4 TINJAUAN PUSTAKA Remaja Masa remaja merupakan periode antara masa kanak-kanak dan dewasa. Menurut Arisman (2004), masa ini dimulai antara usia 9 hingga 10 tahun dan berakhir pada usia sekitar 18 tahun. Pertumbuhan yang terjadi diiringi dengan perubahan fisik yang seringkali memicu kebingungan. Golongan remaja rentan akan adanya berbagai pengaruh dari luar yang dapat dengan mudah langsung diikuti. Determinan utama bagi remaja adalah berasal dari teman sebaya (Hasan 2006). Terdapat tiga kekuatan dalam masyarakat yang dapat mempengaruhi remaja, yaitu: (1) keluarga, (2) sekolah dan (3) lingkungan sosial. Lingkungan sosial yang mempengaruhi perkembangan remaja adalah guru, teman sepermainan, dan peristiwa-peristiwa dalam masyarakat. Melalui berbagai macam media massa remaja berkenalan dengan berbagai macam peristiwa yang terjadi dalam masyarakat sehingga akan mempengaruhi perkembangan kepribadian remaja (Khumaidi 1989). Menurut Jessor (1984), penanda utama pada masa remaja adalah perubahan. Perubahan yang terlihat yaitu pada ukuran dan bentuk fisik terkait dengan masa pertumbuhan pesat dan pubertas. Perubahan juga terjadi pada cara pandang sosial dan aspek psikologis yang tidak terlihat. Pada masa remaja akan dimulai masa pencarian model/panutan yang diiringi dengan eksplorasi terhadap diri sendiri dan penentuan identitas sosial yang umum terlihat dari adanya keinginan untuk masuk organisasi sosial. Pengalaman pertama dalam melakukan suatu kebiasaan biasanya terjadi pada remaja yang akan berpengaruh hingga jangka panjang. Adapun remaja umumnya menganggap teman sebaya juga merupakan sumber informasi dan reinforcement (pendorong untuk melakukan sesuatu) bagi remaja. Remaja biasa melakukan sesuatu untuk mendapatkan pengakuan atau untuk memperlihatkan solidaritas pada temannya. Air Fungsi Air Air merupakan komponen penting pada semua jaringan tubuh. Air memiliki beragam fungsi dan semuanya menunjang proses-proses yang terjadi dalam tubuh. Diantara fungsi tersebut antara lain sebagai pelarut dan alat angkut, katalisator berbagai reaksi dalam sel, pelumas sendi dan pengatur suhu tubuh (Proboprastowo & Dwiriani 2004). 5 Sebagai pelarut, air menjadikan berbagai zat gizi penting seperti glukosa, asam amino, lipoprotein, vitamin dan mineral melarut sehingga dapat digunakan oleh sel (Mahan & Stump 2004). Menurut Proboprastowo dan Dwiriani (2004), air di dalam pembuluh darah berfungsi sebagai pelarut berbagai zat gizi penting seperti monosakarida, asam amino, lemak, vitamin, mineral serta bahan-bahan lain yang dibutuhkan tubuh seperti oksigen dan hormon-hormon. Berbagai zat gizi dan hormon yang penting bagi tubuh tersebut dibawa ke sel yang membutuhkan. Air mengangkut sisa metabolisme termasuk karbondioksida dan ureum untuk dikeluarkan dari tubuh melalui paru-paru, kulit dan ginjal. Di dalam sel, selain berperan sebagai pelarut, air juga berperan sebagai katalisator yang mempercepat berbagai reaksi biologis. Air yang berada dalam sel merupakan media sekaligus substrat dalam reaksi metabolisme, selain itu air juga berperan sebagai komponen struktural yang membentuk sel (Mahan & Stump 2004). Diantara peran air dalam berbagai proses fisiologis dalam tubuh antara lain: pencernaan (katalisator proses enzimatis