BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Budaya organisasional telah menjadi topik yang cukup populer belakangan ini dan menjadi salah satu aspek dalam organisasi yang memegang peranan penting dalam perubahan kinerja organisasional. Beberapa penelitian menyatakan betapa pentingnya budaya pada suatu organisasi. Salah satu penelitian yang cukup populer mengenai budaya organisasi adalah penelitian oleh Kotter dan Heskett (1992) yang hasil penelitiannya menyebutkan bahwa, budaya organisasional memiliki hubungan dengan kinerja ekonomi perusahaan. Penelitian lainnya menyatakan premis inti bahwa konteks budaya merupakan peran perantara penting dalam hubungan antara kepemimpinan dan sikap lebih dari karyawan (Zhu, 2007). Secara spesifik dinyatakan nilai-nilai budaya tertentu dapat memperkuat atau melemahkan penerimaan karyawan terhadap gaya kepemimpinan transformasional dan transaksional. Pada penelitian lainnya, budaya organisasional sangat berpengaruh ketika perusahaan mengimplementasikan kebijakan strategis perusahaan seperti merger dan akuisisi (Bardtalei, 2007). Dengan demikian budaya organisasi adalah sebagai faktor kontekstual penting dalam organisasi seperti dibahas dalam Chalofsky (2008), beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa karyawan akan mengalami suatu keseimbangan kehidupan kerja yang positif di organisasi yang memiliki budaya yang menunjang kehidupan kerjanya. Sebagai contoh, disebutkan bahwa sebuah budaya dengan nilai budaya kebersamaan berhubungan positif dengan kepuasan kerja dalam work-life balance, sementara organisasi dengan nilai budaya yang lebih bersifat hierarkis akan berkorelasi negatif dengan kepuasan yang tinggi dalam work-life balance (Chalofsky, 2008). Penelitian lainnya yang meneliti tentang apa yang membuat perusahaan-perusahaan terpilih menjadi salah satu perusahaan yang terbaik sebagai tempat bekerja (Chalofsky, 2008) menunjukkan hasil bahwa suatu perusahaan dipersepsikan menjadi perusahaan terbaik untuk bekerja jika perusahaan-perusahaan tersebut memiliki budaya organisasional yang diidentifikasi memiliki nilai: kredibilitas, penuh penghargaan pada karyawan (respect), kesetaraan (fairness), memiliki harga diri dan penuh solidaritas (camaraderie). Penelitian-penelitian tersebut menyatakan bahwa, budaya organisasional sebagai salah satu elemen dalam organisasi yang harus dikelola agar mampu menunjang keberlangsungan suatu organisasi. PT Holcim Indonesia Tbk (sebelumnya bernama PT Semen Cibinong Tbk) adalah sebuah perusahaan pembuat semen di Indonesia. Presiden direkturnya saat ini adalah Eamon Ginley. PT Holcim Indonesia adalah sebuah perusahaan semen di Indonesia yang memiliki dua pabrik yaitu pabrik narogong dan pabrik cilacap dengan kapasistas maksimum 7,9 juta ton per tahun. Holcim Indonesia merupakan organisasi yang memiliki perhatian lebih terhadap budaya organisasional. Cheney (2004) menyatakan bahwa budaya merupakan suatu sistem makna yang memandu konstruksi realitas pada suatu komunitas sosial, suatu sistem makna yang menyusun bagaimana kita bertindak. Sehingga ketika pemahaman ini diterapkan pada budaya organisasional maka dapat dipahami bahwa budaya organisasional merupakan suatu sistem makna yang memandu anggota organisasi bertindak atau bertingkah laku. Namun pemahaman yang demikian tidak bisa berhenti disini saja, sebab pemahaman yang terbatas bisa saja memunculkan interpretasi bahwa budaya adalah sesuatu yang ada diluar komunitas sosial, yang dapat diberikan kepada komunitas sosial tersebut, dan pada gilirannya akan mempengaruhi aktivitas manusia dalam komunitas tersebut, sehingga pemahaman terhadap pengertian budaya