Kristologi Dalam Paham Pluralisme Agama Suatu Kajian Kristologi

advertisement
BAB IV
KAJIAN KRISTOLOGI ALKITABIAH
TERHADAP PANDANGAN KRISTOLOGI
DALAM PLURALISME AGAMA
4.1. Pendahuluan
Kaum pluralis pada dasarnya tidak mengakui Kristus yang terdapat
dalam Alkitab. Anggapan mereka bahwa Yesus yang ditulis dalam Alkitab
merupakan refleksi iman dari murid-murid Yesus (mitos), dan tidak memuat
catatan historis tentang perkataan Yesus. Secara umum kaum pluralisme
mengatakan bahwa para penulis injil menganut Yesus kepercayaan, seperti
komentar Amaladoss bahwa Yesus yang dikisahkan dalam Injil-injil bukanlah
Yesus yang sesungguhnya ada secara historis, melainkan Yesus yang ditangkap
oleh iman para penulis Injil yang sarat dengan mitos-mitos.1 Dengan demikian
mereka mencela orang Kristen yang terlalu menekankan finalitas Yesus atau
kemutlakan ketuhanan Yesus. Karena hal itu adalah bertolak belakang dari teologi
penulis injil yang sarat dengan mitos. Mereka ingin membersihkan orang Kristen
dari mitos-mitos dengan cara menafsirkan ulang Injil tersebut menurut keberadaan
diri manusia tersebut (eksistensialisme), yaitu manusia modern yang anti mitos.
Mereka juga mengakui bahwa inkarnasi merupakan suatu mitos Yunani,
pengakuan mengenai Ke-Allahan Yesus adalah mitos. Sugirtharajah berusaha
1
Michael Amaladoss, “Pluralisme Agama-Agama dan Makna Kristus” dalam, Wajah
Yesus di Asia, (Jakarta: Bpk Gunung Mulia, 1996) hlm. 140.
menggali ulang Yesus dan menegaskan bahwa memahami Yesus sejarah berarti
Memahami Yesus yang sesungguhnya.2
Berkaitan dengan pandangan pluralisme tersebut, maka dalam bab ini akan
dibahas beberapa hal mengenai kajian Kristologi Alkitabiah terhadap Kristologi
dalam pluralisme, yakni mengenai Metodologi Kristologi; Hubungan di antara
penelaahan tentang pribadi Kristus dengan penelaahan tentang karya Kristus
(ontologis dan fungsional); Hubungan di antara iman dan sejarah; makna
sesungguhnya dari penjelmaan; dan relasi peristiwa Yesus dengan penulisan, serta
finaliltas Yesus sebagai Tuhan. Dengan kata lain: Dapatkah pemahaman yang
tepat tentang Kristus diperoleh berdasarkan data-data sejarah semata ataukah
masih diperlukan juga iman? Haruskah kita lebih dahulu menetapkan sifat Kristus
sebelum mempelajari karya-Nya atau sebaliknya? Adakah gagasan tentang
penjelmaan Allah itu sekedar suatu pengertian mitodologis sehingga tidak dapat
dipertahankan?
4.2. Persoalan Metode Kristologi Dari Bawah dan Kristologi Dari Atas
Dalam pembasan ini, penulis memisahkan antara Kristologi dari bawah
dengan kristologi fungsional. Sebagaimana yang penulis bahas dalam bab dua,
bahwa kaum pluralisme membangun kristologi mereka dengan menggunakan dua
metode, yakni metode kristologi dari bawah dan kristologi fungsional. Adapun
pemisahan yang penulis lakukan adalah semata-mata bertujuan supaya
pembahasan yang penulis bahas lebih jelas. Hal ini disebabkan kristologi dari
bawah berkaitan langsung dengan kristologi dari atas, sedangkan kristologi
2
415
R.S. Sugirtharajah, Wajah Yesus Di Asia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996) hlm.414-
fungsional berkaitan langsung dengan kristologi ontologis yang akan dibahas
dalam pembahasan berikutnya.
Di dalam teologi, dikenal dua macam pendekatan Kristologi, yaitu:
Kristologi dari bawah dan Kristologi dari atas. Yang dimaksud dengan Kristologi
dari atas adalah melihat siapa Yesus Kristus Sebelum Dia datang ke dalam dunia.
Pandangan ini mengatakan bahwa ke-Allahan Yesus Kristus terselubung ketika
Dia di dalam dunia. Supaya manusia dapat mengenal Dia sebagai Allah yang
sejati, maka harus melihat siapa Yesus sebelum Dia datang ke dalam dunia.
Sebagai contoh adalah Yoh.1:1. Teolog yang menganut pendekatan ini adalah
Rudolph Bultmann.3 Sedangkan Kristologi dari bawah, memiliki pendekatan yang
justru kebalikan dari pandangan tersebut di atas. Pandangan ini justru
memperhatikan secara sungguh-sungguh siapa Yesus ketika Dia berada di dalam
dunia. Pendekatan ini lebih menekankan keberadaan Yesus sebagai manusia.
Bagaimana hidup-Nya, kuasa-Nya, serta apa yang dikatakan-Nya. Semua itu
menunjukkan siapa Dia sesungguhnya. Teolog yang menganut pandangan ini
adalah W. Pannenberg.4
4.2.1. Evaluasi
Kristologi dari atas memiliki kekuatan karena mengakui tujuan dan
nilai sebenarnya dari penjelmaan adalah pengaruh kehidupan Yesus atas
orang-orang yang percaya pada-Nya. Pendekatan ini mengakui sifat
adikodrati yang sungguh-sungguh, sesuatu yang tidak ada dalam pendekatan
Kristologi dari bawah. Dengan demikian terbuka peluang bagi Yesus yang
ilahi dan mampu mengadakan mujizat.
3
4
C. Groenen OFM, Peristiwa Yesus, (Yogyakarta: Kanasius, 1979) hlm. 13-14
Ibid, hlm 14-15
Masalah mendasar yang dihadapi oleh Kristologi dari atas ialah
masalah keteguhan keyakinan. Adakah Kristus dari iman itu benar-benar
sama dengan Yesus yang menempuh jalan-jalan di Galilea dan Yudea?
Apakah komitmen kepada Kristus yang diwartakan para rasul didasarkan
pada sesuatu yang benar-benar nyata? benar-benar berlandaskan pada
peristiwa yang benar terjadi, ataukah itu sekedar merupakan iman yang tak
berdasar? Persoalan subyektifitas senantiasa mengganggu Kristologi jenis
ini. Bagaimana dapat dipastikan bahwa Kristus yang dikenal dari kesaksian
para rasul dan yang dijumpai dalam pengalaman orang Kristen, benar-benar
merupakan Yesus sebagaimana Dia adanya dan bukan Yesus menurut
perasaan saja? Persoalan kedua yang dihadapi pendekatan ini berkaitan
dengan apa yang diimani. Sekalipun dapat dibenarkan bahwa orang percaya
menerima sesuatu dengan iman, akan tetapi bagaimana dapat menentukan
apa itu yang diterima? Tanpa adanya rujukan empiris, Kristus dari iman itu
agak tidak nyata dan samar.
