Templat tesis dan disertasi

advertisement
KEMAMPUAN MATURASI DAN FERTILISASI OOSIT SAPI
YANG DISELEKSI MENGGUNAKAN TEKNIK PEWARNAAN
BRILLIANT CRESYL BLUE SECARA IN VITRO
ZULTINUR MUTTAQIN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kemampuan Maturasi
dan Fertilisasi Oosit Sapi yang Diseleksi Menggunakan Teknik Pewarnaan
Brilliant Cresyl Blue secara in vitro adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2014
Zultinur Muttaqin
B352120041
RINGKASAN
ZULTINUR MUTTAQIN. Kemampuan Maturasi dan Fertilisasi Oosit Sapi yang
Diseleksi Menggunakan Teknik Pewarnaan Brilliant Cresyl Blue secara in vitro.
Dibimbing oleh MOHAMAD AGUS SETIADI dan NI WAYAN KURNIANI
KARJA
Tingkat keberhasilan produksi embrio sapi in vitro masih sangat rendah.
Hal ini terutama dikaitkan dengan kualitas oosit yang digunakan saat maturasi.
Seleksi rutin oosit berdasarkan kriteria morfologi masih menghasilkan oosit yang
heterogen dalam kualitas dan kemampuan perkembangannya, dikarenakan
aktivitas intraovarian yang terjadi pada masa hidupnya. Dilaporkan aktivitas
enzim glukosa 6 fosfat dehidrogenase (G6PD) dalam sitoplasma oosit dapat
dijadikan sebagai indikator kualitas oosit. Aktivitas enzim ini dilaporkan tinggi
pada oosit yang sedang tumbuh dan akan bekurang aktivitasnya ketika oosit sudah
tumbuh sempurna. Indikasi ini kemudian dijadikan acuan oleh para peneliti untuk
mengembangkan sebuah metode non invasif seleksi oosit melalui pewarnaan
dengan brilliant cresyl blue (BCB). Pewarna BCB yang ditambahkan pada
sekumpulan oosit dapat bereaksi dan menyeleksi oosit berdasarkan aktivitas
intraseluler G6PD di sitoplasma.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penggunaan pewarna BCB sebagai
indikator aktivitas G6PD di sitoplasma oosit dalam upaya memilih oosit sapi yang
lebih kompeten untuk berkembang secara in vitro. Sejumlah oosit dipaparkan
pada 26 µM BCB selama 90 menit dalam inkubator 5% CO2 suhu 39ºC dan
diklasifikasikan berdasarkan tingkat penyerapan warna sitoplasmanya. Oosit
dengan sitoplasma berwarna biru dikategorikan sebagai kelompok oosit BCB+
dan oosit dengan sitoplasma yang tidak berwarna dikategorikan sebagai kelompok
oosit BCB-. Kelompok oosit kontrol dimaturasi secara langsung setelah terseleksi
secara morfologi, tanpa dilakukan pewarnaan BCB. Masing-masing kelompok
perlakuan (BCB+, BCB- dan kontrol) kemudian dilakukan maturasi dan fertilisasi
secara in vitro. Oosit dikatakan matang jika dapat mencapai tahap metafase II
(MII) setelah di maturasi selama 24 jam dan oosit dengan 2 atau lebih pronukleus
(PN) setelah 14 jam inkubasi diklasifikasikan sebagai oosit yang telah terfertilisasi.
Kedua parameter tersebut kemudian dievaluasi dan dibandingkan diantara
perlakuan.
Persentase oosit yang mencapai tahap MII pada kelompok oosit BCB+
lebih tinggi (P< 0.05) dibandingkan kelompok oosit BCB- (78.7% vs 33.3%),
namun tidak terdapat perbedaan yang signifikan (P> 0.05) antara kelompok oosit
BCB+ dan kelompok oosit kontrol (78.7% vs 77.1%). Tingkat fertilisasi
kelompok oosit BCB+ juga ditemukan lebih tinggi secara signifikan (P< 0.05)
dibandingkan kelompok oosit BCB- dan kelompok oosit kontrol (30.5% vs 13.6,
23.6%). Hal ini mengindikasikan bahwa kelompok oosit BCB+ lebih kompeten
untuk termaturasi dan terfertilisasi secara in vitro dibandingkan kelompok oosit
BCB-. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa seleksi oosit sapi dengan
BCB sebelum maturasi dapat digunakan secara efektif dalam memilih oosit yang
lebih kompeten untuk berkembang.
Kata kunci: oosit, brilliant cresyl blue, kompetensi, maturasi, fertilisasi
SUMMARY
ZULTINUR MUTTAQIN. Maturation and Fertilization Ability of Bovine
Oocytes in vitro Selected Using Brilliant Cresyl Blue. Supervised by
MOHAMAD AGUS SETIADI and NI WAYAN KURNIANI KARJA.
The success rate of bovine in vitro embryo production is still low. This is
mainly attributed to the oocyte quality at the start of maturation. Routine selection
of oocyte quality based on morphological criteria results heterogeneous in quality
and developmental competence in vitro due to intraovarian activity. The activity
of glucose 6 phospate dehydrogenase (G6PD) was reported to be an indicator of
oocyte quality. This enzyme was synthesized in growing oocytes but with
decreased activity in fully grown oocytes. This indication was used by some
researchers as a basis to develop a non invasive method for oocytes selection by
staining with brilliant cresyl blue (BCB). The BCB staining could react and
determines the intracellular activity of G6PD.
The aim of this study was to evaluate the utility of BCB as an indicator for
G6PD activity in order to select developmentally competent bovine oocytes to
develop in vitro. The oocytes were exposed to 26 µM BCB for 90 minutes in 5%
CO2 incubator 39ºC and were classified according to their cytoplasm coloration:
oocytes with a blue cytoplasm (BCB+) and colorless oocytes (BCB-). The oocytes
of the control group were incubated directly after selection without exposure to
BCB. Then, the oocytes of all groups (BCB+, BCB-, and control) were matured
and fertilized in vitro. Matured oocytes were defined as those oocytes that reach
metaphase II stage after being cultured for 24 hours. Oocytes showing two or
more pronuclei at 14 hours incubation were classified as fertilized oocytes. Both
parameters were evaluated and compared between treatments.
The nuclear maturation rate was higher (P< 0.05) in BCB+ oocytes group
than BCB- oocytes group (78.7% vs 33.3%), however there is no significant
difference (P> 0.05) between BCB+ oocytes group and control oocytes group
(78.7% vs 77.1%). The fertilization rate of BCB+ oocytes group was higher (P<
0.05) than those of BCB- and control oocytes group (30.5% vs 13.6, 23.6%). This
indicated that oocytes BCB+ more competence to be matured and fertilized in
vitro than oocytes BCB-. In conclusion, staining of bovine oocytes with BCB
before in vitro maturation could be used effectively to select developmentally
competent bovine oocytes.
Key words: oocytes, brilliant cresyl blue, competent, maturation, fertilization
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KEMAMPUAN MATURASI DAN FERTILISASI OOSIT SAPI
YANG DISELEKSI MENGGUNAKAN TEKNIK PEWARNAAN
BRILLIANT CRESYL BLUE SECARA IN VITRO
ZULTINUR MUTTAQIN
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Biologi Reproduksi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr drh Iman Supriatna
Judul Tesis : Kemampuan Maturasi dan Fertilisasi Oosit Sapi yang Diseleksi
Menggunakan Teknik Pewarnaan Brilliant Cresyl Blue secara in
vitro
Nama
: Zultinur Muttaqin
NIM
: B352120041
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Prof Dr drh Mohamad Agus Setiadi
Ketua
drh Ni Wayan Kurniani Karja MP, PhD
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Biologi Reproduksi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr drh Mohamad Agus Setiadi
Dr Ir Dahrul Syah MScAgr
Tanggal Ujian: 19 Agustus 2014
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari sampai dengan
Mei 2014 ini ialah kualitas oosit sapi, dengan judul Kemampuan Maturasi dan
Fertilisasi Oosit Sapi yang Diseleksi Menggunakan Teknik Pewarnaan Brilliant
Cresyl Blue secara in vitro.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr drh Mohamad Agus
Setiadi sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Ibu drh Ni Wayan Kurniani Karja MP,
PhD selaku Anggota Komisi Pembimbing atas bimbingan, arahan, perhatian dan
nasihatnya selama melakukan penelitian dan penulisan karya ilmiah ini sehingga
penulis dapat menyelesaikan rangkaian penelitian ini hingga selesai. Terima kasih
kepada Bapak Prof Dr drh Iman Supriatna selaku penguji luar komisi atas saran dan
kritiknya sehingga dapat lebih memperkaya dan menyempurnakan substansi tesis.
Terima kasih juga kepada Bakrie Center Foundation atas beasiswa yang telah
diberikan dalam program Bakrie Graduate Fellowship 2013 sehingga dapat
membantu penulis selama masa studi. Ungkapan terima kasih juga disampaikan
kepada ayah, ibu, teman-teman, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih
sayangnya. Kepada cut yasmin, I would like to thank you for your care, support,
love, and every little effort you are doing for me is simply amazing. Terima kasih
telah menjadi partner terbaik..
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, September 2014
Zultinur Muttaqin
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
x
DAFTAR GAMBAR
x
DAFTAR LAMPIRAN
x
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kerangka Pemikiran
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Hipotesis Penelitian
1
1
2
2
2
2
2 TINJAUAN PUSTAKA
3
3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Metode Penelitian
Tahap I Kemampuan Maturasi Inti Oosit setelah Dipaparkan
Pewarna BCB
Koleksi dan Klasifikasi Oosit
Pewarnaan Brilliant Cresyl Blue (BCB)
Maturasi Oosit in vitro (IVM)
Evaluasi Kemampuan Maturasi Oosit in vitro
Tahap II Kemampuan Fertilisasi Oosit Setelah Dipaparkan
Pewarna BCB
Fertilisasi Oosit in vitro (IVF)
Evaluasi Kemampuan Fertilisasi Oosit in vitro
Analisis Data
12
12
12
14
14
14
14
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pembahasan
15
15
17
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
21
21
21
DAFTAR PUSTAKA
22
LAMPIRAN
27
RIWAYAT HIDUP
30
12
12
12
13
13
DAFTAR TABEL
1 Tingkat maturasi inti oosit sapi setelah pewarnaan BCB
2 Tingkat fertilisasi oosit sapi setelah pewarnaan BCB
16
17
DAFTAR GAMBAR
1 Gambaran skematis ultrastruktur oosit selama pertumbuhannya di
dalam folikel
2 Metabolisme karbohidrat melalui jalur fosfat pentosa
3 Skema distribusi organel selama pematangan dan fertilisasi
4 Mekanisme aktivasi oosit oleh spermatozoa dalam proses fertilisasi
5 Status inti oosit sapi setelah pematangan in vitro
6 Pembentukan pronukleus pada oosit sapi setelah fertilisasi in vitro
4
7
9
10
15
16
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
Penghitungan konsentrasi BCB 26 µM
Komposisi medium transportasi ovarium
Komposisi medium koleksi oosit
Komposisi medium maturasi in vitro
Komposisi medium fertilisasi in vitro
27
27
28
28
29
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tingkat keberhasilan produksi embrio sapi in vitro masih sangat rendah
karena sebagian besar oosit gagal untuk berkembang sampai ke tahap blastosis. Hal
ini terutama dikaitkan dengan kualitas oosit yang digunakan saat maturasi. Oosit yang
digunakan untuk produksi embrio in vitro umumnya diperoleh dari ovarium yang
berasal dari rumah pemotongan hewan (RPH), dengan proses seleksi dilakukan secara
morfologi berdasarkan jumlah dan kekompakan sel-sel kumulus serta homogenitas
sitoplasmanya. Akan tetapi karena aktivitas intraovarian yang terjadi pada masa
hidupnya, oosit yang terseleksi umumnya masih heterogen dalam kualitas dan
kemampuan perkembangannya. Aktivitas intraovarian in vivo menghasilkan
beberapa gelombang folikel yang memungkinkan oosit berada pada tahapan
perkembangan yang berbeda-beda, seperti terdapatnya oosit yang sedang tumbuh,
menuju ke arah atresia, dan atau sudah tumbuh sempurna (Ginther et al. 1999). Oleh
karena itu, seleksi berdasarkan morfologi dirasa belum cukup memadai dan masih
kurang efisien, karena ada kemungkinan oosit yang secara morfologi terseleksi dalam
kriteria baik tetapi ternyata sudah berada dalam tahap mengalami degenerasi atau
masih berada dalam tahap sedang tumbuh (Alm et al. 2005).
