BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Tantangan era globalisasi serta kondisi perekonomian yang kondusif memberikan suatu peluang bagi para pelaku bisnis untuk terus berinovasi dan berkreasi dalam menjalankan usahanya. Hal ini dapat dilihat dengan adanya kenaikan UMP (Upah Minimun Provinsi), SBI yang turun menjadi 10.25%, naiknya pendapatan per kapita masyarakat, serta dukungan pemerintah dengan mengeluarkan beberapa kebijakan-kebijakan yang dianggap mampu menaikkan pertumbuhan ekonomi sebesar 6%, serta memelihara atau bahkan menurunkan tingkat inflasi dikisaran 6-7% (Marketing, Desember 2011). Dengan demikian daya beli masyarakat diharapkan akan meningkat untuk membeli barang-barang yang sifatnya Primer maupun Sekunder. Semakin meningkatnya daya beli masyarakat, maka permintaan masyarakat terhadap produk maupun jasa baik secara kualitas maupun kuantitasnya akan meningkat pula, hal ini mendorong para produsen bersaing untuk menawarkan berbagai macam produk maupun jasa kepada konsumen. Dalam rangka upaya pendistribusian produk atau jasa kepada konsumen, produsen memerlukan perantara yang dapat menyalurkan produk maupun jasa langsung kepada konsumen akhir, hal ini dimaksudkan agar produk maupun jasa dapat diterima lebih cepat oleh konsumen serta harga produk maupun jasa akan lebih murah jika dibandingkan dengan menggunakan lebih dari satu saluran distribusi. Usaha untuk mendistribusikan produk atau jasa, produsen dapat menyalurkan produk langsung kepada pelanggan akhir atau sering disebut pengecer. Dimana hal ini sesuai dengan definisi eceran dan pengecer menurut Kotler (2009 ; 215) : Eceran (retailing) meliputi semua kegiatan yang terlibat dalam penjualan barang atau jasa langsung kepada konsumen akhir untuk penggunaan pribadi atau non-bisnis. Pengecer (retailer) atau toko eceran (retailer store) adalah setiap usaha bisnis yang volume penjualannya terutama berasal dari eceran. Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 220 juta, ditambah dengan kunjungan wisatawan mancanegara sekitar 5 juta per tahun, (www.mediacorpradio.com, tanggal 15 April 2011) merupakan pangsa pasar yang besar bagi perusahaan ritel nasional maupun asing, walaupun tidak menjamin keberhasilan usaha ritel jika dihubungkan dengan banyaknya jumlah penduduk. Akan tetapi, pengaruh globalisasi sudah mempengaruhi perilaku masyarakat Indonesia, hal ini dapat terlihat dengan pusat perbelanjaan baru yang hampir dipastikan akan selalu ramai dibanjiri masyarakat yang ingin berbelanja kebutuhannya atau hanya sekedar penasaran dan hanya ingin melihat-lihat saja (Window Shopping). Perkembangan perusahaan ritel bukan hanya pada jenis perusahaannya saja, tetapi ukurannya juga ikut berkembang. Sekarang ini pasar ritel lebih di dominasi oleh perusahaan ritel modern. Ada empat jenis perusahaan ritel modern diantaranya: Hypermarket, Supermarket, Minimarket dan Werehouse Club. Perbedaan yang digambarkan oleh keempat perusahaan ritel modern tersebut adalah Hypermarket dan Supermarket melayani middle-up konsumen, Minimarket melayani middle-low konsumen sedangkan Werehouse Club melayani bukan konsumen sebagai pengguna produk atau jasa akhir (Marketing, Desember 2011). Tabel 1.1 Jumlah Gerai Ritel Modern di Indonesia KATEGORI HYPERMARKET Alfa Gudang Rabat Carrefour Hypermart Giant Clubstore SUPERMARKET Hero Ramayana Superindo Yogya Group Yogya+Griya) Matahari Borma Gelael 2010 2011 35 15 4 10 4 34 19 16 12 2 88 85 44 43 45 20 13 83 82 46 46 42 21 13 KATEGORI MINIMARKET Indomaret Alfamart Star Mart Yomart WEREHOUSE CLUB Makro Indogrosir Goro 2010 2011 1001 973 44 25 1420 1263 52 66 15 6 1 17 6 1 Sumber: Marketing (Desember, 2011) dari Ac Nielsen Pertumbuhan pasar ritel modern untuk penjualan Consumer Goods diperkirakan akan tumbuh minimal 15 % per tahun, pertumbuhan ritel modern diperkirakan tumbuh lebih 20% per tahun, sedangkan pertumbuhan Channel: Hypermarket dan