budidaya rotan jernang

advertisement
BUDIDAYA ROTAN JERNANG
Oleh:
Sahwalita
Balai Penelitian Kehutanan Palembang
Jl. Kol. H. Burlian Km. 6,5 Punti Kayu
E-mail: [email protected]
I. PENDAHULUAN
Rotan jernang (dragon blood) merupakan komoditi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang
mempunyai manfaat sosial, ekonomi dan lingkungan cukup tinggi (Permenhut, 2007). Jernang
adalah resin yang menempel dan menutupi bagian luar buah rotan jernang (Daemonorops sp.).
Jernang menempel pada buah yang masih muda dan terus menipis dengan semakin tuanya buah
rotan tersebut. Selama ini jernang diperoeh dari hasil berburu di hutan alam. Para pemburu
membuat kelompok untuk memasuki hutan mencari jernang. Setelah mereka memperolehnya,
jernang dijual kepada tengkulak untuk dikirim ke pengumpul. Pemanenan rotan jernang di hutan
alam menimbulkan masalah yaitu menyebabkan kelangkaan karena sistem pemanenan yang
tidak lestari. Selain itu potensi jernang terus menurun akibat kebakaran hutan dan perubahan
fungsi lahan.
Jernang dimanfaatkan sebagai bahan pewarna (untuk vernis, keramik, marmer, alat dari
batu, kayu, rotan, bambu, kertas, cat), bahan obat-obatan seperti diare, disentri, obat luka,
serbuk untuk gigi, asma, sipilis, berkhasiat apbrodisiac (meningkatkan libido) serta pembeku
darah karena luka (Grieve 2006 dalam Waluyo, 2008). Selama ini jernang diekspor untuk industiindustri di negara China, Singapura, dan Hongkong. China membutuhkan 400 ton jernang tiap
tahunnya dan Indonesia baru mampu memasok sekitar 27 ton pertahun (Pasaribu, 2005). Meski
permintaan tinggi, potensi produksi resin jernang semakin menurun dan menjadi langka.
Dalam upaya menjamin produksi jernang perlu dilakukan pengenalan teknik budidaya
dalam skala luas. Hal ini dapat dilakukan oleh masyarakat karena rotan jernang dapat berasosiasi
dengan tanaman lain dalam pola tanam campuran antara tanaman hutan dan perkebunan,
misalnya karet-gaharu-rotan.
1
Pelatihan Rotan Kabupaten Musi Banyuasin, 9-14 Oktober 2014
II. ROTAN PENGHASIL JERNANG
Jenis rotan yang mampu memproduksi resin jernang adalah Daemonorops draco, D.
micracantha, D. Didymophylla, dan D. mattanensis. Ke empat jenis rotan ini akan mulai berbunga
pada umur tanaman 2-3 tahun dan berbuah antara 4-6 tahun (Sumarna, 2005). Jenis rotan yang
menghasilkan getah jernang berjumlah 12 jenis (dari marga Daemonorops) yaitu: Daemonorops
acehensis, D. brachystachys, D. didymophylla, D. draco, D. dracuncula, D. dransfieldii, D.
maculata, D. micracantha, D. rubra, D. siberutensis, D. uschdraweitiana, D. sekundurensis
(Purwanto, dkk., 2005).
Klasifikasi rotan jernang
Kingdom
: Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi
: Spermatophyta (menghasilkan biji)
Divisi
: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas
: Liliopsida (berkeping satu / monokotil)
Sub Kelas
: Arecidae
Ordo
: Arecaceae
Famili
: Arecaceae (suku pinang-pinangan)
Genus
: Daemonorops
Spesies: Daemonorops spp.
Secara alami rotan ini dapat dijumpai di semenanjung Malaya, Sumatera, dan dataran
rendah pada 300 m dpl. Tanaman ini tumbuh merambat dan membutuhkan tanaman kayukayuan sebagai media tegakannya. Batang tanaman ini membentuk rumpun, diameter 12 mm,
panjang ruas 18 – 35 cm, warna coklat kekuningan dan mengkilat, hati berwarna putih.
Sedangkan daunnya adalah daun majemuk menyirip, anak daun berbentuk lanset seperti pita,
bagian atas anak daun dan tulang daun tumbuh duri halus, duduk daun berhadapan-hadapan.
Bunganya mempunyai malai tersusun dalam tandan, kuncup diselubungi selundang yang berduri.
