BAB 8 PENUTUP 8.1 KESIMPULAN Interaksi aktor

advertisement
BAB 8
PENUTUP
8.1 KESIMPULAN
Interaksi aktor menghasilkan anggaran pendidikan tahun 2008-2012 yang
kurang berpihak pada masyarakat miskin karena dominasi pemerintah daerah
sebagai agent dalam mempengaruhi anggaran memunculkan masalah keagenan
dalam interaksi sehingga menciptakan pelanggaran kontrak dimana jaminan
pendidikan masyarakat miskin tidak terpenuhi. Masyarakat khususnya kelompok
miskin sebagai principal telah terdiskriminasi pada tahap usulan kebijakan,
Sementara pergeseran peran principal dari masyarakat kepada DPRD pada tahap
penyusunan dan pembahasan anggaran tidak berjalan efektif. DPRD justru
terjebak dalam masalah keagenan dengan lebih mengutamakan kepentingan diri
sendiri karena DPRD lemah dalam menjalankan fungsinya.
Dinamika penganggaran pendidikan pro kaum miskin nampak dari
perbedaan model interaksi di setiap tahapan yang tidak menghasilkan kebijakan
anggaran pendidikan berpihak pada masyarakat miskin seperti berikut:
1. Tahap usulan kegiatan
Pada tahap ini keputusan didominasi oleh pemerintah daerah (agent) yang
disebut tipe interaksi nondecision making. Masyarakat khususnya masyarakat
miskin (principal) memiliki posisi lemah karena terdiskriminasi sehingga
proses ini kurang memprioritaskan usulan beasiswa untuk siswa miskin.
Tindakan tersebut ditimbulkan oleh masalah keagenan yaitu adanya perilaku
pemerintah daerah dan DPRD (agent) untuk mementingkan diri sendiri,
164
terdapat informasi asimetris antara principal dan agent, serta adanya monopoli
informasi maupun data oleh agent.
2. Tahap penyusunan anggaran
Pada tahap ini pemerintah daerah paling kuat mempengaruhi kebijakan
anggaran yang disebut tipe interaksi nondecision making. Pemerintah daerah
sebagai agent telah memperlemah kekuatan DPRD sebagai principal sehingga
tidak cukup mampu mempengaruhi kebijakan anggaran pendidikan. Ruang
gerak DPRD untuk melakukan pencermatan terbatas pada pembahasan KUA
dan PPAS dan tidak dilibatkan dalam penyusunan RKA SKPD. Oleh karena
itu mudahnya kepentingan pemerintah daerah terakomodir termasuk
menurunan skala prioritas pendidikan dari tahun 2008-2012. Hal ini
berdampak pada besaran anggaran belanja langsung pendidikan dan anggaran
yang berpihak masyarakat miskin dari musrenbang mengalami pemangkasan
signifikan di PPAS. Tindakan pemerintah daerah tersebut telah melanggar
kontrak dikarenakan masalah keagenan seperti perilaku lebih mementingkan
diri sendiri, adanya rasionalitas terbatas dan adanya upaya menghindari resiko,
adanya informasi asimetris antara principal dan agent, serta adanya monopoli
informasi maupun data oleh agent.
3. Tahap pembahasan dan penetapan APBD
Pada tahap ini tercipta interaksi anticipated reaction yang ditandai dengan
pemerintah daerah berusaha mengakomodir kepentingan politik DPRD
supaya
melonggarkan
kepentingannya.
Pemerintah
daerah
memiliki
kepetingan untuk mengurangi anggaran jaminan pendidikan (JPPD). Namun
165
ironinya, lemahnya pelaksanaan fungsi DPRD menyebabkan
mereka
terjebak dalam masalah keagenan bersama dengan pemerintah daerah.
Perilaku menyimpang DPRD ini muncul sebagai akibat dari kegagalan dalam
proses penyerahan otoritas dari masyarakat ke DPRD. Masalah keagenan
yang muncul seperti perilaku yang lebih mengedepankan kepentingan diri
sendiri, adanya informasi asimetris antara principal dan agent, adanya
konflik tujuan dan adanya monopoli informasi oleh agent.
Secara keseluruhan dapat dikemukakan sebuah argument bahwa dominasi
satu kekuatan aktor yaitu pemerintah daerah sebagai agent cenderung tidak
menghasilkan kebijakan yang berpihak pada principal karena masalah keagenan
selalu muncul dalam interaksi principal-agent sehingga menciptakan pelanggaran
kontrak. Temuan penelitian ini memperkuat argument dari Colombatto (2001)1,
adanya keunggulan kekukuasaan (kekuatan untuk mempengaruhi keputusan) di
salah satu pihak akan menimbulkan pelanggaran atas kontrak yaitu tidak
terpenuhinya layanan terhadap principal.
Anggaran pendidikan dari alokasi belanja langsung maupun alokasi yang
berpihak pada masyarakat miskin pada setiap tahapan formulasi cenderung
dikurangi. Hal ini juga membuktikan pendapat Gupta (2002) 2 bahwa belanja
pendidikan bukan area yang memberi peluang untuk korupsi sehingga anggaran
pendidikan akan diperkecil.
