bab i pendahuluan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Kejadian AKI (Acute Kidney Injury) masih mempunyai angka kematian
yang tinggi dan seringkali tidak terdiagnosis, padahal dengan menggunakan
kriteria diagnosis baru dan kriteria RIFLE (Risk-Injury-Failure-Loss-End stage
renal failure) angka kejadian AKI dapat diramalkan sebelumnya dan mungkin
dapat dicegah terjadinya (Roesli, 2008).
Angka kejadian AKI di negara berkembang berbeda dengan negara maju.
Di negara maju AKI biasanya terjadi pada usia lanjut dan paska operasi jantung,
sedang di negara berkembang lebih sering terjadi pada usia muda atau anak-anak
dan etiologinya biasanya dehidrasi, infeksi, toksik, atau kasus obstetri (Cerda et
al., 2008). Angka kejadian AKI yang terjadi di RS di negara maju yang
dilaporkan jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan negara berkembang. Angka
kejadian AKI yang lebih rendah pada negara berkembang berkaitan dengan
pencatatan dan pelaporan yang belum sempurna (Wang et al., 2005).
Rerata kejadian AKI pada pasien dengan kondisi kritis yang dijelaskan
pada beberapa literatur bervariasi antara 1.1% sampai 31%, hal ini tergantung
pada definisi yang digunakan dan populasi yang terlibat pada masing-masing
penelitian. Episode AKI pada pasien dengan kondisi kritis lebih dari 90%
disebabkan oleh iskemia, bahan toksik, atau kombinasi keduanya. Terdapat
beberapa penyebab AKI, diantaranya akibat sumbatan aliran saluran kemih,
1 nefritis tubulointerstisial akut, glomerulonefritis akut, dan ateroemboli (Hoste dan
Kellum, 2004).
Angka kematian pada pasien AKI dengan kondisi kritis yang
terdokumentasi pada beberapa penelitian terbaru juga bervariasi sekitar 28%
sampai dengan 82%, bahkan AKI disebut sebagai salah satu prediksi terjadinya
kematian pada pasien kritis. Pasien kritis yang dirawat di unit perawatan intensif
sering berkembang menjadi AKI sebagai konsekuensi beberapa kondisi yang
berhubungan dengan tingginya angka kematian seperti sepsis dan hipotensi. Lebih
lanjut, AKI juga dapat menyebabkan beberapa komplikasi yang kemudian dapat
menyebabkan kegagalan fungsi organ dan hal ini mengakibatkan luaran klinis
negatif pada pasien yang dirawat di intensive care unit (ICU) (Metnizt et al.,
2002).
Berdasarkan penelitian multisenter yang dilakukan Liano dkk di Madrid,
Spanyol pada tahun 1991-1992 dilaporkan kasus AKI sebanyak 784 kasus dan
sebanyak 33,8% diantaranya terjadi di ICU dengan jenis terbanyak adalah renal
(acute tubular necrosis) yaitu sebanyak 75,9%. Penyebab AKI yang dirawat di
ICU antara lain sepsis (35,4%), medikal (35,4%), paska tindakan bedah (24,5%),
dan toksik (31,3%). Angka kejadian dan etiologi pasien AKI yang dirawat di ICU
di negara berkembang agak berbeda. Kejadian GGA yang terjadi dinegara
berkembang umumnya terjadi pada usia rata – rata 45 tahun dengan etiologi
terbanyak adalah sepsis(41,5%), pneumonia (13%), leptospirosis (11,6%),
meningitis (8,2%), dan tetanus (5,4%) (Daber et al., 2008).
2 Penelitian yang dilakukan di Bandung, Indonesia, melaporkan angka
kejadian sebesar 34% ditemukan di ruang rawat intensif. Etiologi yang terbanyak
ditemukan antara lain hipovolemia (64,5%), septikemia (15,4%), toksisitas obat
(11,8%), demam berdarah dengue (3,5%), dan keracunan jengkol (2,4%).
Penelitian yang dilakukan di Surabaya ditemukan AKI sekunder akibat kondisi
klinik lain sebesar 90%. Penelitian retrospektif yang dilakukan Roesli dkk pada
tahun 2007 ditemukan bahwa hampir semua pasien yang dikonsulkan sudah
dalam kondisi failure berdasarkan kriteria RIFLE yaitu diuresis < 0,3 cc/kgbb/jam
atau anuria dan memerlukan terapi dialisis. Penyakit dasar pasien yang yang
dirawat di ICU adalah sepsis/multi organ failure (MOF) (42%), gangguan jantung
(28%), paska operasi (16%), luka bakar dan gastroenteritis (6%) (Roesli, 2007).
AKI yang terjadi di komunitas sebagian besar etiologinya adalah gangguan
perfusi renal akibat penurunan volume cairan tubuh diantaranya karena dehidrasi
atau gangguan kardiovaskuler. Pada AKI seperti ini angka kematiannya kurang
dari 10% dan 90% kasus fungsi ginjal akan akan kembali normal. Sementara di
pihak lain, angka kematian pasien AKI di RS masih tetap tinggi, yaitu sekitar 3050% pada pasien yang dirawat dibangsal biasa tetapi dapat mencapai 70-80%
pada pasien yang dirawat di ruang intensif. Penyebab kematian tertinggi pada AKI
biasanya adalah infeksi dan sepsis (75%), sedangkan komplikasi kardio-pulmonal
merupakan penyebab kematian kedua (Chertow et al., 2006; Ricci et al., 2007).
