Aktivitas antioksidan minuman serbuk buah buni (Antidesma bunius

advertisement
4
TINJAUAN PUSTAKA
Buah Buni
Buni dalam bahasa ilmiah diberi nama Antidesma bunius (L.) Spreng.
Tanaman ini berupa pohon yang tingginya dapat mencapai 15-30 m, garis tengah
batang sekitar 20-25 cm, bercabang banyak dan rindang. Bunga jantan dan
betina buah buni masing-masing terletak pada pohon yang berlainan, tersusun
dalam bentuk malai. Ukuran bunga betina lebih besar daripada bunga jantan.
Warna buah buni mula-mula hijau terang, setelah dewasa menjadi merah. Buah
buni tersusun dalam tandan, berbentuk bulat atau bulat telur, bergaris tengah
sekitar 3 cm (Lembaga Biologi Nasional 1977). Menurut Heyne (1987), buah buni
sedikit lebih besar dari kacang kapri, mula-mula berwarna merah sangat asam,
kemudian kehitam-hitaman dan berair dengan rasa manis keasam-asaman.
Gambar 1 Buah buni
Antidesma bunius tumbuh liar di wilayah yang lebih basah di India, dari
Himalaya ke selatan dan timur, di Sri Lanka, Myanmar, dan Malaysia. Buni ini
mungkin tidak berasal dari Filipina dan Malaysia, tetapi jika demikian halnya,
tanaman ini telah diintroduksi pada masa prasejarah, dan telah bernaturalisasi
secara luas, sekurang-kurangnya di Filipina. Buni dibudidayakan secara besarbesaran di Indo-Cina dan di berbagai daerah di Indonesia, terutama di Jawa. Di
Malaysia dan Filipina, buni jarang dibudidayakan (Gruèzo 1997). Di daerah tropik
pohon buni dapat tumbuh pada ketinggian 0-1000 m dpl. Di Indonesia buni
ditanam di propinsi-propinsi bagian timur yang beriklim muson, serta di bagian
barat yang berhawa lembab, dengan demikian buni selain toleran terhadap
kekeringan juga dapat hidup di daerah lembab (Yulistyarini dkk 2000 dan Tohir
1981).
5
Buah buni yang matang dapat dimakan dalam keadaan segar, tetapi
dapat mewarnai mulut dan jari. Selain itu, sari buah dari buah yang matang pun
berguna sebagai minuman penyegar dan menghasilkan anggur yang istimewa.
Buah buni yang mentah memiliki rasa agak asam, buah-buah dalam satu tandan
tidak bersamaan matangnya, maka buah buni seringkali digunakan untuk
pembuatan selai dan jeli (Gruèzo 1997). Buah buni sering digunakan oleh orang
Indonesia untuk rujak dan dibuat saus-asem ikan (Lembaga Biologi Nasional
1977 dan Gruèzo 1997). Kadang-kadang buah buni dapat pula dipakai sebagai
campuran dalam minuman buah-buahan. Daun muda buah buni dapat berguna
untuk memberi aroma pada ikan atau daging rebus (stew), lalap dan dimasak
dengan nasi. Buah muda dan daun muda buah buni dapat digunakan sebagai
pengganti cuka (Gruèzo 1997).
Kulit dan daun mengandung alkaloid yang memiliki khasiat obat, tetapi
dilaporkan juga beracun. Kayu buah buni berwarna kemerah-merahan dan keras
yang kurang bermanfaat namun memiliki mutu yang cukup baik. Di Malaysia
jenis dari marga yang sama dipakai sebagai pohon untuk penghutanan kembali
tanah-tanah gundul. Jenis tersebut menyukai tempat yang terbuka dan dapat
tumbuh berkompetisi dengan alang-alang (Lembaga Biologi Nasional 1977).
