Jurnal1.com – JAKARTA: Pengoperasian Baitul Maal wa Tanwil (BMT) yang berbadan hukum koperasi syariah tak boleh menerapkan akad murabahah model perbankan syariah. Sebab pola bagi hasil akad murabahah yang diterapkan perbankan syariah itu lebih besar dari akad musyarakah yang dipraktekkan koperasi syariah. “Kalau BMT yang berbadan hukum koperasi syariah itu menerapkan pola bagi hasil akad murabahah, maka potensi untuk menggerakkan sektor riil UKM akan sia-sia. Padahal BMT yang menjadi penopang ekonomi syariah itu perannya dibutuhkan pelaku usaha kecil,” kata Setyo Heriyanto, Deputi Bidang Kelembagaan dan UKM Kemenkop & UKM ini. Karena itu, dia meminta kepada para pengelola BMT untuk pengoperasiannya harus menerapkan akad musyarakah. Sehingga perannya dalam menyalurkan pembiayaan pada usaha kecil benar-benar mampu mendorong mengembangkan sektor riil. Akad musyarakah, menurut Setyo, adalah akad kerjasama para pemilik modal yang bertujuan untuk mencari keuntungan. “Dalam akad musyarakah itu mitra dan bank samasama menyediakan modal untuk membiayai suatu usaha. Kemudian mitra dapat mengembalikan modal tersebut, berikut bagi hasil yang telah disepakati,” jelasnya. Dengan adanya pembiayaan musyarakah, lanjut dia, konsep bagi hasil kedua belah pihak bisa berjalan dengan adil. Akad murabahah sendiri di BMT belum berjalan dengan baik, meski banyak sektor riil seperti waralaba, perdagangan, properti yang bisa menggunakan akad musyarakah. Pengembangan ekonomi syariah di Indonesia, kata dia, di mata masyarakat masih dipandang sebagai lembaga keuangan seperti perbankan dan lembaga non bank (asuransi, multifinance, pasar modal dan lembaga keuangan mikro). Dia menjelaskan selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir, pertumbuhan aset lembaga keuangan syariah jauh melebihi pertumbuhan lembaga keuangan konvensional. Namun sektor riil syariah belum ada perkembangan yang signifikan. Sehingga pemahaman tentang ekonomi syariah masih sebatas lembaga keuangan saja. Dalam upaya mendorong sektor riil syariah, kata dia, harus didukung oleh banyak stakeholder, termasuk lembaga keuangan syariah. Sebab sektor industri riil syariah yang berkembang saat ini adalah kuliner, perhotelan, wisata, kosmetik, dan obat-obatan. Padahal Indonesia, lanjut Setyo, negara berpenduduk muslim terbesar di dunia yang memiliki potensi untuk mengembangkan industri yang bersertifikasi halal. “Dengan demikian pengembangan sekor riil syariah menjadi penting bagi sektor keuangan syariah. Karena industri bersertifikasi halal ini nantinya sangat terkait dengan lembaga keuangan syariah,” cetus dia. Dia optimis karena melihat perkembangan pembiayaan syariah di Indonesia kini mencapai 60 hingga 70 persen didominasi oleh akad murabahah (jual-beli). “Dominasi akad murabahah ini pada portofolio pembiayaan lembaga keuangan syariah mengundang banyak kritik dari berbagai pemangku kepentingan. Karena sebagian besar dari penggunaan akad murabahah selama ini banyak dipergunakan untuk pembiayaan konsumtif,” ungkapnya. AGUS YULIAWAN