BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hipotiroid adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh gangguan salah satu tingkat aksis hipotalamus – hipofisis – kelenjar tiroid sehingga menyebabkan defisiensi hormon tiroid (Carageorgiou et al., 2007). Hipotiroid pada masa anak – anak dapat menyebabkan kretinisme (Anwar, 2005). Ada 2 jenis kretin yaitu kretin sporadik dan kretin endemik. Kretin endemik berhubungan dengan defisiensi iodium berat disertai dengan retardasi mental. Sedangkan kretin sporadik (hipotiroid kongenital) bukan disebabkan oleh defisiensi iodium, namun kelenjar tiroid janin yang tidak dapat memproduksi hormon tiroid (Ganong 1995; Rustama, 2005). Hipotiroid pada masa anak – anak dapat menyebabkan kretinisme, menghambat proses mielinisasi, menurunkan kemampuan asetilkolineterase, menurunkan kemampuan menyimpan memori pada hippocampus, menyebabkan retardasi mental, dan menghambat perkembangan sel Sertoli pada waktu dewasa (Mader, 2004; Selmanoglu dan Kockaya, 2004; Anwar, 2005; Carageorgiu et al., 2007; Horn and Heuer, 2010). Hormon yang diproduksi oleh kelenjar tiroid adalah tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3) yang penting bagi kehidupan. Apabila kedua hormon tersebut rendah maka akan menyebabkan perlambatan pertumbuhan dan perkembangan pada berbagai fase kehidupan serta menyebabkan retardasi mental (Ganong, 1995). Akson berkembang dari sel granular yang merupakan sel paling banyak pada serebelum. Akson pada sel granular berkembang dari lapisan luar serebelum menuju lapisan dalam serebelum, selanjutnya akson terhubung dengan dendrit dari sel Purkinje. Pada individu hipotiroid, kecepatan migrasi dari sel granular melambat karena akson yang terbentuk lebih pendek dibanding pada individu eutiroid (Nunez, 1991). Kekurangan hormon tiroid menyebabkan perlambatan pada pembentukan sinapsis, pembentukan neurotransmitter, pembentukan mielin sehingga menyebabkan peningkatan kematian sel syaraf akibat maturasi sel syaraf 1 tidak sempurna (Bernal and Nunez, 1995). Konektivitas antara bagian otak merupakan syarat penting bagi fungsi kognitif (Sherwood, 2007). Hipotiroid kongenital dapat terjadi antara 1 dari 4000 hingga 1 dari 3500 kelahiran hidup. Pada daerah dengan defisiensi iodium, insiden hipotiroid kongenital lebih tinggi antara 1 per 500 hingga 1500 kelahiran hidup dan dapat mencapai 1 per 141 kelahiran hidup pada bayi dengan Syndrome Down (Fort and Brown, 1996). Di 11 provinsi di Indonesia, sejak tahun 2000 – 2013 telah dilakukan skrining hipotiroid kongenital sebanyak 199.708 bayi dengan hasil tinggi sebanyak 73 kasus, sehingga prevelensi di Indonesia adalah 1 dari 2736 kelahiran. Rasio ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan rasio global yaitu 1 dari 3000 kelahiran. Bila diasumsikan rasio angka kejadian hipotiroid kongenital adalah 1 dari 3000 dengan proyeksi angka kelahiran adalah 5 juta bayi per tahun, maka diperkirakan lebih dari 1600 bayi dengan hipotiroid kongenital akan lahir tiap tahun (Kementrian Kesehatan RI, 2014). Hipotiroid kongenital diyakini sebagai penyebab disabilitas intelektual yang dapat dicegah (Sunartini, 2005). Penelitian di luar negeri yang telah dilakukan terkait hipotiroid kongenital telah dilakukan yaitu adanya mutasi pada beberapa gen antara lain adalah mutasi pada gen Thyrotropin β subunit (TSH β subunit), gen sodium-iodide symporter (NIS), gen tiroid peroksidase (TPO), mutasi homozigot pada ekson 7 (Pohlenz, 1997; Dohan et al., 2003; van de Graaf et al., 1999; Gutnisky et al., 2004; Hayashizaki et al., 1990), mutasi pada ekson 8 (Hishinuma et al., 2006), mutasi ekson 22 gen tiroglobulin (TG) (Targovnik et al., 1993; Gutnisky et al., 2004; Mendive et al., 2005; Hishinuma et al., 2006; Caputo et al., 2007). Di Indonesia penelitian tentang mutasi gen penyebab hipotiroid kongenital sudah pernah dilaporkan yaitu pada penelitian mutasi gen TSH β subunit dan gen NIS pada individu dengan hipotiroid kongenital di Jawa Tengah namun belum menunjukkan adanya mutasi (Kumorowulan, 2008; Wibowo dan Wahyuningrum, 2015). Mengacu pada penelitian yang telah dilakukan sebelumnya di Indonesia, oleh karena pada penelitian sebelumnya belum ditemukan mutasi gen TSH β subunit dan gen NIS, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui mutasi gen lain penyebab hipotiroid kongenital yaitu mutasi gen tiroglobulin (TG). Mutasi pada ekson 7 dan 22 gen tiroglobulin (TG) adalah yang paling sering dilaporkan 2 sehingga ekson 7 dan 22 dipertimbangkan sebagai hotspot mutasi gen tiroglobulin (Targovnik et al., 1993; van de Graaf et al., 1999; Gutnisky et al., 2004; Mendive et al., 2005; Rivolta et al., 2005; Hishinuma et al., 2006; Caputo et al., 2007; Pardo et al., 2009; Machiavelli et al., 2010). Letak ekson 7 dan 8 berdekatan dibatasi oleh intron 7 sepanjang 201 bp saja sehingga dapat dilakukan sekuensing dengan satu pasang primer yang spesifik, selain itu pada ekson 8 juga ditemukan dua titik mutasi oleh Hishinuma et al., (2008). Oleh karena itu, pada penelitian ini ingin diketahui mutasi ekson 7, 8, dan 22 gen tiroglobulin (TG) pada hipotiroid kongenital di Jawa Tengah dan Yogyakarta, Indonesia. 3 B. Perumusan Masalah Berdasarkan pada latar belakang yang telah diuraikan, belum ditemukan mutasi gen TSH β subunit dan gen NIS pada hipotiroid kongenital di Jawa Tengah, sehingga dapat dirumuskan permasalahan bahwa belum diketahui ada / tidaknya mutasi gen tiroglobulin (TG) dan apabila ada mutasi, belum diketahui letak dan tipe mutasi gen tiroglobulin (TG) pada hipotiroid kongenital di Jawa Tengah dan Yogyakarta. C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : 1. Mengetahui ada / tidaknya mutasi gen tiroglobulin (TG) pada hipotiroid kongenital di Jawa Tengah dan Yogyakarta. 2. Mengetahui letak dan tipe mutasi apabila diketahui ada mutasi pada gen tiroglobulin (TG) pada hipotiroid kongenital di Jawa Tengah dan Yogyakarta. D. Manfaat Penelitian Penelitian mengenai mutasi gen tiroglobulin (TG) diharapkan dapat bermanfaat untuk mengetahui penyebab hipotiroid kongenital pada subyek penelitian, selanjutnya dapat dipelajari lebih lanjut mutasi gen yang berhubungan dengan hipotiroid kongenital di Indonesia. 4