BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. KACANG KOMAK

advertisement
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A.
KACANG KOMAK
Kacang komak (Lablab purpureus (L.) Sweet) dikenal juga dalam
beberapa nama. Beberapa artikel dipublikasikan dalam beberapa dekade
dengan nama Dolichos lablab L. Atau Lablab niger Medik. Menurut
Skerman (1977), terdapat beberapa nama yang berbeda untuk kacang komak
di beberapa negara yaitu Rongai dolichos, Lab-lab bean (Australia), poor
man’s bean, Tonga bean (Inggris), lubia (Sudan), batao (Filipina), hyacinth
bean (Brazil), frijol jacinto (Colombia), quiquaqua, caroata chwata
(Venezuela), poroto de Egipto (Argentina), dolique lab-lab, dolique
d’Egypte (Perancis), fiwi bean (Zambia), chicarros, frijol caballo (Puerto
Rico), gallinita (Mexico), frijol de adorno (El Salvador), dan wal (India).
Kacang komak (Lablab purpureus (L.) Sweet) diklasifikasikan ke
dalam kingdom Plantae, Divisi Magnoliophyta, Klas Magnoliopsida, Ordo
Fabales, Famili Fabaceae, Subfamili Faboideae, bangsa Phaseoleae, genus
Lablab dan species L. purpureus.
Tanaman kacang komak dapat tumbuh pada temperatur hangat,
subtropis dan wilayah hutan hujan yang berkisar antara 22oC sampai 35oC
serta pada wilayah arid, semiarid, dan lembab (National Research Council,
1979). Skerman (1977) juga mendeskripsikan tanaman kacang komak
memiliki panjang batang tegap 3-6 m, daun bercabang tiga (trifoliate), daun
muda lebar berbentuk oval-belah ketupat dengan panjang 7.5-15 cm, bunga
berwarna putih, biru, atau ungu. Panjang polong antara 4-5 cm, lunak, dan
mengandung 2-4 biji. Kacang komak hanya dapat hidup di atas 2000 m di
atas permukaan laut (dpl) dan sangat baik tumbuh pada curah hujan lebih
dari 750 mm tetapi tidak lebih dari 2500 mm per tahun. Toleran terhadap
tanah yang ekstrim, tumbuh pada kisaran pH dari 5.0 sampai 7.5. Tanaman
kacang komak dapat dilihat pada Gambar 1 dan Gambar 2.
Gambar 1. Tanaman kacang komak (Lablab purpureus (L.) Sweet)
Gambar 2. Polong dan biji kacang komak (Lablab purpureus (L.) Sweet)
National Research Council (1979) melaporkan kacang komak kering
mengandung 20-28 % protein kasar dan merupakan salah satu sumber
terbaik untuk besi (155 mg/100 g daun, basis kering) seperti halnya yang
disebutkan oleh Kay (1979) bahwa kandungan protein biji tua kacang komak
secara normal berkisar antara 21-29%. Sama halnya dengan kedelai, kacang
komak juga kaya akan asam amino esensial. Berdasarkan penelitian Chau, et
al. (1998), kacang komak (Dolichos lablab) dapat menjadi sumber yang
potensial bagi protein, asam amino essensial, serat pangan, dan pati. Namun,
asam amino yang mengandung sulfur seperti methionin dan sistein menjadi
asam amino pembatas dan berada di bawah standar FAO/WHO. Komposisi
kimia kacang komak dapat dilihat pada Tabel 1 dan susunan asam amino
esensial yang terkandung di dalam kacang komak pada Tabel 2.
