IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskripsi Data Kegiatan bank

advertisement
 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Deskripsi Data
Kegiatan bank berupa penghimpunan dan penyaluran dana sangat
diperlukan bagi lancarnya kegiatan perekonomian. Kegiatan bank memungkinkan
masyarakat melakukan kegiatan investasi, kegiatan distribusi, serta kegiatan
konsumsi barang dan jasa, mengingat bahwa kegiatan investasi-distribusikonsumsi tidak dapat dilepaskan dari adanya penggunaan uang. Kelancaran
kegiatan investasi-distribusi-konsumsi ini tidak lain adalah kegiatan pembangunan
perekonomian suatu masyarakat.
Sebagai lembaga keuangan yang berperan dalam proses intermediasi,
perbankan menunjukkan kinerjanya melalui nilai CAR, LDR dan FDR, NPL dan
NPF, ROA, dan BOPO. Perkembangan rasio kinerja perbankan secara umum
ditunjukkan oleh tabel di bawah ini.
Tabel 4.1. Perkembangan Rasio Keuangan CAR, LDR dan FDR, NPL dan
NPF, ROA, dan BOPO Bank Umum Syariah dengan Bank Umum
Konvensional di Indonesia
Bank Umum Syariah
Rasio
Bank Umum Konvensional
(%)
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2006
2007
2008
2009
2010
2011
CAR
13,73
10,67
12,81
10,77
16,25
16,63
21,27
19,30
16,76
17,42
17,18
16,05
98,90
99,76
103,65
89,70
89,67
88,94
61,56
66,32
74,58
72,88
75,21
78,77
4,75
4,05
3,95
4,01
3,02
2,52
6,07
4,07
3,20
3,31
2,56
2,17
LDR,
FDR
NPL,
NPF
ROA
1,55
2,07
1,42
1,48
1,67
1,79
2,64
2,78
2,33
2,60
2,86
3,03
BOPO
76,77
76,54
81,75
84,39
80,54
78,41
86,98
84,05
88,59
86,63
86,14
85,42
Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, 2006-2011
4.1.1.
Analisis Rasio Capital Adequacy Ratio (CAR)
CAR adalah rasio kinerja bank untuk mengukur kecukupan modal yang
dimiliki bank untuk menunjang aktiva yang mengandung atau menghasilkan
risiko. Aturan dari Bank Indonesia CAR minimum bagi setiap perbankan nasional
adalah 8%. (Bank Indonesia, 2011).
44
25
21.27
20
19.3
15
16.76
16.05
17.18
16.25
13.73
16.63
12.81
BUS
10.77
10.67
10
17.42
BUK
5
0
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Gambar 4.1. Perkembangan CAR BUS dan BUK 2006-2011
Gambar 4.1. menunjukkan perkembangan CAR BUS dan konvensional
dari tahun 2006 sampai 2011. Perkembangan CAR kedua perbankan tersebut
selalu berada di atas 8%. Artinya, BUS dan BUK berada pada posisi yang baik
dalam memenuhi kecukupan modal.
Posisi CAR perbankan nasional selalu mengalami fluktuasi dari tahun ke
tahun. BUS mengalami penurunan rasio CAR di tahun 2007 dan 2009. Rasio
tersebut kembali naik di tahun 2008, 2010, dan 2011. Kondisi ini berbeda jika
dibandingkan dengan BUK. BUK cenderung mengalami penurunan dari tahun ke
tahun. Peningkatan CAR BUK hanya terjadi di tahun 2009.
CAR BUK cenderung turun dibandingkan CAR BUS disebabkan oleh
ATMR konvensional yang lebih bervariasi. ATMR BUK terdiri dari ATMR untuk
risiko pasar, ATMR untuk risiko kredit dan ATMR untuk risiko operasional yang
baru ditambah pada tahun 2010. Penetapan ATMR tersebut dikarenakan sifat
BUK yang rentan terhadap gejolak ekonomi. Suku bunga dalam BUK merupakan
salah satu perangkat operasional yang rentan terhadap krisis. ATMR yang
semakin tinggi setiap tahun menyebabkan rasio CAR BUK cenderung mengalami
penurunan.
Di sisi lain, BUS dapat membagi risiko yang terkandung di dalam aktiva
yang mereka miliki dengan sistem bagi hasil. ATMR pada bank syariah
berdasarkan aktiva bank syariah dapat dibagi atas (Zainul Arifin, 2009):
45
1. Aktiva yang didanai oleh modal sendiri dan/atau kewajiban atau hutang
(wadi'ah atau qard dan sejenisnya).
2. Aktiva yang didanai oleh rekening bagi hasil (Profit and loss Sharing
Investment
Account)
yaitu
mudharabah
(baik
General
Investment
Account/mudharabah mutlaqah yang tercatat pada neraca/on balance sheet
maupun Restricted Investment Account/mudharabah muqayyadah yang dicatat
pada rekening administratif/off balance sheet).
Sistem tersebut membuat semua pengguna jasa perbankan termasuk bank
itu sendiri menanggung risiko sehingga risiko yang diperhingkan dalam ATMR
dan CAR lebih kecil.