Minimarket diperkirakan tumbuh 25% sedangkan Supermarket tumbuh single digit (Marketing, Desember 2011 dari Ac Nielsen). Menurut data Kementerian Perdagangan (2012), sepanjang tahun 2011 pertumbuhan toko ritel modern di Indonesia mencapai 31,4%, sedangkan pertumbuhan pasar tradisional atau rakyat malah -8,1%. Salah satu dari ritel modern yang berformat Minimarket tersebut adalah Alfamart. Agar berhasil dalam memenangkan persaingan, perusahaan ritel Alfamart harus dapat mempertahankan konsumennya untuk menjadi pelanggan yang tetap, dengan kata lain perusahaan harus dapat meningkatkan kepuasan konsumen agar konsumen tersebut menjadi pelanggan loyal berbelanja di perusahaan tersebut. Oleh karena itu, penting bagi Alfamart untuk mengenal dan mengetahui konsumennya. Strategi yang diterapkan harus tepat sasaran, agar Alfamart dapat hidup ditengah persaingan yang ketat. Dalam rangka membentuk kepuasan konsumen Alfamart harus mengelola lebih baik lagi retailing mix-nya agar Alfamart dapat memenuhi tuntutan konsumen yang mudah berubah sebagai akibat banyaknya kegiatan-kegiatan promosi yang dilakukan oleh para pesaingnya. Untuk itu Alfamart dalam melaksanakan retailing mix, perlu mempertimbangkan faktor tersebut agar dapat mencapai pasar sasaran dan memuaskan konsumen, sehingga terbentuklah kepuasan konsumen. Berhasil atau tidaknya Alfamart memenuhi kepuasan konsumennya akan sangat bergantung pada retailing mix yang dilakukan oleh Alfamart itu sendiri. Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis bermaksud melakukan suatu penelitian pada Alfamart sebagai pokok bahasan skripsi dengan judul; “Pengaruh kinerja bauran penjualan eceran (retailing mix) terhadap Kepuasan Konsumen pada Alfamart Soreang.” 1.2. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian diatas, maka penulis mencoba mengidentifikasi masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana kinerja bauran penjualan eceran (retailing mix) yang dilakukan oleh Alfamart ? 2. Bagaimana tanggapan konsumen terhadap kepuasan pada kinerja bauran penjualan eceran (retailing mix) yang dilakukan oleh Alfamart ? 3. Seberapa besar pengaruh kinerja bauran penjualan eceran (retailing mix) terhadap kepuasan konsumen di Alfamart ? 1.3. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui bagaimana kinerja bauran penjualan eceran (retailing mix) yang dilakukan oleh Alfamart ? 2. Untuk mengetahui bagaimana tanggapan konsumen terhadap kepuasan pada kinerja bauran penjualan eceran (retailing mix) yang dilakukan oleh Alfamart ? 3. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh kinerja bauran penjualan eceran (retailing mix) terhadap kepuasan konsumen di Alfamart ? 1.4 Kegunaan Penelitian Melalui penelitian ini, penulis berharap dapat memberikan hasil yang bermanfaat, sejalan dengan tujuan penelitian, yakni: 1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan kajian lebih lajut dalam penelitian tentang manajemen pemasaran, khususnya yang berkaitan dengan retailing mix yang berorientasi pada kepuasan konsumen. 2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan berguna baik secara langsung maupun tidak langsung bagi : a. Bagi Alfamart cabang Soreang, sebagai salah satu bahan referensi, sumbangan pemikiran dan bahan pertimbangan di masa yang akan datang dalam meningkatkan retailing mix dan kepuasan konsumen. b. Bagi penulis, diharapkan dapat meningkatkan wawasan dan pengetahuan tentang hubungan retailing mix dengan kepuasan konsumen dan membandingkan teori yang dipelajari dengan fakta yang ada di lapangan. c. Bagi pihak lain yang berkepentingan, sebagai sumbangan pikiran dan informasi terutama bagi rekan-rekan mahasiswa yang akan mengadakan penelitian lebih lanjut mengenai retailing mix dan kepuasan konsumen. 