dalam saluran pencernaan), penyerapan (katalisator berbagai reaksi dalam sel, melancarkan peredaran darah, memecah atau menghidrolisis zat gizi kompleks menjadi bentuk-bentuk yang lebih sederhana sehingga akan mempermudah proses penyerapan) dan eksresi (membuang sisa metabolisme baik melalui kulit, ginjal, maupun paru-paru). Di dalam ruang antar sendi terdapat cairan smovial yang mempermudah sendi berfungsi tanpa menimbulkan rasa sakit. Menurut Mahan & Stump (2004), air yang berada dalam ruang antar sel berperan sebagai pelumas sendi. Air berfungsi sebagai pengatur suhu tubuh karena dapat menghantarkan panas hasil metabolisme energi ke seluruh tubuh, sehinga suhu tubuh tetap berada pada kisaran normal. Jika produksi energi berlebih (aktivitas fisik tinggi), suhu tubuh akan meningkat melebihi normal. Pada kondisi ini tubuh akan menurunkan suhu hingga normal agar tubuh tidak cedera. Penurunan ini dilakukan dengan cara radiasi dan penguapan keringat dari permukaan tubuh. Pengeluaran keringat yang berlebih meningkatkan kebutuhan alkali air. Semakin luas permukaan tubuh, semakin besar kehilangan panas melalui kulit. Lemak di bawah kulit berperan sebagai bahan isolasi yang mengurangi kecepatan panas hilang dari tubuh. Ini menguntungkan bagi tubuh pada suhu dingin dan merugikan pada suhu panas. 6 Kebutuhan Cairan Kebutuhan air sekitar 2,5 liter per hari berasal dari 1,5 liter air minum dan sekitar 1 liter dari bahan makanan yang dikonsumsi, sementara lemak tubuh tidak mengandung air. Meskipun demikian, kandungan air terdapat pada seluruh jaringan bebas lemak, yang diperkirakan mengandung air rata-rata 73,2% (Pace dan Rathburu 1945 diacu dalam Supariasa 2001) Kebutuhan air setiap orang berbeda-beda dan berfluktuasi tiap waktu. Hal tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti jenis kelamin, usia, tingkat aktivitas, serta faktor lingkungan. Metode perkiraan kebutuhan air adalah berdasarkan umur, berat badan, asupan nitrogen, dan energi, luas permukaan tubuh serta jumlah energi yang dikeluarkan. Belum tersedia data hasil studi lokal tentang kebutuhan air, sehingga acuan kebutuhan masyarakat indonesia mengacu kepada rekomendasi bagi masyarakat Filipina. Berdasarkan acuan tersebut, kebutuhan air rata-rata bagi remaja dan dewasa usia 15 hingga 30 tahun adalah sebesar 40 ml/kg berat badan (FNRI 2002 diacu dalam Proboprastowo dan Dwiriani 2004). Studi mengenai keseimbangan cairan memperlihatkan bahwa kebutuhan cairan harian meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Pada bayi sekitar 0,6 L/hari dan terus menningkat hingga pada usia anak-anak mencapai kebutuhan 1,7 L/hari (Goellner, Ziegler, dan Fomon 1981 diacu dalam Sawka, Chuvront dan Carter 2005). Untuk orang dewasa, kebutuhan cairan harian pada laki-laki dengan tingkat aktivitas rendah (duduk, terikat) mendekati 2,5 L/hari (Adolf 1933; Newburgh, Woodwell, dan Falcon-Lesses 1930 diacu dalam Sawka, Cheuvront dan Carter 2005) sedangkan menurut Greenleaf et al. 1977; Gunga 1993 diacu dalam Sawka, Cheuvront, dan Carter (2005), kebutuhan cairan harian akan meningkat hingga 3,2 L jika laki-laki tersebut memiliki tingkat aktivitas sedang (olahraga ringan). Kebutuhan cairan tertinggi sekitar 6 L/hari yaitu pada laki-laki yang memiliki