BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum mengenai Perkawinan 1. Perkawinan dalam Fiqh a. Pengertian Perkawinan dalam Fiqh Istilah perkawinan, dari sudut ilmu bahasa, perkataan perkawinan berasal dari kata “kawin” yang merupakan terjemahan dari bahasa arab “nikah”. Di samping kata nikah dalam bahasa arab lazim juga dipergunakan kata “ziwâj” untuk maksud yang sama. Perkataan nikah mengandung 2 pengertian yaitu dalam arti yang sebenarnya (haqiqat) dan arti kiasan (majaaz). Dalam pengertian yang sebenarnya kata “nikah” itu berarti “berkumpul”, sedangkan dalam arti kiasan berarti “akad” atau “mengadakan perjanjian perkawinan”. Perkawinan dalam literatur fiqh berbahasa Arab disebut dengan dua kata, yaitu nakâha ( ) dan zawâja ( ). Kata nakâha ( 13 ) banyak terdapat dalam 14 al-Qur‟an dengan arti kawin1, seperti dalam surat an-Nisa‟ ayat 3: Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.2 Demikian pula banyak terdapat kata zawâja ( ) dalam al-Qur‟an dalam arti kawin, seperti pada surat al-Ahzab ayat 37: Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu Menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.3 1 QS. An-Nisaa‟ (4): 37. QS. An-Nisaa‟ (4): 3. 3 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia; Antara Fiqh Munakahat dan UndangUndang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2009), 35-36. 2 15 Dalam arti terminologis dalam kitab-kitab terdapat beberapa rumusan yang saling melengkapi. Perbedaan perumusan tersebut disebabkan oleh berbeda dalam titik pendangan. Dalam ulama Syafi‟iyah rumusan yang biasa dipakai adalah: “Akad atau perjanjian yang mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin dengan menggunakan lafadz na-ka-ha atau za-wa-ja.” Hal yang telah disebutkan diatas melihat kepada hakikat dari akad itu bila dihubungkan dengan kehidupan suami istri yang berlaku sesudahnya, yaitu boleh bergaul sedangkan sebelum akad tersebut berlangsung diantara keduanya tidak boleh bergaul. Dikemukakan oleh ulama Hanafiyah, yaitu: “Akad yang ditentukan untuk memberi hak kepada seorang laki-laki menikmati kesenangan dengan seorang perempuan secara sengaja.” Disebutkan kata sebagai mengandung arti yang sama dengan ungkapan pasal (differentium) pertama dalam definisi golongan Syafi‟iyah tersebut di atas, karena sebelum berlangsungnya akad nikah seorang laki-laki tidak dapat menikmati kesenangan dengan seorang perempuan. Sedangkan menurut istilah syara‟, Abu Yahya Zakaria al-Anshary mendefinisikan bahwa nikah menurut istilah syara‟ ialah akad yang mengandung 16 ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafadz nikah atau dengan kata-kata yang semakna dengannya.4 Dalam hal pengertian pernikahan ini, Muhammad Abu Ishrah memberikan definisi yang lebih luas, yaitu akad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami istri) antara pria dan wanita dan mengadakan tolong menolong dan memberi batas hak bagi pemiliknya serta pemenuhan kewajiban bagi masing-masing. Ulama kontemporer memperluas jangkauan definisi yang disebutkan ulama terdahulu. Diantaranya sebagaimana yang Dr. Ahmad Ghandur sebutkan, “Akad yang menimbulkan kebolehan bergaul antara laki-laki dan perempuan dalam tuntutan naluri kemanusiaan dalam kehidupan, dan menjadikan untuk kedua pihak secara timbale balik hak-hak dan kewajiban-kewajiban.5 Sedangkan, pengertian perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsasqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Dan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.6 Walaupun ada sedikit perbedaan pendapat tentang perumusan pengertian perkawinan, tetapi dari semua rumusan yang dikemukakan ada satu unsur yang 4 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Jakarta: Kencana, 2006), 09 Amir Syarifuddin, Hukum,37-39. 6 Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Jakarta: PT Bumi aksara, 2000), 2-4. 5 17 merupakan kesamaan dari seluruh pendapat, yaitu bahwa nikah itu merupakan suatu perjanjian perikatan antara seorang laki-laki dan seorang wanita. Perjanjian disini bukan sembarang perjanjian seperti perjanjian jual beli atau sewa menyewa, tetapi perjanjian dalam nikah adalah merupakan perjanjian suci untuk membentuk keluarga antara seorang laki-laki dan seorang wanita. Suci di sini di lihat dari segi keagamaan dari suatu perkawinan. Dalam pembagian lapangan-lapangan Hukum Islam perkawinan adalah termasuk dalam lapangan “Mu‟amalat” yaitu lapangan yang mengatur hubungan antara manusia dalam kehidupannya di dunia ini. Hubungan antar manusia ini dalam garis besarnya dapat dibagi dalam 3 bagian, yaitu: a. Hubungan ke rumah tanggaan dan kekeluargaan. b. Hubungan antar perseorangan di luar hubungan kekeluargaan dan rumah tangga. c. Hubungan antar bangsa dan kewarganegaraan. Menurut pembagian di atas, maka perkawinan termasuk dalam nomor (a), yaitu hubungan ke rumah tanggaan dan kekeluargaan.7 b. Dasar Hukum Perkawinan dalam Fiqh Hukum asal dari perkawinan itu adalah mubah atau boleh. Namun dengan melihat kepada sifatnya sebagai sunnah Allah dan Rasul, tentu tidak tidak mungkin dikatakan bahwa hukum asal perkawinan itu hanya mubah. Dapat dikatakan bahwa melangsungkan akad perkawinan dianjurkan agama dan dengan 7 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan (Yogyakarta: Liberty, 2004), 8-9 18 telah berlangsungnya akad perkawinan tersebut, maka pergaulan laki-laki dengan perempuan menjadi mubah. Anjuran tersebut diantaraya terdapat dalam al-Qur;an surat an-Nur ayat 32: Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.8 Selain dalam al-Qur‟an juga terdapat dalam hadits Nabi dari Anas bin Malik menurut riwayat Ahmad dan disahkan oleh Ibn Hibban, sabda Nabi yang bunyinya: “Telah bercerita kepadaku Ahmad Ibnu Ibrahim, telah bercerita kepadaku Yazid Ibnu Harun, telah memberi kabar kepada kita Mustalim Ibnu Sa‟id Ibnu Ukhti Manshur Ibnu Zadzana dari Manshur Ya‟ni Ibnu Zadzana dari Mu‟awiyah Ibnu Qurah dari Ma‟qil Ibnu Yasar berkata telah datang seorang laki-laki pada Nabi SAW dan berkata “ Sesungguhnya saya telah meminang seorang perempuan yang mempunyai kemulyaan dan kecantikan tetapi dia tidak bisa memiliki anak (mandul), apakah saya boleh menikahinya?”, nabi menjawab,”tidak” lalu dia mengatakan kedua kalinya, nabi berkata,”Tidak”, kemudian dia berkata ketiga kalinya, Nabi menjawab,”Kawinlah perempuan-perempuan pecinta lagi bisa beranak banyak, karena sesungguhnya aku akan berbangga karena banyak kaum”. 8 9 QS. An-Nur (24): 32 Daud, Sunan II, 180 19 Ulama Syafi‟iyah secara rinci menyatakan hukum perkawinan itu dengan melihat keadaan orang-orang tertentu, sebagai berikut: 1) Sunnah bagi orang-orang yang telah berkeinginnan untuk kawin, telah pantas untuk kawin dan dia telah mempunyai perlengkapan untuk melangsungkan perkawinan. 2) Makruh bagi orang-orang yang belum pantas untuk kawin, belum berkeinginan untuk kawin, sedangkan perbekalan untuk perkawinan juga belum ada. Begitu pula ia telah mempunyai perlengkapan untuk perkawinan, namun fisiknya mengalami cacat, seperti impoten, berpenyakitan tetap, tua Bangka, dan kekurangan fisik lainnya. Ulama Hanafiyah menambahkan hukum secara khusus bagi keadaan dan orang tertentu sebagai berikut: 1) Wajib bagi orang-orang yang telah pantas untuk kawin, berkeinginan untuk kawin dan memiliki perlengkapan unntuk kawin, takut akan terjerumus berbuat zina kalau ia tidak kawin. 2) Makruh bagi orang pada dasarnya mampu melakukan perkawinan namun ia merasa akan berbuat curang dalam perkawinannya tersebut. Ulama lain menambahkan hukum perkawinan secara khusus untuk keadaan dan orang tertentu sebagai berikut: 1) Haram bagi orang-orang yang tidak akan dapat memenuhi ketentuan syara‟ untuk melakukan perkawinan atau ia yakin perkawinan itu tidak akan mencapai tujuan syara‟, sedangkan dai meyakini perkawinan itu akan merusak kehidupan pasangannya. 20 2) Mubah bagi orang-orang yang pada dasarnya belum ada dorongan untuk kawin dan perkawinan itu tidak akan mendatangkan kemudaratan apaapa kepada siapa pun.10 c. Rukun dan Syarat Perkawinan dalam Fiqh Jumhur ulama‟ sepakat bahwa rukun perkawinan itu terdiri atas:11 1) Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan perkawinan. 2) Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita 3) Adanya dua orang saksi 4) Shigat akad nikah, yaitu ijab qabul yang diucapkan oleh wali atau wakilnya dari pihak wanita, dan dijawab oleh calon pengantin lakilaki. Mahar yang harus ada dalam perkawinan tidak termasuk ke dalam rukun, karena mahar tersebut tidak mesti disebut dalam akad perkawinan dan tidak mesti diserahkan pada waktu akad itu berlangsung. Dengan demikian, mahar itu termasuk ke dalam syarat perkawinan.12 Adapun syarat-syarat perkawinan adalah sebagai berikut: a. Syarat-syarat suami: 1. Bukan mahram dari calon istri; 2. Tidak terpaksa atas kemauan sendiri; 3. Orangnya tertentu, jelas orangnya; 4. Tidak sedang ihram. 