Struktur Komunitas Makrozoobentos sebagai

advertisement
6
2.1 Tinjauan Singkat Tentang Ekosistem Sungai
Sungai merupakan jenis perairan dengan sistem terbuka, yang sangat
tergantung pada keadaan lingkungan sekitarnya. Sesuai dengan konsep
kontinum (Vannote et al. 1980), sungai merupakan badan air yang kontinum,
keadaan di bagian hilir merupakan kelanjutan dari kejadian-kejadian di bagian
hulunya. Suatu sungai dapat mengambarkan perubahan struktur dan fungsi
komunitas sepanjang sungai sehingga terjadi perubahan gradien dari hulu
hingga ke hilir.
Daerah aliran sungai (DAS) yang menjadi bagian dari perairan umum
merupakan suatu wilayah dataran yang menampung dan menyimpan air hujan
yang kemudian mengalirkannya ke laut melalui satu sungai utama. Pengertian
sungai itu sendiri adalah perairan yang airnya mengalir pada arah tertentu,
berasal dari air tanah, air hujan, dan atau air permukaan yang akhirnya bermuara
ke laut, sungai atau perairan terbuka yang luas. Air tawar secara terus menerus
mengalami siklus hidrologi dimana siklus hidrologi ini bergantung pada proses
evaporasi dan presipitasi, begitu juga sungai yang sumbernya berasal dari air
hujan yang mengalir sebagai air permukaan atau air yang masuk ke dalam tanah
melalui proses infiltrasi ke badan air.
Pada sungai biasanya terjadi percampuran massa air secara menyeluruh,
tidak terbentuk stratifikasi vertikal kolom air seperti pada perairan lentik.
Kecepatan arus, erosi dan sedimentasi merupakan fenomena yang umum terjadi
di sungai sehingga kehidupan flora dan fauna pada sungai sangat di pengaruhi
oleh ketiga variabel tersebut. Intensitas cahaya dan perbedaan suhu air sangat
berperan pada pengklasifikasian perairan lentik, sedangkan pada perairan lotik
justru kecepatan arus atau pengerakan air, jenis sedimen dasar, erosi dan
sedimentasi yang paling berperan (Jeffries & Mills 1996).
Sifat-sifat ekosistem lotik secara fundamental diatur oleh laju aliran. Pada
aliran dengan kecepatan lebih dari 50 cm/detik, dasar sungai terdiri partikelpartikel yang lebih besar, sehingga sungai akan memiliki dasar yang keras dan
mungkin berbatu. Pada aliran dengan kecapatan dibawah 50 cm/detik terdiri dari
partikel-partikel yang lebih kecil sehingga dasar sungai menjadi lembut dan
berpasir atau berlumpur. Hal yang menonjol dari ekosistem akuatik mengalir
adalah yang berkaitan dengan pergerakan airnya. Pergerakan air tersebut
umumnya dinyatakan dengan derajat kecepatan aliran sungai (arus) meter/detik.
Baik kecepatan arus maupun volume aliran air akan meningkat semakin ke hilir
7
sungai. Faktor yang penting berpengaruh terhadap komunitas biota adalah
turbulensi atau pergerakan air atau partikel air yang tidak menentu dan
pergerakan partikel yang paralel satu sama lainnya disebut aliran laminar, yang
sangat kontras dengan pergerakan air yang irreguler atau tak beraturan.
Pada bagian sungai yang terkena aliran turbulen yang tinggi, erosi akan
terjadi dengan cepat, disamping itu turbulensi yang keras (tinggi) akan efektif
mengikis dan mengangkat sedimen di dasar sungai dan daya absorbsi (difusi)
permukaan air untuk menyerap oksigen (gas-gas di udara) ke dalam air semakin
kecil. Sebaliknya bagian sungai yang terkena aliran laminar, erosi sangat kecil,
pengikisan sedimen dasar sungai sedikit, konsentrasi oksigen terlarut relatif
rendah, bila dibandingkan dengan zona sungai yang terdapat aliran turbulen
(Basmi 1999).
Ciri khas sebuah sungai di mulai daerah bagian hulu yang biasanya
berawal dari dataran tinggi yang hanya berupa parit kecil, aliran deras, air dingin,
dan pergerakan air secara turbulen, mempunyai hidrograf aliran dengan puncakpuncak yang tajam sewaktu mendaki (rising stage) dan menurun (fallen stage),
gradien hulu sungai cukup curam dan sangat aktif mengikis air secara turbulen.
Dasar sungai terdiri batuan. Semakin jauh ke hilir, sungai tersebut akan menyatu
dengan anak-anak sungai.
Aliran sungai akan menjadi lambat ketika menjelang dan memasuki dataran
pantai. Di dekat muara ini, luar sungai akan terisi dengan pasir. Daya pancar
masa air disini menjadi lebih besar, karena sungai tersebut telah menampung air
dari banyak anak sungai, dan daerah ini akan menjadi lebih dalam. Meskipun
demikian, airnya menjadi sangat keruh, karena di sini terdapat partikel-partikel
tersuspensi yang sangat halus yang berasal dari bahan organik sekitar sungai
yang masuk ke sungai karena terbawa aliran air permukaan tanah. Di dekat
muara aliran turbulen ini sudah sangat lemah, cenderung berganti menjadi aliran
laminar dan terakhir air sungai memasuki laut dan zona ini disebut zona transisi
atau estuaria (Basmi 1999).
Air mengalir atau habitat lotik berasal dari kata lotus berarti tercuci, aliran
air pada habitat lotik ini terdapat dua zona utama yaitu :
1.
Zona air deras : daerah yang dangkal dimana kecepatan arus cukup tinggi
aliran airnya deras dan turbulen, baik organisme maupun partikel sedimen
tidak mampu melekat atau terendap di dasar perairan karena akan tersapu
oleh arus sehingga dasarnya padat. Substrat sungai terdiri batu-batu atau
8
koral yang merupakan pecahan atau potongan-potongan bulat yang licin
karena terkikis oleh air dan habitatnya beraneka ragam. Zona ini dihuni oleh
bentos yang beradaptasi khusus atau organisme perifiton yang dapat
melekat atau berpegang dengan kuat pada dasar sungai yang padat dan
oleh ikan yang kuat berenang misalnya darter.
2.
Zona air tenang (lambat) : bagian air yang dalam dimana kecepatan arus
sudah berkurang, aliran airnya lambat dengan aliran partikel laminar, daya
erosi berkurang, partikel-partikel sedimen sangat halus seperti lumpur dan
materi lepas cenderung mengendap di dasar perairan, sehingga dasarnya
lunak, tidak sesuai untuk bentos permukaan. Organisme yang hidup di
dasar sungai berlumpur antara lain sowbug (Isopoda), keong, mayfly dan
aniad damselfly. Fauna lainnya tinggal di dalam sedimen dengan menggali
lubang seperti, naiad mayfly dan beberapa larva insekta lainnya seperti
kerang, nematoda, siput (Basmi 1999).