Dilaporkan bahwa pertumbuhan dan perkembangan oosit diindikasikan
dengan adanya perubahan pada aktivitas enzim glukosa 6 fosfat dehidrogenase
(G6PD) dalam sitoplasmanya. Aktivitas G6PD ditemukan tinggi dalam sitoplasma
oosit yang sedang tumbuh (growing oocytes) dan aktivitasnya akan semakin menurun
seiring dengan pertumbuhan oosit terutama pada oosit yang sudah tumbuh sempurna
(fully grown oocytes) (Alm et al. 2005; Manjunatha et al. 2007). Indikasi ini
kemudian dijadikan acuan oleh para peneliti dalam mengembangkan sebuah metode
non invasif untuk seleksi oosit melalui pewarnaan dengan brilliant cresyl blue (BCB).
Pewarna BCB dapat bereaksi dengan G6PD dan memunculkan perubahan intensitas
zat warna BCB pada sitoplasma oosit sesuai dengan aktivitas intraseluler G6PD yang
terjadi di dalamnya. Hal ini yang kemudian digunakan sebagai indikator untuk
menyeleksi kualitas oosit.
Metode non invasif dengan BCB telah digunakan untuk mengidentifikasi
oosit yang kompeten pada banyak spesies hewan, seperti pada babi (Ericsson et al.
1993), kambing prepuber (Rodriguez-Gonzalez et al. 2002), sapi dara (Pujol et al.
2004), kerbau (Manjunatha et al. 2007) dan kuda (Pereira et al. 2010). Dari hasil
penelitian tersebut diindikasikan bahwa oosit yang telah tumbuh sempurna di dalam
folikel mempunyai kompetensi perkembangan yang lebih tinggi dibandingkan oosit
yang masih tumbuh dalam proses produksi embrio in vitro. Oleh karena seleksi oosit
sapi secara morfologi masih menghasilkan kualitas oosit yang heterogen, maka perlu
dicoba untuk dilakukan seleksi non invasif dengan BCB agar dapat dihasilkan
kualitas oosit hasil seleksi yang lebih homogen dan mempunyai kompetensi
perkembangan lebih baik dalam rangka memaksimalkan keberhasilan produksi
embrio secara in vitro.
2
Kerangka Pemikiran
Kriteria pemilihan oosit hanya berdasarkan aspek morfologi belum dapat
dijadikan indikator tunggal dalam penentuan kualitas oosit sapi. Sementara itu faktor
intrinsik sitoplasma yang dipercaya memiliki pengaruh signifikan terhadap
kompetensi perkembangan oosit selanjutnya belum sepenuhnya teramati. Oleh
karenanya dibutuhkan kombinasi antar metode yang bersifat non invasif dalam
seleksi oosit guna mendapatkan oosit hasil seleksi yang lebih berkualitas. Dilaporkan
selama pertumbuhannya di dalam folikel, oosit mensintesis berbagai macam protein
spesifik penting dalam sitoplasmanya, termasuk enzim G6PD. Enzim ini aktif
disintesis dalam sitoplasma oosit selama pertumbuhannya dan akan menurun
aktivitasnya setelah oosit mencapai pertumbuhan yang sempurna. Pewarna BCB yang
ditambahkan pada sekumpulan oosit dapat bereaksi dengan enzim G6PD dan
memunculkan perubahan intensitas warna sejalan dengan aktivitas enzim tersebut
dalam sitoplasma oosit. Oosit yang sedang tumbuh dengan aktivitas G6PD yang
tinggi, akan menyebabkan pewarna BCB yang ditambahkan mudah untuk
dimetabolisir, sehingga oosit menjadi tidak berwarna (BCB-). Sebaliknya, oosit yang
sudah tumbuh sempurna, memiliki aktivitas G6PD yang rendah, sehingga pewarna
BCB yang ditambahkan tidak mudah untuk dimetabolisir dan oosit akan menyerap
zat warna biru (BCB+). Dengan melakukan teknik pewarnaan ini diharapkan kualitas
oosit hasil seleksi menjadi lebih homogen dengan jumlah oosit tumbuh sempurna
yang lebih banyak, sehingga diharapkan oosit tersebut memiliki kompetensi
perkembangan selanjutnya yang lebih baik secara in vitro. Oleh karenanya oosit hasil
seleksi dengan BCB diduga memiliki kualitas dan kompetensi perkembangan yang
lebih baik dibandingkan dengan oosit yang tidak terseleksi (BCB-) atau tanpa seleksi
BCB sebelumnya.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penggunaan pewarna BCB sebagai
indikator aktivitas G6PD di sitoplasma oosit dalam upaya memilih oosit sapi yang
lebih kompeten untuk berkembang secara in vitro.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan dapat meningkatkan kualitas oosit sapi hasil
seleksi sehingga produksi embrio in vitro dapat lebih efektif dan efisien.
Hipotesis Penelitian
Hipotesis pada penelitian ini adalah: Oosit BCB+ lebih kompeten untuk
berkembang dibandingkan dengan oosit BCB-, baik pada tingkat maturasi dan
kemampuannya untuk terfertilisasi secara in vitro.
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
Ultrastruktur oosit sapi selama follikulogenesis
Folikulogenesis merupakan proses perkembangan folikel yang berawal dari
terbentuknya folikel primordial, kemudian berkembang menjadi folikel primer,
sekunder, tertier, de Graaf hingga pada akhirnya oosit tersebut akan diovulasikan.
Dalam proses ini terjadi dinamika folikular yang di dalamnya termasuk pertumbuhan
dan degenerasi folikel. Dinamika folikel antral atau gelombang folikel meliputi 4
proses, yaitu tahap rekruitmen, seleksi, dominan, dan atresia. Proses rekruitmen
melibatkan sekelompok folikel antral yang memulai untuk tumbuh dengan
sebagiannya mengalami atresia. Folikel yang bertahan dan tidak mengalami atresia
merupakan folikel terseleksi yang kemudian akan terus tumbuh dan bersaing menjadi
satu folikel dominan. Dalam upayanya menuju satu folikel dominan maka sebagian
besar folikel terseleksi akan mengalami atresia. Pada sapi, setiap siklus estrus
menghasilkan sebanyak 2-5 kali gelombang folikel. Studi yang dilakukan oleh Viana
et al. (2000) terhadap 15 ekor sapi, teramati sebanyak 1 (6.67%) ekor sapi
menunjukkan 2 kali gelombang folikel, 9 (60.0%) ekor sapi menunjukkan 3 kali
gelombang folikel, 4 (26.67%) ekor sapi menunjukkan 4 kali gelombang folikel, dan
1 (6.67%) ekor sapi menunjukkan 5 kali gelombang folikel. Jika dalam satu kali
siklus estrus menghasilkan 3 kali gelombang folikel, maka gelombang folikel
pertama dan kedua terjadi saat fase luteal (metestrus dan diestrus), ketika konsentrasi
hormon progesteron berada pada kadar yang tinggi di dalam tubuh. Setelah terjadi
luteolisis dan gelombang folikel ketiga terjadi, maka folikulogenesis dapat
berlangsung secara sempurna dan menghasilkan satu folikel dominan (Senger 2003).
Oosit yang digunakan dalam proses produksi embrio in vitro diharapkan adalah oositoosit yang berada pada tahapan folikel terseleksi yang telah tumbuh sempurna, belum
mengalami atresia dan berpeluang untuk tumbuh menjadi folikel dominan.
Proses folikolegenesis disertai dengan berbagai tahap perkembangan oosit
yang meliputi tiga fase yaitu proliferasi, pertumbuhan dan pematangan. Fase
proliferasi meliputi proses mitosis oogonium menjadi beberapa oogonia yang terjadi
pada saat pralahir atau sesaat setelah lahir, kemudian oogonia berdiferensiasi menjadi
oosit primer dengan inti tahap profase I (tahap diploten), serta dikelilingi oleh sel
epitel pipih membentuk folikel primordial. Inti oosit pada tahap ini disebut germinal
vesicle (GV) yang ditandai dengan adanya membran inti yang utuh dan nukleus yang
jelas. Setelah fase proliferasi, oosit memasuki fase pertumbuhan dan pematangan
yang berlangsung bersamaan dengan proses perkembangan folikel (Gambar 1). Pada
fase pertumbuhan, terjadi peningkatan volume dan diameter oosit akibat terjadi
peningkatan dan akumulasi organel-organel sel, serta peningkatan proses transkripsi
untuk sintesis protein (Hafez dan Hafez 2000). Proses ini dimaksudkan untuk
mendukung kompetensi perkembangan oosit selanjutnya hingga mencapai embrio.
4
Gambar 1 Gambaran skematis ultrastruktur oosit selama pertumbuhannya di dalam
folikel (Hyttel et al. 1996)
Folikel primordial memiliki diameter 34.6±3.7 µm. Oosit pada folikel ini
memiliki diameter 27.9±3.3 µm yang dikelilingi oleh satu lapis sel granulosa
berbentuk pipih. Secara ultrastruktur, bagian korteks oosit pada fase ini diisi oleh
coated pits dan vesikel dalam jumlah banyak yang berfungsi sebagai jalur
komunikasi (endocytotic pathway) antara oosit dan sel granulosa, sedangkan bagian
sitoplasma oosit ditandai oleh kehadiran beberapa organel sel seperti retikulum
endoplasmik kasar (RER) dan halus (SER), badan golgi (G), serta mitokondria (M)
berbentuk bulat dalam jumlah yang masih sangat sedikit di sekitar nukleus. Selain itu,
bagian nukleolus (Nu) menunjukkan komponen granular yang diselingi oleh vakuolvakuol (Gambar 1A).