Buahnya berbentuk bulat, coklat merah, dan berbiji tunggal.
Istilah jernang digunakan untuk menyatakan komponen resin yang merupakan hasil
ekstraksi buah rotan jernang. Resin tersebut menempel dan menutupi bagian luar buah rotan,
2
Pelatihan Rotan Kabupaten Musi Banyuasin, 9-14 Oktober 2014
untuk mendapatkannya diperlukan proses ekstraksi buah. Nama lain jernang adalah dragon’s
blood, kino, red benzoin, jernang manday, jernang beruang, jernang kuku, getah badak dan getih
warak. Jernang termasuk dalam kelompok resin keras yaitu padatan yang mengkilat; bening atau
kusam atau berwarna merah; rapuh; meleleh bila dipanaskan dan mudah terbakar dengan
mengeluarkan asap dan bau yang khas; berbentuk amorf; berat jenis 1,18-1,20; bilangan asam
rendah; bilangan ester sekitar 140, titik cair sekitar 1200 C; larut dalam alkohol, eter, minyak
lemak dan minyak atsiri, sebagian larut dalam kloroform, etil asetat, petroleum spiritus dan
karbon disulfide serta tidak larut dalam air (Sumadiwangsa, 1973; Sumadiwangsa 2000 dan
Coppen 1995 dalam Waluyo, 2008).
Komponen utama resin jernang adalah draco resinolanol (56%), dracoresen (11%), draco
alban (2,5%), asam benzoate, dan asam bensolaktat. Komponen kimia utama pada resin yang
dihasilkan dari buah jernang adalah resin ester dan dracoresino tannol (57-82 %). Selain itu resin
berwarna merah tersebut juga mengandung senyawa-senyawa seperti dracoresene (14%),
dracoalban (hingga 2,5%), resin tidak larut (0,3%), residu (18,4%), asam benzoate, asam
benzoilasetat, dracohodin, dan beberapa pigmen terutama nordracorhodin dan nordracorubin
(Chu, 2006 dalam Waluyo, 2008).
Masyarakat sekitar kawasan hutan memanen jernang dari hutan alam dengan cara
berburu secara berkelompok maupun perorangan. Musim berburu jernang dilakukan pada bulan
September-Desember (Sumadiwangsa, 1973; Elvidayanty dan Erwin, 2006 dalam Waluyo, 2008).
Rotan jernang di hutan alam sudah sangat sulit ditemukan. Para penjernang hanya mendapatkan
1-2 kg jernang selama waktu 2 pekan, padahal 10-15 tahun silam untuk memperoleh 7-10 kg
jernang hanya perlu waktu 1 pekan di hutan.
Rotan jernang memerlukan curah hujan 1.000 – 1.500 mm per tahun, sebab jika curah
hujan di atas 2.000 mm per tahun dapat menghambat pembungaan (Sumarna, 2011). Sedang di
Provinsi Jambi populasi rotan jernang tersebar di Kabupaten Bungo, Kabupaten Merangin,
Kabupaten Sarolangun, kawasan Taman Nasional Bukit 12, dan kawasan hutan Kapas dengan
karakter habitat meliputi: intensitas cahaya berkisar 50 – 55%, suhu tanah 23,4 – 31,90C, pH
tanah 5,5 – 6,2, kelembaban tanah 55 – 62%, suhu udara 23 – 29,40C, kelembaban udara 60 –
92%, dan ketinggian tempat 50 – 400 m dpl (Nugroho dkk, 2010 dan Sahwalita dkk, 2013).
3
Pelatihan Rotan Kabupaten Musi Banyuasin, 9-14 Oktober 2014
III. BUDIDAYA ROTAN JERNANG
Secara umum untuk teknik budidaya (perkecambahan, pembibitan, penanaman, dan
pemeliharaan) belum banyak diketahui. Budidaya yang dilakukan masyarakat masih sangat
terbatas seperti kelompok tani di Desa Lamban Sigatal, Sepintun, dan Pulau Aro. Budidaya
dilakukan dengan pola campuran pada lahan masyarakat. Pola campuran ini merupakan model
yang paling menguntungkan pada lahan masyarakat karena dalam suatu areal dapat
menghasilkan berbagai jenis tanaman. Pola campuran dapat diatur seuai dengan keperluan
pemilik lahan dan kondisi lahan yang tersedia.