Klasifikasi buah buni adalah sebagai berikut:
Kerajaan
:Plantae
Divisi
:Magnoliophyta
Kelas
:Magnoliopsida
Ordo
:Malpighiales
Famili
:Phyllanthaceae
Bangsa
:Antidesmeae
Upabangsa
:Antidesminae
Genus
:Antidesma
Spesies
: A. bunius
Menurut Gruèzo (1997), kandungan bagian buah yang dapat dimakan
merupakan 65-80% dari keseluruhan buah. Asam sitrat merupakan asam organik
yang paling menonjol dalam buah buni. Kandungan gizi untuk setiap 100 g buah
buni dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini:
6
Tabel 1 Kandungan gizi pada 100 gram buah buni
Kandungan gizi
Energi (kJ)
Air (g)
Karbohidrat (g)
Protein (g)
Lemak (g)
Kalsium (mg)
Fosfor (mg)
Besi (mg)
Vitamin A (IU)
Vitamin C (mg)
Jumlah
134
90-95
6,3
0,7
0,8
3,7-120
22-40
0,1-0,7
10
8
Sumber: Gruèzo 1997
Penanganan pasca panen buah yang tidak dilakukan secara hati-hati
akan mengakibatkan terjadinya perubahan fisiologis, fisik, kimiawi, parasitik atau
mikrobiologis
yang
menyebabkan
bahan
pangan
tersebut
tidak
dapat
dimanfaatkan lagi. Cara penanganan pasca panen yang dapat dilakukan adalah
dengan cara mengelola buah menjadi suatu olahan pangan. Variasi pengolahan
buah buni pada masyarakat Indonesia masih rendah yatu hanya dikonsumsi
segar atau dikonsumsi sebagai rujak (Muchtadi 2000 dan Lembaga Biologi
Nasional 1977). Pengolahan buah buni menjadi berbagai olahan diharapkan
dapat meningkatkan pemanfaatan buah lokal, mengurangi kehilangan hasil
pertanian dan memperpanjang masa simpan (Muchtadi 2000).
Antioksidan
Antioksidan adalah komponen yang dapat mencegah atau menghambat
oksidasi lemak, asam nukleat, atau molekul lainnya dengan mencegah inisiasi
atau perkembangan dari pengoksidasian reaksi berantai. Sayuran dan buahbuahan merupakan bahan pangan yang kaya akan antioksidan. Beberapa studi
menyebutkan bahwa dengan mengkonsumsi sayuran dan buah-buahan segar
dapat menurunkan terkena kanker dan berbagai penyakit degeneratif lainnya
(Wang 2007). Menurut Halliwell (1996), senyawa radikal yang terdapat dalam
tubuh berasal dari luar tubuh (eksogen) maupun dari dalam tubuh (endogen)
yang terbentuk dari hasil metabolisme zat gizi secara normal. Dalam proses
fisiologis timbulnya senyawa radikal tubuh (pro-oksidan) akan diimbangi oleh
mekanisme pertahanan endogen dengan menggunakan zat (senyawa) yang
mempunyai kemampuan sebagai anti radikal bebas, yang juga disebut
antioksidan.
7
Senyawa ROS (Reactive Oxygen Species) memberikan efek merusak
bila keseimbangan antara oksidan dan antioksidan terganggu. Keseimbangan ini
tergantung pada konsumsi pangan yang membawa asam-asam amino esensial
dalam jumlah yang diperlukan untuk mensintesa protein serta zat gizi lain yang
diperlukan. Walaupun secara teoritis senyawa radikal di dalam tubuh dapat
dihilangkan bila terdapat antioksidan, tetapi efisiensi penghilangan senyawa
radikal ini tidak pernah mencapai 100% (Parke 1999).
Menurut Halliwell (1996), reaksi-reaksi yang melibatkan senyawa radikal
telah diketahui merupakan asal dari berbagai macam penyakit, antara lain ginjal,
diabetes, kanker, dan penyakit kardiovaskular. Pada individu yang sehat,
keberadan pro-oksidan dapat diimbangi dengan adanya antioksidan. Akan tetapi
pada keadaan tertentu keseimbangan tersebut dapat terganggu, dimana jumlah
pro-oksidan lebih banyak dibandingkan oksidan. Oleh karena itu, penting sekali
untuk meningkatkan kadar antioksidan di dalam tubuh, dan hal ini dapat
dilakukan dengan meningkatkan konsumsi antioksidan alami.
Antioksidan
alami
yang
terdapat
dalam
bahan
pangan
dapat
dikategorikan menjadi dua golongan, yaitu (1) yang tergolong sebagai zat gizi,
yaitu vitamin A dan karetenoid, vitamin E, vitamin C, vitamin B2, seng (Zn),
tembaga (Cu), selenium (Se), dan protein; (2) yang tergolong sebagai zat nongizi, yaitu biogenik amin, senyawa fenol, antosianin, zat sulforaphane, senyawa
polifenol dan tannin (Muchtadi 2001).
