6 2.1 Tinjauan Singkat Tentang Ekosistem Sungai Sungai merupakan jenis perairan dengan sistem terbuka, yang sangat tergantung pada keadaan lingkungan sekitarnya. Sesuai dengan konsep kontinum (Vannote et al. 1980), sungai merupakan badan air yang kontinum, keadaan di bagian hilir merupakan kelanjutan dari kejadian-kejadian di bagian hulunya. Suatu sungai dapat mengambarkan perubahan struktur dan fungsi komunitas sepanjang sungai sehingga terjadi perubahan gradien dari hulu hingga ke hilir. Daerah aliran sungai (DAS) yang menjadi bagian dari perairan umum merupakan suatu wilayah dataran yang menampung dan menyimpan air hujan yang kemudian mengalirkannya ke laut melalui satu sungai utama. Pengertian sungai itu sendiri adalah perairan yang airnya mengalir pada arah tertentu, berasal dari air tanah, air hujan, dan atau air permukaan yang akhirnya bermuara ke laut, sungai atau perairan terbuka yang luas. Air tawar secara terus menerus mengalami siklus hidrologi dimana siklus hidrologi ini bergantung pada proses evaporasi dan presipitasi, begitu juga sungai yang sumbernya berasal dari air hujan yang mengalir sebagai air permukaan atau air yang masuk ke dalam tanah melalui proses infiltrasi ke badan air. Pada sungai biasanya terjadi percampuran massa air secara menyeluruh, tidak terbentuk stratifikasi vertikal kolom air seperti pada perairan lentik. Kecepatan arus, erosi dan sedimentasi merupakan fenomena yang umum terjadi di sungai sehingga kehidupan flora dan fauna pada sungai sangat di pengaruhi oleh ketiga variabel tersebut. Intensitas cahaya dan perbedaan suhu air sangat berperan pada pengklasifikasian perairan lentik, sedangkan pada perairan lotik justru kecepatan arus atau pengerakan air, jenis sedimen dasar, erosi dan sedimentasi yang paling berperan (Jeffries & Mills 1996). Sifat-sifat ekosistem lotik secara fundamental diatur oleh laju aliran. Pada aliran dengan kecepatan lebih dari 50 cm/detik, dasar sungai terdiri partikelpartikel yang lebih besar, sehingga sungai akan memiliki dasar yang keras dan mungkin berbatu. Pada aliran dengan kecapatan dibawah 50 cm/detik terdiri dari partikel-partikel yang lebih kecil sehingga dasar sungai menjadi lembut dan berpasir atau berlumpur. Hal yang menonjol dari ekosistem akuatik mengalir adalah yang berkaitan dengan pergerakan airnya. Pergerakan air tersebut umumnya dinyatakan dengan derajat kecepatan aliran sungai (arus) meter/detik. Baik kecepatan arus maupun volume aliran air akan meningkat semakin ke hilir 7 sungai. Faktor yang penting berpengaruh terhadap komunitas biota adalah turbulensi atau pergerakan air atau partikel air yang tidak menentu dan pergerakan partikel yang paralel satu sama lainnya disebut aliran laminar, yang sangat kontras dengan pergerakan air yang irreguler atau tak beraturan. Pada bagian sungai yang terkena aliran turbulen yang tinggi, erosi akan terjadi dengan cepat, disamping itu turbulensi yang keras (tinggi) akan efektif mengikis dan mengangkat sedimen di dasar sungai dan daya absorbsi (difusi) permukaan air untuk menyerap oksigen (gas-gas di udara) ke dalam air semakin kecil. Sebaliknya bagian sungai yang terkena aliran laminar, erosi sangat kecil, pengikisan sedimen dasar sungai sedikit, konsentrasi oksigen terlarut relatif rendah, bila dibandingkan dengan zona sungai yang terdapat aliran turbulen (Basmi 1999). Ciri khas sebuah sungai di mulai daerah bagian hulu yang biasanya berawal dari dataran tinggi yang hanya berupa parit kecil, aliran deras, air dingin, dan pergerakan air secara turbulen, mempunyai hidrograf aliran dengan puncakpuncak yang tajam sewaktu mendaki (rising stage) dan menurun (fallen stage), gradien hulu sungai cukup curam dan sangat aktif mengikis air secara turbulen. Dasar sungai terdiri batuan. Semakin jauh ke hilir, sungai tersebut akan menyatu dengan anak-anak sungai. Aliran sungai akan menjadi lambat ketika menjelang dan memasuki dataran pantai. Di dekat muara ini, luar sungai akan terisi dengan pasir. Daya pancar masa air disini menjadi lebih besar, karena sungai tersebut telah menampung air dari banyak anak sungai, dan daerah ini akan menjadi lebih dalam. Meskipun demikian, airnya menjadi sangat keruh, karena di sini terdapat partikel-partikel tersuspensi yang sangat halus yang berasal dari bahan organik sekitar sungai yang masuk ke sungai karena terbawa aliran air permukaan tanah. Di dekat muara aliran turbulen ini sudah sangat lemah, cenderung berganti menjadi aliran laminar dan terakhir air sungai memasuki laut dan zona ini disebut zona transisi atau estuaria (Basmi 1999). Air mengalir atau habitat lotik berasal dari kata lotus berarti tercuci, aliran air pada habitat lotik ini terdapat dua zona utama yaitu : 1. Zona air deras : daerah yang dangkal dimana kecepatan arus cukup tinggi aliran airnya deras dan turbulen, baik organisme maupun partikel sedimen tidak mampu melekat atau terendap di dasar perairan karena akan tersapu oleh arus sehingga dasarnya padat. Substrat sungai terdiri batu-batu atau 8 koral yang merupakan pecahan atau potongan-potongan bulat yang licin karena terkikis oleh air dan habitatnya beraneka ragam. Zona ini dihuni oleh bentos yang beradaptasi khusus atau organisme perifiton yang dapat melekat atau berpegang dengan kuat pada dasar sungai yang padat dan oleh ikan yang kuat berenang misalnya darter. 2. Zona air tenang (lambat) : bagian air yang dalam dimana kecepatan arus sudah berkurang, aliran airnya lambat dengan aliran partikel laminar, daya erosi berkurang, partikel-partikel sedimen sangat halus seperti lumpur dan materi lepas cenderung mengendap di dasar perairan, sehingga dasarnya lunak, tidak sesuai untuk bentos permukaan. Organisme yang hidup di dasar sungai berlumpur antara lain sowbug (Isopoda), keong, mayfly dan aniad damselfly. Fauna lainnya tinggal di dalam sedimen dengan menggali lubang seperti, naiad mayfly dan beberapa larva insekta lainnya seperti kerang, nematoda, siput (Basmi 1999). 