4 TINJAUAN PUSTAKA Buah Buni Buni dalam bahasa ilmiah diberi nama Antidesma bunius (L.) Spreng. Tanaman ini berupa pohon yang tingginya dapat mencapai 15-30 m, garis tengah batang sekitar 20-25 cm, bercabang banyak dan rindang. Bunga jantan dan betina buah buni masing-masing terletak pada pohon yang berlainan, tersusun dalam bentuk malai. Ukuran bunga betina lebih besar daripada bunga jantan. Warna buah buni mula-mula hijau terang, setelah dewasa menjadi merah. Buah buni tersusun dalam tandan, berbentuk bulat atau bulat telur, bergaris tengah sekitar 3 cm (Lembaga Biologi Nasional 1977). Menurut Heyne (1987), buah buni sedikit lebih besar dari kacang kapri, mula-mula berwarna merah sangat asam, kemudian kehitam-hitaman dan berair dengan rasa manis keasam-asaman. Gambar 1 Buah buni Antidesma bunius tumbuh liar di wilayah yang lebih basah di India, dari Himalaya ke selatan dan timur, di Sri Lanka, Myanmar, dan Malaysia. Buni ini mungkin tidak berasal dari Filipina dan Malaysia, tetapi jika demikian halnya, tanaman ini telah diintroduksi pada masa prasejarah, dan telah bernaturalisasi secara luas, sekurang-kurangnya di Filipina. Buni dibudidayakan secara besarbesaran di Indo-Cina dan di berbagai daerah di Indonesia, terutama di Jawa. Di Malaysia dan Filipina, buni jarang dibudidayakan (Gruèzo 1997). Di daerah tropik pohon buni dapat tumbuh pada ketinggian 0-1000 m dpl. Di Indonesia buni ditanam di propinsi-propinsi bagian timur yang beriklim muson, serta di bagian barat yang berhawa lembab, dengan demikian buni selain toleran terhadap kekeringan juga dapat hidup di daerah lembab (Yulistyarini dkk 2000 dan Tohir 1981). 5 Buah buni yang matang dapat dimakan dalam keadaan segar, tetapi dapat mewarnai mulut dan jari. Selain itu, sari buah dari buah yang matang pun berguna sebagai minuman penyegar dan menghasilkan anggur yang istimewa. Buah buni yang mentah memiliki rasa agak asam, buah-buah dalam satu tandan tidak bersamaan matangnya, maka buah buni seringkali digunakan untuk pembuatan selai dan jeli (Gruèzo 1997). Buah buni sering digunakan oleh orang Indonesia untuk rujak dan dibuat saus-asem ikan (Lembaga Biologi Nasional 1977 dan Gruèzo 1997). Kadang-kadang buah buni dapat pula dipakai sebagai campuran dalam minuman buah-buahan. Daun muda buah buni dapat berguna untuk memberi aroma pada ikan atau daging rebus (stew), lalap dan dimasak dengan nasi. Buah muda dan daun muda buah buni dapat digunakan sebagai pengganti cuka (Gruèzo 1997). Kulit dan daun mengandung alkaloid yang memiliki khasiat obat, tetapi dilaporkan juga beracun. Kayu buah buni berwarna kemerah-merahan dan keras yang kurang bermanfaat namun memiliki mutu yang cukup baik. Di Malaysia jenis dari marga yang sama dipakai sebagai pohon untuk penghutanan kembali tanah-tanah gundul. Jenis tersebut menyukai tempat yang terbuka dan dapat tumbuh berkompetisi dengan alang-alang (Lembaga Biologi Nasional 1977). Klasifikasi buah buni adalah sebagai berikut: Kerajaan :Plantae Divisi :Magnoliophyta Kelas :Magnoliopsida Ordo :Malpighiales Famili :Phyllanthaceae Bangsa :Antidesmeae Upabangsa :Antidesminae Genus :Antidesma Spesies : A. bunius Menurut Gruèzo (1997), kandungan bagian buah yang dapat dimakan merupakan 65-80% dari keseluruhan buah. Asam sitrat merupakan asam organik yang paling menonjol dalam buah buni. Kandungan gizi untuk setiap 100 g buah buni dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini: 6 Tabel 1 Kandungan gizi pada 100 gram buah buni Kandungan gizi Energi (kJ) Air (g) Karbohidrat (g) Protein (g) Lemak (g) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Besi (mg) Vitamin A (IU) Vitamin C (mg) Jumlah 134 90-95 6,3 0,7 0,8 3,7-120 22-40 0,1-0,7 10 8 Sumber: Gruèzo 1997 Penanganan pasca panen buah yang tidak dilakukan secara hati-hati akan mengakibatkan terjadinya perubahan fisiologis, fisik, kimiawi, parasitik atau mikrobiologis yang menyebabkan bahan pangan tersebut tidak dapat dimanfaatkan lagi. Cara penanganan pasca panen yang dapat dilakukan adalah dengan cara mengelola buah menjadi suatu olahan pangan. Variasi pengolahan buah buni pada masyarakat Indonesia masih rendah yatu hanya dikonsumsi segar atau dikonsumsi sebagai rujak (Muchtadi 2000 dan Lembaga Biologi Nasional 1977). Pengolahan buah buni menjadi berbagai olahan diharapkan dapat meningkatkan pemanfaatan buah lokal, mengurangi kehilangan hasil pertanian dan memperpanjang masa simpan (Muchtadi 2000). Antioksidan Antioksidan adalah komponen yang dapat mencegah atau menghambat oksidasi lemak, asam nukleat, atau molekul lainnya dengan mencegah inisiasi atau perkembangan dari pengoksidasian reaksi berantai. Sayuran dan buahbuahan merupakan bahan pangan yang kaya akan antioksidan. Beberapa studi menyebutkan bahwa dengan mengkonsumsi sayuran dan buah-buahan segar dapat menurunkan terkena kanker dan berbagai penyakit degeneratif lainnya (Wang 2007). Menurut Halliwell (1996), senyawa radikal yang terdapat dalam tubuh berasal dari luar tubuh (eksogen) maupun dari dalam tubuh (endogen) yang terbentuk dari hasil metabolisme zat gizi secara normal. Dalam proses fisiologis timbulnya senyawa radikal tubuh (pro-oksidan) akan diimbangi oleh mekanisme pertahanan endogen dengan menggunakan zat (senyawa) yang mempunyai kemampuan sebagai anti radikal bebas, yang juga disebut antioksidan. 7 Senyawa ROS (Reactive Oxygen Species) memberikan efek merusak bila keseimbangan antara oksidan dan antioksidan terganggu. Keseimbangan ini tergantung pada konsumsi pangan yang membawa asam-asam amino esensial dalam jumlah yang diperlukan untuk mensintesa protein serta zat gizi lain yang diperlukan. Walaupun secara teoritis senyawa radikal di dalam tubuh dapat dihilangkan bila terdapat antioksidan, tetapi efisiensi penghilangan senyawa radikal ini tidak pernah mencapai 100% (Parke 1999). Menurut Halliwell (1996), reaksi-reaksi yang melibatkan senyawa radikal telah diketahui merupakan asal dari berbagai macam penyakit, antara lain ginjal, diabetes, kanker, dan penyakit kardiovaskular. Pada individu yang sehat, keberadan pro-oksidan dapat diimbangi dengan adanya antioksidan. Akan tetapi pada keadaan tertentu keseimbangan tersebut dapat terganggu, dimana jumlah pro-oksidan lebih banyak dibandingkan oksidan. Oleh karena itu, penting sekali untuk meningkatkan kadar antioksidan di dalam tubuh, dan hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan konsumsi antioksidan alami. Antioksidan alami yang terdapat dalam bahan pangan dapat dikategorikan menjadi dua golongan, yaitu (1) yang tergolong sebagai zat gizi, yaitu vitamin A dan karetenoid, vitamin E, vitamin C, vitamin B2, seng (Zn), tembaga (Cu), selenium (Se), dan protein; (2) yang tergolong sebagai zat nongizi, yaitu biogenik amin, senyawa fenol, antosianin, zat sulforaphane, senyawa polifenol dan tannin (Muchtadi 2001). Antosianin Antosianin tergolong pigmen yang disebut flavonoid yang pada umumnya larut dalam air (Winarno 1997). Menurut Aman dan Winarno (1981), warna-warna merah, biru, ungu dalam buah dan