EVOLUSI OTAK DAN KEMAMPUAN MENTAL MANUSIA Ir. Ferry F. Karwur, M.Sc., Ph.D. dan Yulius Y. Ranimpi,M.Si, Psikolog Universitas Kristen Satya Wacana Jalan Diponegoro 52-60 Salatiga [email protected] [email protected] Abstrak Kapasitas mental yang luar biasa pada manusia hadir melalui sejarah panjang jutaan tahun terakhir dan terkanalisasi dalam sejarah ontogeni. Bukti fosil, DNA dan Protein mengiakan kehadirannya dalam rentang waktu tersebut. Namun artefak hanya bisa menggapainya tidak lebih dari 2–4 ratusan tahun lampau, atau kalau direntang ke kejauhanya sampai pada antara 2–3 juta tahun kepada teknologi batu bersamaan dengan munculnya spesies Homo. Lalu bagaimana dengan mekanisme? Yang kita saksikan dari fosil-fosil ialah bahwa adaptasi terus-tak putus lebih kuat menjelaskan ketimbang proses-proses punctuation. Demikian pula bahwa walaupun sinyal-sinyal gen-gen tunggal mengiakan kejadian rambang tetapi hal itu nampaknya adalah pemicu dari munculnya keanekaragaman, dan mengalami penstrukturan dalam adaptasi jejala molekuler yang berasosiasi kuat dengan modul-modul neuroanatomis di daerah korteks. Faktor lingkungan evolusioner, terutama lingkungan sosial (social brain hypothesis) menyetir dan mensinungi “informasi”, mendorong muncul, tumbuh, berkembang, dan mengalami pencermatan kapasitas dan kualitas mental. Evolusi mental yang berlangsung interaktif itu mengalami kemajuan dalam skala dan intensitas yang kuat menuju Homo simbolicus yang terus menciptakan konvergensi-konvergensi mental aras tinggi termasuk kecakapan berfikir formal, koordinatif-terpadu, merencanakan, dan kesadaran diri. Pengantar Bagi Darwin, ujian yang paling berat terhadap teorinya mengenai seleksi alamiah adalah apakah seleksi alamiah dapat menjelaskan kapasitas mental Homo sapiens yang membuatnya satu-satunya Homo yang mampu beradaptasi terhadap lingkungan evolusioner sampai 74 Makalah Utama sekarang? Tulisan berikut akan berturut-turut mengkaji: (a) Kapasitas mental manusia, mengapa ia amung dan luar biasa di antara tetangganya; (b) kapasitas mental manusia sebagai gejala perkembangan (c) bukti kebudayaan (artifact, dll) dan fosil-fosil Homo (dhi. skull fosil Homo) sebagai penyokong penting bagi interpretasi terhadap [kontinuitas proses] evolusi manusia; (d) struktur internal otak dan fungsinya yang merupakan landasan kritis bagi studi evolusi perbandingan guna menemukan keunikankeunikan struktur-fungsi otak sebagai respons adaptif yang membuatnya manusia; (e) studi pendasaran molekuler bagi berlangsungnya evolusi ke arah evolusi manusia dengan kapasitas mentalnya yang luar biasa; (f) perkembanganperkembangan penelitian mengenai bagaimana mental, dan terutama kecerdasan, merupakan respons terhadap tuntutan-tuntutan lingkungan fisikal dan sosial. Di akhir tulisan ini dilakukan sintesis guna menemukan kerangka kerja penelitian lanjut yang penting untuk memadukan fakta-fakta fosil, struktur-fungsi otak, mekanismemekanisme molekuler dalam kerangka respons terhadap tuntutan lingkungan fisik dan sosial yang telah bekerja dalam proses evolusi menuju manusia dengan kapasitas mental yang hanya ada pada dirinya. Kapasitas Mental Manusia Di bagian dalam dari batok kepala vertebrata (bony cranium), kita menemukan otak sebagai masa yang sangat terorganisir yang tersusun atas miliaran sel saraf yang saling berhubungan (interconnected) serta jaringan-jaringan pendukungnya. Otak dihasilkan dari pembesaran sistem saraf pusat yang berfungsi sebagai pusat koordinasi sistem saraf yang merupakan kelanjutan tak-putus dari sumsum tulang belakang (spinal cord) ke arah ujung kepala (anterior). Otak menganalisis dan memadukan informasi sensorik yang datang dan menghasilkan luaran yang dikirim ke berbagai otot dan kelenjar. Kalau otak adalah substrat organik, dengan sel-sel yang saling berhubungan, mind bukanlah demikian. Ia adalah luaran dari aktivitas otak dengan kualitas yang sangat jelas pada manusia. Kata Steven Pinker: “mind is not the brain but what the brain does”. Jadi, kalau kita mendengar orang mengatakan ”pakai otak mu!” untuk mengungkapkan kekesalannya menghadapi lawan bicaranya yang tidak ”match” dengan harapan dalam pikiran kita, atau tidak sesuai dengan tuntutan logis tertentu, maka makna tersirat dalam pemakaian kalimat ”pakai otak mu!” itu bukan berarti bahwa yang Cakrawala Pemikiran Teori Evolusi Dewasa ini 75 bersangkutan tidak menggunakan organ otaknya tetapi lebih bermakna atau merujuk kepada persoalan penggunaan salah satu aspek mental manusia yang benar/tepat sesuai tuntutan. Ungkapan ”pakai otak mu!” lebih bermakna ”anda tidak menggunakan pikiran dengan benar!”. Jadi bukan soal otak tetapi soal pikiran, yang memang bahwa semua gejala pikiran mengasumsikan adanya sistem hayati yang disebut otak. Darwin pernah mengatakan: [‘‘. . . there is no fundamental difference between man and the higher mammals in their mental faculties’’ (p. 35)] Darwin C (1871) Descent of Man (J Murray, London). Pernyataan ini nampaknya harus dikritik. Manusia adalah organisme dengan kapasitas mentalnya yang amung dan luar biasa. Ia memiliki kisaran emosi yang lebar, dan oleh sebab itu memiliki empati, solidaritas, dan cinta. Empatinya bahkan melampaui spesies kita sendiri yang sedih jikalau hewan kesayangannya menuju ajal. Manusia berbahasa, dan oleh sebab itu memiliki pemahaman bersama atas simbol, berkesadaran, dan memiliki perspektif masa depan. Ia bermasyarakat dan menghasilkan kebudayaan. Selain mampu melakukan penilaian baik, buruk, benar, dan salah, manusia juga mampu melakukan penilaian atas dasar indah (beauty) dan jelek (ugly). Hanyalah manusia yang mampu pergi dan mengatakan kebanggaannya kepada orang lain (Rose, 2006) (1) dan/atau mengungkapkan perasaan kita dalam bentuk puisi. Adakah spesies lain dari manusia yang melakukan janji dan sumpah setia seperti yang dilakukan oleh Presiden ke-44 Amerika Serikat keturunan Afrika, Barack Obama, dalam pengangkatannya sebagai Presiden? Kegiatan merasakan, berfikir, belajar, menyadari, mawas-diri (introspective consciousness), menyelami pikiran orang lain (Theory of Mind) (2), saling mengungkapkan maksud dan tujuan, komunikasi simbolik (komunikasi intersubjektif), dan “mempercayai” adalah kegiatan mental manusia yang kompleks yang nyata dalam sejarah manusia dari lahir sampai mati (3). Kegiatan-kegiatan manusia tersebut berlangsung melalui pemaduan sumberdayasumberdaya mental (4) seperti stimulus indrawi, bahasa simbolik, ingatan/pengalaman lampau, imajinasi, serta menghasilkan keadaan mental dengan intensionalitas (5) tertentu. Terpadunya operasi-operasi mental dengan intensionalitas tertentu itu memunculkan apa yang disebut sebagai tindakan sadar (acts of consciousness) (6) [maupun tindakan reflektif, reflexive mental acts] sebagaimana 76 Makalah Utama diungkapkan oleh filsuf Jerman, Franz Brentano (1874; 1838-1917). Mental Manusia sebagai Gejala Perkembangan Kemampauan mental manusia yang luar biasa bukanlah sesuatu yang langsung dipraktekkan sejak lahir. Tahun-tahun pertama hidupnya adalah tahun-tahun yang tak-berdaya (fisik dan mental, kecuali a.l. merengek-rengek, menangis, dan tertawa) yang sebenarnya lalu menuntut belas-kasihan dan oleh sebab itu pengasuhan orang-tua. Ia belum tahu apa itu benar dan apa itu salah. Ia bahkan tidak tahu apa keyakinan agamanya. Oleh pengasuhan ia lolos dari saringan seleksi yang ketat. Potensi genetik yang tersimpan dalam bangunan genetik dan diwariskan oleh nenek-moyang, terekspresi seiring dengan perkembangan. Ia tumbuh, berkembang dan mengalami perubahan kualitas disepanjang hayat, yang tentunya dipengaruhi oleh lingkungan “kini dan disini”. Oleh sebab itu, gejala-gejala tersebut adalah gejala perkembangan wajar dari setiap pribadi manusia, sebagaimana ia tunduk pada hukum pertama sistem hayati bahwa “fenotip adalah hasil dari ekspresi potensi genetik yang berinteraksi dengan lingkungan (fenotip = genetik x lingkungan)”. Lingkungan dalam hal ini mencakup lingkungan fisik dan lingkungan sosial, termasuk nilai-nilai spiritual. Dalam perspektif evolusi, komponen genetik dan komponen lingkungan berubah sejalan dengan waktu, dan perubahan tersebut merupakan keunikan sejarah evolusi. Jadi, keadaan kini dari komponen genetik maupun lingkungan adalah ujung terdepan dari panah waktu evolusi yang melesat sejak 14.5 miliar tahun lampau. Lesatan waktu tersebut menciptakan syarat perlu dan peluang (necessity and chance) yang kemudian membentuk semua kapasitas hayati, tak terkecuali kapasitas mental manusia. Dengan demikian keadaan sekarang organisme hayati dengan kapasitas-kapasitasnya adalah hasil perjumpaan program genetik dan lingkungan evolusioner (7). Sejalan dengan perkembangan hayati, kemampuan mentalnya tumbuh, berkembang, dan mengalami peningkatan kualitas (kognitif, nilai-nilai subjektif, dll). Studi komparatif perkembangan ontogenik ketrampilan kognitif anak-anak dan simpansé menunjukkan bahwa manusia memiliki banyak ketrampilan kognitif yang tidak dimiliki primata terdekatnya. Hal ini diduga karena kemunculan ketrampilan-ketrampilan kognitif-sosial yang khas spesies di awal perkembangan ontogenik [sejarah organisme dari lahir sampai mati], yang diperlukan dalam Cakrawala Pemikiran Teori Evolusi Dewasa ini 77 keterlibatan (participation) dan pertukaran pengetahuan (exchanging knowledge) dalam kelompok-kelompok budaya (kecerdasan kultural). Tomasello et al., menunjukkan bahwa di awal perkembangannya, manusia tidak lebih mampu dari seekor simpanse berumur 10 tahun. Anak berumur 2.5 tahun yang belum melek huruf dan belum sekolah tampaknya memiliki ketrampilan kognitif yang sebanding dengan simpansÄ› dewasa dalam menghadapi dunia fisik. Akan tetapi, anak kecil memiliki kemampuan yang lebih canggih dalam menghadapi realitas sosial. Ia belajar dengan cepat dalam suatu setting sosial. Hal ini selaras pula dengan perkembangan ToM (Theory of Mind) (8) pada manusia yang terjadi sekitar 3–5 tahun (O’Connell and Dunbar, 2003) (9). Menanjak dewasa, perbedaan perilaku antara H. sapiens dengan simpanse menjadi semakin nyata. Ketrampilan kecerdasan sosial yang dimiliki anak di sekitar 3–5 tahun terus mengalami pencermatan selama masa anak-anak selaras dengan peranan interaksi sosial dalam tahapan childhood yang khas manusia sebagaimana ditunjukkan oleh Bogin (1990) (10). Jean Piaget (dan rekannya Inhelder) menunjukkan perkembangan intelektual anak yang bertahap mulai dari kandaran sensomotoris, kandaran konkrit, dan kandaran formal, yang terajut dengan pertumbuhan, perkembangan dan kematangan hayati. Teori perkembangan kognitif Piaget telah menjadi landasan penting dalam pengembangan teori perkembangan moral (Lowrence Kohlberg) dan kepercayaan (Faith Development Theory; James Fowler). Kandaran formal abstrak manusia yang muncul untuk memfasilitasi pertumbuhan pengetahuan baru mulai tampak pada umur 11/12 tahun dan menjadi semakin jelas (mengalami maturasi) pada umur 16/18 tahun (Piaget, Parker & McKinney, 1999) (11) yang terjadi pada saat tercapainya kematangan neuronal dan hormonal (Piaget and Inhelder, 1969) (12). Dari sini kita dapat melihat dengan kepastian bahwa perkembangan otak manusia yang periodenya jauh lebih panjang ketimbang yang ada pada simpanse merupakan landasan penting bagi peningkatan kapasitas belajar dan pembentukan ingatan. Temuan Piaget dan Inhelder (1969) mengalami pendasarannya di dalam studi perkembangan struktural otak sebagaimana diindikasikan oleh peningkatan volume gray matter pada keseluruhan bangunan otak dan terutama di daerah korteks frontal yang bertanggung-jawab dalam aktivitas kognitif [Gogtay et al., 2003 (13); Toga & Thompson, 2005 (14); Gambar 1]. 