Antosianin
Antosianin tergolong pigmen yang disebut flavonoid yang pada umumnya
larut dalam air (Winarno 1997). Menurut Aman dan Winarno (1981), warna-warna
merah, biru, ungu dalam buah dan tanaman biasanya disebabkan oleh warna
pigmen antosianin (flavanoid) yang terdiri dari tiga gugusan penting:
a) cincin dasar yang terdiri dari gugusan aglikon (tanpa gula)
b) gugusan Aglikon atau gula
c) asam organik asil misalnya koumarat, kofeat atau ferulat
Menurut Markakis (1982), molekul antosianin disusun dari sebuah aglikon
(antosianidin) yang teresterifikasi dengan satu atau lebih gula (glikon). Menurut
Timberlake dan Bridle (1983), gula yang menyusun antosianin terdiri dari:
 Monosakarida, biasanya glukosa, galaktosa, ramnosa, dan arabinosa.
8
 Disakarida yang merupakan dua buah monosakarida dengan kombinasi
dari empat monosakarida di atas dan xilosa, seperti rutinosa.
 Trisakarida, merupakan tiga buah monosakarida yang mengandung
kombinasi dari gula-gula di atas dalam posisi linier maupun rantai cabang.
Gula yang paling banyak dijumpai adalah monosakarida seperti glukosa,
galaktosa, ramnosa, dan arabinosa. Di dan tri sakarida juga dibentuk dari
kombinasi monosarida di atas. Dalam tanaman, antosianin dalam bentuk
glikosida yaitu ester dengan satu molekul monosakarida disebut monoglukosida
dan biosida atau diglukosida jika memiliki dua molekul gula (Winarno 1997).
Aman dan Winarno (1981) mengungkapkan bahwa dalam sel, antosianin terletak
di dalam vakuola. Oleh karena itu, adanya gugusan gula ini dapat mempengaruhi
stabilitas antosianin. Bila gugusan gula lepas, antosianin menjadi labil. Menurut
Winarno (1997), sewaktu pemanasan dalam asam mineral pekat, antosianin
pecah menjadi antosianidin dan gula. Berbagai jenis struktur antosianin adalah
sebagai berikut:
Gambar 2 Berbagai jenis struktur antosianin
9
Menurut Astawan dan Kasih (2008), antosianin diyakini mempunyai efek
antioksidan yang sangat baik. Sebuah penelitian yang dilakukan di Universitas
Michigan Amerika Serikat menunjukkan bahwa antosianin dapat menghancurkan
radikal bebas, lebih efektif daripada vitamin E yang selama ini telah dikenal
sebagai antioksidan kuat. Sebuah penelitian di Amerika Serikat membuktikan
bahwa antosianin merupakan antioksidan yang paling kuat di antara kelas
flavonoid lainnya. USDA Human Nutrition Center menyatakan bahwa blueberry
yang kaya akan antosianin memiliki efek antioksidan yang paling baik di antara
40 jenis tanaman dan buah-buahan yang telah diuji. Kandungan antosianin
diyakini dapat menghambat berbagai radikal bebas seperti radikal superoksida
dan hidrogen peroksida. Antosianin dan berbagai bentuk turunannya dapat
menghambat berbagai reaksi oksidasi dengan berbagai mekanisme. Antosianin
kubis merah dapat menghambat oksidasi yang dihasilkan oleh toksin.
Banyak faktor yang mempengaruhi kekuatan antioksidan pada buahbuahan berwarna ungu, antara lain adalah tingkat kematangan buah. Pada buah
yang hijau hanya terdiri dari malvidin-3-acetylglucoside dan pigmen polymeric
sedangkan pada buah yang masak terdiri dari cyaniding-3-rutinoside (>75%),
cyanidin-3-glucoside (<17%), dan malvidin-3-acetylglucoside (<9%) (Rivera,
Ordorica, dan Wesche 1998; Goncalves et al 2006). Selama proses pematangan
buah banyak terjadi perubahan kimia, termasuk perubahan komposisi pigmen
dan perubahan warna yang melibatkan proses biosintesis dan katabolisme.
Selama proses pematangan ini, kloroplas secara berangsur-angsur akan
digantikan oleh kromoplas yang hanya mengandung karotenoid. Proses
pematangan pada berbagai buah ini juga melibatkan biosintesis antosianin yang
larut dalam air yang terakumulasi dalam vakuola sentral dalam sel mesofil.