Dari hasil uji beda data berpasangan yang dilakukan terhadap BUK dan
BUS pada tahun 2006 sampai 2011 didapat nilai rata-rata CAR BUK (17,997)
lebih besar dibandingkan rata-rata CAR BUS (13,477). Artinya, pada periode
2006-2011 rata-rata kinerja CAR BUK lebih baik dibandingkan rata-rata kinerja
CAR BUS. Selain itu, didapatkan adanya perbedaan antara CAR BUK dan BUS.
Angka probabilitas dalam uji-t adalah 0,031 lebih kecil dari taraf nyata yang
ditetapkan yaitu 0,05.
4.1.2.
Analisis Rasio Loan to Deposit Ratio (LDR) dan Financing to Deposit
Ratio (FDR)
LDR dan FDR mengukur seberapa besar persentase dari aset yang
dimiliki bank digunakan untuk membiayai kredit. Ratio ini mampu menunjukkan
kemampuan perbankan menghubungkan deposan dengan debitur.
46
120
100
98.9
99.76
80
60
103.65
74.58
61.56
66.32
89.7
89.67
72.88
75.21
88.94
78.77
BUS
BUK
40
20
0
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Gambar 4.2. Perkembangan FDR BUS dan LDR BUK 2006-2011
LDR BUK mengalami kenaikan dari tahun 2006 sampai 2011 kecuali di
tahun 2008 yaitu 74,58 yang turun menjadi 72,88 di tahun 2009. Penurunan LDR
tersebut terjadi akibat dampak dari krisis global yang juga dialami oleh Indonesia
di tahun 2008. Krisis tersebut berdampak pada suku bunga kredit konvensional
yang mengalami kenaikan dari 13,00 menjadi 15,22 di tahun 2008. Kondisi krisis
dan kenaikan suku bunga kredit tersebut membuat masyarakat menurunkan
investasi dan lebih memilih untuk menyimpan uangnya di bank.
Tabel 4.2. Jumlah Kredit dan DPK BUK Tahun 2008--2011
Tahun
Kredit (Miliar Rp)
DPK (Miliar Rp)
2008
1.307.688
1.753.292
2009
1.437.930
1.973.042
2010
1.765.845
2.338.824
2011
2.200.094
Sumber: Statistik Perbankan Indonesia 2008-2011
2.784.912
Pada saat krisis fungsi intermediasi BUK mengalami penurunan. Kondisi
ini disebabkan oleh beberapa hal yang mempengaruhi DPK dan kredit BUK. Dana
Pihak Ketiga (DPK) BUK tahun 2008 dan 2009 mengalami peningkatan sebesar
12,53%. Akan tetapi jika dilihat dari komposisi DPK pada periode tersebut, terjadi
47
penurunan jumlah rekening giro dan deposito yaitu sebesar 2,26%. Jumlah
tabungan BUK mengalami kenaikan sebesar 2,25%. Dari data tersebut dapat
dikatakan bahwa pada saat krisis nasabah cenderung menarik dana mereka dari
simpanan yang bersifat jangka panjang untuk menghindari risiko likuiditas di
kemudian hari. Nasabah lebih memilih memindahkan dana ke bentuk simpanan
jangka pendek atau tabungan. Selain itu, nasabah juga mungkin memindahkan
simpanan jangka panjang mereka ke perbankan syariah.
FDR syariah mengalami kenaikan dari tahun 2006 hingga tahun 2008
tetapi dari tahun 2008 hingga 2009 mengalami penurunan yang cukup jauh.
Penurunan tersebut juga merupakan dampak dari krisis ekonomi global yang
terjadi tahun 2008. Akan tetapi, dampak krisis yang dialami oleh perbankan
syariah berbeda dengan konvensional. Kenaikan DPK BUS lebih besar
dibandingkan BUK. Dana Pihak Ketiga (DPK) BUS pada periode tersebut
mengalami kenaikan yaitu sebesar 41,84% tahun 2009, 45,46% tahun 2010, dan
51,79% tahun 2011. Hal ini menunjukkan nasabah mempercayai BUS untuk
menyimpan dana mereka saat krisis dan setelah krisis.
Pembiayaan yang disalurkan BUS dari tahun 2006 sampai 2011
mengalami kenaikan. Akan tetapi, laju kenaikan tersebut belum sebesar laju
kenaikan DPK yang dapat dihimpun BUS. Oleh karena itu, nilai FDR perbankan
syariah dari 2008 sampai 2009 mengalami penurunan. Rendahnya laju kenaikan
pembiayaan syariah disebabkan oleh beberapa hal seperti persyaratan-persyaratan
pembiayaan yang harus sesuai dengan syariat Islam yang tidak ditetapkan oleh
BUK.
Tabel 4.3. Jumlah Kredit dan DPK BUS Tahun 2008--2011
Tahun
Pembiayaan (Miliar Rp)
DPK (Miliar Rp)
2008
38.199
36.852
2009
46.886
52.271
2010
68.181
76.036
2011
101.689
Sumber: Statistik Perbankan Syariah 2008 - 2011
115.415
48
Nilai rata-rata LDR BUK pada periode pengamatan adalah 71,55%. Nilai
tersebut lebih kecil dibandingkan rata-rata FDR BUS yaitu 95,10%. Artinya, pada
periode tersebut BUS memiliki rata-rata kinerja yang lebih baik dalam
menyalurkan DPK dalam bentuk pembiayaan kepada masyarakat. Uji beda data
berpasangan menunjukkan probabilitas sebesar 0,004 lebih kecil dibandingkan
taraf nyata 0,05 artinya nilai FDR BUS dan LDR BUK memiliki perbedaan pada
taraf nyata 5%.