Folikel primer memiliki diameter 46.1±6.1 µm. Oosit pada folikel ini
memiliki diameter 31.6±4.3 µm yang dikelilingi oleh selapis sel granulosa berbentuk
kuboid. Secara ultrastruktur oosit pada folikel primer mengalami perubahan dalam
jumlah organel sel seperti mitokondria berbentuk panjang, badan golgi dan mikrovili
di dalam sitoplasmanya yang mengalami peningkatan. Selain itu, pada komponen
granular dari nukleolus mulai terbentuk fibrillar center (FC). Oosit pada folikel
primer masih melibatkan coated pits dan vesikel sebagai jalur komunikasi antara
oosit dan sel granulosa (Gambar 1B).
5
Folikel sekunder memiliki diameter 101.7±41.8 µm. Oosit pada folikel ini
memiliki diameter 45.6±14.0 µm yang dikelilingi oleh lebih dari satu lapis sel
granulosa kuboid. Pada tahap ini zona pelusida (ZP) dan kortikal granula mulai
terbentuk. Teramati pula adanya penurunan jumlah coated pits serta vesikel pada
oolema, yang diikuti dengan pembentukan gap junction sebagai jalur komunikasi
baru yang menghubungkan antara oosit dan sel granulosa. Mikrovili telah berubah
bentuk menjadi tegak lurus dan FC telah secara sempurna tergabung pada bagian
perifer dari nukleolus dan membentuk fibrilo-granular nukleolus. Transkripsi oosit
termasuk fungsi nukleolus dan sintesis rRNA pada oosit mulai teraktivasi dan sintesis
RNA tersebut akan terus dipertahankan sampai diameter oosit mencapai ±110 µm
pada folikel tersier ukuran 3 mm (Gambar 1C).
Transisi dari folikel sekunder ke folikel tersier awal (pre-antral follicle)
dicirikan oleh terbentuknya antrum dan peningkatan diameter folikel sampai 1 mm.
Oosit pada folikel tersier awal memiliki diameter 80 µm. Pada tahap ini terjadi
proliferasi sel granulosa, zona pelusida telah terbentuk dengan sempurna dan
mikrovili telah tertanam di dalam zona pelusida. Selain itu, terjadi peningkatan
jumlah mitokondria berbentuk panjang yang terdistribusi secara merata di seluruh
bagian sitoplasma, diikuti dengan peningkatan jumlah lipid droplet, vesikel, badan
golgi dan kortikal granula. Fibrillar center pada nukleolus jumlahnya meningkat dan
terdistribusi secara merata (Gambar 1D). Ketika folikel tersier sampai pada diameter
3 mm, oosit yang berada di dalamnya umumnya memiliki diameter antara 80-110
µm. Jika diameter oosit <100 µm maka dicirikan oleh terjadinya pergerakan inti yang
bergerak menyudut ke satu posisi, kortikal granula yang telah menduduki wilayah
korteks dan susunan mikrotubul jelas terlihat di bagian sitoplasma. Oosit akan
membentuk sebagian dari ruang perivitelin jika diameter oosit telah mencapai antara
100-110 µm (Gambar 1E).
Oosit dengan diameter <110 µm dilaporkan mempunyai kemampuan untuk
melanjutkan proses meiosis, akan tetapi oosit ini belum memiliki kemampuan penuh
untuk menyelesaikan proses meiosis sampai ke tahapan metafase II (MII). Persentase
maturasi inti yang didapatkan dari oosit dengan diameter tersebut hanya mencapai
46.9% (Otoi et al. 1997). Hasil yang sama juga ditunjukkan oleh Fair et al. (1995)
pada oosit berdiameter 100-110 µm dengan persentase angka maturasi inti sebesar
42%, begitupun dengan Hyttel et al (1996) yang menyatakan bahwa oosit dengan
diameter ±100 µm baru memperoleh kemampuan untuk melanjutkan meiosis. Lebih
lanjut dikatakan oleh Fair et al. (1995), bahwa oosit dengan diameter <110 µm
mengandung tingkat 3H-uridin yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan oosit yang
memiliki diameter ≥110 µm. Kadar 3H-uridin yang tinggi mengindikasikan bahwa
oosit tersebut masih berada dalam tahap pertumbuhan, karena 3H-uridin merupakan
indikator yang terkait dengan aktivitas sintesis RNA pada saat oosit masih tumbuh.
Oosit pada folikel tersier akhir memiliki diameter ≥110 µm yang dicirikan
oleh berpindahnya organel-organel sel ke arah perifer, jumlah lipid droplet dan
vesikel meningkat seiring dengan peningkatan ukuran dari badan golgi. Mikrovili
telah rilis dari zona pelusida dan menumpuk di ruang perivitelin (Gambar 1F).
6
Oosit yang terus bertumbuh dan mencapai diameter antara ≥110-120 µm
dilaporkan memiliki kemampuan penuh untuk dapat menyelesaikan maturasi inti
sampai ke tahap MII, dengan persentase maturasi inti yang dihasilkan adalah sebesar
75.9% (Fair et al. 1995), 76.0% (Hyttel et al. 1996) dan 75.1% (Otoi et al. 1997).
Secara lebih spesifik dikatakan oleh Otoi et al. (1997), bahwa interval diameter
tersebut jika dibagi lagi ke dalam dua bagian maka akan lebih jelas terlihat
kompetensi perkembangannya masing-masing. Pada oosit dengan diameter antara
115-<120 µm teramati menghasilkan persentase maturasi inti yang lebih tinggi secara
signifikan dibandingkan oosit dengan diameter antara 110-<115 µm (84.8% vs
64.6%). Hal ini menegaskan bahwa kemampuan untuk menyelesaikan meiosis dan
mencapai tahapan MII dapat diperoleh ketika oosit berada pada diameter 115 µm.
Oosit akan memiliki kompetensi penuh untuk berkembang lebih lanjut sampai ke
tahap blastosis jika diameter oosit telah mencapai ≥120 µm.
Oosit yang telah tumbuh sempurna memiliki diameter ≥120 µm. Secara
ultrastruktur kandungan dalam sitoplasma oosit pada diameter ini dicirikan oleh
adanya mitokondria dalam jumlah banyak yang terletak di bagian perifer dan
terdistribusi di seluruh bagian oosit, jumlah lipid droplet, vesikel dan badan golgi
juga mengalami peningkatan. Selain itu pembentukan ruang perivitellin telah
berlangsung dengan sempurna. Secara keseluruhan selama proses pertumbuhannya di
dalam folikel, oosit sapi mengalami berbagai perubahan penting pada sitoplasma
oositnya, yang ditunjukkan dengan terjadinya relokasi dan modulasi dari sejumlah
organel sel dan pengembangan struktur tertentu dari oosit seperti zona pelusida serta
kortikal granul. Selain itu adanya proses transkripsi yang aktif juga terjadi di
dalamnya. Hal tersebut dibutuhkan agar oosit dapat memiliki kompetensi
perkembangan meiotik. Dalam proses produksi embrio in vitro, seleksi ukuran folikel
pada saat aspirasi oosit sebaiknya dilakukan pada folikel berdiameter >3mm, karena
diharapkan ukuran oosit yang berada di dalamnya telah mencapai >110 µm (Fair et
al. 1996; Hyttel et al. 1996; Gordon 2003).
Enzim glukosa 6 fosfat dehidrogenase, kompetensi perkembangan oosit, dan
aplikasi pewarna brilliant cresyl blue
Seiring pertumbuhannya di dalam folikel, oosit mensintesis berbagai macam
protein spesifik penting di dalam sitoplasmanya, termasuk enzim glukosa 6 fosfat
dehidrogenase (G6PD). Enzim ini berperan sangat penting dalam proses metabolisme
karbohidrat melalui jalur fosfat pentosa. Pada jalur ini tidak dihasilkan adenosine
triphosphate (ATP) seperti halnya pada proses glikolisis, melainkan berfungsi dalam
menghasilkan ribosa 5 fosfat dan nikotinamida adenin dinukleotida fosfat (NADPH)
(Marks et al. 1996).
Ribosa 5 fosfat yang dihasilkan melalui jalur fosfat pentosa berfungsi dalam
sintesis nukleotida dan asam nukleat, sedangkan NADPH yang dihasilkan dapat
digunakan sebagai agen pereduksi untuk biosintesis asam lemak dan steroid, serta
melindungi sel melalui sistem pertahanan glutation terhadap kerusakan yang dapat
ditimbulkan oleh reactive oxygen species (ROS) (Jortzik et al. 2011). Mekanisme
kerja NADPH dalam melindungi sel (oosit) terhadap aktivitas ROS adalah dengan
7
mereduksi glutation teroksidasi (GSSG) menjadi glutation tereduksi (GSH) melalui
kerja dari enzim glutation reduktase. Komponen GSH yang dihasilkan dari reaksi ini
kemudian berfungsi untuk menghilangkan senyawa H2O2 dari sel melalui reaksi yang
dikatalisis oleh enzim glutation peroksidase. Glutation peroksidase akan
mempercepat reduksi hidrogen peroksidase dan lipid peroksida dengan kehadiran
GSH, yang selanjutnya akan dikonversi menjadi GSSG. Reaksi ini terus berlanjut dan
berulang selama proses pertumbuhan sel dengan tujuan untuk mengurangi terjadinya
stres oksidatif dan mencegah penurunan fungsi normal suatu sel sampai sel tersebut
telah tumbuh sempurna. Penurunan aktivitas metabolisme pada sel yang telah tumbuh
sempurna dicirikan oleh penurunan aktivitas G6PD yang menandakan sintesis RNA
telah cukup memadai di dalam sitoplasma sel dan kandungan antioksidan intraseluler
yang diproduksi setelahnya berfungsi untuk membantu perkembangan oosit
selanjutnya (Luberda 2005). Secara skematis jalur fosfat pentosa dapat dilihat pada
Gambar 2.
Gambar 2 Metabolisme karbohidrat melalui jalur fosfat pentosa (Marks et al. 1996)
Alm et al. (2005) dalam studinya melaporkan bahwa aktivitas G6PD pada
oosit yang masih tumbuh 2.5 kali lebih tinggi dibandingkan oosit yang telah tumbuh
sempurna. Oosit yang masih tumbuh cenderung memiliki aktvitas metabolisme yang
tinggi yang berkorelasi dengan jumlah ROS yang tinggi sebagai produk samping dari
metabolisme oksidatif. Dalam kondisi normal, ROS memiliki peran positif dalam
fungsi fisiologis seperti untuk membantu proses proliferasi dan differensiasi sel
(Covarrubias et al. 2008). Akan tetapi keberadaannya dalam jumlah yang berlebih
dapat menimbulkan efek negatif seperti rusaknya DNA dan terjadinya apoptosis
(Gupta et al. 2008). Kontrol terhadap lingkungan oksidasi-reduksi intraseluler
sangatlah penting agar fungsi normal sel tetap dapat berjalan dengan baik.
