BAB IV KAJIAN KRISTOLOGI ALKITABIAH TERHADAP PANDANGAN KRISTOLOGI DALAM PLURALISME AGAMA 4.1. Pendahuluan Kaum pluralis pada dasarnya tidak mengakui Kristus yang terdapat dalam Alkitab. Anggapan mereka bahwa Yesus yang ditulis dalam Alkitab merupakan refleksi iman dari murid-murid Yesus (mitos), dan tidak memuat catatan historis tentang perkataan Yesus. Secara umum kaum pluralisme mengatakan bahwa para penulis injil menganut Yesus kepercayaan, seperti komentar Amaladoss bahwa Yesus yang dikisahkan dalam Injil-injil bukanlah Yesus yang sesungguhnya ada secara historis, melainkan Yesus yang ditangkap oleh iman para penulis Injil yang sarat dengan mitos-mitos.1 Dengan demikian mereka mencela orang Kristen yang terlalu menekankan finalitas Yesus atau kemutlakan ketuhanan Yesus. Karena hal itu adalah bertolak belakang dari teologi penulis injil yang sarat dengan mitos. Mereka ingin membersihkan orang Kristen dari mitos-mitos dengan cara menafsirkan ulang Injil tersebut menurut keberadaan diri manusia tersebut (eksistensialisme), yaitu manusia modern yang anti mitos. Mereka juga mengakui bahwa inkarnasi merupakan suatu mitos Yunani, pengakuan mengenai Ke-Allahan Yesus adalah mitos. Sugirtharajah berusaha 1 Michael Amaladoss, “Pluralisme Agama-Agama dan Makna Kristus” dalam, Wajah Yesus di Asia, (Jakarta: Bpk Gunung Mulia, 1996) hlm. 140. menggali ulang Yesus dan menegaskan bahwa memahami Yesus sejarah berarti Memahami Yesus yang sesungguhnya.2 Berkaitan dengan pandangan pluralisme tersebut, maka dalam bab ini akan dibahas beberapa hal mengenai kajian Kristologi Alkitabiah terhadap Kristologi dalam pluralisme, yakni mengenai Metodologi Kristologi; Hubungan di antara penelaahan tentang pribadi Kristus dengan penelaahan tentang karya Kristus (ontologis dan fungsional); Hubungan di antara iman dan sejarah; makna sesungguhnya dari penjelmaan; dan relasi peristiwa Yesus dengan penulisan, serta finaliltas Yesus sebagai Tuhan. Dengan kata lain: Dapatkah pemahaman yang tepat tentang Kristus diperoleh berdasarkan data-data sejarah semata ataukah masih diperlukan juga iman? Haruskah kita lebih dahulu menetapkan sifat Kristus sebelum mempelajari karya-Nya atau sebaliknya? Adakah gagasan tentang penjelmaan Allah itu sekedar suatu pengertian mitodologis sehingga tidak dapat dipertahankan? 4.2. Persoalan Metode Kristologi Dari Bawah dan Kristologi Dari Atas Dalam pembasan ini, penulis memisahkan antara Kristologi dari bawah dengan kristologi fungsional. Sebagaimana yang penulis bahas dalam bab dua, bahwa kaum pluralisme membangun kristologi mereka dengan menggunakan dua metode, yakni metode kristologi dari bawah dan kristologi fungsional. Adapun pemisahan yang penulis lakukan adalah semata-mata bertujuan supaya pembahasan yang penulis bahas lebih jelas. Hal ini disebabkan kristologi dari bawah berkaitan langsung dengan kristologi dari atas, sedangkan kristologi 2 415 R.S. Sugirtharajah, Wajah Yesus Di Asia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996) hlm.414- fungsional berkaitan langsung dengan kristologi ontologis yang akan dibahas dalam pembahasan berikutnya. Di dalam teologi, dikenal dua macam pendekatan Kristologi, yaitu: Kristologi dari bawah dan Kristologi dari atas. Yang dimaksud dengan Kristologi dari atas adalah melihat siapa Yesus Kristus Sebelum Dia datang ke dalam dunia. Pandangan ini mengatakan bahwa ke-Allahan Yesus Kristus terselubung ketika Dia di dalam dunia. Supaya manusia dapat mengenal Dia sebagai Allah yang sejati, maka harus melihat siapa Yesus sebelum Dia datang ke dalam dunia. Sebagai contoh adalah Yoh.1:1. Teolog yang menganut pendekatan ini adalah Rudolph Bultmann.3 Sedangkan Kristologi dari bawah, memiliki pendekatan yang justru kebalikan dari pandangan tersebut di atas. Pandangan ini justru memperhatikan secara sungguh-sungguh siapa Yesus ketika Dia berada di dalam dunia. Pendekatan ini lebih menekankan keberadaan Yesus sebagai manusia. Bagaimana hidup-Nya, kuasa-Nya, serta apa yang dikatakan-Nya. Semua itu menunjukkan siapa Dia sesungguhnya. Teolog yang menganut pandangan ini adalah W. Pannenberg.4 4.2.1. Evaluasi Kristologi dari atas memiliki kekuatan karena mengakui tujuan dan nilai sebenarnya dari penjelmaan adalah pengaruh kehidupan Yesus atas orang-orang yang percaya pada-Nya. Pendekatan ini mengakui sifat adikodrati yang sungguh-sungguh, sesuatu yang tidak ada dalam pendekatan Kristologi dari bawah. Dengan demikian terbuka peluang bagi Yesus yang ilahi dan mampu mengadakan mujizat. 3 4 C. Groenen OFM, Peristiwa Yesus, (Yogyakarta: Kanasius, 1979) hlm. 13-14 Ibid, hlm 14-15 Masalah mendasar yang dihadapi oleh Kristologi dari atas ialah masalah keteguhan keyakinan. Adakah Kristus dari iman itu benar-benar sama dengan Yesus yang menempuh jalan-jalan di Galilea dan Yudea? Apakah komitmen kepada Kristus yang diwartakan para rasul didasarkan pada sesuatu yang benar-benar nyata? benar-benar berlandaskan pada peristiwa yang benar terjadi, ataukah itu sekedar merupakan iman yang tak berdasar? Persoalan subyektifitas senantiasa mengganggu Kristologi jenis ini. Bagaimana dapat dipastikan bahwa Kristus yang dikenal dari kesaksian para rasul dan yang dijumpai dalam pengalaman orang Kristen, benar-benar merupakan Yesus sebagaimana Dia adanya dan bukan Yesus menurut perasaan saja? Persoalan kedua yang dihadapi pendekatan ini berkaitan dengan apa yang diimani. Sekalipun dapat dibenarkan bahwa orang percaya menerima sesuatu dengan iman, akan tetapi bagaimana dapat menentukan apa itu yang diterima? Tanpa adanya rujukan empiris, Kristus dari iman itu agak tidak nyata dan samar. Di lain pihak, Kristologi dari bawah, seperti yang dikumandangkan oleh kaum pluralis menuduh bahwa paling banter teologi Kristen mengatasi persoalan ini (khususnya ajaran tentang pribadi Yesus) didasarkan pada iman dan yang paling buruk teologi itu kosong sama sekali.5 Pendekatan ini telah berusaha untuk melenyapkan unsur-unsur subyektif yang berlebihan. Sekalipun mengakui perlunya ada keterlibatan subyektif itu, Kristologi dari bawah berusaha menghindar untuk menyaringkan lewat subyektivitas orangorang percaya yang lain, dalam hal ini para murid Yesus. Satu persoalan 5 Ibid yang lain, khususnya dalam bentuk yang diucapkan oleh Pannenberg. 