Perbedaan Gender dalam Cara Berkomunikasi Masyarakat Bugis Gender Differences in Bugis Communication Murni Mahmud Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris FBS UNM Telp: 0411 841720/081241677894, email: [email protected] ABSTRAK Paper ini membahas cara berkomunikasi masyarakat Bugis yang dipengaruhi oleh perbedaan gender. Ini didasarkan pada data penelitian yang dilakukan pada tahun 2005 sebagai salah satu bagian dari penelitian yang dilakukan untuk mengetahui konsep kesopanan masyarakat Bugis. Ada dua lokasi penelitian, satu di daerah pedesaan yang bertempat di Kecamatan Awangpone, Bone dan satu di daerah perkotaan yaitu di kotamadya Parepare. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan anthropologi. Metode penelitian yang dilakukan adalah dengan participant observation atau partisipan observasi. Peneliti melakukan informal interview sambil mengobservasi subjek penelitian. Selain ityu, peneliti juga merekam percakapan mereka dalam berbagai situasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam masyarakat Bugis, terdapat perbedaan cara berkomunikasi antara laki-laki dan perempuan yang dipengaruhi oleh perbedaan gender. Selain itu, terdapat kecenderungan menggunakan kata panggilan yang berbias gender. Perbedaan ini terlihat dengan jelas di daerah pedesaan dan perkotaan. Meskipun demikian, perbedaan itu juga dipengaruhi oleh aspek lain seperti faktor umur, status sosial, dan situasi. Kata-kata kunci: komunikasi, gender, bahasa perempuan, status social, umur ABSTRACT This paper discusses the communication of Bugis people as influenced by gender differences. This paper is based on my data collected in 2005 as part of wider research into language use, focusing particularly on forms of expressing politeness: the first was in rural area, that is in Kecamatan Awangpone, Bone and in urban area, Parepare. This research used a qualitative research with anthropological approach. The data collection was by using participant observation. The researcher conducted an informal interviews with the respondents while observing their activities. In addition, respondents were also recorded in some speech situations. 1 The result of the research shows that there are some differences on the ways men and women communicate. There is a tendency of Bugis women to use high and polite language when speaking to their male counterparts. I also found some other characteristics of women’s language in Bugis Society such as the tendency to use gender-bias address term. These gender differences are reflected differently in the rural and urban areas. Key words: communication, gender, women’s language, social status, age PENDAHULUAN Topik ketidaksetaraan gender memang bukan lagi suatu fenomena yang baru. Realitasnya dapat dilihat pada berbagai bidang kehidupan masyarakat yaitu ipoleksosbudhankam. Meskipun demikian, diskusi mengenai gender pada umumnya berkaitan dengan topik-topik seperti peran perempuan dalam politik, kekerasan seks (sexual harrasment), atau marginalisasi perempuan. Tulisan kali ini akan mengangkat suatu fenomena penting dalam pembahasan gender yang berbeda, yaitu hubungan antara cara berkomunikasi dan gender. Jika dicermati lebih lanjut, adanya kesenjangan berkomunikasi antara laki-laki dan perempuan pada dasarnya juga menjadi salah satu sumber ketidaksetaraan gender dalam masyarakat. Tentunya sangat menarik untuk membahas bagaimana perbedaan gender mempengaruhi cara berkomunikasi dalam masyarakat tertentu yang tentunya akan dipengarui oleh sistem sosial budayanya. Menurut Eckert (1998:64), praktek gender berbeda antara budaya yang satu dengan budaya yang lain, dari suatu tempat ke tempat yang lain, dari kelompok yang satu dengan kelompok lainnya. PERBEDAAN GENDER DALAM BERKOMUNIKASI Beberapa ahli bahasa dan gender sudah mengemukakan adanya perbedaan gender dalam berbahasa. Perempuan memiliki ciri khas tersendiri dalam berkomunikasi baik verbal maupun nonverbal. Lakoff (1976) pelopor pertama dalam penelitian bahasa dan gender, 2 misalnya mengatakan bahwa perempuan cenderung berkomunikasi dengan intonasi