4.1.3.
Analisis Rasio Non Performing Loan (NPL) dan Non Performing
Financing (NPF)
Rasio NPF dan NPL merupakan rasio yang menunjukkan kualitas
pembayaran (collectibility) pembiayaan atau kredit yang kurang lancar, diragukan,
dan macet. Data non performing loan/ financing yang digunakan merupakan non
performing loan/ financing gross, yakni tanpa memperhitungkan penyisihan yang
dibentuk untuk mengantisipasi risiko kerugian. Semakin tinggi nilai NPF dan
NPL maka semakin tinggi pula tingkat risiko yang harus ditanggung oleh bank
tersebut.
7
6
5
6.07
4.75
4
4.05
4.07
3
3.95
4.01
3.2
3.31
BUS
3.02
2.56
2
2.52
2.17
BUK
1
0
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Gambar 4.3. Perkembangan NPF BUS dan NPL BUK 2006-2011
Rasio NPL dan NPF cenderung mengalami penurunan. Dari Gambar 4.3.
dapat dilihat pergerakan NPL sebagian besar negatif atau menurun kecuali di
49
tahun 2009. Rasio NPL dan NPF mengalami penurunan dari tahun 2006 hingga
2008 tetapi rasio itu naik di tahun 2009. Penyebabnya adalah krisis global yang
menyebabkan kemunduran ekonomi nasional. Krisis menyebabkan banyak debitur
menunggak pembayaran kredit dan pembiayaan syariah. Menurut Latif Adam
(2009), Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi (P2E) LIPI, penunggakan pinjaman
yang menyebabkan peningkatan NPL merupakan akumulasi dari beberapa
permasalahan. Pertama, imbas negatif krisis keuangan global tidak hanya
menurunkan aggregate demand, tetapi juga memaksa perusahaan masuk ke iklim
persaingan yang semakin ketat. Kondisi ini membuat pendapatan perusahaan
menurun sehingga membuat perusahaan mengalami penurunan kemampuan
dalam membayar angsuran pinjaman ke perbankan. Kedua, kebijakan perbankan
mempertahankan suku bunga kredit tinggi di tengah-tengah kondisi perekonomian
yang tidak stabil juga berkontribusi terhadap naiknya NPL. Tingginya suku bunga
kredit pada saat pendapatan dan neraca keuangan perusahaan mengalami
penurunan membuat beban angsuran pinjaman perusahaan ke perbankan
mengalami peningkatan. Ketiga, ketidakhati-hatian perbankan dalam menyalurkan
kreditnya kemungkinan juga mendorong naiknya NPL. Ketika perbankan tetap
mempertahankan suku bunga kredit tinggi, secara tidak langsung perbankan
sebenarnya bermain dengan kemungkinan meningkatnya risiko kredit bermasalah.
Pada saat suku bunga kredit tetap tinggi,maka hanya perusahaan risk
taker(pengambil risiko) saja yang akan mengajukan permintaan kredit ke
perbankan.
Pergerakan rasio NPL dan NPF tahun 2006 hingga 2011 memiliki tren
yang sama. Akan tetapi, Rasio NPL BUK relatif lebih rendah dibandingkan NPF
BUS. Rasio NPL BUK mulai berada di bawah NPF BUS sejak tahun 2008 atau
pada saat krisis. Menurut Sekretaris Umum Asosiasi Bank Islam Indonesia
(Ashisindo), Bambang Sutrisno, BUK bisa mengendalikan tingkat NPL karena
adanya kebijakan relaksasi dari BI yang memungkinkan BUK dapat melakukan
restrukturisasi kredit yang mengkhawatirkan. Berbeda dengan BUS yang baru
bisa melakukan restrukturisasi kredit jika masuk dalam kolektibilitas tiga. Hal
tersebut menyebabkan jumlah NPL BUK lebih rendah dibandingkan dengan NPF
BUS.
50
Nilai rata-rata NPL BUK (3,56%) lebih rendah dibandingkan dengan
rata-rata NPF BUS (3,72%). BUK memiliki rata-rata rasio kualitas aktiva
produktif yang lebih baik dibandingkan BUS karena semakin kecil nilai rasio
NPL maka semakin baik kinerja kredit suatu perbankan. Akan tetapi, nilai NPL
BUK dan NPF BUS relatif sama. Hal ini berdasarkan uji beda berpasangan yang
menunjukkan tingkat signifikan sebesar 0,648 atau lebih besar dari taraf nyata
0,05.
4.1.4.
Analisis Rasio Return on Asset (ROA)
ROA merupakan rasio yang menunjukkan bagaimana sebuah bank dapat
melakukan konversi aset men jadi pendapatan bersih. Semakin tinggi rasio ROA
maka semakin baik kinerja keuangan bank tersebut.