Proses sintesis dari anatosianin ini diawali oleh malonil-CoA yang berasal dari 3
asetil-CoA dan p-koumaroil-CoA fenilalanin (MacDougall 2002). Kulkarni dan
Aradhya (2004) menyatakan bahwa ketika tingkat kematangan semakin tinggi
maka aktivitas antioksidannya semakin tinggi. Hal ini disebabkan karena
antosianin yang meningkat pada buah yang semakin matang.
Faktor yang juga mempengaruhi stabilitas antosianin adalah struktur
antosianin dan komponen-komponen lain yang terdapat pada bahan pangan
tersebut. Antosianin dapat membentuk kompleks dengan komponen polifenolik
lainnya. Komponen flavonol dan flavon yang biasanya selalu berkonjugasi
dengan antosianin juga memiliki kontribusi dalam menjaga stabilitas antosianin
10
(Monagas, Gomes dan Bartolome 2006). Faktor yang juga mempengaruhi
antosianin adalah suhu. Proses pemanasan merupakan faktor terbesar yang
menyebabkan
kerusakan
antosianin.
Proses
pemanasan
terbaik
untuk
mencegah kerusakan antosianin adalah pengolahan pada suhu tinggi, tetapi
dalam jangka waktu yang sangat pendek (High Temperature Short Term
(HTST)). Cabrita dan Andersen (1999) menyatakan bahwa peningkatan suhu
penyimpanan dari 10oC menjadi 23oC, masing-masing selama 60 hari, akan
menyebabkan peningkatan kerusakan antosianin dari 30 persen menjadi 60
persen. Sebaliknya, stabilitas antosianin dapat meningkat sebanyak 6-9 kali
ketika suhu penyimpanan diturunkan dari 20 oC menjadi 4oC. Antosianin yang
disimpan di dalam ruang vakum akan lebih stabil dibandingkan dengan
antosianin yang disimpan di ruang terbuka. Asam askorbat atau vitamin C dalam
konsentrasi tinggi juga dapat menyebabkan rusaknya komponen antosianin (De
Rosso & Mercadante 2006).
Faktor pH mempengaruhi kestabilan warna antosianin. Pada pH rendah
(asam) pigmen ini berwarna merah dan pada pH tinggi berubah menjadi violet
dan kemudian biru (Winarno 1992). Menurut Markakis (1982), antosianin lebih
stabil dalam larutan asam dibanding dalam larutan akali atau netral. Pada larutan
asam, antosianin bersifat stabil, pada larutan asam kuat antosianin sangat stabil.
Daravingas dan Cain (1968) mengemukakan bahwa penurunan pH secara nyata
akan memperlambat laju kerusakan antosianin yang berasal dari raspberry.
Sistrunk dan Cash (1968) berusaha meningkatkan kestabilan antosianin dari sari
buah arbei dengan metode penurunan pH, selanjutnya ia mengatakan bahwa
metode penurunan pH merupakan metode terbaik untuk mempertahankan
stabilitas warna dari antosianin. Harper (1968) berpendapat bahwa pada kisaran
pH 1-3, pigmen antosianin berada dalam bentuk oxonium (I) yang berwarna
merah dan merupakan bentuk yang paling stabil. Bentuk tersebut dapat
mengalami hidrolisis pada pH yang lebih tinggi membentuk pseudobasa (II) yang
mulai kehilangan warna. Pseudobasa (II) yang terbentuk ini dapat mengalami
kesetimbangan tautomerik. Kesetimbangan antara bentuk keto dan bentuk enol
menghasilkan alfa diketon (IV) yang menghasilkan warna biru.
Menurut Astawan dan Kasih (2008), suatu komponen kimia akan bersifat
lebih stabil bila dapat bereaksi dengan dirinya sendiri. Pada konsentrasi tinggi,
antosianin dapat bereaksi dengan dirinya sendiri. Itulah sebabnya buah-buahan
yang memiliki antosianin tinggi bersifat lebih stabil dibandingkan buah-buahan
11
yang memiliki antosianin rendah. Aman dan Winarno (1981) mengungkapkan
bahwa adanya pigmen lain sering menutupi warna yang disebabkan oleh pigmen
antosianin. Antosianin atau pigmen lain juga terdapat di daun yang berwarna
hijau dengan konsentrasi yang relatif rendah.