Mekanisme perlindungan sel dari gangguan oksidatif adalah dengan pembentukan
8
antioksidan intraseluler. Aktivitas G6PD yang ditemukan tinggi pada oosit yang
sedang tumbuh berkaitan dengan dihasilkannya NADPH dalam jumlah banyak,
sehingga dapat menghasilkan senyawa glutation yang berperan sebagai antioksidan
intraseluler guna menekan terjadinya stres oksidatif pada oosit. Jika suatu sel
mengalami penurunan level dari G6PD pada saat proses pertumbuhannya, maka sel
tersebut akan sangat sensitif terhadap terjadinya stres oksidatif (Berg et al. 2002).
Selain itu, aktivitas G6PD yang tinggi pada oosit yang sedang tumbuh juga berkaitan
dengan dihasilkannya ribosa 5 fosfat dalam jumlah banyak. Senyawa ini dibutuhkan
untuk sintesis nukleotida dan asam nukleat yang merupakan komponen penyusun
utama dari DNA dan RNA. Selama pertumbuhannya di dalam folikel dibutuhkan
sintesis RNA yang cukup pada sitoplasma oosit agar oosit memiliki kompetensi
perkembangan meiotik. Torner et al. (2008) mengatakan bahwa oosit yang sedang
tumbuh cenderung lebih aktif dalam melakukan proses transkripsi dan translasi, yang
menghasilkan RNA dan protein penting untuk proses perkembangan selanjutnya.
Sintesis RNA terjadi di nuklelolus pada saat oosit berada di fase folikel sekunder.
Proses ini terus berlanjut hingga oosit mencapai diameter 110 µm dan setelahnya
fungsi nukleolus mengalami inaktivasi (Fair et al. 1995; Hyttel et al. 1996). Aktivitas
G6PD yang cenderung menurun pada oosit yang telah menyelesaikan fase
pertumbuhannya mengindikasikan bahwa sintesis RNA dan aktivitas metabolisme
pada oosit tersebut telah mencukupi untuk perkembangan awal oosit dan embrio.
Aktivitas G6PD sebagai indikator kualitas oosit dapat ditentukan dengan
aplikasi pewarna brilliant cresyl blue (BCB). Pewarna ini memiliki komponen zat
warna biru yang akan direduksi menjadi tidak berwarna oleh aktivitas G6PD yang
tinggi pada oosit yang sedang tumbuh. Hal sebaliknya terjadi pada oosit yang telah
tumbuh sempurna. Oosit tidak mengalami reduksi zat warna BCB karena adanya
penurunan aktivitas G6PD. Zat warna biru dari BCB akan tetap tinggal dalam
sitoplasma oosit dan tidak termetabolisir (Rodriguez Gonzales et al. 2002). Dasar
biokimia tentang mekanisme yang terjadi pada metabolisme BCB oleh G6PD belum
sepenuhnya dapat dipahami. Alm et al. (2005) dalam studinya menyatakan bahwa
BCB memiliki kemampuan untuk berperan sebagai akseptor elektron, dengan cara ini
sitoplasma oosit menjadi tidak berwarna selama aliran elektron terus diinduksi oleh
G6PD. Elektron penginduksi tersebut dihasilkan dari kerja G6PD sebagai katalisator
dalam proses oksidasi glukosa 6 fosfat dan reduksi NADP+.
Maturasi oosit in vitro dan perolehan kompetensinya
Oosit memerlukan dua hal dalam mendukung keberhasilan fertilisasi dan
perkembangan embrio, yaitu terjadinya pematangan inti dan sitoplasma (Kishida et
al. 2004). Pematangan inti meliputi berbagai perubahan kronologis tahapan meiosis,
sedangkan pematangan sitoplasma merupakan penambahan kompetensi biologis oosit
yang meliputi berbagai perubahan struktur dan biokimiawi di dalam sitoplasma yang
memungkinkan oosit untuk mengekspresikan potensi kemampuan perkembangannya
setelah fertilisasi serta pembentukan dan perkembangan embrio (Gordon 2003;
Watson 2007). Tahapan pematangan inti dan sitoplasma selama proses maturasi dapat
dilihat pada Gambar 3.
9
Gambar 3 Skema distribusi organel sitoplasma selama pematangan dan fertilisasi. A
Pematangan inti dan pergerakan organel sitoplasma dari tahap germinal
vesicle (GV) ke tahap metafase II dan pembentukan zigot. B Distribusi
organel dan mekanisme pelepasan isi kortikal granul dan Ca2+
intraseluler, setelah penetrasi spermatozoa ke dalam oosit (Ferreira et al.
2009)
Dalam keadaan in vivo, setelah folikel mencapai ukuran maksimal dan
preovulatory LH surge terjadi, oosit kemudian mengalami maturasi inti tahap akhir,
yaitu dari germinal vesicle (GV) ke metafase II (MII). Maturasi inti oosit sapi dari
GV ke MII secara in vitro membutuhkan waktu optimal 24 jam pada inkubator 5%
CO2 suhu 39ºC. Maturasi inti dibagi ke dalam 2 fase, yaitu fase induktif dan fase
sintetik. Fase induktif terjadi pada 6-8 jam kultur yang ditandai dengan perubahan inti
oosit dari geminal vesicle (GV) ke germinal vesicle break down (GVBD). Proses ini
membutuhkan sintesis protein yang aktif, begitu juga dengan proses setelahnya
karena sintesis protein yang aktif sangat krusial dan dibutuhkan untuk dapat
menyelesaikan meiosis. Dalam kondisi in vitro, oosit membutuhkan media maturasi
yang kaya akan mikro nutrien penting untuk perkembangannya. Fase sintetik terjadi
pada 16-18 jam kemudian, yang ditandai dengan restrukturisasi total dari inti oosit
dan elemen-elemen yang terdapat dalam sitoplasma. Metafase I (MI) terjadi pada 818 jam setelah kultur, anafase/telofase I (A/TI) terjadi antara jam ke 18-21, dan
metafase II (MII) terjadi antara jam ke 21-24. Oosit pada status inti metafase II
dikatakan sebagai oosit yang telah matang dan siap untuk difertilisasi, yang jika pada
keadaan in vivo terkait dengan ovum yang telah diovulasikan (Gordon 2003).
Pematangan inti dapat dievaluasi dengan pewarnaan seperti aceto orcein (Lequarre et
al. 2005), sedangkan pematangan sitoplasma dapat diketahui secara tidak langsung
dari terbentuknya pronukleus dan terjadinya pembelahan sel (Ducibella et al. 2002).
10
Pematangan sitoplasma yang terjadi selama proses maturasi meliputi
organisasi sitoskeletal dari oosit seperti migrasi kortikal granula ke oolemma,
peningkatan mitokondria dan lipid droplet, akumulasi protein dan mRNA, perubahan
susunan aparatus golgi, keberadaan retikulum endoplasmik granular, perubahan
aktivitas maturation promoting factor (MPF) dan mitogen activated protein kinase
(MAPK) (Hyttel et al. 1996; Sirard et al. 2006).
Fertilisasi oosit in vitro
Oosit dianggap matang dan siap untuk difertilisasi jika telah berada pada
tahap MII. Pada tahap ini oosit akan mengalami istirahat meiosis kembali, sebelum
teraktivasi oleh kehadiran spermatozoa. Secara ilustrasi, proses aktivasi oosit oleh
spermatozoa pada proses fertilisasi digambarkan oleh Alberio et al. (2001) pada
Gambar 4.
Gambar 4 Mekanisme aktivasi oosit oleh spermatozoa dalam proses fertilisasi
(Alberio et al. 2001)
Spermatozoa yang menempel pada membran plasma oosit menyebabkan
terjadinya ikatan antara spermatozoa dan bagian reseptor spermatozoa (SR), yaitu
CD9 dan α1β6. Ikatan tersebut akan mengaktifkan protein G atau Protein Tyrosine
Kinase (PTK) yang selanjutnya diikuti oleh aktivasi dari phospholipase C (PLC).
Aktifnya PLC menyebabkan proses hidrolisa phosphatidylinositol 4,5-bisphosphate
(PIP2) pada membran plasma dapat berlangsung. Hidrolisa PIP2 menghasilkan
diacylglicerol (DAG) dan inositol 1,4,5-triphosphate (IP3). Induksi IP3 terhadap
retikulum endoplasmik menyebabkan peningkatan konsentrasi Ca2+. Peningkatan
konsentrasi Ca2+ menyebabkan terjadinya 2 kejadian penting, yaitu pelepasan kortikal
11
granula dan inisiasi berlanjutnya siklus pembelahan meiosis sel. Pelepasan kortikal
granula ke dalam ruang perivitellin menyebabkan pengerasan pada zona pelusida
untuk mencegah terjadinya polispermia dan inisiasi berlanjutnya siklus pembelahan
meiosis sel yang ditandai dengan menurunnya aktivitas MPF (Alberio et al. 2001;
Jones 2007). Peningkatan Ca2+ intraseluler juga akan diikuti dengan meningkatnya
pH, menyebabkan terjadinya pertukaran ion Na+ dari luar dan H+ dari dalam oosit.
Peningkatan pH penting untuk menstimulasi replikasi DNA, perkembangan
konduktan K+ dan perubahan metabolisme seluler lainnya (Machaty dan Prather
1998).
Fertilisasi melibatkan aktivasi oosit oleh spermatozoa, sehingga terjadi
pembentukan pronukleus dan menjadi zigot. Transformasi kepala spermatozoa (inti),
yaitu dari morfologi dan aktivitas sintetisnya, melibatkan pecahnya selubung inti dan
dekondensasi kromatin dalam sitoplasma. Dekompaksi inti spermatozoa melibatkan
reduksi rantai disulfida dari protamin. Protamin digantikan oleh histon dan non-histon
selama pembentukan pronukleus jantan sebagai persiapan untuk sintesis DNA.
Perubahan morfologi dari spermatozoa setelah penetrasi kedalam oosit dan
bertransformasi menjadi pronkleus jantan adalah: dekondensasi inti spermatozoa (1),
rekondensasi inti spermatozoa (2), redekondensasi inti spermatozoa (3),
prepronukleus (4), dan pronukleus jantan (5). Dalam proses in vitro, penetrasi
spermatozoa ke dalam oosit pertama kali teramati pada 4 jam post inseminasi dan
mencapai puncaknya pada 9 jam post inseminasi. Pembentukan pronukleus jantan
teramati pada 9 jam post inseminasi dan mencapai angka maksimumnya pada 14 jam
post inseminasi. Titik krusial pembentukan pronukleus jantan adalah saat
spermatozoa mengalami rekondensasi setelah proses dekondensasi dengan tujuan
untuk menggantikan protamin dengan protein histon dan non-histon. Fosforilasi
protein diduga berhubungan dengan pembentukan pronukleus jantan pada oosit sapi
(Gordon 2003).
12
3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Ovarium diperoleh dari Rumah Potong Hewan Cibinong, Kabupaten Bogor.
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Fertilisasi in vitro, Bagian Reproduksi dan
Kebidanan, Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berlangsung dari bulan Februari
sampai dengan Mei 2014.