A. Pembibitan dan Penanaman
Bibit merupakan awal penentu keberhasilan tanaman di lapangan. Bibit yang berkualitas
dapat survive setelah ditanam dan tumbuh dengan baik. Bibit rotan jernang memiliki persyaratan
untuk siap ditanam di lapangan (Januminro, 2000), sebagai berikut:
-
Bibit yang berasal dari biji telah berumur berkisar 13-24 bulan dan mencapai ketinggian
minimal 40 cm. Sedangkan bibit yang berasal dari anakan telah mencapai ketinggian 50 cm.
-
Bibit tumbuh normal, batangnya lurus, daunnya subur hijau.
-
Bibit tidak terserang oleh hama dan penyakit.
-
Daun terakhir masih berbentuk kuncup atau masih belum terbuka.
1. Pembibitan rotan kernang
a. Perkecambahan
Buah yang digunakan sebagai benih adalah buah yang masak. Buah tersebut dikupas
untuk membuang kulit dan daging buah serta dicuci. Biji yang digunakan sebagai benih adalah biji
yang benar-benar masak dan sehat. Biji yang baik dicirikan dengan warna coklat tua dan
mengkilap serta tidak ada serangan hama/penyakit.
Biji rotan jernang yang ditutupi cangkang yang keras sehingga sulit ditembus air. Untuk
membantu proses perkecambahan mata biji dicongkel dan direndam dalam cairan atonik selama
2 hari. Kemudian biji diletakkan dalam wadah yang kedap yang telah diisi serbuk gergaji yang
terdekomposisi dan steril. Benih mulai berkecambah pada hari ke-12 dengan daya kecambah
48,5%.
4
Pelatihan Rotan Kabupaten Musi Banyuasin, 9-14 Oktober 2014
Gambar 1. Tahapan benih berkecambah
b. Penyapihan
Penyapihan dilakukan ± 2,5 bulan setelah benih berkecambah, ditandai dengan
tumbuhnya tunas (panjang ± 5 cm) dan akar (minimal 3 helai akar). Penyapihan dilakukan pada
polybag kecil yang berisi media cocopeat/serbuk gergaji yang telah terdekomposisi. Serbuk
gergaji merupakan bahan potensial yang dapat dimanfaatkan sebagai media pertumbuhan semai
karena dapat menyokong pertumbuhan akar dan mengandung unsur-unsur hara yang diperlukan
bagi pertumbuhan tanaman.
Gambar 2. Kecambah yang telah disapih pada polybag kecil
5
Pelatihan Rotan Kabupaten Musi Banyuasin, 9-14 Oktober 2014
c. Pembibitan
Daun rotan mulai mengembang setelah 1 bulan disapih dengan warna awal daun coklat
kekuningan, kemudian berubah menjadi hijau setelah 1-2 minggu. Selanjutnya bibit dari polybag
kecil dipindahkan ke polybag besar untuk memberikan pertumbuhan yang baik pada bibit.
Banyak jenis media yang dapat digunakan untuk mendukung pertumbuhan bibit sampai siap
tanam. Dengan pertimbangan keterbatasan tanah /top soil dan kemudahan dalam pengangkutan
maka media dapat menggunakan limbah organik seperti serbuk gergaji/cocopeat. Serbuk
gergaji/cocopeat merupakan limbah organik yang selain ringan, dapat meningkatkan aerasi dan
porositas media, kapasitas pertukaran kation, dan aktivitas mikroorganisme dalam media.
Mikroorganisme bertugas mengurai bahan-bahan organik menjadi ion-ion yang dapat diserap
oleh akar tanaman untuk pertumbuhannya. Selain itu, pemakaian serbuk gergaji dapat
menurunkan bobot media sampai 80% sehingga mempermudah pengangkutan dan menghemat
biaya angkut bibit, membentuk sistem perakaran semai yang kompak dan kokoh.
Pemeliharaan bibit dilakukan secara teratur yang meliputi: pembersihan gulma,
penyemprotan fungisida, pemberantasan hama dan penyakit serta penyiraman. Berdasarkan
pengamatan, penyakit yang menyerang bibit rotan jernang adalah bercak daun. Penyakit ini
ditandai dengan adanya warna bintik hitam kecil pada daun, kemudian semakin luas menyebar
dan akhirnya daun menjadi kering. Bila tidak segera ditanggulangi, bisa menyebabkan daun
rontok dan bibit mati. Upaya pengendalian yang dilakukan meliputi: penyemprotan fungisida
Dithane-45 dengan dosis 2 g/10 ml air, memotong daun yang terkena serangan dan
mengisolasinya, pengaturan kelembaban karena lingkungan yang terlalu lembab akan
berpeluang terkena serangan jamur.