54 Ia menyatakan bahwa Kristologi dari bawah terlalu mengandalkan obyektif untuk menegakkan anggapan-anggapan historisnya. Kepastian obyektif semacam itu dalam kenyataan sulit dicapai. Bila fakta-fakta Kristologi merupakan hal-hal yang berkaitan dengan sejarah obyektif melulu, maka seharusnya dimungkinkan untuk membuktikan ke-Tuhanan Yesus kepada setiap orang yang menyelidikinya dengan jujur dan obyektif. Dalam kenyataan hal itu tidak selalu terjadi. 4.2.2. Pendekatan yang Alternatif Kedua pendapat di atas memiliki kelebihan dan kekurangan tertentu. Akan tetapi apakah ada cara untuk memadukan Kristologi dari atas dengan Kristologi dari bawah? Dapatkah Kristus dari pewartaan rasuli dan Yesus dari sejarah, iman dan akal dipersatukan? Kristologi yang benar harus mempertahankan baik iman maupun akal. Ini adalah dua sarana yang saling melengkapi dan rukun yang dipakai untuk menyatakan diri-Nya. Keduanya adalah sumber pengenalan akan Dia. Karena Kristologi dari bawah didekati lewat akal, dan Kristologi dari atas didekati oleh iman, maka iman-akal yang harus menjadi landasan dalam berkristologi.55 Perlu diketahui bahwa kisah-kisah tentang Yesus Kristus, sebagaimana yang diberitakan dalam Alkitab, tidak bersifat sejarah belaka, dan juga tidak bersifat pewartaan semata-mata. Akan tetapi sifatnya yaitu ”sejarah yang kerygmatiskan”, artinya: unsur sejarah dan unsur kerygma 54 Lihat bab III Bandingkan Nico Syukur Diester OMF, Kristologi: sebuah sketsa (Yogyakarta: Kanasius, 1993) hlm. 22 55 terjalin satu sama lain secara tak teruraikan.56 Jadi, Isi pewartaaan rasuli ini menjadi suatu hipotesis untuk menafsirkan dan menggabungkan data yang disajikan pada saat diadakan penelitian terhadap diri Yesus yang historis. Dengan demikian, model alternatif bukanlah Kristologi dari atas atau Kristologi dari bawah. Sebaliknya, model ini memerlukan bukan iman saja dan juga bukan akal historis saja, melainkan keduanya bersama-sama dalam suatu perpaduan yang saling mendukung. Metode Kristologi yang tepat harus mempertahankan ketegangan antara Kristologi dari atas dan Kristologi dari bawah. Dengan demikian, pemahaman yang meningkat tentang Yesus dari sejarah akan menguatkan keyakinan bahwa penafsiran para rasul tentang Kristus dari iman itu memang benar. 4.3. Studi Pribadi Yesus dan Karya Yesus (ontologis dan fungsional) Pada bagian ini, akan dibahas hubungan di antara penelaahan tentang pribadi Yesus dan karya Yesus (ontologis dan fungsional). Apakah keduanya dapat dipisahkan, dan bila memang dapat, apakah urutan yang logis yang dipakai dalam Kristologi? Apakah pengertian tentang pribadi Kristus dan sifat-Nya harus diungkapkan dan diterapkan dahulu agar membantu untuk memahami karya-Nya? Ataukah harus mengawali dari karya Kristus dan baru kemudian menarik kesimpulan tentang pribadi macam apakah Dia itu? Pertanyaan ini pada dasarnya mempertanyakan kecenderungan untuk memisahkan antara Kristologi yang ontologis dan Kristologi fungsional. Kristologi yang ontologis ialah Kristologi yang menekankan pada pemahaman tentang siapakah Yesus, sedangkan 56 Ibid, hlm. 26 Kristologi fungsional adalah Kristologi yang menekankan pada apa yang dikerjakan Yesus bagi manusia.57 Kaum pluralis sangat menekankan kristologi fungsional. Menurut mereka, kristologi merupakan sebuah doktrin yang berfokus pada ”peristiwa” dan bukan tentang sifat-sifat. Pada permulaan sejarah gereja, kedua pokok ini, yakni pribadi dan karya Kristus, dibahas dalam kaitan yang cukup erat. Teologi skolastik memisahkan doktrin mengenai pribadi Kristus (ke-Tuhanan-Nya, kemanusiaan-Nya, serta perpaduan keduanya) dari jabatan dan karya Kristus. Akibatnya, Kristologi tidak lagi relevan bagi kebanyakan orang percaya. Perbedaan mengenai ke-Tuhanan Yesus, jangkauan pengetahuan-Nya, dan keadaan-Nya yang tidak berdosa, maupun persoalan mengenai apakah Yesus memiliki satu atau dua kehendak, semuanya merupakan persoalan yang sangat abstrak. Reaksi terhadap skolastik, menyebabkan Philipp Melanchton dan Luther membangun Kristologi fungsional yang menekankan pada karya Kristus yang menyelamatkan.58 Persoalan relasi ontologis dan fungsional terus berlanjut hingga kini. Sehubungan dengan hal itu, maka yang paling berantusias dengan kristologi fungsional ialah kaum pluralis, yang menekankan karya Yesus bagi manusia, bukan dalam arti penebusan tetapi dalam arti pembaharuan sosial. Salah satu tokoh Pluralis yang menganut pandangan Kristologi fungsional, ialah Choan-Seng Song.59 Perlu dicatat ada dua alasan utama mengapa pokok pembahasan tentang kepribadian Kristus ini didahului oleh penelitian karya Kristus. Salah satu alasan 57 Bruce Milne, Mengenali Kebenaran (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002) hlm. 206 Teologi Kristen Vol.2, hlm. 308 59 Stevri I Lumintang, Theologia Abu-abu: Pluralisme Agama, (Malang: Gandum Mas) hlm. 142-143 58 ialah keinginan untuk mengaitkan kristologi dengan soteriologi. Memang mungkin untuk membahas kristologi terlepas dari soteriologi. Akan tetapi tidak mungkin untuk membahas apa yang dilakukan Kristus dalam kehidupan kita tanpa mengaitkan karya tersebut dengan watak atau sifat Kristus. Alasan yang kedua ialah keinginan untuk menunjukkan