TINJAUAN PUSTAKA

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Mangove Secara Umum
Tanaman Mangrove adalah halophyte yang tumbuh dan berkembang di
pasang surut zona iklim tropis dan subtropis. Salah satu fitur mencolok dari
tanaman mangrove adalah kemampuan mereka untuk tumbuh dalam berbagai
tingkat salinitas, mulai dari air tawar ke lingkungan hypersaline. Selain
bertoleransi terhadap garam, mangrove dapat bertahan pada genangan air atau
lamanya genangan pasang surut di zona pasang surut. Akar mangrove mampu
menghadapi kenaikan dan penurunan paparan salinitas di bawah kondisi
pertumbuhan alami (Tomlinson, 1986).
Tumbuhan mangrove di Indonesia terdiri dari 47 spesies pohon, 5 spesies
semak, 9 spesies herba dan rumput, 29 spesies epifit, 2 spesies parasit, serta
beberapa spesies algae dan bryophyta (MoE, 1997). Formasi hutan mangrove
terdiri dari empat genus utama, yaitu Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, dan
Bruguiera (Nybakken, 1993; Chapman, 1992), terdapat pula Aegiceras,
Lumnitzera, Acanthus illicifolius, Acrosticum aureum, dan Pluchea indica (Backer
dan Bakhuizen van den Brink, 1965). Pada perbatasan hutan mangrove dengan
rawa air tawar tumbuh Nypa fruticans dan beberapa jenis Cyperaceae (Sukardjo,
1985; Odum, 1971). Hutan mangrove alami membentuk zonasi tertentu. Bagian
paling luar didominasi Avicennia, Sonneratia, dan Rhizophora, bagian tengah
didominasi Bruguiera gymnorrhiza, bagian ketiga didominasi Xylocarpus dan
Heritieria, bagian dalam didominasi Bruguiera cylindrica, Scyphiphora
hydrophyllacea, dan Lumnitzera, sedangkan bagian transisi didominasi Cerbera
manghas (de Haan dalam Steenis, 1958). Pada masa kini pola zonasi tersebut
jarang ditemukan karena tingginya laju perubahan habitat akibat pembangunan
tambak, penebangan hutan, sedimentasi/ reklamasi, dan pencemaran lingkungan
(e.g. Walsh, 1974; Lewis, 1990; Primavera, 1993; Nybakken, 1993), meskipun
masih dapat dirujuk pada pola zonasi tersebut (Sasaki dan Sunarto, 1994).
Pada dasarnya karakteristik dari ekosistem mangrove adalah berkaitan
dengan keadaan tanah, salinitas, penggenangan, pasang surut, dan kandungan
oksigen tanah. Adapun adaptasi dari tumbuha mangrove terhadap habitat tersebut
tampak pada fisilogi dan komposisi struktur tumbuhan mangrove (Istomo, 1992).
Ekosistem mangrove sangat rumit, karena terdapat banyak faktor yang
saling mempengaruhi, baik di dalam maupun di luar pertumbuhan dan
perkembangannya.
Berdasarkan
tempat
tumbuhnya,
kawasan
mangrove
dibedakan menjadi bberapa zonasi, yang disebut dengan nama jenis-jenis vegetasi
yang mendominasi. Selain itu, Mall et al. (1982) menyebutkan tiga zona yang
terdapat pada kawasan mangrove, yang disebabkan oleh terjadinya perbedaan
penggenangan yang juga berakibat pada perbedaan salinitas. Hal inilah yang
membuat adanya perbedaan jenis di kawasan mangrove.
Adapun
pembagian
kawasan
mangrove
berdasarkan
perbedaan
penggenanggan adalah sebagai berikut.
1. Zona proksimal, yaitu kawasan (zona) yang terdekat dengan laut. Pada zona
ini biasanya akan ditemukan jenis-jenis R. apiculata, R mucronata, dan S. alba
2. Zona middle, yaitu kawasan (zona) yang terletak di antara laut dan darat. Pada
zona ini biasanya akan ditemukan jenis-jenis S. caseolaris, R. alba, B.
gymnorrhiza, A. marina, A. officinalis, dan Ceriops tagal.
