13 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Deskripsi Teoritik 1. Kinerja

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Deskripsi Teoritik
1. Kinerja Organisasi
a. Pengertian Kinerja
Istilah kinerja merupakan terjemahan dari performance yang sering
diartikan oleh para cendekiawan sebagai penampilan, unjuk kerja, atau
prestasi. (Yeremias T. Keban 2004 : 191).
Menurut Bernardin dan Russel dalam Yeremias T. Keban (2004 :
192) mengartikan kinerja sebagai the record of outcomes produced on a
specified job function or activity during a specified time period. Dalam
definisi ini, aspek yang ditekankan oleh kedua pengarang tersebut adalah
catatan tentang outcome atau hasil akhir yang diperoleh setelah suatu
pekerjaan atau aktivitas dijalankan selama kurun waktu tertentu. Dengan
demikian kinerja hanya mengacu pada serangkaian hasil yang diperoleh
seorang pegawai selama periode tertentu dan tidak termasuk karakteristik
pribadi pegawai yang dinilai.
Sedangkan Suyadi Prawirosentono (1999 : 2) mendefinisikan
kinerja sebagai performance, yaitu hasil kerja yang dapat dicapai oleh
seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan
wewenang dan tanggung jawab masing-masing, dalam rangka upaya
13
14
mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar
hukum dan sesuai dengan moral dan etika.
Definisi kinerja organisasi yang dikemukakan oleh Bastian dalam
Hessel Nogi Tangkilisan (2005 : 175) sebagai gambaran mengenai tingkat
pencapaian pelaksanaan tugas dalam suatu organisasi, dalam mewujudkan
sasaran, tujuan, misi, dan visi organisasi tersebut. Senada dengan pendapat
Bastian dalam Hessel Nogi Tangkilisan tersebut, Encyclopedia of Public
Administration and Public Policy Tahun 2003 dalam Yeremias T. Keban
(2004 : 193) juga menyebutkan kinerja dapat memberikan gambaran
tentang seberapa jauh organisasi mencapai hasil ketika dibandingkan
dengan pencapaian tujuan dan target yang telah ditetapkan.
Dari beberapa definisi di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan
bahwa kinerja merupakan suatu capaian atau hasil kerja dalam kegiatan
atau aktivitas atau program yang telah direncanakan sebelumnya guna
mencapai tujuan serta sasaran yang telah ditetapkan oleh suatu organisasi
dan dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu.
b. Faktor yang Mempengaruhi Kinerja
Kinerja merupakan suatu capaian atau hasil kerja dalam kegiatan
atau aktivitas atau program yang telah direncanakan sebelumnya guna
mencapai tujuan serta sasaran yang telah ditetapkan oleh suatu organisasi
dan dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu yang dipengaruhi oleh
beberapa faktor.
15
Yeremias T. Keban (2004 : 203) untuk melakukan kajian secara
lebih mendalam tentang faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas
penilaian kinerja di Indonesia, maka perlu melihat beberapa faktor penting
sebagai berikut.
1) Kejelasan tuntutan hukum atau peraturan perundangan untuk
melakukan penilaian secara benar dan tepat. Dalam
kenyataannya, orang menilai secara subyektif dan penuh
dengan bias tetapi tidak ada suatu aturan hukum yang mengatur
atau mengendaikan perbuatan tersebut.
2) Manajemen sumber daya manusia yang berlaku memiliki
fungsi dan proses yang sangat menentukan efektivitas penilaian
kinerja. Aturan main menyangkut siapa yang harus menilai,
kapan menilai, kriteria apa yang digunakan dalam sistem
penilaian kinerja sebenarnya diatur dalam manajemen sumber
daya manusia tersebut. Dengan demikian manajemen sumber
daya manusia juga merupakan kunci utama keberhasilan sistem
penilaian kinerja.
3) Kesesuaian antara paradigma yang dianut oleh manajemen
suatu organisasi dengan tujuan penilaian kinerja. Apabila
paradigma yang dianut masih berorientasi pada manajemen
klasik, maka penilaian selalu bisa kepada pengukuran tabiat
atau karakter pihak yang dinilai, sehingga prestasi yang
seharusnya menjadi fokus utama kurang diperhatikan.