pertalian Kristologi. Sangat sulit bagi kebanyakan orang untuk menaruh perhatian pada pembahasan berbagai masalah yang berkaitan dengan watak Kristus, kecuali mereka melihat pengaruhnya dalam hidup mereka. Bagaimana pun juga pendekatan ini menimbulkan berbagai kesulitan. Kesulitan pertama adalah bahwa pada saat seseorang menekankan apa yang diperbuat Kristus bagi umat manusia, maka persepsi diri manusia akan kebutuhannya sendirilah yang cenderung mendiktekan atau menentukan agenda untuk membangun pengertian tentang pribadi atau watak Kristus. Dengan demikian muncul persoalan bagi mereka yang pertama memusatkan perhatian pada karya Kristus dan kemudian baru membahas pribadi-Nya. Atau mereka mempelajari karya-Nya dulu baru kemudian menerapkan hasil penelitian mereka kepada situasi kehidupan manusia, atau juga mereka mempelajari situasi kehidupan manusia dahulu dan baru kembali kepada materi Alkitab tentang karya Kristus. Dalam cara yang pertama masih ada kemungkinan tidak mengena pada situasi kehidupan manusia. Dalam cara yang kedua, bahayanya ialah bahwa pengertian tentang karya Kristus akan disesuaikan dengan persepsi manusia tentang kebutuhannya. Dengan demikian jelas bahwa melandaskan Kristologi pada “kebutuhan yang dirasakan” akan kurang memadai. Pada hakikatnya, seorang teolog bahkan orang Kristen pada umumnya, tidak patut memisahkan pribadi dan karya Kristus (ontologis dan fungsional) dalam berkristologi. Tidaklah mungkin membicarakan apa yang Kristus kerjakan dalam kehidupan manusia, tanpa menghubungkan karya Kristus dengan pribadi Kristus sebagai presuposisinya, dan sebaliknya. Di sisi lain, berkenan dengan pribadi Kristus masih banyak orang tidak begitu tertarik untuk membahasnya karena bagi mereka, pembahasan mengenai isu yang berkenan dengan pribadi Kristus adalah tidak relevan, menurut mereka bahwa hal itu adalah tidak ada manfaatnya bagi manusia. Hal ini tentu adalah suatu kekeliruan yang fatal. 4.4. Relasi Yesus Kepercayaan dan Yesus Sejarah Istilah Yesus sejarah dimunculkan untuk membedakannya dengan istilah lain, yaitu "Kristus yang diimani" atau Yesus kepercayaan. Istilah pertama dimengerti sebagai Yesus yang sesungguhnya, atau "the real Jesus", sedangkan istilah kedua, mengacu kepada pribadi Yesus yang telah dipoles oleh para rasul. Maksudnya, rasul- rasul dan penulis-penulis Alkitab tidak lagi menulis Yesus yang sesungguhnya, apa adanya, tetapi menuliskan Yesus dari kaca mata mereka. Menurut kaum pluralis, apa yang ditemukan di dalam Alkitab, baik itu ucapan, karya serta istilah-istilah yang diberikan kepada Yesus yang mengacu kepada keTuhanan-Nya, sebenarnya hanya merupakan ciptaan atau kreasi para rasul, bukan menggambarkan Yesus yang sesungguhnya. Menurut mereka bahwa mustahil untuk dapat mengetahui ucapan-ucapan Yesus dan merekonstruksi kehidupan-Nya selama Dia hidup di Galilea dan Yerusalem pada tahun 30-33 Masehi.60 Kaum Pluralis mengetengahkan bahwa Alkitab bukanlah firman Allah, tulisan-tulisan 60 Bandingkan. Erickson, Teologi Kristen Vol. 2, hlm. 311 Injil bukanlah laporan tentang Yesus sebenarnya, melainkan Yesus yang imani, mitos dari para penulis Injil. Dalam semangat seperti inilah muncul usaha-usaha dari para ahli untuk menemukan kembali Yesus sejarah. Selama berabad-abad, Alkitab, khususnya Perjanjian Baru, menjadi sumber penting untuk mempelajari Kristologi (ilmu yang mempelajari tentang siapa Yesus Kristus). Bahkan pada abad ke-16 tokoh-tokoh reformasi seperti M. Luther menyerukan otoritas Alkitab sebagai satu- satunya otoritas tertinggi bagi iman, keselamatan dan menjadi dasar dari seluruh doktrin Kristen. Itulah yang dikenal dengan istilah Sola Scriptura. Istilah lain yang penting berkenaan dengan otoritas Alkitab adalah kanon Alkitab. Ini berarti bahwa Alkitab adalah pengukur, di mana segala etika dan doktrin diukur dari pengajaran Alkitab. Bagaimana pun juga kebenaran yang dikemukakan oleh para penulis Alkitab adalah kebenaran yang paling utama yang dapat diterima daripada kebenaran yang dikemukakan oleh kaum pluralis. Sebab adalah sesuatu yang konyol bila lebih mempercayai kesaksian orang yang hidupnya sangat berbeda jauh dengan zaman dimana Yesus hidup daripada orang yang hidup sekontemporer dengan Yesus dan menjadi saksi hidup itu sendiri. Oleh karena itu yang merupakan mitos itu sendiri adalah “Yesus historisnya” kaum pluralis dari pada Yesus yang ditulis oleh para penulis Injil. Kaum pluralis mengemukakan bahwa sangat sulit untuk mempercayai kebenaran berita tentang kehidupan Yesus yang peristiwanya dengan waktu penulisan ada jarak sekitar 15-20 tahun, akan tetapi akan lebih sulit lagi untuk mempercayai peristiwa atau kebenaran tentang Yesus dimana penelitiannya dilakukan setelah ribuan tahun (itu pun bukan secara faktual), seperti yang dilakukan kaum pluralis.61 Berkaitan dengan hal itu, maka perlu ditekankan sekali lagi, bahwa kisahkisah yang ditulis oleh para rasul bukanlah semata-mata bersifat kerygma (pewartaan) tetapi juga bersifat sejarah.62 Dalam 2 Petrus 1:16 mencatat, “sebab kami tidak mengikuti dongeng-dongeng isapan jempol manusia, ketika kami memberitahukan kepadamu kuasa dan kedatangan Tuhan kita, Yesus Kristus sebagai raja tetapi kami adalah saksi mata dari kebesaranNya.” Penulis Alkitab pastilah mengetahui perbedaan di antara mitos, legenda, dan kenyataan. I Yohanes 1:1-3 mengungkapkan, “Apa yang telah ada sejak semula, yang telah kami dengar, yang telah kami lihat dengan mata kami, yang telah kami saksikan dan yang telah kami raba dengan tangan kami tentang Firman hidup itulah yang kami tuliskan kepadamu. Hidup itu telah dinyatakan, dan kami telah melihatnya dan sekarang kami bersaksi dan memberitakan kepada kamu tentang hidup yang kekal, yang