1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang おう……

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
おう……しイ~~つ!!!
あのタンカ…あの肚の据わりよう…あの金玉袋のでかさ…
立派なもんがありそうに見えるがのう…
Saa.. Sayang sekali!!!
Ketajaman, keberanian serta kejantannnya.
Aku bisa melihat kehebatannya.
(Gokusen 12:18)
あっつ、気イつけろ、その女めちゃくちゃ強―ぞ
A, hati-hati! Perempuan itu kuat banget lho.
(Gokusen 3:169 )
Maskulinitas merupakan identitas gender yang ditujukan kepada laki-laki
dalam sosial masyarakat. Namun, dalam praktiknya, tindakan-tindakan yang
dianggap maskulin dalam konstruksi masyarakat justru sering dijumpai melekat
pada diri seorang perempuan. Hal seperti inilah yang ditemukan dalam komik
Gokusen.
Yankumi
sebagai
seorang
perempuan
justru
menonjolkan
maskulinitasnya dan mengaburkan sisi femininnya. Yankumi adalah seorang guru
matematika sekaligus wali kelas 2-D di sekolah Shirokuin yaitu sekolah khusus
laki-laki. Murid-murid Shirokuin merupakan anak-anak berandalan dengan
dandananan nyentrik ala punk dan sering berurusan dengan keributan. Mereka
akan dituding sebagai pelaku kriminal terutama bagi kelas 2D sebagai kelas
buangan dalam sekolah tersebut setiap ada kasus kriminal yang dilakukan oleh
anak sekolahan. Dalam lingkungan sekolah, tindakan kekerasan seperti pemerasan,
1
perkelahian, intimidasi/ ijime 1 sering terjadi pada
teman sekelas, antarkelas,
antara senpai (senior) dan kohei (junior), bahkan antarsekolah sehingga suasana
sekolah setiap harinya selalu tidak pernah tidak terjadi keributan.
Hal menarik lainnya dari murid Shirokuin adalah hampir semua muridnya
tidak mempunyai pengalaman menyenangkan dengan para guru. Mereka bahkan
cenderung membenci para guru sehingga tidak mempunyai rasa hormat pada guru.
Hal tersebut menyebabkan banyaknya aturan sekolah bagi keselamatan para guru,
seperti harus memakai sepatu beralas karet agar dapat berlari kencang jika suasana
kelas mulai tidak kondusif, tidak berjalan sendirian pada jam istirahat dan sesudah
pelajaran, namun harus bergerombol 5-6 orang guru agar aman, dan sebagainya.
Kedatangan Yankumi dalam kelas tersebut juga tidak diterima dengan
mulus oleh para murid 2-D. Mereka melakukan intimidasi dengan segala macam
cara dengan tujuan Yankumi mengundurkan diri. Namun, usaha mereka sia-sia
karena Yankumi ternyata tidak seperti guru-guru yang lain. Jika muncul keributan,
biasanya beberapa guru laki-laki akan bergandengan tangan membentuk perisai
untuk melerai mereka. Sementara itu, Yankumi hanya seorang diri sanggup
menghadapi mereka bahkan menghajar mereka. Sejak kedatangan Yankumi maka
angka kenakalan yang dilakukan murid-murid menjadi berkurang. Kehebatan
Yankumi berkaitan dengan latar belakang keluargannya. Yankumi ialah cucu
perempuan keluarga Kuroda sekaligus pewaris generasi ke empat kelompok
1
Ministry of Education in Japan defines ijime as a particular form of aggression, physical or
psychological, which is carried out unilaterally and continuously against someone weaker than the
perpetrator/s, which the victim him/herself finds detrimental (Monbushō Ijime Mondai Kenkyūkai
(1997:3). http://espace.library.uq.edu.au/eserv.php?pid=UQ:7721&dsID=tm_rhiz.pdf
2
Kuroda (calon kumicho)2. Kelompok tersebut merupakan satu-satunya kelompok
Yakuza 3 yang terkuat dan terbesar dengan jaringan yang luas sehingga paling
ditakuti oleh kelompok Yakuza yang lain.
Gokusen adalah sebuah komik serial yang berjumlah lima belas volume
dan termasuk dalam kategori komik josei4. Komik ini sangat popular sehingga
mendorong kemunculan sekuelnya, serial anime, drama bahkan muncul serialnya
dalam berbagai versi film. Kemunculan Gokusen tidak terlepas dari fenomena
keberadaan Yakuza yang dirasa masyarakat Jepang semakin meresahkan dan
fenomena sosial ijime yang menjadi momok bagi lingkungan sekolah. Banyak
guru yang gagal menangani murid-murid korban ijime dan menyebabkan kasus
bunuh diri akibat ijime meningkat. Sebelumnya telah ada komik yang hampir
seperti Gokusen yaitu Great Teacher Onizuka yang lebih popular disebut dengan
GTO (1997-2002). Hanya saja jika GTO bersentral pada laki-laki bekas anggota
geng motor, Gokusen bersentral pada perempuan yang dijadikan kuat dalam
pengaruh kultur Yakuza.
Perempuan yang menampilkan nilai-nilai maskulin dalam Gokusen
dianggap sebagai bentuk inovasi dalam karya-karya Morimoto. Kecenderungan
karya Morimoto yang sebelumnya lebih banyak menceritakan tentang interaksi
ibu dan anak seperti dalam komik yang berjudul I‟m a Mother (Watashi Ga Mama
Yo) yang menceritakan tentang pengasuhan anak, proses kelahiran anak, sampai
2
Panggilan kepada ketua kelompok Yakuza yang ditujukan kepada kelompok Kuroda
Organisasi kriminal yang terorganisasi di Jepang dimana awal kesejarahannya muncul pada
zaman Tokugawa atau sekitar tahun 1612
4
Genre komik Jepang yang dikhususkan bagi pembaca perempuan.
3
3
proses sekolah anak sebagaimana yang diatur oleh sistem ie5. Begitu juga karya
lainnya, seperti Mystery Mama dan Kochira Lady Mama, selalu menceritakan
perempuan dalam konstruksi yang sudah umum dan sama sekali tidak ada unsur
gangster.
Dalam konstruksi ideologi laki-laki, tubuh perempuan dipandang sebagai
alat pemuas laki-laki, objek laki-laki atau sebagai citra pigura dan mempunyai
peran yang minor 6 (Bourdieu, 2010: 83). Namun, dalam komik ini, pengarang
menggeser pandangan tersebut dengan menjadikan perempuan yang kuat, seperti
laki-laki Yakuza. Bahkan laki-laki dalam kelompok Yakuza ataupun di luar
kelompok Yakuza mengakui kehebatanya dan takluk padanya. Morimoto sebagai
seorang pengarang perempuan mencoba menggeser pandangan masyarakat yang
sering mengidentikkan perempuan sebagai makhluk yang lemah. Melalui Gokusen,
Morimoto ingin menyampaikan bahwa perempuan tidak hanya berurusan dengan
anak ataupun dengan ranah domestik yang lainnya tetapi dapat juga menonjol
dalam ranah publik dengan menjadi seperti laki-laki bahkan dapat melebihi lakilaki.