tanaman biasanya disebabkan oleh warna pigmen antosianin (flavanoid) yang terdiri dari tiga gugusan penting: a) cincin dasar yang terdiri dari gugusan aglikon (tanpa gula) b) gugusan Aglikon atau gula c) asam organik asil misalnya koumarat, kofeat atau ferulat Menurut Markakis (1982), molekul antosianin disusun dari sebuah aglikon (antosianidin) yang teresterifikasi dengan satu atau lebih gula (glikon). Menurut Timberlake dan Bridle (1983), gula yang menyusun antosianin terdiri dari: Monosakarida, biasanya glukosa, galaktosa, ramnosa, dan arabinosa. 8 Disakarida yang merupakan dua buah monosakarida dengan kombinasi dari empat monosakarida di atas dan xilosa, seperti rutinosa. Trisakarida, merupakan tiga buah monosakarida yang mengandung kombinasi dari gula-gula di atas dalam posisi linier maupun rantai cabang. Gula yang paling banyak dijumpai adalah monosakarida seperti glukosa, galaktosa, ramnosa, dan arabinosa. Di dan tri sakarida juga dibentuk dari kombinasi monosarida di atas. Dalam tanaman, antosianin dalam bentuk glikosida yaitu ester dengan satu molekul monosakarida disebut monoglukosida dan biosida atau diglukosida jika memiliki dua molekul gula (Winarno 1997). Aman dan Winarno (1981) mengungkapkan bahwa dalam sel, antosianin terletak di dalam vakuola. Oleh karena itu, adanya gugusan gula ini dapat mempengaruhi stabilitas antosianin. Bila gugusan gula lepas, antosianin menjadi labil. Menurut Winarno (1997), sewaktu pemanasan dalam asam mineral pekat, antosianin pecah menjadi antosianidin dan gula. Berbagai jenis struktur antosianin adalah sebagai berikut: Gambar 2 Berbagai jenis struktur antosianin 9 Menurut Astawan dan Kasih (2008), antosianin diyakini mempunyai efek antioksidan yang sangat baik. Sebuah penelitian yang dilakukan di Universitas Michigan Amerika Serikat menunjukkan bahwa antosianin dapat menghancurkan radikal bebas, lebih efektif daripada vitamin E yang selama ini telah dikenal sebagai antioksidan kuat. Sebuah penelitian di Amerika Serikat membuktikan bahwa antosianin merupakan antioksidan yang paling kuat di antara kelas flavonoid lainnya. USDA Human Nutrition Center menyatakan bahwa blueberry yang kaya akan antosianin memiliki efek antioksidan yang paling baik di antara 40 jenis tanaman dan buah-buahan yang telah diuji. Kandungan antosianin diyakini dapat menghambat berbagai radikal bebas seperti radikal superoksida dan hidrogen peroksida. Antosianin dan berbagai bentuk turunannya dapat menghambat berbagai reaksi oksidasi dengan berbagai mekanisme. Antosianin kubis merah dapat menghambat oksidasi yang dihasilkan oleh toksin. Banyak faktor yang mempengaruhi kekuatan antioksidan pada buahbuahan berwarna ungu, antara lain adalah tingkat kematangan buah. Pada buah yang hijau hanya terdiri dari malvidin-3-acetylglucoside dan pigmen polymeric sedangkan pada buah yang masak terdiri dari cyaniding-3-rutinoside (>75%), cyanidin-3-glucoside (<17%), dan malvidin-3-acetylglucoside (<9%) (Rivera, Ordorica, dan Wesche 1998; Goncalves et al 2006). Selama proses pematangan buah banyak terjadi perubahan kimia, termasuk perubahan komposisi pigmen dan perubahan warna yang melibatkan proses biosintesis dan katabolisme. Selama proses pematangan ini, kloroplas secara berangsur-angsur akan digantikan oleh kromoplas yang hanya mengandung karotenoid. Proses pematangan pada berbagai buah ini juga melibatkan biosintesis antosianin yang larut dalam air yang terakumulasi dalam vakuola sentral dalam sel mesofil. Proses sintesis dari anatosianin