2.2 Makrozoobentos Sebagai Indikator Biologis Kualitas Perairan
2.2.1 Organisme Makrozoobentos
Bentos adalah organisme yang hidup di permukaan atau dalam substrat
dasar perairan yang meliputi organisme nabati yang disebut fitobentos dan
organisme hewani yang disebut zoobentos. Pada umumnya zoobentos adalah
makro invertebrata yang meliputi insekta, mollusca, oligochaeta, crustacea dan
nematoda (Cummins 1975). Sebaran vertikal bentos terbagi menjadi epifauna
yaitu organisme yang hidup di atas permukaan dasar substrat perairan dan
infauna yaitu organisme yang hidup di dalam dasar substrat perairan.
Gambar 2 Makrozoobentos yang hidup di atas dan di dalam substrat dasar
perairan (Cummins 1975).
Menurut Vernberg 1981, diacu dalam Fachrul (2007) menggolongkan
bentos berdasarkan ukurannya ke dalam tiga golongan yaitu :
9
1. Makrobentos adalah bentos yang tersaring oleh saringan yang berukuran
saringan 1,0 x 1,0 milimeter atau 2,0 x 2,0 milimeter, yang pada pertumbuhan
dewasanya berukuran 3 – 5 milimeter.
2. Meiobentos adalah bentos yang berukuran antara 0,1 – 1 mm misalnya
golongan Protozoa yang berukuran besar (Cnidaria), cacing ukuran kecil.
3. Mikrobentos adalah bentos yang berukuran kurang dari 0,01 mm – 0,1 mm
misalnya Protozoa.
Menurut Jeffries & Mills (1996), makrozoobentos dapat dibedakan dalam
empat golongan berdasarkan kebiasaan makannya yaitu :
1. Perumput (grazer) dan pengikis (scraper) yaitu herbivora pemakan alga yang
tumbuh melekat pada substrat.
2. Pemarut (shredder), yaitu detrivora pemakan partikel ukuran besar
3. Kolektor (collector) yaitu detrivora pemakan partikel halus baik yang berupa
suspensi dan berupa endapan.
4. Predator yaitu berupa hewan karnivora.
Berdasarkan cara makannya, makrozoobentos dikelompokkan menjadi dua
yaitu :
1. Filter feeder adalah hewan bentos yang mengambil makanan dengan
menyaring makanan
2. Deposit feeder adalah yang mengambil makanan dalam substrat dasar
kelompok pemakan deposit banyak terdapat pada substrat berlumpur seperti
jenis-jenis cacing Polychaeta (Setyobudiandi 1997).
Kelimpahan makrozoobentos di suatu perairan di pengaruhi oleh faktorfaktor yang meliputi faktor fisika, kimia, dan faktor biologi. Faktor-faktor tersebut
antara lain adalah suhu pH, kekeruhan, kecerahan, gas-gas terlarut dan adanya
interaksi dengan organisme lain (Odum 1971). Tingkat keanekaragaman bentos
yang terdapat di lingkungan perairan tertentu merupakan cerminan variasi
daripada toleransinya terhadap kisaran-kisaran parameter lingkungan. Dengan
adanya kelompok bentos yang hidup menetap (sessile) dan daya adaptasi
bervariasi terhadap kondisi lingkungan, membuat hewan bentos seringkali
digunakan sebagai petunjuk bagi penilaian kualitas air. Kehadiran spesies
toleran dan ketidak-hadiran spesies yang tidak toleran dapat digunakan sebagai
petunjuk terjadinya pencemaran.
Dennis & Patil (1977) menyatakan bahwa kelompok organisme yang
merasakan langsung pengaruh perubahan lingkungan adalah makrozoobentos,
10
karena pada umumnya makrozoobentos tidak berpindah tempat.
kondisi fisika dan kimia lingkungan akan menghasilkan
Perubahan
perubahan pada
komunitas makrozoobentos. Organisme yang toleran terhadap perubahan
lingkungan pada akhirnya akan tumbuh dan berkembang karena tidak terdapat
kompetisi baik dalam ruang maupun makanan, sehingga jumlah organisme
tersebut akan melimpah, sedangkan organisme yang tidak toleran terhadap
perubahan
lingkungan,
kemampuan
untuk
tumbuh,
bereproduksi
dan
berkompetisi dalam komunitas akan terganggu. Gangguan yang berkelanjutan
pada organisme akan menghasilkan perubahan pada struktur komunitas.
Tabel 1 Struktur komunitas makrozoobentos pada berbagai kondisi perairan
Keadaan Perairan
Struktur Komunitas Makrozoobentos
Tidak tercemar
Tidak ada satu pun spesies yang dominan, komunitas
makrozoobentos seimbang dengan beberapa populasi
intoleran yang diselingi beberapa populasi falkultatif.
Tercemar moderat
Banyak spesies intoleran yang hilang atau berkurang
dan berbagai spesies fakultatif dengan satu atau dua
spesies dari kelompok toleran yang mendominasi.
Tercemar
Jumlah spesies dari komunitas makrozoobentos yang
terbatas, diikuti berkurangnya kelompok toleran dan
fakultatif. Jumlah spesies toleran akan melimpah.
Tercemar Berat
Hampir seluruh komunitas makrozoobentos hilang
kecuali cacing oligochaeta dan kelompok yang bernafas
ke udara. Seluruh kehidupan mungkin saja hilang.
Sumber : Wilhm (1975).
Berdasarkan kepekaannya terhadap bahan pencemar. Gauffin (1958),
diacu dalam Wilhm (1975) membagi makrozoobentos menjadi tiga golongan
yaitu : intoleran, fakultatif dan toleran. Organisme intoleran adalah organisme
yang tumbuh dan berkembang dalam kisaran toleransi lingkungan yang sempit
terhadap pencemaran, dan tidak tahan terhadap tekanan lingkungan sehingga
hanya hidup pada perairan yang belum tercemar dan miskin bahan organik.
Organisme fakultatif adalah organisme yang dapat hidup dalam kisaran toleransi
lingkungan yang agak luas, meskipun dapat hidup dalam perairan yang kaya
bahan organik dan perairan yang tercemar ringan sampai dengan pencemaran
sedang, namun tidak dapat mentolerir tekanan lingkungan. Organisme toleran
adalah organisme yang tumbuh dan berkembang dalam kisaran toleransi
lingkungan yang luas sehingga mampu berkembang mencapai kepadatan
tertinggi dalam perairan yang tercemar sedang maupun tercemar berat. Oleh
11
karena itu untuk mengetahui kehadiran atau ke tidak hadiran organisme pada
lingkungan perairan digunakan indikator yang menunjukkan tingkat atau derajat
kualitas suatu habitat. Beberapa spesies yang termasuk golongan intoleran,
fakultatif dan toleran yang ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2 Beberapa contoh makrozoobentos berdasarkan kepekaannya terhadap
bahan pencemar
Status
Jenis Makrozoobentos
Intoleran
Ephemera simulans (lalat sehari), Acroneuria evoluta (lalat batu),
Chimarra obscura, Mesovelia sp (kepik), Helichus lithopilus
(kumbang), Anopheles punctiennis (nyamuk).
Fakultatif
Stenonema heterotarsale (lalat sehari), Taeniopteryx maura (lalat
batu), Hydropsyche bronta, Agrion maculatum, Corydalis
cornutus (lalat), Agabus stagninus (kumbang), Chironomous
decorus, Helodrilus cholotica (cacing Oligochaeta).