Tabel 1. Komposisi kimia kacang komak (Lablab Purpureus (L.) Sweet) a
a
b
Komponen
Jumlah
Air (%)
9.3 ± 0.5
Protein (%)
17.5 ± 1.5
Lemak (%)
1.1 ± 0.4
Abu (%)
3.6 ± 0.1
Karbohidrat (%)b
67.9 ± 4.2
HCN (mg/100g)
1.1 ± 0.1
Fitat (mg/g)
18.9 ± 0.2
Tripsin Inhibitor (TIU/mg)
0.15 ± 0.02
dihitung berdasarkan basis basah
dihitung menggunakan by difference dari air, protein, lemak, dan abu
Sumber : Subagio (2006)
Tabel 2. Susunan asam amino yang terkandung di dalam kacang komak (Lablab
purpureus (L.) Sweet)
Jenis Asam amino
Jumlah
(mg/g N)
Jenis Asam amino
Jumlah
(mg/g N)
Isoleusin
256
Threonin
207
Leusin
436
Valin
294
Lisin
360
Arginin
393
Methionin
36
Histidin
186
Sistein
57
Alanin
266
Fenilalanin
299
Serin
323
Tirosin
197
Asam aspartat
727
Glisin
240
Prolin
288
Asam glutamat
978
Sumber : Kay (1979)
Pemanfaatan kacang komak sebagai bahan pangan telah digunakan
di beberapa negara diantaranya pemanfaatan bijinya untuk dimasak dan
dimakan secara langsung, diproses menjadi tofu atau difermentasi menjadi
tempe. Kecambah yang dihasilkan mirip dengan kecambah kedelai dan
bijinya cukup potensial dibuat konsentrat (National Research Council,
1979). Selain itu juga, masyarakat Amerika Serikat menggunakan kacang
komak sebagai hiasan. Asia dan Afrika membudidayakan kacang komak
sebagai tanaman pangan. Kacang komak merupakan penambat nitrogen
yang sangat baik dan terkadang ditumbuhkan untuk melindungi hasil panen
atau sebagai pakan ternak. B.
PERKECAMBAHAN
Kecambah adalah biji-bijian yang mengalami perubahan fisik dan
kimiawi yang disebabkan oleh proses metabolisme (Winarno, et al.,1980).
Bewley dan Black (1983) menjelaskan ketika biji basah, air akan masuk,
kemudian terjadi respirasi, sintesis protein, dan aktivitas metabolik lainnya
dan setelah periode waktu tertentu embrio akan muncul dari biji ditandai
dengan munculnya radikel atau hipokotil melalui permukaan biji. Kecambah
muncul karena hipokotil (bagian kecambah di bawah buku kotiledon) yang
memanjang sehingga mendorong kotiledon ke permukaan dan titik tumbuh
mulai tumbuh. Perubahan biomassa biji dan persen germinasi kacang komak
dibandingkan kedelai pada kondisi germinasi berbeda dapat dilihat pada
Tabel 3.
Germinasi
dapat
meningkatkan
daya
cerna
nutrisi
karena
perkecambahan merupakan proses katabolis yang menyediakan zat gizi yang
penting untuk pertumbuhan tanaman melalui reaksi hidrolisa dari zat gizi
cadangan yang terdapat dalam biji. Secara umum, selama germinasi terjadi
peningkatan zat-zat nutrisi terutama setelah munculnya buluh akar yaitu
setelah 24-48 jam perkecambahan (Andarwulan dan Hariyadi, 2005).
Tabel 3. Perubahan biomassa dan persen germinasi kacang komak dan kedelai
pada kondisi germinasi berbeda.
Jenis
Kondisi
% peningkatan
Pertumbuhan
germinasi
bobot segar biji
radikel (cm)
Kontrol
-
-
-
Kacang
0-h-L
134
5.9
84
komak
12-h-L
105
5.2
83
24-h-L
112
4.4
81
Kontrol
-
-
-
0-h-L
109
4.6
96
12-h-L
110
4.4
96
24-h-L
99
4.0
96
kacangkacangan
Kedelai
% germinasi
Sumber : Cabrejas, et al. (2008)
Selama proses perkecambahan, beberapa kandungan pati diubah
menjadi bagian yang lebih kecil yaitu glukosa dan maltosa. Kandungan
glukosa dan fruktosa meningkat sepuluh kali lipat, serta kandungan sukrosa
meningkat dua kali dan galaktosa menghilang. Molekul protein dipecah
menjadi asam-asam amino yaitu lisin 24%, threonin 19%, dan fenilalanin
7%. Lemak juga dihidrolisa menjadi asam-asam lemak yang lebih mudah
dicerna. Beberapa mineral (Ca dan Fe) yang biasa terikat dilepaskan
sehingga menjadi bentuk yang lebih bebas. Dengan demikian lebih mudah
dicerna dan diserap oleh saluran pencernaan (Winarno, 1980).