3.5
3
2.5
2.64
3.03
2.6
2.33
2.07
2
1.5
2.86
2.78
1.55
1.42
1.48
1.67
1.79
BUS
BUK
1
0.5
0
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Gambar 4.4. Perkembangan ROA BUS dan BUK 2006-2011
Gambar 4.4. menunjukkan perkembangan ROA BUS dan BUK dari
tahun 2006 sampai 2011. BUK selalu memiliki nilai ROA lebih tinggi
dibandingkan BUS pada periode tersebut. Tingginya nilai ROA BUK disebabkan
oleh nilai laba sebelum pajak BUK yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan
laba BUS. Suku bunga BUK yang cukup tinggi dan relatif tetap (12%-15%)
memberikan pendapatan yang besar bagi BUK. Di lain sisi, sistem bagi hasil
pembiayaan syariah memiliki tingkat yang berbeda-beda atau berubah sesuai
dengan kesepakatan. Bagi hasil BUS biasanya tidak melebihi suku bunga
51
pinjaman BUK. Selain itu, BUS juga turut menanggung kerugian atas pembiayaan
tidak lancar. Sifat tersebut menyebabkan laba sebelum pajak BUS lebih kecil
dibandingkan dengan BUK.
Pergerakan rasio ROA BUS dan BUK menunjukkan tren yang sama dari
tahun 2006 hingga 2011 BUS dan BUK sama-sama mengalami penurunan ROA
pada saat krisis tahun 2008 dan kembali naik pada periode setelah krisis. Krisis
menyebabkan kinerja perbankan nasional menurun. Laba tahunan BUS dan
konvensional menurun dibandingkan tahun sebelumnya. Kondisi ini disebabkan
oleh kenaikan beban-beban dan kerugian transaksi valas/derivatif yang cukup
tinggi (Bank Indonesia, 2009). Selain itu, meningkatnya rasio pinjaman yang
bermasalah juga berdampak pada penurunan ROA. Krisis keuangan menyebabkan
ekspor menurun dan daya beli masyarakat menurun sehingga pendapatan
pengusaha turun. Turunnya pendapatan pengusaha menyebabkan turunnya
kemampuan dalam membayar kewajiban kepada bank. Kondisi ini berdampak
pada ROA perbankan (Heri Sudarsono, 2009).
Perbandingan nilai rata-rata ROA BUK (2,71%) dan BUS (1,66%)
menunjukkan BUK memiliki ROA yang lebih tinggi dibandingkan dengan BUS.
Nilai ini menunjukkan BUK lebih baik dalam memperoleh keuntungan dari aset
yang dimiliki. BUK memiliki keungulan dalam menggunakan aset mereka
dibandingkan dengan BUS karena BUS memiliki aturan-aturan syariah yang
membatasi
kegiatan
operasional
mereka.
Uji
beda
data
berpasangan
memperlihatkan terdapat perbedaan nyata antara ROA BUK dan BUS. Nilai
signifikan 0,00 lebih kecil dari taraf nyata 0,05 menunjukkan hal tersebut.
4.1.5.
Analisis Rasio Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional
(BOPO)
Rasio BOPO merupakan rasio yang membandingkan biaya operasional
terhadap pendapatan operasional. Bank yang bekerja secara efisien yaitu bank
yang memiliki rasio BOPO yang rendah.
52
90
88
86
88.59
86.98
84
86.63
84.05
82
86.14
84.39
81.75
80.54
80
BUS
78.41
78
76
85.42
76.77
BUK
76.54
74
72
70
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Gambar 4.5. Perkembangan BOPO BUS dan BUK 2006-2011
Gambar 4.5. menunjukkan bahwa selama tahun 2006 hingga 2011 rasio
BOPO BUS berada di bawah BUK artinya BUS memiliki efisiensi yang lebih
baik dibandingkan BUK. Akan tetapi, nilai BOPO BUK dan BUS masih cukup
tinggi dan berfluktuasi karena rasio tersebut masih di atas 75%. Rasio BOPO
tertinggi terjadi di tahun 2008. Pada periode tersebut perekonomian nasional
terkena dampak krisis global. Peningkatan yang tinggi tersebut disebabkan oleh
meningkatnya biaya yang harus ditanggung oleh perbankan akibat krisis global.
Tingginya biaya pada bank konvensional menunjukkan target pendapatan bank
konvesional yang tidak terpenuhi. Apalagi pada saat krisis keuangan berlangsung,
beban cost of fund semakin tinggi dan menurunnya kemampuan peminjam untuk
mengembalikan pinjamannya (Heri Sudarsono, 2009).
Rasio BOPO memiliki komponen akun perbankan yang sama dengan
rasio ROA. Perbedaan BOPO dengan ROA yaitu penggunaan akun laba non
operasional pada ROA. Jika perbankan dapat bekerja dengan baik seharusnya
hasil analisis ROA dan BOPO memiliki kesimpulan yang sama. Akan tetapi,
analisis menunjukkan hal yang berbeda dimana BUS dapat bekerja lebih baik
pada rasio BOPO tetapi BUK dapat bekerja lebih baik pada rasio ROA. Kondisi
ini menunjukkan BUS dapat bekerja lebih baik secara operasional sedangkan
BUK dapat bekerja lebih baik dalam mengkonversi aset mereka menjadi
53
pendapatan non operasional seperti sewa, keuntungan penjualan aktiva tetap dan
inventaris, selisih kurs, serta usaha lainnya.
BUS memiliki rata-rata BOPO lebih kecil dibandingkan dengan BUK.