10 Amir Syarifuddin, Hukum, 43-46. Slamet, Munakahat II, 64 12 Amir Syarifuddin, Hukum, 61. 11 21 b. Syarat-syarat istri: 1. Tidak ada halangan syara‟, yaitu tidak bersuami, bukan mahram, tidak sedang dalam iddah; 2. Merdeka, atas kemauan sendiri; 3. Jelas orangnya; dan 4. Tidak sedang berihram. c. Syarat-syarat wali: 1. Laki-laki; 2. Baligh; 3. Waras akalnya; 4. Tidak dipaksa; 5. Adil; dan 6. Tidak sedang ihram. 13 d. Syarat-syarat saksi: 1. Laki-laki; 2. Baligh; 3. Waras akalnya; 4. Adil; 5. Dapat mendengar dan melihat; 6. Bebas, tidak dipaksa; 7. Tidak sedang mengerjakan ihram; dan 8. Memahami bahasa yang dipergunakan untuk ijab qabul.14 13 H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqh Munakahat: Kajian Fiqh Lengkap (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), 12 22 2. Perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 a. Pengertian Perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Di dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 seperti yang termuat dalam pasal 1 ayat 2 perkawinan didefinisikan sebagai: “Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suamiistri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga dan bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.15 Karena itu perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi unsur batin/rohani juga mempunyai peranan yang penting. b. Prinsip-Prinsip Perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Menurut M. Yahya Harahap asas-asas yang dipandang cukup prinsip dalam UU perkawinan adalah: 1) Undang-undang perkawinan menampung segala unsur-unsur ketentuan hukum agama dan kepercayaan masing-masing. 2) Sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman, emansipasi wanita, di samping perkembangan sosial ekonomi, IPTEK yang telah membawa implikasi mobilitas sosial di segala lapangan hidup dan pemikiran. 14 Tihami, Munakah, 13-14. Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia; Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dan Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2006), 42-43. 15 23 3) Tujuan perkainan adalah membentuk keluarga bahagia dan kekal. 4) Perkawinan harus dilakukan berdasarkan hukum agama dan kepercayaan masing-masing. 5) Undang-undang perkawinan menganut asas monogamy akan tetapi tetap terbuka peluang untuk melakukan poligami selama hukum agamanya mengizinkannya. 6) Perkawinan dan pembentukan keluarga dilakukan oleh pribadi-pribadi yang telah matang jiwa dan raganya. 7) Kedudukan suami istri dalam kehidupan keluarga adalah seimbang, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat.16 c. Syarat Perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat (1) ditegaskan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu. Dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Bab II Pasal 6 terdapat syarat-syarat perkawinan sebagai berikut: 1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. 2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum umur 21 tahun harus mendapatkan izin kedua orang tua atau wali. 3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin 16 Tarigan, Hukum, 50-52. 24 dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. 4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya. 5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang lebih di antara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggalorang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah terlebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini. 6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.17 Pasal 7 a. Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umr 16 (enam belas) tahun; 17 Tarigan, Hukum, 66-68. 25 b. Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita; c. Ketentuan-ketentuan ini mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6); Pasal 8 Perkawinan dilarang antara dua orang yang: a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas; b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antar seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya; c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri; d. Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan, dan bibi/paman susuan; e. Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenekan dari isteri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang; f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin; B. Tinjauan Umum Mengenai Putusnya Perkawinan 1. Putusnya Perkawinan Dalam Fiqih 26 a. Putusnya Perkawinan Karena Talak Talak berasal dari kata Ath-Thalāq yang mempunyai arti melepaskan dan meninggalkan suatu ikatan, yaitu suatu perceraian antara suami dan isteri atas kehendak suami. Talak dalam Islam merupakan jalan keluar (solusi) yang akan ditempuh suami isteri dalam mengakhiri berbagai kemelut persoalan rumah tangga.18 Talak menurut Muhammad Rawwas Qal‟ahji adalah: “Talak adalah melepaskan ikatan nikah”.19 Talak menurut Syeikh Sayyid Sabiq adalah “Melepaskan ikatan perkawinan dan mengakhiri hubungan suami isteri”.20 Sedangkan menurut Soemiyati, talak dalam istilah fiqh mempunyai 2 (dua) arti, yaitu arti yang umum dan arti yang khusus. Talak menurut arti yang umum adalah segala macam bentuk perceraian, baik yang dijatuhkan oleh suami, putusan Hakim maupun yang jatuh dengan sendirinya atau meninggalnya salah satu dari suami isteri. Sedangkan menurut arti khusus adalah talak yang dijatuhkan oleh suami kepada isterinya. 21 18 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam , h. Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta : Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1996)1776 19 Muhammad Rawwas Qal‟ahji, Ensiklopedi Fiqih Umar bin Khathab r.a., (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), 598 20 Muhammad, Ensiklopedi, 598 21 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, (Yokyakarta: Liberty, 1997), 104. 27 Di dalam buku Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan bahwa talak adalah ikrar suami di hadapan siding pengadilan agama yang menjadi salah satu sebab putusan perkawinan.22 Dari beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa talak adalah melepaskan tali perkawinan yang dijatuhkan suami kepada istrinyadengan menggunakan lafal talak dan semisalnya sehingga istri tidak halal lagi baginya setelah ditalak. Adapun dasar hukum talak adalah Firman Allah SWT, dalam surat alBaqarah ayat 229-230 sebagai berikut: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.”23 “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain.”24 Hadits Rasulullah SAW antara lain: )عن ابن عمر رضى هللا عنهما انه لما طلق امرأته قال النبىو صز مز لعمر مرة فليراجعا (متفق عليه “Dari Umar ra, sesungguhnya tatkala beliau mentalak istrinya, lalu Nabi SAW berkata kepada Umar ra: Suruhlah dia agar dia kembali kepada istrinya.” (Muttafaq Alaih)25 22 Depag RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1999/2000), 57. 23 QS. Al-Baarah (2): 229. 24 QS. Al-Baarah (2): 230 28 26 “Telah bercerita banyak kepadaku Ibnu Ubaid, telah bercerita kepadaku Muhammad Bin Khalid dari Mu‟araf Ibnu Washil dari Muharib Ibnu ditsar dari Ibnu Umar dari Nabi SAW telah bersabda sesungguhnya yang halal yang amat dibenci Allah Ta‟alah adalah thalak”. Perkawinan pada hakikatnya merupakan anugerah tuhan yang patut kita syukuri, dan dengan bercerai berarti tidak menyusukuri dan dengan bercerai berarti tidak mensukuri anugrah tersebut.27 Namun talak sendiri termasuk perkara yang halal, tapi sangat dibenci oleh Allah. Talak bisa jatuh, jika suami yang mengucapkan kata talak kepada isrinya. Mengapa yang berhak untuk menjatuhkan talak itu suami / laki-laki karena dasarkan firman Allah SWT : “Hai Nabi, apabila kami menceriakan istri-istrimu, maka ceraikanlah mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar).” 28 Dari firman Allah diatas, jelaslah bahwa laki-laki / suami yang berhak untuk menjatuhkan talak kepada istri, karena rupanya laki-laklah yang sebenarnya lebih menginginkan langgengnya rumah tangga jika dibandingkan dengan wanita pada saat terjadinya kemelut keluarga. 25 As-Shan‟ani, Subul al-Salam III, diterjemahkan Abu Bakar Muhammad (Surabaya: Al-Ikias, 1995) 657. 