagai macam ha l seperti infeksi
oleh bakteri, virus, alergi terhadap serbuk, bulu binatang, dan iritasi oleh angin,
debu, asap, polusi udara, serta pemakaian lensa kontak (Friedlaender 1995).
Konjungtiva yang mengalami iritasi akan tampak merah dan mengeluarkan
kotoran. Konjungtivitis karena bakteri menyebabkan mata mengeluarkan kotoran
yang kental dan berwarna putih, sedangkan konjungtivitis karena virus atau alergi
menyebabkan mata mengeluarkan kotoran yang jernih. Kelopak mata bisa
membengkak dan sangat gatal, terutama pada konjungtivitis karena alergi (Iroha
et al. 1998). Konjungtivitis bisa berlangsung selama berbulan-bulan atau
bertahun-tahun. Konjungtivitis semacam ini bisa disebabkan oleh kelainan saluran
air mata, kepekaan terhadap bahan kimia, pemaparan oleh iritan, da n infeksi oleh
bakteri tertentu terutama Chlamidia (Iroha et al. 1998). Beberapa jenis
konjungtivitis dapat hilang dengan sendirinya, tapi ada juga yang memerlukan
pengobatan (Friedlaender 1995).
Konjungtivitis dapat menyerang bayi maupun orang dewasa. Konjungtivitis
lebih banyak pada anak-anak dengan gizi kurang atau sering mendapat radang
saluran napas, serta dengan kondisi lingkungan yang tidak sehat. Pada orang
dewasa juga dapat dijumpai tetapi lebih jarang. Meskipun sering dihubungkan
dengan penyakit tuberkulosis paru, tapi tidak jarang penyakit paru tersebut tidak
dijumpai pada penderita dengan konjungtivitis (Sandstrom et al. 1984).
Konjungtivitis pada bayi baru lahir terjadi akibat infeksi konjungtiva
gonokokus dari ibunya. Karena itu setiap bayi baru lahir mendapatkan tetes mata
(biasanya perak nitrat, povidin iodin) atau salep antibiotik (misalnya eritromisin)
untuk membunuh bakteri yang bisa menyebabkan konjungtivitis gonokoka (Di
Bartolomeo et al. 2001). Pada usia dewasa bisa mendapatkan konjungtivitis
melalui hubungan seksual (misalnya jika cairan yang terinfeksi masuk ke dalam
mata). Biasanya konjungtivitis hanya menyerang satu mata. Dalam waktu 12
sampai 48 jam setelah infeksi, mata menjadi merah dan nyeri. Penyakit radang
mata yang tidak segera ditangani/ diobati bisa menyebabkan kerusakan pada mata
dan menimbulkan komplikasi. Beberapa komplikasi dari konjungtivitis yang tidak
tertangani diantaranya ulkus kornea, abses, glaukoma, katarak, ablasi retina, dan
kebutaan (Iroha et al. 1998).
Pengobatan konjungtivitis tergantung dari identifikasi penyebabnya.
Konjungtivitis karena bakteri dapat diobati dengan sulfonamida (sulfasetamida 15
%) atau antibiotik (Gentamisin 0,3%, kloramfenikol 0,5%). Konjungtivitis karena
jamur sangat jarang, sedangkan pengobatan konjungtivitis karena virus terutama
ditujukan untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder. Konjungtivitis karena
alergi di obati dengan antihistamin atau kortikosteroid (misalnya deksametazon
0,1%) (Sandstrom et al. 1984). Konjungtivitis tidak membahayakan, namun jika
penyakit radang mata tidak segera ditangani/ diobati bisa menyebabkan kerusakan
pada mata/gangguan dan menimbulkan komplikasi seperti Glaukoma, da n katarak
(Friedlaender 1995).
