SEMINAR REVITALISASI KETAHANAN PANGAN: MEMBANGUN KEMANDIRIAN PANGAN BERBASIS PEDESAAN (Rumusan) I Wayan Rusastra, Ning Pribadi, Nizwar Syafa’at dan Ketut Kariyasa PENDAHULUAN 1. Pelaksanaan seminar ”Revitalisasi Ketahanan Pangan” ini memiliki justifikasi dan bersifat kontekstual dengan pertimbangan sebagai berikut: (a) Pencanangan revitalisasi pertanian merupakan pengakuan terhadap peran strategis sektor pertanian sebagai platform pembangunan ekonomi nasional; (b) Implementasi dan aktualisasi penguatan kemandirian pangan berbasis pedesaan melalui akselerasi pemantapan ketahanan pangan dan optimalisasi pemanfaatan potensi sumberdaya lokal serta berwawasan lingkungan. 2. Menteri Pertanian, Deputi Kemenneg Ristek, dan Ketua Umum HKTI dalam sambutannya memberikan beberapa arahan strategis dalam operasionalisasi revitalisasi ketahanan pangan sebagai berikut: (a) Terwujudnya ketahanan pangan di tingkat rumah tangga yang diindikasikan oleh adanya jaminan ketersediaan dan konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi seimbang; (b) Terjaminnya ketersediaan dan akses terhadap pangan secara merata dalam rangka mewujudkan hak setiap warga negara atas kecukupan pangan secara layak, dan dapat mendukung stabilitas dan keberlanjutan pembangunan perekonomian nasional; (c) Pemerintah dan masyarakat luas diharapkan dapat meningkatkan komitmen dan kerja samanya secara partisipatif dalam membangun ketahanan pangan yang mandiri dan berbasis pedesaan; (d) Urgensi komitmen bersama dalam memandang pangan bukan saja sebagai komoditas ekonomi, tetapi juga sebagai komoditas strategis (politis dan ekologis) untuk mencapai ketahanan pangan dan keamanan nasional, serta kedaulatan bangsa. 3. Berdasarkan pada pemaparan makalah dan diskusi dalam seminar dapat dirumuskan kesimpulan dan rekomendasi yang mencakup aspek sebagai berikut: (a) Kebijakan revitalisasi produksi pangan utama sebagai respon dari prospek penawaran dan permintaan; (b) Peran teknologi dan partisipasi petani dalam mendukung ketahanan pangan; (c) Ekonomi dan kebijakan sumberdaya lahan dan air; (d) Kebijakan pengembangan infrastruktur dan pemberdayaan masyarakat; dan (e) Program akselerasi pemantapan ketahanan pangan berbasis pedesaan. KEBIJAKAN REVITALISASI PRODUKSI PANGAN UTAMA 4. Produksi padi mengalami perlambatan pertumbuhan, dan sejak awal tahun 1980-an laju pertumbuhannya telah di bawah laju pertumbuhan penduduk. Kecenderungan penurunan laju pertumbuhan produksi padi adalah akibat dari kombinasi: (a) penurunan luas baku lahan sawah, khususnya di Jawa; (b) stagnasi atau bahkan penurunan produktivitas lahan. Cara yang paling mungkin untuk meningkatkan luas baku lahan sawah ialah melalui pembukaan lahan sawah (investasi baru). Stagnasi atau bahkan penurunan produktivitas padi adalah konsekuensi dari stagnasi inovasi baru dan semakin memburuknya kesuburan lahan. 5. Peningkatan kapasitas produksi industri perberasan nasional tidak cukup dilakukan dengan memberikan dukungan harga gabah, subsidi pupuk, subsidi benih dan subsidi kredit modal kerja. Kebijakan pemerintah harus diorientasikan dari fokus kebijakan harga ke fokus peningkatan kapasitas produksi, yakni: (a) rehabilitasi dan ekstensifikasi infrastruktur irigasi; (b) pembukaan lahan sawah baru; (c) memacu inovasi teknologi, termasuk revitalisasi sistem penelitian dan 1 pengembangan pertanian serta sistem diseminasi inovasi pertanian dengan deregulasi dan penciptaan iklim yang kondusif bagi investor swasta. 