26 Abi Daud Sulaiman, Sunan Abi Daud Juz II, (Riyadh: Darussalam, 1999), 225 27 Drs, Toto Abrurrrahman, Fiqih (Jakarta: Direktorat Depag, 2002), 69 28 QS. Ath-thalaaq (65): 1 29 Pada dasarnya terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hukum asal talak, sebagian mengatakan bahwa hukum asal talakadalah dilarang (haram), sehingga ditemukan (ada) kebutuhan kepadanya ataudengan kata lain hukum talak adalah boleh, apabila ada alasan-alasan yang dapat dibenarkan. Hal ini berdasarkan pada ayat al-Quran, hadits, dan ijma‟. Adapun hukum talak menurut Jumhur Ulama‟ adalah: a. Talak yang diharamkan yaitu talak yang tidak diperlukan, talak ini dihukumi haram kaerna akan merugikan suami dan istri dan tidak ada manfaatnya.29 b. Talak menjadi sunnah hukumnya apabila istri mengabaikan kewajibannya terhadap Allah, misalnya meninggalkan sholat fardhu atau semacamnya, sedangkan suami sudah sering memperingatkan. c. Talak yang menjadi wajib hukumnya jika terjadi perselisihan ataupun percekcokn antara suami dan istri yang sudah sangat berat, dan pihak hakim menilai bahwa jalan terbaik untuk menghentikan perselisihan adalah dengan cara talak.30 Talak itu mempunyai persyaratan dan talak itu sendiri adalah jalan terakhir untuk berpisah dalam kehidupan bersuami istri, apabila sudah tidak ada lagi harapan untuk rukun. Dahulu melakukan perceraian itu dibutuhkan 3 syarat yaitu a. Yang berkaitan dengan pihak pentalak (suami) b. Yang berkaitan dengan pihak di talak (istri) 29 30 Alhamdani, Risalah nikah (Bandung: Pustaka Amani, 1989), 176 Toto, Fiqih, 69 30 c. Sighat talak31 Bagi suami yang hendak mentalak istrinya ia harus orang yang berakal, baliqh dan bukan karena dipaksa oleh pihak lain Sedangkan talak ditinjau dari segi boleh tidaknya suami rujuk, dibagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu : 1) Talak raj‟i, yaitu talak di mana suami masih memiliki hak untuk kembali kepada isterinya (rujuk) sepanjang isterinya tersebut masih dalam masa iddah, baik isteri tersebut bersedia dirujuk maupun tidak.32 2) Talak ba‟in, yaitu talak di mana suami tidak memiliki hak untuk merujuk isteri yang telah ditalaknya. b. Putusnya Perkawinan Karena Khulu’ Pengertian khulu‟ menurut bahasa, kata khulu‟ dibaca dhammah huruf kho yang bertitik dan sukun lam dari kata khila‟ dengan dibaca fathah artinya naza‟ (mencabut).33 Khulu‟ ialah penyerahan harta yang dilakukan oleh istri untuk menebus dirinya dari (ikatan) suaminya.34 Istilah lain khulu‟ adalah tebusan. Karena istri menebus dirinya dari suaminya dengan mengembalikan apa yang pernah dia terima. Khulu‟ dalam pandangan ulama di bidang fikih adalah istri yang memisahkan diri dari suaminya dengan memberikan sesuatu kepadanya.35 31 Slamet, Munakahat II, 55 M. Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, diterjemahkan Masykur A. B, Lentera, Jakarta, 1996.45 33 Abdul Aziz, Fiqh Munakahat,( Jakarta: Amzah, 2009), 297 34 Muhammad, Fiqih,456 35 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid 4, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2009),77 32 31 Sedangkan menurut pengertian syari‟at, para Ulama mengatakan dalam banyak defenisi, yang semuanya kembali kepada pengertian, bahwasanya AlKhulu ialah terjadinya perpisahan (perceraian) antara sepasang suami-isteri dengan keridhaan dari keduanya dan dengan pembayaran diserahkan isteri kepada suaminya. Adapaun Syaikh Al-Bassam berpendapat, Al-Khulu ialah “Perceraian suami-isteri dengan pembayaran yang diambil suami dari isterinya, atau selainnya dengan lafazh yang khusus” Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 229 yang berbunyi: 36 “Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya”. (Al-Baqarah : 229). Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa Islam memperbolehkan seorang isteri yang ingin melepaskan diri dari ikatan perkawinan dengan jalan khuluk apabila ada faktor-faktor yang menyebabkan, seperti suami memiliki cacat fisik atau tidak dapat memenuhi kewajibannya, seperti menggauli isterinya dengan baik.37 Adapun khulu‟dapat dipandang syah dan jatuh akan hukumnya jika memenuhi syarat dab rukunnya. Rukun khulu‟ ada empat38, yaitu : 1. Suami 36 QS. Al-Baarah (2): 229. Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 8, diterjemahkan Moh. Thalib (Bandung:Al-Ma‟arif, 1990), 107. 38 Abdul, Fiqh, 300. 37 32 Syarat suami sah talaknya yaitu baligh, berakal, dan berdsarkan pilihan sendiri sebagaiman keterangan dalam talak. Demikian itu karena khulu‟ juga talak, suami menjadi rukun bukan syarat. Suami yang sah talaknya merupakan syarat dalam diri suami. Khulu‟ tidak sah dari suami yang masih anak kecil, suami gila, dan terpaksa, sperti talak mereka.39 Seluruh mazhab, kecuali Hambali, sepakat bahwa baligh dan berakal merupakan syarat yang wajib dipenuhi oleh laki-laki yang melakukan khulu‟. Sedang Hambali mengatakan : Khulu‟ sebagaimana halnya dengan talak, dianggap sah bila dilakukan oleh orang yang mumayyiz (telah mengerti sekalipun belum baligh).40 2. Istri Bagi isteri yang hendak mengKhulu‟' disyaratkan hal-hal berikut: a. Hendaknya dia itu adalah isterinya yang sah secara syar'i. Hal ini karena Khulu‟ bertujuan untuk mengkahiri ikatan pernikahan, maksudnya posisinya sebagai isteri. Ikatan ini baru dapat pudar manakala dihasilkan dari pernikahan yang sah. Apabila dari pernikahan yang tidak sah, maka si isteri tidak ada hak untuk mengajukan Khulu‟. b. Isteri yang mengajukan Khulu' hendaknya orang yang dipandang sah untuk melaksanakan tasharruf (penggunaan) harta juga dipandang sah untuk berderma. Hal ini dengan melihat wanita tersebut sudah baligah, berakal dan dapat dipercaya. 39 40 Abdul, Fiqh,. 301. Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab,( Jakarta, Lentera, 2006,), 462. 33 3. Iwadh (Pengganti Khulu‟) Khulu‟ sebagaimana keterangan di atas menghilangkan kepemilikan nikah dengan penggantian/imbalan materi. Imbalan ini bagian yang pokok dari makna khulu‟. Jika tidak dicapai pengganti maka tidak dicapai pula khulu‟. Jika seorang suami berkata kepada istrinya: “Aku khulu‟ kepada engkau” dan dia diam maka demikian itu tidak mencapai khulu‟. Jika ia berniat talak, menjadi talak raj‟i dan jika tidak berniat maka sesuatu tidak terjadi apa-apa karena menggunakan lafal sindiran memerlukan niat.41 Mazhab Syafi‟iyah berpendapat bahwa khulu‟ boleh dilakukan dengan mengembalikan semua mahar yang diterima pada saat akad nikah, mengembalikan sebagiannya, atau membayar dengan harta selain mahar, baik nilainya kurang dari nilai mahar yang diterima atau lebih. Khulu‟ juga boleh dilakukan dengan mengembalikan mahar secara tunai, dihutang atau ditunda.42 Kesimpulannya, semua yang dapat dijadikan sebagai mahar boleh dijadikan pembayaran khulu‟ berdasarkan keumuman firman Allah swt yang berarti: “Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.” (Q.S. Al-Baqarah : 229).43 41 Abdul, Fiqh, 304 Sayyid, Fiqih 4, 81 43 Sayyid, Fiqih 4, 82 42 34 4. Shighat Mazhab empat memperbolehkan khulu‟ dengan menggunakan redaksi yang jelas, misalnya khulu‟ dan fasakh, maupun dengan redaksi kiasan (kinayah) semisal, “saya lepas dan jauhkan engkau dari sisiku.”44 Ulama dibidang fikih berpendapat, bahwa khulu‟ harus menggunakan kata khulu‟ atau redaksi yang merupakan turunan dari kata khulu‟. Khulu‟ juga boleh dilakukan dengan menggunakan redaksi yang lain tapi memiliki makna yang sama dengan khulu‟, seperti al-mubara‟ah (melepaskan diri) dan fidyah (menebus diri). Jika tidak menggunakan kata khulu‟ atau kata lain yang memilki arti sama, semisal, suami berkata kepada istrinya, “Engkau ditalak dengan wajib membayar uang seratus ribu,” lalu istri menerima, maka hal semacam ini dinggap talak, bukan khulu‟.45 Isteri yang mengajukan Khulu‟ hendaknya orang yang dipandang sah untuk melaksanakan tasharruf (penggunaan) harta juga dipandang sah untuk berderma. Hal ini dengan melihat wanita tersebut sudah baligah, berakal dan dapat dipercaya. Adapun akibat hukum dari khulu‟ mayoritas para ulama, diantaranya adalah imam mazhab yang empat berpendapat bahwa jika suami mengizinkan khulu‟ kepada istrinya, berarti istri memiliki kuasa terhadap dirinya dan urusan talak sepenuhnya berada pada dirinya. Disamping itu, suamai tidak mempunyai kesempatan lagi untuk merujuk istrinya. Karena istritelah mengeluarkan hartanya untuk melepaskan dirinya dari ikatan perkawinan. Jika suami tetap dianggap 44 45 Muhammad, Fiqih, 462 Sayyid, Fiqih 4, 79. 