2.2 Makrozoobentos Sebagai Indikator Biologis Kualitas Perairan 2.2.1 Organisme Makrozoobentos Bentos adalah organisme yang hidup di permukaan atau dalam substrat dasar perairan yang meliputi organisme nabati yang disebut fitobentos dan organisme hewani yang disebut zoobentos. Pada umumnya zoobentos adalah makro invertebrata yang meliputi insekta, mollusca, oligochaeta, crustacea dan nematoda (Cummins 1975). Sebaran vertikal bentos terbagi menjadi epifauna yaitu organisme yang hidup di atas permukaan dasar substrat perairan dan infauna yaitu organisme yang hidup di dalam dasar substrat perairan. Gambar 2 Makrozoobentos yang hidup di atas dan di dalam substrat dasar perairan (Cummins 1975). Menurut Vernberg 1981, diacu dalam Fachrul (2007) menggolongkan bentos berdasarkan ukurannya ke dalam tiga golongan yaitu : 9 1. Makrobentos adalah bentos yang tersaring oleh saringan yang berukuran saringan 1,0 x 1,0 milimeter atau 2,0 x 2,0 milimeter, yang pada pertumbuhan dewasanya berukuran 3 – 5 milimeter. 2. Meiobentos adalah bentos yang berukuran antara 0,1 – 1 mm misalnya golongan Protozoa yang berukuran besar (Cnidaria), cacing ukuran kecil. 3. Mikrobentos adalah bentos yang berukuran kurang dari 0,01 mm – 0,1 mm misalnya Protozoa. Menurut Jeffries & Mills (1996), makrozoobentos dapat dibedakan dalam empat golongan berdasarkan kebiasaan makannya yaitu : 1. Perumput (grazer) dan pengikis (scraper) yaitu herbivora pemakan alga yang tumbuh melekat pada substrat. 2. Pemarut (shredder), yaitu detrivora pemakan partikel ukuran besar 3. Kolektor (collector) yaitu detrivora pemakan partikel halus baik yang berupa suspensi dan berupa endapan. 4. Predator yaitu berupa hewan karnivora. Berdasarkan cara makannya, makrozoobentos dikelompokkan menjadi dua yaitu : 1. Filter feeder adalah hewan bentos yang mengambil makanan dengan menyaring makanan 2. Deposit feeder adalah yang mengambil makanan dalam substrat dasar kelompok pemakan deposit banyak terdapat pada substrat berlumpur seperti jenis-jenis cacing Polychaeta (Setyobudiandi 1997). Kelimpahan makrozoobentos di suatu perairan di pengaruhi oleh faktorfaktor yang meliputi faktor fisika, kimia, dan faktor biologi. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah suhu pH, kekeruhan, kecerahan, gas-gas terlarut dan adanya interaksi dengan organisme lain (Odum 1971). Tingkat keanekaragaman bentos yang terdapat di lingkungan perairan tertentu merupakan cerminan variasi daripada toleransinya terhadap kisaran-kisaran parameter lingkungan. Dengan adanya kelompok bentos yang hidup menetap (sessile) dan daya adaptasi bervariasi terhadap kondisi lingkungan, membuat hewan bentos seringkali digunakan sebagai petunjuk bagi penilaian kualitas air. Kehadiran spesies toleran dan ketidak-hadiran spesies yang tidak toleran dapat digunakan sebagai petunjuk terjadinya pencemaran. Dennis & Patil (1977) menyatakan bahwa kelompok organisme yang merasakan langsung pengaruh perubahan lingkungan adalah makrozoobentos, 10 karena pada umumnya makrozoobentos tidak berpindah tempat. kondisi fisika dan kimia lingkungan akan menghasilkan Perubahan perubahan pada komunitas makrozoobentos. Organisme yang toleran terhadap perubahan lingkungan pada akhirnya akan tumbuh dan berkembang karena tidak terdapat kompetisi baik dalam ruang maupun makanan, sehingga jumlah organisme tersebut akan melimpah, sedangkan organisme yang tidak toleran terhadap perubahan lingkungan, kemampuan untuk tumbuh, bereproduksi dan berkompetisi dalam komunitas akan terganggu. Gangguan yang berkelanjutan pada organisme akan menghasilkan perubahan pada struktur komunitas. Tabel 1 Struktur komunitas makrozoobentos pada berbagai kondisi perairan Keadaan Perairan Struktur Komunitas Makrozoobentos Tidak tercemar Tidak ada satu pun spesies yang dominan, komunitas makrozoobentos seimbang dengan beberapa populasi intoleran yang diselingi beberapa populasi falkultatif. Tercemar moderat Banyak spesies intoleran yang hilang atau berkurang dan berbagai spesies fakultatif dengan satu atau dua spesies dari kelompok toleran yang mendominasi. Tercemar Jumlah spesies dari komunitas makrozoobentos yang terbatas, diikuti berkurangnya kelompok toleran dan fakultatif. Jumlah spesies toleran akan melimpah. Tercemar Berat Hampir seluruh komunitas makrozoobentos hilang kecuali cacing oligochaeta dan kelompok yang bernafas ke udara. Seluruh kehidupan mungkin saja hilang. Sumber : Wilhm (1975). Berdasarkan kepekaannya terhadap bahan pencemar. Gauffin (1958), diacu dalam Wilhm (1975) membagi makrozoobentos menjadi tiga golongan yaitu : intoleran, fakultatif dan toleran. Organisme intoleran adalah organisme yang tumbuh dan berkembang dalam kisaran toleransi lingkungan yang sempit terhadap pencemaran, dan tidak tahan terhadap tekanan lingkungan sehingga hanya hidup pada perairan yang belum tercemar dan miskin bahan organik. Organisme fakultatif adalah organisme yang dapat hidup dalam kisaran toleransi lingkungan yang agak luas, meskipun dapat hidup dalam perairan yang kaya bahan organik dan perairan yang tercemar ringan sampai dengan pencemaran sedang, namun tidak dapat mentolerir tekanan lingkungan. Organisme toleran adalah organisme yang tumbuh dan berkembang dalam kisaran toleransi lingkungan yang luas sehingga mampu berkembang mencapai kepadatan tertinggi dalam perairan yang tercemar sedang maupun tercemar berat. Oleh 11 karena itu untuk mengetahui kehadiran atau ke tidak hadiran organisme pada lingkungan perairan digunakan indikator yang menunjukkan tingkat atau derajat kualitas suatu habitat. Beberapa spesies yang termasuk golongan intoleran, fakultatif dan toleran yang ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2 Beberapa contoh makrozoobentos berdasarkan kepekaannya terhadap bahan pencemar Status Jenis Makrozoobentos Intoleran Ephemera simulans (lalat sehari), Acroneuria evoluta (lalat batu), Chimarra obscura, Mesovelia sp (kepik), Helichus lithopilus (kumbang), Anopheles punctiennis (nyamuk). Fakultatif Stenonema heterotarsale (lalat sehari), Taeniopteryx maura (lalat batu), Hydropsyche bronta, Agrion maculatum, Corydalis cornutus (lalat), Agabus stagninus (kumbang), Chironomous decorus, Helodrilus cholotica (cacing Oligochaeta). Toleran Chironomous riparium (sejenis nyamuk), Limnodrillus sp, dan Tubifex sp (cacing Oligochaeta) Sumber : Gaufin 1958, diacu dalam Wihlm (1975). Pada perairan yang masih bersih menunjukkan keseimbangan komunitas makrozoobentos ditandai dengan adanya spesies intoleran yang bercampur dengan spesies fakultatif, dimana tidak ada spesies yang dominan. Pada perairan yang tercemar sedang, organisme intoleran mulai berkurang jumlahnya. Pada perairan tercemar dimana bahan organiknya tinggi tidak ditemukan lagi spesies intoleran dan fakultatif, yang ditemukan hanyalah organisme toleran, bahkan pada perairan yang tingkat pencemarannya sudah berat dapat menyebabkan hilangnya semua spesies makrozoobentos kecuali cacing atau organisme yang mengambil oksigen dari udara dan pada akhirnya tidak ditemukan lagi adanya kehidupan di perairan tersebut (Wilhm 1975). Setiap spesies mempunyai respon yang spesifik terhadap perubahan lingkungan. makrozoobentos dari spesies Tubifex sp dan Melanoides tuberculata merupakan spesies indikator adanya oksigen terlarut (DO) rendah dan partikel tersuspensi tinggi pada ekosistem perairan sungai (Sastrawijaya 1991). Beberapa tingkat pencemaran bahan organik dalam air tawar dan makrozoobentos yang terkait sebagai indikator biologi menurut Sastrawijaya (1991) : 12 - Limbah organik yang sangat pekat (oksigen terlarut pada taraf nol) makrozoobentos yang ada hanya golongan cacing dari genus Tubifex dan Limnodrillus - Jika kondisi air lebih baik, maka makrozoobentos dari golongan cacing tersebut yang diikuti oleh larva Chironomous (cacing darah); - Pada zona air yang sudah pulih spesies yang khas adalah Asellus aquaticus di samping Chironomous, tetapi ada pula spesies lain seperti lintah dan moluska tertentu setelah zona Asellus aquaticus, kondisi air pulih lebih baik lagi terutama zona Gammarus. Zona ini mungkin dianggap sebagai zona taraf pertama kembalinya fauna yang biasa terdapat di air bersih. Ciri zona Gammarus adalah banyaknya keragaman jenis makrozoobentos termasuk Trichoptera dan Ephemeroptera - Taraf kelompok hewan lain akan kembali yang bergantung pada tipe sungai atau hulu sungai. Sastrawijaya (1991) membagi makrozoobentos bagi pencemaran organik pada beberapa tingkatan stadium yaitu : - Indikator air bersih : Ephemeroptera, Ecdyonurus, Leuctra Nemurella dan Perla - Indikator pencemar ringan : Amphineura, Leuctra, Ephemerella, Caenis, Gammarus, Baetis, Valvata, Bythynia, Hydropsyche, Limnodrilus, Rhyacophyla dan Sericostoma - Indikator pencemar sedang : Asellus, Sialis, Limnaea, Physa dan Sphaerium - Indikator pencemaran berat : Nais, Chironomous, Tubifex dan Eristalis. Komunitas invertebrata didominasi oleh berbagai larva dan nimpa, walaupun terdapat Nematoda, Oligochaeta, Gastropoda dan Bivalvia serta Crustacea. Larva akan tumbuh dewasa menjadi Trichoptera, Diptera dan Coleoptera yang berlimpah dan berbeda (Closs Gerry 2006). 2.2.2 Peranan Makrozoobentos di Perairan Dalam komunitas perairan, bentos memegang peranan penting seperti dalam proses mineralisasi dan pendaur-ulangan bahan organik serta menduduki beberapa posisi dalam rantai makanan. Menurut Jutting (1956), hewan dasar 13 mempunyai kedudukan sebagai konsumen di dalam rantai makanan, yaitu zooplankton atau bahkan memakan hewan bentik lainnya. Bentos dapat pula berperan sebagai produsen, baik primer maupun sekunder. Pennak (1978) menyebutkan bahwa bentos khususnya larva serangga merupakan makanan alami bagi ikan pemakan hewan. Odum (1971), menyatakan bahwa organisme bentik mempunyai hubungan yang erat sekali dengan sumber daya perikanan melalui hubungan rantai makanan. Hubungan ini berdasarkan atas rantai makanan detritus yang dimulai dari organisme mati ini diuraikan oleh mikroorganisme, kemudian mikroorganisme beserta hancurannya dimakan oleh pemakan detritus (detritivor), detritivor ini selanjutnya dimakan oleh beberapa jenis ikan dan udang. Beberapa alasan tentang keuntungan menggunakan makrozoobentos dibandingkan dengan biota air lainnya untuk pendugaan kualitas air seperti yang telah diungkap oleh Chessman 2003, diacu dalam Sudarso (2003) antara lain sebagai berikut : 1. Struktur komunitas dari makrozoobentos seringkali dapat digunakan sebagai bioindikator lingkungan yang mewakili kondisi lokalnya, karena banyak dari hewan tersebut bersifat sessile. Dengan keterbatasan tersebut maka hewan ini sangat cocok untuk digunakan dalam penilaian pengaruh aktivitas antropogenik pada tempat spesifik. 2. Makrozoobentos mampu mengintegrasikan adanya perubahan variasi lingkungan yang relatif singkat. Banyak spesies makrozoobentos mempunyai waktu siklus hidup yang relatif kompleks dari yang satu tahun hingga lebih. Sensitivitas pada siklus hidup akan merespon stress lebih cepat dibandingkan dengan struktur komunitas. 3. Identifikasi hewan ini biasanya relatif mudah hingga sampai tingkat famili, dan banyak pula dari taksa yang tergolong toleran dapat diidentifikasi sampai pada level genus. Beberapa indeks telah disusun secara sederhana hanya dengan menggunakan tingkat famili, sehingga memudahkan dalam pendugaan status pencemaran atau tingkat gangguan pada ekosistem sungai. 4. Respon stress yang dihasilkan makrozoobentos dapat ditunjukkan pada tingkatan tropik dan kisaran toleransi yang berbeda terhadap polusi, sehingga memungkinkan untuk menggabungkan informasi tersebut ke dalam interpretasi kumulatif. 14 5. Sampling yang relatif mudah, peralatan yang relatif murah, dan dapat dikerjakan tanpa banyak membutuhkan tenaga manusia. 6. Makrozoobentos merupakan sumber utama bagi makanan ikan, dan banyak spesies penting yang secara komersil digunakan untuk kepentingan rekreasi. 7. Makrozoobentos di lingkungan perairan merupakan komponen utama penyusun dari aktivitas diversitas biologi sungai. Pengertian tentang hubungan pengaruh dan dampak dari aktivitas manusia terhadap kehidupan makrozoobentos akan membantu dalam menemukan cara untuk konservasi dari biota tersebut. 