tinggi, sangat sopan, banyak empati, dan pertanyaan. Sedangkan menurut Tannen (1990), ciri khas perempuan dalam berkomunikasi adalah bahwa perempuan lebih banyak mengutamakan koneksi atau relasi yang baik dan intimasi, menghindari superioritas, lebih emosional, mengurangi timbulnya perbedaan pendapat, lebih kooperatif, dan mengutamakan simetris dalam berkomunikasi. Dalam komunikasi nonverbal, perempuan terbukti lebih banyak menggunakan kontak mata (67.5%), bahasa tubuh (75.5%), dan senyum (83.7%) (Griffin 1999). Perbedaan-perbedaan lainnya dalam berkomunikasi antara laki-laki dan perempuan masih banyak dibahas dalam literatur. Eckert and McConnel-Ginet (1994:453), misalnya mengatakan sebagai berikut: ‘women’s language’ is said to reflect women’s conservatism, prestige consciousness, desire for upward mobility, insecurity, deference, nurture, emotional expressivity, connectedness, sensitivity to others, and solidarity, whereas men’s language is regarded as evincing their toughness, lack of affect, competitiveness, independence, competence, hierarchy and control. Vanfossen, (2001:2) juga mengungkapkan bahwa laki-laki terkenal dengan sikap agresifnya (memberi) dan sifat aktifnya dan sebaliknya perempuan dikenal dengan sikap non-agresif (menerima) dan sifat pasifnya. Daerah komunikatif perempuan lebih banyak pada aspek prifat (private sphere) seperti dalam lingkungan informal, sedangkan daerah komunikatif laki-laki adalah pada aspek publik (public spheres). Perempuan juga dikatakan lebih sopan dari pada laki-laki. Bukan hanya pada laki-laki, tetapi perempuan juga terbukti lebih sopan kepada sesama perempuan. Perempuan sangat identik dengan gossip atau pembicaraan yang bersifat personal, sedangkan lakilaki lebih identik dengan pembicaraan yang sifatnya ilmiah. Perempuan dikatakan cerewet (talkative) namun hanya dibidang privat, sedangkan pada lingkup publik, perempuan memilih untuk lebih pasif (Speer, 2002:347; Hobbs, 2003:243). Meskipun demikian, konsistensi terhadap ciri khas bahasa perempuan ini masih sering diperdebatkan. Hal itu disebabkan karena perbedaan-perbedaan bahasa perempuan dan 3 bahasa laki-laki tidak bisa dianggap sebagai kondisi yang mutlak disebabkan oleh perbedaan gender. Connell (2002:51) menegaskan, kategori perbedaan bahasa dan gender bukanlah merupakan kategori yang tetap. Ini disebabkan karena adanya perbedaan spesifik dan situasional yang terkadang muncul dalam komunikasi antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan-perbedaan itu bisa saja dipengaruhi oleh faktorfaktor lain selain gender seperti suasana berkomunikasi dan tingkat status sosial dari pembicara. Untuk itu penelitian bahasa dan gender harus lebih banyak mencermati hubungan terkait dari berbagai jenis faktor yang mempengaruhi tingkat berkomunikasi. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian dilakukan pada dua komunitas masyarakat Bugis, yang pertama adalah di daerah pedesaan yaitu di Kecamatan Awangpone, Bone dan yang kedua adalah di daerah perkotaan yaitu di Parepare. Penelitian dilakukan pada tahun 2004-2005, selama satu tahun, yaitu Oktober 2004 sampai September 2005. Pengumpulan data dilakukan dengan metode partisipan observasi, yaitu dengan mengobservasi cara berkomunikasi antara laki-laki dan perempuan, melakukan informal interview dengan responden untuk mengetahui konsep mereka tentang bagaimana cara berkomunikasi antara laki-laki dan perempuan seperti yang diharapkan dalam masyarakat Bugis. Interview dilakukan dengan berbagai tokoh masyarakat seperti pemuka agama, pemangku adat, dan juga masyarakat awam. Umur rata-rata antara 25 tahun sampai 70 tahun. Untuk mendapatkan contoh cara berkomunikasi, peneliti merekam responden berkomunikasi dalam berbagai situasi baik di lingkungan formal seperti di sekolah dan kantor maupun dalam lingkungan informal seperti di rumah atau di sekitar lingkungan. Percakapan direkam dalam tiga design: sesama perempuan, sesama laki-laki, dan campuran laki-laki dan perempuan. Responden dikelompokkan berdasarkan perbedaan dan persamaan umur dan status sosial. 