35 mempunyai hak rujuk, tentu tebusan istri yang diberikan kepada suaminya tidak memiliki makna apapun. Sekalipun mantan istri yang mengajukan khulu‟ mengembalikan kembali pembayaran tebusan istri setelah khulu‟ dijatuhkan dan mantan istri mau menerimanya, namun mantan suami tetap tidak berhak rujuk meskipun istri masih dalam masa iddah. Sebab, dengan khulu‟, berarti mantan istrinya dianggap telah dijatuhi talak ba‟in.46 Imam malik berpendapat bahwa khulu‟ itu tidak dapat diikuti dengan talak, kecuali jika pembicaraannya bersambung. Sedang Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa dapat diikuti tanpa memisah-misahkan antara penentuan waktunya, yaitu dilakukan dengan segera atau tidak.47 Persoalan lainnya ialah, jumhur ulama telah sepakat bahwa suami yang menjatuhkan khulu‟ tidak dapat merujuk mantan istrinya pada masa iddah, kecuali pendapat yang diriwayatkan dari sa‟id bin al-Musayyad dan Ibnu Syihab, keduanya mengatakan bahwa apabila suami mengembalikan tebusan yang telah diambil dari istrinya, maka ia dapat mempersaksikan rujuknya itu.48 c. Putusnya Perkawinan Karena Fasakh Fasakh artinya putus atau batal,49 sedangkan dalam arti luas, fasakh adalah rusak atau tidak sahnya perkawinan kerena tidak memenuhi salah satu syarat atau diharamkan oleh agama.50 Fasakh artinya merusak atau melepaskan ikatan 46 Sayyid, Fiqih 4, 87. Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: kencana, 2008), 274. 48 Abdul,Munakahah. 274-275. 49 Slamet Abidin dan Aminuddin 1999. Fiqh Munakahat. (Bandung : CV. Pustaka Setia, 1990),73. 50 Tihami, Munakahat, 195. 47 36 perkawinan. Fasakh dapat terjadi karena sebab yang berkenaan akad (sah atau tidaknya) atau dengan sebab yang datang setelah berlakunya akad. Hal-hal yang bisa dijadikan memfasakh aqad nikah berkisar pada dua kelompok sebab. Ada sesab yang diketahui setelah aqad terjadi padahal sebenarnya telah ada sebelum aqad, dan ada sebab yang terjadi kemudian yakni muncul setelah aqad. Untuk sebab yang pertama disebut, diketahui setelah aqad, contohnya seumpama tiba-tiba terungkap bukti secara kuat bahwa antara mereka yang berakad sebagai suami istri itu adalah saudara susu haram saling menikah, atau si istri ketikaaqad berlangsung masih dalam masa iddah, masih ada ikatan perkawinan dengan suami lain dan sebagainya. Sedangkan untuk sebab kedua contohnya salah satu pihak mengubah agamanya, karena murtad ke dalam iman yang diharamkan kawin, maka putus atau batal ikatan perkawinannya. Baik pihak yang satu menerima (ridha) dengan kenyataannya atau tidak. Mengenai sebab merasa tertipu oleh salah satu pihak yang berakad maka data memohon ke pengadilan karena terdapat hal-hal yang tidak mungkin mendatangkan ketetraman dalam rumah tangga. 51 Adapun akibat hukum dari fasakh adalah istri yang dicerai dengan keputusan pengadilan tidak dapat dirujuk oleh bekas suaminya, yang menghendaki untuk membina rumah tangga kembali setelah habis masa iddahnya, kalau suami menghendaki kembali kepadanya, maka harus dengan nikah lagi dengan akad yang baru. Fasakh tidak mengurangi bilangan talak yang menjadi 51 Ahmad Kuzari, nikah sebagai perikatan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,1995), 131. 37 pihak suami, artinya bila mereka terikat terikat perkawinan kembali maka kesempatan talak terbilang tiga di luar cerai fasakh tersebut.52 Akibat hukum perceraian yang diakibatkan fasakh yang lain, jika pemisahan itu terjadi sebelum terjadi hubugan suami istri, maka tidak ada mahar bagi istri. Apakah pemisalah itu dari pihak suami atau pihak istri, sebab jika fasakh itu dari pihak istri maka haknya gugur dan jika pemisahan itu datang dari pihak suami dan hal itu di sebabkan cacat yang di sembunyikan oleh istri terhadap suaminya maka ia tidak berhak mendapatkan mahar. Namun jika pemisahan dilakukan sesudah terjadi hubungan suami istri maka ia berhak mendapatkan mahar dan pemisahan dilakukan oleh hakim (pengadilan) Dan seorang suami tidak boleh dengan sengaja berlaku buruk di dalam mempergauli istrinyadengan maksud agara istri menyerahkan harta (mahar) nya kepada suami sebagai ganti rugi atas permintaannya. 2. Putusnya Perkawinan Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 a. Pengertian Putusnya Perkawinan Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Perceraian berasal dari kata dasar cerai, yang berarti putus hubungan sebagai suami isteri dan perceraian menurut bahasa adalah perpisahan antara suami dan isterinya.53 Perceraian adalah cerai hidup antara pasangan suami istri sebagai akibat dari kegagalan mereka menjalankan obligasi peran masing-masing. Dalam hal ini perceraian dilihat sebagai akhir dari suatu ketidakstabilan perkawinan 52 53 Slamet Abiddin, Fiqih Munakahat II ,( Bandung : Pustaka setia, 1999), 73. Departeman Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jkarta: Balai Pustaka, 1993). 164 38 dimana pasangan suami istri kemudian hidup terpisah dan secara resmi diakui oleh hukum yang berlaku. Pasal 38 dalam UU nomor 1 tahun 1974, yang berbunyi “Perkawinan dapat putus karena : a. Kematian, b. Perceraian dan c. Atas keputusan Pengadilan.” Menjelaskan bahwa putusnya perkawinan dapat terjadi karena: 1. Kematian Putusnya perkawinan karena kematian adalah putusnya perkawinan karena matinya salah satu pihak ( suami/istri ). Sejak saat matinya salah satu pihak itulah putusnya perkawinan itu terjadi. Demi kepastian hukum, surat keterangan yang berisi tentang matinya seseorang ini agaknya sangat penting bagi seseorang yang telah kematian suami/ istri, sebagai bukti otentik. 2. Perceraian Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan, setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha mendamaikan kedua belah pihak. Perceraian harus dilakukan melalui proses persidangan untuk menghindarkan tindakan sewenang-wenang, terutama dari pihak suami dan juga demi kepastian hukum, maka perceraian harus melalui lembaga pengadilan. 3. Atas putusan pengadilan Putusnya perkawinan karena keputusan pengadilan dapat terjadi karena pembatalan perkawinan/ karena peceraian. Adanya putusan pengadilan adalah 39 sebagai penyelesaian dari gugatan perceraian yang diatur dalam Pasal 20 PP nomor 9/1975. Putusnya Perkawinan Menurut UU No.1 Tahun 1974. b. Prosedur Putusnya Perkawinan Menurut UU No.1 Tahun 1974 Dalam pasal 39 UU No 1 Tahun 1974 dan pasal 110 komplikasi hukum Islam disebutkan tentang alasan-alasan yang diajukan oleh suami atau istri untuk menjatuhkan talak atau gugatan perceraian ke pengadilan. Alasan-alasan itu adalah sebagai berikut : 1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sulit disembuhkan. 2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturutberturut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya. 3. Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. 4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain. 5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri. 6. Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. 7. Suami melanggar Ta‟lik Talak. 40 Jika telah memiliki alasan yang sesuai dengan alasan-alasan perceraian, maka langkah selanjutnya adalah mengenai prosedur perceraian. Sesuai dengan ketentuan pasal 39 ayat 1 UU nomor 1 tahun 1974. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan, setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendapaikan kedua belah pihak. Tata cara perceraian di muka Pengadilan diatur dalam Bab V PP nomor 9/1975 dan pasal 14-36. Dari PP tersebut perceraian tersebut menjadi dua macam, yaitu cerai talak dan cerai gugat. a. Cerai talak Cerai talak ini hanya khusus bagi yang beragama Islam, sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 14 PP nomor 9 tahun 1975. 1. Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, boleh menceraikan istrinya dengan mengajukan surat kepada pengadilan agama ditempat tinggalnya yang berisi pemberitahuan secara tertulis kepada pengadilan ditempat tinggalnya yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceriakan istrinya disertai dengan alasan-alasan serta meminta pengadilan agar disidangkan. 2. Setelah surat pengajuan diserahkan kepada pengadilan, maka selambatlambatnya 30 hari setelah penerimaan surat itu, pengadilan akan memanggil suami dan istri yang akan bercerai untuk meminta penjelasan. 3. Setelah pengadilan mendapatken penjelasakan, jika memang ada alasanalasan perceraian dan tidak memungkinkan untuk didamaikan maka pengadilan akan mengadakan sidang untuk menyaksikan perceraian. 41 4. Sesaat setelah menyaksikan perceraian ketua pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya perceraian. 5. Surat keterangan tersebut dikirim kepada pegawai pencatatan ditempat itu terjadi untuk diadakan pencatatan perceraian. 