ini diawali oleh malonil-CoA yang berasal dari 3 asetil-CoA dan p-koumaroil-CoA fenilalanin (MacDougall 2002). Kulkarni dan Aradhya (2004) menyatakan bahwa ketika tingkat kematangan semakin tinggi maka aktivitas antioksidannya semakin tinggi. Hal ini disebabkan karena antosianin yang meningkat pada buah yang semakin matang. Faktor yang juga mempengaruhi stabilitas antosianin adalah struktur antosianin dan komponen-komponen lain yang terdapat pada bahan pangan tersebut. Antosianin dapat membentuk kompleks dengan komponen polifenolik lainnya. Komponen flavonol dan flavon yang biasanya selalu berkonjugasi dengan antosianin juga memiliki kontribusi dalam menjaga stabilitas antosianin 10 (Monagas, Gomes dan Bartolome 2006). Faktor yang juga mempengaruhi antosianin adalah suhu. Proses pemanasan merupakan faktor terbesar yang menyebabkan kerusakan antosianin. Proses pemanasan terbaik untuk mencegah kerusakan antosianin adalah pengolahan pada suhu tinggi, tetapi dalam jangka waktu yang sangat pendek (High Temperature Short Term (HTST)). Cabrita dan Andersen (1999) menyatakan bahwa peningkatan suhu penyimpanan dari 10oC menjadi 23oC, masing-masing selama 60 hari, akan menyebabkan peningkatan kerusakan antosianin dari 30 persen menjadi 60 persen. Sebaliknya, stabilitas antosianin dapat meningkat sebanyak 6-9 kali ketika suhu penyimpanan diturunkan dari 20 oC menjadi 4oC. Antosianin yang disimpan di dalam ruang vakum akan lebih stabil dibandingkan dengan antosianin yang disimpan di ruang terbuka. Asam askorbat atau vitamin C dalam konsentrasi tinggi juga dapat menyebabkan rusaknya komponen antosianin (De Rosso & Mercadante 2006). Faktor pH mempengaruhi kestabilan warna antosianin. Pada pH rendah (asam) pigmen ini berwarna merah dan pada pH tinggi berubah menjadi violet dan kemudian biru (Winarno 1992). Menurut Markakis (1982), antosianin lebih stabil dalam larutan asam dibanding dalam larutan akali atau netral. Pada larutan asam, antosianin bersifat stabil, pada larutan asam kuat antosianin sangat stabil. Daravingas dan Cain (1968) mengemukakan bahwa penurunan pH secara nyata akan memperlambat laju kerusakan antosianin yang berasal dari raspberry. Sistrunk dan Cash (1968) berusaha meningkatkan kestabilan antosianin dari sari buah arbei dengan metode penurunan pH, selanjutnya ia mengatakan bahwa metode penurunan pH merupakan metode terbaik untuk mempertahankan stabilitas warna dari antosianin. Harper (1968) berpendapat bahwa pada kisaran pH 1-3, pigmen antosianin berada dalam bentuk oxonium (I) yang berwarna merah dan merupakan bentuk yang paling stabil. Bentuk tersebut dapat mengalami hidrolisis pada pH yang lebih tinggi membentuk pseudobasa (II) yang mulai kehilangan warna. Pseudobasa (II) yang terbentuk ini dapat mengalami kesetimbangan tautomerik. Kesetimbangan antara bentuk keto dan bentuk enol menghasilkan alfa diketon (IV) yang menghasilkan warna biru. Menurut Astawan dan Kasih (2008), suatu komponen kimia akan bersifat lebih stabil bila dapat bereaksi dengan dirinya sendiri. Pada konsentrasi tinggi, antosianin dapat bereaksi dengan dirinya sendiri. Itulah sebabnya buah-buahan yang memiliki antosianin tinggi bersifat lebih stabil dibandingkan buah-buahan 11 yang memiliki antosianin rendah. Aman dan Winarno (1981) mengungkapkan bahwa adanya pigmen lain sering menutupi warna yang disebabkan oleh pigmen antosianin. Antosianin atau pigmen lain juga terdapat di daun yang berwarna hijau dengan konsentrasi yang relatif rendah. Pigmen antosianin