3. Zona distal, yaitu zona yang terjatuh dari laut. Pada zona ini biasanya akan
ditemukan jenis-jenis Heritiera littoralis, Pongamia, Pandanus spp, dan
Hibiscus tiliaceus
(Arief. A, 2003).
Menurut Noor et al (2006) secara sederhana, mangrove umumnya tumbuh
dalam 4 zona, yaitu pada daerah terbuka, daerah tengah, daerah yang memiliki
sungai berair payau sampai hampir tawar, serta daerah ke arah daratan yang
memiliki air tawar.
1. Mangrove terbuka, yaitu mangrove yang berada pada bagian yang berhadapan
dengan laut.
2. Mangrove tengah, yaitu mangrove yang terletak di belakang mangrove zona
terbuka. Di zona ini biasanya didominasi oleh jenis Rhizophora.
3. Mangrove payau, yaitu mangrove yang berada di sepanjang sungai berair payau
hingga hampir tawar. Di zona ini biasanya didominasi oleh komunitas Nypa atau
Sonneratia.
4. Mangrove daratan, yaitu mangrove yang berada di zona perairan payau atau
hampir tawar di belakang jalur hijau mangrove yang sebenarnya. Jenis-jenis yang
umum ditemukan pada zona ini termasuk Ficus microcarpus (F. retusa), Intsia
bijuga, N. fruticans, Lumnitzera racemosa, Pandanus sp. dan Xylocarpus
moluccensis
Taksonomi dan Morfologi Avicennia officinalis
Jenis Avicennia officinalis tersebar di Bangladesh, India, Indonesia,
Malaysia, Brunei, Myanmar, Filipina, Singapura, Sri Lanka, Thailand, Vietnam,
dan Papua Nugini (Plantamor, 2012). Klasifikasi Avicennia officinalis adalah
sebagai berikut :
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Ordo : Scrophulariales
Famili : Acanthaceae
Genus : Avicennia
Spesies : Avicennia officinalis L.
Nama daerah dari Avicennia officinalis yaitu api-api, sia-sia-putih, api-apikacang, papi, merahu, marahuf. Jenis ini termasuk suku Avicenniaceae, termasuk
komponen mangrove mayor. Jenis ini memiliki akar nafas seperti pensil. Daun
tersusun tunggal, bersilangan, bentuk telur sungsang hingga elips, ujung daun
membundar, panjang 8-11 cm, memiliki kelenjar garam, daun muda berambut.
Rangkaian bunga 7-10, berduri rapat, berada di ujung atau di ketiak daun pada
pucuk, mahkota berjumlah 4, berwarna kuning, kelopak 5 helai, benang sari 4,
diameter bunga 1,0-1,5 cm, panjang bunga 0,3-0,4 cm, berbulu dan melengkung
(Kitamura dkk., 1997).
Deskripsi umum Avicennia officinalis biasanya memiliki ketinggian
sampai 12 m, bahkan kadang-kadang sampai 20 m (Noor dkk., 2006 ; Kitamura
dkk., 1997). Pada umumnya memiliki akar tunjang dan akar nafas yang tipis,
berbentuk jari dan ditutupi oleh sejumlah lentisel. Kulit kayu bagian luar memiliki
permukaan yang halus berwarna hijau-keabu-abuan sampai abu-abu-kecoklatan
serta memiliki lentisel. Daun berwarna hijau tua pada permukaan atas dan hijau-
kekuningan atau abu-abu kehijauan di bagian bawah. Permukaan atas daun
ditutupi oleh sejumlah bintik-bintik kelenjar berbentuk cekung. Unit dan letak
yaitu sederhana dan berlawanan. Bentuk daun bulat telur terbalik, bulat
memanjang-bulat telur terbalik atau elips bulat memanjang. Ujung daun
membundar dan menyempit ke arah gagang dengan ukuran daun 12,5 x 6 cm.