6
Pelatihan Rotan Kabupaten Musi Banyuasin, 9-14 Oktober 2014
a
b
Gambar 3. Bibit rotan penghasil jernang di persemaian (a), bibit rotan siap tanam (b)
2. Penanaman Rotan Jernang
Secara umum, penanaman rotan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu: 1) penanaman
sistem cemplongan, dan 2) penanaman sistem jalur. Pada penanaman sistem cemplongan, bibit
rotan ditanam dalam lubang pada piringan tanaman dalam satu larikan. Pembersihan lapangan
dilaksanakan hanya terbatas pada piringan tanaman tiap-tiap lubang. Penanaman sistem jalur
dilaksanakan seperti pada penanaman sistem cemplongan, tetapi pembersihan lapangan
dilakukan sepanjang larikan yang akan ditanami rotan.
Gambar 4. Cara menanam rotan sistem cemplongan (Januminro, 2000)
7
Pelatihan Rotan Kabupaten Musi Banyuasin, 9-14 Oktober 2014
Gambar 5. Cara menanam rotan sistem jalur (Januminro, 2000)
Pemilihan waktu yang tepat untuk menanam sangatlah penting dalam menentukan
keberhasilan kegiatan penanaman. Hampir semua jenis pohon di waktu muda peka terhadap
kelembaban tanah yang rendah. Oleh karena itu waktu penanaman yang terbaik adalah pada
saat kelembaban tanah mencapai kapasitas lapang, yaitu ditandai dengan jumlah curah hujan
telah mencapai 100 mm per bulan.
a
b
Gambar 6. Rotan jernang di KHDTK Kemampo, Banyuasin (a), Rotan jernang di kebun karet
masyarakat, Sarolangun (b).
B. Pemeliharaan Tanaman
Pemeliharaan dilakukan untuk memberikan pertumbuhan yang optimum pada tanaman.
Untuk mendukung pertumbuhannya, tanaman memerlukan unsur-unsur pertumbuhan seperti:
hara, air, ruang tumbuh dan sinar matahri. Pemeliharaan terhadap rotan jernang dimaksudkan
untuk menciptakan kondisi lingkungan tumbuh tanaman yang ideal untuk mendapatkan
8
Pelatihan Rotan Kabupaten Musi Banyuasin, 9-14 Oktober 2014
pertumbuhan tanaman yang optimal sehingga dapat terbentuk tegakan dengan produktivitas
yang tinggi.
Pemeliharaan terhadap tanaman rotan jernang tidak memerlukan waktu dan biaya yang
dikhususkan untuk tanaman tersebut. Pemeliharaan dapat dilakukan sesuai dengan kondisi di
lapangan. Kegiatan pemeliharaan tanaman meliputi:
1. Penyiangan (Weeding)
Penyiangan dimaksudkan untuk membebaskan tanaman pokok dari persaingan gulma
pengganggu. Ada 3 (tiga) cara yang digunakan dalam pelaksanaan kegiatan penyiangan, yaitu:
cara manual, cara mekanis dan kimia.
Penyiangan terhadap rotan jernang biasanya cukup dilakukan secara manual, karena
semak yang tidak terlalu lebat akibat dibawah naungan tanaman seperti, karet. Cara manual
menggunakan sistem piringan berdiameter 1-3 m atau sistem jalur lebar 1-3 m, dengan tanaman
pokok sebagai porosnya. Semua gulma yang ada dalam piringan atau jalur dibersihkan dengan
cara pembabadan/pemotongan gulma kira-kira 10 cm di atas permukaan tanah.
2. Pemupukan
Pemupukan dimaksudkan untuk menambah unsur hara yang diperlukan tanaman. Dari
beberapa studi perlakuan pemupukan, dapat disimpulkan bahwa waktu pemupukan yang
memberikan respon yang lebih baik bagi percepatan pertumbuhan tanaman adalah dari saat
penanaman hingga tanaman berumur kurang lebih 1 bulan. Semakin tua umur tanaman saat
pemupukan dilaksanakan, akan memberikan respon yang semakin berkurang. Pupuk yang dapat
digunakan untuk pemupukan rotan adalah pupuk kandang atau pupuk buatan sesuai dengan
dosis yang dianjurkan.