8. Distribusi makrozoobentos yang luas dengan bermacam-macam tipe badan air dari yang beriklim tropis hingga temperate. 9. Kemampuan untuk mengakumulasi dari bahan polutan yang bermacammacam, sehingga dapat digunakan untuk mempelajari nasib dari suatu polutan yang dipaparkan pada biota air melalui studi bio akumulasi. 2.3 Konsep Dasar Bioindikator dan Struktur Komunitas 2.3.1 Konsep Dasar Bioindikator Bioindikator adalah organisme yang yang menunjukkan sensitivitas atau toleransi terhadap kondisi lingkungan sehingga memungkinkan untuk digunakan sebagai alat penilai kondisi lingkungan. Menurut Wittig (1993), diacu dalam Mhatre & Pankhurst (1996) bioindikator adalah organisme, bagian dari suatu organisme atau masyarakat suatu organisme (komunitas) yang menyediakan informasi tentang kondisi lingkungan baik sebagian atau keseluruhan sedangkan McGeoch (1998) mendefinisikan bioindikator sebagai spesies atau kelompok spesies yang secara cepat dapat menggambarkan kondisi lingkungan baik abiotik maupun biotik; menggambarkan dampak perubahan lingkungan dari sebuah habitat, komunitas atau ekosistem; atau mengindikasikan keragaman dari kelompok takson, atau keragaman secara keseluruhan di dalam suatu kawasan. 15 Bioindikasi menurut McGeoch (1998) dalam aplikasinya dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu: 1. Indikator lingkungan (Enviromental indicator) adalah spesies atau kelompok spesies yang tanggap terhadap lingkungan yang rusak atau perubahan kondisi lingkungan. Indikator lingkungan dibagi lagi menjadi 5 yaitu sentinels, detektor, eksploiter, akumulator dan bioassay organisme. 2. Indikator ekologis (Ecological indicator) yaitu karakteristik takson atau kelompok yang sensitif untuk mengidentifikasikan faktor tekanan lingkungan, yang menggambarkan pengaruh dari tekanan-tekanan ini terhadap biota dan tanggapannya diwakili oleh sedikit takson yang ada pada habitat tersebut. 3. Indikator keanekaragaman hayati (Biodiversity indicator) adalah kelompok takson atau kelompok fungsional dimana keragamannya dapat menggambarkan beberapa ukuran tentang keragaman kekayaan jenis, kekayaan sifat dan endemisitas) takson di atasnya dalam sebuah habitat atau kelompok habitat. Indikator biodiversitas dapat dibedakan menjadi 3 kelompok yaitu kelompok referensi, kelompok kunci dan kelompok focal. Tabel 3 Fungsi indikator dari masing-masing kelompok indikasi Kategori indikator 1. Lingkungan 2. Ekologi 3. Biodiversitas Fungsi alternatif (indikator digunakan untuk) 1. Menduga perubahan kondisi lingkungan 2. Memonitor perubahan kondisi lingkungan 1. Menampilkan dampak stressor terhadap biota 2. Monitoring jangka panjang stressor terhadap perubahan biota 3. Monitoring perubahan biodiversitas 1. Mengidentifikasi keragaman takson pada suatu kawasan yang khusus 2. Monitoring perubahan biodiversitas Sumber : McGeoch (1998). Bioindikasi dapat meliputi beberapa variasi skala dari aspek makro molekul, sel, organ, organisme, populasi, sampai biocoenosis (ekosistem), sehingga bentuk bioindikasi meliputi: (1) reaksi biokimia dan fisiologis, (2) penyimpangan bentuk anatomis, morfologis, bioritme dan tingkah laku dari kondisi normalnya, (3) perubahan floristik, faunistik, populasi secara berurutan (kronologis), (4) perubahan ekosistem ataupun kombinasi ekosistem, (5) perubahan bentuk dan fungsi ekosistem, dan (6) perubahan dari sifat lansekap (Mhatre & Pankhurst 1996). 16 Tipe indikator secara umum dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu : 1. Indikator (kehadiran dan absensinya menyimpulkan tentang permasalahan lingkungan, secara kuantitatif jarang). 2. Spesies uji (tanggapannya mengindikasikan tentang permasalah yang luas, spesies uji umumnya memiliki standarisasi yang tinggi), 3. Monitor (menyediakan bukti akan adanya perubahan, kesimpulan kuantitatif biasanya mungkin melalui kalibrasi). Monitor terdiri dari monitor aktif yang tersedia dengan cepat di alam) dan monitor pasif (organisme monitor yang di introduksi). Monitor pasif terdiri dari reaktor (tanggapannya adalah perubahan fungsi atau reaksi) dan akumulator responnya di amati dari akumulasi polutan (Hornby & Bateman 1996). Pengembangan sistem bioindikator dapat dilihat sebagai hubungan timbal balik antara faktor lingkungan dengan parameter biologis. Karakteristik parameter biologis tersebut diantara adalah komposisi jenis, gejala kerusakan suatu organisme, tubuh yang terkontaminasi polutan, induksi dan penghambatan enzim (Straalen 1996). Efektivitas suatu bioindikator tergantung pada kekuatan hubungan antara faktor lingkungan dan parameter biologis. Interaksi antara kedua parameter ini ditunjukkan pada Gambar 3. Parameter Lingkungan Hubungan kausatif Digunakan sebagai bioindikator Parameter Biologis Gambar 3 Skema hubungan antara faktor lingkungan dengan parameter biologi. Faktor lingkungan mempengaruhi parameter biologis melalui beberapa hubungan kausatif. Ketika parameter biologis dijadikan sebagai indikator, dapat dilihat sebagai kebalikan dari hubungan sebab akibat (Straalen 1996). Kriteria umum untuk menetapkan suatu organisme digunakan sebagai indikator adalah: (1) Takson yang tinggi atau lebih tinggi, dipilih takson yang telah diketahui secara detail dan taksonominya jelas dan mudah untuk di identifikasi; (2) Biologi organisme tersebut di ketahui dengan baik, memiliki respon yang baik terhadap faktor tekanan atau perubahan sifat habitat; (3) Organisme tersebut tersedia secara melimpah, mudah di survei dan di manipulasi; (4) Terdistribusi dalam ruang dan waktu; dan (5) Berkorelasi kuat dengan komunitas keseluruhan atau tidak berkorelasi kuat dengan faktor tekanan (Hordkinson & Jackson 2005). 