Kehidupan Yakuza dijadikan sebagai background oleh Morimoto karena
dunia Yakuza identik dengan maskulinitas. Dunia yang memang dikhususkan
hanya bagi laki-laki (Kaplan dan Dunro, 2003: 10) Selain itu, pengarang ingin
membalikkan aturan tentang posisi perempuan dalam kehidupan nyata Yakuza.
5
Sistem yang mengatur tentang posisi, tugas, tanggungjawab, dan peran perempuan Jepang yang
diatur oleh UU Minpo (lihat pada bab 3, subbab Perempuan dalam Sistem Masyarakat Jepang)
6
Segala macam varian fungsi “hôtesse (tuan rumah perempuan)” yang secara tradisional diberikan
kepada “seks yang dipandang lemah”
4
Dalam kehidupan Yakuza yang nyata, seorang perempuan tidak boleh menjadi
pemimpin Yakuza. Seperti yang dikatakan oleh Kaplan dan Dunro (2003:133)
bahwa tempat perempuan dalam dunia Yakuza sejak lama berpusat pada peranan
sebagai pelacur, penghibur di bar-bar, dan nyonya bagi anggota klan. Keberadan
seorang perempuan di dalam lingkungan Yakuza yang mempunyai tempat selain
yang disebutkan di atas, maka akan dianggap menggangu sistem Yakuza.
Perempuan bagi Yakuza dianggap tidak mampu menahan rasa sakit dan
dapat membocorkan rahasia klan jika mereka tertangkap oleh polisi sehingga
keberadaan mereka hanya berada di balik layar yang terkadang menjadi simpanan
dari para ketua atau anggotanya. Keyakinan Yakuza tidak lepas dari keyakinan
orang Jepang pada umumnya bahwa perempuan mudah diserang dibandingkan
dengan laki-laki dan juga rentan dengan gejala mental dan psikis dalam
menanggapi suatu hal atau kejadian yang menimpa dirinya ataupun keluarganya
sehingga akan sangat membahayakan jika perempuan dalam kondisi tertekan atau
dikecam (Sasaki dalam Bonvillain, 2008: 320). Itulah salah satu alasan yang
menyebabkan kenapa perempuan dalam Yakuza tidak mempunyai tempat seperti
layaknya laki-laki dan menjadikannya sebagai dunia laki-laki.
Gokusen yang bersentral pada perempuan dengan latar belakang Yakuza
dijadikan sebagai alat oleh Morimoto sebagai pengarang untuk menyampaikan
pemikirannya tentang perempuan. Bagi Morimoto, perempuan bisa kuat seperti
halnya laki-laki, bahkan perempuan juga memiliki keabsahan untuk menjadi
pemimpin dalam dunia yang lekat dengan laki-laki dan diakui kehebatannya.
Namun perempuan harus dikonstruksi terlebih dahulu dengan konstruksi laki-laki
5
yang sudah ada dalam masyarakat. Untuk dapat diterima dan diakui dalam dunia
laki-laki, perempuan harus melakukan tindakan-tindakan yang mengekspresikan
maskulinitas. Seperti yang diungkapkan oleh Handajani (2010: 24), bahwa
maskulinitas bukanlah siapa, namun apa yang mereka lakukan. Maskulinitas tidak
dilihat dari jenis kelaminnya, tetapi dari apa yang ditampilkan pada dirinya.
Maskulinitas bukan hanya mengacu kepada laki-laki tapi dapat juga kepada
perempuan yang melakukan tindakan atau hal-hal yang mengekspresikan nilainilai maskulinitas. Pada saat tindakan atau hal-hal tertentu yang dianggap
mencerminkan bentuk maskulinitas oleh masyarakat atau kelompok tertentu
melekat pada diri seorang perempuan maka penamaan maskulinitas sudah tidak
cocok
lagi
hanya
menggambarkan
kepada
perempuan
konteks
yang
laki-laki.
mana
Maskulinitas
biasanya
perempuan
diasosiasikan
dengan
femininitas justru pada dirinya melekat nilai-nilai maskulinitas. Maskulinitas yang
dikonstruksi pada perempuan tidak terbatas hanya pada tubuh, namun penampilan,
tingkah laku, dan sikap dapat juga dikonstruksi pada perempuan. Sebagai sebuah
konstruksi maka maskulinitas dapat melekat pada laki-laki maupun pada
perempuan.
Feminitas dan maskulinitas merupakan pendefinisian oleh anggota
masyarakat yang merujuk pada kadar dimana orang melihat seseorang itu feminin
atau maskulin (Stets dan Burke, 2000: 997). Dalam pendefinisian maskulin dan
feminin, masyarakat ikut menetapkan karakter yang seharusnya dimiliki oleh lakilaki dan perempuan sehingga mereka (laki dan perempuan) akan merespons hal
tersebut dengan melakukan hal-hal yang akan mendefinisikan dirinya sebagai
6
maskulin atau feminin. Melalui ciri-ciri tertentu, seorang laki-laki akan dianggap
mempunyai sisi maskulinitas, begitu juga sebaliknya terhadap perempuan. Pada
akhirnya, perbedaan maskulin dan feminin menggiring pada anggapan umum
terhadap karakterteristik tertentu yang melekat di dalamnya, misalnya saja
maskulin lekat dengan sifat kuat, keras, dan beraroma keringat sehingga ada label
“macho”, sedangkan feminin berarti lemah lembut, wangi, dan identik dengan
sifat-sifat seorang “putri”.
Ashmore (1986) menyebutkan bahwa orang yang dilabeli dengan identitas
maskulin mestinya melakukan tindakan-tindakan yang masuk dalam kategori
maskulin dan bertingkah laku sesuai dengan konstruksi maskulin, seperti dominan,
kompetitif, agresif, kuat, berani, dan seterusnya. Menurut Macinnes (1998),
maskulinitas hanyalah sebagai sebuah konsep untuk menekankan perbedaaan
“natural” antara laki-laki dan perempuan. Salah satu pembeda yang natural dalam
mainstream masyarakat antara laki-laki dan perempuan adalah hubungan antara
maskulin -feminin dan kuat-lemah.
Maskulinitas terbentuk bukanlah karena dibawa sejak lahir atau
merupakan bagian dari genetik laki-laki, melainkan maskulinitas terbentuk dan
terakulturasi oleh perilaku sosial yang dipelajari dan ditiru melalui proses
interaksi sosial (Beynon, 2002: 2). Senada dengan Beynon, Giles dan Middelton
(1999: 39) menyebutkan bahwa feminitas dan maskulinitas terbentuk berdasarkan
pengalaman yang dialami di masa kecil dan menjelang dewasa dalam suatu
lingkungan. Seorang perempuan tidak terlahir alami untuk menjadi feminin,
begitu juga laki-laki. Maskulinitas dan feminitas tidak dibawa sejak lahir, namun
7
dipelajari melalui interaksi sosial. Interaksi sosial sebagai sebuah alat bagi
seseorang untuk menjadikannya feminin atau sebaliknya, namun interaksi sosial
juga menjadi salah satu faktor masuknya sisi maskulintas pada perempuan dan
feminin pada laki-laki.