Toleran
Chironomous riparium (sejenis nyamuk), Limnodrillus sp, dan
Tubifex sp (cacing Oligochaeta)
Sumber : Gaufin 1958, diacu dalam Wihlm (1975).
Pada perairan yang masih bersih menunjukkan keseimbangan komunitas
makrozoobentos ditandai dengan adanya spesies intoleran yang bercampur
dengan spesies fakultatif, dimana tidak ada spesies yang dominan. Pada
perairan yang tercemar sedang, organisme intoleran mulai berkurang jumlahnya.
Pada perairan tercemar dimana bahan organiknya tinggi tidak ditemukan lagi
spesies intoleran dan fakultatif, yang ditemukan hanyalah organisme toleran,
bahkan pada perairan yang tingkat pencemarannya sudah berat dapat
menyebabkan hilangnya semua spesies makrozoobentos kecuali cacing atau
organisme yang mengambil oksigen dari udara dan pada akhirnya tidak
ditemukan lagi adanya kehidupan di perairan tersebut (Wilhm 1975).
Setiap spesies mempunyai respon yang spesifik terhadap perubahan
lingkungan. makrozoobentos dari spesies Tubifex sp dan Melanoides tuberculata
merupakan spesies indikator adanya oksigen terlarut (DO) rendah dan partikel
tersuspensi tinggi pada ekosistem perairan sungai (Sastrawijaya 1991).
Beberapa tingkat pencemaran bahan organik dalam air tawar dan
makrozoobentos yang terkait sebagai indikator biologi menurut Sastrawijaya
(1991) :
12
-
Limbah organik yang sangat pekat (oksigen terlarut pada taraf nol)
makrozoobentos yang ada hanya golongan cacing dari genus Tubifex
dan Limnodrillus
-
Jika kondisi air lebih baik, maka makrozoobentos dari golongan cacing
tersebut yang diikuti oleh larva Chironomous (cacing darah);
-
Pada zona air yang sudah pulih spesies yang khas adalah
Asellus aquaticus di samping Chironomous, tetapi ada pula spesies
lain seperti lintah dan moluska tertentu setelah zona Asellus aquaticus,
kondisi air pulih lebih baik lagi terutama zona Gammarus. Zona ini
mungkin dianggap sebagai zona taraf pertama kembalinya fauna yang
biasa terdapat di air bersih. Ciri zona Gammarus adalah banyaknya
keragaman
jenis
makrozoobentos
termasuk
Trichoptera
dan
Ephemeroptera
-
Taraf kelompok hewan lain akan kembali yang bergantung pada tipe
sungai atau hulu sungai.
Sastrawijaya (1991) membagi makrozoobentos bagi pencemaran organik
pada beberapa tingkatan stadium yaitu :
-
Indikator air bersih : Ephemeroptera, Ecdyonurus, Leuctra Nemurella
dan Perla
-
Indikator pencemar ringan : Amphineura, Leuctra, Ephemerella,
Caenis,
Gammarus,
Baetis,
Valvata,
Bythynia,
Hydropsyche,
Limnodrilus, Rhyacophyla dan Sericostoma
-
Indikator pencemar sedang : Asellus, Sialis, Limnaea, Physa dan
Sphaerium
-
Indikator pencemaran berat : Nais, Chironomous, Tubifex dan Eristalis.
Komunitas invertebrata didominasi oleh berbagai larva dan nimpa,
walaupun terdapat Nematoda, Oligochaeta, Gastropoda dan Bivalvia serta
Crustacea. Larva akan tumbuh dewasa menjadi Trichoptera, Diptera dan
Coleoptera yang berlimpah dan berbeda (Closs Gerry 2006).
2.2.2 Peranan Makrozoobentos di Perairan
Dalam komunitas perairan, bentos memegang peranan penting seperti
dalam proses mineralisasi dan pendaur-ulangan bahan organik serta menduduki
beberapa posisi dalam rantai makanan. Menurut Jutting (1956), hewan dasar
13
mempunyai kedudukan sebagai konsumen di dalam rantai makanan, yaitu
zooplankton atau bahkan memakan hewan bentik lainnya. Bentos dapat pula
berperan sebagai produsen, baik primer maupun sekunder. Pennak (1978)
menyebutkan bahwa bentos khususnya larva serangga merupakan makanan
alami bagi ikan pemakan hewan.
Odum (1971), menyatakan bahwa organisme bentik mempunyai hubungan
yang erat sekali dengan sumber daya perikanan melalui hubungan rantai
makanan. Hubungan ini berdasarkan atas rantai makanan detritus yang dimulai
dari
organisme
mati
ini
diuraikan
oleh
mikroorganisme,
kemudian
mikroorganisme beserta hancurannya dimakan oleh pemakan detritus (detritivor),
detritivor ini selanjutnya dimakan oleh beberapa jenis ikan dan udang.
Beberapa alasan tentang keuntungan menggunakan makrozoobentos
dibandingkan dengan biota air lainnya untuk pendugaan kualitas air seperti yang
telah diungkap oleh Chessman 2003, diacu dalam Sudarso (2003) antara lain
sebagai berikut :
1. Struktur komunitas dari makrozoobentos seringkali dapat digunakan
sebagai bioindikator lingkungan yang mewakili kondisi lokalnya, karena
banyak dari hewan tersebut bersifat sessile. Dengan keterbatasan
tersebut maka hewan ini sangat cocok untuk digunakan dalam penilaian
pengaruh aktivitas antropogenik pada tempat spesifik.
2. Makrozoobentos mampu mengintegrasikan adanya perubahan variasi
lingkungan yang relatif singkat. Banyak spesies makrozoobentos
mempunyai waktu siklus hidup yang relatif kompleks dari yang satu tahun
hingga lebih. Sensitivitas pada siklus hidup akan merespon stress lebih
cepat dibandingkan dengan struktur komunitas.
3. Identifikasi hewan ini biasanya relatif mudah hingga sampai tingkat famili,
dan banyak pula dari taksa yang tergolong toleran dapat diidentifikasi
sampai pada level genus. Beberapa indeks telah disusun secara
sederhana
hanya
dengan
menggunakan
tingkat
famili,
sehingga
memudahkan dalam pendugaan status pencemaran atau tingkat
gangguan pada ekosistem sungai.
4. Respon stress yang dihasilkan makrozoobentos dapat ditunjukkan pada
tingkatan tropik dan kisaran toleransi yang berbeda terhadap polusi,
sehingga memungkinkan untuk menggabungkan informasi tersebut ke
dalam interpretasi kumulatif.
14
5. Sampling yang relatif mudah, peralatan yang relatif murah, dan dapat
dikerjakan tanpa banyak membutuhkan tenaga manusia.
6. Makrozoobentos merupakan sumber utama bagi makanan ikan, dan
banyak spesies penting yang secara komersil digunakan untuk
kepentingan rekreasi.
7. Makrozoobentos di lingkungan perairan merupakan komponen utama
penyusun dari aktivitas diversitas biologi sungai. Pengertian tentang
hubungan pengaruh dan dampak dari aktivitas manusia terhadap
kehidupan makrozoobentos akan membantu dalam menemukan cara
untuk konservasi dari biota tersebut.
8. Distribusi makrozoobentos yang luas dengan bermacam-macam tipe
badan air dari yang beriklim tropis hingga temperate.