6. Perceraian terhitung pada saat perceraian dinyatakan di depan sidang. b. Cerai gugat Cerai gugat adalah perceraian yang disebabkan oleh adanya suatu gugatan lebih dahulu oleh salah satu pihak kepada pengadilan dan dengan suatu putusan pengadilan. PP nomor 9/1975 dalam pasal 20 menjelaskan bahwa, gugatan perceraian dapat dilakukan oleh seorang istri yang melangsungkan perkawinan menurut Islam dan kepercayaan lainnya. Tata cara gugatan perceraian secara rinci diatur dalam pasal 10 – 36 PP nomor 9/1975, dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Pengajuan gugatan, Pengajuan dilakukan berdasarkan alasan-alasan perecaraian yang termuat dalam UU nomor 1/1975 dan pasal 19 PP nomor 9/1975. Gugatan dapat dilakukan suami/istri kepada pengadilan setempat. Dalam hal tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai kediaman, gugatan diajukan kepada pengadilan di tempat kediaman pengugat. 42 2. Pemanggilan. Pemanggilan terhadap para pihak/ kuasanya dilakukan setiap kali akan diadakan persidangan melalui juru sita untuk hadir pada sidang yang tlah ditentukan. Selambat- lambatnya tiga puluh hari setelah pengadilan menerima berkas perkara dengan memperhatikan tanggal waktu panggilan, maka pengadilan harus sudah mulai memeriksa permohonan perceraian tersebut, sedangkan untuk tergugat yang berada di luar negeri batas waktunya mencapai 6 bulan. Pemanggilan harus disampaikan kepada pribadi yang bersangkutan. Apabila tidak dapat dijumpai, pemanggilan disampaikan melalui surat atau dipersamakan dengannya. Dalam hal tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, pemanggilan dilakukan dengan cara menempelkan gugatan pada papan pengumuman di pengadilan dan mengumumkan di beberapa surat kabat yang ditetapkan oleh pengadilan sebanyak dua kali dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman yang pertama dan kedua. 3. Persidangan Persidangan dilakukan untuk memeriksa gugatan perceraian harus dilakukan oleh pengadilan selambat – lambatnya 30 hari setelah diterimanya surat gugatan di kepanitraan. Pasal 30 PP nomor 9/1975 menjelaskan lebih lanjut bahwa suami dan istri dapat datang sendiri/ diwakili oleh kuasanya. Surat-surat yang diperlukan harus dilengkapi dan dibawa, misalnya surat kawin, surat 43 jawaban gugatan dan surat-surat lain yang penting berkenaan dengan perkara yang akan dilakukan secara tertutup. 4. Perdamaian Ketika memeriksa gugatan, hakim berkewajiban untuk mendamaikan pihak suami istri sebelum melanjutkan perisdangan. Jika tidak dapat didamaikan, maka proses peridangan dilanjutkan hingga menunggu putusan pengadilan 5. Putusan Putusan ini dilakukan dalam sidang tertutup. Satu putusan memungkinkan untuk tidak dihadiri oleh pihak yang bersangkutan. Selama proses pemeriksaan masih berjalan istri dapat meminta kepada pengadilan berupa beberapa penetapan, seperti: a. Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami. b. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak. c. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin barang-barang yang menjadi hak istri. c. Akibat Hukum Putusnya Perkawinan Menurut UU No.1 Tahun 1974 UU nomor 1/1974 menjelaskan mengenai kaibat-akibat putusnya perkawinan karena perceraian, hal ini diatur dlam pasal 41. 1. Akibat terhadap suami istri 44 Setelah perceraian terjadi, maka ikatan perkawinanan antara suami istri menjadi putus. Dan kedudukan mereka terpisah secara sendiri-diri. Dengan demikian mereka dilarang untuk mengadakan hubungan seksual sebagaimana hubungan suami istri. Sedangkan kewaiban mmeberikan nafkah kepada mantan istri bersifat fakultatip artinya boleh atau dapat. 2. Akibat terhadap anak-anak Meskipun tlah bercerai anak tetap akan menjadi tanggungan mereka berua (suami dan istri). Pasal 41 yat 1 dan 2 UU nomor 1/1974 menjelaskan lebih lanjut mengenai tanggung jawab ini. a. Baik ibu dan ayah tetap berkewajiban memelihara dan mendiidk anakanaknya b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan. 3. Akibat terhadap harta benda Harta benda yang harus diperhitungkan akibat adanya perceraian adalah harta bersama. J Satrio menjelaskan apa saja yang masuk dalam harta bersama sebagai berikut: a. Hasil dan pendapatan suami b. Hasil dan pendapatan istri c. Hasil dan pendapatan dari harta pribadi suami maupun istri asal kesemuanya diperoleh sepanjang perkawinan. 45 Terhadap harta bersama tersebut suami dan istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak dan harta bawaan masing-masing suami istri menjadi hak mereka masing-masing. 54 C. Tinjauan Umum Mengenai Metode Ijtihad Hakim 1. Metode ijtihad Hakim “Ijtihad ialah mencurahkan segala kemampuan dalam mencapai hukum syara‟ dengan cara istinbath (menyelidiki dan mengambil kesimpulan hukum yang terkandung) pada Alquran dan sunah”55 Orang-orang yang mampu berijtihad disebut mujtahid. Agar ijtihadnya dapat dipertanggungjawabkan, seorang mujtahid harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain; (a) bersifat adil dan takwa, (b) menguasai bahasa Arab dan cabangcabangnya, ilmu tafsir, ushul fiqih, dan „ulumul hadits. Ilmu-ilmu tersebut diperlukan untuk meneliti dan memahami makna-makna lafal dan maksudmaksud ungkapan dalam Alquran dan sunah. Adapun macam-macam metode ijtihad adalah sebagai berikut: a. Ijma‟ Menurut istilah Ahli Ushul, Ijma‟ adalah “kesepakatan para imam mujtahid diantara umat Islam pada suatu masa setelah Rasulullah wafat, terhadap hukum syara‟ tentang suatu masalah atau kejadian”.56 54 55 Slamet, Munakah, 68 Amir Syarifuddin,Ushul Fiqh II,(Jakarta: Kencana, 2009), 237 46 Adapun unsur-unsur Ijma‟ adalah 1) Adanya sejumlah mujtahid ketika terjadinya suatu peristiwa lantaran kesepakatan tidak mungkin terjadi tanpa adanya beberapa pandangan atau pendapat yang masing-masing terdapat kesesuaian. 2) Bila ada kesepakatan para mujtahid dikalangan umat Islam terhadap hukum syara‟ tentang suatu hukum masalah atau kejadian pada saat terjadinya, maka tidak memandang negeri, bangsa dan kelompok. 3) Kesepakatan semua mujtahid itu dapat diwujudkan dalam suatu hukum. Adapun macam-macamnya ijma adalah sebagai berikut a. Ijma‟ dilihat dari segi melakukan ijtihad, yaitu ada bagian: 1) Ijma‟ Sharih adalah kesepakatan para mujtahid pada suatu waktu terhadap hukum suatu kejadian dengan menyajikan pendapat masing-masing secara jelas yang dilakukan dengan cara memberi fatwa atau memberi keputusan. 2) Ijma‟ Sukuty adalah sebagian mujtahid pada suatu waktu mengemukakan pendapatnya secara jelas terhadap suatu kejadian yang dilakukan dengan cara memberi fatwa atau memberi keputusan, dan mujtahid lainnya tidak menanggapi pendapat tersebut dalam hal persesuaiannya atau perbedaannya. b. Ditinjau dari segi qath‟i atau zhanni adalah hukumnya bagi ijma‟ ada dua macam; 1) Ijma‟ qath‟i adalah hukum ijma‟ sharih, hukumnya telah dipastikan dan tak ada jalan lain untuk mengeluarkan hukum yang bertentangan, serta tidak 56 Amir Syarifuddin,Ushul Fiqh I,(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 112 47 boleh mengadakan ijtihad terhadap hukum syara‟ mengenai suatu kejadian setelah adanya ijma sharih. 2) Ijma‟ zhanni adalah ijma‟ sukuty, hukumnya diduga berdasarkan dugaan kuat mengenai suatu kejadian, oleh sebab itu masih memungkinkan adanya ijtihad. Sebab, hasil ijtihad bukan merupakan pendapat seluruh mujtahid. b. Qiyas Qiyas menurut ulama ushul adalah menyamakan suatu kejadian yang tidak ada nash kepada kejadian lain yang ada nashnya pada nash hukum yang telah menetapkan lantaran adanya kesamaaan antara dua kejadian itu dalam illat (sebab terjadinya) hukumnya.57 Jumhur ulama‟ berpendapat bahwa qiyas adalah hujjah syar‟iyyah terhadap hukum-hukum syara‟ tentang tindakan manusia. Al-qiyas menempati urutan keempat diantara hujjah syar‟iyyah yang ada dengan catatan, jika tidak dijumpai hukum atas kejadian itu berdasar nash atau ijma‟. Orang Mutsabitu‟i qiyas adalah orang-orang yang menetapkan qiyas, berdasarkan pada dalil Al-Qur‟an, As-Sunnah, perkataan dan perbuatan para sahabat dan lain-lain yang rasional. Ayat Al-Qur‟an yang mereka gunakan sebagai dalil salah satunya yaitu surat Al-Hasyr ayat 2: Kemudian, mereka juga mengambil landasan Al-Sunnah, hal itu terdapat dua riwayat; pertama, hadits Muadz bin Jabal.Kedua, berdasarkan ketentuan Al-Sunnah yang shahih, ketika Rasulallah dihadapkan berbagai persoalan atau kejadian dan ketika itu wahyu belum member penjelasan, 57 Amir, Ushul I,144 48 Rasulullah pun mengambil dalil tentang hukum kejadian tersebut dengan jalan qiyas. Adapun rukun Qiyas menutut Jumhur adalah: 1. Al-Ashl adalah sesuatu yang hukumnya terdapat dalam nash. 2. Al-Far‟u adalah sesuatu yang hukumnya tidak terdapat didalam nash, dan hukumnya disamakan kepada Al-Ashl. 3. Hukmu‟l-Ashl adalah hukum syara‟ yang terdapat nashnya menurut al-Ashl , dan dipakai sebagai hukum asal bagi cabang (al-far‟u). 