Stimpson (1987: xii) juga menekankan bahwa maskulinitas adalah sebuah
produk, bukan berasal dari Tuhan, bukan nature melainkan berasal dari proses
sejarah. Sejarahlah yang membentuk dan mengembangkan maskulinitas sehingga
maskulinitas dapat berubah dan berbeda pada masing-masing kultur. Perubahan
maskulintas dapat dilihat dalam kerangka maskulinitas yang berbeda dalam
tayangan film-film pada kurun waktu tertentu sehingga masyarakat dapat
menyebutkan dengan sebutan “maskulinitas yang seperti Rambo”, yang seperti
“Brad Pritt”, dan sebagainya. Dalam kurun waktu terakhir ini, pencitraan
maskulinitas mengalami perubahan dengan munculnya laki-laki cantik yang akrab
disebut dengan Bishounen7, baik dalam film maupun dalam komik sebagai bentuk
maskulinitas yang baru. Meskipun disebut sebagai bishonen, wilayah tubuh
tertentu tetap saja mengacu pada bagian dada tubuh yang sixpack.
Dalam kultur masyarakat, istilah maskulinitas dan feminitas telah menjadi
konsepsi yang mengakar pada kerangka berpikir dan menjadi konstruksi
masyarakat pada umumnya (Connell, 2005: 6). Maskulinitas sendiri dalam
masyarakat merupakan hasil dari ide yang disebut dengan male sex role dan hal
7
Karakter pria dalam komik genre shojo yang digambarkan sebagai pretty boy dengan perawakan
tinggi, berwajah lancip, cenderung feminin, berambut agak panjang, memiliki senyum yang manis.
Disebut juga dengan soft masculinity (Jung, 2011:59)
8
tersebut telah berjalan dari sejak lama. Seperti yang ditekankan oleh Connell
(2005: 22) dalam kutipan berikut ini.
“…Being a man or woman means enacting a general set of
expectations which are attached to one‟s sex – the „sex role‟. In
this apporoach there are always two sex roles in any cultural
context, a male one and a female one. Masculinity and femininity
are quite easly interpreted sex roles, the products of social
learning or „socialization‟ ”
(…menjadi laki-laki atau perempuan berarti memainkan sebuah
aturan umum yang mana jenis kelamin seseorang dilekatkan pada
peran jenis kelaminnya. Dalam pendekatan ini maka akan selalu
ada dua peran jenis kelamin dalam berbagai konteks budaya yaitu
laki-laki dan perempuan. Maskulin dan feminin adalah interpretasi
yang paling mudah dalam sex roles yang diproduksi oleh
masyarakat atau yang disosialisasikan oleh masyarakat)
Laki-laki dan perempuan selalu tidak terlepas dari “roles” yang ada dalam
masyarakat. “Roles” tersebut selalu direproduksi oleh masyarakat dari waktu ke
waktu sehingga menjadi sebuah konstruksi yang kuat. Sama halnya dengan
keberadaan maskulinitas dan feminin sebagai sebuah produk konstruksi
masyarakat yang telah membudidaya sejak lama dalam kultur selalu direproduksi
dengan berbagai macam cara. Maskulinitas dan feminitas direproduksi melalui
agen-agen kemasyarakatan seperti keluarga, sekolah, media, dan sebagainya
(Connell, 2005: 23).
Konstruksi maskulinitas dibentuk secara konvensional dari semenjak anakanak dalam institusional, seperti keluarga dan sekolah. Dalam lingkungan
keluarga, sejak masih bayi, anak-anak telah dikonstruksi oleh orang tuanya.
Apabila anak laki-laki, ibu akan memberikan mainan yang cocok dengan laki-laki,
seperti
mobil-mobilan,
robot-robotan,
mendandani,
dan
memperlakukan
9
sebagaimana layaknya seorang laki-laki. Begitu juga sebaliknya, jika dia
perempuan, ibu akan memberikan boneka, mendandani, dan memperlakukan
sebagaimana layaknya seorang perempuan. Dari gambaran tersebut jelaslah
bahwa semenjak usia bayi, anak-anak telah diperkenalkan untuk menjadi feminin
atau maskulin (Mosse, 1996: 3; Blacwood, 2011: 72; Bonvillain, 2008: 4). Dalam
lingkungan sekolah, olah raga menjadi konstruksi maskulinitas bahkan menjadi
alat test untuk mendeteksi mana anak yang maskulin dan mana anak yang tidak
maskulin (Connell, 2005: 37).
Konstrusksi maskulinitas yang dibentuk semenjak anak-anak juga terlihat
dalam komik ini. Yankumi yang seorang perempuan justru dibentuk dengan
konstruksi maskulinitas. Dari konstruksi maskulinitas yang membentuknya maka
tindakan-tindakan yang masuk kategori maskulin justru dilakukannya. Selain itu,
dengan maskulinitasnya, dia mendapat pengakuan dari kelompoknya dan
kelompok Yakuza yang lain.
1.2
Rumusan Masalah
Yankumi sebagai seorang perempuan yang dilahirkan dalam kultur
Yakuza yang kental dengan dunia maskulinitas dijadikan kuat seperti halnya lakilaki bahkan melebihi laki-laki. Kekuatan dan keberanian yang dimiliki Yankumi
diakui dalam kelompok Yakuza baik musuh maupun klan cabang dan juga muridmuridnya. Pengakuan kekuatan dan kehebatan Yankumi dibuktikan dengan
menjadikannya sebagai calon penerus generasi Kuroda oleh keluarganya dan
semua kelompok cabang. Jika dalam kehidupan nyata tidak boleh perempuan
menjadi pemimpin Yakuza, dalam komik ini justru mengangkat perempuan
10
sebagai calon pemimpin Yakuza yang sangat diharapkan oleh kelompok Yakuza.
Maskulinitas yang melekat dalam dirinya merupakan hal yang pokok untuk diakui
dan diterima dalam kelompok Yakuza juga dalam kehidupan murid-muridnya
yang
berandalan.
Berdasarkan
rumusan
masalah
tersebut
maka
dapat
dielaborasikan dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana konstruksi maskulinitas terhadap perempuan dibangun
dalam komik Gokusen.