tingkat aktivitas tinggi dan tinggal di lingkungan yang panas (Welch, Buskirk, dan Lampietro 1958 diacu dalam Sawka, Cheuvront, dan Carter 2005). Peningkatan usia biasa diiringi dengan penurunan aktivitas fisik dan kapasitas pengaturan air (berkurangnya sensasi lapar/haus), namun status hidrasi tetap bertahan pada kondisi normal pada seluruh rentang usia. Konsumsi Cairan Perilaku konsumsi cairan dapat dirumuskan sebagai cara atau tindakan yang dilakukan oleh individu dalam pemilihan makanan maupun minuman yang 7 dilandasi oleh pengetahuan dan sikap terhadap makanan/minuman. Almatsier (2003) menyatakan bahwa konsumsi cairan terdiri atas air yang diminum, yang diperoleh dari makanan, serta air yang diperoleh sebagai hasil metabolisme. Sedangkan menurut Sawka, Cheuvront dan Carter (2005), total konsumsi cairan adalah berasal dari minuman (drinking water), air pada minuman (water in baverages), dan air pada makanan. Kebutuhan air sehari dinyatakan sebagai proporsi terhadap jumlah energi yang dikeluarkan tubuh dalam keadaan lingkungan rata-rata. Aktivitas fisik dan pemaparan panas dapat meningkatkan kebutuhan tubuh akan air. Total konsumsi air berdasarkan survei yang dilakukan NHANES III (Third National Helath and Nutrition Examination Survey) pada populasi yang cukup besar memperlihatkan bahwa sekitar 80% dari total konsumsi cairan adalah berasal dari minuman dan hanya 20% sisanya yang merupakan konsumsi cairan dari makanan. Kedua sumber cairan tersebut memiliki bioavailabilitas yang sama. Berdasarkan survei tersebut juga diketahui bahwa keseluruhan level konsumsi, seluruh responden berada pada keseimbangan cairan (euhidrasi) yang terlihat dari normalnya kadar osmolalitas plasma. Kehilangan Cairan Air keluar dari tubuh melewati beberapa jalan yaitu sistem urinari melalui ginjal, sistem pernafasan melalui paru-paru, jalur penguapan melalui kulit meski kadang tidak terlihat berkeringat dan sistem pencernaan melalui feses atau jika terjadi muntah (Shirreffs 2003). Menurut Raman et al. (2004) diacu dalam Sawka, Cheuvront dan Carter (2005), setiap hari sekitar 5% hingga 10% total air dalam tubuh mengalami turnover (pergantian) akibat aktivitas sehari-hari. Kehilangan cairan melalui pernafasan dipengaruhi oleh udara yang dihirup (suhu dan kelembaban) dan kapasitas paru-paru (pulmonary ventilation). Air yang dihasilkan dari metabolisme tubuh secara kasar hampir sama jumlahnya dengan jumlah air yang hilang lewat pernafasan. Pengeluaran urine dalam sehari adalah sekitar 1 hingga 2 liter, namun dapat meningkat jika meminum air dalam jumlah besar. Kehilangan air lewat keringat juga sangat bervariasi bergantung pada aktivitas fisik dan kondisi lingkungan (Shapiro, Pandolf, dan Goldman 1982 diacu dalam Sawka, Cheuvront dan Carter 2005). Menurut Andreoli, Reeves dan Bichet (2000) diacu dalam Sawka, Cheuvront, dan Carter (2005), keseimbangan cairan dalam tubuh setiap hari diatur dengan baik oleh adanya mekanisme haus dan lapar. Mekanisme tersebut merupakan hasil dari kerjasama neuroendokrin dan adanya respon ginjal 8 terhadap perubahan kekuatan dan volume air tubuh. Mekanisme haus dan lapar juga dipengaruhi oleh adanya pengaruh luar yang tidak terkait pengaturan tubuh, yakni faktor sosio-budaya (Rolls