Di lain pihak, Kristologi dari bawah, seperti yang dikumandangkan
oleh kaum pluralis menuduh bahwa paling banter teologi Kristen mengatasi
persoalan ini (khususnya ajaran tentang pribadi Yesus) didasarkan pada
iman dan yang paling buruk teologi itu kosong sama sekali.5 Pendekatan ini
telah berusaha untuk melenyapkan unsur-unsur subyektif yang berlebihan.
Sekalipun mengakui perlunya ada keterlibatan subyektif itu, Kristologi dari
bawah berusaha menghindar untuk menyaringkan lewat subyektivitas orangorang percaya yang lain, dalam hal ini para murid Yesus. Satu persoalan
5
Ibid
yang lain, khususnya dalam bentuk yang diucapkan oleh Pannenberg. 54 Ia
menyatakan bahwa Kristologi dari bawah terlalu mengandalkan obyektif
untuk menegakkan anggapan-anggapan historisnya. Kepastian obyektif
semacam itu dalam kenyataan sulit dicapai. Bila fakta-fakta Kristologi
merupakan hal-hal yang berkaitan dengan sejarah obyektif melulu, maka
seharusnya dimungkinkan untuk membuktikan ke-Tuhanan Yesus kepada
setiap orang yang menyelidikinya dengan jujur dan obyektif. Dalam
kenyataan hal itu tidak selalu terjadi.
4.2.2. Pendekatan yang Alternatif
Kedua pendapat di atas memiliki kelebihan dan kekurangan tertentu.
Akan tetapi apakah ada cara untuk memadukan Kristologi dari atas dengan
Kristologi dari bawah? Dapatkah Kristus dari pewartaan rasuli dan Yesus
dari sejarah, iman dan akal dipersatukan? Kristologi yang benar harus
mempertahankan baik iman maupun akal. Ini adalah dua sarana yang saling
melengkapi dan rukun yang dipakai untuk menyatakan diri-Nya. Keduanya
adalah sumber pengenalan akan Dia. Karena Kristologi dari bawah didekati
lewat akal, dan Kristologi dari atas didekati oleh iman, maka iman-akal yang
harus menjadi landasan dalam berkristologi.55
Perlu
diketahui
bahwa
kisah-kisah
tentang
Yesus
Kristus,
sebagaimana yang diberitakan dalam Alkitab, tidak bersifat sejarah belaka,
dan juga tidak bersifat pewartaan semata-mata. Akan tetapi sifatnya yaitu
”sejarah yang kerygmatiskan”, artinya: unsur sejarah dan unsur kerygma
54
Lihat bab III
Bandingkan Nico Syukur Diester OMF, Kristologi: sebuah sketsa (Yogyakarta:
Kanasius, 1993) hlm. 22
55
terjalin satu sama lain secara tak teruraikan.56 Jadi, Isi pewartaaan rasuli ini
menjadi suatu hipotesis untuk menafsirkan dan menggabungkan data yang
disajikan pada saat diadakan penelitian terhadap diri Yesus yang historis.
Dengan demikian, model alternatif bukanlah Kristologi dari atas atau
Kristologi dari bawah. Sebaliknya, model ini memerlukan bukan iman saja
dan juga bukan akal historis saja, melainkan keduanya bersama-sama dalam
suatu perpaduan yang saling mendukung. Metode Kristologi yang tepat
harus mempertahankan ketegangan antara Kristologi dari atas dan Kristologi
dari bawah. Dengan demikian, pemahaman yang meningkat tentang Yesus
dari sejarah akan menguatkan keyakinan bahwa penafsiran para rasul
tentang Kristus dari iman itu memang benar.
4.3. Studi Pribadi Yesus dan Karya Yesus (ontologis dan fungsional)
Pada bagian ini, akan dibahas hubungan di antara penelaahan tentang
pribadi Yesus dan karya Yesus (ontologis dan fungsional). Apakah keduanya
dapat dipisahkan, dan bila memang dapat, apakah urutan yang logis yang dipakai
dalam Kristologi? Apakah pengertian tentang pribadi Kristus dan sifat-Nya harus
diungkapkan dan diterapkan dahulu agar membantu untuk memahami karya-Nya?
Ataukah harus mengawali dari karya Kristus dan baru kemudian menarik
kesimpulan tentang pribadi macam apakah Dia itu? Pertanyaan ini pada dasarnya
mempertanyakan kecenderungan untuk memisahkan antara Kristologi yang
ontologis dan Kristologi fungsional. Kristologi yang ontologis ialah Kristologi
yang menekankan pada pemahaman tentang siapakah Yesus, sedangkan
56
Ibid, hlm. 26
Kristologi fungsional adalah Kristologi yang menekankan pada apa yang
dikerjakan Yesus bagi manusia.57 Kaum pluralis sangat menekankan kristologi
fungsional. Menurut mereka, kristologi merupakan sebuah doktrin yang berfokus
pada ”peristiwa” dan bukan tentang sifat-sifat.
Pada permulaan sejarah gereja, kedua pokok ini, yakni pribadi dan karya
Kristus, dibahas dalam kaitan yang cukup erat. Teologi skolastik memisahkan
doktrin mengenai pribadi Kristus (ke-Tuhanan-Nya, kemanusiaan-Nya, serta
perpaduan keduanya) dari jabatan dan karya Kristus. Akibatnya, Kristologi tidak
lagi relevan bagi kebanyakan orang percaya. Perbedaan mengenai ke-Tuhanan
Yesus, jangkauan pengetahuan-Nya, dan keadaan-Nya yang tidak berdosa,
maupun persoalan mengenai apakah Yesus memiliki satu atau dua kehendak,
semuanya merupakan persoalan yang sangat abstrak. Reaksi terhadap skolastik,
menyebabkan Philipp Melanchton dan Luther membangun Kristologi fungsional
yang menekankan pada karya Kristus yang menyelamatkan.58
Persoalan relasi ontologis dan fungsional terus berlanjut hingga kini.
Sehubungan dengan hal itu, maka yang paling berantusias dengan kristologi
fungsional ialah kaum pluralis, yang menekankan karya Yesus bagi manusia,
bukan dalam arti penebusan tetapi dalam arti pembaharuan sosial. Salah satu
tokoh Pluralis yang menganut pandangan Kristologi fungsional, ialah Choan-Seng
Song.59
Perlu dicatat ada dua alasan utama mengapa pokok pembahasan tentang
kepribadian Kristus ini didahului oleh penelitian karya Kristus. Salah satu alasan
57
Bruce Milne, Mengenali Kebenaran (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002) hlm. 206
Teologi Kristen Vol.2, hlm. 308
59
Stevri I Lumintang, Theologia Abu-abu: Pluralisme Agama, (Malang: Gandum Mas)
hlm. 142-143
58
ialah keinginan untuk mengaitkan kristologi dengan soteriologi. Memang
mungkin untuk membahas kristologi terlepas dari soteriologi. Akan tetapi tidak
mungkin untuk membahas apa yang dilakukan Kristus dalam kehidupan kita tanpa
mengaitkan karya tersebut dengan watak atau sifat Kristus. Alasan yang kedua
ialah keinginan untuk menunjukkan pertalian Kristologi. Sangat sulit bagi
kebanyakan orang untuk menaruh perhatian pada pembahasan berbagai masalah
yang berkaitan dengan watak Kristus, kecuali mereka melihat pengaruhnya dalam
hidup mereka.