ada bersama-sama dengan Bapa dan yang telah dinyatakan kepada kami. Apa yang telah kami lihat dan yang telah kami dengar itu, kami beritakan kepada kamu juga, supaya kamupun beroleh persekutuan dengan kami. Dan persekutuan dengan kami adalah persekutuan dengan Bapa dan dengan anak-Nya, Yesus Kristus.” Bahkan dalam Lukas 1:1-3, menyatakan bahwa, “Teofilus yang mulia, banyak orang telah berusaha menyusun suatu berita tentang peristiwaperistiwa yang telah terjadi di antara kita, seperti yang disampaikan kepada kita oleh mereka, yang dari semula adalah saksi mata dan pelayan Firman. Karena itu, 61 Lihat bab III Untuk penjelasan lebih lanjut lihat. Nico Syukur Diester, Kristologi sebuah sketsa, (Yogyakarta: Kanasius, 2993) hlm 26 62 setelah aku menyelidiki segala peristiwa itu dengan seksama dari asal mulanya, aku mengambil keputusan untuk membukukannya dengan teratur bagimu” 63 Sisi lain jika dilihat ke dalam teks Alkitab, maka akan terlihat bahwa ada bagian dari teks-teks itu sendiri yang menandakan keempat Injil tersebut sebagai sejarah yang masuk akal, bukan legenda ataupun propaganda yang dibuat-buat. Perhatikan bahwa para murid memasukkan kata-kata keras dari Yesus, yang sebenarnya malah menyurutkan minat orang-orang yang mendengarnya. (Mat 21:28, Luk 9:23, Yoh 8:39). Satu hal yang nyata dari keempat Injil tersebut adalah bahwa kekayaan tak ternilai yang mereka miliki tentang kabar baik tidak terungkap dipermukaan, namun tersembunyi dibalik tantangan (Mrk 8:34, Yoh 12:25) dan ancaman (Mat 25:31). Kesemuanya itu malahan akan mengakibatkan hal yang tak diharapkan untuk suatu propaganda. Penulisannya di dalam Injil memperlihatkan kesungguhan para evangelis untuk berkata sejujurnya, walau memalukan atau tak menyenangkan sekalipun. Fakta kebenaran Injil adalah nyata, karena penulis PB menulis berdasarkan apa yang dilihatnya sendiri atau mencatat kesaksian yang akurat dari orang-orang yang melihatnya sendiri dan di bawah inspirasi Roh Kudus. Salah satu pembelaan penting lainnya yang dapat digaungkan kembali adalah pernyataan yang dikemukakan oleh Irenaus dalam perdebatannya melawan gnostik yang mempertanyakan tentang keabsahan PB. Ireneus menegaskan bahwa gereja mula-mula secara penuh mendasarkan ajaran mereka terhadap PB, dimana ajaran itu diwariskan kepada gereja rasuli secara turun temurun dan tanpa terputus 63 Bandingkan dengan penjelasan, Josh McDowell, Apolegetika Vol 1: Bukti Yang Meneguhkan Kebenaran Alkitab, (terjemahan). (Malang: Gandum Mas, 2002) hlm.115 diturunkan kepada umum. Satu ajaran yang sepenuhnya berdasar kepada tulisantulisan Alkitab. Ireneus mengatakan: Gereja, walaupun tersebar ke mana-mana hingga ujung dunia, telah menerima dari para rasul serta murid-murid-Nya kepercayaan ini, yaitu percaya kepada satu Allah, Bapa yang Mahakuasa, Khalik langit dan bumi dan lautan dan segala yang di dalamnya; atau kepada satu Kristus Yesus, Anak Allah, yang telah menjadi manusia untuk keselamatan kita; dan kepada Roh Kudus, yang melalui para nabi telah menyatakan pekerjaan penyelamatan Allah bagi umat manusia, serta pada kedatangan, kelahiran dari anak dara, penderitaan, kebangkitan dari antara orang mati dan kenaikan secara badani dari Tuhan kita Yesus Kristus yang terkasih dan kedatangan-Nya yang kedua kali dari sorga dengan kemuliaan Sang Bapa untuk memenuhi segala sesuatu dan untuk membangkitkan semua daging manusia supaya...Ia menghakimi semua orang dengan adil (Melawan Ajaran-ajaran Sesat 1:10:1).64 Kebenaran yang disampaikan Ireneus65 sebagai penerus generasi rasuli adalah kebenaran yang tertulis dalam Alkitab sekarang ini dan terus berlanjut sampai generasi yang sekarang. Oleh sebab itu, adalah suatu keanehan bila para Kritikus Alkitab tidak mempercayai kesejarahan Yesus dari Alkitab, yang menjadi masalah bukan terletak kepada Alkitabnya tetapi lebih kepada pemikiran para tokoh kritik itu sendiri. Jika Yesus adalah sebuah mitos dan Alkitab adalah sebuah tulisan yang penuh dengan salah, orang seperti apakah yang rela mati untuk mempertahankannya bahkan mengalami penganiayaan selama berabad-abad. 66 Sehubungan dengan hal tersebut, maka dapat dilihat juga pengakuanpengakuan dari para arkeolog yang mensahihkan kisah-kisah tentang Yesus yang ditulis oleh para rasul antara lain: Nelson Glueck, arkeolog Yahudi yang tersohor menulis “dapat dipastikan secara mutlak bahwa tidak pernah ada penemuan arkeolog yang bertentangan dengan pernyataan di dalam Alkitab”. Dia 64 Tony Lane, Runtut Pijar: Sejarah Pemikiran Kristiani, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996) hlm. 11 65 Ireneus merupakan uskup Lyons tahun 180 M, adalah murid Polikarpus, uskup Smirna yang telah menjadi orang Kristen selama 68 tahun dan merupakan murid Yohanes. Ibid 66 Para murid Yesus mati sebagai martir. Tradisi menunjukkan bahwa para murid disiksa dan dicambuk, dan akhirnya mereka menghadapi kematian oleh cara-cara yang paling kecam yang dikenal pada waktu. melanjutkan pernyataannya tentang "catatan sejarah Alkitab yang nyaris tidak dapat dipercaya ketepatannya, terutama bila dikuatkan oleh fakta arkeologi." 67 William F.Albright, yang terkenal karena reputasinya sebagai seorang arkeolog besar, menyatakan: “Tidak dapat diragukan bahwa arkeologi telah menegaskan kebenaran historis tradisi Perjanjian Lama”. Albright menambahkan: “Skeptisme berlebihan yang ditujukan pada Alkitab oleh lembaga-lembaga sejarah penting pada abad ke-18 dan 19, yang gaungnya masih terasa sampai sekarang, telah ditangkis habis-habisan. Penemuan demi penemuan telah menegaskan kebenaran yang tidak terhitung karena banyaknya data, dan memperkuat pengakuan terhadap nilai Alkitab sebagai sumber sejarah”.68 Profesor H.H Roley mengaku bahwa “Ilmuwan sekarang lebih menaruh hormat pada tulisan para bapa gereja dari pada para pendahulunya bukan karena mereka mengawali penelitiannya dengan praduga yang lebih konservatif dari pendahulunya, tetapi karena bukti-bukti yang membenarkannya”. 