1.5 Kerangka Pemikiran Minimarket merupakan salah satu jenis ritel modern yang skala operasinya relatif kecil, berbiaya rendah, margin rendah, serta volume penjualan relatif tinggi. Peritel Minimarket harus mampu menetapkan dan melaksanakan strategi retailing mix secara tepat sehingga dapat membangun kepercayaan pelanggan dan dapat mencapai tujuan perusahaan secara umum. Retailing mix adalah kombinasi dari variabel-variabel pemasaran yang dapat dikendalikan dan digunakan oleh peritel untuk dapat mencapai tingkat penjualan yang diinginkan dalam pasar sasarannya. Berikut ini definisi retailing mix menurut Berman dan Evans (2012;145): A retailer may be classified by its strategy mix. This mix is a firm’s particulary combination of these factors: store location, operating procedures, goods/services offered, pricing tactics, store atmosphere and customer services, and promotional methods. Sedangkan menurut Kotler (2009; 24) retailing mix merupakan kombinasi dari Place, Product, Value, People, dan Communication untuk menjual barang atau jasa pada konsumen akhir. Kombinasi ini memproyeksikan citra toko yang mempengaruhi persepsi para konsumen. Dengan diterapkannya strategi retailing mix yang tepat, peritel dapat memberikan kesan baik di benak konsumen, baik mengenai produk yang ditawarkan maupun citra ritel itu sendiri. Kinerja, fasilitas, lokasi serta personel ritel yang baik dapat menimbulkan kepercayaan konsumen yang dapat membentuk sikap yang positif terhadap apa yang ditawarkan oleh peritel. Dengan demikian nilai yang diterima konsumen tentang produk dan jasa yang ditawarkan peritel dapat melebihi dari apa yang diharapkan konsumen ataupun nilai yang diterima sama dengan yang diharapkan konsumen. Apabila nilai yang diterima oleh konsumen di bawah harapannya, maka konsumen cenderung tidak puas atas penyediaan fasilitas pelayanan, produk, dan lain-lain. Oleh karena itu peritel modern harus mempunyai keunggulan dalam bersaing, sehingga dapat meningkatkan pangsa pasar serta dapat meningkatkan kepuasan pelanggan. Peritel modern dalam menentukan strategi pemasarannya perlu mengetahui bagaimana perilaku konsumen yang menjadi target market-nya. Siapa konsumennya, bagaimana perilaku mereka saat berbelanja, kapan mereka akan berbelanja, dimana saja mereka akan berbelanja, mengapa mereka berbelanja. Dengan mengetahui perilaku konsumen yang menjadi target market-nya, peritel dapat menyusun strategi yang tepat agar dapat memenangkan persaingan, kepuasan konsumen menjadi harga mati bagi peritel, apabila mereka ingin survive di tengah persaingan yang ketat di dunia pasar ritel modern. Dalam upaya memperbaiki dan meningkatkan kinerja perusahaan secara keseluruhan, maka perusahaan harus mendapatkan informasi-informasi dari konsumen yang berupa umpan balik (Feed Back) berbentuk kepuasan atau ketidakpuasan yang dirasakan oleh konsumen. Konsumen yang merasa puas juga akan menyebarkan informasi yang baik tentang perusahaan, sehingga dapat menarik konsumen yang baru. Gambar 1.1 Konsep Pemasaran Titik Awal Fokus Cara Akhir Pasar Kebutuhan Pelanggan Pemasaran Terpadu Laba Lewat Kepuasan Konsumen Sumber: Philip Kotler dan Gary Amstrong (2009;22) Pada dasarnya tujuan dari konsep pemasaran modern adalah untuk menciptakan para pelanggan yang merasa puas, terciptanya kepuasan pelangan dapat memberikan beberapa manfaat, di antaranya hubungan antara perusahaan dan pelanggan menjadi harmonis, memberikan dasar yang baik bagi pembelian ulang dan terciptanya loyalitas pelanggan, dan membentuk suatu rekomendasi dari mulut ke mulut (Word-Of-Mouth) yang menguntungkan bagi perusahaan. Menurut Yi (1998;81) yang dikutip oleh Zulganef dalam Disertasi yang berjudul Hubungan Atribut Jasa, Kepuasan Menyeluruh, dan Niat untuk Loyal pada Pelanggan Jasa yang Mempunyai Keterhubungan (2004;29) mengemukakan mengenai proses terbentuknya kepuasan konsumen yang diawali oleh proses evaluasi konsumen terhadap atribut produk. Proses evaluasi konsumen terhadap atribut produk dilakukan berdasarkan harapan, diskonfirmasi, atau sikap awal, kemudian proses evaluasi