4 HASIL PENELITIAN Ada dua hasil penting dari penelitian ini yaitu yang pertama adalah konsep masyarakat Bugis mengenai bagaimana cara berkomunikasi antara laki-laki dan perempuan sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat Bugis. Yang kedua adalah refleksi perbedaan gender dalam cara berkomunikasi antara laki-laki dan perempuan. Konsep cara berkomunikasi yang diharapkan oleh masyarakat Bugis Millar (1983:489), seorang peneliti masyarakat Bugis mengungkapkan sikap dasar lakilaki dan perempuan Bugis dalam berkomunikasi sebagai berikut: it is important for men to behave aggressively and formally, reaffirming their family social location by acting on family decisions, whereas it is important for women to behave cautiously and informally, containing family rank and generating information crucial for making family decisions. Dengan kata lain, perempuan Bugis selalu diharapkan untuk selalu bersifat lembut dan informal. Ini sesuai dengan konsep malebbi’ (lembut dan anggun) yang menjadi konsep dasar bagi perempuan Bugis. Sedangkan bagi laki-laki Bugis, diharapkan bagi mereka untuk bersikap aggressif dan formal untuk memperlihatkan sikap kejantanan mereka. Dalam filsafat ornag Bugis, laki-laki Bugis hendaknya bersifat warani atau berani. Secara keseluruhan, perempuan Bugis diharuskan memiliki sifat malebbi’. Ini berhubungan dengan adanya konsep dasar mengenai perempuan Bugis. Idrus (2008:55) mengasosiakan perempuan itu sebagai kaca (gelas), penné pinceng (piring keramik) dan tello’ (telur). Asosiasi ini menunjukkan bahwa perempuan harus dijaga dengan baik agar tidak mudah pecah seperti gelas, piring keramik, dan telur yang mudah pecah. Dan bahwa perempuan harus dijaga dengan hati-hati, karena kapan ia rusak atau pecah, maka ia tak berguna lagi, seperti gelas, piring keramik, atau telur yang jika sudah pecah, tidak lagi tahu akan kegunaannya. Sebuah paseng atau petuah Bugis mengungkap adanya sejumlah karaketeristik sifat yang dimilki oleh perempuan Bugis sebagai berikut: 5 Massipa’ arungngi, massipa’ tau sugi’i, massipa’ ana’-ana’i, massipa’ asui. Bersifat seperti raja, bersifat seperti orang kaya, bersifat seperti anak-anak, bersifat seperti anjing (Mattalitti, 1986:100). Petuah di atas menunjukkan bahwa perempuan Bugis memiliki sejumlah sifat yang terkadang kurang bagus. Bersifat seperti raja yang selalu ingin berkuasa, seperti orang kaya, yang bergaya hidup mewah, seperti anak-anak yang tidak tahu baik buruknya suatu tindakan, dan yang paling jelek adalah bahwa perempuan bersifat seperti anjing, yang kadang terlalu banyak berbicara tapi tidak ada tindakan yang berarti. Haji Nawi (60), seorang Imam Desa di kecamatan Awangpone mengatakan bahwa kebanyakan perempuan memiliki sifat yang kurang baik seperti mangoa (rakus dan tamak) dan maséré ati (pencemburu dan suka iri hati). Sedangkan informan lainnya, Pak Sulfikar (35), mengatakan bahwa perempuan biasanya macicca dan macappédo yang berarti cerewet atau genit. Sedangkan menurut mereka, sebaiknya perempuan Bugis itu malebbi’. Sebaliknya, laki-laki bukan pada tempatnya cerewet tapi harus tegas dalam sikap dan tindakannya. Selain itu perempuan lebih banyak bergossip dengan sesama perempuan. Di Bone misalnya, dalam suatu rapat tertentu, hanya 1 dari 10 perempuan yang hadir dalam rapat yang akan mengajukan pendapat. Yang lainnya memilih diam dengan alasan sudah ada yang mewakili. Ketika sesama perempuan berbicara, pembicaraan cenderung lebih panjang sedangkan laki-laki cenderung lebih simpel. Ketika sesama perempuan berbicara, pembicaraan cenderung lebih panjang sedangkan laki-laki cenderung lebih simpel. Inilah yang membuktikan teori tentang adanya ‘bahasa perempuan’ (women’s speech) dari Lakoff, ahli bahasa dan gender dari Amerika. Salah seorang kepala desa, Andi Luthfi (45), di Awangpone mempertegas hal ini. Puang Aji Semma (50) juga mengatakan, idi’ makkunraiyé ko siruntu’ki’, maroa’ki’ ‘kita perempuan, kalau saling bertemu selalu ramai dan ribut’. Puang Aji Semma lebih kanjut mengatakan: 6 Idi’ makkunraiyé makkutoiha, mappau-pau bawakki’ se’ding…dé’natakkatoro’ batéta’ ma’bicara,…maderi’ ta dé’namadécéng. Kita perempuan selalu seperti itu, kita hanya mengatakan banyak hal tanpa teratur, dan terkadang tidak baik Meskipun demikian, laki-laki juga senang bergosip walaupun frekuensinya tidak sama dengan perempuan. Haji Iksan (38), seorang staf pengajar di salah satu perguruan tinggi Islam di Parepare melihat kecenderungan ini dan mengatakan sebagai berikut: Laki-laki kalo misalnya ketemu sama laki-laki yang biasa dibicarakan perempuan. Begitu juga perempuan. Biasa kalau kita nguping, dia juga cerita laki-laki. Haji Iksan bahkan pernah mengamati kebiasaan perempuan yang suka berkumpul, terutama di sumur pada saat mencuci pakaian. Ia sering mendengar perempuan bergosif dan bercerita, kadang membicarakan diri sendir, orang lain, kebaikan atau keburukannya: Karena masyarakat di satu desa itu mandinya di satu sumur jadi di situ kalo misalnya jam jam tujuh sampai dengan jam delapan pagi itu, Ibu Ibu mencuci sambil menggosip-gosip apa, biasa tidak sengaja juga keluarmi rahasia-rahasia pribadi misalnya begini, kemudian dihubungkan dengan bentuk fisik seseorang, misalnya ada, kalo model fisiknya yang begini perangainya seperti begini, biasa seperti itu. Pak Mahmuddin (35), informan lainnya dari Bone mengatakan, bahasa yang ia pakai berbicara dengan perempuan berbeda dengan bahasa untuk berbicara dengan laki-laki. Ia sendiri sangat berhati-hati berbicara dengan perempuan karena menurutnya, telinga laki-laki dan perempuan itu berbeda. Oleh karena itu, laki-laki harus berbicara dengan sopan kepada perempuan, kalau tidak, perempuan itu akan tersinggung. Haji Andi Fatma (34), seorang ustazah di Parepare mengatakan perempuan kebanyakan menggunakan perasaan dan bukan otak. Informan lainnya di Bone, Sul (21) dan Rusdi (20) mengatakan, jika berbicara dengan perempuan, mereka hanya mengatakan yang perlu-perlu saja, karena mereka menganggap ada beban atau dalam bahasa Arab, disebut sebagai hijab. Ini dipengaruhi 7 oleh ajaran agama Islam yang memberikan batasan hijab dalam pergaulan antara lakilaki dan perempuan. Banyak informan laki-laki yang menghendaki perempuan untuk selalu berbicara dengan sopan. Bahkan, menurut Askar (28), informan asal Parepare mengatakan, perempuan yang sopan adalah kriteria memilih seorang istri yang baik baginya. Menurutnya, keharusan berbicara sopan bagi perempuan adalah suatu hal yang bersifat kodrati. Bahkan berdasarkan pengamatan penulis di Bone, seorang kepala desa dikabarkan bercerai dengan istri pertamanya disebabkan karena istrinya itu bukan tipe perempuan yang lembut dalam berbicara. Ia terkadang memanggil suaminya dari jalan, sedangkan menurut mereka, ia sebaiknya datang mendekati suaminya terlebih dahulu baru mengatakan maksud pembicaraannya. Istrinya ini danggap tidak memenuhi syarat sebagai perempuan Bugis yang lembut atau malebbi’. Di Parepare, Aris (37) dan Ida (28) memberikan contoh berkomunikasi yang berbeda antara suami dan istri. Ida ingin juga dihargai sebagai istri dengan panggilan yang baik dari suaminya. Tetapi suaminya, Aris hanya memanggilnya dengan nama. Ida sendiri takut memanggil nama untuk suaminya. Menurut pengakuan suaminya, istrinya adalah haknya, jadi ia bebas berbuat apa saja termasuk menentukan panggilan untuk istrinya. Informan lainnya, di Parepare, Marwiah (27) juga menegaskan bahwa cara laki-laki berbicara pada perempuan terkadang menjengkelkan dan laki-laki suka berbicara seenaknya. Marwiah juga ingin agar laki-laki berbicara sopan dengan perempuan, bukan hanya perempuan yang harus berbicara sopan dengan laki-laki: Dalam sebuah percakapan dengan beberapa dosen di salah satu pergruan tinggi Islam di Parepare, dikatakan bahwa penyebab terjadinya poligami dalam masyarakat dewasa ini justru disebabkan oleh perempuan atau si istri itu sendiri. Pak Muza (41) mengatakan sebagai berikut: 8 Kalau istri tidak menghendaki suaminya berpoligami, itu ada empat pengikat sebenarnya. Pengikat pertama itu, ikatlah suamimu dengan variasi di dapur, ikatlah suamimu dengan variasi di kasur, ikatlah suamimu dengan aksesoris, dan yang terakhir, ikatlah suamimu