dan Rolls 1982 diacu dalam Sawka, Cheuvront, dan Carter 2005). Keseluruhan respon homeostatis tersebut secara bersamaan memastikan bahwa adanya sedikit perubahan status hidrasi (over-hidrasi atau under-hidrasi) dengan segera akan langsung dikembalikan ke keadaan normal (euhidrasi). Aktivitas Fisik Aktivitas fisik adalah gerakan yang dilakukan oleh otot-otot tubuh dan sistem penunjangnya. Selama melakukan aktivitas fisik, otot membutuhkan energi di luar metabolismenya untuk bergerak, sedangkan jantung dan paru-paru memerlukan tambahan energi untuk menghantarkan zat-zat gizi dan oksigen ke seluruh tubuh dan untuk mengeluarkan sisa-sisa dari tubuh. Banyaknya energi yang dibutuhkan tergantung pada berapa banyak otot yang bergerak, berapa lama dan berapa berat pekerjaan yang dilakukan (Almatsier 2003). Riyadi (2006) menyatakan bahwa jika diketahui jumlah energi tubuh yang dikeluarkan selama aktivitas sehari maka sebenarnya jumlah tersebut merupakan kebutuhan energi seseorang, dengan asumsi aktivitas harian tersebut merupakan aktivitas normal. Aktivitas fisik pada umumnya dibagi menjadi tiga golongan yaitu ringan, sedang dan berat. Semakin berat aktivitas yang dilakukan, semakin banyak energi yang diperlukan untuk melakukan aktivitas tersebut. Menurut Soendoro (2008) kegiatan aktivitas fisik dikategorikaan sedang apabila kegiatan dilakukan terus-menerus sekurangnya 10 menit dalam satu kegiatan tanpa henti dan secara kumulatif 150 menit selama lima hari dalam satu minggu. Menurut WHO/FAO (2002) untuk menuju sehat perlu melakukan kegiatan sedang hingga berat 30 menit selama tiga hari dalam satu minggu. FAO/WHO/UNU (2001) menyatakan bahwa aktivitas fisik adalah variabel utama setelah angka metabolisme basal dalam perhitungan pengeluaran energi. Besarnya aktivitas fisik yang dilakukan seseorang selama 24 jam dinyatakan dalam PAL (Physical Activity Level) atau tingkat aktivitas fisik. PAL merupakan besarnya energi yang dikeluarkan (kkal) per kilogram berat badan dalam 24 jam, PAL ditentukan dengan rumus sebagai berikut: Σ = × 24 Keterangan: PAL: Physical activity level (tingkat aktivitas fisik) PAR: Physical activity rate (jumlah energi yang dikeluarkan untuk tiap jenis aktivitas per satuan waktu tertentu) 9 Seseorang dikatakan sedentary (beraktivitas ringan) bila tidak banyak melakukan kerja fisik, tidak berjalan jauh, umumnya menggunakan alat transportasi, tidak latihan atau berolahraga secara teratur, menghabiskan waktu senggangnya dengan duduk dan berdiri dengan sedikit bergerak seperti pelajar. Pada kategori sedang adalah orang yang tidak terlalu banyak menggunakan energi namun lebih banyak mengeluarkan energi dibandingkan yang beraktivitas ringan. Kemungkinan juga adalah orang yang tergolong beraktivitas ringan namun memiliki waktu untuk beraktivitas sedang hingga berat yang teratur. Misalnya kegiatan harian yang dilakukan selama 1 jam (langsung atau bertahap dalam hari yang sama) baik sedang maupun berat seperti jogging, berlari, aerobik yang dapat meningkatkan PAL dari 1,55 (ringan) menjadi 1,75 (sedang).Tingkat aktivitas fisik berdasarkan nilai PAL menurut FAO/WHO/UNU (2001) tercantum dalam Tabel 1. Tabel 1 Kategori tingkat aktivitas fisik berdasarkan nilai PAL Kategori Ringan (sedentary