BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kepuasan Kerja Salah satu faktor yang mempengaruhi efektivitas organisasi dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan adalah kepuasan kerja para karyawan. Bagi para pemimpin, memperhatikan kepuasan kerja karyawan sangat penting karena dapat mempengaruhi perilaku dan produktivitas kerja. Menurut Robbins (2003) kepuasan kerja pada dasarnya diartikan sebagai sikap umum seorang individu terhadap pekerjaannya. Sedangkan menurut Davis (dalam Sopiah, 2008), kepuasan kerja diartikan sebagai seperangkat perasaan pegawai tentang menyenangkan atau tidaknya pekerjaan mereka. Berdasarkan pengertian diatas, kita dapat memperoleh gambaran umum bahwa: 1. Kepuasan kerja itu berkaitan dengan perasaan, yaitu perasaan seseorang (karyawan) terhadap pekerjaannya. 2. Perasaan tersebut berkaitan dengan hal menyenangkan atau tidak terhadap pekerjaan yang dilakukan. Dari pengertian kepuasan kerja di atas, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu bahwa: 1. Perasaan seseorang dalam hubungan kerja itu sangat sulit untuk dilihat (diketahui). 2. Ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi perasaan, diantaranya: 8 9 1) Jenis pekerjaan: Jenis pekerjaan yang dilakukan karyawan sangat beragam, misalnya mengolah data, melayani pelanggan, mengkonsep surat, sampai dengan sopir. 2) Interaksi: Hubungan dengan teman sekerja, atasan, dan bawahan. 3) Situasi kerja: Fasilitas, peraturan dan kebijakan organisasi. Kepuasan kerja adalah sikap emosional yang menyenangkan dan mencintai pekerjaannya. Sikap ini dicerminkan oleh moral kerja, kedisiplinan dan prestasi kerja. Hasibuan (2001) menyatakan bahwa kepuasan kerja dinikmati dalam pekerjaan, luar pekerjaan dan kombinasi dalam dan luar pekerjaan. Sedangkan menurut Mathis dan Jackson (dalam Sopiah, 2008), kepuasan kerja merupakan pernyataan emosional yang positif yang merupakan hasil evaluasi dari pengalaman kerja. 2.1.1 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja Hasibuan (2001) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja yaitu: 1. Balas jasa yang adil dan layak. 2. Penempatan yang tepat dan sesuai dengan keahlian. 3. Berat ringannya pekerjaan. 4. Suasana dan lingkungan pekerjaan. 5. Peralatan yang menunjang pelaksanaan pekerjaan. 6. Sikap pemimpin dalam kepemimpinannya. 7. Sifat pekerjaan monoton atau tidak. 10 Banyak faktor yang telah diteliti sebagai faktor-faktor yang memungkinkan menentukan kepuasan kerja. Ditinjau dari faktor ciri-ciri intrinsik dari pekerjaan, gaji dan penyeliaan. 1. Ciri-ciri Intrinsik Pekerjaan Menurut Locke (dalam Munandar, 2008) ciri-ciri intrinsik dari pekerjaan yang mungkin menentukan kepuasan kerja adalah keragaman, kesulitan, jumlah pekerjaan, tanggung jawab, otonomi, kendali terhadap metode kerja, kemajemukan, dan kreativitas. Ada satu unsur yang dapat dijumpai pada ciriciri intrinsik dari pekerjaan di atas, yaitu tingkat tantangan mental. Konsep dari tantangan yang sesuai merupakan konsep yang penting. Berdasarkan survei diagnostik pekerjaan diperoleh hasil tentang lima ciri yang memperlihatkan kaitannya dengan kepuasan kerja untuk berbagai macam pekerjaan. ciri-ciri tersebut ialah : 1) Keragaman keterampilan. 