17 2.3.2 Konsep Dasar Struktur Komunitas Komunitas adalah kumpulan populasi yang hidup pada suatu lingkungan tertentu yang saling berinteraksi membentuk tingkat tropik. Di dalam komunitas, jenis organisme yang dominan akan mengendalikan komunitas tersebut sehingga jika organisme yang dominan tersebut hilang akan menimbulkan perubahan-perubahan penting dalam komunitas, baik pada lingkungan biotik maupun lingkungan fisiknya (Odum 1971). Konsep komunitas sangat relevan dalam menganalisa kondisi suatu lingkungan perairan karena komposisi dan karakteristik dari komunitas merupakan indikator yang sangat baik untuk menunjukkan kondisi lingkungan dimana komunitas tersebut berada. Struktur komunitas memiliki lima tipologi atau karakteristik yaitu keanekaragaman, dominansi, kelimpahan relatif, bentuk dan struktur pertumbuhan, serta struktur trofik (Krebs 1989). Pola penyebaran dan kelimpahan suatu komunitas dipengaruhi oleh adanya perubahan lingkungan dimana komunitas tersebut berada. Hubungan perubahan lingkungan terhadap kestabilan suatu komunitas dapat dianalisa secara kuantitatif dan kualitatif. Analisa kuantitatif dilakukan dengan melihat keanekaragaman jenis organisme yang hidup dilingkungan tersebut dan hubungannya dengan kelimpahan jenis, sedangkan secara kualitatif adalah melihat dengan melihat jenis-jenis organisme yang mampu beradaptasi pada lingkungan tertentu (Soewignyo et al. 1998). Pada setiap komunitas, spesies tidak terisolasi tetapi berinteraksi dengan spesies yang lain pada daerah yang sama. Interaksi ini penting dalam menduga komposisi komunitas. Setiap spesies dalam komunitas mempunyai daya toleransi tertentu terhadap setiap faktor lingkungan. Jika salah satu faktor lingkungan melewati batas toleransi spesies atau salah satu unsur jumlahnya menurun sampai dibawah kebutuhan minimum spesies, maka spesies tersebut akan tersingkirkan. Faktor utama yang mengendalikan ekosistem dan komunitas adalah energi, faktor fisika dan kimia lingkungan serta interaksi antara berbagai spesies yang membentuk sistem tersebut (Nybakken 1988). Komposisi maupun besarnya populasi makrozoobentos dapat dipengaruhi oleh perubahan kualitas perairan antara lain tipe substrat, kekeruhan, TSS, arus, kedalaman, suhu, pH, oksigen terlarut dan bahan-bahan organik. Peranan bentos dalam suatu perairan adalah mendaur ulang bahan- 18 bahan organik, membantu proses mineralisasi serta memiliki peranan penting dalam rantai makanan (Odum 1993). 2.4 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBERADAAN MAKROZOOBENTOS DI LINGKUNGAN PERAIRAN Struktur komunitas makrozoobentos dipengaruhi berbagai faktor lingkungan abiotik dan biotik. Secara skematis, Hawkes (1979) mengemukakan 14 faktor yang mempengaruhi keberadaan hewan bentos di perairan (Gambar 4), sembilan diantaranya merupakan faktor penentu kualitas perairan. kekeruhan Padatan tersuspensi *) Sinar matahari kedalaman Kanalisasi Penetrasi cahaya nutrien Temperatur *) Kecepatan arus substrat Oksigen terlarut *) pH *) Bahan beracun KOMUNITAS BENTOS *) * Kesadahan*) = Faktor penentu kriteria kualitas air = Faktor bukan penentu kualitas air = Faktor yang tidak umum = Pengaruh langsung = Pengaruh Interaksi Gambar 4 Faktor-faktor kualitas air (sifat fisika-kimia) yang mempengaruhi komunitas bentos (Hawkes 1979). 19 Tabel 4 Hubungan antara beberapa parameter fisika kimia air dengan kehidupan makrozoobentos Parameter Paramater Fisika Suhu Arus Substrat dasar Muatan tersuspensi Kekeruhan, TSS Kedalaman Pasang-Surut Parameter Kimia Oksigen terlarut (DO) pH BOD Amonia-N DHL Salinitas Pengaruh terhadap Makrozoobentos Metabolisme, pertumbuhan dan mortalitas, migrasi Jenis dan sifat organisme Jumlah dan Jenis Respirasi Jumlah, Jenis dan sifat organisme Jumlah jenis, jumlah individu, biomassa Pola penyebaran Jumlah, jenis dan mortalitas Menurunkan daya tahan terhadap stress Jumlah, Jenis, komposisi jenis dan mortalitas Laju mortalitas Stress fisiologis Distribusi spesies Sumber : Nybakken (1988). 2.4.1 Parameter Fisika Suhu Suhu merupakan pengatur utama proses fisika dan kimia yang terjadi di perairan. Suhu secara tidak langsung akan mempengaruhi kelarutan oksigen dan secara langsung mempengaruhi proses kehidupan organisme seperti pertumbuhan dan reproduksi dan penyebarannya. Suhu dapat berperan sebagai faktor pembatas utama bagi banyak makhluk hidup dalam mengatur proses fisiologinya disamping faktor lingkungan lainnya. Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, garis lintang, ketinggian dari permukaan laut, sirkulasi udara, aliran serta kedalaman dari badan air. Cahaya matahari yang masuk ke perairan mengalami penyerapan dan berubah menjadi energi panas, proses penyerapan cahaya berlangsung lebih intensif pada lapisan sebelah atas perairan sehingga lapisan ini akan lebih panas dan mempunyai densitas yang lebih kecil dari pada lapisan bawahnya (Effendi 2000). Kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air juga memperlihatkan peningkatan konsumsi oksigen. Peningkatan 100C suhu perairan akan meningkatkan konsumsi oleh organisme akuatik 2-3 kali lipat (Effendi 2000). Suhu yang layak untuk kehidupan organisme air tawar berkisar antara 20 – 30 oC 20 dengan suhu optimum berkisar antara 25 – 28 oC (Huet dan Timmermans 1971, diacu dalam Iskandar 2002), dimana suhu yang tidak lebih dari 30 oC tidak akan berpengaruh drastis terhadap makrozoobentos. Menurut Welch (1980) o menyatakan bahwa pada suhu antara 35 – 40 C merupakan lethal temperature bagi makrozoobentos, artinya pada suhu tersebut organisme bentos telah mencapai titik kritis yang dapat menyebabkan kematian. Kecepatan Arus Arus adalah massa air permukaan yang selalu bergerak, gerakan ini terutama ditimbulkan oleh angin yang bertiup di atas permukaan air (Nybakken 1988). Arus merupakan faktor fisika yang mempengaruhi kehidupan akuatik terutama organisme bentos. Menurut Nybakken (1988) organisme akuatik yang hidup menetap pada suatu substrat membutuhkan arus yang dapat membawa makanan, oksigen, dan lain sebagainya. Arus yang kuat dapat mengakibatkan ketidak seimbangan dasar perairan yang lunak seperti dasar perairan berpasir atau berlumpur. Pergerakan air yan cukup lambat di daerah berlumpur menyebabkan partikel-partikel halus mengendap dan detritus melimpah, hal ini merupakan media yang tidak baik bagi pemakan deposit (deposit feeder) tapi pergerakan air pada daerah berpasir cenderung tidak ada sehingga fauna yang memanfaatkan daerah