Angka kematian AKI tidak secara bermakna menurun walaupun dengan
pengelolaan yang lebih mutakhir, terutama setelah kemajuan terapi dalam 40
tahun terakhir seperti terapi pengganti ginjal (TPG) seperti dialisis atau
3 ultrafiltrasi. Sebelum ditemukannya TPG, kematian AKI terutama disebabkan
oleh overhidrasi, hiperkalemia, atau uremia. Setelah digunakannya TPG angka
kematian masih tetap tinggi, hal ini mungkin disebabkan oleh peningkatan usia
pasien dan banyaknya penyakit penyerta. Selain itu, tingginya angka kematian ini
berhubungan dengan berbagai faktor antara lain etiologi AKI, besar dan lamanya
beban terhadap ginjal serta tahapan AKI. Pasien AKI dengan etiologi pre renal
mempunyai prognosis yang jauh lebih baik dibandingkan dengan etiologi renal
atau instrinsik. Pasien AKI yang pengelolaannya dimulai pada tahap awal
mempunyai prognosis yang lebih baik dibandingkan bila pengelolaan baru
dilakukan pada tahap yang lebih lanjut. Pasien AKI dengan oliguria atau anuria
mempunyai prognosis yang lebih buruk bila dibandingkan dengan yang nonoliguria. Angka kematian paling tinggi bila terjadi gangguan beberapa organ
secara bersamaan atau multi organ dysfunction syndrome (MODS) (Waikar et al,
2006; Xue et al., 2006).
Melakukan pemeriksaan laju filtrasi glomeruli (LFG) pada penderita AKI
dengan kondisi kritis yang dirawat di ICU adalah suatu hal yang sukar dilakukan.
Pemeriksaan kreatinin serum tidak selalu sejalan dengan penurunan fungsi ginjal.
Hosted dan kawan-kawan yang melakukan penelitian pada 5383 pasien AKI
dengan kondisi kritis didapatkan hasil bahwa kadar kreatinin serum tidak selalu
sejalan dengan penurunan LFG. Kenaikan dan penurunan kadar kreatinin serum
dapat terjadi beberapa hari lebih lambat dari penurunan atau kenaikan LFG
sehingga menentukan kriteria AKI dari kreatinin darah saja tidak menggambarkan
kondisi klinik yang sebenarnya (Hoste et al., 2006).
4 Konferensi Vicenza pada tahun 2002 disepakati perubahan konsep dan
definisinya dari acute renal failure (ARF) menjadi acute kidney injury (AKI).
Perubahan ini bukan sekedar penggantian nama atau istilah, tetapi merupakan
perubahan konsep secara mendasar. Definisi gagal ginjal akut tidak menunjukkan
tahapan kelainan ginjal serta tidak mencerminkan berat atau ringannya kondisi
klinis pasien. Kelompok acute dialysis quality initiative (ADQI) mengajukan
istilah injury (gangguan) maka nomenklatur ini mencakup semua tahapan
gangguan ginjal dari yang paling ringan sampai gagal ginjal tahap akhir (Roesli,
2008).
Perubahan konsep definisi GGA menjadi AKI diharapkan dapat mengatasi
kelemahan konsep definisi GGA sebelumnya. Oleh karena itu, konsep definisi
yang baru harus disertai kriteria-kriteria diagnosis yang dapat mengklasifikasikan
GGA dalam berbagai kriteria beratnya penyakit. Kriteria yang dibuat disebut
sebagai kriteria RIFLE. Kriteria RIFLE pertama sekali dipresentasikan tahun 2003
dan saat ini sudah luas digunakan, baik sebagai kriteria yang digunakan untuk
penelitian maupun untuk menegakkan diagnosis serta menetapkan prognosis
penderita GGA (Himmelfarb dan Ikzler, 2007).
Pada dasarnya kriteria RIFLE terdiri dari dua komponen, yaitu tiga kriteria
yang menggambarkan beratnya penurunan fungsi ginjal berdasarkan kenaikan
kreatinin serum, penurunan LFG, dan penurunan produksi urin dalam satuan
waktu. Komponen ini terdiri dari R=risk, I=injury, F=failure. Ketiga kriteria ini
diharapkan dapat menegakkan diagnosis AKI secara dini (sensitivity factors). Dua
kriteria yang menggambarkan prognosis gangguan ginjal yaitu L=loss dan E=end
5 stage renal desease. Kedua kriteria ini diharapkan dapat menentukan secara
spesifik prognosis fungsi ginjal selanjutnya (specivity factor)(Bellomo et al.,
2004; Bell et al., 2005).