Hal yang sama juga telah dilaporkan oleh Osman (2007) bahwa
perkecambahan pada kacang komak dapat meningkatkan kadar protein
secara signifikan. Kenaikan ini disebabkan oleh kenaikan Aw selama
perkecambahan yang dapat mengaktifkan enzim hidrolitik. Selain itu juga,
perkecambahan secara signifikan dapat menurunkan kadar karbohidrat dan
aktivitas tripsin inhibitor. Perkecambahan juga dapat meningkatkan daya
cerna protein secara in vitro. Hal ini terjadi karena hilangnya aktivitas enzim
inhibitor dan hidrolisis asam fitat. Kandungan gizi kacang komak yang
mengalami perkecambahan dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Kandungan Gizi kacang komak (Lablab purpureus (L.) Sweet)
yang mengalami perkecambahan
Komponen
Jumlah (% berat kering)
Air
12.95
Protein
28.55
Lemak
1.19
Karbohidrat
66.40
Abu
3.83
Sumber : Osman (2007)
Menurut Sathe, et al. (1983), kecambah mempunyai kandungan
vitamin lebih banyak dari bentuk bijinya. Jika dibandingkan dalam biji,
kadar vitamin B meningkat 2.5 sampai 3 kali lebih besar, sedangkan vitamin
C yang jumlahnya sangat sedikit pada biji kacang hijau kering, dalam
bentuk
kecambah
meningkat
menjadi
20
mg/100
g.
Selain
itu
perkecambahan juga dapat menurunkan faktor antinutrisi seperti tripsin
inhibitor.
Cabrejas, et al. (2008) juga menyebutkan bahwa germinasi
merupakan proses yang efisien untuk mereduksi jumlah α-galaktosida.
Kehilangan oligosakarida disebabkan selama germinasi terjadi peningkatan
aktivitas enzim α-galaktosida yang dapat menghidrolisis ikatan α-glikosidik
sehingga menyebabkan peningkatan jumlah total gula terlarut.
Kecambah banyak mengandung protein, kalsium, dan fosfor serta
sedikit zat besi. Namun, kecambah miskin vitamin A. Demikian juga
kandungan vitamin C-nya juga relatif sedikit. Untuk setiap 100 g bahan,
kecambah kedelai mengandung energi sebesar 67 kalori, kecambah kacang
hijau sebesar 23 kalori, dan kecambah kacang tunggak sebesar 35 kalori
(Novary, 1999).
C.
KONSENTRAT PROTEIN
Secara umum definisi dari konsentrat protein adalah produk yang
memiliki kandungan protein sebesar 70 % (N x 6.25) dalam basis kering
(Endres, 1989 di dalam Matthews (ed), 1989). Menurut Hanson (1974),
konsentrat protein mengandung 60-70 % (bk) protein sedangkan isolat
protein mempunyai kadar protein lebih dari 90 % (bk). Sementara itu
Waggle dan Kolar (1979) memberikan definisi yang hampir sama, yaitu
konsentrat protein memiliki kadar protein tidak boleh kurang dari 70 % (bk),
sedangkan isolat protein memiliki kadar protein tidak boleh kurang dari 90
% (bk).
Menurut Endres (1989) diacu dalam Matthews (ed) (1989), prinsip
pembuatan konsentrat adalah memindahkan komponen utama protein dan
mengekstrak komponen nonprotein. Komponen yang terekstrak terdiri dari
karbohidrat yang larut, rafinosa, stachyosa, garam, protein yang larut, dan
komponen minor lainnya yang dapat larut. Proses ekstraksi dapat dilakukan
dengan beberapa cara, yaitu :
1.
Ekstraksi dengan larutan asam dalam kisaran pH isoelektrik 4-5.
Komponen protein dipisahkan dengan cara diendapkan pada titik
isoelektriknya kemudian dipisahkan antara karbohidrat yang larut
dengan protein. Residu protein dinetralisasikan pada pH 7.0 dan
dikeringkan menggunakan spray drying.
2.
Ekstraksi dengan menggunakan larutan alkohol. Dalam proses ini,
60-80 % alkohol digunakan untuk memisahkan komponen protein.
Karbohidrat dapat larut dalam larutan alkohol. Fraksi protein
secara kontinu dipindahkan, menguapkan alkohol kemudian
dikeringkan.
3.
Denaturasi protein. Dengan demikian protein akan terpisah dengan
karbohidrat dan garam dengan cara mencucinya dengan air.
4.
Ekstraksi menggunakan campuran dari pelarut organik
Konsentrat protein dapat ditambahkan dalam bahan pangan untuk
meningkatkan penampilan, mengontrol, tekstur, atau viskositas, menurunkan
susut masak, meningkatkan umur simpan, meningkatkan sifat penanganan
adonan dan kebutuhan nutrisi. Konsentrat kedelai sering digunakan sebagai
pengikat dan pengkondisi pada sosis karena kemampuannya untuk mengikat
air dan lemak (Pomeranz, 1991).
D.