Metode Penelitian
Tahap I. Kemampuan maturasi inti oosit setelah dipaparkan pewarna BCB
Koleksi dan klasifikasi oosit
Oosit diperoleh dari ovarium sapi yang dipotong di rumah potong hewan
(RPH) dan dibawa ke laboratorium dalam kantung plastik yang berisi larutan NaCl
fisiologis (0.9 w/v) suhu 27-28°C. Dikarenakan lokasi RPH yang cukup jauh dan
waktu pemotongan hewan, oosit tiba di laboratorium ±6-8 jam kemudian. Koleksi
oosit dilakukan dengan teknik aspirasi menggunakan syringe dan jarum ukuran 18G.
Cairan hasil aspirasi kemudian dimasukkan ke dalam tabung sentrifus steril 15 mL
(Corning Centristar®) dan dibiarkan mengendap selama 3-5 menit. Setelah terbentuk
endapan, supernatan kemudian dibuang dan sisa endapan dituang pada cawan petri
steril yang mengandung larutan mPBS (PBS plus 10% fetal bovine serum) (Sigma,
USA).
Seleksi oosit dilakukan di bawah mikroskop stereo berdasarkan homogenitas
sitoplasma dan kekompakan sel-sel kumulus. Oosit hasil seleksi kemudian dibagi
menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok kontrol dan kelompok pewarnaan BCB. Oosit
kelompok kontrol dilakukan maturasi secara langsung tanpa dilakukan pewarnaan
BCB sebelumnya.
Pewarnaan brilliant cresyl blue (BCB)
Oosit kelompok pewarnaan BCB diinkubasi dalam pewarna BCB 26 µM
(B-5388, Sigma) selama 90 menit pada inkubator 5% CO2 dan suhu 39°C (Pujol et al.
2004; Alm et al. 2005; Bhojwani et al. 2007). Setelah inkubasi, oosit dicuci sebanyak
3 kali dalam larutan mPBS dan diklasifikasikan dibawah mikroskop stereo ke dalam 2
kelompok berdasarkan tingkat penyerapan warna sitoplasmanya. Oosit dengan
sitoplasma berwarna biru dikategorikan sebagai kelompok oosit BCB+ yang
mengindikasikan oosit telah tumbuh sempurna dan oosit dengan sitoplasma yang
tidak berwarna dikategorikan sebagai kelompok oosit BCB- yang mengindikasikan
oosit masih dalam tahap pertumbuhan. Kedua kelompok tersebut dipisahkan untuk
kemudian dimatangkan pada masing-masing media maturasi.
13
Maturasi oosit in vitro (IVM)
Masing-masing oosit dari kelompok kontrol, BCB+, dan BCB- dimatangkan
secara terpisah pada media maturasi dalam bentuk drop 100 µL yang berisi 10-20
oosit dan ditutup dengan mineral oil (Sigma, USA). Medium maturasi terdiri dari:
Tissue Culture Medium-199/TCM-199 (Gibco, USA) yang disuplementasi dengan 10
IU/mL Pregnant Mare Serum Gonadothropine/PMSG (Kyoritsu Seiyaku, Japan), 10
IU/mL Human Chorionic Gonadotropin/hCG (Kyoritsu Seiyaku, Japan), 50 µg/mL
Gentamycin (Sigma, USA), dan 10% fetal bovine serum/FBS (Sigma, USA).
Maturasi oosit dilakukan dalam inkubator 5% CO2 pada suhu 39°C selama 24 jam.
Evaluasi kemampuan maturasi oosit in vitro
Oosit didenudasi sel-sel kumulusnya menggunakan enzim hyaluronidase
0.25% (Sigma, USA) dengan cara dipipet berulang-ulang menggunakan ujung pipet
yang sesuai dengan ukuran oosit. Oosit hasil denudasi kemudian diletakkan pada
drop mPBS diatas gelas objek yang memiliki bantalan campuran paraffin dan
vaseline di kedua sisinya. Drop ditutup cover glass dan ditekan secara perlahan
menggunakan pensil pada kedua sisi bantalan paraffin dan vaseline. Setelah cover
glass menutup dengan sempurna, keempat sisinya direkatkan dengan bantuan lem
untuk menghindari terlepas pada saat fiksasi. Preparat difiksasi selama 48-72 jam
pada kombinasi larutan Etanol : asam asetat (3:1 v/v) dan setelahnya diwarnai dengan
aceto orcein 2% selama 2-3 menit melalui celah diantara kedua sisinya. Zat pewarna
kemudian dibilas dengan larutan asam asetat 25%. Pengerjaan dilakukan di bawah
mikroskop untuk menghindari adanya oosit yang ikut terbawa larutan pada saat
pewarnaan dan pembilasan. Selanjutnya setiap sisi cover glass diberi larutan kuteks
bening dan dilakukan pengamatan morfologi di bawah mikroskop menggunakan
lensa dengan fitur bright field (Olympus IX 70, Japan).
Evaluasi tingkat maturasi inti dinilai berdasarkan kronologis perubahan
meiosis dari tahap germinal vesicle (GV) sampai ke tahap metafase II (MII). Tahap
GV diklasifikasikan sebagai tahapan dari oosit yang belum matang (immature
oocytes), ditandai dengan membran inti dan nukleolus yang tampak dengan jelas.
Berlanjutnya proses meiosis diawali dengan germinal vesicle breakdown (GVBD)
atau diakenesis, yang ditandai dengan pecahnya membran inti dan inti sudah terlihat
dengan jelas, metafase I (MI) ditandai dengan adanya kromosom homolog yang
berderet di bidang ekuator, anafase I (AI) ditandai dengan perpindahan kromosom ke
arah kutub, telofase I (TI) ditandai dengan kromosom yang telah mencapai di kutub
masing-masing. Proses selanjutnya adalah metafase II (MII), status inti oosit pada
tahap ini diklasifikasikan sebagai oosit yang sudah matang dan siap untuk
difertilisasi, ditandai dengan adanya polar body I dan kromosom homolog (Gordon
2003). Oosit yang menunjukkan konfigurasi kromatin abnormal, kromatin tersebar
diseluruh bagian dari oosit, piknotik kromatin, atau sama sekali tidak terdapat adanya
kromatin setelah diwarnai dikategorikan telah mengalami degenerasi (Alm et al. 2005
dan Wongsrikeao et al. 2006). Evaluasi keberhasilan maturasi dilakukan dengan
mengamati perbandingan jumlah oosit yang mampu mencapai tahap metafase II
14
dengan jumlah total oosit yang dimaturasi. Persentase jumlah oosit yang mampu
mencapai tahap metafase II dan tahapan meiosis lainnya (germinal vesicle, germinal
vecicle breakdown (diakinesis), metafase I, anafase I, dan telofase I) dibandingkan
diantara perlakuan dan kontrol.
Tahap II. Kemampuan fertilisasi oosit setelah dipaparkan pewarna BCB
Fertilisasi oosit in vitro (IVF)
Oosit dimaturasi seperti prosedur sebelumnya yang dilakukan pada penelitian
tahap I. Fertilisasi oosit dilakukan menggunakan semen beku sapi yang berasal dari
Balai Besar Inseminasi Buatan (BBIB) Lembang, Bandung. Proses thawing
dilakukan dengan menempatkan straw dalam air bersuhu 37°C selama 30 detik.
Selanjutnya semen dimasukkan ke dalam tabung sentrifus steril 15 mL (Corning
Centristar®) yang berisi 4 mL medium fertilisasi (Suzuki et al. 2000) dan
disentrifugasi pada kecepatan 700 g suhu 28°C selama 8 menit. Setelah sentrifugasi,
bagian supernatan dibuang dan sisa spermatozoa sebagai endapannya dilakukan
pengenceran menggunakan medium fertilisasi hingga mencapai konsentrasi akhir
2x106 spermatozoa/mL.
Spermatozoa yang telah disiapkan dibuat dalam bentuk drop pada petri dish
(Nunclon, Denmark) masing-masing sebanyak 100 µL untuk 10-20 oosit dan ditutup
dengan mineral oil (Sigma, USA). Masing-masing kelompok oosit (BCB+, BCB-,
dan kontrol) yang telah dimaturasi dicuci sebanyak 2 kali dalam medium fertilisasi
dan kemudian dipindahkan ke dalam drop spermatozoa untuk proses fertilisasi.
Inkubasi oosit dilakukan selama 14 jam pada inkubator 5% CO2 suhu 39°C.
Evaluasi kemampuan fertilisasi oosit in vitro
Tingkat fertilisasi dievaluasi berdasarkan pada pembentukan dan jumLah
pronukleus setelah dilakukan pewarnaan dengan aceto orcein 2%. Metode pewarnaan
menggunakan metode yang sama seperti yang dilakukan pada evaluasi tahap maturasi
oosit. Oosit terfertilisasi ditandai dengan terbentuknya 2 atau lebih pronukleus (PN)
(Wongsrikeao 2006) dan tingkat fertilisasi merupakan perbandingan antara jumlah
oosit yang terfertilisasi dibandingkan jumlah keseluruhan oosit yang difertilisasi.
Analisis data
Penelitian ini dirancang menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) untuk
setiap tahapannya (maturasi dan fertilisasi) dengan masing-masing 3 perlakuan dan 5
kali ulangan. Perbandingan status inti oosit dan oosit yang terfertilisasi pada masingmasing kelompok perlakuan (kontrol, BCB+, dan BCB-) diuji secara statistik
menggunakan Analysis of Variance (ANOVA) pada taraf nyata 95%, apabila terdapat
perbedaan yang nyata diantara perlakuan, maka dilanjutkan dengan Fisher Protected
Least Significant Difference (PSLD) test (Steel dan Torrie 1991). Data diolah
menggunakan program Statview.
15
16
Hasil penelitian yang diperoleh pada tingkat maturasi inti oosit sapi setelah
pewarnaan BCB disajikan pada Tabel 1. Terlihat pada tabel bahwa persentase
maturasi inti (MII) oosit sapi pada kelompok oosit BCB+ dan kontrol lebih tinggi
(P< 0.05) dibandingkan kelompok oosit BCB- (78.7, 77.1% vs 33.3%), tetapi tidak
terdapat perbedaan yang signifikan (P> 0.05) antara kelompok oosit BCB+ dan
kelompok oosit kontrol (78.7% vs 77.1%). Lebih lanjut ditemukan perbedaan yang
signifikan (P< 0.05) pada tahap metafase 1 (MI) antara kelompok oosit BCBdibandingkan kelompok oosit kontrol dan BCB+ (41.7% vs 18.8, 18.0%).
Tabel 1 Tingkat maturasi inti oosit sapi setelah pewarnaan BCB.
Status Inti Oosit (%)
Jumlah
Perlakuan
Oosit
GV
GVBD
MI
A/T I
MII
D
Kontrol
48
0 (0.0)
2 (4.2)
9 (18.8)a
0 (0.0) 37 (77.1)a 0 (0.0)
BCB+
61
0 (0.0)
1 (1.6)
11 (18.0)a 1 (1.6) 48 (78.7)a 0 (0.0)
BCB48
2 (4.2)
7 (14.6) 20 (41.7)b 0 (0.0) 16 (33.3)b 3 (6.3)
a,b
, superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata
(P< 0,05). GV: Germinal vesicle; GVBD: Germinal vesicle breakdown; MI: Metafase
I; A/T I: Anafase-Telofase I; MII: Metafase II; D: Degenerasi.