lifestyle) Sedang (active or moderately active lifestyle) Berat (vigorous or vigorously active lifestyle) Nilai PAL 1,40-1,69 1,70-1,99 2,00-2,40 Sumber : FAO/WHO/UNU (2001) Terakhir adalah orang yang tergolong beraktivitas berat bila orang tersebut dalam kesehariannya melakukan aktivitas yang mengeluarkan banyak energi seperti berenang dan menari selama 2 jam, mencangkul, berjalan kaki dengan beban yang berat (FAO/WHO/UNU 2001). Latihan fisik merupakan bagian dari aktivitas fisik yang terencana, terstruktur, dilakukan berulang-ulang dan bertujuan untuk meningkatkan atau mempertahankan kesegaran jasmani. Perubahan faal tubuh jangka pendek akibat latihan fisik sesaat berupa peningkatan denyut nadi, peningkatan frekuensi pernapasan permenit, peningkatan konsumsi oksigen, suhu tubuh dan produksi keringat. Latihan fisik yang berulang dan terus menerus akan menimbulkan reaksi penyesuaian diri atau adaptasi dari organ-organ tubuh. Adaptasi berupa perubahan struktur atau fungsi yang sifatnya menetap dari organ-organ tubuh. Keadaan ini memudahkan tubuh untuk bereaksi terhadap tuntutan kegiatankegiatan fisik yang diberikan. Adaptasi akan terlihat setelah latihan berlangsung dalam jangka waktu cukup panjang dan teratur, meliputi perlambatan denyut jantung dengan isi kuncup meningkat, curah jantung, tekanan darah menurun, dan frekuensi pernapasan lebih rendah. 10 Setelah usia pubertas, nilai kapasitas aerobik wanita lebih rendah 15-25% dari laki-laki. Hal ini dikarenakan ketahanan kardiorespiratori berhubungan dengan luas permukaan tubuh, komposisi tubuh, kekuatan otot, jumlah hemoglobin dan kapasitas paru.pada status terlatih yang sama nilai VO2 max wanita 15-30% lebih rendah daripada laki-laki. Rendahnya kadar hemoglobin darah pada wanita juga memberikan arti perbadaan VO2 max di samping lebih tingginya massa lemak dibanding laki-laki. Hal ini menyebabkan rendahnya transport oksigen dalam tubuh (Astrand & Rodahl 1986 dalam Sukur 2004). Kebugaran jasmani Kebugaran jasmani adalah kemampuan untuk memenuhi serta melakukan aktivitas biasa maupun yang tidak biasa pada kehidupan sehari-hari dengan aman dan efektif tanpa menimbulkan kelelahan dan masih memiliki energi yang tersisa untuk kegiatan berlibur dan melakukan kegiatan rekreasi. Kebugaran jasmani dapat diklasifikasikan menjadi dua, kebugaran yang berhubungan dengan kesehatan (health related physical fitness) dan kebugaran yang berhubungan dengan keterampilan (skill related physical fitness). Terdapat empat komponen yang berhubungan dengan kesehatan kebugaran, yaitu kebugaran kardiorespirasi, kekuatan otot dan daya tahan, serta fleksibilitas otot dan komposisi tubuh. Komponen yang terkait keterampilan yang berhubungan dengan kebugaran terdiri dari kelincahan, keseimbangan, koordinasi, reaksi dan kecepatan (Hoeger dan Hoeger 2005). Kebugaran Kardiorespirasi Kebugaran kardiorespirasi adalah kemampuan pembuluh paru-paru, jantung dan darah untuk memberikan jumlah oksigen yang cukup ke sel untuk memenuhi tuntutan aktivitas fisik yang berkepanjangan. Kebugaran kardiorespirasi merupakan komponen terpenting dari kebugaran jasmani yang berhubungan dengan kesehatan. Seseorang membutuhkan kekuatan otot dan fleksibilitas dalam jumlah tertentu untuk melakukan