I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis (Depkes, 2006). Kondisi tubuh yang sehat akan tercapai ketika seluruh bagian tubuh berada dalam keadaan sehat, termasuk kesehatan mulut. Kesehatan mulut integral terhadap kesehatan umum dan penting untuk kesejahteraan individu. Keadaan bebas dari penyakit pada mulut, gigi dan jaringan kraniofasial membuat kita dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa masalah, menyediakan perlindungan terhadap infeksi mikrobial dan ancaman lingkungan. Penyakit mulut akan mengganggu aktivitas individu sehingga menyebabkan banyak waktu produktif terbuang dan dalam segi psikososial dapat secara signifikan mengurangi kualitas hidup (Petersen, 2003). Status kesehatan gigi dan mulut pada umumnya dinyatakan dalam prevalensi karies dan penyakit periodontal. Penyakit ini hampir dialami seluruh masyarakat dunia (Carranza, 2006). Sekitar 60-90% anak sekolah dan banyak orang dewasa terpengaruh oleh karies gigi yang menjadi masalah kesehatan mulut utama yang terjadi pada banyak negara. Karies merupakan penyakit mulut dengan prevalensi paling tinggi pada beberapa negara Asia dan Amerika Latin, namun pada beberapa negara seperti Inggris, Denmark, Swedia, Norwegia, Skotlandia, Belanda, Selandia Baru, Irlandia dan Amerika Serikat terlihat adanya penurunan tingkat kejadian karies gigi (Hiremath, 2007). 1 2 Masalah karies di negara barat meningkat pada awal abad ke 19 dan cenderung menurun pada akhir dekade abad ke 19, sedangkan di negara berkembang, akibat perkembangan di bidang industri dan perubahan pola kebiasaan makan, penyakit karies cenderung meningkat di dalam masyarakat. Pengalaman karies (caries experience) atau status kesehatan gigi pada gigi permanen dapat dinilai dengan menggunakan indeks DMF-T (Decayed Missing Filled Teeth). WHO Global Data Bank menyatakan terjadinya penurunan DMF-T di beberapa negara industri dan peningkatan DMF-T di negara-negara berkembang (Marya, 2011). Indikator kesehatan gigi yang sering digunakan adalah Indeks DMF-T yang merupakan penjumlahan dari indeks D-T, M-T, dan F-T yang menunjukkan banyaknya kerusakan gigi yang pernah dialami seseorang. Decay/D merupakan jumlah gigi permanen yang mengalami karies atau gigi berlubang yang belum diobati atau ditambal, Missing/M merupakan jumlah gigi permanen yang dicabut atau masih belum berupa sisa akar, dan Filling/F adalah jumlah gigi permanen yang telah dilakukan penumpatan atau ditambal (Kidd, 2005). Menurut Riskesdas (2013), indeks DMF-T Indonesia untuk semua umur sebesar 4,6 dengan nilai masing-masing:D-T=1,6; M-T=2,9; F-T=0,08; yang berarti kerusakan gigi penduduk Indonesia 460 buah gigi per 100 orang. Sebanyak 15 provinsi memiliki prevalensi diatas prevalensi nasional, termasuk D.I. Yogyakarta dengan nilai indeks DMF-T sebesar 5,9. Indeks DMF-T juga menunjukkan nilai yang lebih tinggi pada perempuan yaitu sebesar 5,0 dibanding laki-laki yang bernilai 4,1. Indeks DMF-T di Indonesia cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya umur yaitu sebesar 1,4 pada kelompok umur 12 3 tahun, kemudian 1,5 pada umur 15 tahun, 1,6 pada umur 18 tahun. Demikian pula pada umur 34-44 tahun yang bernilai sebesar 5,4, umur 45-54 tahun sebesar 7,9, umur 55-63 tahun sebesar 12,3 dan umur ≥ 65 tahun sebesar 18,9. Pada Riskesdas (2007), D.I. Yogyakarta juga termasuk kedalam 10 provinsi dengan pengalaman karies tertinggi. Begitu pula dengan prevalensi kesehatan gigi dan mulut anak, prevalensi karies aktif, serta indeks DMF-T, provinsi D.I Yogyakarta masuk kedalam kategori tinggi. Hal ini membuktikan bahwa kesehatan gigi mulut masyarakat D.I. Yogyakarta buruk. Masalah tingginya angka penyakit gigi dan mulut saat ini dipengaruhi oleh faktor perilaku masyarakat. Perilaku masyarakat erat hubungannya dengan tingkat