seperti ini adalah filter feeder. Pada air mengalir terdapat dua zona utama yaitu zona air deras dan zona air tenang. Zona air deras merupakan daerah dangkal dengan arus yang deras yang menyebabkan dasar sungai bersih dari endapan. Zona ini dihuni oleh bentos yang dapat melekat kuat pada dasar substrat sedangkan zona air tenang merupakan bagian perairan yang dalam dengan arus yang lambat, biasanya ada endapan lumpur yang menyebabkan dasarnya lunak (Odum 1993). Kecepatan arus mempengaruhi keberadaan dan komposisi makrozoobentos serta secara tidak langsung mempengaruhi substrat dasar perairan. Menurut Welch (1980), arus mempengaruhi transport sedimen dan mengikis substrat dasar perairan sehingga dapat dibedakan menjadi substrat batu, pasir, liat, ataupun debu. Sungai dengan arus yang cepat, substrat dasarnya terdiri dari batuan dan kerikil sedangkan sungai dengan arus air yang lambat substrat dasarnya terdiri dari pasir atau lumpur. 21 Berdasarkan kecepatan arusnya Macon 1974, diacu dalam Welch (1980) mengelompokkan sungai menjadi sungai berarus sangat cepat (> 1 m/detik), arus cepat (0,5 – 1 m/detik), arus sedang (0,25 – 0,5 m/detik), arus lambat (0,1 – 0,25 m/detik) dan sungai berarus sangat lambat ( 0,1 m/detik). Kecerahan Kecerahan adalah ukuran transparansi perairan yang ditentukan secara visual dengan menggunakan secchi disk. Nilai kecerahan yang diungkapkan dalam satuan meter sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan dan padatan tersuspensi (Effendi 2000). Pada perairan alami kecerahan sangat penting karena erat hubunganya dengan fotosintesis. Kecerahan yang tinggi merupakan syarat untuk berlangsungnya proses fotosintesis oleh fitoplankton dengan baik. Kondisi perairan yang kecerahannya rendah dan kecerahannya yang terlalu tinggi akan menurunkan kelimpahan zoobentos (Goldman & Horne 1984). Kedalaman Perairan dangkal cenderung memiliki keanekaragaman yang lebih tinggi dibandingkan dengan perairan yang lebih dalam. Pada kondisi perairan yang dangkal, intensitas cahaya matahari dapat menembus seluruh badan air sehingga mencapai dasar perairan, daerah dangkal biasanya memiliki variasi habitat yang lebih besar dari pada daerah yang lebih dalam sehingga cenderung mempunyai makrozoobentos yang beranekaragam dan interaksi kompetisi lebih kompleks. Pada musim hujan perairan cenderung lebih dalam jika dibandingkan dengan saat musim kemarau. Hal tersebut dapat mempengaruhi kepadatan makrozoobentos di dasar suatu perairan. Substrat Substrat didefinisikan sebagai campuran dari fraksi lumpur, pasir dan liat dalam tanah. Odum (1971) menjelaskan bahwa karakter dasar suatu perairan sangat menentukan penyebaran makrozoobentos yaitu substrat perairan seperti lumpur, pasir, tanah liat, berpasir kerikil, dan batu, dimana masing-masing tipe menentukan komposisi jenis kepadatan dan pola sebaran makrozoobentos. Pengendapan partikel tergantung dari arus, apabila arus ditempat tersebut kuat 22 maka partikel yang mengendap berukuran besar, tetapi jika arusnya lemah maka yang mengendap di dasar perairan adalah lumpur halus. Pada daerah pesisir dengan kecepatan arus dan gelombang yang lemah, substrat cenderung berlumpur. Daerah ini biasanya terdapat di muara sungai, teluk atau pantai terbuka dengan kelandaian yang rendah. Bahan-bahan organik yang mengendap di dasar perairan merupakan sumber makanan bagi hewan bentos. Bahan tersebut biasanya berasal dari dekomposisi organisme yang masuk ke sungai. Substrat yang kaya bahan organik dapat melimpahkan hewan bentos yang di dominasi oleh deposit feeder. Karakter substrat suatu perairan sangat menentukan keberadaan makrozoobentos di perairan tersebut. Dasar berupa batuan-batuan di dominasi oleh makrozoobentos yang mampu menempel dan melekat. Dasar yang lunak dan selalu berubah-ubah biasanya membatasi makrozoobentos untuk berlindung. Menurut Odum (1993), Pengendapan partikel lumpur di dasar perairan tergantung pada arus air jika arus air kuat, partikel yang mengendap berukuran besar dan jika arus air tidak kuat, partikel yang mengendap akan memiliki ukuran yang lebih kecil. Gambar 5 Tipe substrat dasar menurut persentase liat, lumpur dan pasir berdasarkan segitiga Millar. Total Padatan tersuspensi (TSS) Padatan tersuspensi total atau total suspended solid (TSS) adalah bahanbahan tersuspensi (diameter 1 µm) yang tertahan pada kertas saring millipore dengan ukuran diameter pori-pori 0,45 µm. Tinggi rendahnya TSS akan berpengaruh pada tingkat kekeruhan (APHA 1989). Penyebab nilai TSS yang 23 utama adalah kikisan tanah atau erosi tanah yang lumpur, pasir halus dan jasadjasad renik (Effendi 2000). kondisi tersebut terjadi pada musim penghujan, dimana danau atau sungai mengalami limpahan air hujan. Effendi (2000) menyatakan bahwa padatan tersuspensi dan penetrasi cahaya ke dalam perairan sangat mempengaruhi kebiasaan hidup zooplankton. Apabila jumlah dan ukuran partikel yang tersuspensi cukup besar dan aliran air tidak terlalu deras, maka partikel-partikel tersebut akan mengendap di dasar perairan. Sedimentasi yang terjadi akan melapisi substrat tempat hidup makrozoobentos sehingga keanekaragaman dan kelimpahannya menurun (Hawkes 1979). Nilai kekeruhan yang masih memenuhi kehidupan biota air yang diinginkan adalah tidak lebih dari 100 mg/l (Fardiaz 1992). 