kegiatan sehari-hari. Namun seseorang bisa mendapatkan ataupun tidak mendapatkan kekuatan otot dan fleksibilitas, tetapi tidak dapat melakukan kegiatan sehari-hari tanpa sistem kardiorespirasi yang baik (Hoeger dan Hoeger 2005). Kebugaran kardiorespirasi adalah ukuran seberapa efisien tubuh kita bekerja. Sistem pernafasan (paru-paru), kardiovaskular (jantung dan pembuluh darah) dan sistem otot bekerja sama selama kegiatan kardiorespirasi. Pada tubuh, oksigen yang berasal dari udara diambil alveoli di dalam paru-paru. Saat 11 darah melewati alveoli, oksigen diambil oleh hemoglobin dan diangkut dalam darah ke jantung. Jantung kemudian bertanggung jawab untuk memompa darah beroksigen melalui sistem peredaran darah ke seluruh organ dan jaringan tubuh (Hoeger dan Hoeger 2005). Pada tingkat sel, oksigen digunakan untuk mengkonversi substrat makanan (terutama karbohidratdan lemak) melalui metabolisme aerobik menjadi adenosin triphospate (ATP). Senyawa ini memberikan energi untuk fisik, fungsi tubuh dan pemeliharaan keseimbangan internal yang konstan. Selama aktivitas fisik, ATP lebih lanjut diperlukan untuk melakukan aktivitas. Akibatnya, pembuluh paru-paru, jantung dan darah harus memberikan lebih banyak oksigen ke sel otot untuk pasokan energi yang dibutuhkan (Hoeger dan Hoeger 2005). Selama latihan yang lama, seorang individu dengan tingkat kebugaran kardiorespirasi yang tinggi dapat memberikan oksigen dalam jumlah yang diperlukan ke jaringan dengan relatif mudah. Sebaliknya, sistem kardiorespirasi orang dengan tingkat kebugaran yang rendah harus bekerja lebih keras, jantung harus bekerja di tingkat yang lebih tinggi, oksigen kurang diberikan ke jaringan dan akibatnya, seseorang akan mengalami kelelahan yang lebih cepat. Oleh karena itu, kapasitas yang lebih tinggi untuk memberikan dan memanfaatkan oksigen (penyerapan oksigen atau VO2) menunjukkan sistem kardiorespirasi lebih efisien mengukur penyerapan oksigen dan merupakan cara penting untuk mengevaluasi kesehatan kardiorespirasi seseorang (Hoeger dan Hoeger 2005). Penilaian kesehatan yang berhubungan kebugaran menggunakan kebugaran kardiorespirasi, diukur dalam hal memanfaatkan aktivitas fisik per menit (maksimum penyerapan oksigen atau VO2 max), ukuran seberapa efisien jantung, paru-paru dan otot dapat beroperasi selama latihan aerobik. VO2 max umumnya dinyatakan dalam mililiter (ml) oksigen (volume oksigen) per kilogram (kg) dari berat badan per menit (ml/kg/menit) (Hoeger dan Hoeger 2005). VO2 Maksimum Kemampuan menggunakan oksigen oleh tubuh merupakan kunci yang menentukan penggunaan bahan bakar tubuh dan keberhasilan berprestasi. Kebugaran seseorang dapat diukur dengan cara mengukur volume oksigen yang dapat dikonsumsi selama berolahraga pada kapasitas maksimum. VO2 maksimum adalah volume maksimum yaitu volume maksimal O2 yang diproses oleh tubuh pada saat melakukan latihan yang intensif. Peningkatan intensitas latihan dapat meningkatkan kecepatan bernapas sehingga konsumsi oksigen juga meningkat (Mackenzie 1997a). Dengan mengukur jumlah O2 yang dipakai 12 selama latihan akan diketahui jumlah oksigen yang dipakai oleh otot yang bekerja. Volume O2 maksimum ini adalah suatu tingkatan kemampuan tubuh yang diukur dalam liter permenit atau