tersebut menimbulkan kepuasan atau ketidakpuasan konsumen, dan kepuasan atau ketidakpuasan konsumen pada akhirnya dapat menimbulkan keluhan, atau sikap akhir. Secara umum memperlihatkan bahwa atribut-atribut produk dapat diukur berdasarkan harapan, diskonfirmasi, atau sikap. Perbedaan pengukuran berdasarkan harapan dan berdasarkan diskonfirmasi subjektif dapat dijelaskan melalui konsep inferred disconfirmation dan perceived disconfirmation. Kemudian Yi (1990;93) yang dikutip oleh Zulganef (2004;30) membagi diskonfirmasi menjadi dua jenis, yaitu diskonfirmasi terineferensi (inferred disconfirmation) dan diskonfirmasi yang dipersepsi (perceived disconfirmation). Inferred disconfirmation adalah diskonfirmasi yang dihasilkan dari selisih persepsi sebelum melakukan pembelian (harapan terhadap kinerja produk) dengan persepsi setelah melakukan pembelian (kinerja produk aktual). Perceived disconfirmation adalah evaluasi subjektif mengenai perbedaan antara kinerja produk dengan harapan pada saat itu juga (ketika pengukuran), tidak membandingkan harapan sebelum pembelian dengan kinerja aktual seperti yang dilakukan pada inferred disconfirmation. Dari ungkapan di atas mengisyaratkan bahwa yang akan unggul dalam persaingan adalah mereka yang secara tepat mampu menterjemahkan kebutuhan dan keinginan konsumen, untuk selanjutnya semaksimal mungkin memenuhi serta memuaskannya. Dengan menumbuhkan serta memelihara kepuasan konsumen dengan menggunakan variabel-variabel Retailing Mix sebagai strategi pemasaran yang dilakukan oleh peritel modern, akan mempermudah mereka dalam menjalankan program pemasaran dalam aktivitas dan interaksi diantara perusahaan dengan konsumennya sehingga tercipta hubungan yang positif dan saling menguntungkan. Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, penulis mengemukakan hipotesis sebagai berikut: “ Pengaruh kinerja Retailing Mix Mempunyai Pengaruh Positif Terhadap Kepuasan Konsumen” 1.6 Metode Penelitian Dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian deskriptif, yaitu suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu sistem pemikiran atau suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif adalah memberikan gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki (Nazir, 2011;7). Sesuai dengan metode penelitian yang digunakan, maka teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut : 1. Studi Lapangan (Reseacrh Field). Adalah pengujian yang dilakukan secara langsung untuk mendapatkan caracara primer dari objek maupun subjek yang diteliti, yaitu konsumen Alfamart sebagai responden. Responden yang dipilih dan dianggap telah dapat mewakili konsumen untuk memberikan cara-cara yang diperlukan dalam proses penelitian. Kegiatan ini meliputi : a. Wawancara. Suatu teknik pengumpulan data dengan melakukan komunikasi langsung dengan pihak-pihak yang dianggap dapat memberikan informasi sesuai dengan masalah yang sedang diuji. Melakukan tanya jawab secara langsung untuk memperoleh keterangan lisan dari Alfamart yang berhubungan dengan penelitian dari hasil wawancara dapat diperoleh data mengenai gambaran pelaksanaan Retailing Mix dalam rangka mencapai kepuasan konsumen. b. Kuesioner Teknik pengumpulan data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner, yakni teknik pengumpulan data dengan memberi pertanyaan yang sudah disiapkan lebih dahulu kepada konsumen. 2. Penelitian Kepustakaan (Library Research). Penelitian yang dilakukan dalam memperoleh definisi dan pendapat-pendapat yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Dilakukan dengan membaca literatur-literatur, buku, artikel dan sumber lainnya, sehingga diperoleh caracara sekunder yang relevan bagi penelitian. 1.7 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian untuk menulis skripsi ini dilakukan di Alfamart yang berlokasi di Soreang. Adapun waktu penelitian dilakukan mulai bulan September 2012 sampai dengan selesai.