Pada periode pengamatan BUS memiliki rata-rata BOPO sebesar 79,73% lebih
kecil dibandingkan BUK yang memiliki rata-rata BOPO 86,30%. Nilai tersebut
menunjukkan selama periode pengamatan BUS memiliki rasio efisiensi beban
operasional terhadap pendapatan operasional yang lebih baik. BUS dapat
memperkecil beban yang dikeluarkan untuk menghasilkan pendapatan. Uji beda
data berpasangan menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan antara BOPO
BUS dan BUK. Nilai signifikansi antara BUS dan BUK yaitu 0,002 lebih kecil
dibandingkan taraf nyata 0,05.
4.2.
Data Envelopment Analysis (DEA)
Suatu bank dikatakan memiliki kinerja yang tinggi apabila dapat
meningkatkan efisiensi dengan menggunakan input untuk memberikan hasil yang
maksimal. Metode DEA merupakan ukuran efisiensi relatif yang mengukur
efisiensi suatu unit pengambil keputusan (DMU) yang tidak efisien dibandingkan
dengan DMU lain yang paling efisien. Dalam analisis DEA dimungkinkan ada
beberapa DMU yang mempunyai tingkat efisiensi 100%. DEA juga dapat melihat
sumber ketidakefisienan dengan ukuran peningkatan potensial (potential
improvement) dari masing-masing input dan output.
4.2.1.
Efisiensi Intermediasi BUK dan BUS Tahun 2006-2011
Data yang digunakan dalam penelitian ini dibagi dalam variabel input
dan output yang diformulasikan dengan asumsi constant return to scale (CRS).
Variabel input yang digunakan dalam mengukur efisiensi yaitu total DPK, total
aset, dan biaya operasional. Variabel output yang digunakan yaitu kredit
konvensional atau pembiayaan syariah ke semua sektor ekonomi dan pendapatan
operasional. Pada analisis DEA periode yang paling efisien dapat lebih dari satu
dengan skor efisiensi 100% pada periode waktu pengamatan.
54
Tabel 4.4. Tingkat Efisiensi Intermediasi BUK dan BUS Tahun 2006-2011
Tahun
Efisiensi (%)
BUK
BUS
2006
100
100
2007
90,37
100
2008
93,87
100
2009
96,76
96,85
2010
100
98,73
2011
98,47
100
Keterangan: Analisis efisiensi dilakukan bersama
Tabel 4.4. menunjukkan perbandingan efisiensi tahunan BUK dan BUS
dari tahun 2006 hingga 2011. Perhitungan tingkat efisiensi dilakukan bersamasama untuk melihat perbankan mana yang lebih efisien pada periode pengamatan.
Hasil analisis menunjukkan BUS dapat bekerja lebih efisien dibandingkan BUK
pada tahun 2006 hingga 2011. BUS dapat mencapai tingkat efisiensi 100% pada
empat tahun periode pengamatan yaitu tahun 2006, 2007, 2008, dan 2011
sedangkan BUK dapat mencapai tingkat efisiensi 100% hanya pada dua tahun
pengamatan yaitu 2006 dan 2010. Hasil analisis efisiensi menggunakan DEA
sama dengan hasil analisis efisiensi BOPO yang menyatakan BUS dapat bekerja
lebih efisien dibandingkan BUK.
Tabel 4.5. menunjukkan perkembangan tingkat efisiensi masing-masing
bank selama periode 2006-2011. Tingkat efisiensi BUK mencapai angka 100%
pada tahun 2006, 2007, 2010, dan 2011 sedangkan tahun 2008 dan 2009 BUK
mengalami infisiensi. BUS mencapai tingkat efisien pada tahun 2006, 2007, 2008,
dan 2011 sedangkan tahun 2009 dan 2010 tidak efisien.
55
Tabel 4.5. Perkembangan Tingkat Efisiensi Intermediasi BUK dan BUS
Tahun 2006-2011
Efisiensi (%)
Tahun
BUK
BUS
2006
100
100
2007
100
100
2008
97,27
100
2009
99,76
96,85
2010
100
98,73
2011
100
100
Keterangan: Analisis efisiensi dilakukan pada masing-masing bank
Inefisiensi yang dialami perbankan pada tahun 2008-2010 merupakan
dampak dari krisis global yang terjadi tahun 2008. Krisis global akan
memengaruhi
operasional
perbankan
dan
pertimbangan
nasabah
dalam
menggunakan jasa perbankan. Hal tersebut akan berpengaruh terhadap kinerja
perbankan yang menentukan efisiensi intermediasi lembaga tersebut. Bank-bank
yang inefisien, dapat dikatakan bahwa bank tersebut belum dapat memaksimalkan
nilai input dan output yang dimilikinya. Hal ini berarti nilai input dan output yang
dicapai oleh bank yang inefisien belum dapat meraih target yang sebenarnya
(Muharam dan Pusvitasari, 2007).