pengetahuan masyarakat mengenai kesehatan gigi dan mulut. Perilaku seseorang biasanya dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor keturunan atau genetik dan faktor lingkungan. Faktor keturunan merupakan bawaan dari seseorang yang melekat pada dirinya sebagai warisan dari orang tua, termasuk emosi, kemampuan sensasi dan kemampuan berpikir (kecerdasan). Faktor lingkungan adalah lingkungan tempat seseorang berada dan tinggal, dimulai dari lingkungan keluarga, lingkungan tempat tinggal, lingkungan bermain dan lingkungan sekolah bagi usia sekolah (Herijulianti, dkk., 2002). Perilaku biasanya diadopsi dari rumah dan lingkungan sekitar pada saat usia muda (Christensen, 2004). Anak memerlukan pengetahuan dari sumber lain dan dukungan sosial dari orang tua mereka, teman-teman dan orang-orang sekitar di kehidupan sehari-harinya apabila ingin mengubah kebiasaan yang telah terbentuk (Daly, dkk., 2002). Karies dan penyakit mulut lainnya memiliki kaitan 4 yang erat dengan perilaku pada anak usia sekolah sehingga mengindikasikan bahwa perilaku merupakan salah satu kausa penyakit mulut (Tolvanen, 2011). Umumnya keadaan kebersihan mulut anak lebih buruk dibanding orang dewasa. Hal ini dikarenakan anak lebih banyak mengkonsumsi makanan dan minuman yang menyebabkan karies serta jarang memperhatikan kesehatan mulutnya (Machfoedz dan Zein, 2005). Kondisi gigi dan mulut yang tidak terjaga dengan baik dapat menyebabkan masalah yang lain di sekitar mulut, diantaranya timbulnya gigi yang berlubang, sakit gigi, karang gigi, plak gigi, peradangan pada gusi, sariawan, dan kelainan-kelainan yang lain disekitar gigi (Setyaningsih, 2007). Praremaja (usia 10-12 tahun) merupakan masa kritis untuk adopsi, pemeliharaan, dan perbaikan gaya hidup meningkatkan kesehatan. Perilaku kesehatan yang terbentuk selama masa kanak-kanak dan praremaja sulit untuk diubah setelah masa remaja. Perilaku menjaga kesehatan mulut yang baik seperti menyikat gigi dua kali sehari dan kebiasaan diet yang positif juga efektif dimulai ketika anak usia sekolah belajar dan mengadopsi perilaku ini. Perilaku ini harus diadopsi sebelum masa remaja, mengingat anak praremaja yang menyikat gigi setidaknya dua kali sehari akan memiliki pola yang lebih stabil dalam perilaku kesehatan mulut selama tahun-tahun selanjutnya daripada orang-orang dengan pola tidak teratur (Cinar, 2008). Menurut WHO (2013), usia 12 tahun sangat penting karena usia ini adalah usia dimana anak-anak secara umum akan meninggalkan sekolah dasar, sehingga pada banyak negara, usia ini banyak digunakan sebagai sampel yang dapat dengan 5 mudah diperoleh melalui sistem sekolah. Pada usia ini biasanya semua gigi permanen telah tumbuh kecuali gigi molar ketiga. Alasan inilah yang menyebabkan usia 12 tahun menjadi indikator global untuk perbandingan internasional dan survei terhadap tren penyakit. Kesehatan gigi mulut anak dapat dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya adalah faktor keluarga dan karakterisitik keluarga. Faktor keluarga meliputi komposisi keluarga, status sosioekonomi, dan praktek serta sikap orangtua terhadap kesehatan. Keluarga memberikan dukungan dan teladan kepada anak sehingga mempengaruhi kesehatan mulut anak secara langsung dan tidak langsung (Fisher-Owens, dkk., 2007). Sikap orang tua terhadap kesehatan mulut memiliki pengaruh yang kuat terhadap perilaku kesehatan mulut seorang anak. Ibu yang secara relatif menghabiskan waktu yang lebih banyak dalam berinteraksi, merawat, dan melatih anak memiliki perilaku yang akan mempengaruhi kesehatan mulut anak. Sikap positif ibu memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perilaku menyikat gigi anak dan pencapaian kesehatan gigi anaknya (Adair, dkk., 2004). Setiap faktor orang tua terkait, seperti pengetahuan orang tua