sebagai sistem makna yang menimbulkan konstruksi sosial perlu dikembangkan. Hal ini menunjukan bahwa menempatkan realitas bukanlah suatu objek tertentu yang berbentuk seperangkat pengaturan diluar kita, melainkan realitas merupakan sesuatu yang terkonstruk melalui proses interaksi di dalam grup, komunitas dan budaya (Lincon dan Foss, 2011). Dengan demikian maka budaya merupakan sesuatu yang terbentuk di dalam interaksi komunitas sosial. Sehingga, tradisi sosiokultural memunculkan pemahaman bahwa budaya organisasional adalah suatu sistem makna yang mempengaruhi proses interaksi atau bagaimana anggota suatu organisasi itu bertindak dan bertingkah laku. Namun budaya organisasional bukanlah seperangkat pengaturan yang berasal dari luar organisasi. Budaya organisasional merupakan hasil atau produk dari proses interaksi itu sendiri (Cheney et al., 2004; Bantz dalam keyton 2005: 18). Pemahaman tersebut membantu peneliti memahami mengenai perspektif simbolis terhadap budaya organisasional yang dinyatakan oleh Smirchich (dalam Cheney et al., 2004: 88) bahwa organisasi adalah budaya. Sebab, dalam suatu proses komunikasi di organisasi ternyata secara subjektif budaya organisasional ada pada proses-proses tersebut yang berlangsung di dalam organisasi itu sendiri. Cheney (2004: 88-89) menyatakan bahwa perspektif simbolis mengutamakan perhatiannya pada aspek non rasional, subjektif dan interpretif dalam kehidupan organisasi. Hal tersebut sesuai dengan pemahaman tradisi sosiokultural yang telah diungkap sebelumnya. Hal ini kemudian menarik perhatian peneliti untuk menganalisa budaya organisasional pada Holcim Indonesia pabrik Cilacap, di mana manajemen operasional Holcim Indonesia memiliki ketertarikan atau perhatian lebih pada budaya organisasi (Swa.co.id, 2006). PT Holcim Indonesia Tbk dulunya merupakan PT Semen Cibinong Tbk, yang kemudian diakuisisi oleh Holcim Ltd (perusahaan global material bangunan asal Swiss) dan secara resmi berubah menjadi PT Holcim Indonesia Tbk pada 2006 (Holcim.co.id, 2012). Dengan karyawan tetap dari PT Semen Cibinong Tbk, namun perubahan manajemen Holcim Ltd, manajemen Holcim Indonesia menyatakan melakukan beberapa perubahan, termasuk merubah budaya perusahaan atau budaya organisasinya (Swa.co.id, 2006). Dinyatakan pula, bahwa di awal kehadirannya di Semen Cibinong, manajemen baru membentuk komite change management dalam rangka menjembatani perubahan budaya lama ke arah budaya ala Holcim (Swa.co.id 2006). Proses change management pun dilakukan dengan tujuan untuk menjadi lebih baik. Namun sebelum itu dilakukan, management mengomunikasikan ke karyawan mengenai perubahan yang akan terjadi, sehingga bukan sekadar perubahan dasar tapi lebih pada kebutuhan akan perubahan. Di sini, karyawan harus disentuh agar dapat memahami mengapa perusahaan harus berubah. Diakui Tim change management, dalam menjalankan change management memang tidaklah mudah. Timothy D. Mackay, Presiden Direktur PT Holcim Indonesia mengatakan bahwa meskipun ada nilai baru, bukan berarti mengubah total budaya yang ada karena terlalu sayang jika nilai-nilai yang baik dibuang total, contohnya keinginan untuk berbagi dan belajar, semangat kerja, hubungan baik dengan serikat pekerja, dan hubungan dengan komunitas, merupakan budaya yang sudah ada sebelumnya. Perubahan ini bertujuan menjadikan Holcim Indonesia perusahaan bertaraf global. Karena itu, proses pembelajaran dilakukan demi mewujudkan tujuan itu. Setiap karyawan dapat berpartisipasi dalam program perubahan ini. Selain itu, ada rasa saling pengertian dalam menjalaninya. Pihak Holcim menyadari bahwa dalam setiap perubahan kendala terbesar terletak pada sumber