Pigmen antosianin ini telah lama dikonsumsi oleh manusia dan hewan
bersamaan dengan buah atau sayur yang mereka makan. Selama ini tidak
pernah terjadi suatu penyakit ataupun keracunan yang disebabkan oleh pigmen
ini (Brouillard 1982). Menurut penelitian yang banyak dilakukan, pigmen
antosianin dan senyawa-senyawa flavonoid lainnya terbukti memiliki efek positif
terhadap kesehatan (Bridle dan Timberlake 1997). Banyak bukti yang
menunjukkan bahwa antosianin buka saja tidak beracun (non-toxic) dan tidak
menimbulkan efek mutagenik, tetapi juga memiliki sifat yang positif seperti
mencegah penyakit kanker dan kardiovaskuler (Saija 1994). Antosianin memiliki
warna yang kuat , larut dalam air, relatif stabil dalam air pada pH asam dan
adanya pembatasan penggunaan bahan pewarna merah sintetik, maka
antosianin cocok dijadikan sebagai subsitusi pewarna makanan sintesis
(Markakis 1982).
Pembuatan Minuman Serbuk Buah Buni
Sebelum pembuatan minuman serbuk buah buni, hal yang dilakukan
pertama adalah ekstraksi buah buni. Ekstraksi adalah proses penarikan
komponen/zat aktif suatu sampel dengan menggunakan pelarut tertentu.
Pemilihan metode ekstraksi senyawa ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu sifat
jaringan tanaman, sifat kandungan zat aktif serta kelarutan dalam pelarut yang
digunakan. Prinsip ekstraksi adalah melarutkan senyawa polar dalam pelarut
polar dan senyawa non polar dalam pelarut non polar (Harbone 1987). Cook &
Cullen (1986) mengungkapkan bahwa ada dua tipe ekstraksi pelarut yaitu
ekstraksi padat-cair dan cair-cair. Tipe pertama sering juga disebut dengan
pencucian (leaching) yaitu proses pemisahan bahan dari campuran zat padat
dengan cara mengaduknya dalam suatu cairan (pelarut) di mana bahan yang
diinginkan untuk dipisahkan akan terlarut. Proses ekstraksi cair-cair pada
prinsipnya sama, namun dalam hal ini larutan yang mengandung bahan terlarut
dicampurkan dan dikocok benar-benar dengan cairan (pelarut) yang lain.
Jika kedua cairan bersifat tidak dapat bercampur maka akan terbentuk
lapisan pemisah antara kedua cairan setelah terbentuknya endapan dalam
12
campuran. Cairan dengan bahan-bahan terlarut di dalamnya dinyatakan dengan
lapisan jenuh (ekstrak) dan lapisan yang bersisa dinyatakan dengan rafinat.
Dalam beberapa hal digunakan pelarut air, keadaan ini dikenal dengan ekstraksi
akua (aquaeous extraction). Pelarut-pelarut yang umum digunakan bersamasama dengan air ialah kloroform, karbon tetraklorida, etilen diklorida, benzene,
toluene, xilena, dan petroleum eter (Cook & Cullen 1986).
Menurut Strack dan Wray (1993), penambahan asam sebagai pelarut
tidak selau diperlukan. Metode ekstraksi yang digunakan untuk analisis kuantitatif
harus diperiksa secara menyeluruh pada tanaman dan jenis pigmen tertentu. Jika
terdapat gugus asil pada antosianin misalnya di dalam kubis ungu, maka
penggunaan asam sebagai campuran pelarut harus dihindarkan. Hal ini
disebabkan ikatan asil ini mudah terhidrolisis (Markakis 1982).
Ekstraksi bertahap ganda (multi-stage extraction) digunakan untuk
memperoleh efisiensi yang lebih tinggi, di mana produk yang dihasilkan hampir
seluruhnya dapat dipisahkan dari rafinatnya. Pelarut yang terbagi dalam
beberapa bagian diisikan ke serangkaian alat pencampur (mixer) dan alat
pengendap (setter). Kekurangan penggunaan metode ini ialah terlalu besarnya
jumlah pelarut yang dibutuhkan (Cook & Cullen 1986).
Hasil ekstrak yang telah terkumpul kemudian dijadikan tepung buah buni.