tentang kesehatan mulut, sikap, dan perilaku, dapat dipertimbangkan membentuk perilaku kesehatan gigi dan mulut anak-anak mereka. Perilaku kesehatan mulut pada anak tidak bisa mengesampingkan pengaruh dari ibunya (Saied-Moallemi, dkk., 2008). Kebersihan mulut sangatlah penting untuk kesehatan gigi dan mulut maka adalah suatu hal yang bijaksana untuk memberikan masyarakat pedoman yang memadai tentang perilaku kesehatan gigi dan mulut anak-anak dan hubungannya terhadap karies gigi. Adopsi kebiasaan perilaku yang konsisten di masa kecil 6 dimulai di rumah, dengan orang tua, terutama ibu, memainkan peran penting dalam perilaku kesehatan mulut anak. Orang tua harus diberitahu bahwa kebiasaan kesehatan gigi mereka akan mempengaruhi kesehatan mulut anak-anak mereka. Hal ini membantu untuk mengatasi faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan gigi dan mulut anak-anak dalam rangka mengembangkan dan melaksanakan tindakan kesehatan masyarakat komplementer yang difokuskan pada perilaku anak-anak dan orangtua, dalam upaya untuk mencapai kesehatan mulut dan kualitas hidup yang lebih baik (Castilho, dkk., 2013). Usia ibu, domisili, tingkat pendidikan, pekerjaan, tingkat kecemasan, pengetahuan tentang kesehatan mulut, pola pemanfaatan perawatan gigi dan status kesehatan mulut ibu mempengaruhi status kesehatan gigi anak, dan pola perilaku serta sikap anak terhadap kesehatan gigi dan mulut. Mengingat pengaruh faktorfaktor ibu ini maka setiap usaha dalam program kesehatan mulut harus melibatkan ibu untuk mencapai kesehatan mulut anak yang lebih baik (Raj dan Vaibhav, 2012). B. Rumusan Masalah Apakah terdapat hubungan antara karakteristik ibu dengan status karies dan perilaku kesehatan gigi mulut anak? C. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian mengenai hubungan karakteristik ibu dengan kesehatan gigi mulut yang telah dilakukan, yaitu: 7 1. Sufia, dkk (2009) melakukan penelitian dengan judul Maternal Factors and Child Dental Health. Variabel pengaruhnya adalah umur ibu, tingkat pengetahuan, pendidikan, pekerjaan dan pendapatan ibu, variabel terpengaruh adalah perilaku kesehatan dental dan pengalaman karies anak. Penelitian ini dilakukan di Distrik Lahore, Pakistan. 2. Mattila, dkk (2000) dengan judul Caries in Five-year old Children and Associations with Family-related Factors. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi karies gigi dengan prediksi pengaruh faktor sosiodemografik dan keluarga mempengaruhi kebiasaan perawatan gigi. Penelitian ini dilakukan di Provinsi Tuku dan Pori, sebelah barat daya Finlandia. 3. Amalia (2007) dengan judul Hubungan antara Penggunaan Susu Botol, Tingkat Pendidikan Orang Tua, Tingkat Sosial Ekonomi Orang Tua, Pengetahuan Ibu, dan Kebiasaan Menyikat Gigi dengan Early childhood Caries. Variabel pengaruh adalah penggunaan susu botol, tingkat pendidikan orang tua, tingkat sosial ekonomi orang tua, pengetahuan ibu, dan kebiasaam menyikat gigi dengan variabel terpengaruh adalah terjadinya ECC (Early Childhood Caries). Penelitian ini dilakukan di Grobogan, Yogyakarta. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah variabel pengaruh yang digunakan yaitu karakteristik ibu, sedangkan terpengaruhnya adalah status dan perilaku kesehatan gigi anak. variabel 8 D. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui faktor risiko kejadian karies gigi pada anak anak 2. Mengetahui hubungan antara karakteristik ibu dengan perilaku kesehatan gigi dan mulut anak E. Manfaat Penelitian 1. Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai karakteristik ibu yang berhubungan dengan status karies dan perilaku kesehatan gigi mulut anak 2. Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi Ilmu Kedokteran Gigi pada umumnya dan Ilmu Kedokteran Gigi Masyarakat pada khususnya