Tingkat fertilisasi oosit sapi setelah pewarnaan BCB
Oosit sapi yang terfertilisasi ditandai dengan terbentuknya 2 atau lebih
pronukleus (PN) seperti disajikan pada Gambar 6.
A
20 µm
B
20 µm
Gambar 6 Pembentukan pronukleus pada oosit sapi setelah fertilisasi. A. 2 PN, B.
>2PN, PN: Pronukleus (tanda panah); perbesaran 200x.
Hasil penelitian yang diperoleh pada tingkat fertilisasi oosit sapi setelah
pewarnaan BCB disajikan pada Tabel 2. Tingkat fertilisasi oosit sapi antara kelompok
oosit BCB+ lebih tinggi secara signifikan (P< 0.05) dibandingkan kelompok oosit
kontrol dan BCB- (30.5% vs 23.6, 13.6%). Perbedaan signifikan (P< 0.05) juga
terlihat antara kelompok oosit kontrol dan BCB- (23.6% vs 13.6%).
17
Tabel 2 Tingkat fertilisasi oosit sapi setelah pewarnaan BCB.
Pembentukan Pronukleus
Jumlah
Tingkat Fertilisasi
Perlakuan
Normal
Polispermia
Oosit
n (%)
n (%)
n (%)
a
Kontrol
55
13 (23.6)
12 (92.3)
1 (7.7)
BCB+
59
18 (30.5)b
18 (100.0)
0 (0.0)
c
BCB66
9 (13.6)
9 (100.0)
0 (0.0)
a,b
, superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata
(P< 0.05). Normal: membentuk 2 Pronukleus (PN); Polispermia: membentuk >2 PN;
Tingkat fertilisasi: jumlah oosit yang dapat membentuk 2 atau lebih PN dari
keseluruhan jumlah oosit yang difertilisasi.
PEMBAHASAN
Tingkat maturasi inti oosit
Tingkat pematangan inti oosit sangat dipengaruhi oleh kualitas oosit yang
digunakan. Pada penelitian ini oosit sapi dipilih secara morfologi berdasarkan
homogenitas sitoplasma dan kekompakan sel-sel kumulus, sehingga oosit yang
digunakan diasumsikan seragam dan mempunyai kompetensi perkembangan yang
sama. Untuk mendapatkan kualitas oosit yang lebih homogen, seleksi dilakukan
dengan teknik pewarnaan BCB berdasarkan aktivitas enzim G6PD dalam sitoplasma
oosit. Dikarenakan hanya oosit yang telah matang (MII) yang memiliki kemampuan
untuk dibuahi oleh spermatozoa dan berkembang lebih lanjut membentuk embrio,
maka pada produksi embrio in vitro, oosit perlu dimatangkan terlebih dahulu. Oleh
karenanya tingkat maturasi inti oosit sering dijadikan sebagai salah satu parameter
dan indikator kuat untuk mengamati tahap awal kompetensi perkembangan oosit.
Perkembangan pematangan oosit atau berlanjutnya proses dari meiosis I
dimulai dengan pecahnya membran germinal yang dikenal sebagai germinal vesicle
breakdown (GVBD), kemudian berlanjut dan mencapai puncaknya pada tahap MII.
Oosit pada tahap ini akan mengalami istirahat meiosis kembali sebelum teraktivasi
oleh kehadiran spermatozoa. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar oosit yang
dimatangkan (>90%) pada seluruh kelompok perlakuan mampu memulai kembali
proses meiosis yang ditunjukkan dengan perubahan status inti oosit dari tahap GV
menjadi GVBD hingga mencapai tahap MII. Namun demikian, seperti disajikan pada
Tabel 1, terlihat persentase yang cukup signifikan dari kelompok oosit BCB- yang
tertahan di GVBD (14.7%) dan terutama pada tahap MI (P< 0.05) dibandingkan
kelompok oosit BCB+ dan kontrol (41.7% vs 18.8%, 18.0%). Hal ini
mengindikasikan bahwa kelompok oosit BCB- kurang memiliki kemampuan untuk
berkembang lebih lanjut secara sempurna dikarenakan masih termasuk dalam
kategori oosit yang sedang tumbuh. Kelompok oosit BCB- memiliki kemampuan
awal untuk melakukan GVBD tetapi sebagian besar tidak mampu berkembang lebih
lanjut sampai ke tahap MII. Ericsson et al. (1993) menyatakan bahwa oosit BCBbelum menyelesaikan fase pertumbuhannya di dalam folikel (intraovarian growth),
18
sehingga terjadi ketidakcukupan kondisi sitoplasmik yang akan mempengaruhi
kemampuan perkembangan oosit selanjutnya. Defisiensi sitoplasmik menurut
Salamone et al. (2001), dicirikan oleh aktivitas yang rendah dari 2 kinase, yaitu
maturation promoting factor (MPF) dan mitogen activated protein kinase (MAPK).
Selain itu, jumlah relatif dari IP3R (reseptor dari inositol 1,4,5-triphospate) sebagai
mediator dari osilasi kalsium secara substansial juga lebih rendah. Penyebab lainnya,
kemungkinan oosit tersebut berada pada tahap awal terjadinya degenerasi, karena
oosit yang telah terseleksi secara morfologi dalam kriteria baik tetapi dikategorikan
sebagai kelompok oosit BCB-, teramati 6.3% mengalami degenerasi. Hal ini
bertentangan dengan yang telah dilaporkan oleh Rodriguez-Gonzalez et al. (2002)
dan Tiffin et al. (1991) bahwa pewarnaan BCB tidak berpengaruh terhadap viabilitas
oosit dan tidak menimbulkan efek lethal pada embrio. Namun, dikatakan oleh KatskaKsiazkiewic et al. (2007) bahwa beberapa oosit dengan perubahan apoptotik yang
mungkin telah terjadi, dapat menjadi lebih sensitif terhadap pewarnaan dengan BCB.
Dalam laporan lainnya oleh Opiela et al. (2008) dinyatakan bahwa oosit yang
terpapar BCB memiliki kecenderungan untuk terjadinya apoptosis, meskipun secara
statistika dari hasil analisa protein tidak meneguhkan kejadian apoptosis tersebut.
Diketahui pula dalam proses pertumbuhan folikel pada sapi yang dimulai dari tahap
rekruitmen, seleksi, dan dominan dengan hanya didapatkan satu folikel dominan dan
sebagian besar folikel lainnya akan mengalami atresia (Senger 2003).
Hasil penelitian lainnya menunjukkan terdapat perbedaan signifikan (P< 0.05)
dalam persentase oosit yang mencapai tahap MII antara kelompok oosit BCB+ dan
kontrol terhadap kelompok oosit BCB- (78.7%, 77.1% vs 33.3%). Data ini sejalan
dengan hasil penelitian yang dilakukan pada kambing (Rodriguez-Gonzalez et al.
2002), sapi (Alm et al. 2005), kerbau (Manjunantha et al. 2007), babi (Isizhaki et al.
2009) dan domba (Setiadi dan Supriatna 2010) bahwa prosedur seleksi oosit dengan
menggunakan teknik pewarnaan BCB sebelum pematangan mampu menyeleksi oosit
yang kompeten (BCB+) dan tidak kompeten (BCB-) untuk berkembang. Lebih lanjut
dinyatakan bahwa sebagian besar oosit kelompok BCB+ telah menyelesaikan fase
pertumbuhannya di dalam folikel yang ditandai oleh kemampuannya dalam mencapai
maturasi inti (MII).
Hasil penelitian ini juga menjelaskan bahwa oosit yang telah terseleksi secara
morfologi, ternyata setelah diwarnai dengan BCB menunjukkan reaksi yang berbeda
dari intensitas zat warna BCB yang dihasilkan pada sitoplasma oositnya. Hal ini
mengindikasikan bahwa seleksi secara morfologi masih menghasilkan kualitas oosit
yang heterogen dalam kemampuan perkembangannya, yang dibuktikan setelah
dimatangkan, oosit tersebut memiliki kemampuan perkembangan yang berbeda. Hal
tersebut terjadi berkaitan dengan perbedaan aktivitas enzim G6PD sebagai indikator
kesempurnaan pertumbuhan oosit di dalam folikel dan juga terkait dengan ekspresi
gen adiponectin dan reseptornya (adipoR1 dan adipoR2) yang ditemukan lebih tinggi
pada oosit BCB+ dibandingkan dengan oosit BCB-. Ekspresi gen ini diduga berkaitan
dengan kemampuan perkembangan dari oosit. Ekspresi mRNA dari adiponectin akan
meningkat seiring dengan pertumbuhan folikel, dengan konsentrasi tertinggi terdapat
pada folikel antral besar. Keterlibatan gen ini diduga terkait dalam proses rekruitmen
dan seleksi folikel pada sapi (Tabandeh et al. 2012).
19
Lebih lanjut Karami-Shabankareh et al. (2012) menemukan adanya hubungan
positif antara oosit yang terseleksi sebagai BCB+ dalam hubungannya dengan
diameter oosit dan diameter folikel oosit berasal yang lebih besar. Diameter oosit
akan sangat berpengaruh dan menentukan terhadap kompetensi perkembangan oosit
selanjutnya. Studi lainnya oleh Castaneda et al. (2013) dilaporkan bahwa oosit BCB+
mengandung lebih banyak sitoplasmik lipid dibandingkan oosit BCB-. Lipid yang
tersimpan merupakan sumber energi bagi oosit selama serangkaian proses in vitro
yang dimulai dari maturasi, fertilisasi, dan permulaan pembelahan, sehingga oosit
BCB+ memiliki keuntungan dalam penyimpanan energi yang lebih banyak
dibandingkan oosit BCB-. Hal ini dikatakan menjadi salah satu sebab yang
menjadikan oosit BCB+ memiliki kemampuan perkembangan yang lebih baik
dibandingkan oosit BCB-. Sejalan dengan studi ini, Sierard et al. (2006) melaporkan
bahwa akumulasi lipid dalam sitoplasma oosit memiliki peranan yang sama
pentingnya dengan akumulasi protein dan mRNA untuk mendukung perkembangan
awal oosit. Dikatakan oleh Torner et al. (2008), oosit yang bertumbuh cenderung
lebih aktif dalam melakukan proses transkripsi dan translasi, yang menghasilkan
RNA dan protein penting untuk proses perkembangan selanjutnya. Oosit BCB+ telah
menyelesaikan sintesis RNA dan akumulasi komponen sitoplasma yang cukup yang
dibutuhkan untuk perkembangan awal oosit dan embrio. Sedangkan oosit BCB-,
dengan aktivitas enzim G6PD yang tinggi mengindikasikan adanya ketidakcukupan
maturasi sitoplasmik.