9. Kemampuan untuk mengakumulasi dari bahan polutan yang bermacammacam, sehingga dapat digunakan untuk mempelajari nasib dari suatu
polutan yang dipaparkan pada biota air melalui studi bio akumulasi.
2.3 Konsep Dasar Bioindikator dan Struktur Komunitas
2.3.1 Konsep Dasar Bioindikator
Bioindikator adalah organisme yang yang menunjukkan sensitivitas atau
toleransi terhadap kondisi lingkungan sehingga memungkinkan untuk digunakan
sebagai alat penilai kondisi lingkungan. Menurut Wittig (1993), diacu dalam
Mhatre & Pankhurst (1996) bioindikator adalah organisme, bagian dari suatu
organisme atau masyarakat suatu organisme (komunitas) yang menyediakan
informasi tentang kondisi lingkungan baik sebagian atau keseluruhan sedangkan
McGeoch (1998) mendefinisikan bioindikator sebagai spesies atau kelompok
spesies yang secara cepat dapat menggambarkan kondisi lingkungan baik
abiotik maupun biotik; menggambarkan dampak perubahan lingkungan dari
sebuah habitat, komunitas atau ekosistem; atau mengindikasikan keragaman
dari kelompok takson, atau keragaman secara keseluruhan di dalam suatu
kawasan.
15
Bioindikasi menurut McGeoch (1998) dalam aplikasinya dikelompokkan ke
dalam tiga kategori yaitu:
1. Indikator lingkungan (Enviromental indicator) adalah spesies atau kelompok
spesies yang tanggap terhadap lingkungan yang rusak atau perubahan
kondisi lingkungan. Indikator lingkungan dibagi lagi menjadi 5 yaitu sentinels,
detektor, eksploiter, akumulator dan bioassay organisme.
2. Indikator ekologis (Ecological indicator) yaitu karakteristik takson atau
kelompok yang sensitif untuk mengidentifikasikan faktor tekanan lingkungan,
yang menggambarkan pengaruh dari tekanan-tekanan ini terhadap biota dan
tanggapannya diwakili oleh sedikit takson yang ada pada habitat tersebut.
3. Indikator keanekaragaman hayati (Biodiversity indicator) adalah kelompok
takson
atau
kelompok
fungsional
dimana
keragamannya
dapat
menggambarkan beberapa ukuran tentang keragaman kekayaan jenis,
kekayaan sifat dan endemisitas) takson di atasnya dalam sebuah habitat
atau kelompok habitat. Indikator biodiversitas dapat dibedakan menjadi 3
kelompok yaitu kelompok referensi, kelompok kunci dan kelompok focal.
Tabel 3 Fungsi indikator dari masing-masing kelompok indikasi
Kategori indikator
1. Lingkungan
2. Ekologi
3. Biodiversitas
Fungsi alternatif (indikator digunakan untuk)
1. Menduga perubahan kondisi lingkungan
2. Memonitor perubahan kondisi lingkungan
1. Menampilkan dampak stressor terhadap biota
2. Monitoring jangka panjang stressor terhadap perubahan
biota
3. Monitoring perubahan biodiversitas
1. Mengidentifikasi keragaman takson pada suatu
kawasan yang khusus
2. Monitoring perubahan biodiversitas
Sumber : McGeoch (1998).
Bioindikasi dapat meliputi beberapa variasi skala dari aspek makro molekul,
sel, organ, organisme, populasi, sampai biocoenosis (ekosistem), sehingga
bentuk bioindikasi meliputi: (1) reaksi biokimia dan fisiologis, (2) penyimpangan
bentuk anatomis, morfologis, bioritme dan tingkah laku dari kondisi normalnya,
(3) perubahan floristik, faunistik, populasi secara berurutan (kronologis), (4)
perubahan ekosistem ataupun kombinasi ekosistem, (5) perubahan bentuk dan
fungsi ekosistem, dan (6) perubahan dari sifat lansekap (Mhatre & Pankhurst
1996).
16
Tipe indikator secara umum dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu :
1. Indikator (kehadiran dan absensinya menyimpulkan tentang permasalahan
lingkungan, secara kuantitatif jarang).
2. Spesies uji (tanggapannya mengindikasikan tentang permasalah yang luas,
spesies uji umumnya memiliki standarisasi yang tinggi),
3. Monitor (menyediakan bukti akan adanya perubahan, kesimpulan kuantitatif
biasanya mungkin melalui kalibrasi). Monitor terdiri dari monitor aktif yang
tersedia dengan cepat di alam) dan monitor pasif (organisme monitor yang di
introduksi). Monitor pasif terdiri dari reaktor (tanggapannya adalah perubahan
fungsi atau reaksi) dan akumulator responnya di amati dari akumulasi polutan
(Hornby & Bateman 1996).
Pengembangan sistem bioindikator dapat dilihat sebagai hubungan timbal
balik antara faktor lingkungan dengan parameter biologis. Karakteristik
parameter biologis tersebut diantara adalah komposisi jenis, gejala kerusakan
suatu organisme, tubuh yang terkontaminasi polutan, induksi dan penghambatan
enzim (Straalen 1996). Efektivitas suatu bioindikator tergantung pada kekuatan
hubungan antara faktor lingkungan dan parameter biologis. Interaksi antara
kedua parameter ini ditunjukkan pada Gambar 3.
Parameter
Lingkungan
Hubungan kausatif
Digunakan sebagai bioindikator
Parameter
Biologis
Gambar 3 Skema hubungan antara faktor lingkungan dengan parameter biologi.
Faktor lingkungan mempengaruhi parameter biologis melalui beberapa
hubungan kausatif. Ketika parameter biologis dijadikan sebagai indikator, dapat
dilihat sebagai kebalikan dari hubungan sebab akibat (Straalen 1996).
Kriteria umum untuk menetapkan suatu organisme digunakan sebagai
indikator adalah: (1) Takson yang tinggi atau lebih tinggi, dipilih takson yang
telah diketahui secara detail dan taksonominya jelas dan mudah untuk di
identifikasi; (2) Biologi organisme tersebut di ketahui dengan baik, memiliki
respon yang baik terhadap faktor tekanan atau perubahan sifat habitat; (3)
Organisme tersebut tersedia secara melimpah, mudah di survei dan di
manipulasi; (4) Terdistribusi dalam ruang dan waktu; dan (5) Berkorelasi kuat
dengan komunitas keseluruhan atau tidak berkorelasi kuat dengan faktor
tekanan (Hordkinson & Jackson 2005).
17
2.3.2 Konsep Dasar Struktur Komunitas
Komunitas adalah kumpulan populasi yang hidup pada suatu lingkungan
tertentu yang saling berinteraksi membentuk tingkat tropik. Di dalam komunitas,
jenis organisme yang dominan akan mengendalikan komunitas tersebut
sehingga jika organisme yang dominan tersebut hilang akan menimbulkan
perubahan-perubahan penting dalam komunitas, baik pada lingkungan biotik
maupun lingkungan fisiknya (Odum 1971).
Konsep komunitas sangat relevan dalam menganalisa kondisi suatu
lingkungan perairan karena komposisi dan karakteristik dari komunitas
merupakan indikator yang sangat baik untuk menunjukkan kondisi lingkungan
dimana komunitas tersebut berada. Struktur komunitas memiliki lima tipologi atau
karakteristik yaitu keanekaragaman, dominansi, kelimpahan relatif, bentuk dan
struktur pertumbuhan, serta struktur trofik (Krebs 1989).