3.
Pemberantasan hama dan penyakit
Hama yang sering menyerang tanaman rotan dan menyebabkan kerusakan adalah kera,
tupai dan babi. Hama ini merusak tanaman rotan dengan cara memakan bagian pucuk tanaman
muda. Gangguan hama akan menjadi bertambah parah pada musim kemarau. Penyakit yang
sering menyerang tanaman rotan adalah jenis bercak daun. Bercak tersebut lama kelamaan akan
membesar dan akan berubah warna menjadi cokelat yang akhirnya daun menjadi kering.
9
Pelatihan Rotan Kabupaten Musi Banyuasin, 9-14 Oktober 2014
4. Perlindungan terhadap kebakaran
Kebakaran hutan dan lahan dapat menghancurkan semua harapan terhadap tanaman.
Untuk itu mencegah bahaya kebakaran dapat dilakukan sedini mungkin menjelang musin
kemarau. Caranya dengan membuat sekat bakar disekeliling areal tanaman untuk mencegah
masuknya api. Sekat bakar dapat dibuat dengan membersihkan jalur sekeliling tanaman dengan
lebar antara 4-6 meter.
C. Pola Tanam Agroforestry
Pola tanam agroforestry atau campuran sangat cocok dikembangkan pada lahan milik
masyarakat sebagai hutan rakyat. Pola ini memberikan manfaat ekonomi, ekologis dan sosial.
Manfaat ekologis karena rotan jernang tergolong kelompok tumbuhan perdu yang tidak parasit
terhadap pohon penegak, tapi hanya memanfaatkannya untuk mencapai kondisi mikroklimat
yang ideal meliputi intensitas sinar matahari, aliran udara dan kelembaban relatif (Wijaya, 2010),
sehingga dengan membudidayakan rotan jernang berarti menjaga kelestarian hutan (tegakan
pohon). Rotan jernang memiliki sistem perakaran serabut dengan akar yang bergerak vertikal
sangat sedikit dibanding dengan akar yang bergerak sejajar dengan permukaan tanah sehingga
tidak mengganggu tanaman sekitarnya. Manfaat sosialnya, dengan menanam rotan jernang
berarti melestarikan peninggalan nenek moyang (Puyang) karena rotan jernang merupakan
tumbuhan asli masyarakat seperti Jambi (Arifin, 2008).
Budidaya rotan jernang dapat dikategorikan dalam sistem agrisilvikultur dan sub sistem
kebun rotan (Nair, 1993 dalam Sardjono dkk., 2003). Agrisilvikultur merupakan sistem
agroforestri yang mengombinasikan komponen kehutanan (atau tanaman berkayu) dengan
komponen pertanian (atau tanaman non-kayu). Teknologi penanaman rotan jernang yang
dikombinasikan dengan tanaman keras (a.l. karet) merupakan konsep yang berdimensi ekologis
dan ekonomis. Adapun manfaat dan kemudahan yang dapat diperoleh dari teknik penanaman
semacam ini adalah (Arifin, 2008):
1. Petani dapat memperoleh dua keuntungan sekaligus yaitu dari hasil produksi getah karet dan
hasil produksi resin jernang.
10
Pelatihan Rotan Kabupaten Musi Banyuasin, 9-14 Oktober 2014
2. Tanaman jernang tidak membunuh batang karet seperti pada rotan manau karena jernang
memiliki batang lebih yang kecil dan tumbuh dengan lurus tegak ke atas.
3. Tanaman jernang sangat sulit dan riskan pertumbuhannya sehingga membutuhkan
pemeliharaan yang ekstra. Melalui teknik penanaman dengan karet, pertumbuhan tanaman
jernang dapat diawasi pertumbuhannya secara intensif sambil melakukan kegiatan
penyadapan.
4. Keberlanjutan. Tanaman jernang adalah jenis tanaman tua dimana usia satu batang jernang
dapat berumur 25 - 30 tahun. Selain itu dalam satu rumpun jernang yang telah berusia 10
tahun ke atas telah memiliki anakan sekitar 10-15 batang dan ini terus berlanjut hingga
pernah ditemukan dalam satu rumpun terdapat 30-40 batang.
5. Pembuatan kebun karet akan menjadi starting point dalam melestarikan tanaman jernang
yang telah langka dan peningkatan kesejahteraan perekonomian masyarakat.