6. Produksi jagung terus mengalami pertumbuhan tinggi dan akseleratif. Pertumbuhan produksi yang amat tinggi tersebut terutama berasal dari pertumbuhan produktivitas sebagai refleksi dari pesatnya inovasi teknologi. Berbeda dengan padi yang mengandalkan lembaga penelitian pemerintah, teknologi jagung terutama ditopang oleh sistem inovasi swasta, tepatnya perusahaan multinasional di bidang perbenihan dan agrokimia. Benih jagung hibrida dengan potensi produktivitas yang amat tinggi dan terus meningkat merupakan kunci dari akselerasi pertumbuhan produksi jagung. 7. Selain didorong oleh inovasi teknologi, pertumbuhan produksi jagung yang akseleratif tersebut juga adalah berkat pesatnya peningkatan permintaan jagung dalam negeri untuk industri pakan ternak. Industri pakan ternak berkembang pesat karena ditarik oleh pertumbuhan pesat usaha peternakan intensif, utamanya peternakan ayam ras. Permintaan jagung untuk pakan akan terus meningkat seiring dengan laju pertumbuhan usaha peternakan intensif. Selain itu, usahatani jagung tidak saja layak secara finansial, tetapi juga kompetitif sehingga jagung juga potensial untuk diekspor. 8. Kebijakan yang disarankan untuk dilaksanakan pemerintah guna terus memacu pertumbuhan produksi jagung ialah: (a) Stabilisasi harga di tingkat petani; (b) Menciptakan iklim yang kondusif bagi peningkatan investasi swasta dalam industri perbenihan dan agrokimia; dan (c) Menjamin praktek persaingan yang sehat dalam bisnis benih, agrokimia dan pemasaran jagung. 9. Usahaternak ayam ras pedaging baru berkembang pada pertengahan tahun 1970-an, tumbuh amat cepat dan kini menjadi tulang punggung subsektor peternakan. Setelah terpukul berat pada masa krisis ekonomi 1998-1999, usahaternak ayam ras pedaging kini telah pulih total dan tumbuh amat pesat. Usahaternak ayam ras terutama ditopang oleh sektor swasta baik dari segi inovasi teknologi maupun dari segi modal dan pemasaran. Usahatani dapat berkembang pesat atas kemampuan sendiri dengan fasilitasi terbatas dari pemerintah. 10. Masalah pokok yang dapat menghambat perkembangan usahaternak ayam ras pedaging ialah serangan penyakit menular (flu burung, tetelo) dan praktek persaingan tidak sehat. Kebijakan pemerintah yang disarankan dalam pengembangan usaha ternak ayam ras pedaging ialah: (a) Membangun sistem pencegahan dan pemberantasan penyakit menular (prioritas dan harus segera ialah pembasmian penyakit flu burung); (b) Pengembangan struktur industri perunggasan yang bersaing dan pencegahan praktek persaingan yang tidak sehat; (c) Peningkatan peran usaha peternakan rakyat. 11. Produksi daging sapi potong meningkat relatif lambat, jauh lebih lambat dari peningkatan permintaan, sehingga Indonesia harus mengimpor dalam jumlah yang semakin besar. Masalah pokoknya ialah penurunan laju pertumbuhan populasi yang berkelanjutan sejak dekade 1980-an. Bahkan pada periode tahun 2000-an, populasi sapi potong menurun secara absolut. 12. Usahaternak sapi potong didominasi oleh usahaternak keluarga tradisional dan pada umumnya hanya sebagai usaha sampingan. Usahaternak sapi potong cukup menguntungkan secara finansial, namun membutuhkan modal investasi yang cukup besar, sementara peternak tidak memiliki akses terhadap kredit perbankan. Semakin terbatasnya padang penggembalaan juga merupakan kendala utama bagi usaha ternak sapi potong. 