BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum mengenai Perkawinan

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum mengenai Perkawinan
1. Perkawinan dalam Fiqh
a. Pengertian Perkawinan dalam Fiqh
Istilah perkawinan, dari sudut ilmu bahasa, perkataan perkawinan berasal
dari kata “kawin” yang merupakan terjemahan dari bahasa arab “nikah”. Di
samping kata nikah dalam bahasa arab lazim juga dipergunakan kata “ziwâj”
untuk maksud yang sama. Perkataan nikah mengandung 2 pengertian yaitu
dalam arti yang sebenarnya (haqiqat) dan arti kiasan (majaaz). Dalam pengertian
yang sebenarnya kata “nikah” itu berarti “berkumpul”, sedangkan dalam arti
kiasan berarti “akad” atau “mengadakan perjanjian perkawinan”.
Perkawinan dalam literatur fiqh berbahasa Arab disebut dengan dua kata,
yaitu nakâha (
) dan zawâja (
). Kata nakâha (
13
) banyak terdapat dalam
14
al-Qur‟an dengan arti kawin1, seperti dalam surat an-Nisa‟ ayat 3:
               
              
Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain)
yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan
dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu
miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.2
Demikian pula banyak terdapat kata zawâja (
) dalam al-Qur‟an
dalam arti kawin, seperti pada surat al-Ahzab ayat 37:
              
               
              
    
Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan
nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: "Tahanlah
terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu Menyembunyikan di
dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada
manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala
Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), Kami
kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk
(mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu
telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. dan adalah ketetapan Allah
itu pasti terjadi.3
1
QS. An-Nisaa‟ (4): 37.
QS. An-Nisaa‟ (4): 3.
3
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia; Antara Fiqh Munakahat dan UndangUndang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2009), 35-36.
2
15
Dalam arti terminologis dalam kitab-kitab terdapat beberapa rumusan yang
saling melengkapi. Perbedaan perumusan tersebut disebabkan oleh berbeda dalam
titik pendangan. Dalam ulama Syafi‟iyah rumusan yang biasa dipakai adalah:
“Akad atau perjanjian yang mengandung maksud membolehkan hubungan
kelamin dengan menggunakan lafadz na-ka-ha atau za-wa-ja.”
Hal yang telah disebutkan diatas melihat kepada hakikat dari akad itu bila
dihubungkan dengan kehidupan suami istri yang berlaku sesudahnya, yaitu boleh
bergaul sedangkan sebelum akad tersebut berlangsung diantara keduanya tidak
boleh bergaul.
Dikemukakan oleh ulama Hanafiyah, yaitu:
“Akad yang ditentukan untuk memberi hak kepada seorang laki-laki menikmati
kesenangan dengan seorang perempuan secara sengaja.”
Disebutkan kata
sebagai
mengandung arti yang sama dengan ungkapan
pasal
(differentium) pertama
dalam definisi golongan
Syafi‟iyah tersebut di atas, karena sebelum berlangsungnya akad nikah seorang
laki-laki tidak dapat menikmati kesenangan dengan seorang perempuan.
Sedangkan menurut istilah syara‟, Abu Yahya Zakaria al-Anshary
mendefinisikan bahwa nikah menurut istilah syara‟ ialah akad yang mengandung
16
ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafadz nikah atau dengan
kata-kata yang semakna dengannya.4
Dalam hal pengertian pernikahan ini, Muhammad Abu Ishrah memberikan
definisi yang lebih luas, yaitu akad yang memberikan faedah hukum kebolehan
mengadakan hubungan keluarga (suami istri) antara pria dan wanita dan
mengadakan tolong menolong dan memberi batas hak bagi pemiliknya serta
pemenuhan kewajiban bagi masing-masing.
Ulama kontemporer memperluas jangkauan definisi yang disebutkan
ulama terdahulu. Diantaranya sebagaimana yang Dr. Ahmad Ghandur sebutkan,
“Akad yang menimbulkan kebolehan bergaul antara laki-laki dan perempuan
dalam tuntutan naluri kemanusiaan dalam kehidupan, dan menjadikan untuk
kedua pihak secara timbale balik hak-hak dan kewajiban-kewajiban.5
Sedangkan, pengertian perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam
adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsasqan ghalizhan untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Dan
perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah, dan rahmah.6
Walaupun ada sedikit perbedaan pendapat tentang perumusan pengertian
perkawinan, tetapi dari semua rumusan yang dikemukakan ada satu unsur yang
4
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Jakarta: Kencana, 2006), 09
Amir Syarifuddin, Hukum,37-39.
6
Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Jakarta: PT Bumi aksara, 2000), 2-4.
5
17
merupakan kesamaan dari seluruh pendapat, yaitu bahwa nikah itu merupakan
suatu perjanjian perikatan antara seorang laki-laki dan seorang wanita. Perjanjian
disini bukan sembarang perjanjian seperti perjanjian jual beli atau sewa menyewa,
tetapi perjanjian dalam nikah adalah merupakan perjanjian suci untuk membentuk
keluarga antara seorang laki-laki dan seorang wanita. Suci di sini di lihat dari segi
keagamaan dari suatu perkawinan.
Dalam pembagian lapangan-lapangan Hukum Islam perkawinan adalah
termasuk dalam lapangan “Mu‟amalat” yaitu lapangan yang mengatur hubungan
antara manusia dalam kehidupannya di dunia ini. Hubungan antar manusia ini
dalam garis besarnya dapat dibagi dalam 3 bagian, yaitu:
a. Hubungan ke rumah tanggaan dan kekeluargaan.
b. Hubungan antar perseorangan di luar hubungan kekeluargaan dan rumah
tangga.
c. Hubungan antar bangsa dan kewarganegaraan.
Menurut pembagian di atas, maka perkawinan termasuk dalam nomor
(a), yaitu hubungan ke rumah tanggaan dan kekeluargaan.7
b. Dasar Hukum Perkawinan dalam Fiqh
Hukum asal dari perkawinan itu adalah mubah atau boleh. Namun dengan
melihat kepada sifatnya sebagai sunnah Allah dan Rasul, tentu tidak tidak
mungkin dikatakan bahwa hukum asal perkawinan itu hanya mubah. Dapat
dikatakan bahwa melangsungkan akad perkawinan dianjurkan agama dan dengan
7
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan (Yogyakarta: Liberty,
2004), 8-9
18
telah berlangsungnya akad perkawinan tersebut, maka pergaulan laki-laki dengan
perempuan menjadi mubah. Anjuran tersebut diantaraya terdapat dalam al-Qur;an
surat an-Nur ayat 32:
            
      
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang orang yang
layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba
sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka
dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha
mengetahui.8
Selain dalam al-Qur‟an juga terdapat dalam hadits Nabi dari Anas bin
Malik menurut riwayat Ahmad dan disahkan oleh Ibn Hibban, sabda Nabi yang
bunyinya:
“Telah bercerita kepadaku Ahmad Ibnu Ibrahim, telah bercerita kepadaku Yazid
Ibnu Harun, telah memberi kabar kepada kita Mustalim Ibnu Sa‟id Ibnu Ukhti
Manshur Ibnu Zadzana dari Manshur Ya‟ni Ibnu Zadzana dari Mu‟awiyah Ibnu
Qurah dari Ma‟qil Ibnu Yasar berkata telah datang seorang laki-laki pada Nabi
SAW dan berkata “ Sesungguhnya saya telah meminang seorang perempuan yang
mempunyai kemulyaan dan kecantikan tetapi dia tidak bisa memiliki anak
(mandul), apakah saya boleh menikahinya?”, nabi menjawab,”tidak” lalu dia
mengatakan kedua kalinya, nabi berkata,”Tidak”, kemudian dia berkata ketiga
kalinya, Nabi menjawab,”Kawinlah perempuan-perempuan pecinta lagi bisa
beranak banyak, karena sesungguhnya aku akan berbangga karena banyak kaum”.
8
9
QS. An-Nur (24): 32
Daud, Sunan II, 180
19
Ulama Syafi‟iyah secara rinci menyatakan hukum perkawinan itu dengan
melihat keadaan orang-orang tertentu, sebagai berikut:
1) Sunnah bagi orang-orang yang telah berkeinginnan untuk kawin, telah
pantas untuk kawin dan dia telah mempunyai perlengkapan untuk
melangsungkan perkawinan.
2) Makruh bagi orang-orang yang belum pantas untuk kawin, belum
berkeinginan untuk kawin, sedangkan perbekalan untuk perkawinan juga
belum ada. Begitu pula ia telah mempunyai perlengkapan untuk
perkawinan, namun fisiknya mengalami cacat, seperti impoten,
berpenyakitan tetap, tua Bangka, dan kekurangan fisik lainnya.
Ulama Hanafiyah menambahkan hukum secara khusus bagi keadaan dan
orang tertentu sebagai berikut:
1) Wajib bagi orang-orang yang telah pantas untuk kawin, berkeinginan
untuk kawin dan memiliki perlengkapan unntuk kawin, takut akan
terjerumus berbuat zina kalau ia tidak kawin.
2) Makruh bagi orang pada dasarnya mampu melakukan perkawinan namun
ia merasa akan berbuat curang dalam perkawinannya tersebut.
Ulama lain menambahkan hukum perkawinan secara khusus untuk
keadaan dan orang tertentu sebagai berikut:
1) Haram bagi orang-orang yang tidak akan dapat memenuhi ketentuan
syara‟ untuk melakukan perkawinan atau ia yakin perkawinan itu tidak
akan mencapai tujuan syara‟, sedangkan dai meyakini perkawinan itu
akan merusak kehidupan pasangannya.
20
2) Mubah bagi orang-orang yang pada dasarnya belum ada dorongan untuk
kawin dan perkawinan itu tidak akan mendatangkan kemudaratan apaapa kepada siapa pun.10
c. Rukun dan Syarat Perkawinan dalam Fiqh
Jumhur ulama‟ sepakat bahwa rukun perkawinan itu terdiri atas:11
1) Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan perkawinan.
2) Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita
3) Adanya dua orang saksi
4) Shigat akad nikah, yaitu ijab qabul yang diucapkan oleh wali atau
wakilnya dari pihak wanita, dan dijawab oleh calon pengantin lakilaki.
Mahar yang harus ada dalam perkawinan tidak termasuk ke dalam rukun,
karena mahar tersebut tidak mesti disebut dalam akad perkawinan dan tidak mesti
diserahkan pada waktu akad itu berlangsung. Dengan demikian, mahar itu
termasuk ke dalam syarat perkawinan.12
Adapun syarat-syarat perkawinan adalah sebagai berikut:
a. Syarat-syarat suami:
1. Bukan mahram dari calon istri;
2. Tidak terpaksa atas kemauan sendiri;
3. Orangnya tertentu, jelas orangnya;
4. Tidak sedang ihram.
10
Amir Syarifuddin, Hukum, 43-46.
Slamet, Munakahat II, 64
12
Amir Syarifuddin, Hukum, 61.
11
21
b. Syarat-syarat istri:
1. Tidak ada halangan syara‟, yaitu tidak bersuami, bukan mahram,
tidak sedang dalam iddah;
2. Merdeka, atas kemauan sendiri;
3. Jelas orangnya; dan
4. Tidak sedang berihram.
c. Syarat-syarat wali:
1. Laki-laki;
2. Baligh;
3. Waras akalnya;
4. Tidak dipaksa;
5. Adil; dan
6. Tidak sedang ihram. 13
d. Syarat-syarat saksi:
1. Laki-laki;
2. Baligh;
3. Waras akalnya;
4. Adil;
5. Dapat mendengar dan melihat;
6. Bebas, tidak dipaksa;
7. Tidak sedang mengerjakan ihram; dan
8. Memahami bahasa yang dipergunakan untuk ijab qabul.14
13
H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqh Munakahat: Kajian Fiqh Lengkap (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2009), 12
22
2. Perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
a. Pengertian Perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun
1974
Di dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 seperti yang termuat dalam
pasal 1 ayat 2 perkawinan didefinisikan sebagai:
“Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suamiistri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga dan bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.15
Karena itu perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan
agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur
lahir/jasmani, tetapi unsur batin/rohani juga mempunyai peranan yang
penting.
b. Prinsip-Prinsip Perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1
Tahun 1974
Menurut M. Yahya Harahap asas-asas yang dipandang cukup prinsip
dalam UU perkawinan adalah:
1) Undang-undang perkawinan menampung segala unsur-unsur ketentuan
hukum agama dan kepercayaan masing-masing.
2) Sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman, emansipasi wanita, di
samping perkembangan sosial ekonomi, IPTEK yang telah membawa
implikasi mobilitas sosial di segala lapangan hidup dan pemikiran.
14
Tihami, Munakah, 13-14.
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia; Studi Kritis
Perkembangan Hukum Islam dan Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2006),
42-43.
15
23
3) Tujuan perkainan adalah membentuk keluarga bahagia dan kekal.
4) Perkawinan harus dilakukan berdasarkan hukum agama dan kepercayaan
masing-masing.
5) Undang-undang perkawinan menganut asas monogamy akan tetapi tetap
terbuka peluang untuk melakukan poligami selama hukum agamanya
mengizinkannya.
6) Perkawinan dan pembentukan keluarga dilakukan oleh pribadi-pribadi
yang telah matang jiwa dan raganya.
7) Kedudukan suami istri dalam kehidupan keluarga adalah seimbang, baik
dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat.16
c. Syarat Perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
Dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat (1) ditegaskan
bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu.
Dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Bab II Pasal 6 terdapat
syarat-syarat perkawinan sebagai berikut:
1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum umur 21 tahun
harus mendapatkan izin kedua orang tua atau wali.
3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau
dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin
16
Tarigan, Hukum, 50-52.
24
dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang mampu
menyatakan kehendaknya.
4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan
tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari
wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan
keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke
atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan
kehendaknya.
5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam
ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang lebih di antara mereka
tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum
tempat
tinggalorang yang akan
melangsungkan
perkawinan
atas
permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah terlebih dahulu
mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini.
6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku
sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu dari yang
bersangkutan tidak menentukan lain.17
Pasal 7
a.
Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19
(Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umr 16 (enam
belas) tahun;
17
Tarigan, Hukum, 66-68.
25
b.
Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta
dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua
orang tua pihak pria maupun pihak wanita;
c.
Ketentuan-ketentuan ini mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang
tua tersebut dalam pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku
juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan
tidak mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6);
Pasal 8
Perkawinan dilarang antara dua orang yang:
a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;
b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara
saudara, antar seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan
saudara neneknya;
c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri;
d. Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan,
dan bibi/paman susuan;
e. Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenekan dari
isteri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang;
f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang
berlaku, dilarang kawin;
B. Tinjauan Umum Mengenai Putusnya Perkawinan
1. Putusnya Perkawinan Dalam Fiqih
26
a. Putusnya Perkawinan Karena Talak
Talak berasal dari kata Ath-Thalāq yang mempunyai arti melepaskan dan
meninggalkan suatu ikatan, yaitu suatu perceraian antara suami dan isteri atas
kehendak suami. Talak dalam Islam merupakan jalan keluar (solusi) yang akan
ditempuh suami isteri dalam mengakhiri berbagai kemelut persoalan rumah
tangga.18
Talak menurut Muhammad Rawwas Qal‟ahji adalah:
“Talak adalah melepaskan ikatan nikah”.19
Talak menurut Syeikh Sayyid Sabiq adalah
“Melepaskan ikatan perkawinan dan mengakhiri hubungan suami isteri”.20
Sedangkan menurut Soemiyati, talak dalam istilah fiqh mempunyai 2 (dua)
arti, yaitu arti yang umum dan arti yang khusus. Talak menurut arti yang umum
adalah segala macam bentuk perceraian, baik yang dijatuhkan oleh suami,
putusan Hakim
maupun yang jatuh dengan sendirinya atau meninggalnya
salah satu dari suami isteri. Sedangkan menurut arti khusus adalah talak yang
dijatuhkan oleh suami kepada isterinya. 21
18
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam , h. Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi
Hukum
Islam, (Jakarta : Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1996)1776
19
Muhammad Rawwas Qal‟ahji, Ensiklopedi Fiqih Umar bin Khathab r.a., (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1999), 598
20
Muhammad, Ensiklopedi, 598
21
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, (Yokyakarta: Liberty,
1997), 104.
27
Di dalam buku Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan bahwa talak
adalah ikrar suami di hadapan siding pengadilan agama yang menjadi salah satu
sebab putusan perkawinan.22
Dari beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa talak adalah
melepaskan tali perkawinan yang dijatuhkan suami kepada istrinyadengan
menggunakan lafal talak dan semisalnya sehingga istri tidak halal lagi baginya
setelah ditalak.
Adapun dasar hukum talak adalah Firman Allah SWT, dalam surat alBaqarah ayat 229-230 sebagai berikut:
       
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara
yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.”23
          
“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka
perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang
lain.”24
Hadits Rasulullah SAW antara lain:
)‫عن ابن عمر رضى هللا عنهما انه لما طلق امرأته قال النبىو صز مز لعمر مرة فليراجعا (متفق عليه‬
“Dari Umar ra, sesungguhnya tatkala beliau mentalak istrinya, lalu Nabi SAW
berkata kepada Umar ra: Suruhlah dia agar dia kembali kepada istrinya.”
(Muttafaq Alaih)25
22
Depag RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam, 1999/2000), 57.
23
QS. Al-Baarah (2): 229.
24
QS. Al-Baarah (2): 230
28
26
“Telah bercerita banyak kepadaku Ibnu Ubaid, telah bercerita kepadaku
Muhammad Bin Khalid dari Mu‟araf Ibnu Washil dari Muharib Ibnu ditsar dari
Ibnu Umar dari Nabi SAW telah bersabda sesungguhnya yang halal yang amat
dibenci Allah Ta‟alah adalah thalak”.
Perkawinan pada hakikatnya merupakan anugerah tuhan yang patut kita
syukuri, dan dengan bercerai berarti tidak menyusukuri dan dengan bercerai
berarti tidak mensukuri anugrah tersebut.27 Namun talak sendiri termasuk perkara
yang halal, tapi sangat dibenci oleh Allah.
Talak bisa jatuh, jika suami yang mengucapkan kata talak kepada isrinya.
Mengapa yang berhak untuk menjatuhkan
talak itu suami / laki-laki karena
dasarkan firman Allah SWT :
        
“Hai Nabi, apabila kami menceriakan istri-istrimu, maka ceraikanlah mereka
pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar).” 28
Dari firman Allah diatas, jelaslah bahwa laki-laki / suami yang berhak
untuk menjatuhkan talak kepada istri, karena rupanya laki-laklah yang sebenarnya
lebih menginginkan langgengnya rumah tangga jika dibandingkan dengan wanita
pada saat terjadinya kemelut keluarga.
25
As-Shan‟ani, Subul al-Salam III, diterjemahkan Abu Bakar Muhammad (Surabaya: Al-Ikias,
1995) 657.
26
Abi Daud Sulaiman, Sunan Abi Daud Juz II, (Riyadh: Darussalam, 1999), 225
27
Drs, Toto Abrurrrahman, Fiqih (Jakarta: Direktorat Depag, 2002), 69
28
QS. Ath-thalaaq (65): 1
29
Pada dasarnya terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai
hukum asal talak, sebagian mengatakan bahwa hukum asal talakadalah dilarang
(haram), sehingga ditemukan (ada) kebutuhan kepadanya ataudengan kata lain
hukum talak adalah boleh, apabila ada alasan-alasan yang dapat dibenarkan. Hal
ini berdasarkan pada ayat al-Quran, hadits, dan ijma‟.