Tingkat Fertilisasi Oosit
Oosit yang telah terfertilisasi dicirikan dengan terbentuknya 2 atau lebih
pronukleus. Hasil penelitian ini menunjukkan tingkat fertilisasi yang lebih tinggi
secara signifkan (P< 0,05) antara kelompok oosit BCB+ dibandingkan kelompok
oosit kontrol dan BCB- (30.5% vs 23.6%, 13.6%). Data ini sejalan dengan hasil
penelitian yang dilakukan pada kambing prepuber (Rodriguez-Gonzalez et al. 2003)
dan kerbau (Manjunatha et al. 2007).
Rendahnya tingkat fertilisasi pada kelompok oosit BCB- sebagai salah satu
sebab dari belum sempurnanya maturasi sitoplasmik sejalan dengan rendahnya angka
maturasi inti yang dihasilkan jika dibandingkan dengan kelompok oosit BCB+. Pada
penelitian sebelumnya yang telah dilakukan pada babi (Roca et al. 1998), sapi dara
(Pujol et al. 2000; Pujol et al. 2004), kambing pre-puber (Rodriguez-Gonzalez et al.
2002; Rodriguez-Gonzalez et al. 2003), dan kerbau (Manjunatha et al. 2007) dengan
analisa terhadap perbedaan diameter antara oosit BCB+ dan BCB-, dilaporkan bahwa
oosit BCB+ memiliki diameter (volume) oosit yang lebih besar dibandingkan oosit
BCB-. Diameter oosit merupakan salah satu faktor penentu dalam memperoleh
kompetensi perkembangan meiosis dan embrionik di berbagai spesies, termasuk sapi.
Smith dan Alciver (1993), menyatakan bahwa terdapat korelasi langsung antara
peningkatan dari diameter (volume) oosit dengan terjadinya peningkatan kandungan
mitokondrial DNA (mtDNA) pada sitoplasma oosit sapi. Berlimpahnya jumlah
mtDNA dan juga mitokondria pada sitoplasma oosit berperan sangat penting dalam
kejadian fertilisasi dan perkembangan embrionik. Selain itu, dua perubahan penting
20
yang terjadi pada bagian inti dan sitoplasma selama proses maturasi oosit diduga juga
sangat berpengaruh terhadap kejadian fertilisasi. Oosit yang berhasil mencapai
maturasi inti (MII), namun tidak diiringi dengan sempurnanya maturasi sitoplasmik
dapat menyebabkan kegagalan dalam fertilisasi (Kishida et al. 2004). Isizhaki et al.
(2009) mengatakan bahwa seleksi oosit dengan BCB sebelum maturasi dapat
digunakan sebagai penanda terhadap kemampuan maturasi inti dan sitoplasmiknya.
Oosit BCB+ dengan aktivitas G6PD yang rendah cenderung lebih dapat
menyelesaikan maturasi inti dan sitoplasmik dibandingkan oosit BCB-.
Spikings et al. (2007) dalam studinya menambahkan bahwa oosit BCBmengalami keterlambatan dalam onset ekspresi protein dibandingkan oosit BCB+.
Perbedaan signifikan dalam ekspresi inti yang mengkode replikasi protein antara
oosit BCB+ dan BCB- mengakibatkan terjadinya keterlambatan pada replikasi
mitokondrial DNA. Adanya keterlambatan pada replikasi mitokondrial DNA
berkorelasi dengan menurunnya kejadian fertilisasi dan perkembangan embrionik
pada oosit BCB-. Lebih lanjut Castaneda et al. (2013), menyatakan bahwa akumulasi
lipid yang rendah pada oosit BCB- berkaitan dengan sumber energi yang tersimpan
tidak mencukupi untuk proses awal perkembangannya, terutama kaitannya dengan
fertilisasi. Fertilisasi merupakan sebuah proses dengan konsumsi energi yang tinggi
sehingga cadangan lipid yang ada sangat memberikan keuntungan dalam terjadinya
proses ini. Selain itu, oosit BCB- dengan defisiensi sitoplasmik yang terjadi
menyebabkan kemampuan untuk berkembang setelah fertilisasi dan membentuk
pronukleus juga menjadi berkurang. Hal berbeda ditemukan pada kelompok oosit
BCB+ dengan tingkat fertilisasi yang lebih baik.
Hasil penelitian ini menunjukkan tingkat fertilisasi yang lebih tinggi secara
signifikan (P< 0.05) antara kelompok oosit BCB+ dibandingkan kelompok oosit
kontrol (30.5% vs 23.6%). Hal tersebut mengindikasikan bahwa seleksi oosit dengan
BCB lebih menjamin kompetensi perkembangan oosit selanjutnya jika dibandingkan
hanya dengan seleksi secara morfologi, meskipun pada tingkat kematangan inti
diperoleh hasil yang sama (P> 0,05) antara kelompok oosit BCB+ dan kontrol.
Kematangan sitoplasmik pada oosit BCB+ sangat diperlukan dan erat kaitannya pada
aktivitas oosit dalam proses fertilisasi serta perkembangan embrionik selanjutnya,
seperti yang dilaporkan oleh Alm et al. (2005), bahwa dengan tingkat kematangan
inti yang sama antara oosit BCB+ dan kontrol, namun dalam perkembangan
selanjutnya didapatkan persentase angka blastosis yang lebih baik secara signifikan
pada oosit BCB+ dibandingkan dengan oosit kontrol
21
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Dari hasil penelitian yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa seleksi
kompetensi oosit menggunakan pewarna BCB efektif untuk dapat menyeleksi oosit
dengan kemampuan maturasi dan fertilisasi yang lebih baik.
Saran
Diperlukan studi lebih lanjut dalam pembuktian kompetensi perkembangan
oosit sampai ke tahapan embrio dari oosit yang diseleksi menggunakan pewarna
BCB.
22
DAFTAR PUSTAKA
Alberio R, Zakhartchenko V, Motlik J, Wolf E. 2001. Mammalian oocyte
activation: lessons from the sperm and implication for nuclear transfer. Int J
Dev Biol 45:797-809
Alm H, Torner H, Lohrke B, Viequtz T, Ghoneim IM, Kanitz W. 2005. Bovine
blastocyst development rate in vitro is influenced by selection of oocytes by
brillant cresyl blue staining before IVM as an indicator for glucose 6
phosphate dehydrogenase activity. Theriogenology 63(8): 2194-2205
Bhojwani S, Alm H, Torner H, Kanitz W, Poehland R. 2007. Selection
developmentally competent oocytes through brilliant cresyl blue stain
enhances blastocyst development rate after bovine nuclear transfer.
Theriogenology 67: 341-345
Castaneda CA, Kaye P, Pantaleon M, Philips N, Norman S, Fry R, D’Occhio MJ.
2013. Lipid content, active mitochondria and brilliant cresyl blue staining in
bovine oocytes. Theriogenology 79: 417-422
Covarrubias L, Hernandez-Garcia Dm Schnabel D, Salas-Vidal E, CastroObregon S. 2008. Function of reactive oxygen species during animal
development: passive or active. Dev Biol 320: 1-11
Ducibella T. 2002. Egg to embryo transition is driven by differential responses to
Ca2+ oscillation number. Reprod Fertil Dev 8: 485-489
Ericsson SA, Boice ML, Funahashi H, Day BN. 1993. Assesment of porcine
oocytes using brilliant cresyl blue. Theriogenology 39: 214
Fair T, Hyttel P, Greve T. 1995. Bovine oocyte diameter in relation to
maturational competence and transcriptional activity. Mol Reprod Dev 42:
437-442
Fair T, Hulshof SC, Hyttel P, Greve T, Boland M. 1997. Oocytes ultrastructure in
bovine primordial to early tertiary follicles. Anat embryo 195(4): 327-336
Gordon I. 2003. Laboratory of Cattle Production: 2nd edition. London (GB): CABI
publishing.
Ginther OJ, Bergfelt DR, Kulick LJ, Kot K. 1999. Selection of the dominant
follicle in cattle: establishment of follicle deviation in less than 8h through
depression of FSH concentrations. Theriogenology 52: 1079-1093
Greer JP, Foerster J, Rodgers GM, Paraskevas F, Glader B, Arber DA, Means RT.
2009. Wintrobes’s Clinical Hematology: Volume 1. Philadelphia (USA):
Lippincot Williams & Wilkins
Gupta S, Malhotra N, Sharma D, Chandra A, Agarwal A. 2009. Oxidative stress
and its role in female infertility and assisted reproduction: Clinical
implication. Int J Fertil Steril 2(4): 147-164
Hafez B, Hafez ESE. 2000. Reproduction in Farm Animals: 7th edition. USA
(US): Lippincott Williams & Wilkins
Hyttel P, Fair T, Callesen H, Greve T. 1996. Oocyte growth capacitation and final
maturation in cattle. Theriogenology 47(1): 23-32
Isizhaki C, Watanabe H, Bhuiyan MMU, Fukui Y. 2009. Developmental
competence of oocytes selected by brilliant cresyl blue and matured
individually in a chemically defined culture medium. Theriogenology 72:
72-80
23
Jortzik E, Mailu BM, Preuss J, Fischer M, Bode L, Rahlfs S, Becker K. 2011.
Glucose 6 phospate dehydrogenase 6 phosphogluconalactonase: a unique
bifunctional enzyme from plasmodium falciparum. J Biochem (436): 641650
Jones KT. 2007. Intracellular calcium in the fertilization and development of
mammalian eggs. Proc Aust Phys Soc. 38:35-41
Karami-Shabankareh H, Mirshamsi SM. 2012. Selection developmentally
competent sheep oocytes using the brilliant cresyl blue test and the
relationship to follicle size and oocyte diameter. Small Rum Res 105: 244249
Katska-Ksiazkiewicz L, Opiela J, Rynska B. 2007. Effects of oocyte quality,
semen donor and embryo co-culture system on the efficiency of blastocyst
prodction in goats. Theriogenology 68: 736-744
Kishida R, Lee ES, Fukui Y. 2004. In vitro maturation of porcine oocytes using a
defined medium and developmental capacity after intracytoplasmic sperm
injection. Theriogenology 62: 1663-1676
Lehninger AL, Nelson DL, Cox MM. 1993. Principles of biochemistry: second
edition. New York (US): Worth Public Inc.
Lequarre SA. 2005. Influence of antral follicle size on oocyte characteristics and
embryo development in the bovine. Theriogenology 63: 841-859
Luberda Z. 2005. The role of glutathione in mammalian gametes. Biol Reprod
5(1): 5-17
Machaty Z, Prather RS. 1998. Strategies for activating nuclear transfer oocytes.
Reprod Fertil Dev 10: 599-613
Manjunatha BM, Gupta PS, Devaraj M, Ravindra JP, Nadi S. 2007. Selection of
developmentally competent buffalo oocytes by brilliant cresyl blue staining
before IVM. Theriogenology 68(9): 1299-1304
Marks DB, Marks AS, Smith CM. 1996. Biokimia Kedokteran Dasar: Sebuah
Pendekatan Klinis. EGC (US): Williams and Wilkins
Opiela J, Katska-Ksiazkiewizt L, Lipinski D, Slomski R, Bzowska M, Rynska B.