ini telah lama dikonsumsi oleh manusia dan hewan bersamaan dengan buah atau sayur yang mereka makan. Selama ini tidak pernah terjadi suatu penyakit ataupun keracunan yang disebabkan oleh pigmen ini (Brouillard 1982). Menurut penelitian yang banyak dilakukan, pigmen antosianin dan senyawa-senyawa flavonoid lainnya terbukti memiliki efek positif terhadap kesehatan (Bridle dan Timberlake 1997). Banyak bukti yang menunjukkan bahwa antosianin buka saja tidak beracun (non-toxic) dan tidak menimbulkan efek mutagenik, tetapi juga memiliki sifat yang positif seperti mencegah penyakit kanker dan kardiovaskuler (Saija 1994). Antosianin memiliki warna yang kuat , larut dalam air, relatif stabil dalam air pada pH asam dan adanya pembatasan penggunaan bahan pewarna merah sintetik, maka antosianin cocok dijadikan sebagai subsitusi pewarna makanan sintesis (Markakis 1982). Pembuatan Minuman Serbuk Buah Buni Sebelum pembuatan minuman serbuk buah buni, hal yang dilakukan pertama adalah ekstraksi buah buni. Ekstraksi adalah proses penarikan komponen/zat aktif suatu sampel dengan menggunakan pelarut tertentu. Pemilihan metode ekstraksi senyawa ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu sifat jaringan tanaman, sifat kandungan zat aktif serta kelarutan dalam pelarut yang digunakan. Prinsip ekstraksi adalah melarutkan senyawa polar dalam pelarut polar dan senyawa non polar dalam pelarut non polar (Harbone 1987). Cook & Cullen (1986) mengungkapkan bahwa ada dua tipe ekstraksi pelarut yaitu ekstraksi padat-cair dan cair-cair. Tipe pertama sering juga disebut dengan pencucian (leaching) yaitu proses pemisahan bahan dari campuran zat padat dengan cara mengaduknya dalam suatu cairan (pelarut) di mana bahan yang diinginkan untuk dipisahkan akan terlarut. Proses ekstraksi cair-cair pada prinsipnya sama, namun dalam hal ini larutan yang mengandung bahan terlarut dicampurkan dan dikocok benar-benar dengan cairan (pelarut) yang lain. Jika kedua cairan bersifat tidak dapat bercampur maka akan terbentuk lapisan pemisah antara kedua cairan setelah terbentuknya endapan dalam 12 campuran. Cairan dengan bahan-bahan terlarut di dalamnya dinyatakan dengan lapisan jenuh (ekstrak) dan lapisan yang bersisa dinyatakan dengan rafinat. Dalam beberapa hal digunakan pelarut air, keadaan ini dikenal dengan ekstraksi akua (aquaeous extraction). Pelarut-pelarut yang umum digunakan bersamasama dengan air ialah kloroform, karbon tetraklorida, etilen diklorida, benzene, toluene, xilena, dan petroleum eter (Cook & Cullen 1986). Menurut Strack dan Wray (1993), penambahan asam sebagai pelarut tidak selau diperlukan. Metode ekstraksi yang digunakan untuk analisis kuantitatif harus diperiksa secara menyeluruh pada tanaman dan jenis pigmen tertentu. Jika terdapat gugus asil pada antosianin misalnya di dalam kubis ungu, maka penggunaan asam sebagai campuran pelarut harus dihindarkan. Hal ini disebabkan ikatan asil ini mudah terhidrolisis (Markakis 1982). Ekstraksi bertahap ganda (multi-stage extraction) digunakan untuk memperoleh efisiensi yang lebih tinggi, di mana produk yang dihasilkan hampir seluruhnya dapat dipisahkan dari rafinatnya. Pelarut yang terbagi dalam beberapa bagian diisikan ke serangkaian alat pencampur (mixer) dan alat pengendap (setter). Kekurangan penggunaan metode ini ialah terlalu besarnya jumlah pelarut yang dibutuhkan (Cook & Cullen 1986). Hasil ekstrak yang telah terkumpul kemudian dijadikan tepung buah buni. Pengeringan adalah suatu usaha menurunkan jumlah