69 Miller Burrows dari Yale pun berpendapat bahwa: “Dalam banyak kasus arkeologi telah mematahkan pandangan para peneliti modern. Pada beberapa kesempatan arkeologi menunjukkan bahwa pandangan ini bertumpu pada dugaan yang keliru dan skema perkembangan historis yang tidak benar atau palsu. Ini adalah suatu sumbangan yang nyata dan tidak boleh dianggap enteng”. Burrows mengungkapkan tentang penyebab dari ketidak-percayaan yang berlebihan : “Skeptisme berlebihan dari kebanyakan ahli teologi liberal bukan disebabkan oleh penelitian yang seksama terhadap data-data yang ada, tetapi kecenderungan yang 67 Dikutip oleh: Josh McDowell, Apologetika Vol 1: Bukti Yang Meneguhkan Kebenaran Alkitab, (terjemahan). (Malang: Gandum Mas, 2002) hlm.115 68 Ibid, hlm. 116 69 Ibid besar untuk menolak hal adikodrati”. Arkeolog dari Universitas Yale itu menambahkan: “Bagaimanapun juga, secara keseluruhan, tidak dapat dipungkiri bahwa pekerjaan arkeolog telah memperkuat keyakinan pada kredibilitas catatan Kitab Suci. Lebih dari satu arkeolog yang mendapatkan bahwa pengalamannya dalam penggalian di Palestina telah menambah rasa hormatnya pada Alkitab”. 70 Secara keseluruhan bukti-bukti yang telah dihasilkan oleh arkeolog sampai sejauh ini, terutama dalam menghadirkan lebih banyak naskah yang lebih tua dari kitab-kitab Alkitab, telah memperkuat keyakinan pada ketepatan penyalinan teks itu selama berabad-abad”. 4.5. Tanggapan Terhadap Kristologi Kosmik Kristologi Kosmik memandang Yesus sebagai penyelamat yang hadir tanpa batas tempat dan waktu untuk menyelamatkan semua manusia sekalipun tanpa mengakui ke-Tuhanan-Nya. C.S Song, menyatakan bahwa pribadi kedua Allah Tritunggal berinkarnasi bukan hanya sekali melainkan berkali-kali di banyak tempat dan dalam banyak wujud. Kehadiran Yesus bagi mereka tidak dapat dibatasi oleh ruang dan waktu, juga tidak dapat dibatasi oleh semua batasan budaya dan agama. Ia juga telah menjangkau berbagai tempat dan konteks dalam sejarah umat manusia.71 Pada dasarnya kaum pluralis tidak mengakui adanya penyataan khusus, dan finalitas Yesus. Sebaliknya mengakui penyataan Allah dalam semua agama, budaya manusia. Hal ini berarti bahwa semua sejarah agama-agama, budayabudaya, bangsa-bangsa dengan sistem sosial, ekonomi dan politiknya adalah 70 71 Ibid, hlm. 116-118 Lihat bab III, “ Kristologi Kosmik” penyataan Allah. Harus diakui bahwa Allah ada dalam sejarah. Akan tetapi ada dua hal yang harus diperhatikan yaitu bahwa Allah di atas sejarah dalam arti mengontrol sejarah dan Allah melampaui sejarah.72 Dalam hal ini kaum pluralis, tidak menyadari bahwa penyataan Allah harus dimengerti dalam konteks keselamatan manusia berdosa. Bukan dalam penyelamatan secara sosial, ekonomi dan politik. Kalau secara dunia tidak memiliki kaitan langsung dengan keselamatan Allah, pertanyaannya ialah di mana dan bagaimanakah keselamatan Allah dinyatakan? Sedangkan inkarnasi dan kematian Yesus Kristus yang menebus, adalah dalam waktu dan tempat, berarti dalam sejarah. Kaum pluralis mencampuradukan semua sejarah dengan penyataan Allah. Perlu diketahui bahwa tidak ada satu pribadi tertentu yang kepadanya Allah menyatakan diri secara sempurna dan mewujudkan keselamatan-Nya, selain kepada dan melalui pribadi dan karya Kristus saja. Perlu diketahui bahwa jauh sebelum para teolog pluralis mengembangkan kristologi kosmik, teologi kosmik sudah ada sebelumnya oleh Joseph Sittler, dan diusulkan kepada DGD pada tahun 1961, dalam membangun hubungan dengan agama-agama lain.73 Dengan kata lain, kristologi kosmik kaum pluralis bertolak dari ususlan Joseph Sittler. Sittler membangun kristologi kosmiknya dengan menafsirkan Kolose 1:15-20, dengan memfokuskan penelitian terhadap pernyataan-pernyataan yang tampak secara eksplisit seperti ”segala sesuatu yang diciptakan oleh Dia dan untuk Dia”. Muncul enam kali dalam teks tersebut menerangkan mengenai pencapaian secara maksimum di mana penebusan Allah untuk seluruh alam semesta dalam jangkauan yang luas, dan Kristus digambarkan 72 Untuk penjelasan lebih lanjut, lihat. J. Millard Erickson, Teologi Kristen Vol. 1 (Malang: Gandum Mas, 2002) hlm 190 73 Lumintang, Theologia Abu-Abu: Pluralisme Agama, hlm 157-158 sebagai Kristus kosmik yang menyelamtakan semua ciptaan. Dengan demikian, Yesus tidak hanya dimengerti dalam pengertian Yesus historis dari Nazaret, melainkan juga Yesus yang menyatakan diri dalam semua ciptaan. 74 Berkaitan dengan kristologi kosmik oleh Sittler tersebut, maka perlu dilihat teks Kolose 1:15-20. Dalam teks tersebut, memang berbicara mengenai keunggulan Kristus atas segala ciptaan. Namun, itu tidak berarti bahwa segala sesuatu dengan sendirinya diselamatkan oleh Dia, juga tidak berarti bahwa Ia menjelmakan diri-Nya dalam segala sesuatu. Tidak ada indikasi dari teks tersebut yang menyatakan bahwa Yesus Kristus menyatakan diri-Nya dalam semua bentuk ciptan-Nya. Jadi kristologi kosmik tersebut keliru dalam interpretasi teks Kolose juga tidak memadai, karena bagaimana mungkin seseorang membangun pandangannya tentang Kristus, hanya bertolak dari satu teks saja? Bahkan teks tersebut ditafsirkan di luar konteks. Jadi, penegasan dan dukungan terhadap pandangan kaum pluralis ini pada dasarnya telah menyangkali dan mengabaikan iman keyakinan para tokoh PL dan PB, sekaligus juga para martir sepanjang sejarah gereja. Mereka telah gugur demi mempertahankan pengakuan “Yesus Kristus adalah Tuhan,” serta memproklamasikan bahwa Yesus dari Nazaret adalah satu-satunya Juruselamat bagi seluruh umat manusia (suatu klaim atas keuniversalan-Nya). Jika kekristenan memberi toleransi dan bahkan mengajarkan keyakinan yang demikian, maka eksistensinya di masa mendatang akan terancam dan berada dalam bahaya besar. 