2008. Interaction among activity of glucose 6 phosphat dehydrogenase in
immature oocytes, expression of apoptosis related genes bcl-2 and bax and
developmental competence following ivp in cattle. Theriogenology 69(5):
546–555
Pereira GR, Lorenzo PL, Carneiro GF, Bilodeau-Goeseels S, Kastelic JP, EstellerVico A, Liu IKM. 2010. Selection of developmentally competent immature
equine oocytes by brilliant cresyl blue staining prior to maturation with
equine growth hormone in vitro. Anim Reprod Sci 121: 248-249
Pujol M, Lopez-Bejar M, Mertens MJ, Rodriguez Gonzales E, Velila E, Paramio
MT. 2000. Selection of immature oocytes using the brilliant cresyl blue test.
Theriogenology 53: 466
Pujol M, Lopez-Bejar M, Paramio MT. 2004. Developmental competence of
heifer oocytes selected using the brilliant cresyl blue test. Theriogenology
61: 735-744
Roca J, Martinez E, Vazquez JM, Lucas X. 1998. Selection of immature pig
oocytes for homologous in vitro penetration assays with the brilliant cresyl
blue test. Reprod Fertil Dev 10: 479-485
24
Rodriguez-Gonzalez E, Lopez-Bejar M, Velilla E, Paramio MT. 2002. Selection
of prepubertal goat oocytes using the brilliant cresyl blue test.
Theriogenology 57: 1397-1409
Rodriguez-Gonzalez E, Lopez-Bejar M, Izquierdo D, Paramio MT. 2003.
Developmental competence of prepubertal goat oocyte selected with
brilliant cresyl blue and matured with cyteamine supplementation. Reprod
Nutr Dev 43: 179-187
Salamone DF, Damiani P, Fissore RA, Robl JM, Duby RT. 2001. Biochemical
and developmental evidence that ooplasmic maturation of prepubertal
bovine oocytes is comprimised. Biol Reprod 64: 1761-1768
Senger PL. 2003. Pathways to Pregnancy and Parturition. 2nd edition.
Washington (US): Current Conceptions Inc.
Setiadi MA, Supriatna I. 2010. Seleksi kemampuan pematangan oosit domba
menggunakan teknik brilliant cresyl blue. J Vet 11(4): 251-256
Sierard, MA, Richard F, Blondin P, Robert C. 2006. Contribution of the oocytes
to embryo quality. Theriogenology 65: 126-136
Smith LC, Alciver AA. 1993. Cytoplasmic inheritance and its effects on
development and performance. J Reprod Fert 48: 31-43.
Spikings EC, Alderson J, S.t. John JC. 2007. Regulated mitochondrial DNA
replication during oocyte maturation is essential for successful porcine
embryonic development. Biol Reprod 76: 327-335
Steel RGD, Torrie JH. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika: Suatu Pendekatan
Biometrik. Jakarta (ID): PT. Gramedia Pustaka Utama
Suzuki K, Eriksson B, Shimizu H, Nagai T, Rodriguez-Martinez H. 2000. Effect
of hyaluronan on monospermic penetration of porcine oocytes fertilized in
vitro. Int J Androl 23: 13-21
Tabandeh MR, Golestani N, Kafi M, Hosseini A, Saeb M, Sarkoohi P. 2012. Gene
expression of adinopectin and adinopectin receptors in dominant and atretic
follicels and oocytes screened based on brilliant cresyl blue staining. Anim
Reprod Sci 131: 30-40
Tiffin GJ, Rieger D, Betteridge KJ, Yadav BR, King WA. 1991. Glucose and
glutamine metabolism in pre-attachment cattle embryos in relation to sex
and stage development. J Reprod Fertil 93: 125-132
Torner H, Ghanem N, Ambros C, Holker M, Tornek W, Phatsara C, Alm H,
Sirard MA, Kanitz W, Schellander K, Tesfaye D. 2008. Molecular and
subcellular characterisation of oocytes screened for their developmental
competence based on glucose-6-phospate dehydrogenase activity.
Reproduction 135: 197-212
Viana JHM, Ferreira ADM, Ferreira W, Camargo LSA. 2000. Follicular dynamics
in zebu cattle. Pesq Agropec Bras 35(12): 10-20
Watson AJ. 2007. Oocyte cytoplasmic maturation: a key mediator of oocyte and
embryo developmental competence. J Anim Sci 85: E1-E3
Wongsrikeao P, Otoi T, Yamasaki H, Agung B, Taniguchi, Naoi H, Shimizu R,
Nagai T. 2006. Effects of single and double exposure to brilliant cresyl blue
on the selection of porcine oocytes for in vitro production of embryos.
Theriogenology 66: 366-372
25
Wu YG, Liu Y, Zhou P, Lan GC, Han D, Miao DQ, Tan JH. 2007. Selection of
oocytes for in vitro maturation by brilliant cresyl blue staining: a study
using the mouse model. Cell Res 17(8): 722-731
LAMPIRAN
27
Lampiran 1 Penghitungan konsentrasi BCB 26 µM
Definisi 1 Molar (M) : 1 M BCB berisi 1 mol BCB (=385.96 g) per liter PBS.
Untuk membuat 26 µM BCB maka 26 x (385.96 x10-6 g)
per liter PBS.
1M
= massa molekul dalam g/L
1 mM = massa molekul dalam mg/L atau 10-3 M
1 µM = massa molekul dalam µg/L atau 10-6 M
Lampiran 2 Komposisi medium transportasi ovarium
Bahan
Sodium Chloride (Sigma-Aldrich, USA)
Milli Q water
Penicillin (100 IU/mL) dan streptomycin
Total
Jumlah
9.0 g
1000 mL
1000 µL
1000 mL
Larutan disterilisasi menggunakan auto clave pada suhu 121ºC selama 30
menit. Penambahan antibiotik penicillin-streptomycin dilakukan pada suhu
27-28ºC setelah sterilisasi.
28
Lampiran 3 Komposisi medium koleksi oosit (modified Phosphate Buffered
Saline, mPBS)
Bahan
Jumlah
PBS (Dulbecco’s Nissui, Japan)
90 mL
Fetal Bovine Serum (FBS) 10% (v/v)
10 mL
Penicillin (100 IU/mL) dan Streptomycin
100 µL
Total
100 mL
Stok PBS:
Untuk membuat stok PBS, maka 9.6 g PBS (Dulbecco’s Nissui, Japan)
dilarutkan dalam 1000 mL Milli-Q water dan setelahnya difiltrasi
menggunakan filter (Sartorius®) ukuran 0.22 µm.
Stok penicillin dan streptomycin:
Dosis penicillin G: 0.06 g/l ~ 100.000 IU/l
Dosis streptomycin sulfate: 0.1 g/l
Untuk membuat stok penicillin-streptomycin, maka 0.0006 g penicillin
(Sigma-Aldrich. Inc, P-4687) dan 0.001 g streptomycin (Sigma-Aldrich.
Inc, S-9137) dilarutkan dalam 10 mL PBS.
Lampiran 4 Komposisi medium maturasi in vitro
Bahan
Tissue Culture Medium/TCM-199
Fetal Bovine Serum (FBS) 10%
Pregnant Mare Serum Gonadotropin (PMSG)
Human Chorionic Gonadotropin (hCG)
Gentamycin (50 µg/mL)
Total


Jumlah
2700 µL
300 µL
30 µL
30 µL
3 µL
3 mL
Stok PMSG (Kyoritsu Seiyaku®, Japan)
Dosis: 10 IU/mL
Untuk membuat stok, maka 1000 IU PMSG dilarutkan dalam 1 mL TCM199 (1 IU/µL)
Stok hCG (Kyoritsu Seiyaku®, Japan)
Dosis: 10 IU/mL
Untuk membuat stok, maka 1500 IU hCG dilarutkan dalam 1.5 mL TCM199 (1 IU/µL)
29
Lampiran 5 Komposisi medium fertilisasi in vitro
Reagents
NaCl
KCl
NaHCO3
NaH2PO4 anhydrous
MgSO4 7H2O
Sodium Laktat
(60% sirup)
HEPES
CaCl2 2H2O
Sodium piruvat
Kafein anhydrous
BSA (fatty acid free)
mM
90
12
25
0.5
0.5
10
10
8
2
2
5
g/100mL
0.52596
0.08946
0.21003
0.006
0.01233
0.1121
0.19 mL
0.2383
0.1176
0.0220
0.03884
0.5
Larutan stok dapat dibuat terlebih dahulu secara terpisah (A: NaCl, KCl, NaH2PO4
anhydrous, MgSO4 7H2O, Sodium Laktat, HEPES, CaCl2 2H2O; B: NaHCO3).
Setelah larutan stok A dan B dicampurkan, baru kemudian bisa ditambahkan
dengan Sodium piruvat, kafein anhydrous, dan BSA (fatty acid free) pada saat
akan digunakan (Suzuki et al. 2000).
30
RIWAYAT HIDUP
Zultinur muttaqin lahir di Bogor pada tanggal 2 Juli 1987
dari pasangan bapak Prof Dr Nurheni Wijayanto dan ibu
Kiswati S.Hut. Penulis merupakan anak ke-2 dari 4
bersaudara, yaitu Hanifa Akrom S.T., Aisyah Iadha Nuraini
S.T, M.T., dan Muhammad Insan Rabbani. Pada Tahun
2005 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Bogor dan pada
tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian
Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa
baru (SPMB). Pergantian kurikulum di IPB menjadi kurikulum baru (MayorMinor) menyebabkan pemilihan jurusan baru dilakukan pada tahun kedua. Setelah
melewati tahapan tingkat persiapan bersama (TPB) pada tahun pertama, akhirnya
pada tahun kedua penulis diterima di Fakultas Kedokteran Hewan (FKH).
Gelar sarjana kedokteran hewan (S.KH) diperoleh penulis pada tahun
2009, diikuti dengan gelar dokter hewan pada tahun 2011 melalui program
pendidikan profesi dokter hewan (PPDH) IPB. Dalam rentang 2011 sampai 2012
penulis bekerja sebagai technical sales representative (TSR) wilayah Bandung,
Jawa Barat di PT. Indovetraco Makmur Abadi (IMA) yang merupakan perusahaan
obat hewan dari grup Charoen Pokphand. Setelah 1 tahun bekerja, penulis
memutuskan untuk resign dan melanjutkan studi pascasarjana pada program
Biologi Reproduksi (BRP) FKH-IPB dengan beasiswa dari Bakrie Graduate
Fellowship. Selama mengikuti program master, penulis menulis tesis dengan judul
“Kemampuan Maturasi dan Fertilisasi Oosit Sapi yang Diseleksi Menggunakan
Teknik Pewarnaan Brilliant Cresyl Blue secara in vitro” yang diterbitkan pada
Jurnal Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Bali. Karya
ilmiah tersebut merupakan bagian dari program master penulis yang diharapkan
dapat bermanfaat khususnya bagi diri penulis sendiri, para pencari ilmu dan bagi
masyarakat sekalian, sehingga karya ilmiah ini dapat menjadi amal jariyah yang
pahalanya tidak ada putusnya dan terus mengalir hingga hari kiamat. Aamiin Ya
Rabbal „Alamin.
Download