Pola penyebaran dan kelimpahan suatu komunitas dipengaruhi oleh
adanya perubahan lingkungan dimana komunitas tersebut berada. Hubungan
perubahan lingkungan terhadap kestabilan suatu komunitas dapat dianalisa
secara kuantitatif dan kualitatif. Analisa kuantitatif dilakukan dengan melihat
keanekaragaman jenis organisme yang hidup dilingkungan tersebut dan
hubungannya dengan kelimpahan jenis, sedangkan secara kualitatif adalah
melihat dengan melihat jenis-jenis organisme yang mampu beradaptasi pada
lingkungan tertentu (Soewignyo et al. 1998).
Pada setiap komunitas, spesies tidak terisolasi tetapi berinteraksi dengan
spesies yang lain pada daerah yang sama. Interaksi ini penting dalam menduga
komposisi komunitas. Setiap spesies dalam komunitas mempunyai daya
toleransi tertentu terhadap setiap faktor lingkungan. Jika salah satu faktor
lingkungan melewati batas toleransi spesies atau salah satu unsur jumlahnya
menurun sampai dibawah kebutuhan minimum spesies, maka spesies tersebut
akan tersingkirkan. Faktor utama yang mengendalikan ekosistem dan komunitas
adalah energi, faktor fisika dan kimia lingkungan serta interaksi antara berbagai
spesies yang membentuk sistem tersebut (Nybakken 1988).
Komposisi
maupun
besarnya
populasi
makrozoobentos
dapat
dipengaruhi oleh perubahan kualitas perairan antara lain tipe substrat,
kekeruhan, TSS, arus, kedalaman, suhu, pH, oksigen terlarut dan bahan-bahan
organik. Peranan bentos dalam suatu perairan adalah mendaur ulang bahan-
18
bahan organik, membantu proses mineralisasi serta memiliki peranan penting
dalam rantai makanan (Odum 1993).
2.4
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBERADAAN
MAKROZOOBENTOS DI LINGKUNGAN PERAIRAN
Struktur
komunitas
makrozoobentos
dipengaruhi
berbagai
faktor
lingkungan abiotik dan biotik. Secara skematis, Hawkes (1979) mengemukakan
14 faktor yang mempengaruhi keberadaan hewan bentos di perairan (Gambar 4),
sembilan diantaranya merupakan faktor penentu kualitas perairan.
kekeruhan
Padatan
tersuspensi *)
Sinar matahari
kedalaman
Kanalisasi
Penetrasi
cahaya
nutrien
Temperatur
*)
Kecepatan
arus
substrat
Oksigen terlarut *)
pH *)
Bahan beracun
KOMUNITAS BENTOS
*)
*
Kesadahan*)
= Faktor penentu kriteria kualitas air
= Faktor bukan penentu kualitas air
= Faktor yang tidak umum
= Pengaruh langsung
= Pengaruh Interaksi
Gambar 4
Faktor-faktor kualitas air (sifat fisika-kimia) yang mempengaruhi
komunitas bentos (Hawkes 1979).
19
Tabel 4 Hubungan antara beberapa parameter fisika kimia air dengan kehidupan
makrozoobentos
Parameter
Paramater Fisika
Suhu
Arus
Substrat dasar
Muatan tersuspensi
Kekeruhan, TSS
Kedalaman
Pasang-Surut
Parameter Kimia
Oksigen terlarut (DO)
pH
BOD
Amonia-N
DHL
Salinitas
Pengaruh terhadap Makrozoobentos
Metabolisme, pertumbuhan dan mortalitas, migrasi
Jenis dan sifat organisme
Jumlah dan Jenis
Respirasi
Jumlah, Jenis dan sifat organisme
Jumlah jenis, jumlah individu, biomassa
Pola penyebaran
Jumlah, jenis dan mortalitas
Menurunkan daya tahan terhadap stress
Jumlah, Jenis, komposisi jenis dan mortalitas
Laju mortalitas
Stress fisiologis
Distribusi spesies
Sumber : Nybakken (1988).
2.4.1 Parameter Fisika
Suhu
Suhu merupakan pengatur utama proses fisika dan kimia yang terjadi di
perairan. Suhu secara tidak langsung akan mempengaruhi kelarutan oksigen dan
secara
langsung
mempengaruhi
proses
kehidupan
organisme
seperti
pertumbuhan dan reproduksi dan penyebarannya. Suhu dapat berperan sebagai
faktor pembatas utama bagi banyak makhluk hidup dalam mengatur proses
fisiologinya disamping faktor lingkungan lainnya.
Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, garis lintang, ketinggian
dari permukaan laut, sirkulasi udara, aliran serta kedalaman dari badan air.
Cahaya matahari yang masuk ke perairan mengalami penyerapan dan berubah
menjadi energi panas, proses penyerapan cahaya berlangsung lebih intensif
pada lapisan sebelah atas perairan sehingga lapisan ini akan lebih panas dan
mempunyai
densitas
yang
lebih
kecil
dari
pada
lapisan
bawahnya
(Effendi 2000).
Kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air juga memperlihatkan
peningkatan konsumsi oksigen. Peningkatan 100C suhu perairan akan
meningkatkan konsumsi oleh organisme akuatik 2-3 kali lipat (Effendi 2000).
Suhu yang layak untuk kehidupan organisme air tawar berkisar antara 20 – 30 oC
20
dengan suhu optimum berkisar antara 25 – 28 oC (Huet dan Timmermans 1971,
diacu dalam Iskandar 2002), dimana suhu yang tidak lebih dari 30 oC tidak akan
berpengaruh
drastis
terhadap
makrozoobentos.
Menurut
Welch
(1980)
o
menyatakan bahwa pada suhu antara 35 – 40 C merupakan lethal temperature
bagi makrozoobentos, artinya pada suhu tersebut organisme bentos telah
mencapai titik kritis yang dapat menyebabkan kematian.
Kecepatan Arus
Arus adalah massa air permukaan yang selalu bergerak, gerakan ini
terutama ditimbulkan oleh angin yang bertiup di atas permukaan air
(Nybakken 1988). Arus merupakan faktor fisika yang mempengaruhi kehidupan
akuatik terutama organisme bentos.
Menurut Nybakken (1988) organisme akuatik yang hidup menetap pada
suatu substrat membutuhkan arus yang dapat membawa makanan, oksigen, dan
lain sebagainya. Arus yang kuat dapat mengakibatkan ketidak seimbangan dasar
perairan yang lunak seperti dasar perairan berpasir atau berlumpur. Pergerakan
air yan cukup lambat di daerah berlumpur menyebabkan partikel-partikel halus
mengendap dan detritus melimpah, hal ini merupakan media yang tidak baik bagi
pemakan deposit (deposit feeder) tapi pergerakan air pada daerah berpasir
cenderung tidak ada sehingga fauna yang memanfaatkan daerah seperti ini
adalah filter feeder.