4) Komitmen para pemimpin atau manajer organisasi publik
terhadap pentingnya penilaian suatu kinerja. Bila mereka selalu
memberikan komitmen yang tinggi terhadap efektivitas
penilaian kinerja, maka para penilai yang ada dibawah
otoritasnya akan selalu berusaha melakukakan penilaian secara
tepat dan benar.
c. Penilaian Kinerja
Larry D. Stout dalam Hessel Nogi Tangkilisan (2005 : 174)
mengemukakan bahwa pengukuran atau penilaian kinerja organisasi
merupakan proses mencatat dan mengukur pencapaian pelaksanaan
kegiatan dalam arah pencapaian misi (mission accomplishment) melalui
hasil yang ditampilkan berupa produk, jasa ataupun suatu proses.
16
Berbeda dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Bastian dalam
Hessel Nogi Tangkilisan (2005 : 173) bahwa pengukuran dan pemanfaatan
penilaian kinerja akan mendorong pencapaian tujuan organisasi dan akan
memberikan umpan balik untuk upaya perbaikan secara terus menerus.
Secara rinci, Bastian mengemukakan peranan penilaian pengukuran
kinerja organisasi sebagai berikut.
1) Memastikan pemahaman para pelaksana dan ukuran yang
digunakan untuk pencapaian prestasi.
2) Memastikan tercapaianya skema prestasi yang disepakati.
3) Memonitor dan mengevaluasi kinerja dengan perbandingan
antara skema kerja dan pelaksanaanya.
4) Memberikan penghargaan maupun hukuman yang objektif atas
prestasi pelaksanaan yang telah diukur, sesuai dengan sistem
pengukuran yang telah disepakati.
5) Menjadikanya sebagai alat komunikasi antara bawahan dan
pimpinan dalam upaya memperbaiki kinerja organisasi.
6) Mengidentifikasi apakah kepuasan pelanggan sudah terpenuhi.
7) Membantu proses kegiatan organisasi.
8) Memastikan bahwa pengambilan keputusan telah dilakukan
secara objektif.
9) Menunjukkan peningkatan yang perlu dilakukan.
10) Mengungkapkan permasalahan yang terjadi.
Begitu pentingnya penilaian kinerja bagi
keberlangsungan
organisasi dalam mencapai tujuan, maka perlu adanya indikator-indikator
pengukuran kinerja yang dipakai secara tepat dalam organisasi tertentu.
Menurut Agus Dwiyanto (2006 : 49 ) penilaian kinerja birokrasi publik
tidak cukup dilakukan dengan menggunakan indikator yang melekat pada
birokrasi itu, seperti efisiensi dan efektivitas, tetapi juga harus dilihat dari
indikator-indikator yang melekat pada pengguna jasa, seperti kepuasan
pengguna jasa, akuntabilitas dan responsivitas. Penilaian kinerja dari sisi
pengguna jasa menjadi sangat penting karena birokrasi publik juga muncul
17
karena tujuan dan misi birokrasi publik seringkali bukan hanya memiliki
stakeholder yang banyak dan memiliki kepentingan yang sering
berbenturan satu sama lainya menyebabkan birokrasi publik mengalami
kesulitan untuk merumuskan misi yang jelas. Akibatnya, ukuran kinerja
organisasi publik di mata para stakeholder juga berbeda-beda.
d. Indikator Kinerja
McDonald dan Lawton dalam Ratminto dan Atik Septi Winarsih
(2005 : 174) mengemukakan indikator kinerja antara lain : output oriented
measures throughput, efficiency, effectiveness. Selanjutnya indikator
tersebut dijelaskan sebagai berikut.
1) Efficiency atau efisiensi adalah suatu keadaan yang
menunjukkan tercapainya perbandingan terbaik antara masukan
dan keluaran dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
2) Effectiveness atau efektivitas adalah tercapainya tujuan yang
telah ditetapkan, baik dalam bentuk target, sasaran jangka
panjang maupun misi organisasi.