74 Ibid 4.6. Inkarnasi yang Dipandang Sebagai Mitologi Persoalan lain yang makin meningkatkan keprihatinan dalam melaksanakan suatu Kristologi ialah apakah gagasan-gagasan tentang inkarnasi Kristus itu merupakan sebuah mitos? Menurut kaum pluralis, gagasan bahwa Allah menjelma menjadi manusia serta memasuki sejarah manusia, yang merupakan doktrin inkarnasi dari segi sejarah tidak dapat diartikan secara harfiah. Menurut mereka, pendapat semacam itu, tidak perlu dan tidak mungkin hal itu dilakukan. Salah satu faktor yang mempengaruhi pemikiran kaum pluralisme adalah konsep “Demitologisasi Bultman”. Bultman menyimpulkan bahwa sebagian besar Perjanjian Baru bersifat mitos. Yang dimaksudkan dengan “mitos” oleh Bultman adalah usaha manusia untuk mengungkapkan hal-hal segi dunia lain dengan memakai simbol-simbol dari hal-hal dunia ini. Pengertian-pengertian tersebut dengan demikian janganlah dianggap sebagai ungkapan harafiah tentang realitas. Ungkapan-ungkapan tersebut jangan dipandang sebagai sesuatu yang dinyatakan Allah secara khusus, demikian pula penyajiannya dalam tulisan para rasul serta para nabi tidak boleh dianggap sebagai tulisan yang diilhamkan oleh Allah. Semua pernyataan itu merupakan sekedar ungkapan tentang realitas yang dipengaruhi oleh kebudayaan tertentu. Bultman menyatakan bahwa bukan pernyataan dalam Alkitab yang harus dihapuskan, melainkan bahwa pernyataan tersebut harus ditafsir kembali. Mitos dipakai oleh para penulis Alkitab untuk mengungkapkan apa yang mereka alami secara eksistensial. 75 75 hlm. 34-44 Rudolf Bultmann, New Testament and Mythology, (New York: Harper and Row 1961) Secara umum, pandangan pluralisme tentang penjelmaan sebagai mitologis antara lain sebagai berikut: Pertama, gagasan bahwa Allah secara harfiah menjelma menjadi manusia merupakan suatu pengertian yang tidak dapat diterima dan bertentangan dengan kenyataan. Kedua, kristologi dari PB mengungkapkan iman para murid dan bukan ajaran Yesus. Para murid berusaha untuk mengungkapkan kesan mendalam ketika berhadapan dengan Yesus. Kesan yang mendalam tersebut diungkapkan dalam memakai gelar-gelar dan gambarangambaran yang umum pada waktu itu, misalnya, gagasan bahwa Allah datang ke dunia. Menurut mereka, gelar-gelar serta gagasan tersebut tidak dipakai oleh Yesus sendiri. Ajaran yang diberitakan Yesus adalah tentang Kerajaan Allah dan bukan mengenai diri-Nya sendiri. Sedangkan amanat yang disampaikan oleh Yesus maupun iman yang asli dan paling awal dari para rasul tidak ada yang bersifat ontologis. Ketiga, Bagi kaum pluralis, gagasan tentang Yesus sebagai yang berinkarnasi bukanlah merupakan pengertian yang unik sebagaimana yang biasa diperkirakan. Misalnya, Budha Gautama juga menggambarkan kedatangan Allah kepada manusia, yang menyatakan bahwa Allah ingin melibatkan diri dengan cipataan-Nya, serta kesatuan yang hakiki di antara Allah dengan manusia. Dengan demikian Yesus bukanlah satu-satunya jalan, dan bahwa hanya orang yang percaya ajaran gereja tentang Yesus akan diselamatkan, paling banter adalah pandangan yang picik dan seburuk-buruknya adalah pandangan yang menyeramkan. Gagasan inkarnasi juga terdapat dalam agama-agama lain, dan Allah juga hadir dalam agama-agama lain, namun di situ kehadirannya bukanlah disebut Yesus. “Yesus” merupakan istilah khas Kristen bagi kehadiran Allah. Menanggapi gagasan di atas tersebut, maka setidaknya ada beberapa gagasan yang perlu dikemukakan: Gagasan inkarnasi Allah tidaklah bersifat bertentangan. Anggapan tersebut di atas hanyalah anggapan yang terlalu bersifat antromorphomis. Sudah pasti dalam kepercayaan ada yang bersifat paradoks, yaitu suatu pengertian yang memang sulit dipahami secara intelektual. Fungsi dari suatu paradoks sebagaimana yang dibuktikan oleh Ian Ramsey ialah untuk memaksa akal melampaui hal yang kodrati kepada hal yang bersifat adikodrati.76 Terdapat bukti historis bahwa Kristologi PB menunjuk kepada Yesus sendiri, dan bukan sekedar iman para rasul saja. Teori yang menyatakan bahwa para murid meminjam mitos dari agama lain tentang gagasan seorang dewa yang menjelma adalah sesuatu yang patut diragukan. Dan anggapan tentang jemaat mula-mula yang dipengaruhi oleh budaya helenistik, tidak memiliki bukti sama sekali. Saran bahwa ajaran inkarnasi Allah di dalam Yesus yang juga terdapat dalam agama lain seperti yang dikatakan kaum pluralis tidak dapat dibuktikan, karena keberadaannya sungguh-sungguh sangat berbeda. Tidak dapat dibayangkan bagaimana Allah yang tunggal dapat berinkarnasi menjadi lebih dari satu tokoh. Hanya dalam Yesus saja hadirlah kepenuhan Allah. Apabila seseorang telah menyingkapkan dirinya secara penuh dalam peristiwa tertentu dan konkret, maka ia tidak dapat menyingkapkan dirinya sekali lagi dengan arti yang sama dalam sebuah peristiwa lain pula yang berbeda dengan peristiwa yang pertama. Mengapa tidak? karena dengan demikian ia tidak menyingkapkan dirinya secara 76 107 Bandingkan Ian Rmasey, Paradox in Religion, (Grand Rapids: Eedermans, 1974) hlm. penuh dan lengkap dalam peristiwa yang pertama tadi, tetapi hanya secara ‟partial‟ saja (hanya untuk sebagaian saja). Dalam peristiwa Yesus, Allah telah menyatakan diri-Nya secara penuh (inkarnasi). Oleh karena itu wahyu Allah dalam Kristus tak dapat tidak harus bersifat unik dan tunggal, tiada duanya. Sifat unik dan tunggal ini hanya dapat terjadi satu kali untuk selamanya. 