Adapun hukum talak menurut Jumhur Ulama‟ adalah:
a. Talak yang diharamkan yaitu talak yang tidak diperlukan, talak ini
dihukumi haram kaerna akan merugikan suami dan istri dan tidak
ada manfaatnya.29
b. Talak menjadi sunnah hukumnya apabila istri mengabaikan
kewajibannya terhadap Allah, misalnya meninggalkan sholat fardhu
atau semacamnya, sedangkan suami sudah sering memperingatkan.
c. Talak yang menjadi wajib hukumnya jika terjadi perselisihan
ataupun percekcokn antara suami dan istri yang sudah sangat berat,
dan pihak hakim menilai bahwa jalan terbaik untuk menghentikan
perselisihan adalah dengan cara talak.30
Talak itu mempunyai persyaratan dan talak itu sendiri adalah jalan terakhir
untuk berpisah dalam kehidupan bersuami istri, apabila sudah tidak ada lagi
harapan untuk rukun. Dahulu melakukan perceraian itu dibutuhkan 3 syarat yaitu
a. Yang berkaitan dengan pihak pentalak (suami)
b. Yang berkaitan dengan pihak di talak (istri)
29
30
Alhamdani, Risalah nikah (Bandung: Pustaka Amani, 1989), 176
Toto, Fiqih, 69
30
c. Sighat talak31
Bagi suami yang hendak mentalak istrinya ia harus orang yang
berakal, baliqh dan bukan karena dipaksa oleh pihak lain
Sedangkan talak ditinjau dari segi boleh tidaknya suami rujuk,
dibagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu :
1) Talak raj‟i, yaitu talak di mana suami masih memiliki hak untuk
kembali kepada isterinya (rujuk) sepanjang isterinya tersebut masih
dalam masa iddah, baik isteri tersebut bersedia dirujuk maupun
tidak.32
2) Talak ba‟in, yaitu talak di mana suami tidak memiliki hak untuk
merujuk isteri yang telah ditalaknya.
b. Putusnya Perkawinan Karena Khulu’
Pengertian khulu‟ menurut bahasa, kata khulu‟ dibaca dhammah huruf kho
yang bertitik dan sukun lam dari kata khila‟ dengan dibaca fathah artinya naza‟
(mencabut).33 Khulu‟ ialah penyerahan harta yang dilakukan oleh istri untuk
menebus dirinya dari (ikatan) suaminya.34 Istilah lain khulu‟ adalah tebusan.
Karena istri menebus dirinya dari suaminya dengan mengembalikan apa yang
pernah dia terima. Khulu‟ dalam pandangan ulama di bidang fikih adalah istri
yang memisahkan diri dari suaminya dengan memberikan sesuatu kepadanya.35
31
Slamet, Munakahat II, 55
M. Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, diterjemahkan Masykur A. B, Lentera, Jakarta,
1996.45
33
Abdul Aziz, Fiqh Munakahat,( Jakarta: Amzah, 2009), 297
34
Muhammad, Fiqih,456
35
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid 4, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2009),77
32
31
Sedangkan menurut pengertian syari‟at, para Ulama mengatakan dalam
banyak defenisi, yang semuanya kembali kepada pengertian, bahwasanya AlKhulu ialah terjadinya perpisahan (perceraian) antara sepasang suami-isteri
dengan keridhaan dari keduanya dan dengan pembayaran diserahkan isteri kepada
suaminya. Adapaun Syaikh Al-Bassam berpendapat, Al-Khulu ialah “Perceraian
suami-isteri dengan pembayaran yang diambil suami dari isterinya, atau
selainnya dengan lafazh yang khusus”
Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 229 yang berbunyi:
36
“Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan
kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan
hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak
dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya
tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya”. (Al-Baqarah :
229).
Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa Islam memperbolehkan seorang isteri
yang ingin melepaskan diri dari ikatan perkawinan dengan jalan khuluk apabila ada
faktor-faktor yang menyebabkan, seperti suami memiliki cacat fisik atau tidak dapat
memenuhi kewajibannya, seperti menggauli isterinya dengan baik.37
Adapun khulu‟dapat dipandang syah dan jatuh akan hukumnya jika memenuhi
syarat dab rukunnya. Rukun khulu‟ ada empat38, yaitu :
1. Suami
36
QS. Al-Baarah (2): 229.
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 8, diterjemahkan Moh. Thalib (Bandung:Al-Ma‟arif, 1990), 107.
38
Abdul, Fiqh, 300.
37
32
Syarat suami sah talaknya yaitu baligh, berakal, dan berdsarkan
pilihan sendiri sebagaiman keterangan dalam talak. Demikian itu karena
khulu‟ juga talak, suami menjadi rukun bukan syarat. Suami yang sah
talaknya merupakan syarat dalam diri suami. Khulu‟ tidak sah dari suami
yang masih anak kecil, suami gila, dan terpaksa, sperti talak mereka.39
Seluruh mazhab, kecuali Hambali, sepakat bahwa baligh dan berakal
merupakan syarat yang wajib dipenuhi oleh laki-laki yang melakukan
khulu‟. Sedang Hambali mengatakan : Khulu‟ sebagaimana halnya dengan
talak, dianggap sah bila dilakukan oleh orang yang mumayyiz (telah
mengerti sekalipun belum baligh).40
2. Istri
Bagi isteri yang hendak mengKhulu‟' disyaratkan hal-hal berikut:
a. Hendaknya dia itu adalah isterinya yang sah secara syar'i. Hal ini karena
Khulu‟ bertujuan untuk mengkahiri ikatan pernikahan, maksudnya posisinya
sebagai isteri. Ikatan ini baru dapat pudar manakala dihasilkan dari
pernikahan yang sah. Apabila dari pernikahan yang tidak sah, maka si isteri
tidak ada hak untuk mengajukan Khulu‟.
b. Isteri yang mengajukan Khulu' hendaknya orang yang dipandang sah untuk
melaksanakan tasharruf (penggunaan) harta juga dipandang sah untuk
berderma. Hal ini dengan melihat wanita tersebut sudah baligah, berakal dan
dapat dipercaya.
39
40
Abdul, Fiqh,. 301.
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab,( Jakarta, Lentera, 2006,), 462.
33
3. Iwadh (Pengganti Khulu‟)
Khulu‟ sebagaimana keterangan di atas menghilangkan kepemilikan
nikah dengan penggantian/imbalan materi. Imbalan ini bagian yang pokok
dari makna khulu‟. Jika tidak dicapai pengganti maka tidak dicapai pula
khulu‟. Jika seorang suami berkata kepada istrinya: “Aku khulu‟ kepada
engkau” dan dia diam maka demikian itu tidak mencapai khulu‟. Jika ia
berniat talak, menjadi talak raj‟i dan jika tidak berniat maka sesuatu tidak
terjadi apa-apa karena menggunakan lafal sindiran memerlukan niat.41
Mazhab Syafi‟iyah berpendapat bahwa khulu‟ boleh dilakukan
dengan mengembalikan semua mahar yang diterima pada saat akad nikah,
mengembalikan sebagiannya, atau membayar dengan harta selain mahar,
baik nilainya kurang dari nilai mahar yang diterima atau lebih. Khulu‟ juga
boleh dilakukan dengan mengembalikan mahar secara tunai, dihutang atau
ditunda.42 Kesimpulannya, semua yang dapat dijadikan sebagai mahar boleh
dijadikan pembayaran khulu‟ berdasarkan keumuman firman Allah swt yang
berarti: “Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang
diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.” (Q.S. Al-Baqarah : 229).43
41
Abdul, Fiqh, 304
Sayyid, Fiqih 4, 81
43
Sayyid, Fiqih 4, 82
42
34
4. Shighat
Mazhab empat memperbolehkan khulu‟ dengan menggunakan
redaksi yang jelas, misalnya khulu‟ dan fasakh, maupun dengan redaksi
kiasan (kinayah) semisal, “saya lepas dan jauhkan engkau dari sisiku.”44
Ulama
dibidang
fikih
berpendapat,
bahwa
khulu‟
harus
menggunakan kata khulu‟ atau redaksi yang merupakan turunan dari kata
khulu‟. Khulu‟ juga boleh dilakukan dengan menggunakan redaksi yang lain
tapi memiliki makna yang sama dengan khulu‟, seperti al-mubara‟ah
(melepaskan diri) dan fidyah (menebus diri). Jika tidak menggunakan kata
khulu‟ atau kata lain yang memilki arti sama, semisal, suami berkata kepada
istrinya, “Engkau ditalak dengan wajib membayar uang seratus ribu,” lalu
istri menerima, maka hal semacam ini dinggap talak, bukan khulu‟.45
Isteri yang mengajukan Khulu‟ hendaknya orang yang dipandang
sah untuk melaksanakan tasharruf (penggunaan) harta juga dipandang sah
untuk berderma. Hal ini dengan melihat wanita tersebut sudah baligah,
berakal dan dapat dipercaya.
Adapun akibat hukum dari khulu‟ mayoritas para ulama, diantaranya adalah
imam mazhab yang empat berpendapat bahwa jika suami mengizinkan khulu‟
kepada istrinya, berarti istri memiliki kuasa terhadap dirinya dan urusan talak
sepenuhnya berada pada dirinya. Disamping itu, suamai tidak mempunyai
kesempatan lagi untuk merujuk istrinya. Karena istritelah mengeluarkan hartanya
untuk melepaskan dirinya dari ikatan perkawinan. Jika suami tetap dianggap
44
45
Muhammad, Fiqih, 462
Sayyid, Fiqih 4, 79.