Zeithaml, Parasuraman dan Berry dalam Ratminto dan Atik Septi
Winarsih (2005 : 175) menjelaskan tentang indikator yang digunakan
untuk menilai kinerja organisasi, yang terdiri atas beberapa faktor berikut.
1) Tangibles atau ketampakan fisik, artinya ketampakan fisik dari
gedung, peralatan, pegawai, dan fasilitas-fasilitas lain yang
dimiliki oleh providers.
2) Reliability atau reabilitas adalah kemampuan untuk
menyelenggarakan pelayanan yang dijanjikan secara akurat.
3) Responsiveness atau responsivitas adalah kerelaan untuk
menolong customers dan menyelenggarakan pelayanan secara
ikhlas.
4) Assurance atau kepastian adalah pengetahuan dan kesopanan
para pekerja dan kemampuan mereka dalam memberikan
kepercayaan kepada customers.
5) Emphaty adalah perlakuan atau perhatian pribadi yang
diberikan oleh providers kepada customers.
18
Agus Dwiyanto (2006 : 50) mengukur kinerja birokrasi publik
berdasar adanya indikator yang secara lebih lanjut dijelaskan sebagai
berikut.
1) Produktivitas
Konsep produktivitas tidak hanya mengukur tingkat efisiensi,
tetapi juga efektivitas pelayanan. Produktivitas pada umumnya
dipahami sebagai rasio antara input dengan output. Konsep
produktivitas dirasa terlalu sempit dan kemudian General
Accounting Office (GAO) mencoba mengembangkan satu
ukuran produktivitas yang lebih luas dengan memasukkan
seberapa besar pelayanan publik itu memiliki hasil yang
diharapkan sebagai salah satu indikator kinerja yang penting.
2) Kualitas Layanan
Isu mengenai kualitas layanan cenderung semakin menjadi
penting dalam menjelaskan kinerja organisasi pelayanan
publik. Banyak pandangan negatif yang terbentuk mengenai
organisasi publik muncul karena ketidakpuasan masyarakat
terhadap kualitas layanan yang diterima dari organisasi publik.
3) Responsivitas
Responsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali
kebutuhan masyarakat, menyusun agenda, dan prioritas
pelayanan, mengembangkan program-program pelayanan
publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
Secara singkat responsivitas disini menunjuk pada keselarasan
antara program dan kegiatan pelayanan dengan kebutuhan dan
aspirasi masyarakat. Responsivitas dimasukkan sebagai salah
satu indikator kinerja karena responsivitas secara langsung
menggambarkan kemampuan organisasi publik dalam
menjalankan misi dan tujuannya, terutama untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat. Responsivitas yang rendah ditunjukkan
dengan ketidakselarasan antara pelayanan dengan kebutuhan
masyarakat. Hal tersebut jelas menunjukkan kegagalan
organisasi dalam mewujudkan misi dan tujuan organisasi
publik. Organisasi yang memiliki responsivitas rendah dengan
sendirinya memiliki kinerja yang jelek pula.
4) Responsibilitas
Responsibilitas menjelaskan apakah pelaksanaan kegiatan
organisasi publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip
administrasi yang benar atau sesuai dengan kebijakan
organisasi, baik yang eksplisit maupun implisit.
19
5) Akuntabilitas
Akuntabilitas publik menunjuk pada seberapa besar kebijakan
dan kegiatan organisasi publik tunduk pada para pejabat publik
yang dipilih oleh rakyat. Asumsinya adalah bahwa para pejabat
politik tersebut karena dipilih oleh rakyat, dengan sendirinya
akan selalu merepresentasikan kepentingan rakyat. Dalam
konteks ini, konsep dasar akuntabilitas publik dapat digunakan
untuk melihat seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi
publik itu konsisten dengan kehendak masyarakat banyak.
Kinerja organisasi publik tidak hanya bisa dilihat dari ukuran
internal yang dikembangkan oleh organisasi publik atau
pemerintah, seperti pencapaian target. Kinerja sebaiknya harus
dinilai dari ukuran eksternal, seperti nilai-nilai dan norma yang
berlaku dalam masyarakat. Suatu kegiatan organisasi publik
memiliki akuntabilitas yang tinggi kalau kegiatan itu dianggap
benar dan sesuai dengan nilai dan norma yang berkembang
dalam masyarakat.