78 Makalah Utama Gambar 1. Dinamika pematangan gray matter di permukaan korteks dalam urutan waktu pada anak berumur dalam kisaran 5–20 tahun. Gambar ini dikonstruksi dari scan MRI pada anak-anak sehat 5–20 tahun (Gogtay et al., 2004). Warna semakin gray menunjukkan pematangan. Daerah-daerah fungsi dasar mengalami pematangan terlebih dahulu dan diikuti oleh pematangan di daerah lobus frontal dengan fungsi-fungsi aras tinggi (Sumber: Toga & Thompson, 2005). Dalam pengaruh roh evolusi, disiplin ilmu Psikologi mencoba memahami kekompleksitasan perilaku manusia melalui Psikologi Evolusioner. Dalam mengakaji isu itu, Psikologi Evolusioner mendasarkan pada asumsi-asumsi sebagai berikut (Buss, 1995; Caporel, 2001): a. Seleksi Alamiah Proses evolusi adalah perubahan-perubahan struktur organisme sepanjang waktu. Perubahanperubahan tersebut dilandasi oleh sebuah mekanisme yang bersifat kausal, yakni seleksi alamiah. Seleksi alamiah mempunyai tiga unsur, yaitu (a) Variasi (variation). Hewan dalam satu spesies yang sama dapat bervariasi dalam berbagai cara, misalnya dalam hal panjang sayap, struktur sel, kemampuan berkelahi dan sebagainya, (b) Warisan (inheritance), hanya sejumlah variasi yang akan diwariskan secara ajeg dari orang tua kepada keturunannya. Variasi-variasi lain tidak akan diwariskan kepada keturunan. Hanya variasi yang diwariskan saja yang akan berperan dalam proses evolusi. (c) Seleksi (selection). Organisme yang mempunyai sifat-sifat tertentu yang dapat diwariskan akan memproduksi lebih banyak Cakrawala Pemikiran Teori Evolusi Dewasa ini 79 keturunan dibandingkan dengan organisme yang kurang memiliki sifat-sifat yang dapat diwariskan oleh karena sifat-sifat tersebut membantu memecahkan problem khusus dan dengan demikian memberi sumbangan kepada reproduksi dalam satu lingkungan tertentu. Sirkuit syaraf didisain oleh seleksi alamiah untuk memecahkan problem yang dihadapi nenek moyang selama sejarah evolusioner spesies. Satu problem yang harus dipecahkan berkaitan dengan kelangsungan hidup (survival), misalnya problem “Makanan apa yang harus dimakan?”. Orang memiliki banyak pilihan makanan: ada padi, buah-buahan, kacang, dan daging tetapi ada juga daun-daunan, batu, tanaman beracun, bangkai busuk, dan tahi. Ada ilustrasi mengenai perilaku lalat dan manusia terhadap tahi. Perilaku lalat dan manusia akan berbeda saat menghadapi seonggok tahi bau. Seonggok tahi akan menjadi tempat bagi lalat betina untuk menempatkan telur. Lalat jantan akan suka terbang mengitari onggokan tahi oleh karena mereka dapat memperoleh pasangan di tempat itu. Sebaliknya, seonggok tahi bau akan menimbulkan rasa jijik serta dihindari oleh manusia karena tahi itu dapat merupakan sumber penyakit. Seleksi alamiah dalam kasus ini dapat digambarkan sebagai prinsip “jika makan tahi, maka akan mati”. Sejumlah orang yang memiliki sirkuit syaraf yang membuat tahi terasa manis akan suka memakan tahi. Akibatnya, mereka akan terkena penyakit dan kemudian meninggal. Orang-orang yang memiliki sirkuit syaraf yang menyebabkan mereka menghindari makan tahi, akan lebih sedikit peluangnya untuk sakit dan akan hidup lebih panjang. Jumlah pemakan tahi akan tinggal sedikit pada generasi selanjutnya dan lama kelamaan akan hilang dari populasi. Tidak ada lagi orang-orang yang memiliki sirkuit syaraf yang membuat tahi terasa lezat. Contoh adaptasi lain: dalam hal reproduksi (pria dan wanita akan cenderung berpreferansi pada lawan jenisnya yang memiliki karakterisitik subur). Dengan demikian telah terjadi semacam proses fit and proper test. b. Adaptasi Adaptasi adalah satu karakteristik yang berkembang secara reliabel dan dapat diwariskan serta menjadi ciri spesies tertentu melalui seleksi 80 Makalah Utama alamiah. Fungsi adaptasi adalah untuk memecahkan satu problem. Pengertian adaptasi dalam psikologi evolusioner ini berbeda dengan pengertian adaptasi yang umum dipakai oleh psikologi. Pengertian umum adaptasi biasanya menunjuk pada pengertian yang menyangkut kebahagiaan pribadi, kesesuaian sosial, kemampuan menyesuaikan diri dengan kondisi yang berubah atau kesejahteraan hidup. Adaptasi diturunkan oleh orang tua kepada keturunannya. Agar supaya adaptasi dapat diwariskan kepada keturunan maka perlu ada gen adaptasi. Meskipun adaptasi merupakan karakteristik yang diwariskan, faktor lingkungan turut memainkan peranan penting dalam perkembangannya. Satu karakteristik dinilai sebagai hasil adaptasi jika memenuhi dua criteria: (a) karakteristik tersebut harus secara ajeg muncul dalam bentuk yang lengkap padasaat yang tepat dalam kehidupan organisme, b) karakteristik itu merupakan karakteristik yang tipikal dari semua atau kebanyakan anggota spesies. c. Mekanisme psikologis sebagai hasil evolusi Semua perilaku yang kasat-mata akan dilandasi oleh mekanisme psikologis. Contoh, seorang anak dan seorang dewasa merespons secara berbeda stimulus yang sama, maka hal ini disebabkan karena mereka memiliki mekanisme psikologis yang berbeda. Contoh lain, jika seorang pria dan wanita mempunyai respons yang berbeda terhadap stimulus yang sama, hal itu disebabkan karena pria dan wanita memiliki mekanisme psikologis yang berbeda. Mekanisme psikologis sama hal-nya dengan mekanisme fisiologis merupakan hasil proses evolusi dengan cara seleksi alami. Mekanisme psikologis sebagai sekumpulan proses di dalam diri organisme yang (a) ada dalam bentuk yang sekarang ini oleh karena mekanisme ini memecahkan satu problem khusus dari keberlangsungan hidup atau reproduksi individu secara berulang kali sepanjang sejarah evolusioner manusia, (b) hanya mengambil informasi atau input tertentu yang dapat bersifat internal atau eksternal, dapat disarikan secara aktif atau diterima secara pasif dari lingkungan, dan menetapkan bagi individu problem adaptif tertentu yang dihadapinya, dan (c) mengubah informasi menjadi output melalui Cakrawala Pemikiran Teori Evolusi Dewasa ini 81 satu prosedur dimana outputnya akan mengatur aktivitas fisiologis, memberikan informasi pada mekanisme psikologis lain atau menghasilkan tindakan, dan memecahkan satu problem adaptif tertentu. Salah satu tugas utama psikologi evolusioner adalah mengidentifikasikan, menggambarkan dan memahami mekanisme psikologis. Fungsi mekanisme psikologis adalah memecahkan problem adaptif khusus. Berikut contoh mekanisme psikologis yang telah berevolusi serta fungsinya: 1. Rasa takut terhadap ular (menghindari racun) 2. Preferensi pasangan wanita pada sumber daya ekonomis (menyediakan biaya untuk kesejahteraan anak-anak) 3. Preferensi pasangan pria pada sifat kemudaan, kemenarikan (memilih pasangan yang tingkat kesuburannya tinggi) 4. Prosedur mendeteksi penipu/ditipu (mencegah dieksploitasi dalam kontrak sosial sosial) Secara prinsip, tidak ada mekanisme psikologis yang bersifat domain-general, justru domain-specifik. Dengan demikian, Psikologi Evolusioner beranggapan bahwa persoalan adaptif itu beragam dan kompleks dan oleh karenanya solusi yang sukses dalam satu persoalan belum tentu sukses pula dalam persoalan yang lain. Lebih lanjut untuk memahami Psikologi Evolusioner, adalah sangat penting pula memahami fungsi otak. Sebagaimana diyakini oleh banyak pakar bahwa dalam evolusi manusia, bagian yang paling banyak mengalami perubahan adalah kepala manusia yang disebabkan oleh perkembangan otak yang sangat dinamis. Mulai dari kapasitas tengkorak (volume otak) 550cc sampai 1.200/1.400cc. Apakah ada keuntungan yang diperoleh melalui perubahan itu? Apa tujuannya? Adakah penambahan itu berpengaruh pada penambahan IQ? Menjawab pertanyaan ini, sebuah penelitian yang dilakukan oleh Dr. John R. Skoyles. Dalam penelitian itu, Dr. Skoyles menemukan individu yang memiliki tingkat IQ normal namun volume otaknya sama dengan yang dimiliki oleh homo erectus (bertolak belakang dengan asusmsi sekarang yang menyatakan bahwa volume otak yang kecil berhubungan erat dengan keterbelakangan mental). Dengan demikian apa gunanya perubahan kapasitas otak 82 Makalah Utama jika dengan kapasitas yang awal, manusia dapat saja memiliki tingkat IQ yang normal? Oleh karena itu ada dugaan bahwa evolusi volume otak berkaitan dengan kapasitas perilaku yang cerdas dengan tujuan untuk tetap survive. Pendekatan neuro-psikologi, pada dasarnya digunakan untuk kepentingan klinis. Para ahli syaraf biasanya melakukan uji terhadap kekuatan, efisiensi, dan reaksi yang sepantasnya dari seorang klien ketika harus memberi respon terhadap stimulus tertentu. Selain itu, mereka juga melakukan uji untuk mencari tahu, apakah ada malfungsi dari otak. Dalam pendekatan ini, perilaku dipahami sebagai suatu sistem yang terdiri dari fungsi kognisi, emosi, dan bagaimana perilaku diaktualisasikan. Fungsi kognitif lebih menyita perhatian dari para neuropsychologist. Trauma yang dialami oleh otak dapat mengganggu perilaku. Contoh: anemsia, fungsi ekspresif (apraxia-ekspresi bertujuan dan aphasiamemformalisasikan simbol), proses berpikir (perencanaan, argumen, problem solving), gangguan emosional (hiperaktif, obsesif-kompulsif, depresi, apatis, toleransi rendah). Dalam soal gangguan mental Psikologi Evolusioner memberi penjelasan bahwa perilaku dan emosi yang terganggu terkait erat dengan adaptasi evolutif bandingkan dengan konsep meme [mim: karakter budaya seperti gagasan, perasaan, ataupun perilaku. Istilah ini dikenalkan oleh Richard Dawkins dalam bukunya The Selfish Gene. Contoh meme: gagasan, ide, teori, penerapan, kebiasaan, lagu, tarian dan suasana hati. Meme dapat bereplikasi dengan sendirinya (dalam bentuk peniruan) dan membentuk suatu budaya, cara seperti ini mirip dengan penyebaran virus (tetapi dalam hal ini terjadi di ranah budaya). Sebagai unit terkecil dari evolusi budaya, dalam beberapa sudut pandang meme serupa dengan gen. Teori meme menjelaskan bahwa meme berkembang dengan cara seleksi alam (mirip dengan prinsip evolusi biologi yang dijelaskan oleh penganut Darwinian) melalui proses variasi, mutasi, kompetisi, dan warisan budaya yang mana mempengaruhi kesuksesan reproduksi di setiap individu. Maka dengan demikian meme, menyebar berupa ide dan bila tidak berhasil diakan mati, sedangkan yang lain akan bertahan, menyebar, dan (untuk tujuan yang lebih baik bahkan lebih buruk) akan bermutasi. Ilmuwan memetika mempunyai pendapat bahwa meme yang mempunyai ketahanan terbaik akan menyebar dengan efektif dan mempengaruhi si objek (suatu individu)]. Cakrawala Pemikiran Teori Evolusi Dewasa ini 83 Gangguan mental terjadi karena manusia tidak mampu beradaptasi dengan lingkungannya. Selain itu juga belum cukupnya waktu yang tersedia bagi manusia untuk berevolusi. Lalu, muncul pertanyaan susulan, mengapa gangguan mental tersebut tetap bertahan? Bukankah seharusnya perilaku yang menyimpang itu harus terhapus atau juga berkurang seiring dengan perjalanan waktu? Menurut Psikologi Evolusioner , perilaku yang menyimpang tetap eksis dikarenakan adanya dugaan terkait dengan gen tertentu dan perilaku menyimpang tersebut dianggap memberi keuntungan (untuk tetap bertahan). Untuk kasus kecemasan dijelaskan bahwa dengan kecemasan individu justru diuntungkan karena dengan kecemasan mereka akan selalu berada dalam posisi siaga (senantiasa waspada) dalam rangka menghadapi suatu ancaman. Kecemasan yang adaptif seperti fobia dimaknai sebagai kelirunya pemaknaan terhadap ancaman. Kecemasan dan takut dianggap merupakan mekanisme psikologis yang diturunkan. Sedangkan untuk kasus depresi unipolar, Psikologi Evolusioner menjelaskan bahwa hal tersebut merupakan suatu mekanisme untuk tetap bertahan dengan cara tidak melakukan apapun dan merupakan respon yang adaptif bagi individu yang kalah dalam persaingan. Untuk kasus depresi bipolar/manic depresif memiliki hubungan yang kuat dengan anggapan bahwa