B. Perumusan Masalah
Masalah yang dapat diidentifikasi dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut: Kejadian AKI cukup tinggi ditemukan di unit rawat intensif. Terminologi
AKI tidak menggambarkan tahapan beratnya kerusakan ginjal sehingga pasien
sering terlambat dalam penegakan diagnosis dan berimplikasi terhadap tingginya
angka kematian pasien dengan gangguan ginjal akut. Penelitian sebelumnya
menjelaskan bahwa AKI merupakan prediktor kematian pada pasien yang dirawat
di ICU. Angka kematian pasien AKI di ICU bisa mencapai 70-80%. Berdasarkan
data ini penting sekali untuk mengenali manifestasi AKI secara dini. AKI
merupakan terminologi baru dari gagal ginjal akut. Terminologi ini dianggap
dapat menggambarkan tahapan kerusakan ginjal dari tahap awal sampai terjadinya
kegagalan fungsi ginjal. Penggunaan istilah AKI diharapkan dapat mengenali
gangguan fungsi ginjal sejak awal sebab tidak hanya menggunakan angka
kreatinin sebagai parameter pengukuran. Berdasarkan hal diatas peneliti akan
meneliti faktor-faktor risiko yang menyebabkan pasien jatuh ke dalam kondisi
gangguan ginjal pada pasien yang dirawat di ICU RSUP dr. Sardjito.
6 C. Pertanyaan Penelitian
Apakah Sepsis, Hipovolemia, Hipotensi, Operasi jantung, DM, Usia > 60
tahun, penggunaan obat nefrotoksik, Gagal jantung kongestif dan pre eklampsi
berat merupakan faktor risiko terjadinya acute kidney injury (AKI) pada pasien
yang dirawat di ICU RSUP dr.Sardjito?
D. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui bahwa Sepsis, Hipovolemia, Hipotensi, Operasi
jantung, DM, Usia > 60 tahun, penggunaan obat nefrotoksik, Gagal jantung
kongestif dan pre eklampsi berat merupakan faktor risiko terjadinya acute kidney
injury (AKI) pada pasien yang dirawat di ICU RSUP dr.Sardjito.
E. Manfaat Penelitian
1.
Manfaat pada pasien
Manfaat penelitian pada pasien adalah untuk membantu mencegah pasien jatuh
kedalam kondisi AKI khususnya pasien yang dirawat di ICU.
2.
Manfaat bagi peneliti
Manfaat penelitian ini terhadap peneliti adalah untuk memenuhi persyaratan
kelulusan penulis dalam menjalankan program spesialisasi anestesi dan terapi
intensif serta dapat menambah keilmuan dan pengalaman peneliti dalam penelitian
ilmiah kedokteran.
7 3.
Manfaat bagi institusi
Manfaat penelitian ini bagi institusi, dalam hal ini bagian anestesiologi dan
reanimasi adalah untuk mengetahui insidensi dan faktor risiko AKI untuk dapat
digunakan sebagai data awal mengenai kejadian AKI di ICU khususnya ICU
RSUP dr Sardjito serta berguna untuk perbaikan tatalaksana pasien di unit
intensif. Selain itu penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi awal untuk
kepentingan penelitian berikutnya dengan metodologi yang lebih baik sehingga
kemudian hasil penelitian yang didapatkan dapat digunakan sebagai prediktor
terjadinya AKI pada pasien di unit rawat intensif.
F. Keaslian Penelitian
Tabel 1 memuat data beberapa penelitian tentang terjadinya AKI pada unit
perawatan intensif, diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Park dan kawankawan (2010) meneliti faktor-faktor risiko terjadinya AKI dan luaran klinis pasien
AKI yang dirawat di ICU. Sepengetahuan peneliti belum ada yang melakukan
penelitian yang bertujuan untuk mencari faktor risiko terjadinya AKI di ICU
RSUP dr Sardjito, Yogyakarta.
8 Tabel 1. Beberapa penelitian faktor risiko terjadinya AKI di ICU
Peneliti
(tahun)
Park, et
al (2010)
∑
Sampel
1280
pasien
Lehman,
et al
(2010)
16.728
pasien
Licker,
1345
et
al pasien
(2011)
Populasi
Penelitian
Pasien di ICU
RS Keimyung
University
Dongsan,
Korea
Pasien AKI di
ICU
berdasarkan
kriteria AKIN
(Acute
Kidney Injury
Network)
Pasien ICU
post operasi
reseksi kanker
paru
Desain
Penelitian
Kohort
retrospektif
Hasil
Penelitian
Kejadian AKI di ICU selama
6 bulan penelitian sebanyak
41,3%
dengan
angka
kematian sebanyak 25,7%.
Case Control
Beratnya
hipotensi
berhubungan dengan risiko
terjadinya AKI. Peningkatan
risiko terjadinya AKI seiring
dengan penurunan MAP.
Kohort
observasional
prospektif
Kejadian AKI pada post
operasi reseksi kanker paru
sebesar
6,8%.
Terdapat
empat
faktor
risiko
independen terjadinya AKI
pada kondisi ini, yaitu
American
Society
of
Anesthesiologists
(ASA)
classes 3 dan 4 dengan odds
ratio
2.60,
FEV
1,
penggunaan vasopressor, dan
durasi anestesi.
9 
Download