Surat Kabar Harian “KEDAULATAN RAKYAT”, terbit di Yogyakarta, Edisi: 9 Oktober 1993 ____________________________________________________________________ 'LINK AND MATCH' DALAM KONSEP SDM Oleh : Ki Supriyoko Seorang peserta seminar bertanya kepada pemakalah mengenai negara mana yang akan menjadi macan kelima di Asia, "Apakah Indonesia akan sanggup menjadi macan yang kelima?". Seperti kita ketahui bahwa sekarang ini telah muncul empat negara industri yang baru, Newly Industrial Countries (NIC), di benua Asia. Adapun keempat negara ini, Singapore, Hongkong, Taiwan, serta Korea (Selatan), dalam terminologi ekonomik dikenal dengan sebutan empat macan (the four tigers) atau ada yang menyebutnya empat naga kecil (the four little dragons) di Asia. Mengenai kemungkinan Indonesia menjadi macan ke-lima maka secara diplomatis pemakalah menjawab bahwa itu semua sangat tergantung pada efektivitas pendidikan da-lam meningkatkan sumber daya manusia (SDM) Indonesia. Memang demikianlah adanya! Di dalam era industri-alisasi sekarang ini keunggulan komparatif (comparative advantage) yang dimiliki bangsa Indonesia tak lagi dapat diandalkan untuk mengantisipasi perubahan alam dan jaman tanpa dibersamai dengan peningkatan kualitas SDM untuk meningkatkan keunggulan kompetitif (competitive advanta-ge) secara memadai. Konkritnya: apabila pendidikan mampu meningkatkan kualitas SDM sehingga kita memiliki keunggulan kompeti-tif secara memadai maka besar kemungkinan predikat macankelima tersebut akan diraih oleh negara kita, sebaliknya apabila pendidikan tidak mampu meningkatkan kualitas SDM sehinggga kita tidak memiliki keunggulan kompetitif yang memadai maka predikat macan kelima tersebut sudah pasti tidak dapat diraih oleh negara kita. Empat Kompetensi Permasalahan peningkatan kualitas SDM kini memang sedang gencar-gencarnya digalakkan dan pendidikan secara langsung maupun tidak langsung terakui sebagai media dan metode strategis untuk mencapainya. Itu berarti bahwa a-pabila sampai kebijakan-kebijakan pendidikan tidak mampu mengakomodasi setiap potensi yang ada pada bangsa kita, niscaya akan gagallah pendidikan menjalankan fungsi dan misinya untuk meningkatkan kualitas SDM Indonesia. Untuk mencapai peningkatan kualitas SDM Indonesia maka Depdikbud saat ini 2 mengembangkan semacam resep atau formula, yaitu setiap peserta didik yang akan ditingkatkan dan meningkatkan (objek dan subjek) kualitasnya hen-daknya dapat mengembangkan empat kompetensi sekaligus; yaitu kompetensi profesional, kompetensi adaptif, kompe-tensi kecendekiaan dan kompetensi nilai. Kompetensi akademik menunjuk pada kemampuan untuk mengembangkan keahlian dalam bidang tertentu yang diser-tai dengan pengetahuan dan sikap yang relevan. Keahlian di sini dimaksudkan sebagai keahlian dalam menguasai pengetahuan, ilmu dan teknologi, manajemen serta semangat kemandirian. Kompetensi adaptif menunjuk pada kesiapan untuk menghadapi perubahan alam dan jaman. Dalam keadaan ini peserta didik hendaknya mampu memahami hakikat peru-bahan dan mengantisipasi arah perubahan untuk seterusnya menampilkan keunggulan prestasinya. Kompetensi kecendekiaan menunjuk kepada kepekaan terhadap permasalahan kehidupan yang nyata dan kemampuan memberikan perhatian dan kepedulian nyata kepada sesama sebagai makhluk sosial. Sementara itu kompetensi nilai menunjuk pada peningkatan kesadaran untuk hidup secara berbudaya dengan mengembangkan nilai-nilai religiusitas, moralitas, dan estetik-kulturalitas. Keempat kompetensi tersebut kalau dapat termiliki dan terkembangkan oleh setiap peserta didik maka niscaya kualitas SDM Indonesia akan dapat ditingkatkan. Artinya, dalam skala mikro peserta didik kita akan memiliki nilai tambah baik secara ekonomis maupun kultural; sementara itu secara makro keunggulan kompetitif bangsa kita akan dapat lebih ditingkatkan. Strategi Mencapainya Bahwa pengembangan keempat kompetensi tersebut sangat penting bagi tercapainya peningkatan kualitas SDM kiranya memang rasional; itulah sebabnya Depdikbud kemu-dian memasang strategi untuk merealisasikannya. Strategi yang dikenal dengan istilah "link and match" (ketersam-bungan dan keterpasangan) ini boleh dianggap baru tetapi boleh juga tidak, meski begitu harus diakui bahwa terminologinya menjadi sangat aktual dan populer semenjak Pak Wardiman Djojonegoro diberikan tugas memimpin departemen pendidikan yang sarat dengan permasalahan itu. Strategi 'link and match' tersebut kiranya sangat tepat mengingat di sekitar kita