hal tersebut terkait dengan karakterisitik pemimpin yang karismatik juga terkait dengan kreativitas (contoh: W. Churchill, A. Lincoln, Vincent v. Gogh). Bukti Artefak Kapan sebenarnya kapasitas mental aras tinggi pada manusia mulai ditabur dan bersemi dalam sejarah evolusi? Memahami sejarah evolusi mengenai kapasitas mental manusia itu dengan menelusuri jejak-jejak kebudayaan yang ia tinggalkan walaupun mengandung keterbatasan yang mungkin sulit terpecahkan, karena tidak atau sedikit membawa bekas, telah diupayakan dengan keras (Leakey, 2003) (15). Masih ada, walaupun sangat sedikit, sisa-sisa kebudayaan masyarakat lampau yang terlacak dalam kebudayaan material hasil kecerdasan manusia (artifact), bahasa dan seni. Gambar-gambar simbolik citra dunianya yang ditemukan di gua-gua atau bebatuan yang tersebar di banyak tempat di Asia Selatan (misalnya inovasi mikrolitik di lembah Jurreru; Petraglia et al., 2009) (16), Perancis dan Eropa lainnya (lebih kurang 30.000 tahun lalu), serta Australia (40.000–50.000 thn lalu) menunjukkan bahwa 84 Makalah Utama mereka telah memiliki kapasitas mental aras tinggi yang mengisyaratkan bekerjanya akal-budi manusia modern, yakni dunia mental seperti yang kita semua (H. sapiens) alami dewasa ini. Menengok lebih jauh ke masa 100.000 (75.000–135.000) tahun lampau, periode di mana Afrika Barat mengalami kekeringan yang luar biasa (Scholz et al., 2007) (17) dan terjadinya migrasi manusia modern dari Afrika ke benua Asia melalui koridor episode basah di Sahara 120.000 (117 000–130 000 tahun lalu melalui – salah satunya– lembah Nil), masyarakat pantai Afrika dan Asia barat-daya telah membuat manik-manik dari cangkang (Gastropoda) laut yang dengan sengaja dipilih dan dibolongi serta bahkan diwarnai sebagai barang perhiasan pribadi [Gru¨n et al., 2005 (18); Bouzouggar et al., 2007 (19)]. Dengan melihat keluasan wilayah sebaran dan rentang generasi dari kebudayan tersebut, maka praktek tersebut mestinya telah dilestarikan secara kultural karena memiliki arti bagi mereka. Dari kebudayan material tersebut tampak bahwa mereka berinovasi, tahu berdandan, dan memanfaatkan komunikasi simbolik, dan oleh sebab itu memiliki kualitas kepintaran yang tidak jauh dari masyarakat sekarang ini. Tidak hanya pada Homo sapiens. Artefak yang menunjukkan kecerdasan dapat pula kita telusuri sejak kehadiran Homo habilis di Afrika 2.4 juta tahun lampau dengan budaya Oldowannya, yang mengandalkan aplikasi teknik pembuatan alat batu secara sederhana. Pada fosil tertua Sangiran, yakni H. erectus arkaik yang hidup 1.2–1.6 juta tahun lampau, kemampaun membuat teknologi batu mengalami pencermatan, sebagaimana ditunjukkan oleh temuan artefak Sangiran flake industry pada 3.8 meter di bawah lempung hitam Pucangan yang dilaporkan oleh Harry Widianto pada tahun 2006 (Widianto & Simanjuntak, 2009) (20). Mereka mampu membuat kapak-kapak genggam yang selain sesuai tuntutan fungsional (misalnya tajam) juga sudah mengandung unsur anekaragam dan keindahan (prinsip simetri, lonjong, meruncing pada salah satu bagian). Pada H. erectus kita juga melihat kemampuan dalam berburu yang membutuhkan, teknologi, kerjasama kelompok, dan pemahaman bersama (shared understanding). Bukti-Bukti Fosil Mengenai Peran Otak Adalah salah jika kita mengatakan bahwa manusia berasal dari kera. Yang benar ialah bahwa nenek moyang manusia modern (Homo sapiens L.) dan kera besar [antara lain simpansé (Pan troglodytes)], nenek moyangnya sama. Cakrawala Pemikiran Teori Evolusi Dewasa ini 85 Tetapi harus diingat bahwa mereka berpisah 5.000.000– 7.000.000 tahun lalu saat kapasitas mental mereka tidak mengenal sama sekali siapa mereka, dan apa tujuan mereka berada di dunia ini. Setelah perpisahan itu, kita menyaksikan melalui fosil-fosil yang ditemukan di Afrika dan tempat lain di dunia, termasuk di Sangiran (21) sejumlah organisme dalam rumpun Hominid. Perjalanan panjang itu (5–7 juta tahun!) melahirkan sejumlah spesies yang dikelompokkan dalam sejumlah genus, yakni: Ardipithecus, Australopithecus, Praeanthropus, dan Homo. Yang tertua dari mereka adalah Sahelanthropus tchadensis (berumur 6–7 juta tahun) ditemukan di Chad Afrika Tengah (Brunet, 2002) (22) dan yang termuda adalah Homo sapiens L., yang diduga muncul dalam 200–400 ribu tahun terakhir. Salah satu fosil tertua dari H. sapiens adalah yang ditemukan di Ethiopia (Homo sapiens idaltu) dengan taksiran umur fosil antara 160.000 – 154.000 tahun lalu (White et al., 2003) (23). Dalam genus Homo, terdapat paling tidak 7 spesies, yakni: H. habilis, H. ergaster, H. rudolfensis, H. heidelbergensis, H. erectus, H. neanderthalensis, dan H. sapiens. Dan kini tinggal tinggallah manusia modern, H. sapiens yang hidup dalam kesendiriannya (Tabel). Tabel 1. Spesies-spesies fosil Hominin yang ditemukan dalam rentang 7 juta tahun terakhir No. Fosil/Spesies 1. Sahelanthropus tchadensis Orrorin tugenensis Ardipithecus kadabba Ardipithecus ramidus Australopithecus anamensis Australopithecus afarensis Kenyanthropus platyops Australopithecus africanus Australopithecus garhi Paranthropus aethiopicus Paranthropus boisei 2. 3. 4. 5 6 7 8 9 10 11 86 Umur fosil (juta tahun) 6–7 Ukuran Otak (cc) Lokasi Penemuan 320-380 Chad, Afrika Sub-Sahara 6 ≤ 400 Lembah Tugen, Kenya 5.2 – 5.8 4.4 ≤ 400 Awash Tengah, Ethiopia ≤ 400 Aramis, Ethiopia 4.2 – 3.9 3.8 – 2.9 3.5 – 3.3 3 – 2.4 ≤ 400 Kenya, Ethiopia ≤ 400 Ethiopia, Tanzania Kenya 457 2.5 2.5 – (2.3) 2 – 1.2 Afrika Selatan Ethiopia 410 513 Turkana Barat (Kenya) – teknologi batu terawal. Banyak tempat di Afrika Timur Makalah Utama 13 Paranthropus robustus Homo habilis 14 Homo rudolfensis 15 Homo ergaster 16 Homo erectus 17 18 Homo antecessor Homo heidelbergensis Homo neanderthalensis 12 19 2 – 1.2 2.4 – 1.6 2.4 – 1.8 1.9 – 1.7 (1.7) 1.6 – 0.2 0.7, 0.6 <0.6 0.25 – 0.029 552 752 854 1016 Gua-gua di Afrika Selatan Tanzania, Ethiopia, and Kenya Tanzania, Kenya, and Malawi Afrika, Asia, Eropa (pinggiran) Afrika, China, Jawa Italy, Spanyol Afrika, Eropa, Asia 1512 Semua daratan Eropa, (kecuali Scandinavia) dan Asia Barat. Homo sapiens 0.160 – 20 1355 Herto, Ethiopia; Irhoud idaltu 0.154 Morocco Disarikan dari Wood and Collard (1999) (24); Alles and Stevenson [2003; 2006) (25); Futuyma (2005) (26); and, Palmer (2006) (27)] Yang Tampak jelas dari fosil-fosil tersebut ialah munculnya organisme-organisme kerabat manusia modern genus Homo dalam panggung sejarah evolusi setelah 3 juta tahun lalu. Mereka ditandai oleh postur tubuh yang semakin tegap, berjalan dengan kedua kaki (terrestrial bipedalism), serta terbatasnya fasilitas untuk hidup di pohon-pohon (arboreal life). Jempol tangan mereka dapat digerakkan lebih leluasa dan mampu menggapai ujung dari setiap jari-jari tangan mereka. Hal ini memampukan mereka mengembangkan teknologi, seperti teknologi batu. Memang benar bahwa catatan fosil tidaklah cukup dalam memberikan argumentasi fungsional dari peranan otak bagi fungsi-fungsi mental aras tinggi pada manusia, namun demikian, endocast fosil Homo menunjukkan pentingnya ukuran otak dalam evolusi menuju H. sapiens. Perubahan morfologis yang terkait dengan sejumlah kapasitas penting pada hominin adalah peningkatan volume otak yang luar biasa (Tabel 2), dan otak manusia dewasa adalah salah satu yang terbesar di antara primata, baik dalam pengertian absolut maupun dalam pengertian proporsi relatif (rasio ensefalisasi; EQ). Fosil-fosil hominin yang ditemukan sekitar 2–3 juta tahun lampau volumenya lebih dari 500 cc, yang pembesarannya semakin nyata pada H. ergaster dan mencapai sekitar 1000 cc pada Homo erectus. Dalam 500.000 tahun terakhir kita menyaksikan fosil-fosil dengan volume otak berukuran 1350-1500 cc pada H. sapiens dan H. neanderthalensis. Namun harus diingat, seperti yang dilaporkan oleh De Miguel & Henneberg (2001) (28), bahwa 90% variasi ukuran otak fosil Cakrawala Pemikiran Teori Evolusi Dewasa ini 87 hominin terjelaskan oleh umurnya dan hanya 10% karena perbedaan spesies atau galat acak (pengecualian pada fosilfosil manusia cilik di Liang Bua Flores). Hal ini menunjukkan bahwa fosil manusia lebih mendukung mekanisme evolusi terus-tak putus ketimbang kejadiankejadian punctuational. Kalau otak simpansé (Pan troglodytes) hanya berukuran 337 (± 16) cc maka otak manusia modern 3.1 kali lebih besar, yakni ~ 1330 cc (Schoenemann, 1997) (29, 30). Demikian pula bahwa rasio ensefalisasi, yakni perbandingan riil antara berat otak suatu spesies dan berat otak yang diharapkan ukurannya untuk tubuh yang dimilikinya, memberi pendugaan nilai penting dari otak dalam evolusi H. sapiens, seperti dibuktikan oleh adanya korelasi yang kuat antara berat otak dan berat tubuh (r > 95) (Finlay et al., 2001) (31). Nilai EQ H. sapiens mendekati 2 dan semakin berkurang rasionya pada fosil Homo yang berumur lebih tua (ditemukan lebih awal), yakni antara 1 – 1.5. Pada kera besar, EQ bahkan lebih kecil dari 1.0 (Simpanse, 0.7; Gorilla, 0.5, Orangutan, 0.6) (Gilbert et al., 2005) (32). Walaupun demikian ada keraguan apakah nilai EQ memiliki nilai penting dalam kemampuan keperikelakuan mamalia termasuk manusia (Schoenemann, 2006) (33). Apa yang kita saksikan ialah bahwa ada peningkatan mutlak volume otak seiring dengan peningkatan kapasitas mental terutama kecerdasannya. Hal ini mungkin yang menginspirasi Charles Darwin 135 tahun lalu, dan membuat penyimpulan bahwa, “there exists in man some close relation between the size of the brain and the development of the intellectual faculties” (Darwin, 1871. The descent of man. Vol. 1, pp. 145-146) (34). Baginya, peningkatan volume otak berkorelasi kuat positif dengan kapasitas mental. Otak yang lebih besar diduga memiliki neuron yang lebih banyak (Haug, 1987) (35). Ditafsir, korteks tikus memiliki ± 10 juta neuron dan 80 miliar sinapsis, dan korteks manusia memiliki 1010 (miliar) neuron dan 1015 (1 quadrillion) sinapsis, atau 10000 kali lebih banyak dari korteks tikus (Jerison, 1991; Schuz, 2000; Palm, 1989). Peningkatan jumlah neuron dan sinapsis ini juga diikuti oleh perubahan struktur anatomis dan fungsional. Secara struktural-anatomis jumlah neuron dan jejala sinapsisnya berimplikasi lebih nyata pada sumsum otak (white matter; nerve fibre) ketimbang grey matter. Demikian pula bahwa peningkatan jejala neural dan sinaptik memampukan manusia melakukan operasi- 88 Makalah Utama operasi kognitif lebih efisien dari pada spesies lain: kapasitas pengingatan yang besar, belajar lebih cepat, kegiatan perseptual lebih cepat, melakukan penyimpulan atas dasar pertimbangan yang menyeluruh dan cermat, dan mampu melakukan perencanaan jangka panjang. Apa penyebabnya? Mesti ada tekanan lingkungan spesifik yang mengakibatkan perubahan kemampuan kognitif tersebut demi kelangsungan hidupnya. Walaupun bukti fosil menyimpulkan bahwa otak manusia bukan saja 3 kali lebih besar dari pada Apes, volume bukanlah satu-satunya tanda yang dapat diandalkan untuk menilai kapasitas mental dan perilaku. Rangka manusia mungil berumur 18.000 thn yang ditemukan 5.9 meter dari permukaan tanah di Liang Bua hanya memiliki volume otak kurang dari 500 cc (Brown et al., 2004; Jacob et al., 2005, dalam Widianto, 2008). Namun demikian, mereka memiliki sejumlah perilaku canggih seperti penggunaan api dan melakukan perburuan dalam tim (Morwood et al., (2005)(36). Studi neuroanatomis menunjukkan bahwa ada perbedaan-perbedaan kualitatif dan kuantitatif di antara manusia dan kerabatnya. Dalam perjalanan evolusi ada peningkatan ukuran cerebral cortex yang penting bagi munculnya intelegensia (Calvin, 1994) (37). Peningkatan ini terutama terjadi di daerah frontal lobe (38), parietal lobe (39), dan temporal lobe (40). Sebagai konsekuensi, terjadi peningkatan ruang