13. Kebijakan yang disarankan untuk meningkatkan produksi daging sapi potong ialah: (a) Peningkatan populasi sapi potong melalui pengembangan usahaternak intensif dan usaha pembibitan sapi; (b) Pengembangan sistem usaha integrasi sapi dan tanaman; dan (c) Pemetaan sistem pemasaran sapi. PERAN TEKNOLOGI DAN PARTISIPASI PETANI 14. Penerapan teknologi revolusi hijau telah mampu meningkatkan produksi pangan beras 400% selama periode 1970-2005, namun demikian teknologi revolusi hijau masih memiliki kelemahan 2 antara lain: (1) bahan organik tidak termasuk dalam an-juran, (2) varietas unggul dianjurkan seragam secara nasional, (3) sumber hara mengutamakan pupuk sinthetis, (4) penggunaan pestisida kurang rasional, (5) petani tidak dididik tentang kelestarian lingkungan dan keberlanjutan produksi, (6) tehnis agronomis dan efisiensi belum dipahami petani, (7) kurang adanya persiapan pemahaman teknis oleh petani dalam pelaksanaan teknologi revolusi hijau. 15. Untuk mempertahankan ketahanan pangan nasional, teknologi yang ramah lingkungan tetap diperlukan, dengan komponen prioritas meliputi: pupuk mineral dan bahan organik, perluasan penggunaan alsintan, pengendalian OPT secara terpadu, varietas unggul adaptif dan perluasan/ reklamasi lahan pertanian baru. 16. Teknologi revolusi hijau lestari (TRHL) yang bersifat ramah lingkungan perlu dirumuskan untuk mencapai ketahanan pangan nasional secara berkelanjutan. Rakitan TRHL disarankan terdiri dari sepuluh komponen, yaitu: (1) pola tanam multi-spesies dan rotasi tanaman, (2) anjuran penanaman multi varietas, (3) penyiapan lahan dan pelumpuran optimal, (4) pengkayaan kandungan bahan organik tanah, (5) pemeliharaan agroekosistem wilayah hulu, tengah dan hilir pada sistem hidrologi setempat, (6) pupuk mineral bersifat suplemental untuk ketersediaan hara optimal, (7) pengendalian OPT secara terpadu terintegrasi dengan pengelolaan lingkungan ekologis, (8) penyediaan dan pemanfaatan sumber air secara efisien, (9) pencegahan pencemaran B3 dan polusi, (10) pendidikan dan penyadaran petani tentang pertanian berkelanjutan dan ekologis. 17. Rumusan TRHL harus dituangkan dalam Standar Operasional dan Prosedur (SOP) yang bersifat lokasi/agroekologi spesifik. Pengelolaan Sumberdaya dan Tanaman Terpadu (PTT) yang komponen teknologinya sesuai dengan kondisi agroekologi spesifik. 18. Di tingkat nasional, kepedulian pemerintah terhadap masalah kelembagaan ketahanan pangan adalah dengan dibentuknya Dewan Ketahanan Pangan tahun 2001 yang langsung dipimpin oleh Presiden, sementara ketua hariannya adalah Menteri Pertanian dan sejumlah menteri terkait menjadi anggotanya. Disamping itu di Departemen Pertanian dibentuk Badan Urusan Ketahanan Pangan tingkat eselon I di lingkup Departemen Pertanian pada tahun 2000, yang beberapa kali dimodifikasi dan pada tahun 2004 diubah menjadi Badan Ketahanan Pangan. Pemerintah daerah terus difasilitasi agar membentuk Badan Ketahanan Pangan Tingkat Propinsi dan Kabupaten agar masalah pangan dapat dikelola dengan baik. 19. Di tingkat petani, pemerintah mendorong terbentuknya organisasi petani yang kuat untuk meningkatkan skala ekonomi dan potensi sumberdaya petani dalam rangka memaksimalkan nilai tambah. Kebijakan penyuluhan diarahkan untuk meningkatkan kemampuan adopsi mereka sehingga pendekatan sistem dan usaha agribisnis dengan prinsip berkerakyatan, berdaya saing, berkelanjutan, dan lebih terdesentralistis dapat terwujud. EKONOMI DAN KEBIJAKAN SUMBERDAYA LAHAN DAN AIR 20. Lahan dan air mempunyai peran sangat strategis dalam ketahanan pangan baik di tingkat rumah tangga maupun nasional. Kontribusi kedua faktor produksi ini terhadap produksi pertanian bisa mencapai 68 persen. Namun sampai saat ini belum memberikan kontribusi secara maksimal karena pengelolaannya belum memadai. Pasokan air untuk sektor pertanian semakin menurun yang dipicu oleh adanya anomali iklim dan peningkatan kebutuhan air untuk industri. Luas pemilikan lahan per keluarga juga mengalami penurunan terutama di Jawa. Konsekwensinya posisi dukungan pengelolaan lahan