Bakteri Uji
Bakteri adalah sel prokariot yang khas bersifat uniseluler dan tidak
mengandung struktur yang terbatasi membran di dalam sitoplasmanya. Sel bakteri
berbentuk khas seperti bola, batang, atau spiral yang umumnya berdiameter 0,51,0 µm dan panjang antara 1,5-2,5 µm de ngan struktur luarnya berupa flagella,
pilus dan kapsul (Pelczar & Chan 1986). Flagella berbentuk seperti rambut tipis
yang berfungsi sebagai alat gerak. Pilus mirip dengan flagella namun lebih
pendek, kaku, dan berdiameter lebih kecil. Pilus berfungsi sebagai penghubung
saat bakteri melakukan konjugasi (pertukaran materi genetik) da n pelekat antara
sel bakteri yang satu dengan sel bakteri lainnya. Pilus hanya terdapat pada bakteri
Gram negatif, contohnya Escherichia coli. Kapsul adalah lapisan lendir yang
menyelubungi dinding sel bakteri dan merupakan pelindung sel serta berfungsi
sebagai makanan cadangan. Bakteri dapat hidup berpasangan, bergerombol,
membentuk rantai atau filamen (Cummins 1990).
Bakteri melakukan reproduksi melalui pembelahan biner sederhana atau
membentuk sel khusus yang disebut spora. Selang waktu khusus yang dibutuhkan
bakteri untuk membelah diri agar pop ulasinya menjadi dua kali lipat disebut
waktu generasi (Pelczar & Chan 1988). Berdasarkan sifat dan komposisi dinding
sel, bakteri dibedakan menjadi dua yaitu bakteri Gram pos itif dan bakteri Gram
negatif (Williams et al. 1996).
Bakteri Gram positif memiliki struktur dinding sel yang tebal (15-80 nm)
dan berlapis tunggal dengan komposisi dinding sel terdiri atas lipid peptidoglikan
dan asam teikoat. Kandungan lipid pada bakteri gram positif antara 1-4%. Dinding
selnya terdiri dari lapisan tunggal peptidoglikan yang mencapai lebih dari 50%
berat kering sel bakteri. Asam teikoat sebagai bagian utama dinding sel yang
hanya terdapat pada bakteri Gram positif adalah polimer linear yang diturunkan
baik dari gliserol fosfat maupun dari ribitol fosfat. Bakteri Gram pos itif memiliki
kompo sisi lipid pada dinding selnya lebih sedikit sehingga lebih sensitif terhadap
pewarnaan ba sa diba ndingkan gram negatif. Bakteri Gram pos itif rentan terhadap
gangguan fisik (Pelczar & Chan 1986; Cummins 1990; Williams et al. 1996).
Bakteri Gram negatif memiliki struktur dinding sel yang lebih tipis dari
bakteri Gram pos itif tetapi memiliki dinding sel yang berlapis tiga dengan
ketebalan 10-15 nm. Kompos isi dinding sel Gram negatif terdiri atas lipid (1122%) dan peptidoglikan (10% dari berat kering) yang berada dalam lapisan
sebelah dalam dinding sel. Bakteri Gram negatif lebih tahan terhadap penisilin
dibandingka n Gram pos itif (Myllyniemi 2004 ).
Bakteri uji yang digunakan dalam menentukan aktivitas antibakteri suatu
tanaman herbal adalah bakteri standar dan dapat juga tergantung pada khasiat
tanaman tersebut terhadap organ tubuh yang diserang oleh bakteri. Mengingat
akan kemampuan daun dan bunga kitolod yang dapat mengobati beberapa
penyakit seperti sakit mata merah, katarak, sakit gigi, luka dan obat kanker, maka
untuk itu digunakan bakteri yang hidup di permukaan kulit yaitu Staphylococcus
aureus, Pseudomonas aeruginosa, da n Streptococcus pneumoniae (Sandstrom et
al. 1984).
Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus merupakan mikro flora normal yang terdapat pada
permukaan tubuh seperti pada permukaan kulit, rambut, hidung, mulut dan
tenggorokan. Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif, berbentuk
kokus dengan diameter 0,7-0,9 µm da n termasuk da lam suku Micrococcaceae.
Bakteri ini tumbuh secara anaerobik fakultatif dengan membentuk kumpulan selsel dan sering ditemukan pada makanan yang mengandung protein tinggi,
misalnya sosis, telur dan sebagainya (Fardiaz 1989).