sampai hingga kini masih banyak terjadi kasus-kasus yang bersifat 'mislink and mismatch' (ketaktersambungan dan ketakterpasangan); baik dari segi kuantitas, kualitas maupun relevansitas. Contoh konkrit sampai sekarang ini di negara kita masih sangat kekurangan tenaga medis dokter serta bidan; meski demikian ternyata banyak dokter dan bidan yang tak lagi mau melayani kesehatan masyarakat dikarenakan kesi-bukan "baru"nya, misalnya kesibukan manajemen,birokrasi, politik, dsb. Jujur saja, kini banyak dokter yang lupa "nyuntik" dikarenakan terlalu lamanya duduk dalam posisi birokrasi atau 3 manajerial. Dalam hal ini telah terjadi ketaktersambungan serta ketakterpasangan ilmu kedokteran yang dimiliki dengan perilaku sosialnya di masyarakat. Contoh lain? Masih teramat banyak! Dokter hewan yang meninggalkan kedokterannya untuk berprofesi sebagai sutradara film, dokter gigi yang meninggalkan kedokteran nya untuk menjadi novelis, sarjana hukum yang meninggal-kan kesarjanaannya untuk menjadi "broker", sarjana ilmu agama yang meninggalkan kesarjanaannya untuk menjadi pe-dagang, sarjana ilmu pendidikan yang juga meninggalkan kesarjanaannya untuk menjadi penari, insinyur perikanan yang meninggalkan keinsinyurannya untuk menekuni profesi penyanyi, dan sebagainya. Dalam kasus ketaktersambungan dan ketakterpasangantersebut memang terselip nilai positif, yaitu adanya ke-beranian seseorang untuk menekuni profesi baru di luar kemampuan formal yang dimilikinya; meskipun demikian ada (banyak) yang bernilai negatif, yaitu dihilangkannya ke-sempatan pengembangan diri berdasarkan kemampuan formal yang telah disiapkan jauh hari sebelumnya. Sebenarnya ketaktersambungan dan ketakterpasangan dalam berbagai kasus tersebut di atas bukan saja membo-roskan anggaran pendidikan, tetapi dalam skala nasional juga telah menjadi kendala yang signifikan dalam upaya peningkatan kualitas SDM Indonesia. Strategi 'link and match' yang menjadi komitmen Depdikbud akhirnya dideskripsi dalam berbagai kebijakan operasional; antara lain kebijakan mengenai pengembangan SLTP Keterampilan,pengembangan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), sistem magang (apprentice system), sekolah dengan biaya tinggi, dan sebagainya. Kebijakan-kebiijakan ope-rasional ini sesungguhnya tidak lebih sebagai penjabaran dari strategi dasar yang telah disepakati untuk mengem-bangkan keempat kompetensi yang harus dimiliki oleh tiap peserta didik kita. Melalui kebijakan operasional ini diharapkan pemilikan keempat kompetensi pada anak didik dapat terkuasai secara lebih intensif. Marilah kita berandai-andai. Apabila kelak kebi-jakan operasional sistem magang dengan "mengindustrikan" siswa SMK dapat berjalan maka kualitas lulusan SMK dapat ditingkatkan, artinya lulusan sekolah menengah kejuruan tersebut akan lebih profesional dalam menekuni bidangnya di industri, lebih tanggap terhadap perubahan-perubahan teknologi dan keterampilan yang berkaitan dengan bidang kerja yang ditekuninya, dan lebih tenang dalam menekuni profesinya. Karena yang bersangkutan lebih tenang mene- kuni profesinya diharapkan akan berdampak lebih tanggap terhadap masalah-masalah sosial masyarakat di sekitarnya dengan memperhatikan norma masyarakat yang berlaku. Hasil yang dicapai terhadap pelaksanaan kebijakan operasional tersebut tentu saja tidak dapat dinikmati di dalam waktu yang pendek karena harus melalui mata rantai yang relatif panjang. Tetapi itulah pendidikan; sebuah proses yang tidak pernah berakhir (never ending process) dengan hasil yang baru dapat dinikmati setelah menunggu waktu yang lama (long time product). 4 Pada dasarnya strategi 'link and match' tepat dan relevan. Permasalahannya sekarang adalah apakah strategi dasar yang tepat dan relevan ini benar-benar dapat didiimplikasi secara tepat dan relevan pula sampai tahapan yang operasional. Secara empirik kita kaya dengan penga-laman "buruk" yang mana konsep-konsep yang bagus berubah menjadi tidak bagus ketika sampai pada tahapan operasio-nal. Semogalah pengalaman "buruk" tersebut tidak berlaku pada pengembangan strategi 'link and match' yang tengah diimplikasi dalam dunia pendidikan kita !!!***** ________________________________________________________ BIODATA SINGKAT; *: Ki Dr. Supriyoko, M.Pd *: Ketua Pendidikan Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa; Direktur Lembaga Studi Pembangunan Indonesia (LSPI); Pj. Rektor Universitas Tamansiswa Yogyakarta *: Pengamat dan peneliti masalah-masalah pendidikan