Susunan bunga seperti trisula dengan bunga bergerombol muncul di ujung tandan
dan bau menyengat. Daun mahkota bunga terbuka tidak beraturan, semakin tua
warnanya semakin hitam, seringkali tertutup oleh rambut halus dan pendek pada
kedua permukaannya. Letak bunga berada di ujung atau ketiak tangkai/tandan
bunga dan dormasi bulir (2-10 bunga per tandan) (Noor dkk., 2006).
Salinitas Mangrove
Vegetasi mangrove memiliki adaptasi anatomi dalam merespon berbagai
kondisi ekstrim tempat tumbuhnya, seperti (1) adanya kelenjar garam pada
golongan secreter, dan kulit yang mengelupas pada golongan non-secreter
sebagai tanggapan terhadap lingkungan yang salin, (2) sistem perakaran yang
khas, dan lentisel sebagai tanggapan terhadap tanah yang jenuh air, (3) struktur
dan posisi daun yang khas sebagai tanggapan terhadap radiasi sinar matahari dan
suhu yang tinggi.
Beberapa jenis tumbuhan mangrove toleran terhadap konsentrasi garam di
jaringannya dan garam ini dikeluarkan melalui kelenjar-kelenjar khusus yang
terdapat pada daunnya. Menurut Scholander (1968) dalam Tanasale (1997),
tumbuhan mangrove terbagi atas dua golongan, yaitu (a) secreter, yakni jenisjenis mangrove yang memiliki struktur kelenjar garam (salt gland) sperti
Avicennia spp., Aegiceras spp., dan Aegialitis spp., dan (b) non-secreter, yaitu
jenis-jenis mangrove yang tidak memiliki struktur kelenjar garam seperti
Rhizophora spp., Bruguiera spp., Lumnitzera spp., dan Sonneratia spp.
Lebih lanjut Shannon et al., (1994) menyatakan bahwa pada umumnya
adaptasi terhadap salinitas tergolong rumit yang merupakan formasi dari struktur
kelenjar garam yang terdapat pada daun atau permukaan epidermis batang.
Berbagai macam jenis tumbuhan mangrove mampu bertahan hidup pada
salinitas tinggi, namun jenis Avicennia merupakan jenis yang mampu hidup
bertoleransi terhadap kisaran salinitas yang sangat besar. MacNAE (1968)
menyebutkan bahwa Avicennia marina mampu tumbuh pada salinitas sangat
rendah sampai 90‰, sedangkan Sonneratia sp. umumnya hidup pada salinitas
yang tinggi, kecuali Sonnerafia casiolaris (sekitar 10 ‰). Jenis Bruguiera sp
biasanya tumbuh pada salinitas maksimum sekitar 25‰, sedangkan jenis Ceriops
tagal, Rhizophora mucronafa dan Rhizophora stylosa mampu hidup pada salinitas
yang relatif tinggi.
Adaptasi terhadap salinitas umumnya berupa kelenjar ekskresi untuk
membuang kelebih garam dari dalam jaringan dan ultrafiltrasi untuk mencegah
masuknya garam ke dalam jaringan. Tumbuhan mangrove dapat mencegah lebih
dari 90% masuknya garam dengan proses filtrasi pada akar. Garam yang terserap
dengan cepat diekskresikan oleh kelenjar garam di daun atau disimpan dalam kulit
kayu dan daun tua yang hampir gugur. Beberapa tumbuhan mangrove seperti
Avicennia, Acanthus dan Aegiceras memiliki alat sekresi garam. Konsentrasi
garam dalam cairan biasanya tinggi, sekitar 10% dari air laut. Sebagian garam
dikeluarkan melalui kelenjar garam dan selanjutnya diuapkan angin atau hujan.
Hal ini bisa dirasakan dengan mengecap daun tumbuhan mangrove atau bagian
lainnya (Nybakken, 1993).