Staphylococcus aureus tahan garam dan tumbuh baik pada medium yang
mengandung 7,5% NaCl serta dapat memfermentasi manitol, umumnya
memproduksi pigmen kuning keemasan dan koagulasi, sehingga dapat dibedakan
atas beberapa group berdasarkan sifat imunitas koagulasenya yaitu koagulase tipe
I sampai VIII. Staphylococcus aureus membutuhkan suhu optimum pertumbuhan
35 0 C- 38 0 C. Bakteri Staphylococcus aureus dapat tumbuh pada pH 4,0- 9,8
dengan pH optimum sekitar 7,0- 7,8. Pertumbuhan pada pH mendekati 9,8 hanya
mungkin bila substratnya mempunyai komponen yang baik untuk pertumbuhan
(Fardiaz & Jenie 1988). Bakteri ini menyebabkan berbagai penyakit seperti infeksi
terhadap borok atau bisul yang bernanah, radang selaput otak, peracunan terhadap
darah da n racun pada maka nan (Buchana n & Gibbo ns 1974).
Pseudomonas aeruginosa
Pseudomonas aeruginosa termasuk famili Pseudomonadaceae dan masuk
kelompok bakteri Gram negatif. Bakteri ini bersifat patogen dapat menimbulkan
kebusukan pada makanan, dapat tumbuh pada suhu 370 C, tidak tahan terhadap
panas dan kondisi kering sehingga mudah dibunuh dengan pemanasan dan
pengeringan (Todar 2004).
Pseudomonas aeruginosa adalah bakteri batang dengan diameter 0,5-1,0 µm
dan panjang 1,5-4,0 µm. Bakteri ini bersifat motil dan mudah tumbuh pada media
yang umum. Selain itu bakteri ini tumbuh baik pada media nitrogen dengan
bermacam- macam senyawa ka rbo n (Buchanan & Gibbo ns 1974).
Menurut Todar (2004) bakteri ini dapat tumbuh pada perbenihan buatan,
membentuk koloni bulat halus de ngan fluor esensi ke hijauan de ngan ba u aromatik
yang enak. Bakteri ini hanya bersifat patogen dalam tubuh bila masuk kedaerah
pertahanan normalnya atau berperan dalam infeksi campuran. Salah satunya
penyebab penyakit infeksi mata.
Streptococcus pneumoniae
Streptococcus pneumoniae adalah bakteri Gram positif berbentuk bulat,
secara khas terdapat berpasangan. Bagian ujung belakang tiap pasangan bakteri
berbentuk tombak, tidak membentuk spora dan tidak bergerak tetapi galur yang
ganas berkapsul, menghasilkan α-hemolisis pada agar darah dan akan terlisis oleh
garam empedu dan deterjen (Johnson & Arthur 1994).
Streptococcus pneumoniae terdapat pada saluran pernapasan bagian atas
manusia dan dapat menyebabkan pneumonia, sinusitis, bronchitis, meningitis, dan
proses infeksi lainnya. Streptococcus pneumoniae (pneumokokus) membe ntuk
koloni bulat kecil, mula- mula berbentuk kubah dan kemudian timbul lekukan di
tengah-tengahnya dengan pinggiran yang meninggi dan α-hemolisis pada agar
darah. Pertumbuhan bakteri ditinggika n de ngan 5-10% CO2 . Energi yang
diperoleh kebanyakan dari peragian glukosa yang diikuti oleh pembentukan asam
laktat yang cepat, sehingga membatasi pertumbuhan (Jawetz 1996).
Biaka n pneumokokus mengandung beberapa organisme yang tidak dapat
membentuk polisakarida sehingga membentuk koloni kasar tetapi sebagian besar
bakteri menghasilkan polisakarida dan membentuk koloni halus. Bentuk kasar
akan banyak ditemui bila biakan ditumbuhkan pada serum antipolisakarida tipe
spesifik. Streptococcus pneumoniae atau pneumokokus bisa mengakibatkan
infeksi ringan sampai parah pada saluran pernafasan atas dan bawah, dari
pertengahan telinga, hidung hingga paru-paru. Infeksi tersebut selanjutnya bisa
menyebar ke or gan tubuh penting yang lain melalui aliran darah Streptococcus
pneumoniae dapat menyebabkan penyakit pneumonia (Oswari 1995).