dan air dalam mendukung pembangunan pertanian memerlukan pemikiran dan tantangan yang lebih besar di kemudian hari. 21. Luas penggunaan lahan per kapita di Indonesia sangat rendah yaitu sekitar 900 m2. Jumlah petani yang mengusahakan lahan pertanian dengan luas di bawah 0,5 ha semakin bertambah setiap tahun. Konversi lahan sawah semakin mengkhawatirkan dan luas lahan kritis dan lahan marginal setiap tahun semakin meningkat. Permasalahan air yang dihadapi adalah keterbatasan sumberdaya air dan peningkatan kebutuhan air untuk sektor pertanian, dan di luar sektor pertanian. Kinerja prasarana irigasi yang dikelola pemerintah masih terbatas dan mengalami kemunduran. 3 22. Untuk mengatasi semakin langkanya pasokan lahan dan air maka teknologi pengelolaan lahan dan air dalam mendukung ketahanan pangan ke depan pada lahan basah sebaiknya diarahkan pada: (1) reklamasi lahan sawah berkadar bahan organik rendah, (2) pengembangan System of Rice Intensfication (SRI), (3) teknologi tata air mikro dan surjan, (4) konsolidasi pengelolaan usatani (corporate farming), (5) pengembangan irigasi tetes, dan (6) penerapan pemupukan berimbang. Sementara pengelolan teknologi lahan dan air pada lahan kering diarahkan pada: (1) usahatani konservasi terpadu, (2) pengembangan embung dan pemanenan air, (3) amoliorasi dan pemupukan, dan (4) pengembangan irigasi bertekanan dan pompanisasi. 23. Pelestarian dan pengembangan sumberdaya alam (lahan dan air) memegang peranan sentral dalam keberlanjutan usahatani dan pemantapan ketahanan pangan. Komitmen dan kemauan baik (good will) dari pelaksana di lapangan dinilai belum cukup. Dalam menjamin implementasi di lapangan dibutuhkan kemauan politik dan payung hukum (perundang-undangan) yang menjamin eksistensi dan keberlanjutan sumberdaya pertanian. KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INFRASTRUKTUR DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT 24. Pelaksanaan pembangunan infrastruktur diarahkan untuk mendorong perkembangan ekonomi pedesaan dan kawasan Agropolitan; membangun keterkaitan kota/pusat pertumbuhan dengan hinter land desa sekitarnya; penanggulangan kemiskinan dan pengembangan desa tertinggal; keterpaduan antar program dalam pembangunan pedesaan; dan akselerasi pelaksanaan desentralisasi pembangunan. 25. Beberapa program pengembangan infrastruktur yang dilakukan pemerintah diantaranya adalah: (a) Program kompensasi pengurangan subsidi BBM-infrastruktur pedesaan; (b) Program pengembangan infrastruktur Agropolitan; (c) Program pengembangan PSD pulau kecil dan perbatasan; (d) Program nasional penyediaan air minum dan sanitasi berbasis masyarakat. 26. Permasalahan terkait dengan pemberdayaan masyarakat dalam mendukung ketahanan pangan diantaranya adalah : Kesulitan wujud kelembagaan ketahanan pangan berbasis partisipatif dan pemberdayaan masyarakat, sejalan dengan meningkatnya motivasi ekonomi dan melemahnya kolektivitas lokal dan solidaritas sosial masyarakat; Mekanisme kelembagaan lokal yang ada (lumbung pangan masyarakat) umumnya menganut azas koperasi yang memberi pelayanan terbatas pada anggotanya saja; Dominansi persepsi di kalangan masyarakat yang diindikasi oleh ketergantungan yang berlebihan kepada pemerintah dalam penanganan permasalahan rawan pangan; Kurang berfungsinya kelembagaan lumbung pangan dan posyandu sebagai infrastruktur sosial penopang sistem ketahanan pangan lokal; Pada tatanan birokrasi dan operasionalisasi pemerintahan, belum menunjukkan adanya sinkronisasi dan koordinasi dalam pelaksanaan program ketahanan pangan di daerah. Kebijakan sentralisasi stok pangan nasional tidak memberikan iklim yang kondusif bagi perkembangan kelembagaan pangan lokal dan menciptakan ketergantungan pada pemerintah pusat yang makin besar. 