77 Apabila diperhatikan istilah „Anak‟ dalam Alkitab adalah khas dalam mengartikan bahwa Yesus berbeda dengan segenap manusia lainnya, hal ini dapat ditelusuri sekurang-kurangnya pada saat Ia berumur 12 tahun (Lukas 2:49), dan yang disahihkan kepada-Nya dalam dan suara Bapa-Nya dari Sorga sewaktu Ia dibaptis, “Engkaulah Anak yang Ku-kasihi” (Mrk. 1:11, bandingkan dengan Mat. 3:17, Luk. 3:22). Kata "αγαπητορ – “agapêtos" yang terdapat dalam ketiga berita mengenai ucapan sorgawi itu, mengandung makna ”satu-satunya yang dikasihi” (bentuk tunggal); begitu pula dalam perumpamaan dalam Markus 12:6.78 Penjelmaan Allah di dalam Yesus sama sekali tidak dapat dibandingkan dengan pandangan serupa dalam agama lainnya. Hal lain yang perlu dilihat dalam mitos dan legenda yang terkait dengan kepercayaan masyarakat adalah dewa/dewi yang turun ke bumi berubah wujud menyamarkan dirinya menjadi manusia. Pertanyaannya sekarang adalah apakah inkarnasi Kristus sama seperti tindakan para dewa/dewi? Inkarnasi berasal dari kata Latin, incanatio (“in”: masuk ke dalam; “caro/carnis”: daging). Secara sederhana kata ini bisa diartikan: “masuknya Allah ke dalam daging manusia dalam diri Yesus Kristus. Inilah yang tertulis dalam Yohanes 1: 1, 14 “Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu 77 Lihat. Nico Syukur Diester, Kristologi: sebuah sketsa, (Yogyakarta: Kanasius, 1993) 78 Lihat. bab II, Inkarnasi Kristus hlm, 267 adalah Allah… Firman itu telah menjadi manusia, dan diam diantara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran.” Hal inilah yang menunjukkan perbedaan antara tindakan dewa/dewi yang menyamar menjadi manusia dengan inkarnasi Allah. Allah tidak menyamar dengan mengenakan tubuh manusia. Allah tidak kelihatannya seperti manusia. Akan tetapi Allah sungguh-sungguh menjadi manusia. Allah menjadi manusia yaitu melalui Yesus yang dalam proses kelahiran berasal dari kandungan seorang anak dara bernama Maria; sebuah proses bagi kehadiran manusia. Selain itu Yesus hidup dan bertumbuh seperti layaknya manusia. Beberapa catatan Alkitab mengemukakan bagaimana Yesus bertumbuh besar secara fisik dan rohaninya (Luk. 2: 53). Dia makan bersama murid-murid-Nya. Dia menangis (Yoh. 11:35). Dia mengalami ketakutan (Luk. 22: 44). Harus diakui bahwa inkarnasi Kristus ini tidak seluruhnya dapat dipahami. Hal ini disebabkan manusia adalah makhluk ciptaan yang sangat terbatas. Allah adalah pencipta yang maha tidak terbatas. Jadi jelas tidak mungkin bagi manusia memahami Allah sejelas-jelas dan selengkap-lengkapnya. Manusia yang berusaha merasionalkan Allah (dalam arti berusaha memahami Allah dengan mengandalkan rasio) akan kecewa. Salah satu yang menjadi misteri ilahi adalah catatan yang ditulis dalam beberapa kitab Injil; yakni Matius 1: 20 “…sebab Anak yang di dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus”; Lukas 1: 35 “…Roh Kudus akan turun atasmu…”. Dua catatan ini yang kemudian dalam rumusan Pengakuan Iman yang dinyatakan sbb.: “…dikandung daripada Roh Kudus, lahir dari anak dara Maria…” Dalam kedua kitab Injil di atas disaksikan bahwa Yesus bukan hanya manusia saja; tetapi Dia juga adalah Allah karena proses kelahiranNya tidak terlepas dari Allah. Di sinilah dapat dipahami bahwa Yesus adalah sungguh-sungguh Allah dan sungguh-sungguh manusia; Allah 100% dan manusia 100%. Bukan setengah Allah dan setengah manusia. Akan tetapi jangan pernah berpikir bahwa proses kehadiran-Nya sebagai manusia melalui proses persetubuhan antara Roh Kudus dengan Maria, seperti layaknya kehadiran anak dalam keluarga melalui proses persetubuhan pria dan wanita. Inilah yang menjadi misteri ilahi yang terus terang sulit untuk dijelaskan secara rasio. Namun hal ini tidak mengurangi kepercayaan terhadap inkarnasi Kristus. Harus diakui bahwa ketika berbicara tentang Allah, tidak seluruhnya dapat dijelaskan dan mengerti secara rasio; diperlukan sisi lain yang amat kuat yaitu secara iman. 4.7. Finalitas Kristus Melampaui Semua Kebenaran Manusia Tiap-tiap agama memiliki klaim keabsolutan dan kefinalitasan agamanya masing-masing, demikian juga dengan agama Kristen. Kefinalitasan agama Kristen adalah didasarkan pada finalitas Kristus. Dengan kata lain, finalitas Kristus menegaskan finalitas agama Kristen. Karena segala sesuatu tentang kekristenan ditentukan oleh pribadi dan pekerjaan Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Bahkan seluruh kehidupan dan sifat kekristenan sampai hal-hal yang sederhana juga ditentukan oleh Yesus Kristus. Kristuslah asal mula adanya kekristenan. Oleh karena itu, orang Kristen mengklaim bahwa Yesus Kristus sebagai Tuhan dan penyelamat satu-satunya, bersifat mutlak, unik, normatif eksklusif. Sehubungan dengan hal tersebut, ternyata dikalangan Kristen sendiri memicu persoalan mengenai finalitas Yesus, khususnya persoalan ini lahir dari para pemikir Kristen yang dipengaruhi oleh fakta adanya pluralisme agama dan tuntutan kerukunan hidup beragama. Kaum pluralis memfokuskan perhatian kepada Allah (teosentris) dan pernyataan-pernyataan yang bersifat teosentris daripada memfokuskan perhatian kepada Kristus. Dengan demikian, adanya penolakan tokoh-tokoh yang merumuskan ulang tentang Kristologi tradisional terhadap kebenaran Alkitab yang objektif, membuat mereka menolak klaim kebenaran yang dilakukan oleh Yesus sebagai yang final, unik, dan mutlak. Pada dasarnya finalitas Kristus ada pada diri-Nya sendiri dan tidak tergantung pada apa pun juga. Karena Dia Allah yang Omniprence (Mahahadir), Omnipotence (Mahakuasa), Omniscience (Mahatahu) dan Immutability, maksudnya Finalitas Kristus tidak tercipta di dalam proses waktu karena Ia adalah yang awal (Alfa) dan yang akhir (Omega). Alkitab mengajarkan bahwa kebenaran Allah itu bersifat objektif dan personal. Yesus mempersonifikasikan kebenaran karena semua yang dikatakan-Nya