Pada umumnya respon pertumbuhan tinggi mangrove yang baik diperoleh
pada salinitas yang rendah. Hal ini terjadi karena tumbuhan mangrove bukan
merupakan tumbuhan yang membutuhkan garam (salt demand) tetapi tumbuhan
yang toleran terhadap garam (salt tolerance). Mangrove bukan halofit obligat,
yang berarti bahwa tumbuhan mangrove dapat tumbuh pada air tawar, tetapi
mangrove akan tumbuh maksimum pada pertengahan antara air tawar dan air laut
(Hutahaen, 1999).
Tumbuhan mangove tumbuh paling baik pada lingkungan air tawar dan air
laut dengan perbandingan seimbang (1:1). Salinitas yang tinggi pada dasarnya
bukan prasyarat untuk tumbuhnya mangove, terbukti beberapa spesies mangove
dapat tumbuh dengan baik pada lingkungan air tawar. Di Pulau Christmas,
Bruguiera cylindrica tumbuh selama ribuan tahun pada danau air tawar,
sedangkan di Kebun Raya Bogor B. sexangula tumbuh selama ratusan tahun pada
lingkungan air tawar. Terhentinya penyebaran mangove ke lingkungan perairan
tawar tampaknya disebabkan ketidakmampuan untuk berkompetisi dengan spesies
lain, sehingga mengembangkan adaptasi untuk tumbuh di air asin, dimana
tumbuhan lain tidak mampu bertahan (Gosalam, 2000).
Metabolit Sekunder pada Mangrove
Metabolit sekunder adalah senyawa yang secara khusus terdapat pada jenis
atau spesies tertentu saja (Hanson, 2011). Berbeda dengan senyawa metabolit
primer yang pada umumnya memberi pengaruh biologi terhadap sel atau
organisme tanaman itu sendiri, metabolit sekunder (MS) memberikan pengaruh
biologi terhadap sel atau organisme lain. Menurut Wink (2010) metabolit
sekunder bukanlah produk buangan yang tak berguna, tetapi perangkat yang
penting untuk melawan herbivora dan mikroba. Beberapa metabolit sekunder
berfungsi sebagai molekul isyarat untuk menarik arthropoda penyerbuk, hewan
penyebar benih, dan sebagai senyawa isyarat dalam hubungan tanaman-tanaman,
tanaman-binatang, dan tanaman-mikrobia.
Metabolit sekunder yang ditemukan pada tumbuhan mangrove meliputi
senyawa golongan alkaloid, fenolat, steroid, dan terpenoid. Senyawa-senyawa ini
memiliki efek toksik, farmakologik, dan ekologik yang penting (Bandaranayake,
2002). Senyawa fenolat diketa-hui sebagai senyawa pelindung tumbuhan dari
herbivora, dan fungsi utama sebagian besar senyawa fenolat adalah melindungi
tumbuhan dari kerusakan akibat cahaya yang berlebihan dengan bertindak sebagai
antioksidan, dan levelnya bervariasi sesuai dengan kondisi. Hal ini didukung oleh
pernyataan bahwa senyawa fenolat dapat melin-dungi mangrove dari kerusakan
akibat radiasi ultraviolet (Agati et al.,2007). Selain itu dinyatakan pula adanya
kecenderungan peningkatan produksi senyawa fenolat pada tumbuhan mangrove
bila tumbuh dan bertahan dalam kondisi tertekan (Banerjee et al., 2008).
Berdasarkan asal-usul biosintesisnya, Springob dan Kutchan (2009)
membagi metabolit sekunder menjadi empat kelompok, yaitu 1) alkaloid, 2)
fenilpropanoid, 3) poliketida, dan 4) terpenoid. Berdasarkan kandungan N, Wink
(2010) membagi Metabolit Sekunder ke dalam dua kelompok besar, yaitu1)
Metabolit Sekunder yang mengandung N dan 2) MS yang tidak mengandung N.