35
mempunyai hak rujuk, tentu tebusan istri yang diberikan kepada suaminya tidak
memiliki makna apapun. Sekalipun mantan istri yang mengajukan khulu‟
mengembalikan kembali pembayaran tebusan istri setelah khulu‟ dijatuhkan dan
mantan istri mau menerimanya, namun mantan suami tetap tidak berhak rujuk
meskipun istri masih dalam masa iddah. Sebab, dengan khulu‟, berarti mantan
istrinya dianggap telah dijatuhi talak ba‟in.46
Imam malik berpendapat bahwa khulu‟ itu tidak dapat diikuti dengan talak,
kecuali jika pembicaraannya bersambung. Sedang Imam Abu Hanifah
mengatakan bahwa dapat diikuti tanpa memisah-misahkan antara penentuan
waktunya, yaitu dilakukan dengan segera atau tidak.47
Persoalan lainnya ialah, jumhur ulama telah sepakat bahwa suami yang
menjatuhkan khulu‟ tidak dapat merujuk mantan istrinya pada masa iddah, kecuali
pendapat yang diriwayatkan dari sa‟id bin al-Musayyad dan Ibnu Syihab,
keduanya mengatakan bahwa apabila suami mengembalikan tebusan yang telah
diambil dari istrinya, maka ia dapat mempersaksikan rujuknya itu.48
c. Putusnya Perkawinan Karena Fasakh
Fasakh artinya putus atau batal,49 sedangkan dalam arti luas, fasakh adalah
rusak atau tidak sahnya perkawinan kerena tidak memenuhi salah satu syarat atau
diharamkan oleh agama.50 Fasakh artinya merusak atau melepaskan ikatan
46
Sayyid, Fiqih 4, 87.
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: kencana, 2008), 274.
48
Abdul,Munakahah. 274-275.
49
Slamet Abidin dan Aminuddin 1999. Fiqh Munakahat. (Bandung : CV. Pustaka Setia, 1990),73.
50
Tihami, Munakahat, 195.
47
36
perkawinan. Fasakh dapat terjadi karena sebab yang berkenaan akad (sah atau
tidaknya) atau dengan sebab yang datang setelah berlakunya akad.
Hal-hal yang bisa dijadikan memfasakh aqad nikah berkisar pada dua
kelompok sebab. Ada sesab yang diketahui setelah aqad terjadi padahal
sebenarnya telah ada sebelum aqad, dan ada sebab yang terjadi kemudian yakni
muncul setelah aqad.
Untuk sebab yang pertama disebut, diketahui setelah aqad, contohnya
seumpama tiba-tiba terungkap bukti secara kuat bahwa antara mereka yang
berakad sebagai suami istri itu adalah saudara susu haram saling menikah, atau si
istri ketikaaqad berlangsung masih dalam masa iddah, masih ada ikatan
perkawinan dengan suami lain dan sebagainya.
Sedangkan untuk sebab kedua contohnya salah satu pihak mengubah
agamanya, karena murtad ke dalam iman yang diharamkan kawin, maka putus
atau batal ikatan perkawinannya. Baik pihak yang satu menerima (ridha) dengan
kenyataannya atau tidak. Mengenai sebab merasa tertipu oleh salah satu pihak
yang berakad maka data memohon ke pengadilan karena terdapat hal-hal yang
tidak mungkin mendatangkan ketetraman dalam rumah tangga. 51
Adapun akibat hukum dari fasakh adalah istri yang dicerai dengan
keputusan pengadilan tidak dapat dirujuk oleh bekas suaminya, yang
menghendaki untuk membina rumah tangga kembali setelah habis masa iddahnya,
kalau suami menghendaki kembali kepadanya, maka harus dengan nikah lagi
dengan akad yang baru. Fasakh tidak mengurangi bilangan talak yang menjadi
51
Ahmad Kuzari, nikah sebagai perikatan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,1995), 131.
37
pihak suami, artinya bila mereka terikat terikat perkawinan kembali maka
kesempatan talak terbilang tiga di luar cerai fasakh tersebut.52
Akibat hukum perceraian yang diakibatkan fasakh yang lain, jika
pemisahan itu terjadi sebelum terjadi hubugan suami istri, maka tidak ada mahar
bagi istri. Apakah pemisalah itu dari pihak suami atau pihak istri, sebab jika
fasakh itu dari pihak istri maka haknya gugur dan jika pemisahan itu datang dari
pihak suami dan hal itu di sebabkan cacat yang di sembunyikan oleh istri terhadap
suaminya maka ia tidak berhak mendapatkan mahar. Namun jika pemisahan
dilakukan sesudah terjadi hubungan suami istri maka ia berhak mendapatkan
mahar dan pemisahan dilakukan oleh hakim (pengadilan) Dan seorang suami
tidak boleh dengan sengaja berlaku buruk di dalam mempergauli istrinyadengan
maksud agara istri menyerahkan harta (mahar) nya kepada suami sebagai ganti
rugi atas permintaannya.
2. Putusnya Perkawinan Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
a.
Pengertian Putusnya Perkawinan Menurut Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974
Perceraian berasal dari kata dasar cerai, yang berarti putus hubungan
sebagai suami isteri dan perceraian menurut bahasa adalah perpisahan antara suami
dan isterinya.53 Perceraian adalah cerai hidup antara pasangan suami istri sebagai
akibat dari kegagalan mereka menjalankan obligasi peran masing-masing. Dalam
hal ini perceraian dilihat sebagai akhir dari suatu ketidakstabilan perkawinan
52
53
Slamet Abiddin, Fiqih Munakahat II ,( Bandung : Pustaka setia, 1999), 73.
Departeman Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jkarta: Balai Pustaka,
1993). 164
38
dimana pasangan suami istri kemudian hidup terpisah dan secara resmi diakui
oleh hukum yang berlaku.
Pasal 38 dalam UU nomor 1 tahun 1974, yang berbunyi “Perkawinan
dapat putus karena :
a. Kematian,
b. Perceraian dan
c. Atas keputusan Pengadilan.”
Menjelaskan bahwa putusnya perkawinan dapat terjadi karena:
1.
Kematian
Putusnya perkawinan karena kematian adalah putusnya perkawinan
karena matinya salah satu pihak ( suami/istri ). Sejak saat matinya salah satu
pihak itulah putusnya perkawinan itu terjadi. Demi kepastian hukum, surat
keterangan yang berisi tentang matinya seseorang ini agaknya sangat penting
bagi seseorang yang telah kematian suami/ istri, sebagai bukti otentik.
2. Perceraian
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan, setelah
pengadilan yang bersangkutan berusaha mendamaikan kedua belah pihak.
Perceraian harus dilakukan melalui proses persidangan untuk menghindarkan
tindakan sewenang-wenang, terutama dari pihak suami dan juga demi
kepastian hukum, maka perceraian harus melalui lembaga pengadilan.
3. Atas putusan pengadilan
Putusnya perkawinan karena keputusan pengadilan dapat terjadi karena
pembatalan perkawinan/ karena peceraian. Adanya putusan pengadilan adalah
39
sebagai penyelesaian dari gugatan perceraian yang diatur dalam Pasal 20 PP
nomor 9/1975. Putusnya Perkawinan Menurut UU No.1 Tahun 1974.
b. Prosedur Putusnya Perkawinan Menurut UU No.1 Tahun 1974
Dalam pasal 39 UU No 1 Tahun 1974 dan pasal 110 komplikasi hukum
Islam disebutkan tentang alasan-alasan yang diajukan oleh suami atau istri untuk
menjatuhkan talak atau gugatan perceraian ke pengadilan. Alasan-alasan itu
adalah sebagai berikut :
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi
dan lain sebagainya yang sulit disembuhkan.
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturutberturut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal
lain di luar kemampuannya.
3. Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain.
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.
6. Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
7. Suami melanggar Ta‟lik Talak.
40
Jika telah memiliki alasan yang sesuai dengan alasan-alasan perceraian,
maka langkah selanjutnya adalah mengenai prosedur perceraian. Sesuai dengan
ketentuan pasal 39 ayat 1 UU nomor 1 tahun 1974. Perceraian hanya dapat
dilakukan di depan sidang pengadilan, setelah pengadilan yang bersangkutan
berusaha dan tidak berhasil mendapaikan kedua belah pihak.
Tata cara perceraian di muka Pengadilan diatur dalam Bab V PP nomor
9/1975 dan pasal 14-36. Dari PP tersebut perceraian tersebut menjadi dua macam,
yaitu cerai talak dan cerai gugat.
a.
Cerai talak
Cerai talak ini hanya khusus bagi yang beragama Islam, sebagaimana yang
disebutkan dalam pasal 14 PP nomor 9 tahun 1975.
1.
Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama
Islam, boleh menceraikan istrinya dengan mengajukan surat kepada
pengadilan agama ditempat tinggalnya yang berisi pemberitahuan secara
tertulis kepada pengadilan ditempat tinggalnya yang berisi pemberitahuan
bahwa ia bermaksud menceriakan istrinya disertai dengan alasan-alasan
serta meminta pengadilan agar disidangkan.
2.
Setelah surat pengajuan diserahkan kepada pengadilan, maka selambatlambatnya 30 hari setelah penerimaan surat itu, pengadilan akan
memanggil suami dan istri yang akan bercerai untuk meminta penjelasan.
3.
Setelah pengadilan mendapatken penjelasakan, jika memang ada alasanalasan perceraian dan tidak memungkinkan untuk didamaikan maka
pengadilan akan mengadakan sidang untuk menyaksikan perceraian.
41
4.
Sesaat setelah menyaksikan perceraian ketua pengadilan membuat surat
keterangan tentang terjadinya perceraian.
5.
Surat keterangan tersebut dikirim kepada pegawai pencatatan ditempat itu
terjadi untuk diadakan pencatatan perceraian.
6.
Perceraian terhitung pada saat perceraian dinyatakan di depan sidang.
b. Cerai gugat
Cerai gugat adalah perceraian yang disebabkan oleh adanya suatu
gugatan lebih dahulu oleh salah satu pihak kepada pengadilan dan
dengan suatu putusan pengadilan. PP nomor 9/1975 dalam pasal 20
menjelaskan bahwa, gugatan perceraian dapat dilakukan oleh seorang
istri yang melangsungkan perkawinan menurut Islam dan kepercayaan
lainnya. Tata cara gugatan perceraian secara rinci diatur dalam pasal 10 –
36 PP nomor 9/1975, dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Pengajuan gugatan,
Pengajuan dilakukan berdasarkan alasan-alasan perecaraian yang
termuat dalam UU nomor 1/1975 dan pasal 19 PP nomor 9/1975.