2. Mengapa perempuan dikonstruksi dengan nilai-nilai maskulin dalam
Gokusen
1.3
Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka muncul dua tujuan dalam
penelitian ini, yaitu (1) untuk mengetahui tujuan dan alasan pengarang dengan
menjadikan perempuan memiliki maskulinitas dalam dirinya sehingga akan dapat
dilihat apakah pengarang hanya mereproduksi kultur yang telah ada dengan versi
yang berbeda ataukah pengarang memang membela perempuan; dan (2) untuk
mengungkapkan konstruksi maskulinitas terhadap perempuan dalam kultur
kehidupan Yakuza sehingga akan mengetahui bahwa terdapat perbedaan
maskulinitas yang dipengaruhi oleh kultur dan tatanan institusional tertentu.
1.4
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian terdiri dari manfaat teoritis dan manfaat praktis.
Manfaat teoritis penelitian ini adalah menerapkan teori maskulinitas yang
merupakan bagian dalam kajian feminisme pada karya sastra sehingga pada saat
11
membahas tentang feminisme tidak hanya tentang perempuan yang tersubordinasi
namun bisa juga tentang laki-laki dalam tatanan gender. Manfaat praktis
penelitian ini adalah untuk memperkenalkan maskulinitas yang dapat tertanam
pada perempuan dalam hubungannya dengan kehidupan Yakuza dalam
masyarakat Jepang sekaligus sebagai referensi penelitian-penelitian selanjutnya,
terutama penelitian mengenai maskulinitas perempuan.
1.5
Tinjauan Pustaka
Gokusen sebagai objek material dalam penelitian ini, sebelumnya sudah
pernah dijadikan objek material dalam penelitian sebelumnya. Penelitian dengan
menggunakan komik Gokusen dilakukan oleh Octora Hanna Grace (2010) dalam
skripsinya yang berjudul Analisis Sosiologis Tokoh Yankumi Dalam Komik
“Gokusen” Karya Kozueko Morimoto (Kozueko Morimoto No Sakuhin No
“Gokusen” To Iu Manga Ni Okeru Yankumi To Iu Shujinkou No
Shakaigakutekina Bunseki). Penelitian tersebut menggunakan pendekatan
sosiologis dan menganalisis interaksi sosial dalam kehidupan Yankumi di
lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat, dan juga menganalisis latar.
Selanjutnya, penelitian tentang Gokusen dilakukan oleh Meika Debby
(2009) dengan pendekatan sosiologis, semiotika, dan historis dengan judul
Analisis Kehidupan Yakuza Dalam Komik Gokusen Karya Kozueko Morimoto
(Kozueko Morimoto No Sakuhin No “Gokusen” Manga No Yakuza No Seikatsu
No Bunseki Ni Tsuite). Dalam penelitiannya dia ini menganalisis kondisi
sosiologis yang dihubungkan dengan pendekatan historis dan pendekatan
12
semiotika untuk menjabarkan keadaan serta tanda – tanda yang terdapat dalam
komik ini, sehingga akan jelas kondisi sosial yang dihadapi tokoh utama.
Penelitian mengenai maskulinitas sudah pernah diteliti baik dalam kajian
sastra maupun kajian media. Dalam kaitannya dengan sastra, salah satunya adalah
penelitian yang dilakukan oleh Dewi Ariani (2013) dalam tesisnya yang berjudul
Narasi Maskulinitas Dalam Le Rocher De Tanios Karya Amin Maalouf dengan
menggunakan konsep Connell. Peneliti menganalisis maskulinitas dalam
masyarakat Arab dan bentuk dari maskulinitas hegemonik sebagai maskulinitas
ideal dalam masyarakat Arab.
Maskulinitas dalam kaitannya dengan media pernah dibahas oleh Umi
Najikhah Fikriyati (2011) dalam tesis yang berjudul Representasi Maskulinitas
Hegemonik dalam Iklan Produk Laki-Laki di TV. Dalam tesis ini, meneliti produk
laki-laki seperti L-Men, M-150, dan rokok Djarum sebagai pembawa maskulinitas
hegemonik. Maskulinitas hegemonik yang digambarkan adalah laki-laki yang
berstamina, kuat, sehat, bentuk fisik sixpack, tubuh, dan wajah terawat sehingga
muncul laki-laki metroseksual sebagai bentuk hegemonik yang baru.
Penelitian lainnya adalah tesis Ana Zahida dengan judul Representasi
Maskulinitas New Man Boyband Indonesia dalam Video Musik (2012) yang
mempresentasikan wacana maskulinitas dengan karakter yang berbeda dalam
boyband SMASH, XO XI, dan Hitz. Meskipun mempunyai karakter yang berbeda,
terdapat kesamaan di dalamnya, yaitu ketiga boyband tersebut memperlakukan
tubuh sebagai arena konstruksi citra pria modern yang memenuhi definisi
ketampanan standar dengan fisik yang sempurna dan kepedulian terhadap fashion.
13
Maskulinitas perempuan juga pernah dibahas dalam kaitannya dengan
media dalam jurnal oleh Cons. Tri Handoko (2005) dengan judul Maskulinitas
Perempuan Dalam Iklan Dalam Hubungannya Dengan Citra Sosial Perempuan
Ditinjau Dari Perspektif Gender. Fokus penelitian ini adalah mengungkapkan
konstruksi perempuan dalam iklan yang berada di luar konstruksi yang umum
(konstruksi feminin). Perempuan dalam iklan digambarkan sebagai sosok
perempuan dengan konstruksi maskulin sehingga telah terjadi pergeseran dalam
tatanan gender dalam masyarakat, dimana peran laki-laki atau perempuan itu bisa
dipertukarkan dan berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan kebutuhan.
Penelitian lainnya adalah tesis Sumekar Tanjung (2012) dengan judul
Makna Maskulinitas dalam Media Massa. Penelitian ini menggunakan konsep
Connell dalam hal maskulinitas dan Barthes dalam menganalisis maknanya.
Penelitian ini menganalisis pergeseran maskulinitas pada laki-laki dan
maskulinitas pada perempuan pada majalah Cosmopolitan dalam rentang waktu
Agustus 2011 – Januari 2012. Maskulinitas perempuan dalam majalah tersebut
dideskripsikan sebagai sosok yang mandiri dan independen (sukses dalam karier).
Berdasarkan penelitian-penelitian di atas, terlihat bahwa telah ada
penelitian mengenai maskulintas, maskulinitas perempuan, dan penggunaan
konsep Connell sebagai objek formalnya. Namun, pemilihan Gokusen sebagai
objek material dalam kajian maskulinitas perempuan belum pernah dilakukan.
Selain itu kondisi dimana perempuan mempunyai sifat maskulin dan berusaha
keluar dari gender rolenya banyak ditemukan dalam masyarakat sehingga tatanan
gender yang telah menjadi konstruksi masyarakat mengalami goncangan. Oleh
14
karena itu, penelitian ini dianggap perlu dan relevan untuk dilakukan guna
mengungkap maskulinitas dalam diri seorang perempuan yang diciptakan oleh
Morimoto dan untuk melengkapi penelitian sebelumnya.