SIFAT FISIK DAN KIMIA KONSENRTAT PROTEIN
a. Derajat warna dan derajat putih
Warna diukur secara umum menggunakan Hunter color meters
dan dinyatakan sebagai nilai L, a, dan b. Nilai L adalah ukuran sejumlah
cahaya yang direfleksikan atau ditransmisikan oleh objek (0 = hitam,
100 = putih). Nilai a adalah ukuran warna merah ketika positif dan hijau
ketika minus. Nilai b adalah warna kuning ketika positif dan biru ketika
minus. Derajat putih adalah atribut untuk menduga objek mendekati
warna referensi yang lebih putih (Waggle, et al., 1989).
Menurut Waggle, et al. (1989), pada konsentrasi tetap, nilai L
meningkat dengan penurunan kelarutan protein karena peningkatan
kecerahan dipengaruhi oleh protein yang tidak larut. Jika ada dua sampel
yang memiliki nilai b setara, sampel yang kurang larut akan tampak
putih.
b. Densitas kamba (Bulk Density)
Ketika terjadi pencampuran, transportasi, penyimpanan, dan
pengemasan bahan seperti kacang-kacangan dan tepung, sangat penting
untuk mengetahui karakteristik kamba suatu bahan. Ketika sejumlah
padatan dituang ke dalam kontainer, total volume yang ditempati
mengandung sejumlah substansi udara (Lewis, 1996).
Densitas kamba didefinisikan sebagai massa partikel yang
menempati suatu unit volume tertentu. Densitas kamba ditentukan oleh
berat wadah yang diketahui volumenya dan merupakan hasil pembagian
dari berat bubuk dengan volume wadah. Porositas merupakan bagian
yang tidak ditempati oleh partikel atau bahan padatan. Cara lain dalam
menyatakan densitas kamba adalah dalam bentuk bagian dari densitas
partikel solidnya yang dihubungkan teori densitas. Densitas partikel
adalah suatu ukuran dengan memperhitungkan jumlah udara yang
terperangkap di dalam masing-masing partikel (Wirakartakusumah, et
al., 1992).
Bubuk digolongkan dalam 2 tingkat, yaitu bubuk sebagai partikel
dan bubuk sebagai satu kesatuan (kamba). Sifat-sifat kamba dipengaruhi
oleh sifat-sifat partikel, dimana hubungan keduanya tidak sederhana dan
meliputi faktor-faktor eksternal, seperti sistem geometris, proses
mekanis dan proses panas dari bubuk, sehingga untuk menentukan sifatsifat bubuk dari partikel agak sulit (Wirakartakusumah, et al., 1992).
Menurut Winata (2001), densitas kamba dipengaruhi oleh ukuran
partikel, sifat bahan, komposisi bahan, dan mungkin pula dipengaruhi
oleh degradasi molekul-molekul dalam bahan akibat adanya pengolahan.
Jadi kenaikan densitas kamba disebabkan adanya degradasi molekulmolekul pati, protein, lemak, dan lain-lain saat diberi perlakuan
pemasakan awal sehingga molekul-molekul tersebut menempati ruang
yang lebih sempit.
c. Aktivitas Air (Aw)
Kerusakan bahan pangan pada umumnya merupakan kerusakan
kimiawi, enzimatik, mikrobiologis atau kombinasi antara ketiga macam
kerusakan tersebut. Semua jenis kerusakan ini memerlukan air selama
prosesnya. Oleh karena itu banyaknya air dalam bahan pangan akan ikut
menentukan kecepatan terjadinya kerusakan.
Menurut Winarno (1992) air terikat dapat dibagi ke dalam empat
tipe berdasarkan derajat keterikatan airnya. Tipe I adalah molekul air
yang terikat pada molekul-molekul lain melalui suatu ikatan hidrogen
yang berenergi besar. Tipe II yaitu molekul-molekul air membentuk
ikatan hidrogen dengan molekul air lain, terdapat dalam mikrokapiler
dan sifatnya agak berbeda dari air murni. Tipe III adalah air yang secara
fisik terikat dalam jaringan matriks bahan seperti membran, kapiler,
serat, dan lain-lain. Tipe IV adalah air yang tidak terikat dalam jaringan
suatu bahan atau air murni, dengan sifat-sifat air biasa dan keaktifan
penuh.