serebral (cerebral hemisphere) dan pelipatan serta pembelitan (twisting and convoluting) cerebral cortex. Volume intrakranium H. floresiensis memiliki kemiripan dengan individu H sapiens yang mikrosefalik, tetapi otak dari H. floresiensis memiliki lobus temporal yang berukuran relatif besar serta lobus frontal yang sangat berlipat-lipat (folded) dan berbelit (convoluted) (Falk et al., 2005) (41), yang keduanya terlibat dalam fungsi-fungsi mental aras tinggi. Evolusi Struktur Otak Otak dan sistem saraf adalah organ yang sangat khas dengan fungsi khususnya dalam aktivitas-aktivitas koordinatif sistem-sistem hayati dari hewan tingkat tinggi untuk bereaksi dengan dunia disekitarnya. Manusia yang merupakan salah satu dari organisme hayati yang dilengkapi dengan sistem ini memiliki kapasitas yang luar biasa dan kualitas khas, yang ia peroleh dari sejarah evolusi yang panjang dalam lintasan mamalia. Kapasitas mental yang dimiliki manusia harus terutama ditimpali pada kemampuan otak yang diperoleh dalam sejarah Cakrawala Pemikiran Teori Evolusi Dewasa ini 89 evolusinya, yang dihadirkan dalam kekinian dalam perjalanan ontogeni, yang dengannya lingkungan eksternal yang dinamis bercumbu dan mengujinya terus-menerus. Dalam lintasan evolusi yang berujung pada otak manusia dengan kapasitas dan keunikannya, berawal dari terbentuknya tabung saraf (neural tube) dengan ujung kepala yang memiliki reseptor-reseptor penginderaan (sense receptors) dan bebas berkembang. Otak berawal dari membesarnya daerah ujung dari tabung saraf ini, berevolusi menjadi tiga bagian: otak depan (forebrain), tengah (midbrain), dan belakang (hindbrain). Masing-masing bagian ini terkait dengan penginderaan tertentu. Bagian depan untuk mencium, bagian tengah untuk melihat, dan bagian belakang untuk kesetimbangan dan vibrasi (Rose, 2006). Dari bangunan dasar inilah semua otak vertebrata dibangun. Pada evolusi lanjut, terjadi peningkatan ukuran dan jumlah saraf. Bagian depan menjadi serebrum, yang terdiri atas daerah yang menjorok ke depan (telencephalon) dan daerah belakang (thalamencephalon); otak tengah berevolusi menjadi optic tectum; dan otak belakang menjadi serebelum. Peningkatan ukuran otak menimbulkan masalah rancangan. Semakin banyak neuron semakin kompleks pola saling-hubung di antara mereka. Bagaimana mengemasnya agar tidak terjadi hubungan singkat di antara mereka adalah masalah. Salah satu cara yang ditempuh adalah membungkus setiap akson dengan pelapis nonpolar yang terbuat terutama dari lipid. Lipid ini disebut myelin, yang disintesis oleh sel-sel khas, yang merupakan bagian dari sistem saraf, tetapi bukan sel neuron. Sel ini disebut sel glia. Walaupun demikian, ada pula glia khusus yang mengangkut makanan yang disuplai oleh darah dan membuang kotoran metabolik. Pada otak mamalia, jumlah glia melebih sel-sel neuron. Jawaban lain terhadap masalah pengemasan neuron yang jumlahnya semakin banyak adalah meletakkan white matter [bagian yang memiliki koneksikoneksi axonal jarak jauh antara daerah-daerah cortical] pada bagian dalam, yang dikitari oleh lapisan tipis korteks dari grey matter [yakni bagian yang memiliki hampir semua neuronal cell bodies dan koneksi-koneksi dendritik (dendritic connections)]. Dengan cara demikian maka peningkatan kecil di areal permukaan korteks, yakni lapisan terluar dari grey matter, membuat perbedaan yang sangat besar pada jumlah sel, tanpa harus meningkatkan volume otak secara keseluruhan dari lobus. Inilah salah 90 Makalah Utama satu jawaban dari semakin membesar dan kompleksnya otak mamalia dan primata. Pada manusia, primata lain, dan dolphin, ekspansi korteks diikuti dengan mengerutnya otak, membentuk lembah-lembah dalam yang disebut sulci dan bukit-bukit yang disebut gyri. Dalam evolusi lanjut, otak semakin membesar, relatif lebih cepat terhadap berat tubuh. Pembesaran ini disertai pemisahan/diferensiasi di antara daerah yang telah ada disertai perubahan-perubahan fungsional, menyebabkan pada mamalia, hubungan yang sangat kuat antara volume otak dengan jumlah daerah-daerah pembeda di daerah korteks (Chagizi & Shimojo, 2005) (42) Pada binatang darat, otak bagian depan (forebrain) membesar dengan cepat, diikuti oleh perubahanperubahan anatomis. Perubahan ini dapat dibedakan secara mikroskopik, dan pemahaman fungsional atas perubahan tersebut telah diketahui (43). Pada mamalia, yang tentunya termasuk primata dan manusia, telencephalon berkembang sangat luar biasa. Ia berkembang dan berlipat-lipat menjadi ruang serebral (cerebral hemispheres), dan korteksnya terdiri dari sejumlah lapisan sel neuron. Ekspansi terbesar terjadi di daerah neokorteks, terutama ekspansi luas areal. Pembesaran ini menekan pertumbuhan daerah-daerah korteks lama ke bagian dalam dari struktur otak, membengkok dan menjadi yang dinamakan hipokampus (hippocampus). Daerah ini pada manusia memainkan peran sentral dalam ingatan spasial, belajar dan emosi. Ekspansi neokorteks terhadap hipokampus pada lintasan evolusi ke arah manusia dapat dipahami dari rasio kedua organ ini bahwa pada mamalia seperti landak (hedgehog) rasio antara neokorteks dan hippokampus adalah 3:2, sedangkan pada monyet meningkat menjadi 30:1 (Rose, 2005). Pada tataran fungsi, serebrum mengambil alih fungsi koordinasi dan kontrol dari thalamus. Bagaimana pula dengan daerah thalamus? Ia berubah fungsi menjadi stasiun relay ke korteks serebral (cerebral cortex). Namun demikian, hypothalamus dan pituitary masih tetap memiliki peran vital dalam mengendalikan mood, emosi, dan pola perilaku kompleks. Daerah hypothalamus mengandung sejumlah neuron yang bertalian dan mengatur kesukaan makan (appetite), keinginan seksual (sexual drive), tidur (sleep), dan perasaan senang (pleasure). Pituitary mengatur produksi hormonhormon kunci dan membentuk perhubungan antara saraf dan sistem kendali hormonal. Inilah salah satu pertimbangan penting bagaimana relasi evolusioner Cakrawala Pemikiran Teori Evolusi Dewasa ini 91 memberikan arahan pada hubungan fungsional hypothalamus pada manusia dan mamalia, apalagi primata sebagai hewan model. Pada spesies Homo, ada ciri khas dalam evolusi neokorteks bahwa terjadi pelebaran luas neokorteks dan diferensiasi fungsi. Daerah ini memiliki bangunan neuronal yang disebut daerah-daerah asosiasi (association area) yang tidak memiliki hubungan langsung dengan daerah di luar korteks, tetapi berinteraksi satu sama lain di antara mereka. Mereka berhubungan dengan dunia luar setelah diperantarai oleh beberapa tahapan mediasi neuronal. Pada manusia, daerah-daerah ini termasuk daerah lobus prefrontal (prefrontal lobe) dan daerah-daerah di lobus occipital, lobus temporal, dan lobus parietal. Dalam kaitannya dengan evolusi fungsi, neokorteks yang terlibat dalam pemrosesan informasi yang canggih mengambil-alih peran thalamus. Daerah ini menerima informasi dari beragam sistem sensor (sensory systems) dan mengaitkannya dengan pengalaman organismal sebelumnya. Korteks serebral yang pada manusia memiliki ketebalan kurang lebih 4 mm, mengandung separuh dari total sel-sel neuron di keseluruhan organ otak, yang diatur dalam 6 lapisan. Pengamatan mikroskopik terhadap sel-sel penyusun neokorteks tampak jelas bahwa mereka tersusun atas beberapa bentuk sel neuron yang berbentuk piramidal, bintang (stellate) dan keranjang (basket), namun yang terbanyak adalah sel-sel piramidal. Masing-masing bentuk neuron memiliki pola hubungan dan oleh sebabnya fungsi yang khas. Setiap neuron tersambung satu dengan yang lain, baik pada tetangganya atau yang lebih jauh darinya melalui dendrit dan akson-aksonnya. Secara khusus, selsel piramidal berfungsi mengirim akson-aksonnya ke jarak yang jauh. Evolusi Perbandingan Bagian-bagian Otak Dalam upaya manusia untuk memahami interaksinya dengan alam, teknologi dan sesama, ahli biologi perkembangan dan sistem neuron hewan Caenorhabditis elegans dan peraih hadiah Nobel Sydney Brenner, mengatakan: “dalam menatap 50 tahun ke depan,... kita akan memberi perhatian lebih pada penelitian di daerah korteks serebral ketimbang hypothalamus. Thalamus menyiarkan [relai (relay)] dan menerima berita ke- dan dari daerah lain di otak. Hal ini tentu beralasan karena kepentingan manusia untuk menjawab kesadaran diri (conscious awareness), yang dalam perspektif 92 Makalah Utama neuroanatomi terlokalisasi di daerah korteks, yakni lapisan terluar dari gray matter dari ruang serebral. Di daerah korteks serebral, jumlah absolut jaringan korteks berkorelasi dengan sejumlah dimensi perilaku (Schoenemann, 2006) (33). Fungsi-fungsi mental tertentu tertuju kuat pada lokasi tertentu, tetapi aspek kesadaran diri (self) mungkin sulit dilokalisasi karena sinyal-sinyal citra-saraf (neuroimaging) menyebar di banyak lokasi (prefrontal cortex, anterior cingulate, postcentral gyrus, precuneus, occipito-temporal junction, insula, superior parietal lobule) walaupun sedikit bukti menunjukkan peranan temporoparietal junction (TPJ) dalam pengalaman kesadaran seseorang yang memperantarai kesatuan keruangan tubuh dan diri (Blanke et al., 2005) (44) Karena kekayaannya ketimbang data-data fosil, studi neuroanatomi perbandingan telah memberikan gambaran yang lebih rinci mengenai perubahan-perubahan otak yang terkait dengan kemampuan mental aras tinggi pada manusia. Ringkasan atas studi-studi evolusi perbandingan neuroanatomis disenaraikan di bawah ini (Schoenemann, 2006). 1. Membandingkan ukuran absolut otak H. sapiens dengan simpanse menunjukkan rasio 3:1 untuk H. sapiens. 2. Ukuran tabung pencium (Olfactory bulb) memiliki ukuran ~1.6 kali, namun kalau angka ini dinormalkan terhadap ukuran tubuhnya maka ukuran ini hanya 30% dari ukuran yang seharusnya. 3. Ukuran serebellum, yang penting dalam pola dan timing dari gerak otot memiliki ukuran ~2.9 kali lebih besar ketimbang simpanse. 4. Korteks visual primer di lobus occipital yang berfungsi untuk pemrosesan aspek-aspek visualisasi memiliki ukuran 1.5 kali lebih besar dari pada simpanse, tetapi sebenarnya hanya 60% dari yang seharusnya menurut ukuran tubuhnya. 5. Lobus temporal, yang berfungsi dalam auditory, memory, emotion, conceptual understanding; languange processing, berukuran lebih besar secara signifikan berdasarkan keseluruhan volume, volume white matter, dan luas permukaan jika dibandingkan dengan primata lain. 6. Daerah lobus frontal yang berperan dalam ingatan kerja (working memory), fungsi eksekutif, dan proses-proses attentional, strukturnya telah berekspansi pada primata dalam waktu yang belum lama berselang, konsisten dengan perannya dalam fungsi berfikir dan intelektual. Cakrawala Pemikiran Teori Evolusi Dewasa ini 93 Lobus frontal yang terdiri atas sejumlah daerah fungsional berbeda (45) merupakan 37.7 % dari total bagian otak. Ukurannya minimal 3 kali lebih besar dari pada simpanse dan memiliki volume white matter yang lebih besar di daerah dekat dengan permukaan korteks (kortikal). Gray matter korteks frontal memiliki 3.6 kali lebih besar dari pada rata-rata yang ada pada pongid; tetapi white matter frontal gyral 4.7 kali lebih besar. Jadi rasio white matter terhadap gray matter pada manusia lebih besar. Posthuma et al., (2002) menunjukkan hubungan antara volume gray matter dan g diperantarai oleh satuan umum gen-gen. 7. Daerah prefrontal menurut Broadmann (lihat Deacon, 1007) memiliki ukuran ~2 kali lebih besar dari pada prediksi terhadap ukuran total otak. Demikian pula bahwa manusia memiliki korteks yang lebih convoluted di daerah prefrontal, yang berarti pula dengan volume yang lebih besar. Hal ini ditopang pula oleh studi MRI (magnetic resonance imaging). Kalau volume cerebral nonprefrontal pada manusia hanya 3.7 kali lebih besar dari rata-rata pada P. troglodytes dan P. paniscus maka bagian prefrontal memiliki 4.9 kali lebih besar. Jadi, prefrontal manusia lebih besar baik dalam pengertian total ukuran maupun dalam pengertian alometrik. Mungkin saja ukurannya mendekati indeks 2 dari ukuran prediktif (Avants et al., 2005) (46). Volume gray matter korteks prefrontal adalah 4.8 kali lebih besar pada manusia ketimbang pada simpansé, dan hanya 4.2 di daerah bukan prefrontal. Volume white matter 5.0 kali lebih besar di prefrontal, dan hanya 3.3 di daerah lain. Peranan kritis dari daerah prefrontal dalam memperantarai aktivitas daerah-daerah korteks posterior, yang terletak di belakang prefrontal, menunjukkan bahwa perubahan perbandingan white matter terhadap gray matter di daerah prefrontal terhadap nonprefrontal menunjukkan kepentingannya dalan perilaku. 