Pengeringan adalah suatu usaha menurunkan jumlah kandungan air dari suatu
bahan. Pengeringan bahan makanan seperti sayur-sayuran dan buah-buahan
dapat dilakukan dengan cara penjemuran, dehidrasi dengan alat pengering,
“freeze drying” dan dehidrasi parsial secara osmosis dalam larutan gula atau
garam.
Tujuan
utama
pengeringan
bahan
makanan
adalah
untuk
memperpanjang daya tahan simpannya, yaitu dengan mengurangi aω-nya
sehingga mikroorganisme tidak tumbuh (Muchtadi 1989).
Keuntungan dari pengeringan adalah bahan menjadi lebih awet dengan
volume dan berat bahan menjadi lebih kecil sehingga mempermudah dan
menghemat ruang pengangkutan dan pengepakan, dengan demikian diharapkan
biaya produksi menjadi lebih mudah. Pengeringan juga mempunyai beberapa
kerugian, yaitu karena sifat asal dari bahan yang dikeringkan dapat berubah
misalnya bentuknya, sifat-sifat fisik dan kimianya, penurunan mutu dan lainlainnya. Kerugian yang lainnya juga disebabkan karena beberapa bahan kering
perlu pekerjaan tambahan sebelum digunakan, misalnya harus dibasahkan
kembali (Winarno et al 1980).
13
Makanan yang dikeringkan mempunyai nilai gizi yang lebih rendah
dibandingkan dengan bahan segarnya. Selama pengeringan juga dapat terjadi
perubahan warna, tekstur, aroma, dan lain-lainnya, meskipun perubahanperubahan tersebut dapat dibatasi seminimal mungkin dengan jalan memberikan
perlakuan pendahuluan terhadap bahan pangan yang akan dikeringkan. Dengan
mengurangi kadar airnya, bahan pangan akan mengandung senyawa-senyawa
seperti protein, karbohidrat, lemak dan mineral dalam konsentrasi yang lebih
tinggi, akan tetapi vitamin-vitamin dan zat warna pada umumnya menjadi rusak
atau berkurang (Winarno et al 1980).
Alat pengering yang digunakan dalam pembuatan tepung buah buni
adalah pengering vakum (vacuum dryer). Pengering vakum dipergunakan untuk
mengeringkan bahan-bahan yan sensitif terhadap perubahan suhu tinggi seperti
sari buah serta larutan pekat lainnya. Pengeringan dengan pengering vakum
terjadi pada suhu rendah dan berlangsung dengan cepat. Peningkatan suhu
terjadi dengan cara menginjeksikan udara panas ke dalam ruang pengering
melalui lubang-lubang yang menghubungkan daerah kontak panas pada rak.
Sementara bahan ditebar tipis di atas rak-rak (yang terletak di atas pemukaan
yang berlubang). Uap air dari produk yang terbentuk dihisap dengan ejektor yang
dibangkitkan dengan tenaga uap (Suharto 1991). Pada pengering ini, titik didih
air turun di bawah 100 oC karena tekanannya di bawah tekanan atmosfer. Produk
hasil pengeringan bersifat higroskopis. Selain bahan di atas, pengering vakum
juga biasa digunakan untuk ekstraksi dan pemekatan essens dan flavor
(Sokhansanj dan Jayas 1995).
Adapun bahan pengisi yang digunakan dalam pembuatan tepung buah
buni adalah maltodekstrin. Maltodekstrin ialah senyawa turunan pati hasil
hidrolisis pati melalui proses hidrolisis parsial oleh enzim α-amilase (Kennedy et
al. 1995). Maltodekstrin dapat diproduksi secara hidrolisis asam atau enzimatik
(Kearsley dan Dziedzic 1995). Maltodektrin terdiri dari unit-unit α-D-glukosida
dengan panjang 5-10 unit yang saling berikatan dengan ikatan α-1,4 dengan DE
(dextrose equivalent) kurang dari 20 (Kennedy et al. 1995). Menurut McDonald
(1984), maltodekstrin memiliki sifat kurang higroskopis, kurang manis, memiliki
tingkat kelarutan tinggi dan cenderung tidak membentuk warna pada reaksi
browning. Maltodekstrin banyak digunakan dalam industri pangan sebagai bahan
pengisi dan bahan campuran untuk produk berbasis tepung-tepungan (Schenk
dan Hebed 1992).
Download