Aktivitas air (Aw) adalah sejumlah air bebas di dalam media
pertumbuhannya dan bahan pangan, dinyatakan sebagai perbandingan
antara tekanan uap air larutan dan tekanan uap air murni. Aktivitas air
juga dapat diartikan sebagai sejumlah air bebas di dalam bahan pangan
yang pada kondisi tertentu mikroba dapat tumbuh dan memungkinkan
bahan pangan tersebut tidak layak untuk dikonsumsi (Fardiaz, et al.,
1992).
Dengan meningkatnya aktivitas air, air menjadi lebih tersedia
sebagai pelarut dan medium untuk reaksi, kecepatan enzimatik, dan
degradasi mikrobiologi juga meningkat. Rata-rata batas terendah
aktivitas air untuk pertumbuhan mikroba adalah 0.91 (bakteri), 0.88
(khamir), 0.80 (kapang), 0.75 (bakteri halofilik), 0.65 (fungi xerofilik),
dan
0.60
(khamir
osmofilik).
Meningkatnya
ketersediaan
air
mempercepat pencoklatan enzimatik dan berkurangnya nilai nutrisi
(Pomeranz, 1991).
d. Daya Cerna Protein
Menurut Muchtadi (1989), kemampuan suatu protein untuk
dihidrolisis menjadi asam-asam amino oleh enzim-enzim pencernaan
(protease) dikenal dengan istilah daya cerna protein. Suatu protein yang
mudah dicerna menunjukkan bahwa jumlah asam-asam amino yang
dapat diserap dan digunakan oleh tubuh tinggi. Sebaliknya, suatu protein
yang sukar dicerna berarti jumlah asam-asam amino yang dapat diserap
dan digunakan oleh tubuh rendah, karena sebagian besar akan dibuang
oleh tubuh bersama feses. Gambar 3 memperlihatkan secara skematis
mengenai penggunaan senyawa nitrogen dari protein makanan oleh
tubuh.
N yang dikonsumsi
Proses pencernaan
N dalam feses
N yang diserap
proses anabolik/katabolik
N yang terdapat
dalam urin
N yang tertahan oleh
tubuh
Gambar 3. Skema penggunaan nitrogen dari protein makanan
Oleh karena penentuan daya cerna protein dengan menggunakan
hewan percobaan dianggap terlalu lama dan membutuhkan biaya yang
cukup tinggi, maka digunakan metode yang lebih praktis yaitu dengan
menggunakan enzim-enzim pencernaan secara in vitro. Beberapa macam
enzim protease yang telah digunakan antara lain : pepsin, pankreatin,
tripsin, kimotripsin, peptidase, atau campuran dari beberapa macam
enzim tersebut (multienzim).
E.
SIFAT FUNGSIONAL KONSENTRAT PROTEIN
a. Daya serap air
Daya serap air suatu protein didefinisikan sebagai kemampuan
untuk menahan air melawan perlakuan gravitasi dan fisikokimia. Air
berinteraksi dengan protein dalam beberapa cara dan sejumlah signifikan
air terikat oleh protein melalui ikatan hidrogen. Interaksi antara molekul
air dan gugus hidrofilik pada rantai protein terjadi melalui ikatan
hidrogen. Pengikatan air dengan protein dipengaruhi oleh gugus
hidrofilik polar seperti imino, amino, karboksil, hidroksil, karbonil, dan
sulfihidril. Kapasitas protein untuk menahan air dipengaruhi oleh jenis
dan jumlah dari gugus polar pada rantai polipeptida protein (Zayas,
1997).
Asam amino diklasifikasikan berdasarkan kemampuannya untuk
mengikat air yaitu : 1) asam amino polar dengan daya pengikatan air
paling tinggi, 2) asam amino yang tidak mengion, mengikat sejumlah air
dalam jumlah yang medium, 3) gugus hidrofobik yang hanya dapat
mengikat sedikit air atau tidak sama sekali. Gugus asam amino polar
pada molekul protein adalah sisi utama dalam interaksi protein-air
(Zayas, 1997).
Pengikatan air dapat disebabkan oleh beberapa mekanisme di
bawah ini : kemampuan matriks protein untuk mengembang dan
menyerap air tanpa terlarut. Viskositas tinggi dihasilkan dari protein
yang larut atau mengembang dan/atau pembentukan gel selama
persiapan sampel (Waggle, et al., 1989).
Penyerapan air oleh beberapa jenis protein dapat mengakibatkan
pembengkakan. Pembengkakan mencerminkan pengambilan air oleh
jaringan
protein
sambil
melonggarkan
polipeptida.