1.6
Landasan Teori
Secara umum masyarakat selalu berpikir bahwa maskulinitas mengacu
pada tubuh laki-laki, yang melekat dalam tubuh laki-laki, atau mengekspresikan
sesuatu tentang badan laki-laki, seperti laki-laki lebih agresif dibandingkan
perempuan dengan bentuk badannya yang berotot, postur, cara laki-laki bergerak,
dan kemampuan dalam hal seks (Connell, 2005: 53).
Maskulinitas sebagai isu yang beredar dalam lingkungan laki-laki
merupakan kepanjangan bentuk dari man role yang akan mengarahkan laki-laki
untuk melakukan hal-hal yang dianggap maskulin. Mulai dari penampilan, tubuh,
tingkah laku, dan sikap semua dikonstruksi agar layak menjadi maskulin. Bahkan,
masyarakat ataupun institusional masyarakat secara terus-menerus dan secara
sadar atau tidak telah mengkonstruksi maskulinitas sesuai dengan zamannya
sehingga selalu ada bentuk-bentuk konstruksi maskulinitas yang mengalami
pergeseran (Fikriyati, 2011: 2). Man role itulah yang oleh Pleck disebut sebagai
konsep dominan maskulinitas dalam masyarakat dan juga sebagai sumber masalah
dalam masyarakat maupun pada diri laki-laki sendiri (Pleck.1995).
Pada diri laki-laki sendiri, maskulinitas bukanlah sesuatu yang selalu
menguntungkan, namun juga dapat menjadi beban bagi laki-laki. Laki-laki secara
sadar atau tidak, berusaha mengikuti pola-pola maskulinitas agar berterima dalam
15
masyarakat. Sementara itu, bagi yang melenceng seperti kalangan gay dan
sejenisnya, maskulinitas mereka yang berbeda jauh justru menjadikan masalah
dalam keberadannya di dalam masyarakat. Bukan hanya kalangan yang
melenceng yang menganggap bahwa maskulinitias juga sebagai sumber masalah,
namun kalangan heteroseksual juga ada kalanya merasa “terbebani” dengan
konsep maskulinitas tersebut.
Pada awal Eropa modern dengan perkembangan kolonial dan kapitalis
ekonomi, masing-masing individu dan agen masyarakat dibangun dengan asumsi
bahwa “one‟s behavior result from the type of person one is” yang secara tidak
langgsung menggatakan “an unmasculine person would behave differently”,
seperti menjadi orang yang lebih suka cinta damai dibandingkan dengan yang
melakukan kekerasan, menengahi daripada mendominasi, tidak bisa menendang
bola, tidak tertarik dalam urusan memperebutkan cinta, dan seterusnya. Namun,
konsep-konsep semacam ini sudah menjadi hubungan dalam masyarakat karena
keberadaan maskulinitas dikontraskan dengan feminitas (Connell, 2005: 67-68).
Maskulinitas sebagai kepanjangan dari man role diterapkan pada
lingkungan keluarga, sekolah, dan media, seperti pada film, iklan, lukisan, patung,
dan sebagainya. Semua ikut berpartisipasi untuk mengkonstruksi laki-laki sejak
bayi sampai dewasa sehingga dari hal itulah, laki-laki mempunyai apa yang
disebut dengan men empirical. Namun, sikap, tindakan, dan hal-hal maskulin
lainnya bisa juga melekat pada perempuan dan mereka juga disebut maskulin
tanpa melihat siapa yang menampilkannya baik laki-laki maupun perempuan
(Connell, 2005: 69). Sebagai sebuah label untuk menunjukkan bahwasannya
16
mereka adalah laki-laki sejati (true men), pelabelan tersebut sudah agak tidak
releven lagi pada saat maskulinitas atau men empirical tersebut justru melekat
pada tubuh perempuan. Perempuan dalam stigma masyarakat yang diasosiasikan
lemah justru bisa mengalahkan laki-laki yang sudah dilabeli dengan sebutan
maskulin menjadi problematik. Hal inilah yang terlihat dalam objek material yang
penulis ambil. Justru dalam diri perempuan itulah, dia memiliki apa yang disebut
dengan men empirical. Nilai-nilai maskulinitas yang dikonstruksi pada perempuan
membuat perempuan tersebut disebut maskulin sehingga sesuai jika menggunakan
konsep maskulinitas Connell.
Dalam landasan teori akan terbagi dalam dua subbab. Pertama, konstruksi
maskulinitas dan hubungan antara maskulinitas yang di dalamnya terdapat tipe
maskulinitas hegemoni, subordinasi, dan marginal. Dalam konstruksi maskulinitas
akan dipaparkan proses maskulinitas dalam masyarakat yang dibentuk melalui
lembaga-lembaga yang ada dalam kemasyarakatan. Kedua, memaparkan
hubungan yang terjadi dalam tipe-tipe maskulinitas. Hubungan dalam tipe-tipe
maskulinitas perlu dipaparkan karena dalam maskulinitas perempuan yang ada
dalam objek material ini bukanlah sebuah tipe maskulinitas yang hegemonik
melainkan maskulinitas marginal.
1.6.1
Konstruksi Maskulinitas
Melihat dari kesejarahannya, maskulinitas dapat ditelusuri pada saat abad
16 ketika terjadi perubahan sosial dan keberagaman menuju pengembangan
individualisme. Connell (2005: 186-187) menganggap bahwa industrialisasi,
17
eksplorasi dunia, dan perang saudara menjadi suatu tindakan yang berhubungan
dengan laki-laki dan menjadi dasar terbentuknya maskulinitas modern. Science
dan teknologi diklaim sebagai bentuk maskulinitas yang real dan sebagai bentuk
kekuasaan laki-laki. Sejak itu dominsi laki-laki pada perempuan dilegitimasikan
melalui produksi teknologi bukan dilegitimasikan melalui agama ataupun tekanan
militer. Maskulinitas sebelum abad 18 dan abad 19 dalam kultur Eropa juga
tidaklah sama sehingga maskulinitas merupakan produk sejarah dari ratusan tahun
yang lalu (Connell, 2005: 68).
Pemberian definisi maskulinitas dilakukan melalui cara taken for granted
terhadap kultur yang ada dalam masyarakat, namun maskulinitas sendiri tidak
secara otomatis langsung diberikan atau melekat dengan seseorang. Mereka harus
berusaha dan melakukan strategi-strategi yang berbeda tiap individu agar
mempunyai karakteristik yang disebut dengan maskulin (Connell, 2005: 68).
Strategi tersebut diantaranya adalah dengan mengkontraskan maskulinitas dengan
feminitas dan apa yang seharusnya laki-laki lakukan.
Keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat mempunyai peranan yang
penting untuk mengkonstruksi maskulinitas sejak dini. Adanya hirarkhi family suami mendominasi istri dan ibu mendominasi anak-, anak akan dipaksakan
menjalankan gender role-nya sehingga akan membentuk anak menjadi maskulin
atau feminin. Bukan hanya keluarga, namun teman sepermainan, kelompok, dan
lingkungan turut mendorong dengan sangat kuat hal-hal yang mendefinisikan
maskulin (Connell, 2005: 171).