Dari berbagai macam indikator pengukuran kinerja yang
diungkapkan oleh para pakar di atas, peneliti memilih untuk menggunakan
indikator pengukuran kinerja yang dikemukakan oleh Agus Dwiyanto
(2006). Penulis memilih menggunakan teori tentang pengukuran kinerja
yang dikemukakan oleh Agus Dwiyanto (2006) tersebut karena dipandang
sesuai, lebih tepat, dan lebih mampu mengukur kinerja Balai Besar POM
Yogyakarta dalam pengawasan produk obat dan makanan yang
mengandung
zat
berbahaya.
Indikator
pengukuran
kinerja
yang
dikemukakan oleh Agus Dwiyanto (2006 : 50) meliputi lima indikator,
yaitu produktivitas, kualitas layanan, responsivitas, responsibilitas dan
akuntabilitas.
Dari kelima indikator, peneliti memilih untuk menggunakan tiga
indikator yaitu produktivitas, responsivitas, dan responsibilitas. Ketiga
indikator ini dipilih dengan alasan bahwa indikator-indikator ini telah
20
dapat mewakili dari beberapa indikator yang banyak digunakan untuk
menilai kinerja suatu organisasi publik dari dalam dan luar organisasi.
Menurut Agus Dwiyanto (2006 : 50) konsep produktivitas tidak
hanya mengukur tingkat efisiensi tetapi juga efektivitas pelayanan.
Dengan demikian, produktivitas dapat digunakan untuk mengukur kinerja
dari dalam organisasi. Dalam hal pengawasan produk obat dan makanan
yang mengandung zat berbahaya, produktivitas Balai Besar POM
Yogyakarta dapat dilihat dari target dan hasil capaian pengawasan produk
obat dan makanan yang mengandung zat berbahaya dalam kurun waktu
tertentu yang sesuai dengan tugas pokok dan fungsi Balai Besar POM
Yogyakarta.
Responsivitas merupakan indikator kinerja yang berorientasi pada
proses. Responsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali
kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan,
mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan
kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Secara singkat responsivitas disini
menunjuk pada keselarasan antara program dan kegiatan pelayanan
dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Responsivitas dimasukkan
sebagai salah satu indikator kinerja karena responsivitas secara langsung
menggambarkan kemampuan organisasi publik dalam menjalankan misi
dan tujuannya, terutama untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Responsivitas sangat diperlukan dalam pengawasan produk obat
dan makanan yang mengandung zat berbahaya, karena responsivitas
21
merupakan bukti kemampuan Balai Besar POM Yogyakarta untuk
mengenali kebutuhan, keluhan, dan pengaduan dari masyarakat terkait
masalah peredaraan produk obat dan makanan yang mengandung zat
berbahaya, menindaklanjuti pengaduan masyarakat serta menyusun
agenda prioritas pengawasan sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan
masyarakat.
Mengenai
responsibilitas,
Agus
Dwiyanto
(2006
:
57)
mengemukakan bahwa responsibilitas menjelaskan apakah pelaksanaan
kegiatan organisasi publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip
administrasi yang benar atau sesuai dengan kebijakan organisasi, baik
yang eksplisit maupun implisit.
Responsibilitas sangat diperlukan dalam pengawasan produk obat
dan makanan yang mengandung zat berbahaya, karena responsibilitas
dapat melihat kesesuaian kegiatan-kegiatan pengawasan Balai Besar POM
Yogyakarta dengan prinsip-prinsip administrasi, kebijakan organisasi,
tugas pokok dan fungsi Balai Besar POM Yogyakarta itu sendiri.
2. Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM)
a. Pengertian, Tugas, Fungsi, dan Wewenang Badan Pengawasan Obat
dan Makanan (BPOM)
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dibentuk sesuai
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 103 Tahun 2001. Badan
Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) merupakan Lembaga Pemerintah
Non Departemen (LPND). LPND merupakan lembaga pemerintah pusat
22
yang dibentuk untuk melaksanakan tugas pemerintah tertentu dari presiden
serta bertanggung jawab langsung kepada presiden.
Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 103
Tahun 2001 Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan
Organisasi, Dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen.
BPOM melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan
makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Dalam melaksanakan tugasnya, BPOM menyelenggarakan fungsi
sebagai berikut.
1) Pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang pengawasan
obat dan makanan.
2) Pelaksanaaan kebijakan tertentu di bidang pengawasan obat dan
makanan.
3) Koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas BPOM.
4) Pemantauan, pemberian bimbingan, dan pembinaan terhadap kegiatan
instansi pemerintah di bidang pengawasan obat dan makanan.
5) Penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan administrasi umum di
bidang perencanaan umum, ketatausahaan, organisasi dan tata laksana,
kepegawaian, keuangan, kearsipan, persandian, perlengkapan, dan
rumah tangga.
Dalam menyelenggarakan fungsinya, Badan Pengawasan Obat dan
Makanan (BPOM) mempunyai kewenangan sebagai berikut.
23
1) Penyusunan rencana nasional secara makro di bidang pengawasan obat
dan makanan.
2) Perumusan kebijakan di bidang pengawasan obat dan makanan untuk
mendukung pembangunan secara makro.
3) Penetapan sistem informasi di bidang pengawasan obat dan makanan.
4) Penetapan persyaratan penggunaan bahan tambahan (zat aditif)
tertentu untuk makanan dan penetapan pedoman pengawasan
peredaran obat dan makanan.
5) Pemberian ijin dan pengawasan peredaran obat serta pengawasan
industri farmasi.
6) Penetapan pedoman penggunaan, konservasi, pengernbangan, dan
pengawasan tanaman obat.
b. Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan
Balai
Besar
Pengawas
Obat
dan
Makanan
merupakan
“perpanjangan tangan” dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)
yang terletak di Ibu Kota Provinsi di seluruh Indonesia. Sesuai dengan
keputusan
Kepala
Badan
Pengawas
Obat
dan
Makanan
No.
05018/SK/KBPOM Tahun 2001 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Unit
Pelaksana Teknis Di Lingkungan BPOM, maka Balai Besar Pengawas
Obat dan Makanan terdiri dari bidang-bidang sebagai berikut.
1) Bidang pengujian terapetik, narkotika, obat tradisional, dan produk
komplemen yang mempunyai tugas melaksanakan penyusunan rencana
dan program serta evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan
24
pemeriksaan secara laboratorium, pengujian dan penilaian mutu bidang
di bidang produk terapetik, narkotika, obat tradisional, kosmetika dan
produk komplemen.
2) Bidang pengujian pangan dan bahan berbahaya yang mempunyai tugas
melaksanakan penyusunan rencana dan program serta evaluasi dan
penyusunan laporan pelaksanaan pemeriksaan secara laboratorium,
pengujian, dan penilaian mutu di bidang pangan dan bahan berbahaya.
3) Bidang pengujian mikrobiologi yang mempunyai tugas melaksanakan
penyusunan rencana dan program serta evaluasi dan penyusunan
laporan pelaksanaan pemeriksaan secara laboratorium, pengujian dan
penilaian mutu secara mikrobiologi.
4) Bidang pemeriksaan
dan penyidikan
yang mempunyai tugas
melaksanakan penyusunan rencana dan program kerja serta evaluasi
dan
penyusunan
laporan
pelaksanaan
pemeriksaan
setempat,
pengambilan contoh untuk pengujian dan pemeriksaan sarana
produksi, distribusi, dan instansi kesehatan serta penyidikan kasus
pelanggaran hukum di bidang produk terapetik, narkotika, psikotropika
dan zat adiktif lain, obat tradisional, kometika, produk komplemen,
pangan dan bahan berbahaya. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud di atas maka bidang pemeriksaan dan penyidikan
menyelenggarakan fungsi sebagai berikut.
a) Penyusunan rencana dan program pemeriksaan dan penyidikan
obat dan makanan.