Rotan jernang dapat ditanam disela tanaman kehutanan atau perkebunan seperti karet
dan gaharu. Mulai tahun 2005, di Desa Pulau Aro Kecamatan Tabir Ulu Kabupaten Merangin
Jambi, rotan jernang ditanam di sela pohon karet dan gaharu. Masyarakat Desa Sepintun dan
Lamban Sigatal Kecamatan Pauh Kabupaten Sarolangun Jambi mulai menanam jernang pada
tahun 2006 di kebun pada sela-sela tanaman karetnya. Pertumbuhan riap rotan per tahun
dipengaruhi oleh faktor tempat tumbuh dan genetik. Jenis rotan yang termasuk Daemonorops
mempunyai riap pertumbuhan antara 21 - 94 cm per tahun (Sinaga, 1997).
IV. PENUTUP
Rotan jernang merupakan penghasil resin yang bernilai tinggi berupa jernang (dragon
blood). Jernang ini masih diambil dari hutan alam, sehingga produktivitasnya sangat tergantug
pada kondisi hutan. Keberadaan rotan jernang terus menurun akibat praktik pemanenan yang
tidak lestari, illegal loging, kebakaran hutan dan perubahan fungsi lahan.
Permintaan jernang untuk ekspor masih tinggi sehingga perlu dilakukan budidaya secara
luas untuk menjamin produktivitas. Budidaya rotan jernang termasuk sederhana dengan
mengembangkan pola campuran antara tanaman kehutanan dan perkebunan. Pola campuran ini
dapat memberi peluang pada masyarakat untuk mengembangkan rotan jernang di lahan milik
11
Pelatihan Rotan Kabupaten Musi Banyuasin, 9-14 Oktober 2014
karena tidak memerlukan lokasi baru. Penanaman jernang ini dapat memberikan keuntungan
baik ekonomi, ekologi dan sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin,
W.,
2008.
Jernang:
tanaman
konservasi
weinarifin.wordpress.com diakses tanggal 18 Juni 2011
bernilai
ekonomis
tinggi.
Januminro, C.F.M., 2000. Rotan Indonesia: potensi, budidaya, pemungutan, pengolahan, standar
mutu, dan prospek pengusahaan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Nugroho, A.W., J. Muara, dan N. Adriani. 2010. Teknik budidaya jenis-jenis rotan penghasil
jernang. Laporan hasil penelitian. Tidak dipublikasikan.
Pasaribu, H., 2005. China Butuh 400 ton jernang rotan dari Indonesia. www.kapanlagi.com.
Diakses tanggal 1 Desember 2010.
Permenhut. 2007. Peraturan Menteri Kehutanan No.: P.35/Menhhut-II/2007 tentang Hasil Hutan
Bukan Kayu. Jakarta.
Purwanto, Y., R. Polosakan, S. Susiarti, dan E.B. Walujo, 2005. Ekstraktivisme jernang
(Daemonorops spp.) dan kemungkinan pengembangannya: studi kasus di Jambi Sumatra
Indonesia. Laporan Teknik. Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi-LIPI.
Sahwalita dan Agus Kurniawan. 2013. Teknik Budidaya Jenis Rotan Penghasil Jernang. Laporan
Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Tidak dipublikasikan.
Sardjono, M.A., T. Djogo, H.S. Arifin, dan N. Wijayanto, 2003. Klasifikasi dan pola kombinasi
komponen agroforestri. World Agroforestry Centre (ICRAF). Bogor.
Sinaga, M., 1997. Teknik budidaya rotan. Aisuli Vol. I No. 2.
Sumarna, Y., 2005. China Butuh 400 ton jernang rot an dari Indonesia.
www.kapanlagi.com. Diakses tanggal 1 Desember 2010.
Sumarna, Y., 2011. Panen jernang di pekarangan. Hal: 138-139. Trubus 494-Januari 2011
Waluyo, T.K., 2008. Teknik ekstraksi tradisional dan analisis sifat-sifat jernang asal Jambi. Jurnal
Penelitian Hasil Hutan Vol. 26 No. 1, Maret 2008: 30-40. Puslitbang Hasil Hutan. Badan
Litbang Kehutanan. Departemen Kehutanan.
Wijaya, A., 2010. Ini dia getah termahal. Hal: 126-127. Trubus 492-November 2010.
12
Pelatihan Rotan Kabupaten Musi Banyuasin, 9-14 Oktober 2014
Download