2) Jati diri tugas (task identity). 3) Tugas yang penting (task significance). 4) Otonomi. Pekerjaan yang memberikan kebebasan, ketidak-gantungan dan peluang mengambil keputusan akan lebih cepat menimbulkan kepuasan kerja. 5) Pemberian umpan balik pada pekerjaan membantu meningkatkan tingkat kepuasan kerja. 11 2. Gaji Penghasilan, Imbalan yang Dirasakan Adil (Equittable Reward) Siegel & Lane (dalam Munandar, 2008) mengutip kesimpulan yang diberikan oleh beberapa ahli yang meninjau kembali hasil-hasil penelitian tentang pentingnya gaji sebagai penentu kepuasan kerja. Ternyata, menurut hasil penelitian yang dilakukan Theriault, kepuasan kerja merupakan fungsi dari jumlah absolut dari gaji yang diterima, derajat sejauh mana gaji memenuhi harapan-harapan tenaga kerja, dan bagaimana gaji diberikan. Dengan menggunakan teori keadilan dari Adams dilakukan berbagai penelitian dan salah satu hasilnya ialah bahwa orang yang menerima gaji yang dipersepsikan sebagai terlalu kecil atau terlalu besar akan mengalami distress atau ketiakpuasan. Jika gaji dipersepsikan sebagai adil didasarkan tuntutan-tuntutan pekerjaan, tingkat keterampilan individu, dan standar gaji yang berlaku untuk kelompok pekerjaan tertentu, maka akan ada kepuasan kerja. 3. Penyeliaan Locke (dalam Munandar, 2008) memberikan kerangka kerja teoritis untuk memahami kepuasan tenaga kerja dengan penyeliaan. Ia menemukan dua jenis dari hubungan atasan-bawahan: hubungan fungsional dan keseluruhan (entity). Hubungan fungsional mencerminkan sejauh mana penyelia membantu tenaga kerja, untuk memuaskan nilai-nilai pekerjaan yang penting bagi tenaga kerja. Sedangkan hubungan keseluruhan didasarkan pada ketertarikan antar pribadi yang mencerminkan sikap dasar dan nilai-nilai yang serupa. 12 4. Rekan-rekan Sejawat yang Menunjang Di dalam kelompok kerja dimana para pekerjanya harus bekerja sebagai satu tim, kepuasan kerja mereka dapat timbul karena kebutuhan-kebutuhan tingkat tinggi mereka (kebutuhan harga diri, kebutuhan aktualisasi diri) dapat dipenuhi, dan mempunyai dampak pada motivasi kerja mereka. 5. Kondisi Kerja yang Menunjang Bekerja dalam ruangan kerja yang sempit, panas dan cahaya lampu menyilaukan mata, kondisi kerja yang tidak nyaman akan menimbulkan keengganan untuk bekerja. Perusahaan perlu menyediakan ruang kerja yang terang, sejuk, dengan peralatan kerja yang mudah untuk digunakan. Dalam kondisi seperti itu kebutuhan-kebutuhan fisik terpenuhi dan memuaskan tenaga kerja (Munandar, 2008). Indikator kepuasan kerja atau ketidakpuasan kerja pegawai dapat diartikan oleh beberapa aspek yaitu : 1. Jumlah kehadiran pegawai atau jumlah kemangkiran. 2. Perasaan senang atau tidak senang dalam melaksanakan pekerjaan. 3. Perasaan adil atau tidak adil dalam menerima imbalan. 4. Suka atau tidak suka dengan jabatan yang dipegangnya. 5. Sikap menolak pekerjaan atau menerima dengan penuh tanggung jawab. 6. Tingkat motivasi para pegawai yang tercermin dalam perilaku pekerjaan. 7. Reaksi positif atau negatif terhadap kebijakan organisasi. 8. Unjuk rasa atau perilaku destruktif lainnya. 