27. Kebijakan pemberdayaan masyarakat dipertimbangkan, diantaranya adalah : 4 terkait dengan ketahanan pangan yang perlu Mempercepat upaya penanggulangan kemiskinan melalui pemantapan, pengembangan dan aktualisasi program pembangunan ketahanan pangan berbasis pemberdayaan masyarakat; Merevitalisasi, merestrukturisasi, dan memberdayakan kelembagaan pangan asli (lumbung pangan) dalam rangka meningkatkan sistem ketahanan pangan di tingkat lokal; Mendesain ulang metoda dan program penyuluhan di pedesaan dengan muatan multi disiplin dan sesuai dengan prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat serta pendekatan partisipatif. Memobilisasi Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) sebagai aktualisasi nyata partisipasi masyarakat dalam pelayanan kesehatan dan gizi masyarakat; Menumbuh kembangkan BUMD dengan berbagai usaha produktif (termasuk usaha bidang pangan), guna menjamin akses sumber pendapatan keluarga dan mendukung pelaksanaan otonomi desa; Mengawal dan mendorong regulasi di daerah yang lebih memberikan peluang bagi upaya pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan kemampuan masyarakat, perlibatan masyarakat dan pemberian tanggung jawab yang jelas kepada masyarakat. PROGRAM AKSELERASI PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN 28. Pemerintah pada hakekatnya telah menerapkan sejumlah konsep pemberdayaan masyarakat dalam mempercepat pemantapan ketahanan pangan berbasis pedesaan, yaitu: (a) Kelembagaan lumbung pangan masyarakat; (b) Pengembangan pangan lokal dan (c) Pemanfaatan pekarangan untuk mendorong diversifikasi pangan; (d) Pemberdayaan daerah rawan pangan; (e) Pengembangan sistem tunda jual; (f) Model pembangunan masyarakat terpadu secara partisipatif di lahan kering (PIDRA); (g) Special Program for Food Security (SPFS); dan Pengembangan distribusi dan lembaga usaha ekonomi pedesaan (DPM-LUEP). 29. Program DPM-LUEP merupakan operasionalisasi kebijakan perberasan nasional dalam rangka stabilisasi harga gabah/beras. Program DPM-LUEP ini mendapatkan dukungan dari DPR-RI, dan dinilai memiliki kinerja yang relatif baik dengan mempertimbangkan indikator harga gabah di daerah LUEP yang lebih baik. 30. Program penanganan daerah rawan pangan dilaksanakan untuk membantu masyarakat korban bencana dalam mengembalikan kemampuan berproduksi, atasi kejadian rawan pangan, dan meningkatkan akses pangan melalui kegiatan padat karya. 31. Program diversifikasi pangan diarahkan untuk mencapai sasaran terpenuhinya standar konsumsi energi dan protein; meningkatnya kualitas konsumsi pangan, keamanan, mutu, dan higiene pangan; dan berkurangnya jumlah penduduk rawan pangan kronis dan penduduk kelaparan minimal satu persen per tahun 32. Metoda dan instrumen berharga yang diperoleh dari berbagai program tersebut diterapkan pada program nasional pembangunan ketahanan pangan pedesaan yang dinamakan Program Desa mandiri Pangan (Desa Mapan). Program tersebut pada hakekatnya merupakan program integratif multi disiplin, dengan sasaran pokok mengatasi masalah kerawanan pangan dan memperbaiki status gizi masyarakat. Komponen utama program ini antara lain adalah peningkatan kemampuan pelayanan oleh aparat serta kapasitas masyarakat, untuk mengembangkan penyediaan pangan, akses pangan termasuk air bersih, sanitasi dan kesehatan dasar, dan pengelolaan pangan dalam rumah tangga sesuai kaidah gizi dan kesehatan. Program ini dimulai pada 100 kabupaten rawan pangan, saat ini telah mencakup sekitar 180 kabupaten. 5