Bagaimana pun juga pendekatan ini menimbulkan berbagai kesulitan.
Kesulitan pertama adalah bahwa pada saat seseorang menekankan apa yang
diperbuat Kristus bagi umat manusia, maka persepsi diri manusia akan
kebutuhannya sendirilah yang cenderung mendiktekan atau menentukan agenda
untuk membangun pengertian tentang pribadi atau watak Kristus. Dengan
demikian muncul persoalan bagi mereka yang pertama memusatkan perhatian
pada karya Kristus dan kemudian baru membahas pribadi-Nya. Atau mereka
mempelajari karya-Nya dulu baru kemudian menerapkan hasil penelitian mereka
kepada situasi kehidupan manusia, atau juga mereka mempelajari situasi
kehidupan manusia dahulu dan baru kembali kepada materi Alkitab tentang karya
Kristus. Dalam cara yang pertama masih ada kemungkinan tidak mengena pada
situasi kehidupan manusia. Dalam cara yang kedua, bahayanya ialah bahwa
pengertian tentang karya Kristus akan disesuaikan dengan persepsi manusia
tentang kebutuhannya. Dengan demikian jelas bahwa melandaskan Kristologi
pada “kebutuhan yang dirasakan” akan kurang memadai.
Pada hakikatnya, seorang teolog bahkan orang Kristen pada umumnya,
tidak patut memisahkan pribadi dan karya Kristus (ontologis dan fungsional)
dalam berkristologi. Tidaklah mungkin membicarakan apa yang Kristus kerjakan
dalam kehidupan manusia, tanpa menghubungkan karya Kristus dengan pribadi
Kristus sebagai presuposisinya, dan sebaliknya. Di sisi lain, berkenan dengan
pribadi Kristus masih banyak orang tidak begitu tertarik untuk membahasnya
karena bagi mereka, pembahasan mengenai isu yang berkenan dengan pribadi
Kristus adalah tidak relevan, menurut mereka bahwa hal itu adalah tidak ada
manfaatnya bagi manusia. Hal ini tentu adalah suatu kekeliruan yang fatal.
4.4. Relasi Yesus Kepercayaan dan Yesus Sejarah
Istilah Yesus sejarah dimunculkan untuk membedakannya dengan istilah
lain, yaitu "Kristus yang diimani" atau Yesus kepercayaan. Istilah pertama
dimengerti sebagai Yesus yang sesungguhnya, atau "the real Jesus", sedangkan
istilah kedua, mengacu kepada pribadi Yesus yang telah dipoles oleh para rasul.
Maksudnya, rasul- rasul dan penulis-penulis Alkitab tidak lagi menulis Yesus
yang sesungguhnya, apa adanya, tetapi menuliskan Yesus dari kaca mata mereka.
Menurut kaum pluralis, apa yang ditemukan di dalam Alkitab, baik itu ucapan,
karya serta istilah-istilah yang diberikan kepada Yesus yang mengacu kepada keTuhanan-Nya, sebenarnya hanya merupakan ciptaan atau kreasi para rasul, bukan
menggambarkan Yesus yang sesungguhnya. Menurut mereka bahwa mustahil
untuk dapat mengetahui ucapan-ucapan Yesus dan merekonstruksi kehidupan-Nya
selama Dia hidup di Galilea dan Yerusalem pada tahun 30-33 Masehi.60 Kaum
Pluralis mengetengahkan bahwa Alkitab bukanlah firman Allah, tulisan-tulisan
60
Bandingkan. Erickson, Teologi Kristen Vol. 2, hlm. 311
Injil bukanlah laporan tentang Yesus sebenarnya, melainkan Yesus yang imani,
mitos dari para penulis Injil. Dalam semangat seperti inilah muncul usaha-usaha
dari para ahli untuk menemukan kembali Yesus sejarah.
Selama berabad-abad, Alkitab, khususnya Perjanjian Baru, menjadi
sumber penting untuk mempelajari Kristologi (ilmu yang mempelajari tentang
siapa Yesus Kristus). Bahkan pada abad ke-16 tokoh-tokoh reformasi seperti M.
Luther menyerukan otoritas Alkitab sebagai satu- satunya otoritas tertinggi bagi
iman, keselamatan dan menjadi dasar dari seluruh doktrin Kristen. Itulah yang
dikenal dengan istilah Sola Scriptura. Istilah lain yang penting berkenaan dengan
otoritas Alkitab adalah kanon Alkitab. Ini berarti bahwa Alkitab adalah pengukur,
di mana segala etika dan doktrin diukur dari pengajaran Alkitab.
Bagaimana pun juga kebenaran yang dikemukakan oleh para penulis
Alkitab adalah kebenaran yang paling utama yang dapat diterima daripada
kebenaran yang dikemukakan oleh kaum pluralis. Sebab adalah sesuatu yang
konyol bila lebih mempercayai kesaksian orang yang hidupnya sangat berbeda
jauh dengan zaman dimana Yesus hidup daripada orang yang hidup
sekontemporer dengan Yesus dan menjadi saksi hidup itu sendiri. Oleh karena itu
yang merupakan mitos itu sendiri adalah “Yesus historisnya” kaum pluralis dari
pada Yesus yang ditulis oleh para penulis Injil. Kaum pluralis mengemukakan
bahwa sangat sulit untuk mempercayai kebenaran berita tentang kehidupan Yesus
yang peristiwanya dengan waktu penulisan ada jarak sekitar 15-20 tahun, akan
tetapi akan lebih sulit lagi untuk mempercayai peristiwa atau kebenaran tentang
Yesus dimana penelitiannya dilakukan setelah ribuan tahun (itu pun bukan secara
faktual), seperti yang dilakukan kaum pluralis.61
Berkaitan dengan hal itu, maka perlu ditekankan sekali lagi, bahwa kisahkisah yang ditulis oleh para rasul bukanlah semata-mata bersifat kerygma
(pewartaan) tetapi juga bersifat sejarah.62 Dalam 2 Petrus 1:16 mencatat, “sebab
kami tidak mengikuti dongeng-dongeng isapan jempol manusia, ketika kami
memberitahukan kepadamu kuasa dan kedatangan Tuhan kita, Yesus Kristus
sebagai raja tetapi kami adalah saksi mata dari kebesaranNya.” Penulis Alkitab
pastilah mengetahui perbedaan di antara mitos, legenda, dan kenyataan. I Yohanes
1:1-3 mengungkapkan, “Apa yang telah ada sejak semula, yang telah kami
dengar, yang telah kami lihat dengan mata kami, yang telah kami saksikan dan
yang telah kami raba dengan tangan kami tentang Firman hidup itulah yang kami
tuliskan kepadamu. Hidup itu telah dinyatakan, dan kami telah melihatnya dan
sekarang kami bersaksi dan memberitakan kepada kamu tentang hidup yang
kekal, yang ada bersama-sama dengan Bapa dan yang telah dinyatakan kepada
kami. Apa yang telah kami lihat dan yang telah kami dengar itu, kami beritakan
kepada kamu juga, supaya kamupun beroleh persekutuan dengan kami. Dan
persekutuan dengan kami adalah persekutuan dengan Bapa dan dengan anak-Nya,
Yesus Kristus.” Bahkan dalam Lukas 1:1-3, menyatakan bahwa, “Teofilus yang
mulia, banyak orang telah berusaha menyusun suatu berita tentang peristiwaperistiwa yang telah terjadi di antara kita, seperti yang disampaikan kepada kita
oleh mereka, yang dari semula adalah saksi mata dan pelayan Firman. Karena itu,
61
Lihat bab III
Untuk penjelasan lebih lanjut lihat. Nico Syukur Diester, Kristologi sebuah sketsa,
(Yogyakarta: Kanasius, 2993) hlm 26
62
setelah aku menyelidiki segala peristiwa itu dengan seksama dari asal mulanya,
aku mengambil keputusan untuk membukukannya dengan teratur bagimu” 63
Sisi lain jika dilihat ke dalam teks Alkitab, maka akan terlihat bahwa ada
bagian dari teks-teks itu sendiri yang menandakan keempat Injil tersebut sebagai
sejarah yang masuk akal, bukan legenda ataupun propaganda yang dibuat-buat.