Tingkat
pembengkakan dipengaruhi oleh gaya-gaya antar molekul, ikatan
hidrogen, interaksi elektrostatik antara polipeptida yang berdekatan dan
fasilitas tertentu yang dengannya air akan memberikan gangguan dan
menggantikan ikatan protein-protein dengan protein-air (Muchtadi,
1991).
b. Daya serap minyak
Daya serap minyak suatu protein dipengaruhi oleh sumber protein,
ukuran partikel protein, kondisi proses pengolahan, zat tambahan lain,
suhu, dan derajat denaturasi protein. Partikel yang berukuran kecil
mampu menyerap minyak 65-130% dari berat keringnya, lebih banyak
jika dibandingkan dengan partikel yang berukuran besar. Denaturasi
protein dapat meningkatkan kemampuan protein untuk mengikat lemak
dikarenakan terbukanya struktur protein sehingga memaparkan asam
amino yang bersifat nonpolar.
Kemampuan protein untuk menahan lemak dipengaruhi oleh
interaksi lipid-lipid. Ikatan yang ikut berperan dalam interaksi protein-
lipid adalah ikatan hidrofobik, elektrostatik, ikatan hidrogen, dan ikatan
nonkovalen. Ikatan hidrofobik penting dalam stabilitas komplek proteinlipid. Interaksi antara protein dan anion asam lemak dapat mengubah
struktur protein dengan cara menurunkan ikatan hidrofobik intramolekul
(Zayas, 1997).
Protein hidrofobik efektif pada tegangan permukaan yang lebih
rendah dan mengikat banyak materi lipofilik seperti lipid, emulsifier, dan
materi flavor. Kapasitas protein untuk mengikat lemak sangat penting
dalam produksi meat extenders dan replacer, dimana penyerapan lemak
oleh protein meningkatkan retensi flavor dan meningkatkan mouth feel.
Lemak
diserap
terutama
melalui
pemerangkapan
secara
fisik.
Penyerapan lemak dapat ditingkatkan jika protein dimodifikasi secara
kimia untuk meningkatkan densitas kambanya (Pomeranz, 1991).
c. Daya emulsi
Emulsi adalah suatu sistem yang terdiri dari dua fase cairan yang
tidak saling melarutkan, dimana salah satu cairan terdispersi dalam
bentuk globula-globula di dalam cairan lainnya. Cairan yang terpecah
menjadi globula-globula dinamakan fase terdispersi sedangkan cairan
yang mengelilingi globula-globula tersebut dinamakan fase kontinyu
atau medium dispersi (Muchtadi, 1991).
Daya emulsi merupakan kemampuan protein untuk menurunkan
tegangan permukaan antara kedua fase (tegangan interfasial) sehingga
mempermudah
terbentuknya
emulsi.
Kemampuan
ini
disebut
kemampuan protein sebagai emulsifier. Menurut Subarna, et al. (1990),
daya emulsi ini dipengaruhi oleh konsentrasi protein, kecepatan
pencampuran, jenis protein, jenis lemak, dan sistem emulsi. Daya kerja
emulsifier disebabkan oleh bentuk molekulnya yang dapat terikat baik
pada minyak (nonpolar) maupun air (polar).
Emulsifier mengandung dua gugus yaitu gugus hidrofilik dan
gugus lipofilik. Di dalam molekul emulsifier, salah satu gugus harus
lebih dominan jumlahnya. Bila gugus polar lebih dominan, maka
molekul emulsifier tersebut akan diadsorpsi lebih kuat oleh air
dibandingkan dengan minyak. Akibatnya tegangan permukaan air
menjadi lebih rendah sehingga mudah menyebar dan menjadi fase
kontinyu. Demikian juga sebaliknya jika gugus nonpolar lebih dominan,
maka molekul emulsifier akan lebih kuat diadsorpsi oleh minyak
dibandingkan dengan air (Muchtadi, 1991).
Apabila emulsifier tersebut lebih terikat baik pada air atau lebih
larut dalam air (polar) maka dapat lebih membantu terjadinya dispersi
minyak dalam air sehingga terjadilah emulsi minyak dalam air (o/w).
Sebagai contoh adalah susu. Sebaliknya bila emulsifier lebih larut dalam
minyak (nonpolar) terjadilah emulsi air dalam minyak (w/o). Contohnya
adalah mentega dan margarin (Winarno, 1992).
d. Kekuatan gel
Pembentukan gel (gelasi) sangat penting untuk banyak pangan. Gel
protein dapat digambarkan dalam tiga dimensi matriks atau jaringan,
sebagian berhubungan dengan polipeptida dimana air terperangkap.