8. Terhadap perubahan evolusioner, daerah Brodmann 13, yakni sub-divisi prefrontal yang memperantarai perilaku sosial (terutama dimensi emosional) memberi dugaan bahwa daerah ini tidak berekspansi ketimbang daerah otak secara keseluruhan, yakni hanya 1.5 kali dari apa yang ditemukan pada kera besar (Semendeferi et al., 1998) (47). Sebaliknya, daerah Brodmann 10 yang memperantarai tugas-tugas perencanaan dan pengorganisasian pikiran dan perilaku ke depan (Carpenter & Sutin, 1983) (48) adalah 6,6 kali lebih 94 Makalah Utama besar pada manusia ketimbang yang ada pada pongid (Semendeferi et al., 2001) (49). Apa artinya? Kurang berkembangnya daerah Brodmann 13 tidak berarti kurang berkembangnya aspek perilaku, karena kenyataannya kondisi manusia yang sebenarnya sangat berhubungan dengan interaksi sosial. Peningkatan di daerah Brodmann 10 hampir pasti terkait dengan berbagai dimensi perilaku perencanaan. Apa yang menjadi setiran-setiran evolusi neuroanatomis di atas? Tuntutan ekologis? Komunikasi simbolik? Kompleksitas sosial? Pertanyaan-pertanyaan ini akan digumuli pada bagian mekanisme evolusi. Tetapi sebelumnya, bagaimana studi-studi molekuler memberikan perpektif dalam upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Kesatuan Molekuler Manusia dengan Masa Lampau Pada tataran molekuler, kedekatan antara manusia dengan primata yang masih hidup terpatri jelas. Kesamaan urutan DNA antara H. sapiens dan simpanse mencapai 98.7%. Kalau demikian, ”apa kiranya yang menjadi setiran-setiran evolutif yang menyebabkan kedua organisme ini menunjukkan sejumlah konservasi fungsional, namun di pihak lain menunjukkan kapasitas kognitif sosial yang lebih baik pada manusia?” Dalam perspektif evolusi molekuler, sambil mengapresiasi perbedaan 1% yang membedakan secara struktural gen-gen pada kedua organisme tersebut, analisis tingkat ekspresi gen pada berbagai lokasi fungsional otak menjadi salah satu pintu masuk kritis dalam menjawab mengapa kapasitas kognitif manusia begitu berbeda dan luar biasa dibandingkan dengan simpanse. Perkembangan konsep dan metode dalam wilayah biologi molekuler (termasuk bioinformatika dan evolusi molekuler) (50) membuka kesempatan penting pada studistudi terhadap evolusi manusia di tingkat molekuler. Kita menyaksikan bahwa genom manusia mengandung fosilfosil DNA yang oleh prinsip konservasi genetik (replikasi dan pengeditan DNA) berubah lambat-laun untuk waktu yang lama. Kecepatan perubahannya sekitar 2.5 x 10-8 mutasi per nukleotida, atau sekitar 175 mutasi per genom diploid untuk setiap generasi (Nachman, 2000) (51). Wilayah-wilayah tertentu di dalam genom mengalami tekanan seleksi Darwinian yang luar biasa, walaupun tidak di semua tempat. Sejumlah daerah dalam genom tidak lagi melakukan rekombinasi genetik. Cakrawala Pemikiran Teori Evolusi Dewasa ini 95 Fosil-fosil manusia purba, terutama Homo neanderthalensis, yang terakhir terlihat sekitar 29.000 tahun lampau di daratan Eropa masih menyisahkan DNA pada tulang-tulangnya. Perbandingan runutan DNA kromosomal dan mitokondrial dengan DNA milik H. sapiens memberikan simpulan bahwa H. sapiens dan H. neanderthalensis memiliki 99.5% kesamaan dalam urutan DNA genomiknya (Hall, 2008) (52). Pangkalan data (database) DNA H. neanderthalensis yang sedang dibangun membantu kita melihat apa yang sesungguhnya terjadi pada manusia moderen di tingkat genom. Kita mungkin bahkan dapat, oleh pembatas bioetika, mengekspresikan gen-gen H. neanderthalensis pada sistem kultur sel manusia. Hal yang membuat kita terbelalak adalah temuantemuan di tingkat protein dan DNA bahwa jarak genom antara manusia modern dan simpansé lebih dekat (dengan tingkat kesamaan DNA genomik 98.7%) ketimbang jarak antara simpanse dengan orangutan dan gorilla (King and Wilson, 1975 (53); Bailey et al., 1991 (54); Enard et al., 2002) (55). Berdasarkan studi mereka terhadap 90.000 pasangan basa dari 97 gen manusia, simpansé, gorilla, dan orangutan, Wildman et al., (2003) (56) menyimpulkan bahwa simpansé harus dimasukkan ke dalam genus Homo karena memiliki kesamaan yang sangat tinggi (99.4%) pada mutasi-mutasi yang secara fungsional penting (mutasi nonsinonim). Perpisahan antara manusia dengan simpansé menurut analisis ini terjadi 5–6 juta tahun lampau (lebih awal 1–2 tahun berdasarkan pendugaan umur fosil). Pada titik inilah kita diberi kesadaran baru bahwa ada jalan masuk ke arah studi molekuler-fungsional untuk menyingkap hubungan antara kita manusia modern dengan organisme lain dalam kerabat Homini, yang sekaligus memunculkan pertanyaan epistemologis dan etik yang menantang. Keunikan Manusia dan Ekspresi Gen di Otak Adalah ahli genetika Mary-Claire King dan Allan C. Wilson pada tahun 1975 yang menunjukkan tingkat kesamaan yang luar biasa antara urutan asam amino penyusun protein manusia dan simpansé. Mereka menyimpulkan bahwa “a relatively small number of genetic changes in systems controlling the expression of genes may account for the major organismal differences between humans and chimpanzees”. Yang ingin dikatakan sebenarnya ialah bahwa perbedaan yang menyolok dalam kapasitas kognitif dan keperikelakuan di antara kedua 96 Makalah Utama spesies ini bukan terutama oleh perbedaan fungsi-fungsi protein tetapi pada pengendalian sintesis protein tersebut yang dapat berhubungan dengan waktu, lokasi, jumlah, dan kordinasi ketiganya. Oleh sebab itu, King dan Wilson (1975) (57) mengusulkan agar pumpun perhatian penelitian ke depan pada studi yang mendemonstrasikan perbedaan antara apes dan manusia dalam hal waktu ekspresi gen selama proses perkembangan, khususnya selama perkembangan organ-organ yang sangat krusial dalam proses adaptasi manusia seperti organ otak. Tentunya hal ini tanpa harus mengesampingkan peran-peran mutasi pada gen-gen pengkode protein yang terlibat pada fungsifungsi otak (Khaitovich et al., (2005) (58). Menindaklanjuti agenda di atas, Rockman and Wray (2002) (59) melaporkan polimorfisme urutan DNA tuas pengendali bukan pembawa kode genetik (noncoding cisregulatory DNA sequences) (60) yang lebih tinggi ketimbang polimorfisme aras protein pada manusia (Tabel 2). Mutasimutasi yang terjadi di daerah tuas-pengendali (cisregulatory regions) penting untuk menunjukkan peran tuas-pengendali dalam evolusi manusia karena perubahan tuas pengendali dapat mengubah fungsi gen dengan mengubah ekspresi, waktu, dan lokasi (Wray, 2007) (61). Studi selanjutnya oleh Kudaravalli et al., (2009) (62) yang menghitung statistik skor haplotipe terpadu (iHS) (63) untuk SNP (single nucleotide polymorphisms) untuk mempelajari sinyal-sinyal polimorfik molekuler pada tingkat populasi manusia sekarang, mengindikasikan bekerjanya seleksi alamiah yang baru dan sedang berlangsung. Mereka menunjukkan bahwa single nucleotide polymorphisms (SNPs) yang mempengaruhi ekspresi gen in cis sering merupakan sasaran penting bekerjanya seleksi alamiah serta memberi argumentasi bahwa seleksi pada aras ekspresi gen penting dalam adaptasi manusia. Penelitian di atas mungkin memberi implikasi bahwa perbedaan nyata pada tataran morfologis, keperikelakuan, dan kognitif, termasuk berbahasa dan berberfikir abstrak, antara manusia dan simpansé dapat dijelaskan melalui perbedaan dalam tingkat ekspresi gen, atau bahwa ekspresi gen memberi sinyal kepada kita bahwa perbedaan kualitatif pada tingkat perilaku dapat saja ditelusuri pada perbedaan kandungan informasi genetik yang terekspresi. Bukti-bukti terbaru menunjukkan bahwa perbedaan-perbedaan dalam tingkat ekspresi gen dapat memberi sumbangan berarti kepada perbedaan struktural dan fungsional antar spesies (Tautz, 2000 (64); Levine & Tjian, 2003 (65); Wang & Chamberlin, 2004 (66)). Cakrawala Pemikiran Teori Evolusi Dewasa ini 97 Hal ini memberi penguatan kepada studi mengenai bagaimana perbedaan pola ekspresi gen dari H. sapiens dengan Pan troglodytes mempengaruhi perbedaan dan kesamaan keduanya. Tabel 2. Distribusi Varian-Varian Fungsional Genom Manusia Tipe varian Tuas pengendali Cis Biallel SNP SIPUS (Sisiphapus;(Indel) Lain-lain Multiallel Tipe (AC)n Non-(AC)n Keseluruhan tuas pengendali Cis Protein pengkode varian-varian asam amino Jumlah yg diharapkan dari lokasi-lokasi heterozigot % gen heterozigot 10 700 9 700 900 30.0 27.6 3.0 100 6 500 2 600 0.3 19.5 8.3 3 900 17 200 12.2 43.6 7 900 – 12 900 23.2 – 39.9 Sumber: Rockman M.V. and Wray G. A., 2002. Abundant Raw Material for Cis-Regulatory Evolution in Humans. Mol. Biol. Evol. 19:1991– 2004. Untuk membuktikan adanya perbedaan ekspresi gen antara manusia dan simpanse dan untuk mencari pola-pola penting ekspresi gen yang terkait dengan aspekaspek fungsional di otak, maka sejumlah analisis ekspresi gen telah dilakukan. Studi aras ekspresi gen neokorteks (67) manusia dan simpansé yang dilakukan oleh Cáceres et al. (2003) (68) didapati paling tidak 169 gen (dengan fungsi dalam kisaran luas) yang menunjukkan perbedaan ekspresi gen, terutama peningkatan ekspresi gen pada korteks manusia. Hal ini diduga terkait dengan aktivitas neuronal yang tinggi pada otak. Hal mana tidak terjadi pada jaringan jantung dan hati. Peningkatan ekspresi gen di otak manusia semestinya memberi landasan bagi aktivitas fisiologi dan fungsi serebral, serta dugaan tingginya aktivitas neuronalnya. Demikian pula, Enard et al. (2002) (69) melakukan studi transkriptomik leukosit, hati, dan otak (jaringan otak berasal dari manusia, simpansé, orangutan, dan monyet) serta menganalisis pola ekspresi protein manusia dan simpansé. Jaringan otak diambil dari gray matter lobus prefrontal kiri [left prefrontal lobe (daerah Brodmann 9)]. 