Perhatikan bahwa para murid memasukkan kata-kata keras dari Yesus, yang
sebenarnya malah menyurutkan minat orang-orang yang mendengarnya. (Mat
21:28, Luk 9:23, Yoh 8:39). Satu hal yang nyata dari keempat Injil tersebut adalah
bahwa kekayaan tak ternilai yang mereka miliki tentang kabar baik tidak
terungkap dipermukaan, namun tersembunyi dibalik tantangan (Mrk 8:34, Yoh
12:25) dan ancaman (Mat 25:31). Kesemuanya itu malahan akan mengakibatkan
hal yang tak diharapkan untuk suatu propaganda. Penulisannya di dalam Injil
memperlihatkan kesungguhan para evangelis untuk berkata sejujurnya, walau
memalukan atau tak menyenangkan sekalipun. Fakta kebenaran Injil adalah nyata,
karena penulis PB menulis berdasarkan apa yang dilihatnya sendiri atau mencatat
kesaksian yang akurat dari orang-orang yang melihatnya sendiri dan di bawah
inspirasi Roh Kudus.
Salah satu pembelaan penting lainnya yang dapat digaungkan kembali
adalah pernyataan yang dikemukakan oleh Irenaus dalam perdebatannya melawan
gnostik yang mempertanyakan tentang keabsahan PB. Ireneus menegaskan bahwa
gereja mula-mula secara penuh mendasarkan ajaran mereka terhadap PB, dimana
ajaran itu diwariskan kepada gereja rasuli secara turun temurun dan tanpa terputus
63
Bandingkan dengan penjelasan, Josh McDowell, Apolegetika Vol 1: Bukti Yang
Meneguhkan Kebenaran Alkitab, (terjemahan). (Malang: Gandum Mas, 2002) hlm.115
diturunkan kepada umum. Satu ajaran yang sepenuhnya berdasar kepada tulisantulisan Alkitab. Ireneus mengatakan:
Gereja, walaupun tersebar ke mana-mana hingga ujung dunia, telah menerima
dari para rasul serta murid-murid-Nya kepercayaan ini, yaitu percaya kepada
satu Allah, Bapa yang Mahakuasa, Khalik langit dan bumi dan lautan dan
segala yang di dalamnya; atau kepada satu Kristus Yesus, Anak Allah, yang
telah menjadi manusia untuk keselamatan kita; dan kepada Roh Kudus, yang
melalui para nabi telah menyatakan pekerjaan penyelamatan Allah bagi umat
manusia, serta pada kedatangan, kelahiran dari anak dara, penderitaan,
kebangkitan dari antara orang mati dan kenaikan secara badani dari Tuhan kita
Yesus Kristus yang terkasih dan kedatangan-Nya yang kedua kali dari sorga
dengan kemuliaan Sang Bapa untuk memenuhi segala sesuatu dan untuk
membangkitkan semua daging manusia supaya...Ia menghakimi semua orang
dengan adil (Melawan Ajaran-ajaran Sesat 1:10:1).64
Kebenaran yang disampaikan Ireneus65 sebagai penerus generasi rasuli
adalah kebenaran yang tertulis dalam Alkitab sekarang ini dan terus berlanjut
sampai generasi yang sekarang. Oleh sebab itu, adalah suatu keanehan bila para
Kritikus Alkitab tidak mempercayai kesejarahan Yesus dari Alkitab, yang menjadi
masalah bukan terletak kepada Alkitabnya tetapi lebih kepada pemikiran para
tokoh kritik itu sendiri. Jika Yesus adalah sebuah mitos dan Alkitab adalah sebuah
tulisan yang penuh dengan salah, orang seperti apakah yang rela mati untuk
mempertahankannya bahkan mengalami penganiayaan selama berabad-abad. 66
Sehubungan dengan hal tersebut, maka dapat dilihat juga pengakuanpengakuan dari para arkeolog yang mensahihkan kisah-kisah tentang Yesus yang
ditulis oleh para rasul antara lain: Nelson Glueck, arkeolog Yahudi yang tersohor
menulis “dapat dipastikan secara mutlak bahwa tidak pernah ada penemuan
arkeolog yang bertentangan dengan pernyataan di dalam Alkitab”. Dia
64
Tony Lane, Runtut Pijar: Sejarah Pemikiran Kristiani, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1996) hlm. 11
65
Ireneus merupakan uskup Lyons tahun 180 M, adalah murid Polikarpus, uskup Smirna
yang telah menjadi orang Kristen selama 68 tahun dan merupakan murid Yohanes. Ibid
66
Para murid Yesus mati sebagai martir. Tradisi menunjukkan bahwa para murid disiksa
dan dicambuk, dan akhirnya mereka menghadapi kematian oleh cara-cara yang paling kecam yang
dikenal pada waktu.