13 2.1.2 Dimensi-Dimensi Kepuasan Kerja Luthans (2005) membagi dimensi-dimensi pekerjaan yang berhubungan dengan kepuasan kerja yaitu imbalan, pekerjaan itu sendiri, promosi, supervisi, kelompok kerja dan kondisi kerja. Locke (dalam Luthans, 2005), membagi sembilan dimensi kerja yang merupakan pengembangan Locke sebelumnya dan mempunyai kontribusi terhadap kepuasan kerja, yaitu: a. Pekerjaan, termasuk minat intrinsik, variasi tugas, kesempatan belajar, kesulitan kerja, jumlah kerja, kesempatan untuk berhasil, kontrol terhadap langkah-langkah pekerjaan dan metode pekerjaan. b. Pembayaran, termasuk jumlah pembayaran, keadilan pembayaran, serta cara pembayarannya. c. Promosi, termasuk keadilan mendapatkan promosi dan kesempatan mendapat promosi. d. Pengakuan, termasuk penghargaan terhadap prestasi, kepercayaan atas tugas yang diberikan serta kritik atas tugas yang dikerjakan. e. Benefit, termasuk memperoleh pensiun, mendapat kesehatan, adanya cuti tahunan dan adanya pembayaran pada saat liburan. f. Kondisi kerja, termasuk jam kerja, jam istirahat, peralatan kerja, temperatur di tempat kerja, ventilasi, kelembaban, lokasi serta tata ruang kerja. g. Supervisi, termasuk gaya dan pengaruh supervisi, hubungan manusia dan keterampilan administratif. 14 h. Rekan kerja, termasuk kompetensi, saling membantu, dan keramahan antar rekan kerja. i. Perusahaan dan manajemen termasuk kebijakan akan perhatian terhadap pekerja baik untuk pembayaran ataupun benefit-benefit. Dari kesamaan pendapat para ahli yang telah dijelaskan diatas, terlihat ada tujuh dimensi yang sama dipergunakan para ahli tersebut dalam mengungkap dimensi kepuasan kerja yaitu pekerjaan itu sendiri, promosi, gaji, supervisi, rekan kerja, kondisi kerja, serta perusahaan dan manajemen. 2.1.3 Teori-Teori Kepuasan Kerja Dari beberapa pendapat para ahli yang diuraikan tentang kepuasan kerja, maka penulis akan membahas teori-teori yang berkaitan dengan kepuasan kerja yang masing-masing teori tersebut saling mendukung dan sejalan. 2.1.3.1 Teori Ketidaksesuaian (Discrepancy Theory) Teori ini dikembangkan oleh Porter yang menjelaskan bahwa kepuasan kerja merupakan selisih atau perbandigan antara harapan dengan kenyataan. Locke menambahkan bahwa seorang karyawan akan merasa puas bila kondisi yang aktual (sesungguhnya) sesuai dengan harapan atau yang diinginkan. Semakin sesuai antara harapan seseorang dengan kenyataan yang ia hadapi maka orang tersebut akan semakin puas (Sopiah, 2008). Versi model lain ketidaksesuaian tentang kepuasan kerja yang telah dikemukakan mendefinisikan kepuasan kerja sebagai selisih dari banyaknya sesuatu yang ”seharusnya ada” dengan banyaknya “apa yang ada”. 15 2.1.3.2 Teori Dua Faktor dari Herzberg Federick Herzberg mengembangkan teori dua faktor (Gibson dalam Sopiah, 2008). Teori ini memandang kepuasan kerja berasal dari keberadaan motivator intrinsik dan bahwa ketidakpuasan kerja berasal dari ketidak-adaan faktor-faktor ekstrinsik. Kesimpulan hasil penelitian Herzberg adalah sebagai berikut: 1) Ada sekelompok kondisi ekstrinsik (konteks pekerjaan) meliputi: gaji atau upah, keamanan kerja, kondisi pekerjaan, status, kebijakan organisasi, supervisi, dan hubungan interpersonal. Apabila faktor ini tidak ada maka karyawan akan merasa tidak puas. 2) Ada sekelompok kondisi intrinsik yang meliputi: prestasi kerja, pengakuan, tanggung jawab, kemajuan, pekerjaan itu sendiri, dan pertumbuhan. Apabila kondisi intrinsik ini dipenuhi organisasi atau perusahaan maka karyawan akan puas (dalam Sopiah, 2008). Menurut Herzberg, mencegah atau mengurangi ketidakpuasan dalam keadaan pekerjaan tidak sama dengan memberikan kepuasan positif. Keduanya merupakan segi-segi motivasi kerja yang berbeda-beda secara kualitatif. Ada sembilan kebutuhan yang sifatnya non material yang oleh para anggota organisasi dipandang sebagai hal yang mempengaruhi perilaku dan menjadi faktor motivasi yang perlu dipuaskan. Oleh karena itu harus mendapat perhatian dari setiap pimpinan dalam organisasi, yaitu: 16 a. Kondisi kerja yang baik, terutama yang menyangkut segi fisik dari lingkungan kerja. b. perasaan diikutsertakan. c. Cara pendisiplinan yang manusiawi. d. Pemberian penghargaan atas pelaksanaan tugas dengan baik. e. Kesetiaan pimpinan kepada para pegawai. f. Promosi dan perkembangan bersama organisasi. g. Pengertian yang simpatik terhadap masalah-masalah pribadi bawahan. h. Keamanan pekerjaan. i. Tugas pekerjaan yang sifatnya menarik. 2.1.3.3 Theory of Work Adjustment Teori ini berdasarkan pada konsep atas hubungan antara individu dengan lingkungannya (Dawis et al., dalam Vidiasta, 2010). Hubungan keduanya dapat digambarkan dalam hubungan yang harmonis antara individu dengan lingkungannya, kecocokan individu dengan lingkungannya, begitu juga sebaliknya, dan hubungan saling melengkapi antara individu dengan lingkungannya. Berdasarkan teori Model Theory of Work Adjustment ini maka Weiss, Dawis, England dan Loqfuist pada tahun 1967 mengembangkan alat ukur untuk mengukur tingkat kepuasan kerja seseorang, yaitu Minnesota Satisfaction Questionnaire (MSQ). Mengukur 20 dimensi yang menjelaskan 20 kebutuhan 17 elemen atau kondisi penguat spesifik yang penting dalam menciptakan kepuasan kerja. Dimensi-dimensi tersebut dijelaskan sebagai berikut: a. Ability Utilization: Pemanfaatan kecakapan yang dimiliki oleh karyawan. b. Achievement: Prestasi yang dicapai selama bekerja. c. Activity: Segala macam bentuk aktivitas yang dilakukan dalam bekerja. d. Advancement: Kemajuan atau perkembangan yang dicapai selama bekerja. e. Authority: Wewenang yang dimiliki dalam melakukan pekerjaan. f. Company Policies: Kebijakan yang dilakukan adil bagi karyawan. g. Compensation: Segala macam bentuk kompensasi yang diberikan kepada para karyawan. h. Co-workers: Rekan sekerja yang terlibat langsung dalam pekerjaan. i. Creativity: Kreatifitas yang dapat dilakukan dalam melakukan pekerjaan. j. Independence: Kemandirian yang dimiliki karyawan dalam bekerja. k. Moral values: Nilai-nilai moral yang dimiliki karyawan dalam melakukan pekerjaannya seperti rasa bersalah atau terpaksa. l. Recognition: Pengakuan atas pekerjaan yang dilakukan. m. Responsibility: Tanggung jawab yang diemban dan dimiliki. n. Security: Rasa aman yang dirasakan karyawan terhadap lingkungan kerjanya. o. Social Service: Perasaan sosial karyawan terhadap lingkungan kerjanya. p. Social Status: Derajat sosial dan harga diri yang dirasakan akibat dari pekerjaan. 