98 Makalah Utama Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan yang luar biasa dalam kuantitas ekpresi gen di antara jaringan dan spesies yang diperbandingkan, terutama pola ekspresi gen pada tingkat RNA dan protein. Hal ini menunjukkan bahwa dalam evolusi ke arah manusia ada perubahan pola dan kuantitas ekspresi gen. Perbedaan ini dapat karena duplikasi dan delesi gen, perubahan-perubahan promotor, perubahan dalam aras faktor transkripsi, komposisi seluler dari jaringan dan regulasi ekspresi gen. Telah pula dilakukan analisis profil ekspresi gen di daerah ACC (anterior cingulated cortex) (70) (Uddin et al., 2004) (71). Daerah ini adalah bagian yang menjembatani paleokorteks dengan korteks (walaupun sebenarnya adalah daerah neokorteks) yang mengandung neuron khusus yang disebut spindle cell pyramidal neurons dan secara fisiologis menunjukkan peningkatan aktivitas apabila seorang individu terlibat dalam kegiatan kognitif seperti dalam pengambilan keputusan (Hartley and Speer, 2000) (72). Dari penelitian Uddin et al. (2004), 16.000 gen dari 45.000 gen penelusur pada chip DNA manusia terdeteksi di daerah ACC (dan 14.000–15.000 untuk gorilla dan simpansé). Hal menarik bahwa profil ekspresi gen simpansé lebih dekat dengan manusia ketimbang gorilla. Lebih lanjut ditemukan pada simpansé, dan terutama manusia, bahwa profil ekspresi meningkat pada gen-gen yang terlibat dalam metabolisme energi aerobik (gen-gen rantai transport elektron) dan gen-gen pensinyalan neuronal. Peningkatan kebutuhan energi metabolik ini yang terkait dengan tingginya aktivitas otak diperkuat pula oleh bukti bahwa rasio sel-sel glia terhadap sel-sel neuron di korteks frontal manusia mengalami peningkatan (1.65 pada Homo sapiens; dan 1.20 pada Pan troglodytes) (Sherwood et al., 2006) (73). Sel-sel glia berperan mengendalikan kecepatan pengambilan glukosa dan fosforilasi dalam rangka asupan energi neuron dalam merespons konsentrasi glutamat dalam sinapsis. Tipe lain dari sel glia berfungsi mensintesis myelin yang membungkus akson di otak agar terfasilitasi propagasi jarak jauh sinyal-sinyal potensial. Otak dalam Perpektif Evolusi Molekuler Otak adalah organ yang sangat kompleks. Selama ontogeni, ekspresi gen dipicu oleh sinyal-sinyal perkembangan dan lingkungan. Demikian pula, dalam menjalankan fungsi-fungsi kompleks otak, sinyal-sinyal lingkungan dan sinyal-sinyal mental yang terkanalisasi, menstimulasi terus-menerus aktivitas bagian-bagian tertentu dari otak. Dalam kompleksitas demikian, analisis Cakrawala Pemikiran Teori Evolusi Dewasa ini 99 jejala koekspresi gen antara H. sapiens dan Pan troglodytes seharusnya bisa menjawab mana jejala koekspresi gen (74) yang terkonservasi antara kedua spesies tersebut dan mana yang unik pada otak H. sapiens. Laporan Oldham et al. (2006) (75) memberikan jawaban-jawaban penting, bahwa: (i) dari 4000 gen yang dipelajari berhasil teridentifikasi 7 modul koekspresi gen di otak manusia, modul tertentu terkonservasi pada kedua spesies, dan modul lain tidak; (ii) modul-modul koekspresi tersebut berkorespondensi dengan struktur otak; (iii) hubungan jejala koekspresi di daerah cerebral cortex kurang terkonservasi ketimbang di daerah subkorteks; (iv) teridentifikasi juga gen-gen yang bertindak sebagai hub; dan (v) koneksi-koneksi jejaring yang khas pada manusia. Pada tataran molekuler, hal yang harus diberi perhatian adalah kenyataan adanya konservasi protein (struktur-fungsi) yang kuat antara manusia dan simpanse. Salah satu kemungkinan dari rendahnya variabilitas protein di otak adalah karena mekanisme seleksi pada tingkat molekul sebagai wujud dari bekerjanya seleksi alamiah pada sistem interaksi kompleks fungsional unitunit protein, yang apabila tidak tercapai akan berhadapan dengan persoalan jawaban ”yes” dan ”no”, bertahan hidup atau mati. Telah ditemukan bahwa sejumlah penyakit kemunduran fungsi saraf (a.l. penyakit Alzheimer yang meningkat tajam seiring dengan umur manusia) akibat dari penyimpangan-penyimpangan pada tingkat protein. Gejalah ini juga tentunya belum sampai pada keadaan ”yes” dan ”no” di atas. Pada alel-alel tertentu, mutasi dapat bersifat lethal pada tahapan yang sangat awal dalam kehidupan organisme. Hal ini tentunya dapat menjadi setiran evolutif penting ke arah pemurnian populasi, karena seleksi alamiah terutama bekerja dengan mengeliminasi alel-alel yang berbahaya (deleterious) tidak terkecuali apakah dalam keadaan heterozigot atau homozigot. Jadi alel-alel berbahaya demikian bagi kelangsungan hidupnya berada dalam frekuensi yang rendah. Seleksi yang bertindak melawan mutan-mutan dalam keadaan demikian disebut pula seleksi pemurnian (purifying selection). Selanjutnya, analisis terhadap 1800 gen manusia menggunakan analisis pembeda nukleotida tunggal (singlenucleotide polymorphism) diperoleh bahwa seleksi Darwinian pada Homo sapiens terjadi pada gen-gen dengan kelompok fungsional berikut: interaksi inang dan patogen, reproduksi, siklus sel/metabolisme DNA, metabolisme protein, dan fungsi-fungsi neuronal (Wang et al., 2006) (76). 100 Makalah Utama Perubahan evolusioner ekspresi gen yang tinggi di otak, terutama gen-gen yang terlibat dalam metabolisme aerobik dan fungsi-fungsi neuronal diduga disetir oleh seleksi positif Darwinian (Goodman et al., 2002) (77). Pertanyaan lanjut yang muncul ialah, ”apakah perkembangan otak masih melakukan proses adapatasi oleh tekanan seleksi positif?” Studi intensif terhadap gen Microcephalin dan ASPM memberikan dugaan bahwa dua gen ini terlibat sebagai determinan ukuran dan perkembangan otak manusia dan kerabatnya (Evans et al., 2005 (78); Mekel-Bobrov et al., 2005 (79), Koiprina et al., 2005 (80)). Demikian pula, keduanya terlibat dalam diferensiasi linguistic tone, yakni perbedaan pengungkapan kata/suku kata berdasarkan perbedaan pola titinada (pitch patterns) pada populasi manusia (Dediu & Ladd, 2007) (81). Salah satu haplotipe (Haplogroup D) Microcephalin yang diduga berasal dari archaic homo 1.1 juta tahun lalu, muncul 37.000 tahun lalu (dan telah mengokupasi 70% populasi dunia) melalui introgresi (perpindahan gen melalui hibridisasi atau silang balik). Uji genetik mutan sinonim terhadap mutan nonsinonim disimpulkan bahwa Microcephalin dan ASPM adalah hasil dari seleksi positif yang kuat (Evans et al., 2005; Mekel-Bobrov et al., 2005; Wang & Su, 2004). Implikasinya ialah bahwa pada otak manusia masih berlangsung evolusi adaptif yang cepat (Mekel-Bobrov et al., 2005), mungkin termasuk perkembangan perilaku simbolik pada spesies manusia antara 14.000–60.000 tahun silam. Evolusi Jejala Molekuler Tanskala Apa yang menyebabkan konservasi-konservasi gen tunggal dan jejala koekspresi? Salah satu penjelasan penting adalah apa yang dikenal dengan istilah evolusi jejala tanskala (The evolution of scale-free network). Dalam hal ini, model jejala tanskala dikembangkan untuk menjelaskan perkembangan topologi tanskala dari jejala interaksi-interaksi protein selama evolusi. Dalam model evolusi jejala tanskala, pertumbuhan jejala mengasumsikan bahwa nodus-nodus jejala dengan derajat tetap tertentu ditambahkan terus-menerus pada jejala. Probabilitas bahwa nodus yang baru ditambahkan berinteraksi dengan nodus yang telah ada sebelumnya sebanding dengan derajatnya, yang memunculkan model gabung-suka (preferential attachment model) di mana nodus yang sudah kaya –dengan interaksi– menjadi lebih kaya selama evolusi dan akhirnya membentuk suatu jejala Cakrawala Pemikiran Teori Evolusi Dewasa ini 101 tanskala (Barabasi & Albert, 1999 (82); Barabasi & Oltvai, 2004 (83)). Di dalam sel, kita menemukan interolog-interolog, yakni conserved protein–protein interaction pairs (Walhout et al. 2000) (84). Hunter et al., (2002) (85) melakukan pemindaian protein berkinerja-tinggi (high-throughput screening of protein) dan menunjukkan bahwa jejala interaksi protein (protein interaction network) yang menopang sebagian besar fungsi-fungsi seluler pada S. cerevisiae memiliki diferensiasi dalam derajat interaksi di antara mereka. Ditemukan bahwa konektivitas dari protein-protein yang terkonservasi dengan baik dalam jejala berkorelasi negatif dengan kecepatan evolusi. Protein dengan interaktor yang lebih banyak berevolusi lebih lambat, bukan karena mereka lebih penting terhadap organisme tetapi karena proporsi yang lebih besar dari pada protein tersebut terlibat langsung dalam fungsinya. Di daerah yang penting tempat berlangsungnya interaksi antarprotein perubahan evolutif mungkin berlangsung melalui koevolusi, yakni bahwa substitusi pada salah satu protein berakibat pada tekanan seleksi yang menyebabkan perubahan-perubahan resiprokal pada pasangan protein yang berinteraksi dengannya. Itu berarti bahwa proteinprotein yang berinteraksi, berevolusi dengan kecepatan yang sama. Prinsip yang sama dengan interologs untuk protein dipelajari juga pada aras perpasangan-perpasangan interaksi pengikatan transkripsional terkonservasi (conserved transcriptional binding interaction pairs), dan dinamakan regulogs (Yu et al. 2004) (86). Keketatan tautan akan mempertahankan jejala dan lemahnya tautan akan mendorong diferensiasi, yang berujung pada pembentukan ciri baru pada pemiliknya pada aras organismal dan perilaku. Apakah mekanisme seleksi Darwinian adalah satusatunya gaya yang bekerja pada sistem kompleks seperti otak? Tidak. Seleksi alamiah hanya dapat bekerja karena adanya perbedaan fitness, yang terus-menerus diciptakan melalui mutasi/epimutasi (Nei, 2007) (87). Yang et al., (2003) (88) melaporkan bahwa semakin kompleks suatu organisme semakin kuat pula determinan terjadinya duplikasi gen. Hal ini mendukung adanya direksionalitas. Direksionalitas tampak sekali dalam bukti-bukti evolusi molekuler ekspresi gen, bahwa (i) evolusi memanfaatkan komponen-komponen genetik yang tersedia dalam bentuk tuas pengendali ekspresi gen aktif; (ii) evolusi meminimalkan hukuman terhadap keseluruhan fitness 102 Makalah Utama dengan mengintroduksikan perubahan-perubahan diskrit dalam ekspresi gen; dan (iii) evolusi memungkinkan munculnya interaksi-interaksi di antara faktor transkripsi dan daerah hilir tuas pengendali. Selanjutnya, studi microarray memberi data yang luar biasa kaya sebagai bukti bahwa ada begitu banyak jejala fungsional antar gen (functional modules (89)), yang pada dirinya merupakan pembatas ke arah perubahan acak. Pada fenomenafenomena perkembangan yang kompleks muncul rintangan-rintangan yang mempersempit keacakan, seperti yang diajukan oleh Gu & Su (2007) (90) dalam “tissuedriven hypothesis”. Kemampuan Mental, Interaksi Ekologis dan Sosial Lihatlah warna-warni ikan karang dan ekosistemnya yang indah! Lihat pula bentuk mulut kupu yang menyesuaikan dengan struktur bunga. Apa kesan anda? Bagaimana pula dengan struktur mulut nyamuk yang menusuk dan menghisap darah manusia? Beradaptasi dengan struktur bunga agar dapat mengeksploitasi madu yang dikeluarkan oleh kelenjar bunga. Hal ini hanya sekedar contoh dari fakta yang hampir tak-berhingga banyaknya. Semuanya itu, sebagaimana teori Darwin terangkan, adalah hasil adaptasi dari organisme tersebut terhadap lingkungannya supaya ia dapat bertahan hidup. Pertanyaan yang menantang kita ialah: “dengan alasan apa kita dapat jelaskan kemampuan-kemampuan khas manusia seperti kecerdasan, berbahasa, dan kesadaran (diri)? Apa sesungguhnya yang terjadi sehingga organ otak begitu vital terhadap kemampuan-kemampuan tersebut? Data fosil, anatomis, molekuler, dan fisiologis menunjukkan bahwa perubahan volume otak dan bagianbagiannya dalam evolusi bukanlah gratisan atau kebetulan. Trend ke arah pembesaran otak berkorelasi kuat dengan penurunan jumlah keturunan (offspring) per satuan waktu. Biaya ini harus dibayar pada setiap generasi, yakni bahwa: (1). Otak menuntut proses metabolisme yang mahal. Beratnya yang hanya 2% dari berat tubuh orang dewasa mengonsumsi 10 kali lebih banyak glukosa dan oksigen (Aileo & Wheeler 1995) (91). (2). Peningkatan ukuran otak pada primata berkorelasi kuat dengan semakin panjangnya waktu kehamilan, semakin lamanya periode ketergantungan bayi (infant), dan tertundanya periode reproduksi (Harvey & Clutton-Brock, 1985) (92). Kesemuanya ini mengurangi jumlah keturunan setiap individu yang dapat Cakrawala Pemikiran Teori Evolusi Dewasa ini 103 dihasilkan per satuan waktu. (3). Tampaknya terdapat trade-off pada hominid yang berjalan tegak dengan dua kakinya (bipedalisme) antara efisiensi lokomotor dan kemudahan untuk melahirkan (Lovejoy, 1975) (93). (4) Terdapat pula suatu potensi masalah pendinginan oleh karena jaringan otak yang besar. Alternatifnya, individu dengan otak yang kecil akan memiliki keuntungan selektif. Dengan demikian, sulitlah membayangkan bahwa evolusi otak manusia seperti perbesaran neokorteks dan scale-up keseluruhan organ otak hanyalah suatu konsekuensi dari ukuran tubuh yang membesar (hipotesis epifenomena; Finlay & Darlington, 1995 (94); lihat review, Dunbar & Shultz, 2007) (95). Tentunya pula bahwa otak kita berevolusi juga bukan untuk