Pada air mengalir terdapat dua zona utama yaitu zona air deras dan zona
air tenang. Zona air deras merupakan daerah dangkal dengan arus yang deras
yang menyebabkan dasar sungai bersih dari endapan. Zona ini dihuni oleh
bentos yang dapat melekat kuat pada dasar substrat sedangkan zona air tenang
merupakan bagian perairan yang dalam dengan arus yang lambat, biasanya ada
endapan lumpur yang menyebabkan dasarnya lunak (Odum 1993).
Kecepatan
arus
mempengaruhi
keberadaan
dan
komposisi
makrozoobentos serta secara tidak langsung mempengaruhi substrat dasar
perairan. Menurut Welch (1980), arus mempengaruhi transport sedimen dan
mengikis substrat dasar perairan sehingga dapat dibedakan menjadi substrat
batu, pasir, liat, ataupun debu. Sungai dengan arus yang cepat, substrat
dasarnya terdiri dari batuan dan kerikil sedangkan sungai dengan arus air yang
lambat substrat dasarnya terdiri dari pasir atau lumpur.
21
Berdasarkan kecepatan arusnya Macon 1974, diacu dalam Welch (1980)
mengelompokkan sungai menjadi sungai berarus sangat cepat (> 1 m/detik),
arus cepat (0,5 – 1 m/detik), arus sedang (0,25 – 0,5 m/detik), arus lambat
(0,1 – 0,25 m/detik) dan sungai berarus sangat lambat ( 0,1 m/detik).
Kecerahan
Kecerahan adalah ukuran transparansi perairan yang ditentukan secara
visual dengan menggunakan secchi disk. Nilai kecerahan yang diungkapkan
dalam satuan meter sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran,
kekeruhan dan padatan tersuspensi (Effendi 2000).
Pada perairan alami kecerahan sangat penting karena erat hubunganya
dengan
fotosintesis.
Kecerahan
yang
tinggi
merupakan
syarat
untuk
berlangsungnya proses fotosintesis oleh fitoplankton dengan baik. Kondisi
perairan yang kecerahannya rendah dan kecerahannya yang terlalu tinggi akan
menurunkan kelimpahan zoobentos (Goldman & Horne 1984).
Kedalaman
Perairan dangkal cenderung memiliki keanekaragaman yang lebih tinggi
dibandingkan dengan perairan yang lebih dalam. Pada kondisi perairan yang
dangkal, intensitas cahaya matahari dapat menembus seluruh badan air
sehingga mencapai dasar perairan, daerah dangkal biasanya memiliki variasi
habitat yang lebih besar dari pada daerah yang lebih dalam sehingga cenderung
mempunyai makrozoobentos yang beranekaragam dan interaksi kompetisi lebih
kompleks. Pada musim hujan perairan cenderung lebih dalam jika dibandingkan
dengan saat musim kemarau. Hal tersebut dapat mempengaruhi kepadatan
makrozoobentos di dasar suatu perairan.
Substrat
Substrat didefinisikan sebagai campuran dari fraksi lumpur, pasir dan liat
dalam tanah. Odum (1971) menjelaskan bahwa karakter dasar suatu perairan
sangat menentukan penyebaran makrozoobentos yaitu substrat perairan seperti
lumpur, pasir, tanah liat, berpasir kerikil, dan batu, dimana masing-masing tipe
menentukan komposisi jenis kepadatan dan pola sebaran makrozoobentos.
Pengendapan partikel tergantung dari arus, apabila arus ditempat tersebut kuat
22
maka partikel yang mengendap berukuran besar, tetapi jika arusnya lemah maka
yang mengendap di dasar perairan adalah lumpur halus. Pada daerah pesisir
dengan kecepatan arus dan gelombang yang lemah, substrat cenderung
berlumpur. Daerah ini biasanya terdapat di muara sungai, teluk atau pantai
terbuka dengan kelandaian yang rendah.
Bahan-bahan organik yang mengendap di dasar perairan merupakan
sumber makanan bagi hewan bentos. Bahan tersebut biasanya berasal dari
dekomposisi organisme yang masuk ke sungai. Substrat yang kaya bahan
organik dapat melimpahkan hewan bentos yang di dominasi oleh deposit feeder.
Karakter
substrat
suatu
perairan
sangat
menentukan
keberadaan
makrozoobentos di perairan tersebut. Dasar berupa batuan-batuan di dominasi
oleh makrozoobentos yang mampu menempel dan melekat. Dasar yang lunak
dan
selalu
berubah-ubah
biasanya
membatasi
makrozoobentos
untuk
berlindung. Menurut Odum (1993), Pengendapan partikel lumpur di dasar
perairan tergantung pada arus air jika arus air kuat, partikel yang mengendap
berukuran besar dan jika arus air tidak kuat, partikel yang mengendap akan
memiliki ukuran yang lebih kecil.
Gambar 5 Tipe substrat dasar menurut persentase liat, lumpur dan pasir
berdasarkan segitiga Millar.
Total Padatan tersuspensi (TSS)
Padatan tersuspensi total atau total suspended solid (TSS) adalah bahanbahan tersuspensi (diameter 1 µm) yang tertahan pada kertas saring millipore
dengan ukuran diameter pori-pori 0,45 µm. Tinggi rendahnya TSS akan
berpengaruh pada tingkat kekeruhan (APHA 1989). Penyebab nilai TSS yang
23
utama adalah kikisan tanah atau erosi tanah yang lumpur, pasir halus dan jasadjasad renik (Effendi 2000). kondisi tersebut terjadi pada musim penghujan,
dimana danau atau sungai mengalami limpahan air hujan. Effendi (2000)
menyatakan bahwa padatan tersuspensi dan penetrasi cahaya ke dalam
perairan sangat mempengaruhi kebiasaan hidup zooplankton.
Apabila jumlah dan ukuran partikel yang tersuspensi cukup besar dan aliran
air tidak terlalu deras, maka partikel-partikel tersebut akan mengendap di dasar
perairan. Sedimentasi yang terjadi akan melapisi substrat tempat hidup
makrozoobentos sehingga keanekaragaman dan kelimpahannya menurun
(Hawkes 1979). Nilai kekeruhan yang masih memenuhi kehidupan biota air yang
diinginkan adalah tidak lebih dari 100 mg/l (Fardiaz 1992).
2.4.2 Parameter Kimia
Derajat keasaman (pH)
Nilai pH menyatakan intensitas keasaman atau alkalinitas dari suatu contoh
air dan mewakili konsentrasi ion hidrogennya. Konsentrasi ion hidrogen ini akan
berdampak langsung terhadap keanekaragaman dan distribusi organisme serta
menentukan reaksi kimia yang akan terjadi.
Nilai pH ini dipengaruhi oleh beberapa parameter, antara lain aktivitas
biologi, suhu, kandungan oksigen, dan adanya ion-ion. Dari hasil aktivitas biologi
dihasilkan CO2 yang merupakan hasil respirasi, CO2 inilah yang akan membentuk
buffer atau penyangga untuk menyangga kisaran pH di perairan agar tetap stabil
(Pescod 1973).
Makrozoobentos memiliki kisaran toleransi terhadap pH yang berbedabeda, seperti Gastropoda lebih banyak ditemukan pada perairan dengan pH
diatas 7. Bivalvia di dapatkan pada kisaran pH yang lebih lebar yaitu 5,6 – 8,3.