18 q. Supervision-Human Relations: Dukungan yang diberikan oleh badan usaha terhadap pekerjanya. r. Supervision-Technical: Bimbingan dan bantuan teknis yang diberikan atasan kepada karyawan. s. Variety: Variasi yang dapat dilakukan karyawan dalam melakukan pekerjaannya. t. Working Conditions: Keadaan tempat kerja dimana karyawan melakukan pekerjaannya. 2.2 Kepemimpinan Dalam aktivitas organisasi kepemimpinan merupakan konsep dan praktek yang tidak dapat ditinggalkan. Kepemimpinan yang efektif dalam mengelolah (Manajemen) aktivitas organisasi dapat mempengaruhi: moral dan kepuasan anggota, keamanan, kualitas hidup kerja dan prestasi organisasi. Kepemimpinan pada dasarnya merupakan proses penetapan arah dengan mengembangkan visi terhadap masa depan, kemudian menyatukan orang dengan mengkomunikasikan visi ini dan mengilhami mereka untuk mengatasi rintanganrintangan, pendapat ini menurut Kotter (dalam Robbins, 2003). Sedangkan menurut Joseph C. Rost (Safaria dan Saputra, 2005) Kepemimpinan adalah sebuah hubungan saling mempengaruhi diantara pemimpin dan pengikut (bawahan) yang menginginkan perubahan nyata yang mencerminkan tujuan bersama. 19 Dari berbagai pendapat di atas secara garis besar kita dapat memperoleh gambaran tentang kepemimpinan dalam konteks organisasi. Jika dicermati ada beberapa yang dapat kita gunakan untuk memahami konsep kepemimpinan, yaitu: 1. Kepemimpinan itu berkaitan dengan orang lain. 2. Proses kepemimpinan dapat berjalan karena ada orang lain sebagai anggota organisasi. Dalam melaksanakan tugas seorang pemimpin tidak bekerja sendiri tetapi dibantu oleh anggota lain. 3. Kepemimpinan merupakan proses saling mempengaruhi antara pimpinan dan bawahan. 4. Memiliki niat serta tanggung jawab baik secara pribadi maupun bersama untuk mencapai tujuan bersama. 5. Proses saling mempengaruhi itu diarahkan untuk perubahan nyata yang merupakan tujuan bersama. 6. Tujuan bersama menjadi prioritas aktivitas kepemimpinan, bukan tujuan individu atau kelompok tertentu. Menurut Hasibuan (2009), Kepemimpinan adalah cara seseorang pemimpin mempengaruhi perilaku bawahan agar mau bekerja sama dan bekerja secara produktif untuk mencapai tujuan organisasi. Maka dari itu kepemimpinan merupakan faktor utama dalam usaha memajukan dan mengembangkan suatu perusahan. 20 2.2.1 Gaya Kepemimpinan Gaya Kepemimpinan merupakan norma perilaku yang digunakan oleh seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain. Atau dapat dikatakan bahwa gaya kepemimpinan adalah pola perilaku yang konsisten ditunjukkan dan sebagai yang diketahui oleh pihak lain ketika seseorang berusaha mempengaruhi kegiatan-kegiatan orang lain. Menurut Nawawi (2003), gaya kepemimpinan merupakan perilaku atau cara yang dipilih atau digunakan pimpinan dalam mempengaruhi pikiran, perasaan, sikap dan perilaku para anggota organisasi atau bawahannya. Sedangkan menurut Handoko (2000), gaya kepemimpinan yang ideal adalah gaya yang secara aktif melibatkan bawahan dalam penetapan tujuan dengan menggunakan teknik-teknik manajemen partisipatif dan memusatkan perhatian baik terhadap karyawan dan tugas. Gaya kepemimpinan tersebut dapat berbeda-beda atas dasar motivasi, kuasa ataupun orientasi terhadap tugas atau orang tertentu. Berdasarkan teori-teori sebelumnya dapat disimpulkan bahwa