Gugatan dapat dilakukan suami/istri kepada pengadilan setempat. Dalam
hal tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak
mempunyai kediaman, gugatan diajukan kepada pengadilan di tempat
kediaman pengugat.
42
2. Pemanggilan.
Pemanggilan terhadap para pihak/ kuasanya dilakukan setiap kali
akan diadakan persidangan melalui juru sita untuk hadir pada sidang
yang tlah ditentukan. Selambat- lambatnya tiga puluh hari setelah
pengadilan menerima berkas perkara dengan memperhatikan tanggal
waktu panggilan, maka pengadilan harus sudah mulai memeriksa
permohonan perceraian tersebut, sedangkan untuk tergugat yang berada
di luar negeri batas waktunya mencapai 6 bulan. Pemanggilan harus
disampaikan kepada pribadi yang bersangkutan.
Apabila tidak dapat dijumpai, pemanggilan disampaikan melalui
surat atau dipersamakan dengannya. Dalam hal tempat kediaman tergugat
tidak jelas atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap,
pemanggilan dilakukan dengan cara menempelkan gugatan pada papan
pengumuman di pengadilan dan mengumumkan di beberapa surat kabat
yang ditetapkan oleh pengadilan sebanyak dua kali dengan tenggang
waktu satu bulan antara pengumuman yang pertama dan kedua.
3. Persidangan
Persidangan dilakukan untuk memeriksa gugatan perceraian harus
dilakukan oleh pengadilan selambat – lambatnya 30 hari setelah
diterimanya surat gugatan di kepanitraan.
Pasal 30 PP nomor 9/1975 menjelaskan lebih lanjut bahwa suami
dan istri dapat datang sendiri/ diwakili oleh kuasanya. Surat-surat yang
diperlukan harus dilengkapi dan dibawa, misalnya surat kawin, surat
43
jawaban gugatan dan surat-surat lain yang penting berkenaan dengan
perkara yang akan dilakukan secara tertutup.
4. Perdamaian
Ketika
memeriksa
gugatan,
hakim
berkewajiban
untuk
mendamaikan pihak suami istri sebelum melanjutkan perisdangan. Jika
tidak dapat didamaikan, maka proses peridangan dilanjutkan hingga
menunggu putusan pengadilan
5. Putusan
Putusan ini dilakukan dalam sidang tertutup. Satu putusan
memungkinkan untuk tidak dihadiri oleh pihak yang bersangkutan.
Selama proses pemeriksaan masih berjalan istri dapat meminta
kepada pengadilan berupa beberapa penetapan, seperti:
a. Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami.
b. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan
pendidikan anak.
c. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin barang-barang yang
menjadi hak istri.
c. Akibat Hukum Putusnya Perkawinan Menurut UU No.1 Tahun 1974
UU nomor 1/1974 menjelaskan mengenai kaibat-akibat putusnya
perkawinan karena perceraian, hal ini diatur dlam pasal 41.
1. Akibat terhadap suami istri
44
Setelah perceraian terjadi, maka ikatan perkawinanan antara suami
istri menjadi putus. Dan kedudukan mereka terpisah secara sendiri-diri.
Dengan demikian mereka dilarang untuk mengadakan hubungan seksual
sebagaimana hubungan suami istri. Sedangkan kewaiban mmeberikan nafkah
kepada mantan istri bersifat fakultatip artinya boleh atau dapat.
2. Akibat terhadap anak-anak
Meskipun tlah bercerai anak tetap akan menjadi tanggungan mereka
berua (suami dan istri). Pasal 41 yat 1 dan 2 UU nomor 1/1974 menjelaskan
lebih lanjut mengenai tanggung jawab ini.
a. Baik ibu dan ayah tetap berkewajiban memelihara dan mendiidk anakanaknya
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan.
3. Akibat terhadap harta benda
Harta benda yang harus diperhitungkan akibat adanya perceraian adalah
harta bersama. J Satrio menjelaskan apa saja yang masuk dalam harta bersama
sebagai berikut:
a. Hasil dan pendapatan suami
b. Hasil dan pendapatan istri
c. Hasil dan pendapatan dari harta pribadi suami maupun istri asal kesemuanya
diperoleh sepanjang perkawinan.
45
Terhadap harta bersama tersebut suami dan istri dapat bertindak
atas persetujuan kedua belah pihak dan harta bawaan masing-masing suami
istri menjadi hak mereka masing-masing. 54
C. Tinjauan Umum Mengenai Metode Ijtihad Hakim
1. Metode ijtihad Hakim
“Ijtihad ialah mencurahkan segala kemampuan dalam mencapai hukum syara‟
dengan cara istinbath (menyelidiki dan mengambil kesimpulan hukum yang
terkandung) pada Alquran dan sunah”55
Orang-orang yang mampu berijtihad disebut mujtahid. Agar ijtihadnya dapat
dipertanggungjawabkan, seorang mujtahid harus memenuhi beberapa persyaratan,
antara lain; (a) bersifat adil dan takwa, (b) menguasai bahasa Arab dan cabangcabangnya, ilmu tafsir, ushul fiqih, dan „ulumul hadits. Ilmu-ilmu tersebut
diperlukan untuk meneliti dan memahami makna-makna lafal dan maksudmaksud ungkapan dalam Alquran dan sunah.
Adapun macam-macam metode ijtihad adalah sebagai berikut:
a. Ijma‟
Menurut istilah Ahli Ushul, Ijma‟ adalah “kesepakatan para imam
mujtahid diantara umat Islam pada suatu masa setelah Rasulullah wafat,
terhadap hukum syara‟ tentang suatu masalah atau kejadian”.56
54
55
Slamet, Munakah, 68
Amir Syarifuddin,Ushul Fiqh II,(Jakarta: Kencana, 2009), 237
46
Adapun unsur-unsur Ijma‟ adalah
1) Adanya sejumlah mujtahid ketika terjadinya suatu peristiwa lantaran
kesepakatan tidak mungkin terjadi tanpa adanya beberapa pandangan atau
pendapat yang masing-masing terdapat kesesuaian.
2) Bila ada kesepakatan para mujtahid dikalangan umat Islam terhadap hukum
syara‟ tentang suatu hukum masalah atau kejadian pada saat terjadinya, maka
tidak memandang negeri, bangsa dan kelompok.
3) Kesepakatan semua mujtahid itu dapat diwujudkan dalam suatu hukum.
Adapun macam-macamnya ijma adalah sebagai berikut
a. Ijma‟ dilihat dari segi melakukan ijtihad, yaitu ada bagian:
1) Ijma‟ Sharih adalah kesepakatan para mujtahid pada suatu waktu terhadap
hukum suatu kejadian dengan menyajikan pendapat masing-masing secara
jelas yang dilakukan dengan cara memberi fatwa atau memberi keputusan.
2) Ijma‟ Sukuty adalah sebagian mujtahid pada suatu waktu mengemukakan
pendapatnya secara jelas terhadap suatu kejadian yang dilakukan dengan cara
memberi fatwa atau memberi keputusan, dan mujtahid lainnya tidak
menanggapi pendapat tersebut dalam hal persesuaiannya atau perbedaannya.
b. Ditinjau dari segi qath‟i atau zhanni adalah hukumnya bagi ijma‟ ada dua
macam;
1) Ijma‟ qath‟i adalah hukum ijma‟ sharih, hukumnya telah dipastikan dan tak
ada jalan lain untuk mengeluarkan hukum yang bertentangan, serta tidak
56
Amir Syarifuddin,Ushul Fiqh I,(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 112
47
boleh mengadakan ijtihad terhadap hukum syara‟ mengenai suatu kejadian
setelah adanya ijma sharih.
2) Ijma‟ zhanni adalah ijma‟ sukuty, hukumnya diduga berdasarkan dugaan kuat
mengenai suatu kejadian, oleh sebab itu masih memungkinkan adanya ijtihad.
Sebab, hasil ijtihad bukan merupakan pendapat seluruh mujtahid.
b. Qiyas
Qiyas menurut ulama ushul adalah menyamakan suatu kejadian yang
tidak ada nash kepada kejadian lain yang ada nashnya pada nash hukum yang
telah menetapkan lantaran adanya kesamaaan antara dua kejadian itu dalam
illat (sebab terjadinya) hukumnya.57
Jumhur ulama‟ berpendapat bahwa qiyas adalah hujjah syar‟iyyah
terhadap
hukum-hukum
syara‟
tentang
tindakan
manusia.
Al-qiyas
menempati urutan keempat diantara hujjah syar‟iyyah yang ada dengan
catatan, jika tidak dijumpai hukum atas kejadian itu berdasar nash atau ijma‟.
Orang Mutsabitu‟i qiyas adalah orang-orang yang menetapkan qiyas,
berdasarkan pada dalil Al-Qur‟an, As-Sunnah, perkataan dan perbuatan para
sahabat dan lain-lain yang rasional. Ayat Al-Qur‟an yang mereka gunakan
sebagai dalil salah satunya yaitu surat Al-Hasyr ayat 2:
Kemudian, mereka juga mengambil landasan Al-Sunnah, hal itu
terdapat dua riwayat; pertama, hadits Muadz bin Jabal.Kedua, berdasarkan
ketentuan Al-Sunnah yang shahih, ketika Rasulallah dihadapkan berbagai
persoalan atau kejadian dan ketika itu wahyu belum member penjelasan,
57
Amir, Ushul I,144
48
Rasulullah pun mengambil dalil tentang hukum kejadian tersebut dengan
jalan qiyas.
Adapun rukun Qiyas menutut Jumhur adalah:
1. Al-Ashl adalah sesuatu yang hukumnya terdapat dalam nash.
2. Al-Far‟u adalah sesuatu yang hukumnya tidak terdapat didalam nash, dan
hukumnya disamakan kepada Al-Ashl.