Senyawa Antibakteri
Senyawa antibakteri digambarkan sebagai produk alami (ba han organik)
dengan berat molekul rendah dihasilkan oleh mikrob atau tumbuhan yang aktif
melawan mikrob lain pada konsentrasi rendah. Pengembangan aktivitas ini
melalui jumlah terbatas dari mekanisme antimikrob yang dapat mempengaruhi
sintesis dinding sel, integritas membran sel, sintesis protein, replikasi perbaikan
DNA, transkripsi dan reaks i yang terletak antara metabolisme primer serta
sekunder sehingga menghasilkan energi untuk berlangsungnya suatu reaksi
(metabolit intermediet) (Wax et al. 2008). Antimikrob meliputi antibakteri,
antiprotozoa, antifungi dan antivirus. Antibakteri termasuk dalam antimikrob yang
digunakan untuk menghambat pertumbuhan bakteri (Schunack et al. 1990).
Kriteria umum yang digunakan sebagai antibakteri antara lain tidak bersifat racun
bagi bahan pangan, ekonomis, tidak menyebabkan perubahan aroma, cita rasa dan
tekstur makanan, tidak menyebabkan timbulnya galur resisten, dan sebaliknya
mempunyai kemampuan membunuh dibanding menghambat pertumbuhan bakteri
(Frazier & Westhoff 1978).
Kemampuan senyawa antibakteri dalam menghambat pertumbuhan bakteri
dipengaruhi oleh kestabilan terhadap protein, lipid, dan tingkat keasaman (pH)
dalam medium pertumbuhan (Nychas & Tassou 2000, diacu dalam Robinson &
Patel 2005). Suhu dan waktu pemanasan mempengaruhi stabilitas senyawa
antimikrob. Senyawa antimikrob yang bersifat volatil akan menguap dan hilang
jika dipanaskan (Brannen & Davidson 1993). Edwald (1999) melaporkan bahwa
aktivitas antibakteri kuersetin dan kamferol dari golongan flavonoid menurun
sebesar 48% dan 68% dengan adanya pemanasan pada suhu 60 0 C selama 2 jam.
Berdasarkan aktivitasnya, zat antibakteri dibedakan menjadi dua yaitu anti
bakteri yang memiliki aktivitas bakteriostatik (menghambat pertumbuhan bakteri)
dan bakteriosida (membunuh bakteri). Antibakteri bakteriostatik bekerja dengan
cara menghambat perbanyakan populasi bakteri dan tidak mematikan. Pada kadar
yang tinggi, antibakteri bakteriostatik juga dapat bertindak sebagai bakteriosida
dan sebaliknya bakteriosida pada konsentrasi rendah dapat bersifat bakteriostatik
atau tidak bekerja sama sekali (Schunack et al. 1990). Mylliniemi (2004)
membedakan antibakteri menjadi dua berdasarkan keefektifan kerjanya yaitu
antibakteri berspektrum luas dan antibakteri berspektrum sempit. Antibakteri
berspektrum luas bekerja efektif terhadap berbagai jenis bakteri sedangkan
antibakteri berspektrum sempit hanya efektif terhadap bakteri tertentu.
Berdasarkan mekanisme kerjanya, anti bakteri dibedakan dalam 5 kelompok
yaitu: (1) Antibakteri yang bekerja mengganggu metabolisme sel mikrob, contoh:
sulfonamid, asam p-aminosalisilat (PAS) dan sulfon; (2) antibakteri yang
menghambat sintesis membran sel mikrob, contoh: penisilin, sefalosporin,
basitrasin, vankomisin dan sikloserin; (3) antibakteri yang mengganggu
permeabelitas membran sel mikrob, contoh: polimiksin; (4) antibakteri yang
menghambat sintesis protein sel mikrob, contoh: tetrasiklin dan kloramfenikol;
dan (5) antibakteri yang menghambat sintesis atau merusak asam nukleat sel
mikrob, contoh: rifampisin (Setiabudy & Gan 2007, diacu dalam Ganiswara et al.
2010). Lebih lanjut Lukman (1984) menjelaskan kinerja antibakteri antara lain
sebagai berikut: merusak dinding sel, mengganggu permeabilitas membran sel,
mendenaturasi protein sel, dan menghambat kerja enzim di dalam sel.