18
Sekolah
sebagai
lembaga
institusional
dalam
mempraktikan
kedispilinannya, cara berpakaian, dan hirarkhi akademik di dalamnya juga ikut
menunjang
praktik
kelanggengan
maskulinitas,
salah
satunya
dengan
mengkonstruksi olah raga sebagai sebuah konstruksi maskulinitas. Hal ini secara
tidak langsung menyiratkan bahwa institusional masyarakat ikut merespons
terhadap isu gender dan memberikan “kelas” pada laki-laki dalam keluarga dan
masyarakat. Secara tidak langsung, konstruksi maskulinitas juga memberikan
keuntungan pada sistem patriakhi dan menempati garis depan untuk melengkapi
sistem patriakhi, yang mana konstruksi tersebut dijalankan tanpa tekanan ekstrem
dan hasilnya melebihi kekerasan langsung secara fisik (Connell, 2005: 79).
Maskulinitas merupakan konstruksi yang mengacu pada laki-laki, sesuatu
yang melekat dalam tubuh laki-laki atau yang mengekspresikan sesuatu tentang
tubuh laki-laki, namun tidak menutup kemungkinan bahwa unsur maskulinitas
juga ada pada diri perempuan dan begitu juga sebaliknya (Connell, 2005: 45,16).
Maskulinitas tidak selalu berhubungan dengan penampilan tubuh karena
maskulinitas dapat berbentuk “embodied” dan “disembodied”, namun tidak dapat
dipungkiri bahwa dalam pembicaraan maskulin, penampilan tubuh selalu muncul.
Tubuh laki-laki yang banyak disoroti dalam hal maskulinitasnya adalah “otot”
sehingga hal tersebut menyebabkan banyak orang selalu mengkaitkan otot dengan
ciri maskulinitas, seperti lembaga sekolah dengan pelajaran olahraganya. Dalam
Gokusen, “badan berotot, bertato, dan bertarung” merupakan salah satu bentuk
maskulinitas yang selalu ditonjolkan oleh pengarang melalui perempuan dan lakilaki Yakuza. Katz (1995: 139) mengatakan bahwa maskulinitas laki-laki juga bisa
19
ditandai dengan otot. Menurutnya, otot adalah penanda yang membedakan lakilaki dengan perempuan, sebagaimana dilihat dari kutipan berikut ini.
“Muscles are about more than just the functions ability to men to
defend home and hearth of perform heavy labor. Muscles are
markers that separate men from each other and, most important
perhaps, from women. And while he may not realize it, every man
– every accountant, science nerd, clergyman,or cop – is engaged
in a dialogue with muscles (Katz, 1995:139)”
(Otot lebih daripada kemampuan fungsi dari laki-laki untuk
mempertahankan rumah dan tampilan dari pekerja yang melakukan
pekerjaan berat. Otot adalah penanda yang membedakan antara
laki-laki dari yang lainnya dan yang lebih penting adalah pembeda
dari perempuan. Sementara laki-laki yang mungkin tidak
menyadarinya, setiap orang -setiap akuntan, ilmuwan, pendeta atau
polisi- mereka sebenarnya juga terlibat dalam dialog dengan
ototnya (Katz, 1995:139)”
Konstruksi maskulinitas sendiri bukanlah sesuatu yang tetap melainkan
berubah seiring waktu dan berbeda antara satu kultur dengan kultur lainnya. Hal
tersebut dapat dipengaruhi oleh sejarah, sosial, kelas, dan ras (Connell, 2005: 36).
Secara spesifik, maskulin terkonstruksi dalam hubungan dengan kemaskulinan
yang lain dan dengan struktur hubungan gender secara keseluruhan (Connell,
2005: 154). Bentuk-bentuk maskulinitas tidak bisa terlepas dari bentuk
maskulinitas yang lain yang ada dalam masyarakat meskipun maskulinitas
tersebut bukanlah sebuah tipe yang hegemonik, namun tetap saja saling
mempengaruhi. Hal ini seperti yang tampak dalam hubungan antara maskulinitas
heteroseksual dan maskulinitas homoseksual (hegemonik-subordinan-marginal)
yang mana timbul kriminalitas dalam bentuk intimidasi dan kekerasan di
dalamnya. Bukan hanya hubungan antara heteroseksual dan homoseksual yang
timbul intimidasi, namun antara kelompok heteroseksual juga timbul intimidasi,
20
seperti yang tampak dalam Gokusen antara kelompok Yakuza dengan masyarakat
sebagai hegemonik.
Maskulinitas bukan hanya sebuah ide dalam kepala atau identitas gender,
melainkan isu maskulintas telah menyebar ke seluruh dunia dan melekat dalam
hubungan dengan organisasi sosial. Maskulinitas terlibat sangat dalam pada
sejarah institusional ataupun struktur ekonomik (Connell, 2005: 27-28). Senada
dengan hal tersebut, Paul Nikolaou (dalam Connell 2005: 167) menyatakan bahwa
definisi maskulinitas bukan konstruksi dari individu yang terisolasi tetapi
merupakan konstruksi kerja kolektif dari suatu kelompok. Dari kesepakatan
masyarakat maka muncul pola-pola maskulinitas hegemonik yang diakui sebagai
bentuk ideal dan menyingkirkan atau mendiskriminasikan pola-pola maskulinitas
yang lain.
1.6.2
Maskulinitas Hegemonik, Subordinat, dan Marginal
Banyaknya hal yang saling mempengaruhi antara gender, ras, dan kelas
menjadikan adanya pengakuan yang beragam terhadap maskulinitas sehingga
perlu dilakukan uji di dalamnya, seperti lingkungan pergaulan, kelas, ras, bahkan
hubungan gender yang terjadi di dalamnya (Connell, 2005: 76). Dalam
lingkungan kelompok tertentu, akan mempunyai kriteria maskulinitasnya sendiri,
seperti pada kelas menengah di Jepang yang direpresentasikan oleh kelas
sarariman. Kelompok tersebut dijadikan representasi maskulin dengan botol
minuman energi atau suplemen pada setiap media. Minuman energi dan suplemen
akan dapat menambah energi dan kekuatan yang merupakan simbol maskulin
hegemonik di Jepang (James Roberson, 2010: 369). Hal tersebut juga merambah
21
pada masyarakat Indonesia dengan banyaknya media yang menampilkan sosok
laki-laki yang dianggap maskulin dengan minuman berenergi ataupun suplemen.