adalah benar dan hidup-Nya adalah kebenaran yang sempurna. Tidak ada seorang pun yang lebih benar daripada Yesus, dan pernyataan ini benar secara objektif karena berkorespondensi dengan realitas diriNya dan segala penyataan tentang-Nya. Yesus memberikan bukti dan identitasNya sebagai Allah yang berinkarnasi. Konsep inkarnasi ini juga terkait dengan kesadaran Yesus akan diri-Nya. Kesadaran diri Pribadi Kristus tentang diri-Nya adalah sebuah kesadaran akan ke-Allahan di dalam diri-Nya dan di dalam pribadi itu juga tumbuh kesadaran akan kemanusiaan-Nya. Kesadaran diri Kristus sebagai pribadi Allah sangat banyak disinggung dalam Injil Yohanes. Perikop yang paling terkenal dalam Yohanes adalah dalam Pasal 10:30-33, di situ dikatakan, “Aku dan Bapa adalah satu.” Dalam ayat ini muncul arti yang dalam dan menarik, dalam bahasa Yunani dari A.T Robertson, kata ‟satu‟ (Hen) bersifat netral, bukan maskulin (Heis).79 Jadi bukan satu orang (bdg. Heis dalam Gal. 3:28), tapi satu inti atau satu sifat dasar”. Kemudian dalam Yohanes 5:17, 18, tentang Yesus menyebut Allah Bapa-Nya sendiri. Lebih lanjut A.T Robertson menjelaskan bagian ini; “Yesus dengan jelas mengatakan, „Bapa-Ku‟ (Ho pater muu). Bukan „Bapa kita‟ yang menunjukkan suatu hubungan khas dengan Bapa. Dengan demikian Dia berhak untuk menyembuhkan pada hari Sabat. Yohanes 3:34; 5:36,38: 7:29; 11:42 yang membahas tentang gelar Yesus sebagai Anak Allah mendukung ajaran tentang keadaan Yesus yang sudah ada sebelum segala sesuatu, karena Ia tidak dapat diutus kecuali jika Ia sudah ada sebelum segala sesuatu ada. 80 Hubungan antara Bapa dan Anak terlihat sebagai kesinambungan hubungan yang sudah ada sebelum inkarnasi. Hal lain yang terlihat di dalam Injil Yohanes seperti 6:64, 8:19, 14:8-9, 10:15, 10:18, 15:15,12:49-50 sangat-sangat jelas menunjukkan keyakinan Yesus yang teguh bahwa pikiran dan kata-kata-Nya seluruhnya dikuasai oleh kesadaran-Nya akan Allah. Hal lain yang menarik masalah kesadaran pribadi Yesus sebagai Allah adalah Ego Eimi (Akulah). Katakata ini sangat jelas menunjukan pernyataan Yesus sendiri mengenai ke-TuhananNya.81 Kelahiran, kehidupan, penyaliban, kematian dan kebangkitan Tuhan Yesus adalah untuk menebus pelanggaran yang telah dilakukan oleh manusia ( II Kor.5:21). Yesus menanggung hukuman terberat di kayu salib untuk menanggung 79 Dikutip oleh: Josh McDowel, Apolegetika Vol 1: Bukti Yang Meneguhkan Kebenaran Alkitab, hlm. 154-155 80 Ibid 81 Ibid dosa seluruh manusia (Ibr.2:9; I Yoh.2:2). Ia mati dan bangkit demi membenarkan manusia (Roma 4:25). Manusia yang sudah tidak kudus dikuduskan oleh penebusan Yesus Kristus ( I Kor.1:30 ). Ini adalah kebenaran sejati, kebenaran pribadi Yesus yang objektif serta berkorespondensi dengan realitas, kebenaran yang melampaui semua kebenaran. Para tokoh teologi pluralisme agama selalu mempunyai presuposisi bahwa semua sejarah di dalam dunia ini adalah penyataan Allah dan kebenaran Allah, termasuk di dalamnya aspek keselamatan. Dengan pandangan yang seperti ini mereka menganggap Yesus hanya manusia biasa yang ada dalam sejarah dan tidak unik. Karena bagi mereka Yesus sama dengan tokoh-tokoh dari pendiri agama yang lain. Mereka lupa bahwa Yesus Kristus itu adalah Allah Pencipta. Kebenaran Kristus yang bersifat final adalah suatu realitas total, dalam dan menyeluruh yang tidak membutuhkan persetujuan manusia dan pembenaran akal manusia. Kebenaran Kristus merupakan kebenaran universal dan merupakan suatu keharusan, dan pernyataan Kristus sebagai ”satu-satunya jalan‟ merupakan suatu hal yang keberadaannya berasal dari Allah sendiri dan oleh kehendak Allah, tanpa mempertimbangkan pemikiran manusia. Manusia yang sadar akan hal ini sepenuhnya hanya bisa berkata seperti yang Paulus katakan bahwa, ”Karena kami tidak dapat berbuat apa-apa melawan kebenaran; yang dapat kami perbuat adalah untuk kebenaran.” (2 Korintus 13:8). Jadi finalitas Kristus didasarkan pada otoritas Alkitab. Selain itu, finalitas Yesus didukung juga oleh rumusan Lausanne tahun 1774 dan lima belas pengukuhan yang dirangkum dari konperensi bagi penginjil di Amsterdam, Belanda, tahun 1983.82 Oleh karena itu, konsep pendekatan kaum pluralis ini, yakni pendekatan teosentris adalah pendekatan yang bersifat kompromistis yang merusak sendi-sendi kekristenan. Pendekatan ini akan memaksa orang Kristen untuk menyembunyikan finalitas Yesus dan kemutlakan Alkitab, serta memaksa orang Kristen untuk mengaku ada keselamatan di luar Yesus. 4.8. Kesimpulan Kaum Pluralis pada dasarnya menolak Alkitab sebagai wahyu yang final, oleh sebab itu mereka gagal dalam memahami segala sesuatu di dalamnya. Puncak kegagalan mereka itu adalah penolakan terhadap finalitas Kristus dan keselamatan yang ada di dalam Kristus. Kaum Pluralis jelas-jelas tidak mengakui doktrin-doktrin utama di dalam Alkitab, penolakan itu terutama pada masalah kesejarahan Yesus. Mereka menolak Yesus yang ada dalam Alkitab, dan berusaha menggali ulang Yesus yang sesuai dengan pemikiran mereka dan mengembangkan berbagai penafsiran di dalamnya. Mereka mengembangkan suatu sistem penafsiran yang didasarkan oleh pandangan historis. Sistem penafsiran tersebut menghasilkan konsep Kristologi yang baru, yang penekanannya lebih difokuskan pada kristologi yang fungsional dan mengabaikan Kristologi yang ontologis. Akibatnya juga berpengaruh terhadap masalah lainnya, yakni penolakan pada finalitas Yesus berpengaruh terhadap konsep soteriologis yang benar, dimana mereka menekankan universalitas kasih Allah yang tidak akan menghukum satu orang manusiapun, bahwa ada keselamatan di dalam tiap-tiap agama. 82 Billy Graham, Beritakan injil Standar Alkitabiah Bagi Penginjil (terjemahan), (Yogyakarta: Yayasan Andi, 1992) hlm 134