menjawab teka-teki silang, atau permainan catur (Rose, 2006) (96). Mesti ada alasan survivability bagi berevolusinya organ otak dengan fungsi-fungsi mentalnya, demi kelangsungan hidup pemiliknya. Apa alasannya? Mungkin, otak besar berguna karena memiliki kemampuan ingatan yang lebih besar, kemampuan merencanakan, dan kemampuan berbahasa. Kemampuan ini hanya relevan secara evolusi kalau kemampuan tersebut mampu mengompensasi biaya yang harus dibayar karena membesarnya otak, yang pada akhirnya bergantung pada ciri ekologis dan sosial tertentu dari populasi tertentu. Berusaha mencari jawab dalam korelasi antara korelasi genetik (g) dengan volume otak tampaknya ada tetapi tidak cukup. Data neuroanatomis (pada bagian sebelumnya) tampaknya menunjukkan pentingnya melihat fungsi bagian-bagiannya. Misalnya kemampuan ingatan kerja (working-memory abilities) berkorelasi kuat dengan gray matter dari korteks prefrontal. Ukuran korteks frontal juga berkorelasi kuat dengan kemampuan mengekstrak informasi yang relevan di lingkungan (Schoenemann, 2006) (97), perencanaan (Damasio, 1985) (98), ingatan keteraturan serial dan informasi temporal (Fuster, 1985) (99), kebahasaan (Deacon, 1997) (100), serta pemrosesan informasi sosial (de Bruin, 1990) (101). Menurut Schoenemann (2006), adalah penting mempertimbangkan ingatan keteraturan serial dalam evolusi perilaku manusia, karena perilaku manusia yang paling memberikan keuntungan pada manusia modern ini adalah kemampuannya dalam merekonstruksi pemahaman, dan memanfaatkan informasi kausal. Menurut Jerison (1985) (102) dan Gibson (2002) (103), derajat ensefalisasi berkorespondensi dengan derajat kompleksitas pemrosesan informasi, yang berkorelasi 104 Makalah Utama dengan kompleksitas realitas yang dibangun di otak. Semua kecanggihan teknologi manusia bergantung pada kemampuan ini, dan kausalitas tergantung pada akhirnya kemampuan keteraturan serial kejadian di masa lampau. Tanpa kemampuan ini, tidak mungkin dapat mengonstruksi (dan oleh sebab itu harus mampu mengingat) apa tindakan atau perilaku yang menuju pada hasil yang terkait dengannya. Peningkatan kompleksitas realitas yang dibangun di otak (konseptual) harus ditimpali kepada sifat interaksi sosial manusia dan hal ini mengena dengan evolusi komunikasi simbolik yang mengalami pemodelannya berupa sandi-sandi spasio-temporal kombinatoris (Koch & Laurent, 1999) (104) dalam pengalaman ontogenik. Lalu, apa setiran yang menyebabkannya? Yang pertama yang harus dikatakan ialah otak dan kemampuan mentalnya, walaupun dengan biaya yang sangat mahal menapaki tanjakan terjal evolusi (antara lain biaya metabolik dari jaringan otak yang mahal), hadir dalam rangka kelangsungan hidupnya, tanpa kecuali pada manusia. Kelangsungan mana diduga terkait dengan batasan-batasan hidup yang melingkupinya: (1) lingkungan fisik dan terutama kemudian (2) tuntutan kompleksitas lingkungan sosial, ataupun (3) reorganisasi internal sistem respons pemrosesan mental kita menghadapi situasisituasi baru tak-terduga, melalui kreativitas dan inovasi. Catatan Penutup Otak terutama cerebral cortex dengan fungsi-fungsi kognitif aras tinggi, adalah hasil dari perjalanan evolusi yang panjang. Namun demikian, otak adalah juga fenomena perkembangan. Fungsinya mengalami pematangan dan pencermatan sejalan dengan perkembangan organisme. Ia adalah hasil dari perjumpaan antara struktur dasar yang diberikan evolusi dan pengalaman selama perkembangan ontogenik. Kita telah saksikan, paling tidak pada aras ekspresi gen bahwa manusia memiliki pola ekspresi gen yang khas, demikian juga pada kerabat terdekat manusia, yaitu simpansé. Dengan latar-belakang pola ekspresi gen yang khas manusia itu, sinyal-sinyal perkembangan dan sinyal-sinyal lingkungan fisikal dan kemudian sinyal-sinyal social-kultural serta berbagai umpan-balik positif dan negatif membentuk fungsi-fungsi ”the present state of the brain”. Dari apa yang dikatakan di atas, dapatlah kita pahami peranan sentral dari pembelajaran kultural, yang bekerja pada aras populasi, yang dalam interaksinya Cakrawala Pemikiran Teori Evolusi Dewasa ini 105 dengan desain evolutif, mendeterminasi perilaku-perilaku komunitas. Dari sini pula dapat kita pahami bagaimana evolusi memberi pagar pembatas dan ruang kreativitas, yang dengan mana kultur bekerja membentuk sistem keperikelakuan individual ataupun komunitas. Referensi dan Catatan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. Rose S., 2006. The Future of the Brain. Oxford University Press. 344p. ToM (Theory of Mind)1 adalah kemampuan untuk memahami keadaan mental orang lain dan mempertimbangkan dalam perilakunya (The ability to understand another individual’s mental state and take it into account in one’s own behavior, Premack and Woodruff , 19781). Wilardjo L. (2009) mensenaraikan kemampuan manusia itu secara sistematis dan bertingkat sebagai 4N, yakni naluri, nalar, nurani dan nala. Searle (20001) mengatakan bahwa: the brain has a remarkable capacity to organize very degenerate perceptual stimuli into coherent conscious perceptual forms. Property of mental states by which they are directed at or about objects and states of affairs in the world. Mengaitkan sistem stimulus, tindakan sadar, dan aktivitas otak, Searle (20001) mengatakan bahwa, “as the visual system binds all of the different stimulus inputs into a single unified visual percept, so the entire brain somehow unites all of the variety of our different stimulus inputs into a single unified conscious experience”. (Searle, JR, 2000. Consciousness. Annu. Rev. Neurosci. 2000. 23:557–578). Sayangnya bahwa apresiasi kita terhadap lingkungan evolusioner ini sangat kecil, bahkan tidak peduli, lalu merusaknya. Dan bahkan dengan kita dibolehkan mengetahui logika dibalik bekerjanya mekanisme-mekanisme genetik dipelataran mekanistik, yang diawali dengan genetika Mendelian, kita sedang mengutak-atik konstruksi evolutif dari sistem genetik tersebut. Kemampuan untuk memahami keadaan mental individu lain dan mempertimbangkannya dalam perilakunya. O’Connell S and Dunbar RIM, 2003. A test for comprehension of false belief in chimpanzees. Evolution and Cognition 9:131-140. Bogin B, (1990). The Evolution of Human Childhood. Bioscience 40:16-25. Cremers A. (Peny.)1988. Jean Piaget, “Antara Tindakan dan Pikiran”. Penerbit Gramedia Jakarta, 307 hal. Piaget J and Inhelder B., 1969. The Psychology of the Child (Translated from French by Helen Weaver). Routledge and Keagen Paul London. 173p. Gogtay N, Lusk L, Hayashi KM, Giedd JN, Greenstein D, et al., 2004. Dynamic mapping of human cortical development during childhood and adolescence. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 101:8174-8179. Toga AW and Thompson PM, 2005. Genetics of Brain Structure and Intelligence. Annu. Rev. Neurosci. 28:1-23. Leakey R., 2003. Asal-usul manusia (terjemahan dari judul asli “The Origin of Humankind” (1994). Penerbit KPG Jakarta, 221. Petraglia M, Clarkson C, Boivin N, Haslam M, Korrisetar R, Chaubey G, Ditchfield P, Fuller D, James H, Jones S, Kivisild T, Koshy J, Lahr MM, Metspalu M, Roberts R, and Arnold L, 2009. Population increase and environmental deterioration correspond with microlithic innovations in South Asia ca. 35,000 years ago. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 106: 12261-12266. 106 Makalah Utama 17. Scholz CA, Johnson TC, Cohen AS, King JW, Peck JA , Overpeck JT, Talbot MR, Brown ET, Kalindekafe L, Amoako PYO, Lyons RP, Shanahan TM, Castan˜ eda IS, Heil CW, Forman SL, McHargue LR, Beuning KR, Gomez J, and Pierson J, 2007. East African megadroughts between 135 and 75 thousand years ago and bearing on early-modern human origins. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 104: 16416–16421 18. Gru¨n R, Stringer C, McDermott F, Nathan R, Porat N, Robertson S, Taylor L, Mortimer G, Eggins S, McCulloch M (2005). J Hum Evol 49:316–334. 19. Bouzouggar A , Barton N, Vanhaeren M, d’Errico F, Collcutt S , Higham T, Hodge E, Parfitt S, Rhodes E, Schwenninger J, Stringer C, Turner E, Ward E, Moutmir A, and Stambouli A,, 2007. 82,000-yearold shell beads from North Africa and implications for the origins of modern human behavior. Proc. Natl Acad. Sci. USA 104: 9964–9969. 20. Widianto H & Simanjuntak T, 2009. Sangiran menjawab dunia. Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran. 142 hal. 21. Yang berjarak hanya ± 1.5 – 2 jam perjalanan mobil dari Salatiga ke arah Gemolong Sragen. 22. Brunet, M, and 37 others (2002). A new hominid from the upper Miocene of Chad, Central Africa. Nature 418: 145-151. 23. White, T., et al. (2003). Pleistocene Homo sapiens from Middle Awash, Ethiopia. Nature, 423: 742-747. 24. Wood B and Collard M, 1999. The Human Genus. Science 284: 65-71. 25. Alles, D. L. and Stevenson, J. C. (2003). Teaching Human Evolution. The American Biology Teacher, Vol. 65, No. 5(May), 333-339 (Yang direview kembali pada 10/1/2006; akses via Web). 26. Futuyma DJ, 2005. Evolution. Sinauer Associates, Inc. 603p. 27. Palmer D, 2006. Seven million years, the story of human evolution. Phoenix, 283p. 28. De Miguel C and Henneberg M., 2001. Variation in hominid brain size: How much is due to method? Homo 52:3-58. 29. Schoenemann PT, 1997. An MRI study of the relation between human neuroanatomy and behavioral ability. PhD diss. Univ. of Calif., Berkeley. 30. Ukuran otak manusia memiliki variasi ukuran yang tinggi dengan rata-rata ~1330 cc dan memiliki ukuran lebih besar 3.1 kali dari simpansé berdasarkan skala alometri otak/ukuran tubuh (Schoenemann, 1997). 31. Finlay B.L. Darlington R.B., and Nicastro N., 2001. Developmental structure in brain evolution. Behav. Brain. Sci. 24:263-308. 32. Gilbert S. L., Dobyns W. B., and Lahn B. T., 2005. Genetic likns between brain development and brain evolution. Nature Reviews Advance Online Publication 10 June 2005; doi:10.1038/nrg1634. 33. Schoenemann P. T., 2006. Evolution of the size and functional areas of the brain. Ann. Rev. Anhropol. 35: 379-406. 34. Darwin, C. (1871) The descent of man. London, UK: Murray. 35. Haug H., 1987. Brain sizes, surfaces, and neuronal sizes of cortex cerebri: a stereological investigation of man and his variability and a comparison with some mammals (primates, whales, marsupials, insectivores, and one elephant). Am. J. Anat. 180:126-42. 36. Morwood MJ, Brown P, Jatmiko, Sutikna T, Saptomo EW, Westaway KE, Due RA, Roberts RG, Maeda T, Wasisto S, Djubiantono T (2005) Further evidence for small-bodied hominids from the Late Pleistocene of Flores, Indonesia. Nature 437: 1012–1017. 37. Calvin WH, 1994. The Emergence of Intelligence. Sci. Amer. Oktober 1994: 79-1994. 38. Berfungsi dalam menghambat perilaku instingtif; fungsi bahasa, memori kerja, dan directed attention. Cakrawala Pemikiran Teori Evolusi Dewasa ini 107 39. Berfungsi menghubungkan dan mensintesis pemikiran dan informasi; navigasi spasial, pemrosesan dan penyimpanan verbal, perencanaan gerak motor, gerakan tangan yang dituntun secara visual. 40. Berfungsi antara lain dalam penyimpanan dan pemanggilan informasi, pemrosesan bahasa. 41. Falk D, Hildebolt C, Smith K, Morwood MJ, Sutikna T, Brown P, Jatmiko E, Saptomo EW, Brunsden B, Prior F (2005) The brain of LB1, Homo floresiensis. Science 308: 242–245. 42. Chagizi MA and Shimojo S., 2005. Parcellation and area-area connectivity as a function of neocortex size. Brain Behav. Evol. 66:8898. 43. Katakanlah daerah girus frontalis inferior pada manusia atau yang dikenal dengan daerah Broca, berfungsi dalam ekspresi verbal. Adanya lesi di daerah ini mengakibatkan afasia motorik. 