Analisis
efisiensi
BUK
menggunakan
DEA
menunjukan
BUK
mengalami inefisiensi pada tahun 2008 (97,27%) dan 2009 (99,76%). Tahun 2008
inefisiensi terjadi pada variabel input dan output. Input yang mengalami
inefisiensi yaitu DPK. Input aktual DPK tahun 2008 yaitu sebesar 1.753.292
miliar rupiah. Jumlah tersebut melebihi target yaitu sebesar 1.497.535,3 miliar
rupiah atau dengan kata lain terjadi pemborosan input sebesar 14,59% dalam
kegiatan operasional BUK tahun 2008. Inefisiensi juga terjadi pada variabel
output penyaluran kredit aktual yang disalurkan oleh BUK yaitu sebesar
1.307.668 miliar rupiah sedangkan target penyaluran kredit yaitu 1.344.397,23
miliar rupiah. Penyaluran kredit belum dilakukan secara optimal. Peningkatan
potensial penyaluran kredit yang dapat dilakukan agar BUK menjadi efisien yaitu
sebesar 2,81% dari output sekarang. Inefisiensi juga terjadi pada variabel output
56
pendapatan operasional. Pendapatan operasional aktual yang dihasilkan oleh BUK
pada periode tersebut yaitu sebesar 262.061 miliar rupiah. Angka tersebut lebih
kecil dari target efisien BUK yaitu 269.421,66 miliar rupiah. Peningkatan
potensial output tersebut yaitu sebesar 4,44%.
Tabel 4.6. Inefisiensi BUK Tahun 2008
Variabel
Input
Output
Beban Operasional
Aktual
Target
Potensial
Improvement
232.170
232.170
0
Aset
2.310.557
2.310.557
0
DPK
1.753.292
1.497.535,3
-14,59
Kredit
1.307.668
1.344.397,23
2,81
262.061
269.421,66
2,81
Pendapatan Operasional
Pada tahun 2009 inefisiensi juga terjadi pada variabel input dan output.
Variabel input yang mengalami inefisiensi yaitu beban operasional dan DPK.
Beban operasional aktual pada periode tersebut yaitu 258.311 miliar rupiah.
Jumlah tersebut masih dapat ditekan 0,13% menjadi 257.980 miliar rupiah. Pada
periode ini juga masih terjadi pemborosan DPK sebesar 14,28%. DPK aktual yang
digunakan BUK yaitu 1.950.712 sedangkan targetnya adalah 1.672.159,54 miliar
rupiah. Inefisiensi output terjadi pada kredit dan pendapatan operasional yang
masih dapat ditingkatkan sebesar 0,24% untuk mencapai efisiensi.
Tabel 4.7. Inefisiensi BUK Tahun 2009
Variabel
Input
Output
Beban Operasional
Aktual
Target
Potensial
Improvement
258.311
257.980
-0,13
Aset
2.534.106
2.534.106
0
DPK
1.950.712
1.672.159,54
-14,28
Kredit
1.437.930
1.441.441,34
0,24
298.180
298.908,14
0,24
Pendapatan Operasional
BUS mencapai efisiensi 100% di tahun 2006, 2007, 2008 dan 2011
sedangkan pada tahun 2009 dan 2010 terjadi inefisiensi. Pada tahun 2009
57
inefisiensi terjadi pada DPK, aset, pembiayaan, dan pendapatan operasional. Input
DPK aktual yang diterima pada tahun 2009 yaitu sebesar 52.271 miliar rupiah
sedangkan target DPK agar kinerja menjadi efisien yaitu sebesar 48.947,67 miliar
rupiah. Variabel DPK dapat ditekan 6,36% untuk mencapai tingkat efisiensi
100%. Pada periode tersebut BUS terkena dampak krisis global yang terjadi di
tahun 2008 yaitu terjadi peningkatan DPK sebesar 41,84%. Peningkatan DPK
tersebut merupakan salah satu bukti kepercayaan nasabah terhadap kinerja BUS
yang masih dapat beroperasi dengan baik pada saat krisis.
Tabel 4.8.
Inefisiensi BUS Tahun 2009
Variabel
Input
Output
Aktual
Beban Operasional
Potensial
Target
Improvement
3.135
3.135
0
Aset
66.090
63.273,01
-4,26
DPK
52.271
48.947,67
-6,36
Pembiayaan
46.886
48.410,18
3,25
6.620
7.304,74
10,34
Pendapatan Operasional
Input aset juga mengalami inefisiensi sebesar 4,26%. Jumlah aset aktual
pada periode tersebut adalah 66.090 miliar rupiah sedangkan targetnya adalah
63.273,01 miliar rupiah. Output pembiayaan aktual periode tersebut yaitu 46.886
miliar rupiah sedangkan target pembiayaan sebesar 48.410,18 miliar rupiah .
Pembiayaan memiliki potensi pengembangan sebesar 3,25 % artinya pada periode
tersebut masih terdapat input yang berpotensi untuk disalurkan kepada
masyarakat.
Variabel
pendapatan
operasional
juga
memiliki
potensi
pengembangan yaitu sebesar 10,34% artinya pada periode tersebut BUS dapat
menghasilkan pendapatan operasional yang lebih besar dari 6.620 miliar rupiah
menjadi 7.304,74 miliar rupiah agar mencapai kinerja yang efisien.