mililiter/menit/ kg BB. Sewaktu olahraga, otot harus menghasilkan energi dan oksigen memegang peranan penting. Semakin banyak oksigen yang digunakan berarti semakin besar kapasitas untuk menghasilkan energi dan kerja yang berarti daya tahan tubuh lebih besar. Orang yang mempunyai volume O2 maksimum yang tinggi dapat melakukan lebih banyak pekerjaan sebelum menjadi lelah dibandingkan dengan orang yang mempunyai volume O2 maksimum yang rendah (Nurcahyo 2008). Kapasitas maksimal aerobik atau VO2 maksimum akan secara normal turun sejalan dengan bertambahnya umur. Anak-anak memilki VO2 maksimum yang lebih tinggi dari pada orang dewasa. Pria dewasa biasanya memiliki kapasitas VO2 maksimum yang lebih besar daripada perempuan. Rentang normalnya adalah 43-52 mililiter/menit/Kg BB pada laki-laki dan 33-42 mililiter/menit/Kg BB pada perempuan. Perbedaan tersebut dikarenakan komposisi tubuh ataupun konsentrasi hemoglobin. Perempuan memiliki massa lemak yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Perputaran hemoglobin pada lakilaki sekitar 10-20% lebih tinggi daripada pada perempuan sehingga meningkatkan kemampuan laki-laki dalam mengantarkan oksigen kedalam otot. Komposisi tubuh juga mempengaruhi VO2 maksimum, dalam hal ini adalah persentase lemak tubuh. Tubuh yang mempunyai persentase lemak tubuh tinggi akan mempunyai VO2 maksimum yang lebih rendah (Cooper 1982). Oksigen dibutuhkan oleh otot dalam melakukan setiap aktivitas berat maupun ringan untuk proses metabolisme. Semakin banyak oksigen yang diserap oleh tubuh menunjukkan semakin baik kinerja otot dalam bekerja sehingga zat-zat sisa yang menyebabkan kelelahan akan semakin sedikit (Cooper 1982). Menurut Hoeger & Hoeger (2005), ada beberapa metode pengukuran VO2 maksimum seseorang seperti Cooper Test (12-Minute Run), 1,5 Mile Run Test, 1,0-Mile Walk Test, Step Test, Astrand Rhyming Test, 12-Minute Swim Test. Metode Cooper Test yaitu responden berlari selama 12 menit menempuh jarak sesuai kemampuan, kemudian dicatat jarak yang berhasil ditempuhnya. Perhitungan nilai VO2 maksimum dilakukan dengan cara memasukkan data jarak tersebut ke dalam software Cooper VO2 max calculator. Metode 1,5-Mile 13 Run Test yaitu responden lari atau jalan dengan menempuh 1,5 mil secepat mungkin sesuai dengan kemampuan dan dicatat waktunya. Catatan waktu ini akan digunakan untuk mengestimasi nilai VO2 maksimum melalui tabel standar. Metode 1,0-Mile Walk Test yaitu contoh jalan dengan menempuh 1 mil sesuai kemampuan kemudian dihitung waktu dan denyut jantungnya pada akhir tes. Jumlah denyut jantung permenit, waktu, berat badan dan jenis kelamin akan diperhitungkan untuk menentukan nilai VO2 maksimum responden. Metode Step Test yaitu responden naik turun bangku selama tiga menit kemudian dihitung denyut jantungnya pada akhir tes yang akan digunakan untuk mengestimasi nilai VO2 maksimum dengan mengacu pada tabel standar. Metode Astrand Rhyming Test prinsipnya hampir sama dengan metode Step Test tetapi menggunakan ergometer. Metode 12-Minute Swim Test prinsipnya hampir sama dengan metode Cooper Test, namun perlakuannya berbeda yaitu contoh berenang selama 12 menit sesuai kemampuan dan dicatat jarak yang berhasil ditempuh. Nilai VO2 max seorang atlet dan non atlet