gaya kepemimpinan merupakan perilaku yang digunakan pemimpin untuk mempengaruhi perilaku orang lain. Gaya kepemimpinan adalah penilaian pegawai terhadap cara pemimpin dalam menggunakan kekuasaan dan pengaruh yang dimilikinya untuk mengarahkan tindakan bawahannya dalam melaksanakan tugas-tugas pekerjaan untuk mencapai tujuan organisasi yang diukur dalam instrumen berbentuk skala yang berisi indikator: a). membangun hubungan yang baik dengan bawahan, b). mendelegasikan wewenang, 21 c). memberikan petunjuk pada bawahan, d). melakukan evaluasi kerja, dan e). memberikan penghargaan dan sanksi pada bawahan. Pengukuran gaya kepemimpinan dilakukan oleh pegawai dengan menggunakan instrumen penelitian berupa skala (Thoha, 2009). 2.2.2 Tipe-Tipe Gaya Kepemimpinan G.R. Terry (dalam Siswanto, 2011) sebagai salah seorang pengembang ilmu manajemen mengemukakan tipe kepemimpinan sebagai berikut: 1. Kepemimpinan Pribadi (Personal Leadership) Seorang manajer dalam melaksanakan tindakannya selalu dilakukan dengan cara kontak pribadi. Instruksi disampaikan secara oral ataupun langsung pribadi disampaikan oleh manajer yang bersangkutan. Tipe kepemimpinan ini sering dianut oleh perusahaan kecil karena kompleksitas bawahannya maupun kegiatannya sangatlah kecil. 2. Kepemimpinan Nonpribadi (Nonpersonal Leadership) Segala peraturan dan kebijakan yang berlaku pada perusahaan melalui bawahannya atau menggunakan media nonpribadi, baik rencana, instruksi, maupun program penyeliaan. Pada tipe ini, program pendelegasian kekuasaan sangatlah berperan dan harus diaplikasikan. 3. Kepemimpinan Otoriter Pemimpin tipe otoriter biasanya bekerja secara sungguh-sungguh, teliti, dan cermat. Pemimpin bekerja menurut peraturan dan kebijakan yang berlaku 22 dengan ketat. Meskipun agak kaku dan segala instruksinya harus dipatuhi oleh para bawahan, para bawahan tidak berhak mengomentari. Karena pemimpin beranggapan bahwa dialah yang bertindak sebagai pengemudi yang akan bertanggung jawab atas segala kompleksitas organisasi. 4. Kepemimpinan Demokratis Pada kepemimpinan demokratis, pemimpin beranggapan bahwa ia merupakan bagian integral yang sama sebagai elemen perusahaan dan secara bersamaan seluruh elemen tersebut bertanggung jawab terhadap perusahaan. Oleh karena itu, agar seluruh bawahan merasa turut bertanggung jawab maka mereka harus berpartisipasi dalam setiap aktivitas perencanaan, evaluasi, dan penyeliaan. 5. Kepemimpinan Paternalistik (Paternalistic Leadership) Kepemimpinan yang paternalistik dicirikan oleh suatu pengaruh yang bersifat kebapakan dalam hubungan antara pemimpin dengan perusahaan. Tujuannya adalah untuk melindungi dan memberikan arahan, tindakan, dan perilaku ibarat peran seorang bapak kepada anaknya. Robert House (dalam Nugraha 2011) dari Path Goal Theory memasukkan empat tipe atau gaya utama kepemimpinan yaitu : 1. Kepemimpinan Direktif. Tipe ini sama dengan model kepemimpinan yang otokratis dari Lippitt dan White. Bawahan tahu senyata apa yang diharapkan darinya dan pengarahan yang khusus diberikan oleh pemimpin. Dalam model ini tidak ada partisipasi dari bawahan. 