melanjutkan pernyataannya tentang "catatan sejarah Alkitab yang nyaris tidak
dapat dipercaya ketepatannya, terutama bila dikuatkan oleh fakta arkeologi." 67
William F.Albright, yang terkenal karena reputasinya sebagai seorang
arkeolog besar, menyatakan: “Tidak dapat diragukan bahwa arkeologi telah
menegaskan kebenaran historis tradisi Perjanjian Lama”. Albright menambahkan:
“Skeptisme berlebihan yang ditujukan pada Alkitab oleh lembaga-lembaga
sejarah penting pada abad ke-18 dan 19, yang gaungnya masih terasa sampai
sekarang, telah ditangkis habis-habisan. Penemuan demi penemuan telah
menegaskan kebenaran yang tidak terhitung karena banyaknya data, dan
memperkuat pengakuan terhadap nilai Alkitab sebagai sumber sejarah”.68 Profesor
H.H Roley mengaku bahwa “Ilmuwan sekarang lebih menaruh hormat pada
tulisan para bapa gereja dari pada para pendahulunya bukan karena mereka
mengawali
penelitiannya
dengan
praduga
yang
lebih
konservatif
dari
pendahulunya, tetapi karena bukti-bukti yang membenarkannya”. 69
Miller Burrows dari Yale pun berpendapat bahwa: “Dalam banyak kasus
arkeologi telah mematahkan pandangan para peneliti modern. Pada beberapa
kesempatan arkeologi menunjukkan bahwa pandangan ini bertumpu pada dugaan
yang keliru dan skema perkembangan historis yang tidak benar atau palsu. Ini
adalah suatu sumbangan yang nyata dan tidak boleh dianggap enteng”. Burrows
mengungkapkan tentang penyebab dari ketidak-percayaan yang berlebihan :
“Skeptisme berlebihan dari kebanyakan ahli teologi liberal bukan disebabkan oleh
penelitian yang seksama terhadap data-data yang ada, tetapi kecenderungan yang
67
Dikutip oleh: Josh McDowell, Apologetika Vol 1: Bukti Yang Meneguhkan Kebenaran
Alkitab, (terjemahan). (Malang: Gandum Mas, 2002) hlm.115
68
Ibid, hlm. 116
69
Ibid
besar untuk menolak hal adikodrati”. Arkeolog dari Universitas Yale itu
menambahkan: “Bagaimanapun juga, secara keseluruhan, tidak dapat dipungkiri
bahwa pekerjaan arkeolog telah memperkuat keyakinan pada kredibilitas catatan
Kitab Suci. Lebih dari satu arkeolog yang mendapatkan bahwa pengalamannya
dalam penggalian di Palestina telah menambah rasa hormatnya pada Alkitab”. 70
Secara keseluruhan bukti-bukti yang telah dihasilkan oleh arkeolog sampai
sejauh ini, terutama dalam menghadirkan lebih banyak naskah yang lebih tua dari
kitab-kitab Alkitab, telah memperkuat keyakinan pada ketepatan penyalinan teks
itu selama berabad-abad”.
4.5. Tanggapan Terhadap Kristologi Kosmik
Kristologi Kosmik memandang Yesus sebagai penyelamat yang hadir
tanpa batas tempat dan waktu untuk menyelamatkan semua manusia sekalipun
tanpa mengakui ke-Tuhanan-Nya. C.S Song, menyatakan bahwa pribadi kedua
Allah Tritunggal berinkarnasi bukan hanya sekali melainkan berkali-kali di
banyak tempat dan dalam banyak wujud. Kehadiran Yesus bagi mereka tidak
dapat dibatasi oleh ruang dan waktu, juga tidak dapat dibatasi oleh semua batasan
budaya dan agama. Ia juga telah menjangkau berbagai tempat dan konteks dalam
sejarah umat manusia.71
Pada dasarnya kaum pluralis tidak mengakui adanya penyataan khusus,
dan finalitas Yesus. Sebaliknya mengakui penyataan Allah dalam semua agama,
budaya manusia. Hal ini berarti bahwa semua sejarah agama-agama, budayabudaya, bangsa-bangsa dengan sistem sosial, ekonomi dan politiknya adalah
70
71
Ibid, hlm. 116-118
Lihat bab III, “ Kristologi Kosmik”
penyataan Allah. Harus diakui bahwa Allah ada dalam sejarah. Akan tetapi ada
dua hal yang harus diperhatikan yaitu bahwa Allah di atas sejarah dalam arti
mengontrol sejarah dan Allah melampaui sejarah.72
Dalam hal ini kaum pluralis, tidak menyadari bahwa penyataan Allah
harus dimengerti dalam konteks keselamatan manusia berdosa. Bukan dalam
penyelamatan secara sosial, ekonomi dan politik. Kalau secara dunia tidak
memiliki kaitan langsung dengan keselamatan Allah, pertanyaannya ialah di mana
dan bagaimanakah keselamatan Allah dinyatakan? Sedangkan inkarnasi dan
kematian Yesus Kristus yang menebus, adalah dalam waktu dan tempat, berarti
dalam sejarah. Kaum pluralis mencampuradukan semua sejarah dengan penyataan
Allah. Perlu diketahui bahwa tidak ada satu pribadi tertentu yang kepadanya
Allah menyatakan diri secara sempurna dan mewujudkan keselamatan-Nya, selain
kepada dan melalui pribadi dan karya Kristus saja.
Perlu diketahui bahwa jauh sebelum para teolog pluralis mengembangkan
kristologi kosmik, teologi kosmik sudah ada sebelumnya oleh Joseph Sittler, dan
diusulkan kepada DGD pada tahun 1961, dalam membangun hubungan dengan
agama-agama lain.73 Dengan kata lain, kristologi kosmik kaum pluralis bertolak
dari ususlan Joseph Sittler. Sittler membangun kristologi kosmiknya dengan
menafsirkan Kolose
1:15-20, dengan memfokuskan penelitian terhadap
pernyataan-pernyataan yang tampak secara eksplisit seperti ”segala sesuatu yang
diciptakan oleh Dia dan untuk Dia”. Muncul enam kali dalam teks tersebut
menerangkan mengenai pencapaian secara maksimum di mana penebusan Allah
untuk seluruh alam semesta dalam jangkauan yang luas, dan Kristus digambarkan
72
Untuk penjelasan lebih lanjut, lihat. J. Millard Erickson, Teologi Kristen Vol. 1
(Malang: Gandum Mas, 2002) hlm 190
73
Lumintang, Theologia Abu-Abu: Pluralisme Agama, hlm 157-158
sebagai Kristus kosmik yang menyelamtakan semua ciptaan. Dengan demikian,
Yesus tidak hanya dimengerti dalam pengertian Yesus historis dari Nazaret,
melainkan juga Yesus yang menyatakan diri dalam semua ciptaan. 74
Berkaitan dengan kristologi kosmik oleh Sittler tersebut, maka perlu
dilihat teks Kolose 1:15-20. Dalam teks tersebut, memang berbicara mengenai
keunggulan Kristus atas segala ciptaan. Namun, itu tidak berarti bahwa segala
sesuatu dengan sendirinya diselamatkan oleh Dia, juga tidak berarti bahwa Ia
menjelmakan diri-Nya dalam segala sesuatu. Tidak ada indikasi dari teks tersebut
yang menyatakan bahwa Yesus Kristus menyatakan diri-Nya dalam semua bentuk
ciptan-Nya. Jadi kristologi kosmik tersebut keliru dalam interpretasi teks Kolose
juga tidak memadai, karena bagaimana mungkin seseorang membangun
pandangannya tentang Kristus, hanya bertolak dari satu teks saja? Bahkan teks
tersebut ditafsirkan di luar konteks.
Jadi, penegasan dan dukungan terhadap pandangan kaum pluralis ini pada
dasarnya telah menyangkali dan mengabaikan iman keyakinan para tokoh PL dan
PB, sekaligus juga para martir sepanjang sejarah gereja. Mereka telah gugur demi
mempertahankan
pengakuan
“Yesus
Kristus
adalah
Tuhan,”
serta
memproklamasikan bahwa Yesus dari Nazaret adalah satu-satunya Juruselamat
bagi seluruh umat manusia (suatu klaim atas keuniversalan-Nya). Jika kekristenan
memberi toleransi dan bahkan mengajarkan keyakinan yang demikian, maka
eksistensinya di masa mendatang akan terancam dan berada dalam bahaya besar.