Dalam kelompok Insecta, Coleoptera mewakili taksa dengan kisaran pH yang
lebar. Sebagian besar famili Chironomidae mewakili kelompok serangga terdapat
pada pH diatas 8,5 dan dibawah pH 4,5 (Hawkes 1979).
Gas Oksigen Terlarut (DO)
Gas oksigen terlarut merupakan kebutuhan dasar untuk kehidupan
tanaman dan hewan di dalam air. Kehidupan makhluk hidup di dalam air tersebut
tergantung dari kemampuan air untuk mempertahankan konsentrasi oksigen
24
minimal yang dibutuhkan untuk kehidupannya. Selanjutnya APHA (1989)
menyatakan bahwa oksigen terlarut di dalam air berasal dari hasil fotositesis
fitoplankton atau tumbuhan air serta difusi dari udara. Oksigen terlarut digunakan
dalam penghancuran bahan organik dalam air. Tanpa adanya oksigen terlarut
dalam tingkat konsentrasi tertentu banyak jenis organisme perairan tidak dapat
bertahan hidup. Oksigen terlarut sangat penting untuk menunjang kehidupan
organisme air, khususnya makrozoobentos dalam proses respirasi dan
dekomposisi bahan organik.
Kebutuhan Oksigen Biokimiawi (BOD)
Kebutuhan oksigen biokimawi atau biochemical oxygen demand (BOD)
merupakan ukuran banyaknya oksigen yang digunakan oleh mikroorganisme
untuk menguraikan bahan organik yang terdapat dalam air. Nilai BOD umumnya
digunakan sebagai bioindikator kelimpahan bahan organik dalam air. Aktivitas
mikroorganisme yang tinggi mengakibatkan semakin besar nilai BOD untuk
menguraikan bahan organik. Nilai BOD tidak menunjukkan jumlah bahan organik
yang sebenarnya, tetapi hanya menunjukkan secara relatif oksigen yang
dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan-bahan buangan (Fardiaz 1992). Menurut
Effendi (2000) bahwa BOD berpengaruh terhadap kondisi zooplankton pada
perairan, hal ini dimungkinkan karena adanya bahan organik yang diuraikan oleh
mikroba aerob yang memerlukan oksigen sebagai makanan alami zooplankton
dan makrozoobentos.
Semakin banyak bahan organik dalam perairan maka semakin banyak
oksigen yang dibutuhkan untuk menentukan tingkat pencemaran bahan organik
di suatu perairan.
Kebutuhan Oksigen Kimia (COD)
Menurut APHA (1989), COD merupakan jumlah total oksigen yang
dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik yang terdapat di perairan menjadi
CO2 dan H2O dengan menggunakan oksidator kuat. Nilai COD ini akan
meningkat sejalan dengan meningkatnya bahan organik di perairan. COD
merupakan ukuran jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk menguraikan bahan
organik secara kimia. Secara umum nilai COD dalam air limbah lebih besar
daripada nilai BOD karena lebih banyak materi yang dapat dioksidasi secara
kimia daripada secara biologis (Tchobanoglous & Burton 1991).
25
Amonia dan Nitrat
Nitrogen di perairan dapat berbentuk gas nitrogen (N2), amonia tidak
terionisasi (NH3), ammonium (NH4+), nitrit (NO3-) dan senyawa bentuk lain yang
berasal dari limbah pertanian, pemukiman, dan limbah industri (Goldman
&
Horne 1983), Di perairan alami sungai konsentrasi amonia cenderung rendah
antara 7 – 60 µg N/l, Wetzel (2001) juga menambahkan bahwa pada perairan
sungai umumnya konsentrasi nitrat berkisar antara, 25 µg N/l pada lingkungan
sub artik hingga amazon pada 2000 µg N/l sungai temperate.
Nitrat dan nitrogen dengan konsentrasi tinggi ditemukan di perairan sungai
dekat daerah pertanian. Rata-rata NO3-N di perairan sunai alami mendekati 1000
µg N/l. Amonia di perairan dihasilkan oleh proses dekomposisi, reduksi nitrat oleh
bakteri, kegiatan pemupukan, dan ekskresi-ekskeresi organisme-organisme yang
ada didalamnya. Setiap amonia yang dibebaskan ke suatu lingkungan akan
membentuk reaksi keseimbangan dengan ion ammonium (NH4+). Amonia ini
yang kemudian mengalami proses nitrifikasi membentuk nitrat. Nilai amonia
memiliki hubungan dengan nilai pH perairan yaitu makin tinggi pH maka makin
besar kandungan amonia (Wardoyo 1975).
2.4.3 Parameter Sedimen
Sedimen atau substrat dasar perairan merupakan tempat tinggal tumbuhan
dan hewan di dasar perairan, jenis substrat dalam perairan sangat menentukan
kepadatan serta komposisi hewan bentos. Sedimen penyusun dasar sungai
bervariasi ukurannya. Sedimen adalah kerak bumi yang ditransportasikan melalui
proses hidrologi dari satu tempat ke tempat lainnya, baik secara vertikal maupun
horizontal. Sedimen dibagi atas dua kelompok yaitu Sedimen of inlets yaitu yang
berasal dari limpasan air sungai, jenis sedimen ini banyak mempengaruhi proses
pembentukkan pinggir pantai di sekitar muara sungai, sedangkan Pyroclastic
sediment berasal dari daratan (angin atau drainase) atau penguraian bahan
organik. Penambahan sedimen pada suatu perairan erat kaitannya dengan
proses sedimentasi yaitu proses pengendapan partikel sedimen, bahan-bahan
organik dan anorganik yang tersuspensi dalam air. Proses ini berkaitan dengan
erosi dan pengangkutan sedimen yang pengendapannya tergantung sifat fisika,
kimia sedimen serta kondisi hidrologis disekitarnya (McDowell & O’Connor,
1977).
26
Odum (1971) menjelaskan bahwa pengendapan partikel lumpur di dasar
perairan tergantung pada arus. Jika arusnya kuat maka partikel yang mengendap
adalah partikel yang ukurannya besar, Sebaliknya pada tempat yang arusnya
lemah maka yang mengendap adalah lumpur halus. Partikel yang berukuran
lebih halus biasanya akan terbawa jauh oleh arus. Tipe substrat suatu perairan
akan menentukan kehidupan dan komposisi makrozoobentos. Penyebaran dan
kepadatan makrozoobentos berhubungan dengan diameter rata-rata butiran
sedimen, kandungan debu dan liat serta adanya cangkang-cangkang biota yang
telah mati. Secara umum dapat dikatakan bahwa semakin besar ukuran butiran
berarti semakin kompleks substrat maka semakin beragam pula jenis
makrozoobentosnya.
Perbedaan jenis sedimen dasar ini mempengaruhi karakteristik kimia air
sungai, pergerakan air dan porositas dasar sungai. Secara umum sedimen dasar
sungai dapat diklasifikasikan menjadi batu kali (bedrock), bulder (boulder), kobel
(cobble), pebel (pebble), kerikil (gravel), pasir (sand), Lumpur (silt) dan liat (clay).