Sedangkan berdasarkan sifat strukturnya, Hanson (2011) membagi metabolit
sekunder ke dalam 6 golongan, yaitu 1) poliketida dan asam lemak, 2) terpenoid
dan steroid, 3) fenilpropanoid, 4) alkaloid, 5) asam amino khusus dan peptida, dan
6) karbohidrat khusus.
Menurut Bachtiar (2010) menyatakan bahwa hasil identifikasi senyawa
metabolit sekunder dari tumbuhan mangrove jenis Rhizophora dan Avicennia
mengandung flavonoid dan saponin.
Lipid
Lipid merupakan bagian penting dari karbon yang dihasilkan oleh
mangrove. Pengetahuan tentang komposisi lipid dibutuhkan untuk menduga
sumber dan akumulasi rata-rata dari sendimentasi bahan organik. Nonsaponifiable lipid (NSL) pada dasarnya merupakan bagian lipid yang sederhana
kecuali asam lemak (saponifiable lipid) setelah hidrolisis alkaline dari total lipid,
dan mengandung sterols, rantai panjang alkohol, dan alkane (Basyuni et al.,
2012).
Dalam kondisi cekaman garam, tanaman dapat mengubah tingkat
metabolit sekunder seperti triterpenoid atau senyawa fenolik untuk meningkatkan
sistem pertahanan mereka terhadap stress oksidatif (Kim et al., 2008). Membran
plasma telah memainkan peran penting dalam toleransi tanaman untuk cekaman
garam. Komposisi lipid yang terdapat pada membran mengontrol membran
permeabilitas (Mansour et al., 1994, Kim et al., 2008). Pengamatan ini juga
sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya bahwa cekaman garam meningkatkan
konsentrasi triterpenoid di akar dan daun tanaman mangrove serta berkontribusi
terhadap toleransi garam di hutan mangrove (Oku et al, 2003; Basyuni et al.,
2007, 2009).
Senyawa Polyisoprenoid pada Mangrove
Polyisoprenoid telah ditemukan sejak awal tahun 60-an pada bakteri, ragi,
mamalia, dan beberapa tanaman. Selama empat dekade penelitian tentang
polyisoprenoid, telah dihasilkan sejumlah publikasi yang sangat menarik.
Polyisoprenoid merupakan sekelompok polimer hidrophobik yang tersebar luas di
alam (Swiezewska, 2005). Rantai polyisoprenoid terdiri dari 5 – 100 , bahkan
lebih unit isoprenoid yang membentuk polimer berbeda dengan rantai panjang dan
atau konfigurasi geometrikalnya (Ciepichal et al., 2007, 2011).
Polyisoprenoid terbagi menjadi polyprenols dan dolichols. Polyisoprenoid
tersusun atas polimer lurus yang terdiri dari beberapa hingga lebih dari 100 unit
isoprenoid yang telah diidentifikasi di hampir semua makhluk hidup
(Tudek et al., 2007).
Banyak
spesies
Spermatophyta milik: Asetraceae,
Euphorbiaceae,
Laureaceae, Magnoliaceae, Moraceae, Pinaceae, Rosaceae, Sapindaceae
dan Tiliaceae terakumulasi dalam daun keluarga (ies) dari polyprenols, panjang
rantai C 35-500, dalam jumlah mendekati approx.i 5% dari kering berat
badan. Namun, dalam organ tanaman lain jumlah polyprenols yang ditemukan
agak rendah, dengan pengecualian kayu Betula verrucosa (Lindgren, 1965), dan
tampaknya hanya di jaringan fotosintesis akurat yang berbeda formulasi dari
polyprenols dan mungkin mereka biosintesis berlangsung. Isolasi baru-baru ini
menghasilkan struktur polyisoprenoid baru yang berbeda dari yang sebelumnya
dikenal dalam jumlah dan konfigurasi C = C ikatan rangkap-individu Cates
heterogenitas yang cukup ini lipid, jelas dalam ekstrak dari daun tanaman yang
mengandung mereka dalam jumlah moderat (Suga et al., 1989).
Download