4. Al-Illat adalah keadaan tertentu yang dipakai sebagai bagi hukum ashl (asal), kemudian cabang (al-far‟u) itu disamakan kepada asal dalam hal hukumnya. c. Istihsan Menurut Istilah Ulama‟ Ushul istihsan ialah pindahnya seorang mujtahid dari tuntutan qias jali (nyata) kepada qias khafi (samar), atau dari dalil qully kepada hukum takhshish lantaran terdapat dalil yang menyebabkan mujtahid mengalihkan hasil pikirannya dan mementingkan perpindahan hukum.58 Karenanya, jika terdapat suatu yang tidak ada nash hukumnya, maka dalam pembahasannya ada dua segi yang berlawanan: a) Segi Zhahir yang menghendaki adanya hukum suatu hukum. b) Segi Khafi (tak tampak) yang menghendaki adanya hukum lain. Berdasarkan pengertian istihsannya, istihsan dapat dibagi menjadi dua bagian: 58 Amir, Ushul II,324 49 a) Mengutamakan (memenangkan) qias khafi daripada qias jali berdasarkan dalil. b) Mengecualikan juz‟iyah dari hukum qully berdasarkan dalil. Berdasarkan definisi dan macam-macam istihsan, dapat diketahui bahwa istihsan pada dasarnya bukan sebagai sumber pembentukan hukum yang berdiri sendiri. Sebab, hukum-hukum tersebut pada macam pertama; berdasarkan dalil qias khafi itu lebih diutamakan dibanding qias jali, lantaran itu dapat menentramkan mujtahid dengan jalan istihsan. Kemudian, macam istihsan yang kedua, hukum-hukumnya antara lain, dalil mashlahah yang menuntut pengecualian pada bagian hukum qully, atau yang dikemukakan sebagai jalan istihsan. Yang menggunakan hujjah istihsan ini, kebanyakan adalah ulama‟ Hanafiyah. d. Maslahah Al-mursalah Pengertian maslahah mursalah ialah manfaat-manfaat yang seirama dengan tujuan Allah Ta‟ala (Pembuat hukum), akan tetapi tidak terdapat dalil (argumen) khusus yang menjelaskan bahwa manfaat tersebut diakui atau tidak diakui oleh Allah Ta‟ala (Pembuat hukum). Dengan mengaitkan hukum dengan manfaat tersebut, maka akan dapat diwujudkan kemaslahatan bagi manusia atau akan dapat dihindarkan keburukan dari manusia.59 Karena itu seorang mujtahid dapat menetapkan hukum suatu kejadian dengan qiyas. Artinya menyamakan hukumnya dengan hukum kejadian sebelumnya, karena persamaan illatnya. Ini dapat dilakukan mujtahid setelah 59 Dr. Wahbah Zuhaily, Ushulul Al Fiqh Al Islamy, (Damaskus : Dar Al Fikr), II, hal. 757 50 mempelajari apakah dalam kejadian tersebut terdapat suatu illat yang telah menjadi dasar penetapan hukum kejadian sebelumnya. Apabila ia tidak dapat dipecahkan hukunya dengan qiyas, ia dapat menerapkan maslahah mursalah. Jumhur ulama mengajukan pendapat bahwa mashlahah mursalah merupakan hujjah syari‟atkan yang dijadikan metode pembentukan hukum mengenai kejadian atau masalah yang hukumnya tidak ada dalam nash, ijma‟, qias, atau istihsan, maka disyari‟atkan dengan mengunakan mashlahah mursalahah.60 Dalil yang dipakai oleh Ulama‟ tersebut : 1) Kemaslahatan umat manusia itu secara lestari sifatnya selalu aktual. Karena itu, jika tidak ada syari‟at hukum yang berdasarkan maslahah mursalah berkenaan dengan masalah baru sesuai tuntunan perkembangan, maka pembentukan hukum hanya hanya akan terkunci berdasarkan maslahah yang mendapatkan pengakuan syari‟. 2) Orang-orang yang menyelidiki pembentukan hukum yang dilakukan oleh para sahabat, tabi‟in dan para mujtahid, akan tampak bahwa mereka telah mensyari‟atkan aneka ragam hukum dalam rangka mencari kemaslahatan dan bukan lantaran adanya pengakuan sebagai saksi. Ulama menyusun syarat-syarat maslahah mursalah yang dipakai sebagai dasar pembentukan hukum, asalkan jika maslahatnya memenuhi tiga syarat, yaitu mencapai tingkat dharury, pasti dan global. Pendapat ini didukung antara lain oleh Imam Gazali. 60 Amir, Ushul II,357 51 1. Syarat pertama, dharury. Hal-hal yang tergolong dharury ialah termasuk salah satu dari lima dharuriyyah yaitu melindungi agama Islam, melindungi jiwa, melindungi akal, melindungi keturunan, dan melindungi harta. Apabila maslahat yang tidak terdapat nash yang mendukungnya dan menolaknya tidak termasuk salah satu dari lima dharuriyyah, maka tidak dapat dijadikan landasan penetapan hukum. Sebab itu pendukung mazhab yang ketiga ini tidak mendukung maslahah hajiyyah (penting) dan tahsiniyyah (pelengkap) semata-mata untuk dijadikan dasar penetapan hukum, kecuali didukung oleh dasar dari Syariat.61 2. Syarat kedua, ialah penerapan maslahat dalam hal-hal tersebut pasti akan tercapai kemaslahatan apabila diterapkan. 3. Syarat ketiga, ialah umum, yaitu maslahat yang akan memberikanmanfaat umum bagi kaum muslimin.62 e. „Urf „Urf adalah segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia karena telah menjadi kebiasaan atau tradisi baik bersifat perkataan, perbuatan atau dalam kaitannya dengan meninggalkan perbuatan tertentu, sekaligus disebut adat. „Urf dibagi menjadi dua macam: 1) „Urf Shahih, yaitu segala sesuatu yang sudah dikenal umat manusia dan tidak berlawanan dengan dalil syara‟, serta tidak menghalalkan yang haram dan tidak pula menggugurkan kewajiban. 61 Wahbah, ushulul, 756 Dr. Muhammad Salam Madkur, Manahij Al Ijtihad Fi Al Islam, (Kuwait : Univ. Kuwait), hal. 140 62 52 2) „Urf Fasid ialah segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia, tetapi berlawanan dengan syara‟, atau menghalalkan yang haram dan menggugurkan kewajiban. f. Istishab Menurut Ulama‟ Ushul Istishhab ialah menetapkan sesuatu berdasar keadaan yang berlaku sebelumnya hingga adanya dalil yang menunjukkan adanya perubahan keadaan itu. Menurut Wahbah Zuhaili, istishab adalah menetapkan bahwa sesuatu masih tetap seperti semula pada masa sekarang atau pada masa yang akan datang. Penetapan tersebut berpijak pada kenyataan sesuatu tersebut benarbenar ada pada masa sebelumnya.63 Jika tidak terdapat dalil yang menunjukkan adanya perubahan, maka sesuatu itu hukumnya boleh (mubah) sesuai dengan sifat kebolehan pada asalnya. Istishhab merupakan dalil syara‟ terakhir yang dipakai mujtahid sebagai hujjah untuk mengetahui hukum suatu kejadian yang dihadapkan kepadanya. Ulama‟ Usul mengatakan, “Pada dasarnya, istishhab merupakan tempat berputarnya fatwa yang terakhir, untuk mengetahui sesuatu berdasarkan hukum yang telah ditetapkan, selama tidak terdapat dalil yang merubah”. 63 Wahbah, Ushulul, 859 53 Istishhab menetapkan dasar syari‟ah sebagai berikut: a) Asal sesuatu itu merupakan ketetapan terhadap sesuatu yang sudah ada berdasarkan keadaan semula, hingga adanya ketetapan yang merubahnya. b) Asal sesuatu itu adalah mubah. c) Apa-apa yang sudah tetap berdasarkan keyakinan, tidak akan hilangkarena ragu-ragu. d) Asal yang ada pada manusia itu adalah kebebasan. 2. Metode Penemuan Hukum Tugas menemukan hukum terhadap suatu perkara yang sedang diperiksa oleh Majelis Hakim merupakan suatu hal yang paling sulit dilaksanakan. Meskipun para hakim dianggap tahu hukum (ius curianovit), sebenarnya para hakim itu tidak mengetahui semua hukum, sebab hukum itu berbagai macam ragamnya, ada yang tertulis dan ada pula yang tidak tertulis. Tetapi Hakim harus mengadili dengan benar terhadap perkara yang diajukan kepadanya, ia tidak boleh menolak suatu perkara dengan alasan hukum tidak ada atau belum jelas, melainkan ia wajib mengadilinya. Sebagai penegak hukum ia wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Dalam proses penemuan hukum dalam perspektif Hukum Acara Perdata, majelis hakim dapat menggunakan aturan Perundang-Undangan, hukum adat, yurisprudensi, dan tulisan-tulisan ilmiah para pakar hukum dan buku-buku lain 54 yang memiliki keterkaitan dengan persoalan yang ditangani sebagai sumber hukum. 64 Jika tidak ditemukan dalam sumber-sumber tersebut, maka hakim dapat menggunakan beberapa metode, seperti metode interpretasi dan metode argumen.65 a. Metode interpretasi Metode interpretasi atau dikenal dengan istilah hermeneutika yuridis, yaitu penafsiran terhadap teks Undang-Undang yang tidak jelas, meskipun masih berpegang pada bunyi teks tersebut. Metode ini dibagi menjadi beberapa bagian: 1) Penafsiran substantif, yaitu penerapan suatu teks Undang-Undang terhadap suatu kasus in concreto namun belum menggunakan penalaran yang lebih rumit, dan sekedar menerapkan silogisme. Silogisme adalah bentuk berfikir logis dengan mengambil kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum dan hal-hal yang bersifat khusus. 