44. Blanke O, Mohr C, Michel C, Pascual-Leone A, Brugger P, Seeck M, Landis T, Thut G, 2005. Linking Out-of-Body Experience and Self Processing to Mental Own-Body Imagery at the Temporoparietal Junction. The Journal of Neuroscience 25:550-557. 45. Mencakup: (1) daerah motor primer daerah Brodmann 4 yang mengendalikan gerakan otot kesadaran, (2) daerah Broadmann 6 merencanakan urutan-urutan gerakan-otot kompleks; (3) korteks prefrontal –semua yang berada di anterior dari daerah premotor- yang memediasi sejumlah fungsi korteks aras tinggi yang penting untuk perencanaan, bahasa, interaksi sosial, serta melakukan pemantauan umum terhadap daerah lain di otak. Kecerdasan (IQ, g) berkorelasi kuat dengan peta gray matter; dan g berkorelasi dengan perbedaan volume gray matter di Lobus frontal. Hal ini dibawah kendali sangat kuat oleh faktor genetik. 46. Avants BB and Schoenemann PT, Gee JC, 2005. Lagrangian frame diffeomorphic image registration: morphometric comparison of human and chimpanzee cortex. Med. Image Anal. 10:397-412. 47. Semendeferi K, Armstrong E, Schleider A, Zilles K, Van Hoesen GW, 1998. Limbic frontal cortex in hominoids: a comparative study area 13. Am. J. Phys. Anthropol. 106:129-55. 48. Carpenter MB, Sutin J. 1983. Human Neuroanatomy. Baltimore, MD: Williams & Wilkins. 49. Semendeferi K, Armstrong E, Schleider A, Zilles K, Van Hoesen GW, 2001. Prefrontal cortex in humans and apes: a comparative study of area 10. Am. J. Phys. Anthropol. 114:224-41. 50. Dengan bioinformatika kita dapat melakukan analisis pohon kekerabatan serta menganalisis struktur gen (panjang, struktur ekson-intron, orf (open reading frame), struktur tuas pengendali – promotor-, dan komposisi basa nukleat, dll) dan genom (penjajaran DNA secara bebas –free alignment-), kandungan gen yang sama dalam genom, keteraturan posisi gen di dalam genom (gene order), rata-rata kesamaan urutan, dan filogenomik. Melalui pendekatan-pendekatan molekuler kita boleh lebih kokoh memahami bahwa migrasi dan pola persebaran manusia modern di muka bumi terjadi melalui teori out of eden (Stringer and Andrews, 19881; Vigilant et al., 19911; Hudjashov et al., 20071). 51. Nachman M. W., 2000. Estimate of the mutation rate per nucleotide in human. Genetics 156: 297-304. 52. Hall S, 2008. Last of the Neanderthals. National Geography 214: 3459. 53. King M-C and Wilson AC, 1975. Evolution at Two Levels in Humans and Chimpanzees. Science 188: 107-116. 54. Bailey WJ, Fitch DHA, Tagle DA, Czelusniak J, JL Slightom, and M Goodman, 1991. Molecular Evolution of the ψη-globin gene locus: 108 Makalah Utama 55. 56. 57. 58. 59. 60. 61. 62. 63. 64. 65. 66. 67. 68. 69. 70. 71. Gibbon phylogeny and the hominoid slowdown. Mol. Biol. Evol. 8: 155184. Oleh sebab itu dalam taksonomi terbaru, genus Pan (simpansé) dan genus Homo diklasifikasikan ke dalam satu kerabat yakni Hominini. Wildman D, Uddin M, Liu G, Grossman L, and Goodman M, 2003. Implications of natural selection in shaping 99.4% nonsynonymous DNA identity between humans and chimpanzees: enlarging genus Homo. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 100: 7181-7188. King M and Wilson A. C., 1975. Evolution at two level in human and chimpanzees. Science 188: 107-116. Khaitovich P, and 8 others, 2005. Parallel patterns of evolution in the genomes and transcriptomes of human and chimpanzees. Science 309: 1850-1854. Rockman M.V. and Wray G. A., 2002. Abundant Raw Material for Cis-Regulatory Evolution in Humans. Mol. Biol. Evol. 19:1991–2004. DNA tuas pengendali adalah DNA bukan pembawa sandi genetik namun berfungsi mengendalikan ekspresi gen (terutama pada aras transkripsi), yang konsekuensi fungsionalnya dapat bergantung pada faktor-faktor tipe sel, suhu, distribusi induser eksogen, interaksi dengan elemen-elemen lain seperti intron, elemen hilir dari sistem ekspresi gen, dan kovariasi pada tempat yang lain di dalam genom. Wray G. 2007. The evolutionary significance of cis-regulatory mutations. Nat Rev Genet. 8:206–216. Sridhar Kudaravalli, Jean-Baptiste Veyrieras, Barbara E. Stranger, Emmanouil T. Dermitzakis and Jonathan K. Pritchard, 2009. Gene Expression Levels Are a Target of Recent Natural Selection in the Human Genome. Mol. Biol. Evol. 26(3):649–658 iHS merupakan statistik yang diperkenalkan belum lama untuk mengukur kejadian seleksi terhadap variasi genetik yang masih baru dan belum mencapai fiksasi (Tang et al. 2007: Tang K, Thornton K, Stoneking M. 2007. A new approach for using genome scans to detect recent positive selection in the human genome. PLoS Biol. 5:e171.) Tautz D, 2000. Evolution of Transcriptional Regulation. Curr Opin Genet Dev 10:575-579 Levine M and Tjian R, 2003. Transcription Regulation and Animal Diversity. Nature 424(6945):147-151. Wang X and Chamberlin HM., 2004. Evolutionary innovation of the excretory system in Caenorhabditis elegans. Nature Genetics 36:231232. Yakni bagian otak yang mengalami ekspansi ukuran yang paling luarbiasa relatif terhadap bagian dari otak dan tubuh lain, serta beberapa perbedaan dalam organisasi internalnya dalam evolusi hominin Cáceres M, Lachuer J, Zapala M, Redmond J, Kudo L, Geschwind D, Lochard D, Preuss T, and Barlow C., 2003. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 100: 13030-13035. Enard, W. and 12 others, 2002. Intra- and Interspecific variation in Primate gene expression patterns. Science 296: 340-343. ACC (anterior cingulated cortex) merupakan bagian korteks yang spesifik manusia, terdapat dompolan-dompolan sel-sel neuron piramidal khusus yang disebut spindle cell pyramidal neurons. Sel-sel neuron piramidal memiliki akson-akson yang panjang yang menghantar informasi keluar dari korteks. Jumlah spindle cell pyramidal neurons semakin berkurang berturut-turut pada bonobo, simpansé, gorilla, dan orangutan, bahkan tidak ditemukan samasekali pada primata dan mamalia lainnya. Ukuran spindle cellnya beberapa kali lebih besar. Sel-sel ini jauh lebih peka terhadap penyakit Alzheimer ketimbang sel-sel piramidal lainnya. Uddin M, Wildman D, Liu G, Xu W, Johnson R, Hof P, Kapatos G, Grossman L, and Goodman M, 2004. Sister grouping of chimpanzees Cakrawala Pemikiran Teori Evolusi Dewasa ini 109 72. 73. 74. 75. 76. 77. 78. 79. 80. 81. 82. 83. 84. 85. 86. 87. 88. 89. and human as revealed by genome-wide phylogenetic analysis of brain gene expression profiles. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 101: 2957-2962. Hartley A A and Speer NK, 2000. Locating and Fractionating Working Memory Using Functional Neuroimaging: Storage, Maintenance, and Executive Functions. Microsc Res Tech. 51(1): 45-53. Sherwood CC, and 11 others, 2006. Evolution of increased glia-neuron ratios in the human frontal cortex. Proc. Natl. Acad. Sci. 103: 1360613611. Jejaring koekspresi gen diukur dengan mengukur konektivitas jejaring, yakni seberapa kuat suatu gen terkoneksi dengan gen lain di dalam jejaring koekspresi gen. Oldham M, Horvath S, Geschwind D, 2007. Conservation and evolution of gene coexpression networks in human and chimpanzee brains. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 103: 17973-17978. Wang ET, Kodama G, Baldi P, Moyzis RK, 2006. Global landscape of recent inferred Darwinian selection for Homo sapiens. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 103: 135-140. Goodman M, McConkey E, and Page S, 2002 in New Perspectives in Primate Evolution and Behaviour, eds, Harcourt, C.S. & Sherwood, B.R (Westbury Academic and Scientific, Otley, West Yorkshire, U.K), pp47-70. Evans PD et al., and 8 others, 2005. Microcephalin, a gene regulating brain size, continues to evolve adaptively in human. Science 309: 1717-1720. Mekel-Bobrov and 7 others, 2005. Ongoing adaptive evolution of ASPM, a brain size determinant in Homo sapiens. Science 309: 17201722. Kouprina, N., Pavlicek, A., Mochida, G.H. Solomon, G., Gersch, W., Yoon, Y-H., Collura, R., Ruvolo, M., J. Barrett, C., Woods, C.G., Walsh, C.A., Jurka, J., and Larionov, V. (2005). Accelerated Evolution of the ASPM Gene Controlling Brain Size Begins Prior to Human Brain Expansion. PLoS Biology, 2(5), e126. Dediu D and Ladd R, 2007. Linguistic tone is related to population frequency of the adaptive haplogroups of two brain size genes, ASPM and Microcephalin. Proc. Natl. Acad. Sci. USA: 10944-10949. Barabasi AL & Albert R, 1999. Emergence of scaling in random networks. Science 286: 509-512. Barabasi AL & Bonabeau E, 2003. Scale-free networks. Sci. Am. 288:60-69. Walhout, A.J., Sordella, R., Lu, X., Hartley, J.L., Temple, G.F., Brasch, M.A., Thierry-Mieg, N., and Vidal, M. 2000. Protein interaction mapping in C. elegans using proteins involved in vulval development. Science 287: 116–122. Fraser H B et al., 2002. Evolutionary rate in the protein interaction network. Science 296, 750. DOI: 10.1126/Science.1068696. Yu, H., Luscombe, N.M., Lu, H.X., Zhu, X., Xia, Y., Han, J.D., Bertin, N., Chung, S., Vidal, M., and Gerstein, M. 2004. Annotation transfer between genomes: Protein–protein interologs and protein–DNA regulogs. Genome Res. 14: 1107–1118. Nei M, 2007. The new mutation theory of phenotypic evolution. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 104: 12235-12242. Yang J, Lusk R, and Li W-H., 2003. Organismal complexity, protein complexity, and gene duplicability. Proc. Natl. Acad. Sci. USA: 100: 15661-15665. Huang Y, Li H, Hu H, Yan X, Waterman M, Huang H, and Zhou X, 2007. Systematic discovery of functional modules and context-specific functional annotation of human genome. Bioinformatics 23: 12221229. 110 Makalah Utama 90. Gu X and Su Z, 2007. Tissue-driven hypothesis of genomic evolution and sequence-expression correlations. Proc. Natl. Scad. Sci. USA: 2779-2784. 91. Aiello LC, Wheeler P., 1995. The expensive tissue hypothesis: the brain and the digestive system in human and primate evolution. Curr. Anthropol. 36:199-221. 92. Harvey PH & Clutton-Brock TH., 1985. Life history variation in primates. Evolution 39:559-581 93. Lovejoy CO, 1975. Biomechanical perspectives on the lower limb of early hominids. In Primate Functional Morphology and Evolution, ed RH Tuttle, pp291-326. The Hague: Mouton. 94. Finlay BL and Darlington RB, 1995. Linked regularities in the development and evolution of mammalian brains. Science 268: 15781584 95. Dunbar R.I.M. and Shultz S., 2007. Evolution in the social brain. Science 317: 1344-1347. 96. Rose S., 2006. The Future of the brain. Oxford Univ. Press, 344p. 97. Schoenemann PT, 2006. Evolution of the size and functional areas of the human brain. Annu. Rev. Anthropol. 35: 379-406. 98. Damasio AR, 1985. The frontal lobes. In Clinical Neuropsychology, ed. K. Heilman, E Valenstein, p. 339-375. Oxfordm, UK: Oxford Univ. Press 99. Fuster JM, 1985. The prefrontal cortex, mediator of cross-temporal contingencies. Hum. Neurobiol. 4:169-179. 100. Deacon TW, 1997. The Symbolic Species: The Coevolution of Language and the Brain. New York: W.W. Norton. 101. de Bruin JPC, 1990. Social behavior and the prefrontal cortex. In Progress in Brain Research, ed. HBW Uylings, CG Van Eden, JPC de Bruin, MA Corner, MGP Feenstra, pp. 485-497. New York: Elsevier Science. 102. Jerison HJ, 1985. Animal intelligence as encephalization. Philos. Trans. R. Soc. London Ser. B 308:21-35. 103. Gibson KR, 2002. Evolution of human intelligence: the roles of brain size and mental construction. Brain Behav. Evol. 59:10-20. 104. Koch C and Laurent G, 1999. Complexity and the Nervous System. Science 284: 96-98. 105. Buss, D.M., 1995. Evolutionary Psychology: A New Paradigm for Psychological Science. Psychological Inquiry, vol 6, No. 1, 1-3 106. Caporel, L.R., 2001. Evolutionary Psychology:Toward a Unifying Theory and a Hybrid Science. Annual Review of Psychology, 52, 607-628 Cakrawala Pemikiran Teori Evolusi Dewasa ini 111