daya manusianya. Namun, Holcim tidak menganggapnya sebagai halangan besar. Holcim selalu mendorong para karyawan untuk merasakan perubahan sebagai bagian yang harus dihadapi menuju yang lebih baik. Hal tersebut menunjukkan pentingnya budaya organisasi bagi perusahaan Holcim Indonesia. Seperti diteguhkan dalam pernyataan di artikel ‘From the Editor’ buletin internal karyawan Holcim Indonesia edisi Oktober 2013, manajemen Holcim Indonesia memiliki pandangan bahwa keberhasilan Holcim Indonesia dalam menjalankan usaha ditentukan oleh nilai yang dianut perusahaan (Sasanawati, 2013). Holcim Indonesia menyatakan tiga nilai perusahaan mereka yang dianggap sebagai pemandu tindakan apapun yang dilakukan oleh karyawannya, yakni care-delivery-partnership (Sasanawati, 2013). Dengan kata lain, care-delivery-partnership merupakan nilai budaya organisasional Holcim Indonesia menurut manajemen operasional. B. Rumusan Masalah Budaya organisasional sebagai identitas, yang membedakan Holcim Indonesia dengan organisasi lainnya, merupakan suatu elemen strategis dari organisasi. Proses awal pembentukan budaya organisasi kemudian pemeliharaan dan penghapusan nilainilai yang dianggap sudah tidak sesuai menjadi sesuatu yang seharusnya dapat dikelola agar mampu menghasilkan aktivitas atau perilaku yang konstruktif bagi organisasi sehingga pada akhirnya akan memberikan kontribusi pada kinerja keseluruhan organisasi. Pada penelitian ini, teori yang digunakan adalah teori Competing Values Framework budaya organisasional yang telah dikembangkan oleh Cameron dan Quinn. Menurut Cameron dann Quinn (2006), budaya organisasi di refleksikan pada apa yang menjadi nilai, dan budaya yang dominan yang membuat sebuah organisasi memiliki keunikan. Oleh karena itu teori Competing Values Framework dapat digunakan untuk mengananlisis budaya seperti apa yang dominan dalam sebuah organnisasi. Instrumen yang digunakan adalah instrumen pengukuran Organizational Culture Assessment Instrument. Organizational Culture Assessment Instrument adalah instrumen yang mampu mendiagnosis budaya dominan yang ada pada sebuah organisasi berdasarkan penggolongan jenis budayanya (Cameron & Quin, 2006). Dalam Teori Competing Values Framework terdapat empat tipe budaya organisasi yaitu: 1) Tipe budaya hirarki (hierarchy culture) yaitu tipe budaya yang sesuai dengan ideal birokrasi. 2) Tipe budaya klan (clan culture) yaitu tipe budaya yang bersifat kekeluargaan. 3) Tipe budaya adhokrasi (adhocracy culture) yaitu tipe budaya yang menguataman inovasi dan kreativitas. 4) Tipe budaya pasar (market culture) yaitu tipe budaya yang terkait dengan transaksi di lingkungan eksternal. Dari penjelasan diatas maka muncul pertanyaan-pertanyan penelitian sebagai berikut: 1) Apa tipe budaya organisasional yang dominan di PT Holcim Indonesia saat ini? Tipe budaya hirarki, klan, adhokrasi atau pasar? 2) Apa yang menjadi harapan bagi karyawan terhadap budaya organisasional yang seharusnya dimiliki oleh PT Holcim Indonesia Tbk? C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1) Untuk menganalisis budaya organisasional seperti apa yang ada di PT Holcim Indonesia Tbk 2) Untuk menganalisis budaya organisasional seperti apa yang ideal diharapkan oleh organisasi di masa datang. D. Manfaat Penelitian 1) Memberikan kontribusi bagi perusahaan yang diteliti dalam memahami budaya organisasinya agar dapat mengoptimalkan kinerja organisasinya. 2) Menambah wawasan bagi peneliti tentang budaya organisasional yang sedang diterapkan oleh perusahaan. E. Susunan Penulisan. Bab I : Pendahuluan. Bab II : Tinjauan Pustaka. Bab III : Metode Penelitian. Bab IV : Pembahasan. Bab V : Kesimpulan.