dapat dikategorikan berdasarkan umur dan jenis kelamin, dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3. Tabel 2 Normatif nilai VO2 maximum non atlet Umur Laki-laki 10-19 47-56 20-29 43-52 30-39 39-48 40-49 36-44 50-59 34-41 60-69 31-38 70-79 28-35 Sumber : Mackenzie (1997a) Tabel 3 Normatif nilai VO2 maximum atlet Jenis Olahraga Umur Bolabasket 18-30 Bersepeda 18-26 Senam 18-22 Sepakbola 22-28 Skating 18-24 Berenang 10-25 Atletik 18-39 Atletik 40-75 Bola voli 18-22 Angkat berat 20-30 Gulat 20-30 Sumber : Mackenzie (1997a) Perempuan 38-46 33-42 30-38 26-35 24-33 22-30 20-27 Laki-laki 40-60 62-74 52-58 54-64 56-73 50-70 60-85 40-60 Perempuan 43-60 47-57 35-50 50-60 44-55 40-60 50-75 35-60 40-56 38-52 52-65 Nilai VO2 max seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain, 1) kemampuan kimia dari sistem jaringan otot selular yang menggunakan oksigen dalam mengurai bahan bakar dan 2) kemampuan gabungan dari sistem kardiovaskular dan paru-paru untuk mengangkut oksigen ke sistem jaringan otot. 14 Status Kesehatan Pengertian sehat menurut WHO adalah keadaan sempurna baik fisik, mental, maupun sosial, tidak hanya bebas dari penyakit dan kecacatan (Notoatmodjo 2007). Menurut Slamet (1994) diacu dalam Fitriyani (2008), status kesehatan adalah keadaan seseorang pada waktu tertentu. Derajat kesehatan atau status kesehatan adalah tingkat kesehatan perorangan, kelompok atau masyarakat yang diukur dengan angka kematian, umur harapan hidup, status gizi, dan angka kesakitan (Depkes 1996). Hal ini serupa yang dikemukakan oleh Sukarni (1994) bahwa indikator yang berhubungan dengan derajat kesehatan antara lain umur harapan hidup sewaktu lahir, angka kematian bayi dan anak balita, status gizi dan angka kesakitan. Menurut UU Kesehatan No. 36 tahun 2009, kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Subandriyo (1993) menjelaskan bahwa status kesehatan dapat diukur dengan sebuah indikator kesehatan. Indikator yang dapat digunakan adalah angka kesakitan (morbiditas) dan angka kematian (mortalitas). Morbiditas lebih mencerminkan keadaan kesehatan sesungguhnya. Morbiditas berhubungan erat dengan berbagai faktor lingkungan, seperti perumahan, air minum, dan kebersihan serta faktor kemiskinan, kekurangan gizi serta pelayanan kesehatan di suatu daerah. Morbiditas dapat disebabkan oleh status gizi yang kurang, tetapi morbiditas juga dapat menyebabkan status gizi menjadi rendah. Kondisi sakit tentu akan mengganggu sistem metabolisme zat-zat di dalam tubuh sehingga pemanfatan zat gizi oleh sistem tubuh menjadi tidak optimal dan penurunan status gizi (Hardinsyah 2007). Menurut Sediaoetama (2006) kesehatan gizi yang rendah menyebabkan kondisi daya tahan tubuh menurun, sehingga berbagai penyakit dapat timbul dengan mudah. Seorang anak sehat tidak akan mudah terserang berbagai macam penyakit, termasuk penyakit infeksi karena daya tahan tubuh yang kuat. Daya tahan tubuh akan meningkat pada keadaan gizi yang baik dan akan menurun bila keadaan gizinya juga menurun. Angka kesakitan sangat sensitif dan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain tingkat pendidikan ibu, tingkat pelayanan kesehatan ibu dan anak, kondisi kesehatan lingkungan, status gizi dan perkembangan ekonomi (Subandriyo 1993).