74
Ibid
4.6. Inkarnasi yang Dipandang Sebagai Mitologi
Persoalan
lain
yang
makin
meningkatkan
keprihatinan
dalam
melaksanakan suatu Kristologi ialah apakah gagasan-gagasan tentang inkarnasi
Kristus itu merupakan sebuah mitos? Menurut kaum pluralis, gagasan bahwa
Allah menjelma menjadi manusia serta memasuki sejarah manusia, yang
merupakan doktrin inkarnasi dari segi sejarah tidak dapat diartikan secara harfiah.
Menurut mereka, pendapat semacam itu, tidak perlu dan tidak mungkin hal itu
dilakukan.
Salah satu faktor yang mempengaruhi pemikiran kaum pluralisme adalah
konsep “Demitologisasi Bultman”. Bultman
menyimpulkan bahwa sebagian
besar Perjanjian Baru bersifat mitos. Yang dimaksudkan dengan “mitos” oleh
Bultman adalah usaha manusia untuk mengungkapkan hal-hal segi dunia lain
dengan memakai simbol-simbol dari hal-hal dunia ini. Pengertian-pengertian
tersebut dengan demikian janganlah dianggap sebagai ungkapan harafiah tentang
realitas. Ungkapan-ungkapan tersebut jangan dipandang sebagai sesuatu yang
dinyatakan Allah secara khusus, demikian pula penyajiannya dalam tulisan para
rasul serta para nabi tidak boleh dianggap sebagai tulisan yang diilhamkan oleh
Allah. Semua pernyataan itu merupakan sekedar ungkapan tentang realitas yang
dipengaruhi oleh kebudayaan tertentu. Bultman menyatakan bahwa bukan
pernyataan dalam Alkitab yang harus dihapuskan, melainkan bahwa pernyataan
tersebut harus ditafsir kembali. Mitos dipakai oleh para penulis Alkitab untuk
mengungkapkan apa yang mereka alami secara eksistensial. 75
75
hlm. 34-44
Rudolf Bultmann, New Testament and Mythology, (New York: Harper and Row 1961)
Secara umum, pandangan pluralisme tentang penjelmaan sebagai
mitologis antara lain sebagai berikut: Pertama, gagasan bahwa Allah secara
harfiah menjelma menjadi manusia merupakan suatu pengertian yang tidak dapat
diterima dan bertentangan dengan kenyataan. Kedua, kristologi dari PB
mengungkapkan iman para murid dan bukan ajaran Yesus. Para murid berusaha
untuk mengungkapkan kesan mendalam ketika berhadapan dengan Yesus. Kesan
yang mendalam tersebut diungkapkan dalam memakai gelar-gelar dan gambarangambaran yang umum pada waktu itu, misalnya, gagasan bahwa Allah datang ke
dunia. Menurut mereka, gelar-gelar serta gagasan tersebut tidak dipakai oleh
Yesus sendiri. Ajaran yang diberitakan Yesus adalah tentang Kerajaan Allah dan
bukan mengenai diri-Nya sendiri. Sedangkan amanat yang disampaikan oleh
Yesus maupun iman yang asli dan paling awal dari para rasul tidak ada yang
bersifat ontologis. Ketiga, Bagi kaum pluralis, gagasan tentang Yesus sebagai
yang berinkarnasi bukanlah merupakan pengertian yang unik sebagaimana yang
biasa diperkirakan. Misalnya, Budha Gautama juga menggambarkan kedatangan
Allah kepada manusia, yang menyatakan bahwa Allah ingin melibatkan diri
dengan cipataan-Nya, serta kesatuan yang hakiki di antara Allah dengan manusia.
Dengan demikian Yesus bukanlah satu-satunya jalan, dan bahwa hanya orang
yang percaya ajaran gereja tentang Yesus akan diselamatkan, paling banter adalah
pandangan
yang
picik
dan
seburuk-buruknya
adalah
pandangan
yang
menyeramkan. Gagasan inkarnasi juga terdapat dalam agama-agama lain, dan
Allah juga hadir dalam agama-agama lain, namun di situ kehadirannya bukanlah
disebut Yesus. “Yesus” merupakan istilah khas Kristen bagi kehadiran Allah.
Menanggapi gagasan di atas tersebut, maka setidaknya ada beberapa
gagasan yang perlu dikemukakan:
Gagasan inkarnasi Allah tidaklah bersifat bertentangan. Anggapan tersebut
di atas hanyalah anggapan yang terlalu bersifat antromorphomis. Sudah pasti
dalam kepercayaan ada yang bersifat paradoks, yaitu suatu pengertian yang
memang sulit dipahami secara intelektual. Fungsi dari suatu paradoks
sebagaimana yang dibuktikan oleh Ian Ramsey ialah untuk memaksa akal
melampaui hal yang kodrati kepada hal yang bersifat adikodrati.76
Terdapat bukti historis bahwa Kristologi PB menunjuk kepada Yesus
sendiri, dan bukan sekedar iman para rasul saja. Teori yang menyatakan bahwa
para murid meminjam mitos dari agama lain tentang gagasan seorang dewa yang
menjelma adalah sesuatu yang patut diragukan. Dan anggapan tentang jemaat
mula-mula yang dipengaruhi oleh budaya helenistik, tidak memiliki bukti sama
sekali.
Saran bahwa ajaran inkarnasi Allah di dalam Yesus yang juga terdapat
dalam agama lain seperti yang dikatakan kaum pluralis tidak dapat dibuktikan,
karena
keberadaannya
sungguh-sungguh
sangat
berbeda.
Tidak
dapat
dibayangkan bagaimana Allah yang tunggal dapat berinkarnasi menjadi lebih dari
satu tokoh. Hanya dalam Yesus saja hadirlah kepenuhan Allah. Apabila seseorang
telah menyingkapkan dirinya secara penuh dalam peristiwa tertentu dan konkret,
maka ia tidak dapat menyingkapkan dirinya sekali lagi dengan arti yang sama
dalam sebuah peristiwa lain pula yang berbeda dengan peristiwa yang pertama.
Mengapa tidak? karena dengan demikian ia tidak menyingkapkan dirinya secara
76
107
Bandingkan Ian Rmasey, Paradox in Religion, (Grand Rapids: Eedermans, 1974) hlm.
penuh dan lengkap dalam peristiwa yang pertama tadi, tetapi hanya secara
‟partial‟ saja (hanya untuk sebagaian saja). Dalam peristiwa Yesus, Allah telah
menyatakan diri-Nya secara penuh (inkarnasi). Oleh karena itu wahyu Allah
dalam Kristus tak dapat tidak harus bersifat unik dan tunggal, tiada duanya. Sifat
unik dan tunggal ini hanya dapat terjadi satu kali untuk selamanya. 77
Apabila diperhatikan istilah „Anak‟ dalam Alkitab adalah khas dalam
mengartikan bahwa Yesus berbeda dengan segenap manusia lainnya, hal ini dapat
ditelusuri sekurang-kurangnya pada saat Ia berumur 12 tahun (Lukas 2:49), dan
yang disahihkan kepada-Nya dalam dan suara Bapa-Nya dari Sorga sewaktu Ia
dibaptis, “Engkaulah Anak yang Ku-kasihi” (Mrk. 1:11, bandingkan dengan Mat.