2.4.2 Parameter Kimia Derajat keasaman (pH) Nilai pH menyatakan intensitas keasaman atau alkalinitas dari suatu contoh air dan mewakili konsentrasi ion hidrogennya. Konsentrasi ion hidrogen ini akan berdampak langsung terhadap keanekaragaman dan distribusi organisme serta menentukan reaksi kimia yang akan terjadi. Nilai pH ini dipengaruhi oleh beberapa parameter, antara lain aktivitas biologi, suhu, kandungan oksigen, dan adanya ion-ion. Dari hasil aktivitas biologi dihasilkan CO2 yang merupakan hasil respirasi, CO2 inilah yang akan membentuk buffer atau penyangga untuk menyangga kisaran pH di perairan agar tetap stabil (Pescod 1973). Makrozoobentos memiliki kisaran toleransi terhadap pH yang berbedabeda, seperti Gastropoda lebih banyak ditemukan pada perairan dengan pH diatas 7. Bivalvia di dapatkan pada kisaran pH yang lebih lebar yaitu 5,6 – 8,3. Dalam kelompok Insecta, Coleoptera mewakili taksa dengan kisaran pH yang lebar. Sebagian besar famili Chironomidae mewakili kelompok serangga terdapat pada pH diatas 8,5 dan dibawah pH 4,5 (Hawkes 1979). Gas Oksigen Terlarut (DO) Gas oksigen terlarut merupakan kebutuhan dasar untuk kehidupan tanaman dan hewan di dalam air. Kehidupan makhluk hidup di dalam air tersebut tergantung dari kemampuan air untuk mempertahankan konsentrasi oksigen 24 minimal yang dibutuhkan untuk kehidupannya. Selanjutnya APHA (1989) menyatakan bahwa oksigen terlarut di dalam air berasal dari hasil fotositesis fitoplankton atau tumbuhan air serta difusi dari udara. Oksigen terlarut digunakan dalam penghancuran bahan organik dalam air. Tanpa adanya oksigen terlarut dalam tingkat konsentrasi tertentu banyak jenis organisme perairan tidak dapat bertahan hidup. Oksigen terlarut sangat penting untuk menunjang kehidupan organisme air, khususnya makrozoobentos dalam proses respirasi dan dekomposisi bahan organik. Kebutuhan Oksigen Biokimiawi (BOD) Kebutuhan oksigen biokimawi atau biochemical oxygen demand (BOD) merupakan ukuran banyaknya oksigen yang digunakan oleh mikroorganisme untuk menguraikan bahan organik yang terdapat dalam air. Nilai BOD umumnya digunakan sebagai bioindikator kelimpahan bahan organik dalam air. Aktivitas mikroorganisme yang tinggi mengakibatkan semakin besar nilai BOD untuk menguraikan bahan organik. Nilai BOD tidak menunjukkan jumlah bahan organik yang sebenarnya, tetapi hanya menunjukkan secara relatif oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan-bahan buangan (Fardiaz 1992). Menurut Effendi (2000) bahwa BOD berpengaruh terhadap kondisi zooplankton pada perairan, hal ini dimungkinkan karena adanya bahan organik yang diuraikan oleh mikroba aerob yang memerlukan oksigen sebagai makanan alami zooplankton dan makrozoobentos. Semakin banyak bahan organik dalam perairan maka semakin banyak oksigen yang dibutuhkan untuk menentukan tingkat pencemaran bahan organik di suatu perairan. Kebutuhan Oksigen Kimia (COD) Menurut APHA (1989), COD merupakan jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik yang terdapat di perairan menjadi CO2 dan H2O dengan menggunakan oksidator kuat. Nilai COD ini akan meningkat sejalan dengan meningkatnya bahan organik di perairan. COD merupakan ukuran jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk menguraikan bahan organik secara kimia. Secara umum nilai COD dalam air limbah lebih besar daripada nilai BOD karena lebih banyak materi yang dapat dioksidasi secara kimia daripada secara biologis (Tchobanoglous & Burton 1991). 25 Amonia dan Nitrat Nitrogen di perairan dapat berbentuk gas nitrogen (N2), amonia tidak terionisasi (NH3), ammonium (NH4+), nitrit (NO3-) dan senyawa bentuk lain yang berasal dari limbah pertanian, pemukiman, dan limbah industri (Goldman & Horne 1983), Di perairan alami sungai konsentrasi amonia cenderung rendah antara 7 – 60 µg N/l, Wetzel (2001) juga menambahkan bahwa pada perairan sungai umumnya konsentrasi nitrat berkisar antara, 25 µg N/l pada lingkungan sub artik hingga amazon pada 2000 µg N/l sungai temperate. Nitrat dan nitrogen dengan konsentrasi tinggi ditemukan di perairan sungai dekat daerah pertanian. Rata-rata NO3-N di perairan sunai alami mendekati 1000 µg N/l. Amonia di perairan dihasilkan oleh proses dekomposisi, reduksi nitrat oleh bakteri, kegiatan pemupukan, dan ekskresi-ekskeresi organisme-organisme yang ada didalamnya. Setiap amonia yang dibebaskan ke suatu lingkungan akan membentuk reaksi keseimbangan dengan ion ammonium (NH4+). Amonia ini yang kemudian mengalami proses nitrifikasi membentuk nitrat. Nilai amonia memiliki hubungan dengan nilai pH perairan yaitu makin tinggi pH maka makin besar kandungan amonia (Wardoyo 1975). 2.4.3 Parameter Sedimen Sedimen atau substrat dasar perairan merupakan tempat tinggal tumbuhan dan hewan di dasar perairan, jenis substrat dalam perairan sangat menentukan kepadatan serta komposisi hewan bentos. Sedimen penyusun dasar sungai bervariasi ukurannya. Sedimen adalah kerak bumi yang ditransportasikan melalui proses hidrologi dari satu tempat ke tempat lainnya, baik secara vertikal maupun horizontal. Sedimen dibagi atas dua kelompok yaitu Sedimen of inlets yaitu yang berasal dari limpasan air sungai, jenis sedimen ini banyak mempengaruhi proses pembentukkan pinggir pantai di sekitar muara sungai, sedangkan Pyroclastic sediment berasal dari daratan (angin atau drainase) atau penguraian bahan organik. Penambahan sedimen pada suatu perairan erat kaitannya dengan proses sedimentasi yaitu proses pengendapan partikel sedimen, bahan-bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dalam air. Proses ini berkaitan dengan erosi dan pengangkutan sedimen yang pengendapannya tergantung sifat fisika, kimia sedimen serta kondisi hidrologis disekitarnya (McDowell & O’Connor, 1977). 26 Odum (1971) menjelaskan bahwa pengendapan partikel lumpur di dasar perairan tergantung pada arus. Jika arusnya kuat maka partikel yang mengendap adalah partikel yang ukurannya besar, Sebaliknya pada tempat yang arusnya lemah maka yang mengendap adalah lumpur halus. Partikel yang berukuran lebih halus biasanya akan terbawa jauh oleh arus. Tipe substrat suatu perairan akan menentukan kehidupan dan komposisi makrozoobentos. Penyebaran dan kepadatan makrozoobentos berhubungan dengan diameter rata-rata butiran sedimen, kandungan debu dan liat serta adanya cangkang-cangkang biota yang telah mati. Secara umum dapat dikatakan bahwa semakin besar ukuran butiran berarti semakin kompleks substrat maka semakin beragam pula jenis makrozoobentosnya. Perbedaan jenis sedimen dasar ini mempengaruhi karakteristik kimia air sungai, pergerakan air dan porositas dasar sungai. Secara umum sedimen dasar sungai dapat diklasifikasikan menjadi batu kali (bedrock), bulder (boulder), kobel (cobble), pebel (pebble), kerikil (gravel), pasir (sand), Lumpur (silt) dan