1
Colombatto, Enrico. 2001. Discretionary power, rent-seeking and corruption. University di
Torino & ICER, working paper. Hal 21.
2
Gupta, Sanjeev, Hamid Davoodi, & Erwin R. Tiongson. 2002. Corruption and the provision of
health care and education services, dalam Abed, George T. & Sanjeev Gupta (eds.). 2002.
Governance, Corruption, & Economic Performance. Washington, D.C.: International Monetary
Fund
166
8.2 SARAN
Penyebab utama (root causes) dalam interaksi aktor tidak berpihak pada
masyarakat miskin yaitu adanya masalah keagenan. Berdasarkan penyebab utama
(root causes) tersebut, dapat dikemukakan beberapa saran yaitu:
(1) Minimalisir masalah keagenan dari aspek perilaku yaitu:
-
Penerapan kontrol yang efektif dengan menciptakan sistem pengendalian
masyarakat (lihat gambar 8.1), sehingga fungsi pengawasan akan semakin
meningkat.
Gambar 8.1 . Sistem Pengendalian oleh Masyarakat.
Meningkatkan keterlibatan masyarakat dan
Melibatkan masyarakat miskin dalam
musrenbang
Usulan Kegiatan
Mengupayakan forum SKPD terbuka untuk
masyarakat
Mengupayakan institusionalisasi keterlibatan
masyarakat terutama masyarakat miskin dalam
proses penyusunan KUA dan PPAS, serta
penyusuan RKA SKPD. Dari sisi peraturan
perundangan sangat memungkinkan
dilakukan.
Penyusunan
anggaran
proses
Mengupayakan ada feed back kepada
masyarakat tentang nasib usulan
Ada MOU antara masyarakat dengan DPRD
dengan sisi rapat-rapat dalam pembahasa
RAPBD bersifat terbuka.
NGO dan media melakukan analisis APBD
dan mempubikasikannya.
Pembahasan dan
Penetapan
anggaran
Sumber: hasil analisis
167
-
Pemberian insentif berupa penghargaan misalnya pro-poor award yang dapat
diselenggarakan oleh instansi yang lebih tinggi seperti pemrintah provinsi dan
pemerintah pusat ataupun diselenggarakan oleh lembaga di luar pemerintahan
seperti LSM atau universitas .
(2) Meminimalisir masalah keagenan dari aspek organisasi yaitu:
-
Perlu adanya reformasi kelembagaan dengan meningkatkan transparansi
proses penganggaran melalui penyebarluasan informasi keuangan daerah dan
regulasinya. LSM memiliki peran penting untuk memberikan tekanan
eksternal dengan melakukan publikasi analitis.
-
Peningkatan kapasitas DPRD terkait perencanaan dan penganggaran daerah
dan penguatan masyarakat dalam advokasi anggaran.
(3) Meminimalisir masalah keagenan dari aspek informasi yaitu
-
Perlu informasi berbasis data usulan masyarakat dari hasil musrenbang desa.
Kepala desa dapat menyiapkan data penduduk usia sekolah yang memiliki
kartu keluarga miskin dan siswa dari keluarga rentan miskin di wilayahnya.
8.3 IMPLIKASI TEORI
Penelitian ini bertujuan untuk menverifikasi teori pencipal-agent pada
interaksi aktor di formulasi anggaran pendidikan kabupaten sleman. Hasil temuan
penelitian ini telah membuktikan adanya masalah keagenan yang mengakibatkan
terjadinya dominasi dari kelompok terkuat (agen) dalam mempengaruhi kebijakan
anggaran
pendidikan.
Berdasarkan
hasil
temuan
penelitian
ini,
maka
penganggaran dalam perspektif interaksi dapat dinyatakan sebagai pencerminan
168
kekuatan aktor untuk mempengaruhi keputusan yang dihasilkan daripada proses
tawar menawar (bargaining) kepentingan berbagai aktor.
Hasil penelitian juga memunculkan beberapa varian baru pada asumsi
teori prinsipal agen. Pertama, teori principal-agent menjelaskan informasi
bernilai materi, tetapi dalam formulasi anggaran pendidikan ini informasi bernilai
politis. Informasi bisa menjadi sumber kekuasaan aktor sehingga cenderung
dimonopoli. Kedua, terjadinya pergeseran peran principal dari masyarakat ke
DPRD tidak berjalan efektif. Sehingga DPRD sebagai principal telah terjebak
dalam masalah keagenan. Hal ini dikarenakan adanya perangkapan peran DPRD
dalam tahapan formulasi anggaran menjadi sebuah dilematis.
Munculnya berbagai varian baru tersebut disebabkan karena adanya
kharakteristik penganggaran publik yang berlangsung dalam organisasi publik
lebih kompleks dibandingkan dengan organisasi swasta. Teori principal-agent
menjelaskan
dinamika
perilaku
individu
dalam
organisasi
akan
tetapi
mengabaikan sedikit baik dari komplekitas organisasi. Ringkasnya, meskipun
teori principal-agent populer ternyata memiliki keterbatasan.. Prinsip satu
prinsipal dan satu agen ternyata tidak dapat diterapkan dalam organisasi publik.
169
Download