Mekanisme kerusakan dinding sel bakteri dapat disebabkan oleh senyawa
antibakteri yang dapat menembus lipopolisakarida dari dinding sel bakteri.
Molekul- molekul yang bersifat hidrofilik lebih mudah melewati lipopo lisakarida
dibandingkan dengan yang hidrofobik, sehingga menyebabkan perubahan
komposisi penyusun dinding sel. Membran sitoplasma yang berperan pada
keutuhan sel dapat terganggu permeabilitasnya oleh beberapa senyawa antibakteri
yang dapat menyebabkan kebocoran isi sel sehingga transfer isi sel tidak
terkontrol. Bocornya membran sitoplasma dapat dideteksi dengan adanya
perubahan jumlah asam nukleat dan protein dalam medium seperti telah
dibuktikan oleh Bunduki et al. (1995). Kerusakan pada membran ini umumnya
mengakibatkan peningkatan permeabilitas dan terjadi kebocoran sel yang diikuti
dengan keluarnya materi intraseluler.
Menurut Kanazawa et al. (1995), senyawa antimikrob dapat menghambat
sintesis protein bakteri pada saat telah terdifusi ke dalam sel yaitu senyawa
tersebut bereaksi dengan komponen sel Ribosom 50S yang membentuk kompleks
pada tahap inisasi (tahap awal sintesis protein), sehingga menstimulasi translasi
yang salah, selanjutnya terjadi penyimpangan dalam ribosom yang mengakibatkan
sintesis protein dilanjutkan dengan pasangan yang tidak tepat da n akhirnya
mengganggu protein.
Umumnya antibiotik yang digunakan untuk mengobati infeksi bakteri adalah
molekul kecil yang menghambat sintesis makromolekul bakteri dengan target
enzim yang terlibat di dalam sintesis protein dan dinding sel bakteri (Alberts et al.
2002). Obat yang bekerja terhadap dinding sel dan membran sitoplasma
mempunyai cara kerja bakteriosida, karena tanpa dinding sel mikrob tidak dapat
bertahan terhadap pengaruh luar demikian pula kerusakan membran dapat
mengganggu pertukaran zat aktif yang penting untuk kehidupan mikrob seperti
penisilin dan turunannya. Obat yang bekerja menghambat sintesis protein bekerja
secara bakteriostatik, karena kekurangan protein mengakibatkan hambatan
pertumbuhan mikrob seperti tetrasiklin, klorofenol, eritromisin, linko misin,
rifampisin (Wattimena et al. 1991).
Pada penelitian ini digunakan senyawa antibakteri kloramfenikol sebagai
pembanding (kontrol pos itif). Kloramfeniko l merupakan kr istal putih yang sukar
larut dalam air dan bersumber dari Streptomyces venezuelae. Kloramfeniko l
terikat pada ribosom sub unit 50s. Cara kerjanya dengan jalan menghambat
sintesis protein bakteri pada ribosom 50s bakteri. Yang dihambat adalah enzim
peptidil transferase yang berperan sebagai katalisator untuk membentuk ikatanikatan peptida pada proses sintesis protein bakteri, sehingga ikatan peptida tidak
terbentuk pada proses sintesis protein bakteri (Kanazawa et al. 1995).
Struktur kloramfenikol unik karena mengandung nitrobenzen dan derivat
dari asam dikloroasetat, yang memiliki dua pusat asimetrik C1 dan C2 sehingga
memiliki 4 stereoisomer (Myllyniemi et al. 2004).
Gambar 4. Struktur kimia kloramfenikol
Kloramfenikol
dipakai
dalam
pengobatan
infeksi- infeksi
anaerob.
Kloramfenikol umumnya bersifat bakteriostatik. Pada konsentrasi tinggi kadangkadang bersifat bakteriosida terhadap bakteri tertentu. Kloramfenikol digunakan
sebagai antibakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif (Wattimena et al.
1991). Efek samping kloramfenikol adalah anemia, sakit kepala, depresi ringan,
dan bingung. Reaksi hipersensitif terhadap obat ini meliputi demam dan
anafilaksis (serangan alergi) (Kanazawa et al. 1995).