Gelasi protein berarti transformasi protein dari bentuk sol menjadi ”gel
like”. Transformasi ini difasilitasi oleh panas, enzim, atau kation divalen
di bawah kondisi tertentu (Damodaran, 1996). Menurut Muchtadi
(1991), gelasi merupakan hasil pemisahan protein oleh panas yang
dengan pendinginan membentuk matriks yang terstrukstur sambil
menjerat air.
Pomeranz (1991) menjelaskan secara umum gelasi membutuhkan
sejumlah pemanasan protein yang menghasilkan modifikasi molekul
protein atau denaturasi. Pembentukan gel protein terdenaturasi
membutuhkan keseimbangan awal antara gaya tarik dan gaya tolak.
Gelasi adalah dua tahapan proses yang meliputi denaturasi awal dari
protein asal menjadi peptida yang tidak melipat kemudian secara
bertahap membentuk matriks gel jika gaya tarik dan kondisi
termodinamika sesuai.
Peningkatan suhu akan meningkatkan pembentukan gel yang baik
dan kokoh. Selama pendinginan, penguraian peptida membentuk
jaringan. Hubungan ini meliputi berbagai interaksi kovalen dan
nonkovalen, ikatan disulfida, ikatan hidrogen, daya tarik ionik,
hubungan hidrofobik, dan kombinasinya.
Ada dua macam jenis struktur gel yaitu thermoset (reversible) dan
thermoplastik (irreversible). Di dalam gelasi thermoset, kondisi sol atau
progel dapat ditunjukkan pada pemanasan yang umumnya diikuti dengan
kenaikan kekentalan. Progel ini akan membentuk gel pada saat
pendinginan. Jenis gel ini biasanya dapat mencair kembali dan dapat
membentuk progel kembali pada pemanasan berikutnya. Sedangkan pada
thermoplastik, gel akan menjadi lunak atau mengerut pada pemanasan
berikutnya, tetapi di bawah kondisi praktis pencairan kembali atau
perubahan kembali menjadi progel tidak terjadi (Fardiaz, et al., 1992).
Secara jelas, skema pembentukan gelasi oleh panas digambarkan pada
Gambar 4.
dingin
Sol
Progel
gel
panas
kelebihan panas
metasol
Gambar 4. Skema induksi panas dalam pembentukan gelasi (Waggle, et
al., 1989)
Kemampuan pembentukan gel sangat dipengaruhi oleh komponen
yang terdapat di dalam bahan pangan, terutama protein atau fraksifraksinya. Sathe dan Salunkhe (1981) menyebutkan bahwa pembentukan
gel tidak hanya bergantung pada konsentrasi protein, tetapi juga dari tipe
protein yang terdapat di dalam suatu bahan. Subarna, et al. (1990) juga
menjelaskan bahwa daya pembentukan gel tidak hanya dipengaruhi oleh
interaksi antara protein dengan protein, melainkan juga interaksi antara
protein dengan air.
e. Kapasitas dan stabilitas busa
Busa suatu protein yaitu suatu struktur terdispersi yang
mengandung cairan koloid yaitu larutan protein sebagai medium
pendispersi dan udara atau gas sebagai fase terdispersi (Subarna, et al.,
1990). Kapasitas busa protein berarti kemampuan protein untuk
membentuk lapisan film tebal pada permukaan gas-cair sehingga
sejumlah besar gelembung udara dapat bergabung dan terstabilkan.
Sedangkan
stabilitas
busa
berarti
kemampuan
protein
untuk
menstabilkan busa melawan gravitasi dan stres mekanis (Damodaran,
1996).
Pembentukan busa meliputi difusi larutan protein ke dalam fase
antara udara-air. Suatu larutan protein dikatakan mempunyai stabilitas
busa yang baik apabila larutan tersebut mampu mempertahankan daya
busanya dalam waktu relatif lama (Subarna, et al., 1990). Kekuatan dan
stabilitas
busa
secara
umum
meningkat
dengan
meningkatnya
konsentrasi protein karena terjadi peningkatan viskositas dan mendorong
pembentukan multilayer yaitu lapisan kohesif pada permukaan
(Damodaran, 1996).
f. Protein dispersability index (PDI), dan nitrogen solubility index (PSI)
NSI dan PDI merupakan ukuran kelarutan nitrogen dan
dispersabilitas protein dalam air. Keduanya merupakan ukuran
fungsionalitas produk protein dan kegunaan atau kemampuannya dalam
formulasi pangan (Wiedermann, 1986). Nilai NSI dan PDI digunakan
sebagai alat uji yang cepat bagi sifat fungsional protein kedelai
(Kinsella, 1979). Nilai NSI digunakan sebagai indikator pemandu sifat
fungsional protein (Fukurawa dan Ohta, 1983). Tipe penggunaan tepung
kedelai berdasarkan kisaran PDI nya dapat dilihat pada Tabel 5.