2) Penafsiran gramatikal, yaitu bahasa yang terdapat dalam Undang-Undang diuraikan ke dalam bahasa umum yang digunakan sehari-hari atau dengan kata lain menafsirkan Undang-Undang dengan kaidah bahasa yang berlaku. 3) Penafsiran historis, yaitu penafsiran yang didasarkan pada sejarah terbentuknya peraturan tersebut. 64 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama(Jakarta: Prenada Media Group, 2008), 279 65 Bambang Sutiyoso. Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti dan Berkeadilan.(Yogyakarta:UII Press, 2006), 8 55 4) Penafisiran sosiologis, yaitu penerapan undang-undang berdasarkan tujuan kemasyarakatan atau menitik beratkan pada tujuan Undang-Undang bukan bunyi teks Undang-Undang. 5) Penafsiran komparatif, yaitu penafsiran undang-undang dengan membandingkan antara berbagai sistem hukum.66 b. Metode argumentasi Metode Argumentasi atau penalaran hukum, yaitu penggunaan nalar logis untuk mengembangkan teks Undang-Undang jika dirasa tidak lengkap.67 Pada metode ini hakim mempergunakan penalaran logisnya untuk mengembangkan lebih lanjut suatu teks undang-undang, di mana hakim tidak lagi terikat dan berpegang pada bunyi teks itu, tetapi dengan syarat hakim tidak mengabaikan hukum sebagai suatu sistem.68 Juga pada metode ini hakim tidak lagi terikat dan berpegang pada bunyi teks akan tetapi tidak boleh mengabaikan hukum sebagai sebuah sistem. Metode ini juga dibagi menjadi beberapa bagian: 1) Metode argumentum peranalogiam, digunakan apabila hakim menjatuhkan putusan dalam suatu konflik yang tidak tersedia peraturannya, tetapi peristiwa tersebut memiliki kemiripan dengan peristiwa lain yang diatur Undang-Undang. 66 Abdul Manan, Penerapan, 279-281 Abdul Manan, Penerapan, 282 68 Ahmad Ali, Mengenal Tabir Hukum, Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, (Jakarta: Chandra Pratama, 1996), 167 67 56 2) Metode argumentum a contrario, jika undang-undang menetapkan hal-hal tertentu untuk peristiwa tertentu, berarti peraturan itu terbatas pada peristiwa tertentu dan bagi peristiwa di luarnya berlaku ketentuan sebaliknya. 69 3) Metode pengkrokretan hukum ketentuan dalam undang-undang yang terlalu umum dan luar ruang lingkupnya dipersempit sehingga dapat diterapkan dalam kasus nyata. Dalam metode ini dibentuk pengecualian-pengecualian dari peraturan yang bersifat umum, diterapkan pada kasus khusus dengan memberi ciri-ciri. 4) Metode fiksi hukum, yaitu metode penemuan hukum yang mengemukakan fakta baru.70 Menurut satjipto, fiksi adalah metode penemuan hukum yang mengemukakan fakta- fakta baru kepada kita, sehingga tampil suatu personifikasi baru di hadapan kita. Ada pun fungsi dari fiksi hukum ini di samping untuk memenuhi hasrat untuk menciptakan stabilitas hukum, juga utamanya untuk mengisi kekosongan undang-undang.71 Diharapkan muncul kejelasan-kejelasan. Konstruksi harus dapat memberikan gambaran yang jelas tentang sesuatu hal, oleh karena itu harus cukup sederhana dan tidak menimbulkan masalah baru dan boleh tidak dilaksanakan. Sedangkan tujuan dari konstruksi adalah agar putusan hakim dalam peristiwa konkrit dapat memenuhi tuntutan keadilan dan bermanfaat bagi pencari keadilan.72 69 Sudikno Mertokusumo,.Hukum Acara Perdata Indonesia.(Yogyakarta:Liberti, 1998) 69 Abdul Manan, Penerapan, 283-284 71 Ahmad, Mengenal, 200 72 Ahmad, Mengenal,192 70 57 D. Tinjauan Umum Mengenai Asal Usul Anak 1. Status Hukum Keperdataan Anak Dalam pasal 250 KUH Perdata yang berbunyi anak sah adalah “anak yang dilahirkan atau dibesarkan selama perkawinan, memperoleh si suami sebagai ayahnya.” Dalam pasal 42 undang-undang no.1 tahun 1974 tentang perkawinan yang berbunyi “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”. Menurut hukum adat, anak kandung sah adalah anak yang dilahirkan dalam perkawinan sah, mempunyai ibu yaitu wanita yang melahirkannya dan mempunyai bapak yaitu suami dari wanita yang melahirkannya. Menurut Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan bahwa ukuran sah atau tidaknya seorang anak dilihat dari memperhitungkan kapan proses pembuatannya. waktu 73 kelahirannya tanpa Selain itu, seorang anak meskipun terlahir di luar perkawinan karena orang tuanya telah bercerai, tetap dipandang sebagai anak yang sah.74 Dalam Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 99 huruf a Kompilasi Hukum Islam dinyatakan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah. Berbeda halnya dengan konsep fiqh yang tegas, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan kompilasi Hukum Islam memberikan ketentuan yang lebih luas. 73 Nuruddin, Amiur dan Tarigan, Azhari Akmal.2006.Hukum Perdata Islam di Indonesia Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dan Fikih, UU No.1/1974 sampai KHI.Jakarta:Kencana, 286 74 Manan, Abdul.2008.Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia.Jakarta:Kencana, 76 58 Subekti menyatakan bahwa anak sah (wettig kind) menurut Kitab UndangUndang Hukum Perdata adalah anak yang dilahirkan dan dibuat selama perkawinan yang sah antara ayah dan ibunya.75 Upaya memastikan bahwa anak tersebut benar-benar keturunan ayahnya, menurut Subekti tentunya sukar di dapat. Berdasarkan hal ini ditetapkan masa tenggang kandungan paling lama yaitu 300 hari dari tenggang kandungan yang paling pendek yaitu 180 hari. Dengan demikian seorang anak yang terlahir melebihi 300 hari setelah perceraian orang tuanya adalah anak tidak sah, sebagaimana diatur dalam Pasal 255 KUHPerdata. Ada tiga macam status anak yang diatur dalam KUHPerdata.76 1) anak sah yang diatur dalam Pasal 250 KUHPerdata. Tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya Berdasarkan hal ini, anak tersebut memiliki status sebagai anak kandung dengan hak-hak keperdataan melekat padanya serta berhak memakai nama belakang orang tuanya untuk menunjukkan asal usulnya.77 2) anak yang diakui dan diatur dalam Pasal 280 KUHPerdata: Dengan pengakuan terhadap anak luar kawin,terlahirlam hubungan perdata anak itu dan ayahnya atau ibunya. Dengan adanya pengakuan dari ibu yang melahirkannya dan bapak yang menghamili ibunya, anak luar kawin memiliki hubungan keperdataan dengan orang tuanya itu. Meskipun 75 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata (Jakarta:PT.Intermasa,1984), 48 Abdul Manan, Aneka, 77 77 Abdul Manan, Aneka, 78 76 59 demikian, pengakuan ini tidak boleh dilakukan untuk anak hasil perzinahan, 3) anak yang disahkan yaitu anak luar kawin antara laki-laki dan perempuanyang diakui sebagai anak mereka yang sah, dengan dicatatat dalam akta perkawinan. Pasal 99 KHI menyatakan bahwa Anak yang sah adalah : a. anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah; b. hasil perbuatan suami isteri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut. KHI menjelaskan lebih rinci berkaitan dengan anak yang sah. Ketentuan pasal 99 huruf b di atas memberikan aturan yang bersifat antisipasi berkaitan dengan cara pembuahan yang tidak hanya terjadi di dalam rahim ibu melainkan dengan cara yang lain karena alasan-alasan medis. 2. Permohonan Asal Usul Anak Asal usul anak adalah dasar untuk menunjukkan adanya hubungan nasab (kekerabatan) dengan ayahnya. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa anak yang lahir sebagai akibat zina dan/atau li‟an, hanya mempunyai hubungan kekerabatan dengan ibu yang melahirkannya menurut pemahaman kaum sunni. Lain halnya dengan pemahaman kaum syi‟ah, anak tidak mempunyai hubungan kekerabatan baik ayah maupun ibu yang melahirkannya, sehingga tidak dapat menjadi ahli waris dari kedua orang tuanya. Namun demikian, di negara Republik indonesia 60 tampak pemberlakuan berbagai sistem hukum dalam masyarakat muslim, sehingga perilaku masyarakat mencerminkan ketiga sistem hukum dimaksud.78 Penduduk yang mayoritas mendiami negara Republik Indonesia beragama Islam yang bermazhab Imam Syafi‟i, sehingga pasal 42, 43 dan 44 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengatur asal usul anak berdasarkan hukum Islam mazhab Imam Syafi‟i. Hal ini dijadikan pasal pada 42: “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.” Selain itu Pasal 43 berbunyi : (1) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya (2) Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan di atur dalam Peraturan Pemerintah. Kemudian dalam Pasal 44 berbunyi: (1) Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat daripada perzinaan tersebut. (2) Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan. Jika memperhatikan pasal –pasal diatas, dapat di[ahami bahwa anak yang lahir dari ikatan perkawinan yang sah maka anak itu adalah anak yang sah. Namun, tidak dijelaskan mengenai status bayi yang dikandung dari akibat perzinaan atau akad nikah dilaksanakan pada saat calon mempelai wanita itu 78 Zainuddin, Hukum, 62 61 hamil. Anak yang dilahirkan setelah akad nikah maka status anak itu adalah anak yang sah. Jika ada bentuk pelanggaran perkawinan dan apabila ternyata suatu perkawinan tidak memenuhi syarat dan rukun Nikah maka dapat dibatalkan dengan Putusan Pengadilan Agama. Pasal 22 UU. No. 