3:17, Luk. 3:22). Kata "αγαπητορ – “agapêtos" yang terdapat dalam ketiga berita
mengenai ucapan sorgawi itu, mengandung makna ”satu-satunya yang dikasihi”
(bentuk tunggal); begitu pula dalam perumpamaan dalam Markus 12:6.78
Penjelmaan Allah di dalam Yesus sama sekali tidak dapat dibandingkan dengan
pandangan serupa dalam agama lainnya.
Hal lain yang perlu dilihat dalam mitos dan legenda yang terkait dengan
kepercayaan masyarakat adalah dewa/dewi yang turun ke bumi berubah wujud
menyamarkan dirinya menjadi manusia. Pertanyaannya sekarang adalah apakah
inkarnasi Kristus sama seperti tindakan para dewa/dewi? Inkarnasi berasal dari
kata Latin, incanatio (“in”: masuk ke dalam; “caro/carnis”: daging). Secara
sederhana kata ini bisa diartikan: “masuknya Allah ke dalam daging manusia
dalam diri Yesus Kristus. Inilah yang tertulis dalam Yohanes 1: 1, 14 “Pada
mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu
77
Lihat. Nico Syukur Diester, Kristologi: sebuah sketsa, (Yogyakarta: Kanasius, 1993)
78
Lihat. bab II, Inkarnasi Kristus
hlm, 267
adalah Allah… Firman itu telah menjadi manusia, dan diam diantara kita, dan
kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya
sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran.” Hal inilah
yang menunjukkan perbedaan antara tindakan dewa/dewi yang menyamar
menjadi manusia dengan inkarnasi Allah. Allah tidak menyamar dengan
mengenakan tubuh manusia. Allah tidak kelihatannya seperti manusia. Akan
tetapi Allah sungguh-sungguh menjadi manusia. Allah menjadi manusia yaitu
melalui Yesus yang dalam proses kelahiran berasal dari kandungan seorang anak
dara bernama Maria; sebuah proses bagi kehadiran manusia. Selain itu Yesus
hidup dan bertumbuh seperti layaknya manusia. Beberapa catatan Alkitab
mengemukakan bagaimana Yesus bertumbuh besar secara fisik dan rohaninya
(Luk. 2: 53). Dia makan bersama murid-murid-Nya. Dia menangis (Yoh. 11:35).
Dia mengalami ketakutan (Luk. 22: 44).
Harus diakui bahwa inkarnasi Kristus ini tidak seluruhnya dapat dipahami.
Hal ini disebabkan manusia adalah makhluk ciptaan yang sangat terbatas. Allah
adalah pencipta yang maha tidak terbatas. Jadi jelas tidak mungkin bagi manusia
memahami Allah sejelas-jelas dan selengkap-lengkapnya. Manusia yang berusaha
merasionalkan
Allah
(dalam
arti
berusaha
memahami
Allah
dengan
mengandalkan rasio) akan kecewa. Salah satu yang menjadi misteri ilahi adalah
catatan yang ditulis dalam beberapa kitab Injil; yakni Matius 1: 20 “…sebab Anak
yang di dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus”; Lukas 1: 35 “…Roh
Kudus akan turun atasmu…”. Dua catatan ini yang kemudian dalam rumusan
Pengakuan Iman yang dinyatakan sbb.: “…dikandung daripada Roh Kudus, lahir
dari anak dara Maria…” Dalam kedua kitab Injil di atas disaksikan bahwa Yesus
bukan hanya manusia saja; tetapi Dia juga adalah Allah karena proses kelahiranNya tidak terlepas dari Allah. Di sinilah dapat dipahami bahwa Yesus adalah
sungguh-sungguh Allah dan sungguh-sungguh manusia; Allah 100% dan manusia
100%. Bukan setengah Allah dan setengah manusia. Akan tetapi jangan pernah
berpikir bahwa proses kehadiran-Nya sebagai manusia melalui proses
persetubuhan antara Roh Kudus dengan Maria, seperti layaknya kehadiran anak
dalam keluarga melalui proses persetubuhan pria dan wanita. Inilah yang menjadi
misteri ilahi yang terus terang sulit untuk dijelaskan secara rasio. Namun hal ini
tidak mengurangi kepercayaan terhadap inkarnasi Kristus. Harus diakui bahwa
ketika berbicara tentang Allah, tidak seluruhnya dapat dijelaskan dan mengerti
secara rasio; diperlukan sisi lain yang amat kuat yaitu secara iman.
4.7. Finalitas Kristus Melampaui Semua Kebenaran Manusia
Tiap-tiap agama memiliki klaim keabsolutan dan kefinalitasan agamanya
masing-masing, demikian juga dengan agama Kristen. Kefinalitasan agama
Kristen adalah didasarkan pada finalitas Kristus. Dengan kata lain, finalitas
Kristus menegaskan finalitas agama Kristen. Karena segala sesuatu tentang
kekristenan ditentukan oleh pribadi dan pekerjaan Yesus Kristus sebagai Tuhan
dan Juruselamat. Bahkan seluruh kehidupan dan sifat kekristenan sampai hal-hal
yang sederhana juga ditentukan oleh Yesus Kristus. Kristuslah asal mula adanya
kekristenan. Oleh karena itu, orang Kristen mengklaim bahwa Yesus Kristus
sebagai Tuhan dan penyelamat satu-satunya, bersifat mutlak, unik, normatif
eksklusif.
Sehubungan dengan hal tersebut, ternyata dikalangan Kristen sendiri
memicu persoalan mengenai finalitas Yesus, khususnya persoalan ini lahir dari
para pemikir Kristen yang dipengaruhi oleh fakta adanya pluralisme agama dan
tuntutan kerukunan hidup beragama. Kaum pluralis memfokuskan perhatian
kepada Allah (teosentris) dan pernyataan-pernyataan yang bersifat teosentris
daripada memfokuskan perhatian kepada Kristus. Dengan demikian, adanya
penolakan tokoh-tokoh yang merumuskan ulang tentang Kristologi tradisional
terhadap kebenaran Alkitab yang objektif, membuat mereka menolak klaim
kebenaran yang dilakukan oleh Yesus sebagai yang final, unik, dan mutlak.
Pada dasarnya finalitas Kristus ada pada diri-Nya sendiri dan tidak
tergantung pada apa pun juga. Karena Dia Allah yang Omniprence (Mahahadir),
Omnipotence
(Mahakuasa),
Omniscience
(Mahatahu)
dan
Immutability,
maksudnya Finalitas Kristus tidak tercipta di dalam proses waktu karena Ia adalah
yang awal (Alfa) dan yang akhir (Omega). Alkitab mengajarkan bahwa kebenaran
Allah itu bersifat objektif dan personal. Yesus mempersonifikasikan kebenaran
karena semua yang dikatakan-Nya adalah benar dan hidup-Nya adalah kebenaran
yang sempurna. Tidak ada seorang pun yang lebih benar daripada Yesus, dan
pernyataan ini benar secara objektif karena berkorespondensi dengan realitas diriNya dan segala penyataan tentang-Nya. Yesus memberikan bukti dan identitasNya sebagai Allah yang berinkarnasi. Konsep inkarnasi ini juga terkait dengan
kesadaran Yesus akan diri-Nya. Kesadaran diri Pribadi Kristus tentang diri-Nya
adalah sebuah kesadaran akan ke-Allahan di dalam diri-Nya dan di dalam pribadi
itu juga tumbuh kesadaran akan kemanusiaan-Nya. Kesadaran diri Kristus sebagai
pribadi Allah sangat banyak disinggung dalam Injil Yohanes.