Protein yang terdenaturasi berkurang kelarutannya. Lapisan
molekul protein bagian dalam yang bersifat hidrofobik berbalik keluar,
sedangkan bagian luar yang bersifat hidrofilik terlipat ke dalam.
Pelipatan atau pembalikan terjadi khususnya bila larutan protein telah
mendekati pH isoelektrik, dan akhirnya protein akan menggumpal dan
mengendap (Winarno, 1992). Selain itu juga, semakin besar ukuran
molekul protein, maka semakin sulit molekul protein tersebut untuk larut
(Subarna, et al., 1990)
Tabel 5. Tipe penggunaan tepung kedelai berdasarkan kisaran PDI nya
Tipe produk
Penggunaan
PDI 90-95
Zat pemutih pada roti
PDI 70-80
Adonan bakery, donat, minuman,
hidrolisat protein sayuran, sereal
untuk bayi
PDI 35-45
Farmasi, sereal untuk bayi, olahan
daging, minuman, hidrolisat protein
sayuran,
bakery,
pakan
hewan
peliharaan, pengganti susu hewan
PDI 8-20
Farmasi, sereal untuk bayi, olahan
daging, pakan hewan peliharaan,
pengganti susu hewan
Sumber : Horan (1967) di dalam Pomeranz (1991)
F.
ANTIOKSIDAN
Oksidatif stres terjadi ketika produksi molekul berbahaya yang
disebut radikal bebas terjadi. Radikal bebas merupakan atom atau molekul
aktif yang memiliki kelebihan atau kekurangan jumlah muatan elektron.
Radikal bebas tersebut misalnya anion superoksida, radikal hidroksil, logam
transisi seperti besi dan tembaga, asam nitrat, dan ozon (Oboh, 2006).
Radikal bebas yang mengandung oksigen dikenal dengan nama reactive
oxygen species (ROS).
Reactive oxygen species (ROS) seperti radikal superoksida (O2.),
radikal hidroksil (OH.) dan radikal peroksil (ROO.) dapat terbentuk secara
alami dalam proses metabolik. Kerusakan oksidatif disebabkan oleh adanya
ROS pada lemak, protein dan asam nukleat yang dapat memicu terjadinya
berbagai
penyakit
berbahaya
seperti
penyakit
jantung
koroner,
atherosklerosis, dan kanker (Wong, et al., 2006). Senyawa yang dapat
menghambat terjadinya reaksi oksidasi disebut antioksidan. Antioksidan
dapat melawan terbentuknya ROS dengan tiga mekanisme yaitu dengan cara
menangkap radikal bebas, membentuk kompleks dengan logam-logam
prooksidan, dan berperan sebagai senyawa pereduksi.
Winarno (1992) mengklasifikasikan antioksidan menjadi 2 jenis
yaitu antioksidan primer dan antioksidan sekunder. Antioksidan primer
adalah suatu zat yang dapat menghentikan reaksi berantai pembentukan
radikal yang melepaskan hidrogen. Antioksidan alami yang tergolong primer
adalah tokoferol, lesitin, fosfatida, sesamol, gosipol, dan asam askorbat.
Antioksidan sekunder adalah suatu zat yang dapat mencegah kerja
prooksidan sehingga dapat digolongkan sebagai sinergik. Beberapa asam
organik tertentu, biasanya asam di- atau trikarboksilat, dapat mengikat
logam-logam (sequestran). Contoh dari antioksidan sekunder adalah asam
sitrat dan EDTA.
Antioksidan penting dalam mencegah penyakit pada manusia.
Komponen antioksidan memiliki fungsi sebagai penangkal radikal bebas,
membentuk kompleks dengan logam prooksidan, agen pereduksi dan
menghentikan pembentukan singlet oxygen (Andlaues dan Furst, 1998 di
dalam Rajeshwar, et al., 2005). Polifenol alami memiliki aktivitas
antioksidan dengan cara menangkap radikal bebas, mengkelat katalis logam,
mengaktivasi enzim antioksidan, mereduksi α-tokoferol radikal, dan
menghambat oksidase (Oboh, 2006).
Download