kandungan air dari suatu bahan. Pengeringan bahan makanan seperti sayur-sayuran dan buah-buahan dapat dilakukan dengan cara penjemuran, dehidrasi dengan alat pengering, “freeze drying” dan dehidrasi parsial secara osmosis dalam larutan gula atau garam. Tujuan utama pengeringan bahan makanan adalah untuk memperpanjang daya tahan simpannya, yaitu dengan mengurangi aω-nya sehingga mikroorganisme tidak tumbuh (Muchtadi 1989). Keuntungan dari pengeringan adalah bahan menjadi lebih awet dengan volume dan berat bahan menjadi lebih kecil sehingga mempermudah dan menghemat ruang pengangkutan dan pengepakan, dengan demikian diharapkan biaya produksi menjadi lebih mudah. Pengeringan juga mempunyai beberapa kerugian, yaitu karena sifat asal dari bahan yang dikeringkan dapat berubah misalnya bentuknya, sifat-sifat fisik dan kimianya, penurunan mutu dan lainlainnya. Kerugian yang lainnya juga disebabkan karena beberapa bahan kering perlu pekerjaan tambahan sebelum digunakan, misalnya harus dibasahkan kembali (Winarno et al 1980). 13 Makanan yang dikeringkan mempunyai nilai gizi yang lebih rendah dibandingkan dengan bahan segarnya. Selama pengeringan juga dapat terjadi perubahan warna, tekstur, aroma, dan lain-lainnya, meskipun perubahanperubahan tersebut dapat dibatasi seminimal mungkin dengan jalan memberikan perlakuan pendahuluan terhadap bahan pangan yang akan dikeringkan. Dengan mengurangi kadar airnya, bahan pangan akan mengandung senyawa-senyawa seperti protein, karbohidrat, lemak dan mineral dalam konsentrasi yang lebih tinggi, akan tetapi vitamin-vitamin dan zat warna pada umumnya menjadi rusak atau berkurang (Winarno et al 1980). Alat pengering yang digunakan dalam pembuatan tepung buah buni adalah pengering vakum (vacuum dryer). Pengering vakum dipergunakan untuk mengeringkan bahan-bahan yan sensitif terhadap perubahan suhu tinggi seperti sari buah serta larutan pekat lainnya. Pengeringan dengan pengering vakum terjadi pada suhu rendah dan berlangsung dengan cepat. Peningkatan suhu terjadi dengan cara menginjeksikan udara panas ke dalam ruang pengering melalui lubang-lubang yang menghubungkan daerah kontak panas pada rak. Sementara bahan ditebar tipis di atas rak-rak (yang terletak di atas pemukaan yang berlubang). Uap air dari produk yang terbentuk dihisap dengan ejektor yang dibangkitkan dengan tenaga uap (Suharto 1991). Pada pengering ini, titik didih air turun di bawah 100 oC karena tekanannya di bawah tekanan atmosfer. Produk hasil pengeringan bersifat higroskopis. Selain bahan di atas, pengering vakum juga biasa digunakan untuk ekstraksi dan pemekatan essens dan flavor (Sokhansanj dan Jayas 1995). Adapun bahan pengisi yang digunakan dalam pembuatan tepung buah buni adalah maltodekstrin. Maltodekstrin ialah senyawa turunan pati hasil hidrolisis pati melalui proses hidrolisis parsial oleh enzim α-amilase (Kennedy et al. 1995). Maltodekstrin dapat diproduksi secara hidrolisis asam atau enzimatik (Kearsley dan Dziedzic 1995). Maltodektrin terdiri dari unit-unit α-D-glukosida dengan panjang 5-10 unit yang saling berikatan dengan ikatan α-1,4 dengan DE (dextrose equivalent) kurang dari 20 (Kennedy et al. 1995). Menurut McDonald (1984), maltodekstrin memiliki sifat kurang higroskopis, kurang manis, memiliki tingkat kelarutan tinggi dan cenderung tidak membentuk warna pada reaksi browning. Maltodekstrin banyak digunakan dalam industri pangan sebagai bahan pengisi dan bahan campuran untuk produk berbasis tepung-tepungan (Schenk dan Hebed 1992).