Perikop yang paling terkenal dalam Yohanes adalah dalam Pasal 10:30-33,
di situ dikatakan, “Aku dan Bapa adalah satu.” Dalam ayat ini muncul arti yang
dalam dan menarik, dalam bahasa Yunani dari A.T Robertson, kata ‟satu‟ (Hen)
bersifat netral, bukan maskulin (Heis).79 Jadi bukan satu orang (bdg. Heis dalam
Gal. 3:28), tapi satu inti atau satu sifat dasar”. Kemudian dalam Yohanes 5:17, 18,
tentang Yesus menyebut Allah Bapa-Nya sendiri. Lebih lanjut A.T Robertson
menjelaskan bagian ini; “Yesus dengan jelas mengatakan, „Bapa-Ku‟ (Ho pater
muu). Bukan „Bapa kita‟ yang menunjukkan suatu hubungan khas dengan Bapa.
Dengan demikian Dia berhak untuk menyembuhkan pada hari Sabat. Yohanes
3:34; 5:36,38: 7:29; 11:42 yang membahas tentang gelar Yesus sebagai Anak
Allah mendukung ajaran tentang keadaan Yesus yang sudah ada sebelum segala
sesuatu, karena Ia tidak dapat diutus kecuali jika Ia sudah ada sebelum segala
sesuatu ada. 80
Hubungan antara Bapa dan Anak terlihat sebagai kesinambungan
hubungan yang sudah ada sebelum inkarnasi. Hal lain yang terlihat di dalam Injil
Yohanes seperti 6:64, 8:19, 14:8-9, 10:15, 10:18, 15:15,12:49-50 sangat-sangat
jelas menunjukkan keyakinan Yesus yang teguh bahwa pikiran dan kata-kata-Nya
seluruhnya dikuasai oleh kesadaran-Nya akan Allah. Hal lain yang menarik
masalah kesadaran pribadi Yesus sebagai Allah adalah Ego Eimi (Akulah). Katakata ini sangat jelas menunjukan pernyataan Yesus sendiri mengenai ke-TuhananNya.81
Kelahiran, kehidupan, penyaliban, kematian dan kebangkitan Tuhan Yesus
adalah untuk menebus pelanggaran yang telah dilakukan oleh manusia ( II
Kor.5:21). Yesus menanggung hukuman terberat di kayu salib untuk menanggung
79
Dikutip oleh: Josh McDowel, Apolegetika Vol 1: Bukti Yang Meneguhkan Kebenaran
Alkitab, hlm. 154-155
80
Ibid
81
Ibid
dosa seluruh manusia (Ibr.2:9; I Yoh.2:2). Ia mati dan bangkit demi membenarkan
manusia (Roma 4:25). Manusia yang sudah tidak kudus dikuduskan oleh
penebusan Yesus Kristus ( I Kor.1:30 ). Ini adalah kebenaran sejati, kebenaran
pribadi Yesus yang objektif serta berkorespondensi dengan realitas, kebenaran
yang melampaui semua kebenaran.
Para tokoh teologi pluralisme agama selalu mempunyai presuposisi bahwa
semua sejarah di dalam dunia ini adalah penyataan Allah dan kebenaran Allah,
termasuk di dalamnya aspek keselamatan. Dengan pandangan yang seperti ini
mereka menganggap Yesus hanya manusia biasa yang ada dalam sejarah dan tidak
unik. Karena bagi mereka Yesus sama dengan tokoh-tokoh dari pendiri agama
yang lain. Mereka lupa bahwa Yesus Kristus itu adalah Allah Pencipta.
Kebenaran Kristus yang bersifat final adalah suatu realitas total, dalam dan
menyeluruh yang tidak membutuhkan persetujuan manusia dan pembenaran akal
manusia. Kebenaran Kristus merupakan kebenaran universal dan merupakan suatu
keharusan, dan pernyataan Kristus sebagai ”satu-satunya jalan‟ merupakan suatu
hal yang keberadaannya berasal dari Allah sendiri dan oleh kehendak Allah, tanpa
mempertimbangkan pemikiran manusia. Manusia yang sadar akan hal ini
sepenuhnya hanya bisa berkata seperti yang Paulus katakan bahwa, ”Karena kami
tidak dapat berbuat apa-apa melawan kebenaran; yang dapat kami perbuat adalah
untuk kebenaran.” (2 Korintus 13:8).
Jadi finalitas Kristus didasarkan pada otoritas Alkitab. Selain itu, finalitas
Yesus didukung juga oleh rumusan Lausanne tahun 1774 dan lima belas
pengukuhan yang dirangkum dari konperensi bagi penginjil di Amsterdam,
Belanda, tahun 1983.82 Oleh karena itu, konsep pendekatan kaum pluralis ini,
yakni pendekatan teosentris adalah pendekatan yang bersifat kompromistis yang
merusak sendi-sendi kekristenan. Pendekatan ini akan memaksa orang Kristen
untuk menyembunyikan finalitas Yesus dan kemutlakan Alkitab, serta memaksa
orang Kristen untuk mengaku ada keselamatan di luar Yesus.
4.8. Kesimpulan
Kaum Pluralis pada dasarnya menolak Alkitab sebagai wahyu yang final,
oleh sebab itu mereka gagal dalam memahami segala sesuatu di dalamnya.
Puncak kegagalan mereka itu adalah penolakan terhadap finalitas Kristus dan
keselamatan yang ada di dalam Kristus. Kaum Pluralis jelas-jelas tidak mengakui
doktrin-doktrin utama di dalam Alkitab, penolakan itu terutama pada masalah
kesejarahan Yesus. Mereka menolak Yesus yang ada dalam Alkitab, dan berusaha
menggali
ulang
Yesus
yang
sesuai
dengan
pemikiran
mereka
dan
mengembangkan berbagai penafsiran di dalamnya. Mereka mengembangkan
suatu sistem penafsiran yang didasarkan oleh pandangan historis. Sistem
penafsiran
tersebut
menghasilkan
konsep
Kristologi
yang
baru,
yang
penekanannya lebih difokuskan pada kristologi yang fungsional dan mengabaikan
Kristologi yang ontologis. Akibatnya juga berpengaruh terhadap masalah lainnya,
yakni penolakan pada finalitas Yesus berpengaruh terhadap konsep soteriologis
yang benar, dimana mereka menekankan universalitas kasih Allah yang tidak akan
menghukum satu orang manusiapun, bahwa ada keselamatan di dalam tiap-tiap
agama.
82
Billy Graham, Beritakan injil Standar Alkitabiah Bagi Penginjil (terjemahan),
(Yogyakarta: Yayasan Andi, 1992) hlm 134
Download