3. Hukmu‟l-Ashl adalah hukum syara‟ yang terdapat nashnya menurut al-Ashl ,
dan dipakai sebagai hukum asal bagi cabang (al-far‟u).
4. Al-Illat adalah keadaan tertentu yang dipakai sebagai bagi hukum ashl (asal),
kemudian cabang (al-far‟u) itu disamakan kepada asal dalam hal hukumnya.
c. Istihsan
Menurut Istilah Ulama‟ Ushul istihsan ialah pindahnya seorang
mujtahid dari tuntutan qias jali (nyata) kepada qias khafi (samar), atau dari
dalil qully kepada hukum takhshish lantaran terdapat dalil yang menyebabkan
mujtahid mengalihkan hasil pikirannya dan mementingkan perpindahan
hukum.58
Karenanya, jika terdapat suatu yang tidak ada nash hukumnya, maka
dalam pembahasannya ada dua segi yang berlawanan:
a) Segi Zhahir yang menghendaki adanya hukum suatu hukum.
b) Segi Khafi (tak tampak) yang menghendaki adanya hukum lain.
Berdasarkan pengertian istihsannya, istihsan dapat dibagi menjadi dua
bagian:
58
Amir, Ushul II,324
49
a) Mengutamakan (memenangkan) qias khafi daripada qias jali berdasarkan
dalil.
b) Mengecualikan juz‟iyah dari hukum qully berdasarkan dalil.
Berdasarkan definisi dan macam-macam istihsan, dapat diketahui
bahwa istihsan pada dasarnya bukan sebagai sumber pembentukan hukum
yang berdiri sendiri. Sebab, hukum-hukum tersebut pada macam pertama;
berdasarkan dalil qias khafi itu lebih diutamakan dibanding qias jali, lantaran
itu dapat menentramkan mujtahid dengan jalan istihsan. Kemudian, macam
istihsan yang kedua, hukum-hukumnya antara lain, dalil mashlahah yang
menuntut pengecualian pada bagian hukum qully, atau yang dikemukakan
sebagai jalan istihsan. Yang menggunakan hujjah istihsan ini, kebanyakan
adalah ulama‟ Hanafiyah.
d. Maslahah Al-mursalah
Pengertian maslahah mursalah ialah manfaat-manfaat yang seirama
dengan tujuan Allah Ta‟ala (Pembuat hukum), akan tetapi tidak terdapat dalil
(argumen) khusus yang menjelaskan bahwa manfaat tersebut diakui atau tidak
diakui oleh Allah Ta‟ala (Pembuat hukum). Dengan mengaitkan hukum
dengan manfaat tersebut, maka akan dapat diwujudkan kemaslahatan bagi
manusia atau akan dapat dihindarkan keburukan dari manusia.59
Karena itu seorang mujtahid dapat menetapkan hukum suatu kejadian
dengan qiyas. Artinya menyamakan hukumnya dengan hukum kejadian
sebelumnya, karena persamaan illatnya. Ini dapat dilakukan mujtahid setelah
59
Dr. Wahbah Zuhaily, Ushulul Al Fiqh Al Islamy, (Damaskus : Dar Al Fikr), II, hal. 757
50
mempelajari apakah dalam kejadian tersebut terdapat suatu illat yang telah
menjadi dasar penetapan hukum kejadian sebelumnya. Apabila ia tidak dapat
dipecahkan hukunya dengan qiyas, ia dapat menerapkan maslahah mursalah.
Jumhur ulama mengajukan pendapat bahwa mashlahah mursalah
merupakan hujjah syari‟atkan yang dijadikan metode pembentukan hukum
mengenai kejadian atau masalah yang hukumnya tidak ada dalam nash, ijma‟,
qias, atau istihsan, maka disyari‟atkan dengan mengunakan mashlahah
mursalahah.60
Dalil yang dipakai oleh Ulama‟ tersebut :
1) Kemaslahatan umat manusia itu secara lestari sifatnya selalu aktual. Karena
itu, jika tidak ada syari‟at hukum yang berdasarkan maslahah mursalah
berkenaan dengan masalah baru sesuai tuntunan perkembangan, maka
pembentukan hukum hanya hanya akan terkunci berdasarkan maslahah yang
mendapatkan pengakuan syari‟.
2) Orang-orang yang menyelidiki pembentukan hukum yang dilakukan oleh
para sahabat, tabi‟in dan para mujtahid, akan tampak bahwa mereka telah
mensyari‟atkan aneka ragam hukum dalam rangka mencari kemaslahatan dan
bukan lantaran adanya pengakuan sebagai saksi.
Ulama menyusun syarat-syarat maslahah mursalah yang dipakai
sebagai dasar pembentukan hukum, asalkan jika maslahatnya memenuhi tiga
syarat, yaitu mencapai tingkat dharury, pasti dan global. Pendapat ini
didukung antara lain oleh Imam Gazali.
60
Amir, Ushul II,357
51
1. Syarat pertama, dharury. Hal-hal yang tergolong dharury ialah termasuk
salah satu dari lima dharuriyyah yaitu melindungi agama Islam, melindungi
jiwa, melindungi akal, melindungi keturunan, dan melindungi harta.
Apabila maslahat yang tidak terdapat nash yang mendukungnya dan
menolaknya tidak termasuk salah satu dari lima dharuriyyah, maka tidak
dapat dijadikan landasan penetapan hukum. Sebab itu pendukung mazhab
yang ketiga ini tidak mendukung maslahah hajiyyah (penting) dan
tahsiniyyah (pelengkap) semata-mata untuk dijadikan dasar penetapan
hukum, kecuali didukung oleh dasar dari Syariat.61
2. Syarat kedua, ialah penerapan maslahat dalam hal-hal tersebut pasti akan
tercapai kemaslahatan apabila diterapkan.
3. Syarat ketiga, ialah umum, yaitu maslahat yang akan memberikanmanfaat
umum bagi kaum muslimin.62
e. „Urf
„Urf adalah segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia karena
telah menjadi kebiasaan atau tradisi baik bersifat perkataan, perbuatan atau
dalam kaitannya dengan meninggalkan perbuatan tertentu, sekaligus disebut
adat.
„Urf dibagi menjadi dua macam:
1) „Urf Shahih, yaitu segala sesuatu yang sudah dikenal umat manusia dan tidak
berlawanan dengan dalil syara‟, serta tidak menghalalkan yang haram dan
tidak pula menggugurkan kewajiban.
61
Wahbah, ushulul, 756
Dr. Muhammad Salam Madkur, Manahij Al Ijtihad Fi Al Islam, (Kuwait : Univ. Kuwait), hal.
140
62
52
2) „Urf Fasid ialah segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia, tetapi
berlawanan
dengan
syara‟,
atau
menghalalkan
yang
haram
dan
menggugurkan kewajiban.
f. Istishab
Menurut Ulama‟ Ushul Istishhab ialah menetapkan sesuatu berdasar
keadaan yang berlaku sebelumnya hingga adanya dalil yang menunjukkan
adanya perubahan keadaan itu.
Menurut Wahbah Zuhaili, istishab adalah menetapkan bahwa sesuatu
masih tetap seperti semula pada masa sekarang atau pada masa yang akan
datang. Penetapan tersebut berpijak pada kenyataan sesuatu tersebut benarbenar ada pada masa sebelumnya.63
Jika tidak terdapat dalil yang menunjukkan adanya perubahan, maka
sesuatu itu hukumnya boleh (mubah) sesuai dengan sifat kebolehan pada
asalnya.
Istishhab merupakan dalil syara‟ terakhir yang dipakai mujtahid
sebagai hujjah untuk mengetahui hukum suatu kejadian yang dihadapkan
kepadanya. Ulama‟ Usul mengatakan, “Pada dasarnya, istishhab merupakan
tempat berputarnya fatwa yang terakhir, untuk mengetahui sesuatu
berdasarkan hukum yang telah ditetapkan, selama tidak terdapat dalil yang
merubah”.
63
Wahbah, Ushulul, 859
53
Istishhab menetapkan dasar syari‟ah sebagai berikut:
a) Asal sesuatu itu merupakan ketetapan terhadap sesuatu yang sudah ada
berdasarkan keadaan semula, hingga adanya ketetapan yang merubahnya.
b) Asal sesuatu itu adalah mubah.
c) Apa-apa yang sudah tetap berdasarkan keyakinan, tidak akan hilangkarena
ragu-ragu.
d) Asal yang ada pada manusia itu adalah kebebasan.
2. Metode Penemuan Hukum
Tugas menemukan hukum terhadap suatu perkara yang sedang diperiksa
oleh Majelis Hakim merupakan suatu hal yang paling sulit dilaksanakan.
Meskipun para hakim dianggap tahu hukum (ius curianovit), sebenarnya para
hakim itu tidak mengetahui semua hukum, sebab hukum itu berbagai macam
ragamnya, ada yang tertulis dan ada pula yang tidak tertulis. Tetapi Hakim harus
mengadili dengan benar terhadap perkara yang diajukan kepadanya, ia tidak boleh
menolak suatu perkara dengan alasan hukum tidak ada atau belum jelas,
melainkan ia wajib mengadilinya. Sebagai penegak hukum ia wajib menggali,
mengikuti dan memahami nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
Dalam proses penemuan hukum dalam perspektif Hukum Acara Perdata,
majelis hakim dapat menggunakan aturan Perundang-Undangan, hukum adat,
yurisprudensi, dan tulisan-tulisan ilmiah para pakar hukum dan buku-buku lain
54
yang memiliki keterkaitan dengan persoalan yang ditangani
sebagai sumber
hukum. 64
Jika tidak ditemukan dalam sumber-sumber tersebut, maka hakim dapat
menggunakan beberapa metode, seperti metode
interpretasi dan
metode
argumen.65
a. Metode interpretasi
Metode interpretasi atau dikenal dengan istilah hermeneutika yuridis,
yaitu penafsiran terhadap teks Undang-Undang yang tidak jelas, meskipun
masih berpegang pada bunyi teks tersebut. Metode ini dibagi menjadi
beberapa bagian:
1) Penafsiran substantif, yaitu penerapan suatu teks Undang-Undang terhadap
suatu kasus in concreto namun belum menggunakan penalaran yang lebih
rumit, dan sekedar menerapkan silogisme. Silogisme adalah bentuk berfikir
logis dengan mengambil kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum dan
hal-hal yang bersifat khusus.