Orang yang secara fisik tidak mempunyai kriteria maskulin tradisional (badan
berotot dan kekar), namun dapat juga disebut maskulin dalam hubungannya
dengan kejeniusan dalam hal teknologi, seperti otaku atau hacker (Connell, 2005)
Beragamnya maskulinitas yang muncul dalam masyarakat belum tentu
semua bentuk maskulinitas tersebut disetujui oleh masyarakat bahkan diikuti oleh
masyarakat, namun bisa juga masyarakat akan menolak bentuk maskulinitas
tersebut. Maskulinitas yang diikuti dan didukung oleh masyarakat merupakan
bentuk
maskulinitas
hegemonik
yang
di
dalamnya
ada
upaya
untuk
menghilangkan sisi feminitas dalam diri laki-laki karena hal tersebut kurang bisa
diterima dalam konstruksi maskulinitas hegemonik. Maskulinitas hegemonik
sebagai maskulinitas yang paling dominan dalam masyarakat bukanlah tipe
karakter yang tetap, selalu, dan pada tempat yang sama. Maskulinitas hegemonik
didefinisikan sebagai praktik konfigurasi gender yang melekat dan diterima
sebagai legitimasi patriakhi dengan posisi laki-laki lebih dominan dan perempuan
pada posisi subordinasi (Connell, 2005:77).
Maskulinitas
hegemonik
bukan
semata-mata
mengidentifikasikan
maskulinitas dari segi fisik saja, namun juga mengacu pada power (Connell, 2005:
166, Gill, 1998: 60). Kelompok hegemonik melalui kekuasaannya menguasai
orang lain dan juga perempuan. Melalui kekuasaannya, hegemonik melegitimasi
bentuk-bentuk maskulinitas yang ideal dan menjadi standar dalam masyarakat
agar tidak mengoyahkan konstruksi male role yang telah dibangun sejak lama.
22
Maskulinitas hegemonik merupakan alat bagi laki-laki untuk mempertahankan
atau melanggengkan konsep kelaki-lakiannya karena pada dasarnya laki-laki ingin
berkuasa atau mempunyai kekuasaan. Dalam Gokusen, hegemonik dengan
kekuasaannya melakukan kekerasan dan intimidasi terhadap bentuk maskulinitas
Yakuza. Menurut Connell dalam Kimmel (2005: 30), laki-laki dapat melakukan
kontrol terhadap perempuan dan laki-laki melalui kekuasaannya.
“This is the definition that we will call “hegemonic” masculinity,
the image of masculinity of those men who hold power, which has
become the standard in psychological evaluations, sociological
research, and self-help and advice literature for teaching young
men to become “real men” ”
(Inilah definisi yang akan kita sebut dengan maskulinitas
“hegemonik”. Citra maskulintas dari laki-laki yang memegang
kekuasaan yang mana menjadi standar dalam evaluasi psikologis,
penelitian sosiologis dan diri sendiri dan panutan dalam
kesusatraan untuk mengajari laki-laki muda agar menjadi “laki-laki
yang sejati”
Kimmel (2005: 30) menyebutnya dengan “a man in power, a man with
power, and a man of power.” Konstruksi maskulinitas yang dibangun merupakan
konstruksi yang kokoh dan meyakinkan sehingga sulit untuk digocangkan oleh
para perempuan feminis maupun oleh laki-laki yang tidak sepakat dengan
konstruksi buatan mereka. Dari beragam jenis maskulinitas, maskulinitas
hegemonik inilah yang merupakan bentuk maskulinitas paling ideal dan sebagai
tolak ukur dalam masyarakat.
Meskipun menjadi standar, tidak semua masyarakat setuju dengan
hegemonik. Bentuk-bentuk ketidaksetujuan akan maskulinitas hegemonik terlihat
dengan munculnya kelompok homoseksual sebagai bentuk protes terhadap
23
kehomogenan maskulinitas. Mereka yang heteroseksual juga melakukan hal yang
sama dalam bentuk yang berbeda agar bisa keluar dari lingkaran maskulinitas
hegemonik yang telah terlegitimasi (Connell, 2005: 79). Mereka membentuk
kelompok-kelompok baru yang menentang konstruksi yang sudah ada dan
membangun konstruksi hegemonik yang baru. Perlawanan terhadap pola-pola
hegemonik sama saja dengan melawan konstruksi masyarakat secara keseluruhan
atau dapat bernegosiasi di dalamnya (Connell, 2005: 37).
Adanya perlawanan, mengisyaratkan adanya intimidasi dan kekerasan
yang dilakukan oleh kelompok yang dominan dalam hal ini tentu saja kelompok
hegemonik yang dianggap masyarakat sebagai pola yang ideal terhadap kelompok
yang subordinan. Dari tindakan-tindakan yang dilakukan kelompok dominan
bahwa yang namanya intimidasi dan kekerasan seolah-olah berterima bahkan
menjadi alat bagi hegemonik untuk memperbaiki tatanan gender, seperti
munculnya kaum homoseksual yang keluar dari tatanan gender laki-laki. Dalam
hal ini, Connell (2005: 84) menegaskan bahwa yang namanya kekerasan
merupakan bagian dari sistem dominasi. Kelompok Yakuza dalam Gokusen juga
mengalami intimidasi dari kelompok hegemonik. Intimidasi dan streotipe negatif
yang dilakukan oleh kelompok hegemonik membuat kelompok Yakuza semakin
tersingkir dari lingkungan sosial.
Maskulinitas hegemonik merupakan strategi untuk mempertahankan
patriakhi yang semakin lama semakin terkikis karena muncul penolakan tatanan
gender dan masukknya perempuan dalam kelompok yang seharusnya dominan
laki-laki (Connell, 2005: 191). Meskipun merupakan strategi laki –laki, pembawa
24
maskulinitas hegemonik tidak selalu orang-orang yang mempunyai kekuasaan.
Mereka yang mempunyai kekuasaan dan kaya belum tentu sebagai pembawa
maskulinitas hegemonik justru mungkin jauh dari pola hegemonik. Pembawa
maskulinitas hegemonik dapat juga berasal dari aktor film, figur fantasi, ataupun
karakter-karakter dalam film yang merupakan kelompok heteroseksual (Connell,
2005: 77).
Hegemonik sebagai bentuk dominan dalam masyarakat secara keseluruhan
juga memunculkan hubungan dominan dan subordinasi dalam hubungan gender
laki-laki. Maskulinitas tidaklah langsung menetap pada diri seseorang, melainkan
diperebutkan. Akibatnya, relasi gender masyarakat dapat dikatakan sebagai
sebuah arena perjuangan dan pemain yang dominan memperoleh eksistensinya
(Connell, 2005: 76-78). Dalam masyarakat hegemonik, yang paling dominan
adalah heteroseksual dan homoseksual berada dalam posisi subordinasi. Posisi
kelompok yang subordinasi membuat kelompok tersebut rentan dengan
diskriminasi dalam sosial juga kekerasan. Seperti dalam hirarkhi gender antara
laki-laki, maskulinitas homoseksual berada dalam urutan paling bawah sehingga
banyak opresi yang diterima seperti diskriminasi dalam masyarakat, kekerasan,
dan pemboikotan terhadap keberadaan mereka (Connell, 2005: 78). Kekerasan
yang terjadi merupakan sebuah jalan untuk menegaskan atau mengklaim
maskulinitas kelompoknya.