25
b) Pelaksanaan pemeriksaan setempat, pengambilan contoh dan
pemeriksaan sarana produksi, distribusi, instansi kesehatan di
bidang terapetik, narkotika, psikotropika dan zat adiktif lain, obat
tradisional, kosmetika, dan produk komplemen.
c) Melaksanakan pemeriksaan setempat, pengambilan contoh dan
pemeriksaan sarana distribusi di bidang pangan dan bahan
berbahaya.
d) Pelaksanaan penyidikan terhadap kasus pelanggaran hukum.
e) Evaluasi dan penyusunan laporan pemeriksaan dan penyidikan
obat dan makanan.
5) Bidang
sertifikasi
dan
layanan
konsumen
mempunyai
tugas
melaksanakan penyusunan rencana dan program serta evaluasi dan
penyusunan laporan sertifikasi produk, sarana produksi dan distribusi
tertentu, dan layanan konsumen.
B. Penelitian yang Relevan
Penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini yaitu pada skripsi
Astried Djafar pada tahun 2009 yang berjudul "Peranan Balai Besar Pengawas
Obat Dan Makanan Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Bagi Konsumen
Akibat Peredaran Produk Makanan Yang Tidak Memenuhi Standarisasi Mutu
(Studi Di Balai Besar Pengawas Obat Dan Makanan Surabaya)". Hasil penelitian
yang didapat tahap pengawasan yang dilakukan oleh Balai Besar POM Surabaya
26
yaitu terhadap produk makanan sebelum dipasarkan atau setelah produk beredar
di masyarakat.
Berdasarkan hasil penelitian, penegakan hukum Balai Besar POM
Surabaya belum dilaksanakan secara optimal karena masih banyak kendala yang
dihadapi, Balai Besar POM Surabaya juga didukung dengan kelengkapan
peraturan dan kualitas pegawai, memiliki Unit Layanan Pengaduan Konsumen
(ULPK) dan kerja sama dengan pihak lain. Upaya mengatasi kendala yang ada
dengan menambah sumber daya manusia, penyebaran informasi kepada
masyarakat tentang produk makanan yang tidak memenuhi standar mutu,
meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum.
Persamaan penelitian milik Astried Djafar dengan penelitian yang akan
peneliti lakukan adalah mengkaji tentang pengawasan Balai Besar Pengawas Obat
dan Makanan (BBPOM). Metode yang digunakan dalam penelitian sama-sama
menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif berdasarkan teknik pengumpulan
data melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi.
Perbedaan penelitian milik Astried Djafar dengan penelitian yang akan
peneliti lakukan adalah terletak pada lokasi dan bidang kajiannya. Lokasi dalam
penelitian milik Astried Djafar adalah di Balai Besar POM Surabaya. Sedangkan
penelitian yang akan dilakukan peneliti berada di Balai Besar POM Yogyakarta.
Perbedaan yang lain adalah dilihat dari bidang kajiannya, jika penelitian milik
Astried Djafar melihat peranan dari Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan
dalam memberikan perlindungan hukum bagi konsumen akibat peredaran produk
makanan yang tidak memenuhi standarisasi mutu. Sedangkan peneliti akan
27
meneliti tentang kinerja Balai Besar POM Yogyakarta dalam pengawasan produk
obat dan makanan yang mengandung zat berbahaya dan faktor yang menghambat
kinerja Balai Besar POM Yogyakarta dalam pengawasan produk obat dan
makanan yang mengandung zat berbahaya.
C. Kerangka Berfikir
Laju pertumbuhan perusahaan obat dan makanan di Indonesia ternyata
telah mendorong maraknya produk obat dan makanan yang mengandung zat
berbahaya beredar di wialayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Produk obat dan
makanan yang sering dikonsumsi oleh masyarakat setiap harinya tanpa disadari
bahwa produk obat dan makanan tersebut dapat mengandung zat berbahaya.
Produk obat yang mengandung zat berbahaya masih dijual bebas di
pasaran seperti di toko obat, pasar, maupun swalayan membuat masyarakat resah.