2) Penafsiran gramatikal, yaitu bahasa yang terdapat dalam Undang-Undang
diuraikan ke dalam bahasa umum yang digunakan sehari-hari atau dengan
kata lain menafsirkan Undang-Undang dengan kaidah bahasa yang berlaku.
3) Penafsiran historis, yaitu penafsiran yang didasarkan pada sejarah
terbentuknya peraturan tersebut.
64
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama(Jakarta:
Prenada Media Group, 2008), 279
65
Bambang Sutiyoso. Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti dan
Berkeadilan.(Yogyakarta:UII Press, 2006), 8
55
4) Penafisiran sosiologis, yaitu penerapan undang-undang berdasarkan tujuan
kemasyarakatan atau menitik beratkan pada tujuan Undang-Undang bukan
bunyi teks Undang-Undang.
5) Penafsiran
komparatif,
yaitu
penafsiran
undang-undang
dengan
membandingkan antara berbagai sistem hukum.66
b. Metode argumentasi
Metode Argumentasi atau penalaran hukum, yaitu penggunaan nalar
logis untuk mengembangkan teks Undang-Undang jika dirasa tidak
lengkap.67 Pada metode ini hakim mempergunakan penalaran logisnya untuk
mengembangkan lebih lanjut suatu teks undang-undang, di mana hakim tidak
lagi terikat dan berpegang pada bunyi teks itu, tetapi dengan syarat hakim tidak
mengabaikan hukum sebagai suatu sistem.68 Juga pada metode ini hakim tidak
lagi terikat dan berpegang pada bunyi teks akan tetapi tidak boleh
mengabaikan hukum sebagai sebuah sistem.
Metode ini juga dibagi menjadi beberapa bagian:
1) Metode argumentum peranalogiam, digunakan apabila hakim menjatuhkan
putusan dalam suatu konflik yang tidak tersedia peraturannya, tetapi
peristiwa tersebut memiliki kemiripan dengan peristiwa lain yang diatur
Undang-Undang.
66
Abdul Manan, Penerapan, 279-281
Abdul Manan, Penerapan, 282
68
Ahmad Ali, Mengenal Tabir Hukum, Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, (Jakarta: Chandra
Pratama, 1996), 167
67
56
2) Metode argumentum a contrario, jika undang-undang menetapkan hal-hal
tertentu untuk peristiwa tertentu, berarti
peraturan itu terbatas
pada
peristiwa tertentu dan bagi peristiwa di luarnya berlaku ketentuan
sebaliknya. 69
3) Metode pengkrokretan hukum ketentuan dalam undang-undang yang terlalu
umum dan luar ruang lingkupnya dipersempit sehingga dapat diterapkan
dalam kasus nyata. Dalam metode ini dibentuk pengecualian-pengecualian
dari peraturan yang bersifat umum, diterapkan pada kasus khusus dengan
memberi ciri-ciri.
4) Metode fiksi hukum, yaitu metode penemuan hukum yang mengemukakan
fakta baru.70 Menurut satjipto, fiksi adalah metode penemuan hukum yang
mengemukakan fakta- fakta baru kepada kita, sehingga tampil suatu
personifikasi baru di hadapan kita. Ada pun fungsi dari fiksi hukum ini di
samping untuk memenuhi hasrat untuk menciptakan stabilitas hukum, juga
utamanya untuk mengisi kekosongan undang-undang.71
Diharapkan muncul kejelasan-kejelasan. Konstruksi harus dapat memberikan
gambaran yang jelas tentang sesuatu hal, oleh karena itu harus cukup sederhana dan
tidak menimbulkan masalah baru dan boleh tidak dilaksanakan. Sedangkan tujuan
dari konstruksi adalah agar putusan hakim dalam peristiwa konkrit dapat memenuhi
tuntutan keadilan dan bermanfaat bagi pencari keadilan.72
69
Sudikno Mertokusumo,.Hukum Acara Perdata Indonesia.(Yogyakarta:Liberti, 1998) 69
Abdul Manan, Penerapan, 283-284
71
Ahmad, Mengenal, 200
72
Ahmad, Mengenal,192
70
57
D. Tinjauan Umum Mengenai Asal Usul Anak
1. Status Hukum Keperdataan Anak
Dalam pasal 250 KUH Perdata yang berbunyi anak sah adalah “anak yang
dilahirkan atau dibesarkan selama perkawinan, memperoleh si suami sebagai
ayahnya.”
Dalam pasal 42 undang-undang no.1 tahun 1974 tentang perkawinan yang
berbunyi “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah”.
Menurut hukum adat, anak kandung sah adalah anak yang dilahirkan
dalam perkawinan sah, mempunyai ibu yaitu wanita yang melahirkannya dan
mempunyai bapak yaitu suami dari wanita yang melahirkannya.
Menurut Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan bahwa ukuran sah
atau
tidaknya
seorang
anak
dilihat
dari
memperhitungkan kapan proses pembuatannya.
waktu
73
kelahirannya
tanpa
Selain itu, seorang anak
meskipun terlahir di luar perkawinan karena orang tuanya telah bercerai, tetap
dipandang sebagai anak yang sah.74
Dalam Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan jo. Pasal 99 huruf a Kompilasi Hukum Islam dinyatakan bahwa
anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang
sah. Berbeda halnya dengan konsep fiqh yang tegas, Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 dan kompilasi Hukum Islam memberikan ketentuan yang lebih luas.
73
Nuruddin, Amiur dan Tarigan, Azhari Akmal.2006.Hukum Perdata Islam di Indonesia Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dan Fikih, UU No.1/1974 sampai KHI.Jakarta:Kencana, 286
74
Manan, Abdul.2008.Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia.Jakarta:Kencana, 76
58
Subekti menyatakan bahwa anak sah (wettig kind) menurut Kitab UndangUndang Hukum Perdata adalah anak yang dilahirkan dan dibuat selama
perkawinan yang sah antara ayah dan ibunya.75
Upaya memastikan bahwa anak tersebut benar-benar keturunan ayahnya,
menurut Subekti tentunya sukar di dapat. Berdasarkan hal ini ditetapkan masa
tenggang kandungan paling lama yaitu 300 hari dari tenggang kandungan yang
paling pendek yaitu 180 hari. Dengan demikian seorang anak yang terlahir
melebihi 300 hari setelah perceraian orang tuanya adalah anak tidak sah,
sebagaimana diatur dalam Pasal 255 KUHPerdata. Ada tiga macam status anak
yang diatur dalam KUHPerdata.76
1) anak sah yang diatur dalam Pasal 250 KUHPerdata. Tiap-tiap anak yang
dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si
suami sebagai bapaknya Berdasarkan hal ini, anak tersebut memiliki
status sebagai anak kandung dengan hak-hak keperdataan melekat
padanya serta berhak memakai nama belakang orang tuanya untuk
menunjukkan asal usulnya.77
2) anak yang diakui dan diatur dalam Pasal 280 KUHPerdata: Dengan
pengakuan terhadap anak luar kawin,terlahirlam hubungan perdata anak
itu dan ayahnya atau ibunya. Dengan adanya pengakuan dari ibu yang
melahirkannya dan bapak yang menghamili ibunya, anak luar kawin
memiliki hubungan keperdataan dengan orang tuanya itu. Meskipun
75
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata (Jakarta:PT.Intermasa,1984), 48
Abdul Manan, Aneka, 77
77
Abdul Manan, Aneka, 78
76
59
demikian, pengakuan ini tidak boleh dilakukan untuk anak
hasil
perzinahan,
3) anak yang disahkan yaitu anak luar kawin antara laki-laki dan
perempuanyang diakui sebagai anak mereka yang sah, dengan dicatatat
dalam akta perkawinan.
Pasal 99 KHI menyatakan bahwa Anak yang sah adalah :
a. anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah;
b. hasil perbuatan suami isteri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri
tersebut.
KHI menjelaskan lebih rinci berkaitan dengan anak yang sah. Ketentuan
pasal 99 huruf b di atas memberikan aturan yang bersifat antisipasi berkaitan
dengan cara pembuahan yang tidak hanya terjadi di dalam rahim ibu melainkan
dengan cara yang lain karena alasan-alasan medis.
2. Permohonan Asal Usul Anak
Asal usul anak adalah dasar untuk menunjukkan adanya hubungan nasab
(kekerabatan) dengan ayahnya. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa anak yang
lahir sebagai akibat zina dan/atau li‟an, hanya mempunyai hubungan kekerabatan
dengan ibu yang melahirkannya menurut pemahaman kaum sunni. Lain halnya
dengan pemahaman kaum syi‟ah, anak tidak mempunyai hubungan kekerabatan
baik ayah maupun ibu yang melahirkannya, sehingga tidak dapat menjadi ahli
waris dari kedua orang tuanya. Namun demikian, di negara Republik indonesia
60
tampak pemberlakuan berbagai sistem hukum dalam masyarakat muslim,
sehingga perilaku masyarakat mencerminkan ketiga sistem hukum dimaksud.78
Penduduk yang mayoritas mendiami negara Republik Indonesia beragama
Islam yang bermazhab Imam Syafi‟i, sehingga pasal 42, 43 dan 44 Undang –
Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengatur asal usul anak berdasarkan hukum Islam
mazhab Imam Syafi‟i. Hal ini dijadikan pasal pada 42: “Anak yang sah adalah
anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.” Selain itu
Pasal 43 berbunyi :
(1) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya
(2) Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan di atur dalam
Peraturan Pemerintah.