Pengklasifikasian sedimen dasar sungai berdasarkan ukuran terperinci dapat
ditunjukkan pada Tabel 5 sebagai berikut :
Tabel 5 Klasifikasi sedimen dasar sungai berdasar diameter partikel
Diameter Partikel
(mm)
> 256
128-256
64-128
32-64
16-32
8-16
4-8
2-4
0,5-1
0,25-0,5
0,125-0,25
0,063-0,125
0,032-0,063
< 0,032
Phi scale category
(- Log2 diameter)
-10,-9,-8
-7
-6
-5
-4
-3
-2
-1
1
2
3
4
5,6,7,8
9,10
Sumber : Jeffries & Mills (1996).
Klasifikasi sedimen
Batu kali (bedrock)
Bulder (boulder)
Kobel besar (large cobbel)
Kobel kecil (small cobble)
Pebel besar (large pebble)
Pebel kecil (small pebble)
Batu kerikil kasar (coarse gravel)
Batu kerikil sedang (medium gravel)
Batu kerikil kecil (fine gravel)
Pasir sangat kasar (very coarse)
Pasir kasar (medium)
Pasir halus (fine)
Pasir sangat halus (Very fine)
Lumpur (Silt)
Tanah liat (Clay)
27
2.5 Keadaan Umum dan karakteristik Habitat Sungai Musi Bagian Hilir
2.5.1 Zona Bagian Hilir (Downstream)
Dari pengamatan beberapa sifat fisik sungai dan beberapa parameter
kimia yang dipadukan dengan hasil pengukuran ketinggian letak badan sungai
dari muka laut, pengamatan visual tata guna lahan sekitar pengukuran panjang
sungai berdasarkan peta provinsi Sumatera Selatan yang berskala 1 : 550.000
(Samuel et al. 2003), maka Sungai Musi dalam bentuk profil memanjang
berdasarkan geomorfologinya, badan utama Sungai Musi dapat dibagi menjadi
tiga zona salah satunya yang terkait dalam penelitian adalah zona bagian hilir.
Aliran induk Sungai Musi bersumber dari wilayah pegunungan dan Bukit
Barisan, aliran air ini mengalir dengan kemiringan curam dimana sungainya tidak
lebar dan alirannya sangat deras kemudian aliran Sungai Musi mengalir dari arah
barat daya ke barat laut, kemudian membelok ke arah timur laut sampai ke titik
pertemuan dengan Air Rawas kemudian mengarah ke Sekayu. Kemudian
dimulai zona Musi bagian hilir (downstream) dari Desa Tebing Abang mengalir ke
arah utara hingga ke Muara Selat Bangka dekat Desa Sungsang dengan
panjang ± 146 km dan berada pada ketinggian antara 0-15 meter di atas
permukaan laut. Pada habitat yang berdekatan dengan muara, kondisi
perairannya sudah dipengaruhi oleh kadar garam air laut yang berasal dari selat
Bangka. Tercatat pada musim kemarau air Musi sekitar Makarti ± 20 km dari
muara bersalinitas sebesar ± 3 ppt dan pada musim hujan ± 6,5 ppt. Sinuosity
Sungai Musi pada bagian hilir berkisar 1,05-1,19 namun daerah ini mempunyai
arus yang lemah dikarenakan badan sungai berada di daerah yang sangat landai
dan juga pengaruh fluktuasi harian pasang surutnya air laut, saat pasang air
mengalir dari hilir ke hulu, dan sebaliknya saat surut air mengalir dari hulu ke hilir
dan pada saat tertentu dijumpai gerakan air ini hanya bolak-balik di daerah
tertentu saja. Substrat dasar didominasi lumpur, tanah liat dan pasir.
Jenis bahan antropogenik dan pencemar di DAS Musi bervariasi
tergantung pada kondisi fisiografi dan geomorfologi dan tata guna lahan yang
ada di sekitar DAS Musi. Pada umumnya bahan antropogenik mulai di temukan
pada bagian tengah hingga bagian hilir dari DAS Musi. Jenis dan sumber bahan
antropogenik
pada
umumnya
bahan
organik,
lemak
(grease),
padatan
tersuspensi (TSS), logam berat, organoklorin, hidrokarbon, pestisida dan unsur
hara (Husnah et al. 2006).
28
Tata guna lahan sekitar badan Sungai Musi bagian hilir yaitu sekitar kota
Palembang sampai ke bagian hilirnya sekitar Pulau Borang dan Selat Ajaran
banyak dijumpai industri-industri besar yang merupakan kawasan industri antara
lain: industri pupuk urea (Pusri), industri pengolahan minyak bumi (Pertamina),
industri pengolahan karet (crumb rubber) , industri kayu lapis, industri pengolahan
minyak kelapa sawit , industri semen Baturaja dan lain-lain (Samuel et al. 2003).
Gambar 6 Industri pengolahan minyak bumi dan industri pupuk kimiawi di tepi Sungai Musi
Daerah penting pada Sungai Musi pada bagian hilir yang perlu dijaga
keberadaannya adalah areal hutan mangrove yang banyak terdapat tumbuhan
tegakan seperti tumbuhan api-api, pedado dan lain-lain yang sangat berperan
dalam melestarikan sumber daya perikanan karena tempat ini merupakan daerah
asuhan bagi anak-anak udang dan ikan, tempat mencari makanan dan tempat
menempelkan telur-telur ikan (Samuel et al. 2003).
2.5.2 Kondisi Hidrooseanografi
Arus
Arah dan kecepatan arus di perairan merupakan mekanisme penting
dalam penyebaran dan transportai material (bahan pencemar) sepanjang alur
suatu perairan (Adriman 1995).
Arus di perairan Sungai Musi bagian hilir sangat di pengaruhi oleh arus
dari daerah hulu Sungai Musi dan arus dari perairan Selat Bangka. Terdapat dua
pola arus di Sungai Musi bagian hilir yaitu arus pasang dan arus surut. Arus
pasang merambat dari Utara menuju ke Selatan berbelok ke Barat dan
sebaliknya arus surut merambat dari Barat menuju ke timur berbelok ke Utara.
Iklim
Keadaan iklim daerah yang dilalui Sungai Musi bagian hilir pada
umumnya
mempunyai
iklim
tropis
dan
basah
dengan
curah
hujan
29
1.500 – 3.200 mm/tahun (rata-rata per bulan 195,8 mm) dengan pembagian
bulan basah selama 8 bulan (November sampai April) dan bulan kering 4 bulan
(Juni sampai September). Suhu berkisar antara 22,6oC–32,7 oC dengan suhu
rata-rata 27,1 oC sedangkan kelembaban udara rata-rata 75% - 89% (Anonim
2007).
Pasang Surut
Pasang surut merupakan gerakan naik turunnya permukaan air laut
sebagai akibat adanya gaya tarik benda-benda angkasa, terutama bulan dan
matahari terhadap massa air di bumi. Bulan mempunyai peranan yang lebih
besar daripada matahari dalam menentukan pasang surut (Adriman 1995).
Hasil perhitungan MSL (means sea level) dengan menggunakan data
pasang surut dari PT. Pelindo di area ambang luar pada bulan April dan Juli
menunjukkan bahwa tipe pasang surut Sungai Musi bagian hilir adalah bersifat
campuran antara pasang harian tunggal dan pasang harian ganda. Pola harian
tunggal berarti dalam 24 jam terjadi satu kali pasang dan satu kali surut,
sedangkan pola harian berganda berarti dalam 24 jam terjadi dua kali pasang
dan dua kali surut.
Download