Hegemonik sebagai kelompok yang dominan dalam masyarakat selain
memunculkan subordinasi juga memunculkan kelompok yang termarginalkan,
misalnya laki-laki kulit hitam sedangkan dalam Gokusen kelompok Yakuza
25
menjadi yang marginal. Hal ini terjadi karena semakin kompleksnya struktur yang
terbentuk dalam hubungannya dengan maskulinitas. Kelas yang dominan dengan
maskulinitas hegemonik akan memarginalkan kelas yang lain dengan maskulinitas
yang melekat dalam kelas tersebut. Selama adanya hegemonik, subordinasi dan
yang termarginalkan serta kekerasan akan selalu ada (Connell, 2005: 81).
1.7
Metode Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini, hal pertama yang dilakukan adalah
menentukan objek material sebagai bahan penelitian. Sebagai objek material
dalam penelitian ini adalah komik Gokusen karya Morimoto Kozueko. Dari
pembacaan terhadap objek material tersebut akan didapatkan hal-hal yang dapat
dijadikan bahan penelitian. Setelah menentukan kajian penelitian, kemudian
menentukan objek formal sebagai pisau analisis dengan teknik kajian pustaka.
Proses dalam penelitian ini terjabarkan dalam langkah-langkah sebagai
berikut :
1. Pengumpulan data
Mencari dan mengumpulkan data yang berhubungan dengan maskulinitas
yang dimunculkan perempuan dalam cerita tersebut. Korpus data yang
dikumpulkan adalah gambar, kata-kata, ataupun kalimat yang menunjukkan
bentuk konstruksi maskulinitas, tindakan-tindakan maskulinitas yang dilakukan
oleh Yankumi, pengakuan terhadap kehebatan Yankumi, dan pandangan negatif
terhadap keberadaan kelompok Yakuza dalam masyarakat. Misalnya, gambar
pertarungan melawan Ichiro, melawan geng geng salib hitam, melawan kelompok
26
Yakuza Nekomata, melakukan yubitsume, dan sebagainya. Kemudian kata-kata
seperti “Aku bisa merobohkanmu hanya dengan dua jari”, “Hati-hati perempuan
itu kuat sekali”, “Berhenti, bisa dibunuh Yakuza kamu”, “Cewek macam apa itu!?
Sampai-sampai aku disuruh menulis kontrak yang aneh begitu!! Rasanya kayak
diancam Yakuza!!”, dan sebagainya.
2.
Klasifikasi data
Dari banyaknya korpus data yang dikumpulkan kemudian diklasifikasikan.
Klasifikasi data mencakup bentuk konstruksi maskulinitas yang diterapkan waktu
kecil, tindakan maskulinitas perempuan baik dalam lingkungan sekolah maupun
lingkungan Yakuza, streotipe negatif yang membentuk penolakan masyarakat
terhadap kultur Yakuza, pengakuan laki-laki dan perempuan terhadap kehebatan
perempuan. Misalnya, latihan berkelahi saat Yankumi kecil, menghajar geng
berandalan yang masuk ke lingkungan sekolah, menghajar berandalan yang
menganggu klub milik Yakuza, dan sebagainya.
3. Seleksi data
Dalam tahap ini dari begitu banyak data yang dikumpulkan dan sudah
diklasifikasikan kemudian diseleksi untuk dipilih mana yang akan digunakan.
Memilih data ini bertujuan untuk menfokuskan penelitian. Dari 15 volume cerita,
hampir semua cerita dalam setiap volume mempunyai isi cerita yang
menggambarkan tindakan maskulinitas Yankumi, namun dalam penelitian ini
hanya mengambil delapan volume dengan asumsi dari ke delapan volume tersebut
sudah dapat merepresentasikan tindakan maskulinitas yang lainnya dan dapat
menjawab masalah dalam penelitian ini.
27
4. Analisis
Menganalisis isi cerita dengan menggunakan konsep maskulintas dengan
kajian pustaka dan data-data yang telah dianalisis diuraikan dalam bentuk
deskriptif. Langkah analisis yang pertama yang dilakukan adalah mencermati dan
menyambungkan setiap data-data yang telah diseleksi. Dari data-data tersebut
akan terlihat proses konstruksi maskulinitas yang dibangun dalam diri seorang
perempuan, siapa yang mengkonstruksi, untuk apa, kenapa harus dikonstruksi
dengan maskulinitas, dan maskulinitas seperti apa yang dibangun pada dirinya
yang semuanya itu tidak dapat lepas dari unsur budaya yang membentuknya.
Bukan hanya isi cerita saja yang dianalisis melainkan juga pengarangnya, sosio
kultur pengarang, fenomena sosial, dan alasan pengarang menggambarkan
perempuan dengan nilai maskulinitas yang melekat pada dirinya. Dalam
menganalisis menggunakan teknik kajian pustaka dengan cara mencari,
mengumpulkan, membaca, dan mempelajari buku-buku acuan seperti artikel, dan
tulisan yang mempunyai hubungan atau yang menunjang penelitian. Hasil analisis
tersebut kemudian ditarik menjadi sebuah kesimpulan.
1.8
Sistematika Penyajian
Penelitian ini terdiri dari empat bab yang secara garis besar memuat isi
sebagai berikut, yaitu pendahuluan, pembahasan masalah, dan kesimpulan. Bab I
yang merupakan pendahuluan berisi tentang latar belakang penelitian yang
merupakan alasan penulis mengambil kajian maskulinitas perempuan dalam
komik Gokusen sebagai penelitiannya, rumusan masalah yang memuat dua
masalah yang akan penulis angkat, manfaat, dan tujuan penelitian yang ingin
28
dicapai dengan membuat penelitian ini, tinjauan pustaka yang berisi tentang
penelitian-penelitian sebelumnya yang relevan sehingga dapat dijadikan referensi,
landasan teori dengan menggunakan konsep dari Connell tentang maskulinitas,
metode penelitian sebagai gambaran tentang cara atau langkah penulis dalam
melakukan analisis kajian ini, dan yang terakhir adalah sistematika penyajian yang
mendeskripsikan gambaran masing-masing bab yang ada dalam penelitian ini.
Bab II merupakan pembahasan masalah dari rumusan masalah yang ada
pada bab I. Dalam rumusan masalah terdapat dua masalah sehingga untuk bab
pembahasan masalah juga ada dua bab yaitu bab II dan bab III. Bab II membahas
masalah pertama yaitu bagimana konstruksi maskulinitas perempuan dibangun
dalam komik ini, sedangkan bab III membahas mengapa perempuan dikonstruksi
dengan nilai-nilai maskulinitas dalam Gokusen. Bab IV berisi tentang kesimpulan
dari pembahasan masalah yang diangkat.
29
Download