Kemudian dalam Pasal 44 berbunyi:
(1) Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh
isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina
dan anak itu akibat daripada perzinaan tersebut.
(2) Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas
permintaan pihak yang berkepentingan.
Jika memperhatikan pasal –pasal diatas, dapat di[ahami bahwa anak yang
lahir dari ikatan perkawinan yang sah maka anak itu adalah anak yang sah.
Namun, tidak dijelaskan mengenai status bayi yang dikandung dari akibat
perzinaan atau akad nikah dilaksanakan pada saat calon mempelai wanita itu
78
Zainuddin, Hukum, 62
61
hamil. Anak yang dilahirkan setelah akad nikah maka status anak itu adalah anak
yang sah.
Jika ada bentuk pelanggaran perkawinan dan apabila ternyata
suatu
perkawinan tidak memenuhi syarat dan rukun Nikah maka dapat dibatalkan
dengan Putusan Pengadilan Agama. Pasal 22 UU. No. 1 Tahun 1974
menyebutkan bahwa: “Perkawinan dapat dibatalkan , apabila para pihak tidak
memenuhi
syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan”.79 Jadi suatu
perkawinan yang tidak memenuhi syarat dan rukun perkawinan dapat dibatalkan.
Adapun orang yang melakukan perkawinan dengan memenuhi syarat dan rukun
nikah tetapi tidak dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah dengan sengaja atau
karena kelalaiannya sedangkan dari pernikahannya itu telah melahirkan anak dan
memperoleh akta nikah tidak menempuh permohonan isbat nikah, akan tetapi
mereka langsung nikah dengan menggunakan status jejaka dan perawan di KUA,
sehingga seperti nikah baru baru mengajukan asal usul anak ke pengadilan.
Ini termasuk upaya memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang
lahir dari perkawinan yang tidak tercatat, maka upaya melakukan perlindungan
hukum terhadap staus nasab anak yang telah lahir dengan permohonan penetapan
asal-usul anak ke Pengadilan Agama.
Asal Usul anak merupakan dasar untuk menetapkan adanya hubungan
nasab dengan ayah dan ibunya , demikian yang diyakini oleh fiqh suni, karena
para ulama sepakat bahwa anak zina atau anak mula‟anah dan anak syubhat
hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibu dan sudara ibunya . Berbeda
79
H. Zainal Abidin. Kumpulan Peraturan Perundang Undangan Dalam Lingkungan Peradilan
Agama (Jakarta: Al Hikma, 1993).,106
62
dengan pemahaman ulama‟ syi‟i bahwa anak zina tidak mempunyai hubungan
nasab dengan ibu atau bapak zinanya, karena itu pula anak zina tidak bisa waris
mewarisi
dari kedua orang tuanya.80 Oleh karenanya
untuk menghindari
terjadinya diskriminasi yang diterima si anak maka pengadilan Agama dengan
kewenangannya menyelesaikan permohonan penetapan asal usul anak.
3. Penetapan Asal Usul Anak di Pengadilan Agama
Menurut hukum perdata yang berlaku di indonesia, penetapan asal usul
anak dapat dilakukan dengan pengakuan secara sukarela dan pengakuan yang
dipaksasakan. Pengakuan sukarela adalah pernyataan sebagaimana yang
ditentukan dalam hukum perdata bahwa seorang ayah atau ibu atau ibunya
mengakui seseorang anak yang lahir dari seorang ibunya itu betul anak hasil dari
hubungan biologis mereka dan hubungan itu tidak dalam ikatan perkawinan yang
sah, serta bukan karena hubungan zina dan sumbang. Sedangkan pengakuan yang
dilaksanakan adalah pengakuan yang terjadi karena adanya putusan hakim dalam
suatu gugatan asal usul seorang anak.
Hal ini berkaitan dengan Pasal 287 Ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum
Perdata di mana disebutkan apabila terjadi salah satu kejahatan sebagaimana
tersebut dalam Pasal 285-288, 294 atau 322 Kitab Undang-undang Hkum Pidana,
maka atas kejahatan itu dapat diajukan kepengadilan. Berdasarkan bukti yang
80
Pelmizar Dt. Batungkek Ameh, Tes DNA Darah Sebagai Alat Bukti Penetapan Asal Usul Nak
Di Pengadilan Agama, http://www.pta padang .go.id/data/artikel .di akses pada tanggal, 26
Juli2012, hal 1
63
kuat, hakim dapat menetapkan bahwa laki-laki yang berbuat jahat itu sebagai
bapak yang sah dari seorang anak yang lahir dari perbuatan jahatnya.81
Anak yang lahir dari perbuatan zina dan sumbang tidak diperkenankan
untuk diakui oleh orang yang berbuat zina, kecuali ada dispensasi dari prisiden
sebagaimana diatur dalam Pasal 283 jo 273 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata. Berdasarkan ketentuan ini, maka anak zina dan anak sumbang tidak bisa
dipaksakan pengakuannya kepada laki-laki yang membuahinya. Hal ini
didasarkan kepada asas hukum perdata yang menentukan bahwa dalam hukum
perkawinan harus dihormati ketentuan-ketentuan dan norma-norma yang berlaku
dalam masyarakat, diantaranya ada halangan bagi laki-laki untuk menikahi ibu si
anak dan jika membenarkan pengakuan yang dipaksakan dalam peristiwa ini akan
bertentangan dengan prinsip Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berlaku.
Upaya hukum yang dapat ditempuh untuk memperkuat pengakuan asal
usul anak, dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dijelaskan bahwa:
1) Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran
yang authentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.
2) Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka
pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak
setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang
memenuhi syarat.
81
Riana Kesuma Ayu,Penetapan Asal Usul Anak, http://websiteayu.com/artikel/penetapan-asalusul-anak-bag-1/, diakses pda tanggal 30 Jili 2012
64
3) Atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut ayat ini, maka instansi pencatat
kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan
mengeluarkan akte kelahiran bagi anak yang bersangkutan.
Untuk menentukan nasab seorang anak yang telah lahir dari pasangan
laki-laki dan perempuan yang terjadi permasalahan, tidak serta merta langsung
bisa terjadi, namun terlebih dahulu harus diajukan permohonan penetapan asal
usul anak ke Pengadilan Agama. Setelah perkara itu disidangkan maka yang
menjadi pedoman
dalam menetapkan permohonan asal-usul anak itu dengan
meneliti secara seksama akan bukti-bukti tertulis maupun saksi-saksi yang
diajukan untuk mendukung permohonan asal usul anak .
Setelah perkara permohonan asal usul anak itu masuk di Pengadilan
Agama yang kemudian permohonannya diperiksa dengan
digunakan
salah satu diantaranya adalah
pedoman yang
pasal 2 ayat 1 Undang-Undang
Perkawinan yang menyebutkan bahwa Perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut
hukum masing-masing
agamanya dan
kepercayaannya itu dan
Penjelasan pasal ini menyebutkan bahwa dengan adanya perumusan pasal 2 ayat (
1 ) itu maka tidak ada perkawainan di luar hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Dan yang dimaksud dengan
hukum masing-masing agamanya
dan
kepercayaannya itu termasuk ketentuan- ketentuan perundang-undangan yang
berlaku
bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak
bertentangan dengan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
Dengan demikian perkawinan mempunyai kaitan erat dengan agama masing-
65
masing calon suami isteri.82 Bagi yang beragama Islam maka hubungan hukum
nikahnya harus di jalin dengan hukum perkawinan Islam. Dengan kata lain
syarat dan rukun perkawinan menurut Islam harus dipenuhi. Dari 4 ( empat )
rukun nikah ini semuanya harus ada
dan saksi – saksi harus mengetahui
terjadinya peristiwa perkawinan yang telah melahirkan anak-anaknya yang
dimintakan permohonan asal-usul anak.
Disamping itu dalam pemeriksaan juga harus meneliti tentang sarat sahnya
perkawinan yang merupakan dasar
bagi sahnya perkawinan, karena apabila
sayarat-syarat terpenuhi maka perkawinan itu sah dan menimbulkan adanya
segala hak dan kewajiban sebagai suami isteri.
Bilamana telah terbukti telah terjadinya perkawinan dengan dipenuhinya
rukun dan sarat perkawinan , terutama pula terbukti telah terjadi akad nikah
diantara Wanita ( wali ) dan laki-laki maka dalam pertimbangan juga merujuk
fatwa ulama
apa yang dimaksaud dengan Azzawaj al „urfy adalah
pernikahan yang tidak
tercatat
sebuah
sebagaimana mestinya menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Dan apabila syarat dan rukun perkawinan itu telah terpenuhi dan tidak
ditemukan adanya cacat formil maka perkawinan yang telah dilakukan telah
memenuhi syarat untuk dikabulkannya artinya perkawinan yang dilakukan oleh
orang tua anak yang dimohonkan penetapan asal usul anak beralasan untuk
mendapatkan pencatatan, namun oleh karena bukti pencatatannya telah dimilki
oleh orang tua si anak, maka pencatatan yang dikehendaki oleh pasal 2 ayat ( 2 )
82
Neng Zubzidah, Pencatatan Perkawinan & Perkawinan Tidak Dicatatkan Menurut Hukum
Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam.( Jakarta: Sinar Grafika, 2010), 107
66
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tidak perlu dilakukan, apa lagi tidak
diperlukan untuk nikah ulang, hanya saja pemeriksaan itu merupakan langkah
awal untuk memeriksa nasab yang akan diterapkan pada usia anak melalui
pembuktian di dalam persidangan. Untuk menentukan dan menjaga asal-usul
(nasab) seseorang, dalam pengertian , nasab seseorang hanya bisa dinisbahkan
kepada kedua orang tuanya kalau ia dilahirkan dalam perkawinan yang sah.83
83
Amir Syarifuddin , Meretas Kebekuan Ijtihad- Isu-isu Penting Hukum Islam Kontemporer di
Indonesia, (Jakarta ,Ciputat Press, 2002), 199.
Download