dengan akhlak. Dalam masyarakat Bugis, terdapat kebiasaan bagi perempuan Bugis untuk berdukub meminta mantra-mantra untuk membuat suami menjadi makin sayang atau lengket, tidak berselingkuh dan tidak akan kawin lagi. Tapi menurut Pak Iksan (38): Mu massanroang lakkaimmu untuk méloko pa’bainéwi, dé’na mélo’. Walaupun kamu berdukun untuk membuat suamimu kawin lagi, ia tidak akan kawin lagi. Ini menunjukkan bahwa seorang perempuan yang baik tidak akan di poligami oleh suaminya karena semua yang diinginkan oleh suaminya sudah ada padanya, sehingga sang suami tidak perlu menikah lagi untuk memenuhi kepuasannya. Hal ini diperkuat oleh informan lainnya di Awangpone, Haji Nawi (60): Akko lokka maccéwé’, dégaga pa’disengenna makkunraiyé, magello, padécéngi kopimu, padécéngi nasu kajummu, padécéngi etté’ etté’mu, makkedaki tégaki’ polé Pak, ada lemma’. Kalau ada suami yang pergi berpacaran, itu berarti si istri tidak punya pengetahuan. Perbaiki minuman kopimu, perenak masakan sayurmu, perbaiki cara bicaramu, misalnya dengan berkata, dari mana Pak? Berikan kata-kata yang halus. Refleksi Bahasa dan Gender dalam Masyarakat Bugis Salah satu contoh perbedaan bahasa laki-laki dan perempuan dalam masyarakat Bugis dapat dilihat dari tingkat kesopanannya. Tata cara berbahasa yang sopan dapat dilihat pada pemakaian kata atau istilah untuk memanggil seseorang baik pemakaian kata ganti benda atau bentuk istilah panggilan lainnya. Dalam masyarakat Bugis, pemakaian kata ganti benda untuk memanggil orang dapat menjadi indikator pemakaian bahasa yang lebih sopan. Bentuk plural pertama seperti idi’,-ki’, ta-/i- lebih sering digunakan daripada bentuk kedua tunggal seperti iko,-ko, nu-/mu-. Dalam bahasa Indonesia, bentuk plural ini sering diartikan sebagai kita sedangkan bentuk kedua tunggal sering diartikan 9 sama dengan kamu atau kau. Dalam masyarakat Bugis, pemakaian kamu atau kau tergolong tidak sopan dan untuk menghindarinya, diganti dengan kita. Salah satu contohnya dapat kita lihat pada pembicaraan Puang Aji Masi (50), seorang perempuan yang berstatus haji dan bangsawan dengan dua lawan bicara laki-laki yang berbeda latar belakang. Ketika ia menanyakan aktivitas Mardi (60) sebagai seorang nelayan, Puang Aji Masi menggunakan kata ganti benda yang umum mu- misalnya dengan bertanya: dé’ muno’ tasi’é ‘apa kamu tidak pergi ke laut’ dan dé’ga muwala ‘apa ada yang kamu ambil?’. Hubungan yang tidak simetris ini disebabkan oleh status sosial dari pembicara perempuan. Lain halnya ketika ia berbicara dengan lelaki yang juga lebih tua tetapi juga mempunyai status haji dan bangsawan tentang sumbangan mesjid, Puang Aji Akil (64). Puang Aji Masi bertanya dengan menggunakan kata ganti benda plural i- misalnya iti’ maneng lo’ka masigi’é? ‘kita bawa semuanya ke mesjid?. Ia bisa saja menggunakan kata ganti benda kedua mu- misalnya dengan mengatakan: muti’ maneng lokka masigi’é ‘kamu bawa semuanya ke mesjid?’. Akan tetapi ungkapan terakhir ini kurang sopan. Ini menunjukkan adanya pengaruh yang besar dari perbedaan gender dalam pemakaian kata ganti benda. Kedua pembicara sudah saling mengenal, masih ada hubungan keluarga, dan bertetangga. Meskipun demikian, Puang Aji Masi menggunakan kata ganti benda yang lebih sopan. Ini bisa pula dipengaruhi oleh perbedaan umur. Contoh lain dapat dilihat pada cara berkomunikasi antara suami dan istri: Pak Sulfikar (36) dan Aslinah (31). Aslinah mempunyai status sosial lebih tinggi sebagai seorang guru dan juga lulusan dari universitas sedang Pak Sulfikar sendiri belum memiliki pekerjaan yang tetap walaupun ia juga lulusan universitas. Ketika Aslinah menanyakan alasan mengapa suaminya tidak datang menjemputnya di sekolah, ia menggunakan kata ganti benda yang lebih sopan –ki’ dan ta- seperti pada pertanyaannya: jadi, wenni’ disikolaé, nappaki’ ménré’? ‘jadi, kemarin di sekolah, kita baru saja pergi ke Bone?’ dan maipaé’ dé’ talokka jempu’ka’ ‘kenapa kita tidak datang menjemputku?’ Sebaliknya, suaminya hanya menggunakan kata ganti benda yang kurang sopan mu10 ketika menjawab pertanyaan istrinya seperti pada kalimat: silalokku’ ménré’ Bone muengka ‘Saya baru saja ke Bone waktu kamu tiba?’ dan Wasengngi lokkako bolana I Nu’, pa’ ka acarana ‘Saya kira kamu pergi ke rumah Nur karena ada acaranya.’ Dapat dilihat bahwa Aslinah menggunakan kata ganti benda yang dipengaruhi oleh gender. Percakapan di rumah dengan suaminya mendorongnya untuk memakai kata ganti benda yang lebih sopan walaupun ia sendiri mempunyai status sosial yang tinggi. Kejadian yang sama dapat dilihat ketika Aslinah berbicara dengan rekan kerjanya yang lakilaki, Pak Mahmuddin (35) di dua lokasi percakapan yang berbeda. Di sekolah, misalnya, ketika Aslinah terlibat adu pendapat dengan Pak Mahmuddin tentang pelaksanaan evaluasi sekolah. Walaupun mereka berdua bekerja sebagai guru, Pak Mahmuddin juga memiliki status bangsawan dan juga menjadi tokoh agama di masyarakat. Pak Mahmuddin juga lebih tua darinya. Aslinah menggunakan kata ganti yang sopan idi’, -ki’, and ta- untuk merujuk pada Pak Mahmuddin na idi’ nappaki’ makkukkué talang soal ‘Sedangkan kita, baru sekarang kita mau memberikan soal.’ Ini dipengaruhi oleh setting berbicara dan juga perbedaaan gender dan status dari kedua pembicara. Lalu dapat pula dilihat ketika Aslinah bertemu dan berbicara dengan Pak Mahmuddin di luar jam sekolah. Aslinah bertanya pada Pak Mahmuddin dari mana dan apa keperluan Pak Mahmuddin. Aslinah menggunakan kata ganti yang sopan -ki’ pada pertanyaan tégaki’ ‘kita dari mana?’ dan ta- pada aga parellutta’? ‘apa keperluan kita?. Ini menunjukkan bahwa selain pengaruh perbedaan status, kata ganti yang lebih sopan yang digunakan oleh Aslinah dipengaruhi pula oleh hubungan formal mereka sebagai guru di sekolah, walaupun mereka berbicara di luar sekolah. Dapat dilihat bahwa Aslinah menggunakan kata ganti benda yang berbeda dengan lawan bicara yang berbeda. Kata ganti benda yang sopan dipakai untuk berbicara dengan semua lawan bicara yang laki-laki, baik itu suaminya dan juga teman kerjanya. Semua ini dipengaruhi oleh situasi percakapan, perbedaan agama dan status bahkan perbedaan gender. 11 Di Parepare, pemakaian kata ganti benda dalam komunikasi antara suami dan istri menunjukkan pola yang berbeda. Contohnya, ketika Haji Ros (42) dan suaminya, Aswar (45) sedang berbicara di rumah. Ia meminta suaminya untuk menemani saya pergi ke sebuah sekolah. Suaminya berkata bahwa ia sebenarnya tidak perlu menemani saya karena jarak ke sekolah itu bisa ditempuh dengan kendaraan umum. Mendengar komentar dari suaminya, Haji Ros mengatakan, saya kira pereiko ji hari rabu ‘saya kira kamu free hari Rabu?’. Ia mengggunakan kata ganti benda yang kurang sopan –ko pada kata pereiko ‘kamu free’. Ini menunjukkan bahwa seorang perempuan yang memiliki status yang sama dengan laki-laki bisa saja menggunakan kata ganti benda yang kurang sopan. Status yang dimiliki Haji Ros sebagai guru sama dengan suaminya. Ini berbeda dengan percakapan Aslinah dan suaminya yang menunjukkan bahwa pemakaian kata ganti benda oleh seorang istri tidak terpengaruh oleh status pendidikan istrinya. Kondisi ini dapat pula dijumpai pada lingkungan formal seperti di kantor. Contohnya ketika Pak Mardi (25) dan Ibu Farida (40) yang keduanya staff pada kantor kelurahan sedang membicarakan kegiatan kelurahan di kantor. Ibu Farida yang sudah senior dari segi umur dan jabatan menyuruh Pak Mardi untuk pergi menagih uang. Ibu Farida menggunakan kata ganti benda bentuk kedua mu-: nappa muti’ lao mua’bagéang lao kuro ‘baru kamu bawa pergi, kamu bagikan di sana’. Ketika Pak Mardi masih kesulitan dengan transportasinya, Ibu Farida menawarkan untuk mengambilkan ojek. Dia juga menggunakan kata ganti benda bentuk kedua –ko: walakko anu éé ojek? ‘saya ambilkan kamu ojek?’