liat (clay). Pengklasifikasian sedimen dasar sungai berdasarkan ukuran terperinci dapat ditunjukkan pada Tabel 5 sebagai berikut : Tabel 5 Klasifikasi sedimen dasar sungai berdasar diameter partikel Diameter Partikel (mm) > 256 128-256 64-128 32-64 16-32 8-16 4-8 2-4 0,5-1 0,25-0,5 0,125-0,25 0,063-0,125 0,032-0,063 < 0,032 Phi scale category (- Log2 diameter) -10,-9,-8 -7 -6 -5 -4 -3 -2 -1 1 2 3 4 5,6,7,8 9,10 Sumber : Jeffries & Mills (1996). Klasifikasi sedimen Batu kali (bedrock) Bulder (boulder) Kobel besar (large cobbel) Kobel kecil (small cobble) Pebel besar (large pebble) Pebel kecil (small pebble) Batu kerikil kasar (coarse gravel) Batu kerikil sedang (medium gravel) Batu kerikil kecil (fine gravel) Pasir sangat kasar (very coarse) Pasir kasar (medium) Pasir halus (fine) Pasir sangat halus (Very fine) Lumpur (Silt) Tanah liat (Clay) 27 2.5 Keadaan Umum dan karakteristik Habitat Sungai Musi Bagian Hilir 2.5.1 Zona Bagian Hilir (Downstream) Dari pengamatan beberapa sifat fisik sungai dan beberapa parameter kimia yang dipadukan dengan hasil pengukuran ketinggian letak badan sungai dari muka laut, pengamatan visual tata guna lahan sekitar pengukuran panjang sungai berdasarkan peta provinsi Sumatera Selatan yang berskala 1 : 550.000 (Samuel et al. 2003), maka Sungai Musi dalam bentuk profil memanjang berdasarkan geomorfologinya, badan utama Sungai Musi dapat dibagi menjadi tiga zona salah satunya yang terkait dalam penelitian adalah zona bagian hilir. Aliran induk Sungai Musi bersumber dari wilayah pegunungan dan Bukit Barisan, aliran air ini mengalir dengan kemiringan curam dimana sungainya tidak lebar dan alirannya sangat deras kemudian aliran Sungai Musi mengalir dari arah barat daya ke barat laut, kemudian membelok ke arah timur laut sampai ke titik pertemuan dengan Air Rawas kemudian mengarah ke Sekayu. Kemudian dimulai zona Musi bagian hilir (downstream) dari Desa Tebing Abang mengalir ke arah utara hingga ke Muara Selat Bangka dekat Desa Sungsang dengan panjang ± 146 km dan berada pada ketinggian antara 0-15 meter di atas permukaan laut. Pada habitat yang berdekatan dengan muara, kondisi perairannya sudah dipengaruhi oleh kadar garam air laut yang berasal dari selat Bangka. Tercatat pada musim kemarau air Musi sekitar Makarti ± 20 km dari muara bersalinitas sebesar ± 3 ppt dan pada musim hujan ± 6,5 ppt. Sinuosity Sungai Musi pada bagian hilir berkisar 1,05-1,19 namun daerah ini mempunyai arus yang lemah dikarenakan badan sungai berada di daerah yang sangat landai dan juga pengaruh fluktuasi harian pasang surutnya air laut, saat pasang air mengalir dari hilir ke hulu, dan sebaliknya saat surut air mengalir dari hulu ke hilir dan pada saat tertentu dijumpai gerakan air ini hanya bolak-balik di daerah tertentu saja. Substrat dasar didominasi lumpur, tanah liat dan pasir. Jenis bahan antropogenik dan pencemar di DAS Musi bervariasi tergantung pada kondisi fisiografi dan geomorfologi dan tata guna lahan yang ada di sekitar DAS Musi. Pada umumnya bahan antropogenik mulai di temukan pada bagian tengah hingga bagian hilir dari DAS Musi. Jenis dan sumber bahan antropogenik pada umumnya bahan organik, lemak (grease), padatan tersuspensi (TSS), logam berat, organoklorin, hidrokarbon, pestisida dan unsur hara (Husnah et al. 2006). 28 Tata guna lahan sekitar badan Sungai Musi bagian hilir yaitu sekitar kota Palembang sampai ke bagian hilirnya sekitar Pulau Borang dan Selat Ajaran banyak dijumpai industri-industri besar yang merupakan kawasan industri antara lain: industri pupuk urea (Pusri), industri pengolahan minyak bumi (Pertamina), industri pengolahan karet (crumb rubber) , industri kayu lapis, industri pengolahan minyak kelapa sawit , industri semen Baturaja dan lain-lain (Samuel et al. 2003). Gambar 6 Industri pengolahan minyak bumi dan industri pupuk kimiawi di tepi Sungai Musi Daerah penting pada Sungai Musi pada bagian hilir yang perlu dijaga keberadaannya adalah areal hutan mangrove yang banyak terdapat tumbuhan tegakan seperti tumbuhan api-api, pedado dan lain-lain yang sangat berperan dalam melestarikan sumber daya perikanan karena tempat ini merupakan daerah asuhan bagi anak-anak udang dan ikan, tempat mencari makanan dan tempat menempelkan telur-telur ikan (Samuel et al. 2003). 2.5.2 Kondisi Hidrooseanografi Arus Arah dan kecepatan arus di perairan merupakan mekanisme penting dalam penyebaran dan transportai material (bahan pencemar) sepanjang alur suatu perairan (Adriman 1995). Arus di perairan Sungai Musi bagian hilir sangat di pengaruhi oleh arus dari daerah hulu Sungai Musi dan arus dari perairan Selat Bangka. Terdapat dua pola arus di Sungai Musi bagian hilir yaitu arus pasang dan arus surut. Arus pasang merambat dari Utara menuju ke Selatan berbelok ke Barat dan sebaliknya arus surut merambat dari Barat menuju ke timur berbelok ke Utara. Iklim Keadaan iklim daerah yang dilalui Sungai Musi bagian hilir pada umumnya mempunyai iklim tropis dan basah dengan curah hujan 29 1.500 – 3.200 mm/tahun (rata-rata per bulan 195,8 mm) dengan pembagian bulan basah selama 8 bulan (November sampai April) dan bulan kering 4 bulan (Juni sampai September). Suhu berkisar antara 22,6oC–32,7 oC dengan suhu rata-rata 27,1 oC sedangkan kelembaban udara rata-rata 75% - 89% (Anonim 2007). Pasang Surut Pasang surut merupakan gerakan naik turunnya permukaan air laut sebagai akibat adanya gaya tarik benda-benda angkasa, terutama bulan dan matahari terhadap massa air di bumi. Bulan mempunyai peranan yang lebih besar daripada matahari dalam menentukan pasang surut (Adriman 1995). Hasil perhitungan MSL (means sea level) dengan menggunakan data pasang surut dari PT. Pelindo di area ambang luar pada bulan April dan Juli menunjukkan bahwa tipe pasang surut Sungai Musi bagian hilir adalah bersifat campuran antara pasang harian tunggal dan pasang harian ganda. Pola harian tunggal berarti dalam 24 jam terjadi satu kali pasang dan satu kali surut, sedangkan pola harian berganda berarti dalam 24 jam terjadi dua kali pasang dan dua kali surut.