58
Tabel 4.9. Inefisiensi BUS Tahun 2010
Variabel
Input
Output
Beban Operasional
Aktual
Target
Potensial
Improvement
4.472
4.472
0
Aset
97.519
90.257,39
-7,45
DPK
76.036
69.822,65
-8,17
Pembiayaan
68.181
69.055,92
1,28
8.757
10.420,03
18,99
Pendapatan Operasional
Pada tahun 2010 BUS mengalami inefisiensi pada variabel DPK, aset,
pembiayaan, dan beban operasinal. BUS masih mengalami kelebihan input DPK
yaitu sebesar 8,17%. DPK aktual pada periode tersebut sebesar 76.036 miliar
rupiah sedangkan target DPK sebesar 69.822,65 miliar rupiah. Peningkatan DPK
yang terjadi di tahun 2010 sebesar 45,46% atau lebih besar dibandingkan
peningkatan di tahun sebelumnya. Akan tetapi, peningkatan tersebut belum
diikutsertai dengan penningkatan penyaluran pembiayaaan sehingga dana yang
tersedia belum tersalurkan secara optimal. Variabel aset juga masih mengalami
inefisiensi pada periode tersebut. Jumlah aset aktual yaitu sebesar 97.519 miliar
rupiah sedangkan targetnya adalah 90.257,39 miliar rupiah atau terjadi
pemborosan sebesar 7,45%. Inefisiensi pada variabel output pembiayaan aktual
tahun 2010 yaitu sebesar1,28%. Pembiayaan aktual sebesar 68.181 miliar rupiah.
Jumlah tersebut dapat ditingkatkan menjadi 69.055,92 miliar rupiah atau agar
mencapai kinerja yang efisien. Pendapatan operasional juga mengalami inefisiensi
dengan potensi pengembangan 18,99% artinya pendapatan operasional aktual
periode tersebut masih dapat ditingkatkan dari 8.757 miliar rupiah menjadi
10.420,03 miliar rupiah.
Nilai rata-rata efisiensi BUK lebih besar dibandingkan rata-rata efisiensi
BUS. Rata-rata efisiensi BUK pada periode pengamatan yaitu sebaesar 99,56%
sedangkan rata-rata efisiensi BUS sebesar 99,26%. Akan tetapi, hasil uji beda data
berpasangan menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara
efisiensi BUK dan BUS dari tahun 2006-2011.
59
4.2.2.
Efisiensi BUK dan BUS Setelah Krisis Global 2008
Intermediasi perbankan nasional mengalami gangguan akibat krisis
global yang terjadi tahun 2008. Bank mengalami peningkatan biaya dan
ketidakpastian pengembalian kredit. Kondisi tersebut menghambat kinerja
perbankan dan menurunkan tingkat efisiensi perbankan. Berdasarkan analisis
DEA, BUK dan BUS mengalami inefisiensi pasca krisis global yaitu berada di
bawah 100%.
Tabel 4.10.
Tingkat Efisiensi Intermediasi BUK dan BUS Tahun 2009
Bank
Efisiensi (%)
2009
Bank Konvensional
Mestika Dharma
Bank Sinarmas
Bank ICB BumiPutera
Bank Mutiara
Bank ArthaGraha
Bank Mayapada Internasional
Bank Nusantara
Bank Ekonomi Raharja
Bank Syariah
Bank Muamalat Indonesia
Bank Syariah Mega Indonesia
Bank Syariah Mandiri
BRI Syariah
2010
100
100
100
100
98,54
92,69
91,72
75,04
100
100
100
97,25
97,54
94,36
100
77,65
100
100
92,65
72,68
100
100
100
85,24
Pada periode setelah krisis yaitu tahun 2009 terdapat 4 BUK dan 2 BUS
yang mengalami inefisiensi. BUK yang belum mencapai tingkat efisiensi 100%
pada tahun 2009 antara lain Bank Artha Graha (98,54%), Bank Maspada
Internasional (92,69%), Bank Nusantara (91,72%), dan Bank Ekonomi Raharja
(75,04%). Sedangkan BUS yang mengalami inefisiensi yaitu Bank Syariah
Mandiri (92,65%) dan BRI Syariah (72,68%).
Pada tahun 2010 masih terdapat bank yang bekerja dengan tidak efisien.
Terdapat 4 BUK yang mengalami inefisiensi yaitu Bank Artha Graha (97,54%),
Bank Mutiara (97,25%), Bank Maspada Internasinal (94,36%), dan Bank
Ekonomi Raharja (77,65%). Selain itu, BUS yang mengalami inefisiensi adalah
BRI syariah.
60
Inefisiensi yang dialami oleh BUK dan BUS disebabkan oleh belum
optimalnya input dan output pada periode tersebut. Berdasarkan hasil perhitungan
DEA (lampiran), inefisiensi bersumber pada variabel input (simpanan dan beban
tenaga kerja) serta output (kredit atau pembiayaan dan pendapatan operasional).
Inefisiensi penggunaan input pertama yaitu simpanan di hampir seluruh
BUK yang tidak efisien. Input simpanan aktual yang dialokasikan jumlahnya
melebihi target sehingga terjadi input excess. Kondisi ini menandakan terjadi
pemborosan penggunaan input simpanan sehingga intermedisi perbankan tidak
bekerja
secara
optimal.
Upaya
yang
dapat
dilakukan
adalah
dengan
mengalokasikan kelebihan penggunaan input simpanan ke bagian input aset
sehingga bisa menjadi aset yang lebih produktif. Naiknya jumlah aset produktif
dapat meningkatkan jumlah kredit atau pembiayaan kepada masyarakat.