. Ini menunjukkan bahwa di lingkungan formal, perempuan yang berstatus tinggi bisa saja menggunakan kata ganti benda yang kurang sopan pada laki-laki yang statusnya lebih rendah. Perbedaan lain dalam cara berkomunikasi antara laki-laki dan perempuan yaitu pemakaian istilah panggilan. Salah satu contohnya dapat dilihat pada rapat yang diadakan di kantor Cabang Dinas Kependidikan di Bone. Kepala kantor Cabang Dinas Kependidikan Pak Rizal (45) dalam rapatnya meminta kepada para peserta rapat untuk menyerahkan dua bentuk format yaitu format daftar siswa peserta ikut ujian dan format siswa-siswa dengan kondisi ekonomi lemah. Ketika merujuk pada semua peserta rapat 12 yang seluruhnya adalah kepala sekolah, pak Rijal berkata, saya minta kepada BapakBapak. Pak Rizal hanya menggunakan Bapak-Bapak dan Pak, walaupun terdapat peserta perempuan di sana. Terlihat bahwa keberadaan perempuan masih diabaikan. Ada pula karakteristik bahasa perempuan yang ditemukan dalam masyarakat Bugis. Salah satu contohnya adalah ketika seorang kepala sekolah di Bone, Pak Patta (46) berbicara dengan staf pengajar, Ibu Hajerah (39) di kantor sekolah. Ibu Hajerah melakukan kesalahan penulisan pada rapor siswa dan oleh karenanya, ia sangat menyesal. Ibu Hajerah mengungkapkan penyesalannya dengan mengatakan lo’ka’ sedding terri ‘saya rasanya ingin menangis’. Ungkapan ini sangat sentimentil dan cenderung menunjukkan sikapnya yang emosional. Kondisi ini bisa saja dipengaruhi oleh statusnya yang lebih rendah dari kepala sekolah bahkan perbedaan gender di sana. Ciri lain dari bahasa perempuan dalam masyarakat Bugis adalah bahwa perempuan cenderung untuk memuji diri mereka sendiri dan cenderung membandingkan kelebihan yang dimiliki orang lain dengan kelebihan dirinya. Seperti saat Haji Erna (29) dan Pak Muddin (38) sedang berbicara di rumah tentang seorang teman mereka yang dianggap berhasil sebagai wanita karir, yaitu Ibu Lely. Pak Muddin mengatakan bahwa Ibu Lely itu pintar. Haji Erna pun mengiyakan pendapat itu. Kak Lely juga macca ‘Kak Lely juga pintar.’ Ia membandingkan kemampuannya yang juga pintar. Ketika Pak Muddin mengatakan keahlian Ibu Lely dalam menulis. Haji Erna kembali mengiyakan tapi juga berkata bahwa itu karena suaminya adalah seorang wartawan. Ini menunjukkan bahwa kemampuan Ibu Lely dalam menulis bukan karena keahliannya tetapi karena suaminya adalah seorang wartawan sehingga tulisannya dapat dengan mudah dimuat di surat kabar. Haji Erna mengatakan sisi baik dan sisi buruk dari Ibu Lely sehingga dapat mengurangi kelebihan yang dimiliki oleh Ibu Lely. Contoh lainnya adalah percakapan antara dua orang teman dekat yang juga guru. Di sebuah kantin sekolah: Sida (30) dan Puji (30) tentang teman mereka yang bernama Linda. Sida mengatakan sisi baik dari Linda dengan mengatakan, bodinya Linda padat. Puji justru mengatakan bahwa penyebabnya adalah dari sakit yang diderita Linda dan 13 juga karena kesibukannya mengurus anak. Pembicaraan berlanjut dengan membicarakan status pernikahan Linda yang belum jelas. Pernyataan Puji ini mengurangi sisi baik dari Linda. Ini menunjukkan, jika memuji seseorang, perempuan biasanya mengungkapkan sisi baik seseorang tetapi juga diikuti dengan membicarakan kejelekannuya. Kebaikan seseorang sering dibandingkan dengan kebaikannya sendiri. Ini menjadi salah satu cara berbicara yang khas dari perempuan yang ditemukan dalam masyarakat Bugis. KESIMPULAN Dari berbagai situasi percakapan di atas, dapat dilihat adanya sejumlah perbedaan lakilaki dan perempuan Bugis dalam berkomunikasi. Salah satu diantaranya adalah pemakaian kata ganti benda apakah menggunakan kata ganti benda yang sopan atau yang kurang sopan. Umumnya kata ganti benda yang kurang sopan dipakai orang yang berstatus tinggi kepada orang yang berstatus rendah. Dalam hal ini, perempuan terbukti menggunakan kata ganti benda yang lebih sopan kepada laki-laki yang lebih tinggi status sosialnya. Ini menunjukkan sifat inferior mereka. Ini menunjukkan adanya kecenderungan yang besar bagi perempuan Bugis untuk menggunakan tingkat bahasa yang sangat sopan kepada lawan bicara mereka yang lain jenis. Ada pula sejumlah ciri khas berbicara perempuan Bugis seperti pemakaian istilah panggilan yang bias gender. Misalnya pemakaian kata Pak atau Bapak yang biasanya untuk laki-laki pada sebuah rapat yang juga ternyata dihadiri oleh perempuan. Perempuan juga cenderung mengungkapkan pendapat secara emosional, sering memuji diri sendiri, dan terkadang berusaha mengalihkan