23 2. Kepemimpinan Mendukung (supportive leadership). Kepemimpinan model ini mempunyai kesediaan untuk menjelaskan sendiri, bersahabat, mudah didekati dan mempunyai perhatian kemanusiaan yang murni terhadap para bawahannya. 3. Kepemimpinan Partisipatif. Pada gaya kepemimpinan ini, pemimpin berusaha meminta dan menggunakan saran-saran dari bawahannya. Namun pengambilan keputusan masih tetap berada pada pemimpin. 4. Kepemimpinan yang berorientasi pada prestasi. Gaya kepemimpinan ini menetapkan serangkaian tujuan yang menantang para bawahannya untuk berprestasi. Demikian pula pemimpin memberikan keyakinan kepada mereka bahwa mereka mampu melaksanakan dan mengerjakan tugas pekerjaan dengan baik untuk mencapai tujuan. 2.2.3 Teori- Teori Kepemimpinan 2.2.3.1 Teori Kepemimpinan Situasioal Kepemimpinan situasional yang dikembangkan oleh Harsey dan Blanchard merupakan pengolahan dari model efektifitas pemimpin yang tiga dimensi, didasarkan atas hubungan kurvalinear antara perilaku tugas, perilaku hubungan dan kedewasaan. Teori ini berusaha untuk memberikan pemahaman kepada pemimpin tentang kaitan antara gaya kepemimpinan yang efektif dengan tingkat kedewasaan dari para pengikutnya. Hersey dan Blanchard berpendapat bahwa bawahan merupakan faktor yang sangat penting dalam situasi kepemimpinan (Munandar, 2008). 24 Kepemimpinan situasional menurut Hersey dan Blanchard (dalam Thoha, 2009), adalah didasarkan pada saling berhubungannya di antara hal-hal berikut : 1. Jumlah petunjuk dan penghargaan yang diberikan oleh pimpinan. 2. Jumlah dukungan sosioemosional yang diberikan oleh pimpinan. 3. Tingkat kesiapan atau kematangan para pengikut yang ditunjukan dalam melaksanakan tugas khusus, fungsi atau tujuan tertentu. Konsepsi ini dikembangkan untuk membantu seseorang menjalankan kepemimpinan tanpa memperhatikan perannya, yang lebih efektif di dalam interaksinya dengan orang lain atau karyawan atau bawahannya setiap hari. Konsep ini melengkapi pemimpin dengan pemahaman dari hubungan antara gaya kepemimpinan yang efektif dan tingkat kematangan para pengikutnya. 2.2.3.2 Teori Jalur – Sasaran (Path – Goal Theory) Seperti yang telah diketahui secara luas, pengembangan teori kepemimpinan dapat pula didekati dari teori jalur–sasaran (path goal theory) yang menggunakan kerangka teori motivasi. Hal ini merupakan pengembangan yang sehat karena kepemimpinan di satu pihak sangat berhubungan dengan motivasi kerja dan berhubungan dengan kekuasaan. Dewasa ini salah satu pendekatan yang paling disegani adalah Teori Jalur–Sasaran (Path–Goal Theory). Hakikat teori jalur-sasaran adalah bahwa tugas pemimpin adalah untuk membantu pengikutnya mencapai sasaran mereka dan untuk memberikan pengarahan dan atau dukungan yang perlu guna memastikan sasaran mereka sesuai dengan sasaran keseluruhan organisasi. Secara pokok teori path-goal 25 berusaha untuk menjelaskan pengaruh perilaku pemimpin terhadap motivasi, kepuasan, dan pelaksanaan pekerjaan bawahannya. Menurut teori path-goal ini, macam-macam gaya kepemimpinan dapat terjadi dan dipergunakan oleh pemimpin yang sama dalam situasi yang berbeda. Untuk situasi pertama, sifat personal dari bawahan teori path-goal memberikan penilaian bahwa perilaku pemimpin akan bisa diterima oleh bawahan jika para bawahan melihat perilaku tersebut merupakan sumber yang segera bisa memberikan kepuasan atau sebagai suatu instrumen bagi kepuasan-kepuasan masa depan (Robbins, 2006). Robert House (dalam Robbins, 2006) dari Path Goal Theory memasukkan empat tipe atau gaya utama kepemimpinan yaitu : 1. Kepemimpinan Direktif. Bawahan tahu senyata apa yang diharapkan darinya dan pengarahan yang khusus diberikan oleh pemimpin. 