Inefisiensi penggunaan input juga terjadi pada variabel biaya tenaga
kerja. BRI syariah mengalami inefisiensi penggunaan input ini pada dua tahun
pasca krisis global. Selain BRI Syariah, Bank Maspada Internasional juga
mengalami inefisiensi penggunaan biaya tenaga kerja di tahun 2009. Biaya tenaga
kerja yang dikeluarkan lebih besar dibandingkan yang dibutuhkan bank untuk
membayar tenaga kerja. Biaya tenaga kerja dapat dipengaruhi oleh biaya
pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia, khususnya bagi BUS karena
jumlah SDM yang paham tentang ekonomi syariah masih di bawah dari
kebutuhan yang ada (secara kualitas maupun kuantitas).
Ketidakefisienan output dalam penelitian ini terjadi pada kredit atau
pembiayaan dan pendapatan operasional. Output yang pertama, baik kredit dari
BUK maupun pembiayaan dari BUS jumlahnya belum sesuai atau lebih kecil dari
target yang telah ditentukan. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan
menawarkan bentuk kredit/pembiayaan yang lebih bervariasi sesuai dengan
keinginan masyarakat sehingga output kredit atau pembiayaan dapat lebih
optimal.
Output kedua yang pencapaiannya masih belum optimal yaitu
pendapatan operasional. Jumlah yang dapat dicapai oleh BUK dan BUS
seharusnya lebih besar dari pada jumlah aktual. Upaya yang dapat dilakukan
adalah dengan menaikkan biaya administrasi pada dana simpanan, sehingga
61
pendapatan operasional bank umum bertambah. Beberapa perbaikan dapat
dilakukan dengan meningkatkan jumlah penyaluran kredit atau pembiayaan dan
biaya-biaya yang terkait dengan input simpanan.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Rakhmat Purwanto. Pada penelitian tersebut terdapat bank-bank yang mengalami
inefisiensi pada saat krisis. Bank yang selalu efisien pada periode pengamatan
yaitu Bank Mestika Dharma, Bank ISB Bumiputera, Bank Sinarmas, Bank
Muamalat Indonesia, dan Bank Syariah Mega Indonesia.
4.3.
Perbandingan Kinerja Keuangan dan Efisiensi BUK dan BUS
Hasil analisis uji beda data berpasangan menyatakan rata-rata rasio CAR
BUK lebih tinggi dibandingkan rasio CAR BUS. Artinya, BUK memiliki rasio
kecukupan modal lebih baik dibandingkan BUS pada periode tersebut. Akan
tetapi, berdasarkan analisis deskriptif BUK memiliki rasio CAR yang cenderung
turun setiap tahunnya. Kondisi ini disebabkan oleh sifat BUK yang rentan
terhadap resiko sehingga jumlah ATMR BUK setiap tahun semakin meningkat.
Semakin tinggi ATMR maka akan semakin rendah nilai CAR perbankan.
Rasio likuiditas BUS lebih baik dibandingkan BUK. Hal ini dapat dilihat
dari nilai FDR BUS yang lebih tinggi dibanding LDR BUK. Akan tetapi, analisis
deskriptif menunjukkan rasio FDR yang menurun lebih besar jika dibanding rasio
LDR. Kondisi ini disebabkan oleh laju peningkatan pembiayaan BUS yang tidak
secepat laju dengan peningkatan DPK BUS.
Tingkat efisiensi usaha dan profitabilitas BUK dan BUS dibandingkan
berdasarkan rasio ROA. Hasil uji data berpasangan menunjukkan rasio ROA
BUK lebih baik dibandingkan rasio BUS karena rata-rata rasio ROA BUK lebih
tinggi dibandingkan BUS. Kondisi ini disebabkan oleh keunggulan BUK dalam
mengubah aset yang dimiliki menjadi aktiva yang menghasilkan laba usaha.
Rasio BOPO BUS lebih baik dibandingkan dengan BUK. Rata-rata rasio
BOPO BUS dibandingkan dengan BUK. Artinya, BUS dapat lebih menekan biaya
yang dikeluarkan dalam kegiatan operasionalnya.
Dari analisis deskriptif kinerja keuangan dan analisis efisiensi BUK BUS
maka didapatkan hasil sebagai berikut.
62
Tabel 4.11. Perbandingan Rata-Rata Kinerja Keuangan dan Analisis
Efisiensi BUK dan BUS Tahun 2006-2011
Rasio
BUK
BUS
Keterangan
CAR
17,997
13,48
Terdapat perbedaan yang
nyata. Kinerja BUK lebih
baik
dalam
rasio
permodalan.
FDR dan LDR
71,64
95,10
Terdapat perbedaan yang
nyata. Kinerja BUS lebih
baik dalam rasio likuiditas.
NPF dan NPL
3,56
3,77
Rasio
kualitas
aktiva
produktif relatif sama.
ROA
2,71
1,66
Terdapat perbedaan yang
nyata. Kinerja BUK lebih
baik
dalam
rasio
rentabilitas.
BOPO
86,30
79,73
Terdapat perbedaan yang
nyata. Kinerja BUS lebih
baik dalam rasio efisiensi.
EFISIENSI
99,51
99,26
Nilai efisiensi intermediasi
BUK
sama.
dan
BUS
relatif
Download