Penentuan Aktivitas Antibak teri
Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan dalam uji antibakteri
secara in vitro, yaitu tes difusi agar menggunakan cakram, silinder atau cekungan
sebagai tempat antibiotik dan tes menentukan penghambatan pertumbuhan bakteri
dengan menentuka n kekeruhan (turbidimetri) dalam media cair (Edward 1980).
Jawekz et al. (1972) menambahkan metode bioautografi dapat juga digunakan
dalam menguji aktivitas antibakteri. Masing- masing metode memiliki kekurangan
dan ke lebihan. Dari ketiga metode di atas yang sering digunakan untuk uji anti
mikrob adalah metode difusi. Metode ini dilakukan de ngan dasar proses difusi di
dalam agar. Substansi antimikrob diletakkan pada media agar yang telah
diinokulasi dengan bakteri uji sehingga anti bakteri dalam media agar akan
berdifusi dan akan membentuk zona bening disekitar substansi yaitu zona
pertumbuhan yang dihambat.
Ada tiga teknik uji yang termasuk dalam kelompok tes difusi, yaitu disc
diffusion, ditch technique, dan hole atau well technique. Tes dalam media cair
biasanya digunakan untuk menentukan nilai minimum inhibitory concentration
(MIC).
Metode disc diffusion adalah metode paling sederhana yang secara rutin
digunakan dalam uji sensitivitas. Metode ini direkomendasikan oleh ko mite WHO
dan Asosiasi Patologis Klinis. Dalam metode ini paper disc yang mengandung
sejumlah tertentu zat antibakteri ditempatkan pada permukaan media agar yang
sudah diinokulasi dengan bakteri uji. Ditch technique saat ini sudah jarang
digunakan. Dalam metode tersebut, dilakukan pengambilan sebagian agar pada
salah satu sisi pe tri unt uk diganti de ngan agar yang mengandung antibiotik atau
zat uji. Dalam well technique, media agar padat dilubangi menggunakan
corkborer kemudian diisi dengan sejumlah antibiotik atau obat yang digunakan
dapat berbeda-beda serta dapat dibuat lubang dengan ukuran besar sehingga uji
lebih kuantitatif.
Uji menggunakan media cair adalah metode paling sederhana untuk
menentuka n nilai MIC (Edward 1980). Menurut Edberg (1986), MIC merupakan
konsentrasi terendah yang akan menghambat pertumbuhan mikroorganisme
makroskopik. Kadar minimal yang dibutuhkan untuk menghambat bakteri atau
membunuhnya, masing- masing dikenal sebagai kadar hambat tumbuh minimal
(KHTM) dan kadar bunuh minimal (KBM). Menurut David da n Stout (1971) daya
antibakteri berdasarkan diameter zona hambat, terdiri dari: sangat kuat (zona
hambat lebih dari 20 mm), kuat (zona hambat 10- 20 mm), sedang (zona hambat
5-10 mm) da n lemah (zona hamba t kurang dari 5 mm). Suatu antibakteri
dikatakan mempunyai aktivitas yang tinggi bila KHTM terjadi pada kadar
antibiotik yang rendah tetapi mempunyai daya bunuh atau daya hambat yang
tinggi. Pertumbuhan mikrob makroskopik dapat dilihat dalam batas 10-6 sampai
10-7 mikrob/ml. Jumlah bakteri pada kontrol dapat mencapai 109 sampai 10 10
mikrob/ml (Wattimena et al. 1991).
Berdasarkan pada tujuan penggunaannya metode pengujian kepekaan
senyawa antimikrob dapat dibagi menjadi 3 jenis yaitu difusi, dilusi dan
kombinasi antara difusi dan dilusi (Lalitha 2004). Penentuan daya antibakteri
dapat dilakukan dengan menentukan adanya daya hambat pertumbuhan bakteri
atau
dilanjutkan
dengan
menentukan
potensi
daya
hambat
dengan
membandingkan antibiotik atau dengan menentukan koefisien fenol. Fenol sendiri
merupakan zat pembaku (standar) daya antiseptik obat lain sehingga daya anti
septik dinyatakan dengan koefisien fenol, walaupun fenol bukan antiseptik yang
kuat (Estuningtyas et al. 2007).
Download