2. Kepemimpinan Suportif. Pemimpin mempunyai kesediaan untuk menjelaskan sendiri, bersahabat, mudah didekati dan mempunyai perhatian kemanusiaan yang murni terhadap para bawahannya. 3. Kepemimpinan Partisipatif. Pemimpin berusaha meminta dan menggunakan saran-saran dari bawahannya. 4. Kepemimpinan yang berorientasi pada prestasi. Pemimpin menetapkan serangkaian tujuan yang menantang para bawhannya untuk berprestasi. 26 Ada 2 Faktor dari teori jalur-sasaran (path-goal theory) yaitu: 1. Faktor karakter lingkungan adalah faktor yang berada diluar kendali (kontrol) bawahan, tetapi penting bagi kepuasan atau bagi kemampuan berprestasi secara efektif. 2. Faktor karakter bawahan adalah faktor yang merupakan bagian dari karakteristik pribadi bawahn yang dipersepsikan tentang kemampuannya sendiri. 2.3 Hubungan Gaya Kepemimpinan dengan Kepuasan Kerja Menurut Hasibuan (2009), Kepemimpinan adalah cara seseorang pemimpin mempengaruhi perilaku bawahan agar mau bekerja sama dan bekerja secara produktif untuk mencapai tujuan organisasi. Seorang pemimpin memiliki cara sendiri untuk mempengaruhi bawahannya. Cara tersebut dapat dikatakan sebagai gaya kepemimpinan. Gaya kepemimpinan merupakan perilaku atau cara yang dipilih atau digunakan pimpinan dalam mempengaruhi pikiran, perasaan, sikap dan perilaku para anggota organisasi atau bawahannya (Nawawi, 2003). Gaya kepemimpinan seseorang sangat berpengaruh untuk memberikan motivasi pada para bawahannya dan salah satu pembentuk kepuasan kerja karyawan. Motivasi dari seorang pemimpin sangatlah berarti maka dari itu untuk memotivasi karyawan, pemimpin harus mengetahui motif dan motivasi yang diinginkan pegawai, karena orang mau bekerja adalah untuk dapat memenuhi kebutuhan dan kepuasan kerja (Hasibuan, 2000). Penilaian pegawai terhadap cara pemimpin dalam menggunakan kekuasaan dan pengaruh yang dimilikinya untuk 27 mengarahkan tindakan bawahannya. Gaya kepemimpinan atasan atau pemimpin juga merupakan faktor pemicu terbentuknya kepuasan atau ketidakpuasan pada karyawan. Kepuasan kerja itu berkaitan dengan perasaan, yaitu perasaan seseorang (karyawan) terhadap pekerjaannya. Perasaan tersebut berkaitan dengan hal menyenangkan atau tidak terhadap pekerjaan yang dilakukan. Locke menambahkan bahwa seorang karyawan akan merasa puas bila kondisi yang aktual (sesungguhnya) sesuai dengan harapan atau yang diinginkan. Semakin sesuai antara harapan seseorang dengan kenyataan yang ia hadapi maka orang tersebut akan semakin puas (Sopiah, 2008). 2.4 2.5 Kerangka Pemikiran Gaya Kepemimpinan Kepuasan Kerja (X) (Y) Hipotesis Penelitian Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah : Ha : Terdapat pengaruh gaya kepemimpinan terhadap kepuasan kerja karyawan di PT. K-Link Indonesia. Ho : Tidak terdapat pengaruh gaya kepemimpinan terhadap kepuasan kerja karyawan di PT. K-Link Indonesia.