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa: “Perkawinan dapat dibatalkan , apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”.79 Jadi suatu perkawinan yang tidak memenuhi syarat dan rukun perkawinan dapat dibatalkan. Adapun orang yang melakukan perkawinan dengan memenuhi syarat dan rukun nikah tetapi tidak dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah dengan sengaja atau karena kelalaiannya sedangkan dari pernikahannya itu telah melahirkan anak dan memperoleh akta nikah tidak menempuh permohonan isbat nikah, akan tetapi mereka langsung nikah dengan menggunakan status jejaka dan perawan di KUA, sehingga seperti nikah baru baru mengajukan asal usul anak ke pengadilan. Ini termasuk upaya memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang lahir dari perkawinan yang tidak tercatat, maka upaya melakukan perlindungan hukum terhadap staus nasab anak yang telah lahir dengan permohonan penetapan asal-usul anak ke Pengadilan Agama. Asal Usul anak merupakan dasar untuk menetapkan adanya hubungan nasab dengan ayah dan ibunya , demikian yang diyakini oleh fiqh suni, karena para ulama sepakat bahwa anak zina atau anak mula‟anah dan anak syubhat hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibu dan sudara ibunya . Berbeda 79 H. Zainal Abidin. Kumpulan Peraturan Perundang Undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama (Jakarta: Al Hikma, 1993).,106 62 dengan pemahaman ulama‟ syi‟i bahwa anak zina tidak mempunyai hubungan nasab dengan ibu atau bapak zinanya, karena itu pula anak zina tidak bisa waris mewarisi dari kedua orang tuanya.80 Oleh karenanya untuk menghindari terjadinya diskriminasi yang diterima si anak maka pengadilan Agama dengan kewenangannya menyelesaikan permohonan penetapan asal usul anak. 3. Penetapan Asal Usul Anak di Pengadilan Agama Menurut hukum perdata yang berlaku di indonesia, penetapan asal usul anak dapat dilakukan dengan pengakuan secara sukarela dan pengakuan yang dipaksasakan. Pengakuan sukarela adalah pernyataan sebagaimana yang ditentukan dalam hukum perdata bahwa seorang ayah atau ibu atau ibunya mengakui seseorang anak yang lahir dari seorang ibunya itu betul anak hasil dari hubungan biologis mereka dan hubungan itu tidak dalam ikatan perkawinan yang sah, serta bukan karena hubungan zina dan sumbang. Sedangkan pengakuan yang dilaksanakan adalah pengakuan yang terjadi karena adanya putusan hakim dalam suatu gugatan asal usul seorang anak. Hal ini berkaitan dengan Pasal 287 Ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Perdata di mana disebutkan apabila terjadi salah satu kejahatan sebagaimana tersebut dalam Pasal 285-288, 294 atau 322 Kitab Undang-undang Hkum Pidana, maka atas kejahatan itu dapat diajukan kepengadilan. Berdasarkan bukti yang 80 Pelmizar Dt. Batungkek Ameh, Tes DNA Darah Sebagai Alat Bukti Penetapan Asal Usul Nak Di Pengadilan Agama, http://www.pta padang .go.id/data/artikel .di akses pada tanggal, 26 Juli2012, hal 1 63 kuat, hakim dapat menetapkan bahwa laki-laki yang berbuat jahat itu sebagai bapak yang sah dari seorang anak yang lahir dari perbuatan jahatnya.81 Anak yang lahir dari perbuatan zina dan sumbang tidak diperkenankan untuk diakui oleh orang yang berbuat zina, kecuali ada dispensasi dari prisiden sebagaimana diatur dalam Pasal 283 jo 273 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Berdasarkan ketentuan ini, maka anak zina dan anak sumbang tidak bisa dipaksakan pengakuannya kepada laki-laki yang membuahinya. Hal ini didasarkan kepada asas hukum perdata yang menentukan bahwa dalam hukum perkawinan harus dihormati ketentuan-ketentuan dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, diantaranya ada halangan bagi laki-laki untuk menikahi ibu si anak dan jika membenarkan pengakuan yang dipaksakan dalam peristiwa ini akan bertentangan dengan prinsip Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berlaku. Upaya hukum yang dapat ditempuh untuk memperkuat pengakuan asal usul anak, dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dijelaskan bahwa: 1) Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang authentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. 2) Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat. 81 Riana Kesuma Ayu,Penetapan Asal Usul Anak, http://websiteayu.com/artikel/penetapan-asalusul-anak-bag-1/, diakses pda tanggal 30 Jili 2012 64 3) Atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut ayat ini, maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akte kelahiran bagi anak yang bersangkutan. Untuk menentukan nasab seorang anak yang telah lahir dari pasangan laki-laki dan perempuan yang terjadi permasalahan, tidak serta merta langsung bisa terjadi, namun terlebih dahulu harus diajukan permohonan penetapan asal usul anak ke Pengadilan Agama. Setelah perkara itu disidangkan maka yang menjadi pedoman dalam menetapkan permohonan asal-usul anak itu dengan meneliti secara seksama akan bukti-bukti tertulis maupun saksi-saksi yang diajukan untuk mendukung permohonan asal usul anak . Setelah perkara permohonan asal usul anak itu masuk di Pengadilan Agama yang kemudian permohonannya diperiksa dengan digunakan salah satu diantaranya adalah pedoman yang pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan yang menyebutkan bahwa Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dan Penjelasan pasal ini menyebutkan bahwa dengan adanya perumusan pasal 2 ayat ( 1 ) itu maka tidak ada perkawainan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Dan yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan- ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan dengan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-Undang ini. Dengan demikian perkawinan mempunyai kaitan erat dengan agama masing- 65 masing calon suami isteri.82 Bagi yang beragama Islam maka hubungan hukum nikahnya harus di jalin dengan hukum perkawinan Islam. Dengan kata lain syarat dan rukun perkawinan menurut Islam harus dipenuhi. Dari 4 ( empat ) rukun nikah ini semuanya harus ada dan saksi – saksi harus mengetahui terjadinya peristiwa perkawinan yang telah melahirkan anak-anaknya yang dimintakan permohonan asal-usul anak. Disamping itu dalam pemeriksaan juga harus meneliti tentang sarat sahnya perkawinan yang merupakan dasar bagi sahnya perkawinan, karena apabila sayarat-syarat terpenuhi maka perkawinan itu sah dan menimbulkan adanya segala hak dan kewajiban sebagai suami isteri. Bilamana telah terbukti telah terjadinya perkawinan dengan dipenuhinya rukun dan sarat perkawinan , terutama pula terbukti telah terjadi akad nikah diantara Wanita ( wali ) dan laki-laki maka dalam pertimbangan juga merujuk fatwa ulama apa yang dimaksaud dengan Azzawaj al „urfy adalah pernikahan yang tidak tercatat sebuah sebagaimana mestinya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan apabila syarat dan rukun perkawinan itu telah terpenuhi dan tidak ditemukan adanya cacat formil maka perkawinan yang telah dilakukan telah memenuhi syarat untuk dikabulkannya artinya perkawinan yang dilakukan oleh orang tua anak yang dimohonkan penetapan asal usul anak beralasan untuk mendapatkan pencatatan, namun oleh karena bukti pencatatannya telah dimilki oleh orang tua si anak, maka pencatatan yang dikehendaki oleh pasal 2 ayat ( 2 ) 82 Neng Zubzidah, Pencatatan Perkawinan & Perkawinan Tidak Dicatatkan Menurut Hukum Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam.( Jakarta: Sinar Grafika, 2010), 107 66 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tidak perlu dilakukan, apa lagi tidak diperlukan untuk nikah ulang, hanya saja pemeriksaan itu merupakan langkah awal untuk memeriksa nasab yang akan diterapkan pada usia anak melalui pembuktian di dalam persidangan. Untuk menentukan dan menjaga asal-usul (nasab) seseorang, dalam pengertian , nasab seseorang hanya bisa dinisbahkan kepada kedua orang tuanya kalau ia dilahirkan dalam perkawinan yang sah.83 83 Amir Syarifuddin , Meretas Kebekuan Ijtihad- Isu-isu Penting Hukum Islam Kontemporer di Indonesia, (Jakarta ,Ciputat Press, 2002), 199.