Keresahan masyarakat tersebut disebabkan oleh khasiat dan kemurnian obat
seringkali disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Selain
itu, produk makanan seperti yang terdapat pada jajanan sekolah, makanan olahan,
dan makanan kemasan yang berada di pasar dan toko-toko tradisional tanpa kita
sadari makanan tersebut dapat mengandung zat berbahaya. Sama halnya dengan
produk makanan yang berada di toko-toko modern atau swalayan yang sering kali
kita anggap bersih dalam hal penyediaan produk makanan pun tidak luput dari
ancaman bahan dan zat tambahan berbahaya
Untuk melakukan pengawasan terhadap produk obat dan makanan di
masyarakat, pemerintah melalui Keputusan Presiden Nomor 103 tahun 2001
28
Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, Dan Tata
Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen membentuk Badan Pengawas Obat
dan Makanan (BPOM). Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)
melaksanakan tugas di bidang pengawasan obat dan makanan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. sedangkan Balai Besar
POM Yogyakarta merupakan “perpanjangan tangan” Badan Pengawas Obat dan
Makanan (BPOM) yang terletak di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Penilaian kinerja merupakan suatu kegiatan yang sangat penting karena
dapat digunakan sebagai ukuran keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai
tujuan serta visi dan misinya. Dengan melakukan penilaian terhadap kinerja, maka
upaya untuk memperbaiki kinerja bisa dilakukan secara terarah dan sistematis
sehingga organisasi tersebut bisa berjalan secara efektif, efisien, dan responsif
dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Selain itu penilaian kinerja
juga dapat digunakan untuk mengetahui seberapa jauh pelayanan yang diberikan
oleh organisasi dalam memenuhi harapan dan memuaskan masyarakat.
Penilaian kinerja Balai Besar POM Yogyakarta dalam pengawasan produk
obat dan makanan yang mengandung zat berbahaya menggunakan beberapa
indikator diantaranya adalah produktivitas, responsivitas, dan responsibilitas.
Indikator-indikator ini dipilih karena dari ketiga indikator tersebut dinilai oleh
peneliti sebagai indikator yang paling sesuai dan dapat berfungsi sebagai tolak
ukur untuk menilai kinerja Balai Besar POM Yogyakarta dalam pengawasan
produk obat dan makanan yang mengandung zat berbahaya. Melalui pengukuran
kinerja dengan menggunakan indikator-indikator tersebut dapat kita ketahui
29
apakah kinerja Balai Besar POM Yogyakarta sudah maksimal atau belum.
Dengan adanya kinerja yang maksimal dari Balai Besar POM Yogyakarta dalam
pengawasan produk obat dan makanan yang mengandung zat berbahaya, maka
diharapkan terjaminnya keamanan produk obat dan makanan yang beredar di
masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta.
30
Gambar 1. Kerangka Berpikir
Maraknya produk obat dan makanan yang
mengandung zat berbahaya beredar di wilayah
Daerah Istimewa Yogyakarta
Pengawasaan Balai Besar POM Yogyakarta terhadap
produk obat dan makanan yang mengandung zat
berbahaya
Kinerja pengawasan Balai
Faktor yang menghambat
Besar POM Yogyakarta :
kinerja Balai Besar POM
1. Produktivitas
Yogyakarta
2. Responsivitas
3. Responsibilitas
Terjaminnya keamanan produk obat dan makanan
yang beredar di masyarakat Daerah Istimewa
Yogyakarta
31
D. Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana kinerja Balai Besar POM Yogyakarta dalam pengawasan produk
obat dan makanan yang mengandung zat berbahaya apabila ditinjau dari aspek
produktivitas ?
2. Bagaimana kinerja Balai Besar POM Yogyakarta dalam pengawasan produk
obat dan makanan yang mengandung zat berbahaya apabila ditinjau dari aspek
responsivitas ?
3. Bagaimana kinerja Balai Besar POM Yogyakarta dalam pengawasan produk
obat dan makanan yang mengandung zat berbahaya apabila ditinjau dari aspek
responsibilitas ?
4. Apa faktor-faktor yang menghambat kinerja Balai Besar POM Yogyakarta
dalam pengawasan produk obat dan makanan yang mengandung zat
berbahaya?
Download