perhatian lawan bicara jika berbicara tentang kelebihan orang lain. Perbedaan gender juga terlihat di daerah perkotaan dan di pedesaan. Di daerah pedesaan, perempuan berstatus tinggi akan menggunakan cara berkomunikasi yang biasa-biasa saja dengan laki-laki yang berstatus rendah, walaupun laki-laki itu lebih tua. Sebaliknya, perempuan dengan status yang lebih rendah akan menggunakan cara 14 berkomunikasi yang lebih sopan kepada laki-laki walaupun laki-laki itu lebih mudah. Di daerah perkotaan seperti di Parepare, perempuan cenderung berbicara dengan cara yang biasa-biasa saja tanpa memperhatikan status sosial masing-masing. Jika perempuan tersebut juga berstatus tinggi, maka terdapat kecenderungan untuk berbicara dengan cara yang sama (tidak lebih atau kurang sopan). Menurut Millar (1983:489-490), ‘if Bugis men and women are both equal in social status, they will engage in conversation equally’. Jika laki-laki dan perempuan Bugis berstatus sama, maka mereka akan berbicara dengan gaya yang sama pula, dengan tingkat kesopanan yang selevel, tak ada yang lebih atau yang kurang sopan. Perbedaan yang menonjol adalah pada komunikasi antara suami istri. Istri-istri cenderung menggunakan bahasa yang sangat sopan pada suami-suami mereka tanpa memperhatikan perbedaan umur dan status. Hal ini umumnya dapat dilihat di daerah pedesaan, sedangkan di daerah perkotaan, istri-istri yang telah berstatus melakukan terobosan baru dengan cara berkomunikasi dengan tingkat kesopanan yang sama. Hal ini terutama dipengaruhi oleh meningkatnya status sosial bagi perempuan. Jadi dapat dilihat bahwa gender merupakan aspek penting dalam komunikasi antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat Bugis. Meskipun demikian, terdapat aspek lain yang mempengaruhi yaitu perbedaan status sosial, perbedaan umur, dan situasi berkomunikasi. Status sosial lebih banyak berpengaruh. Millar (1983) menegaskan hal ini yaitu bahwa ‘social location is important for Bugis society’. Selain itu norma-norma budaya dan agama juga berpengaruh. Dari semua aspek kehidupan laki-laki dan perempuan, dapat dilihat bahwa tujuan atau misi dari kesetaraan ini adalah terciptanya hubungan yang harmonis antara laki-laki dan perempuan. Dalam budaya Bugis, konsep kesetaraan dapat diterapkan melalui prinsip ‘sipakatau, sipakalebbi, dan sipakaraja’. Menurut hemat penulis, suami istri harus sama-sama menghormati. Hal ini bukan berarti sang istri berubah sikap menjadi tidak sopan atau malah kurang ajar, tetapi keduanya harus sama-sama sopan dan menghargai satu sama lain. 15 DAFTAR PUSTAKA Connell, R. W. 2002. Gender. Cambridge: Polity Press in Association with Blackwell Publishing Ltd. Eckert, Penelope. 1998. ‘Gender and Sociolinguistic Variation.’ In Jennifer Coates (ed.), Language and Gender. Massachusets: Blackwell Publishers, Ltd, pp 64-75. Eckert, Penelope, and Sally McConnell-Ginet. 1994. ‘Think Practically and Look Locally: Language and Gender as Community-Based Practice.’ In Camille Roman, Suzanne Juhasz and Cristanne Miller (eds.), The Women and Language Debate, New Brunswick, New Jersey: Rutgers University Press, pp. 432-460. Griffin, M.A., D. McGahee, and J. Slate. 1999 Gender Differences in Nonverbal Communication: Valdosta State University. Hobbs, Pamela. 2003. ‘The Medium is the Message: Politeness Strategies in Men's and Women's Voice Mail Messages’, Journal of Pragmatics, 35: 243-262. Lakoff, Robin T. 1976. Language and Woman's Place. New York: Octagon Books. Millar, Susan B. 1983. ‘On Interpreting Gender in Bugis Society’, American Ethnologist, 10(3): 477-493. Millar, Susan B. 1989. Bugis Weddings : Rituals of Social Location in Modern Indonesia. Berkeley: Center for South and Southeast Asia Studies, University of California. Speer, Susan A. 2002. ‘Sexist Talk: gender Categories, Participant' Orientations and Irony’, Journal of Sociolinguistics, 6(3): 347-377. Tannen, Deborah. 1990. You Just Don't Understand: Women and Men in Conversation. New York: Morrow. Vanfossen, Beth. 2001. Gender Differences in Communication. ITROW's Women and Expression Conference. 16