Aplikasi Bakteri Lactobacillus plantarum IB1 pada

advertisement
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Patin (Pangasius sp.)
Ikan patin memiliki bentuk tubuh memanjang dengan dominan warna putih
berkilauan seperti perak dan punggung berwarna kebiru – biruan. Panjang tubuh
ikan patin dewasa dapat mencapai 120 cm dan tidak bersisik. Kepala relatif kecil
dengan mulut terletak di ujung kepala sebelah bawah. Pada sudut mulut terdapat
dua pasang kumis pendek yang berfungsi sebagai alat peraba saat berenang
ataupun mencari makan (Khairuman & Sudenda 2009).
Klasifikasi ikan patin menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut :
Kingdom
: Animalia
Phyllum
: Chordata
Sub Phyllum : Vertebrata
Kelas
: Pisces
Sub Kelas
: Teleostei
Ordo
: Ostariophysi
Sub Ordo
: Siluroidea
Famili
: Pangasidae
Genus
: Pangasius
Spesies
: Pangasius sp.
Ikan patin di alam bebas biasanya selalu bersembunyi di dalam liang – liang
di tepi sungai dan keluar pada malam hari sesuai dengan sifat hidupnya yang
nocturnal. Ikan patin tergolong ikan demersal yang dibuktikan dengan bentuk
mulut yang melebar dan termasuk omnivora (Khairuman & Sudenda 2009).
Morfologi ikan patin dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Morfologi ikan patin (Pangasius sp.)
(http://images.google.co.id).
6
Komposisi kimia ikan bervariasi tergantung dari spesies, jenis kelamin,
umur, musim penangkapan, kondisi ikan dan habitat. Komposisi kimia ikan patin
per 100 g daging ikan yaitu terdiri dari air sebanyak 74,4 %, protein 17%, lemak
6,6% dan abu 0,9%. Dilihat dari kandungan komposisi protein dan lemaknya,
ikan patin tergolong ikan berprotein tinggi dan berlemak sedang (KEMENKES RI
2001). Bobot ikan patin yang disiangi sebesar 79,7% dari bobot awal dan berat
fillet sekitar 61,7% dari bobot ikan patin (Khairuman & Sudenda 2009).
2.2
Protein dan Asam Amino Pada Ikan
Protein pada daging ikan dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu protein
sarkoplasma, protein myofibril dan protein stroma. Protein myofibril adalah
protein yang terdapat pada benang daging (myofibril dan myofilamen). Protein ini
termasuk tipe protein globulin, seperti myosin, aktin dan tropomyosin, dan
berperan penting pada kontraksi dan relaksasi daging ikan. (Xiong 1997). Park
(2005) mengemukakan bahwa protein myofibril sangat berperan dalam
penggumpalan dan pembentukan gel pada daging ikan yang diolah. Menurut
Samejima et al. (1981) myosin memiliki kemampuan mempengaruhi gelasi akibat
pemanasan. Sano et al. (1988) mengatakan bahwa ada dua tahap gelasi myosin
selama pemanasan yaitu tahap pertama terjadi pada suhu 4-41 oC dan tahap kedua
terjadi pada suhu 51-80 oC.
Pada daging lumat dilakukan pencucian yang merupakan tahap penting
untuk menghilangkan protein larut air yakni protein sarkoplasma yang dapat
mempengaruhi kemampuan pembentukan gel. Protein sarkoplasma akan
menganggu cross-linking myosin selama pembentukan matriks gel sebab protein
ini tidak dapat membentuk gel dan memiliki kapasitas pengikatan yang rendah
(Hall & Ahmad 1992).
Daging lumat yang telah mengalami proses pencucian dinamakan surimi.
Menurut Lanier (1992) surimi adalah hancuran daging ikan yang dicuci berulang
kali dan dicampur dengan cryoprotectant untuk mencegah terjadinya denaturasi
protein selama penyimpanan beku. Surimi memiliki tekstur, gel dan sifat pengikat
yang baik. Surimi mentah yang tidak mengalami proses pembekuan disebut
dengan na-ma surimi.
7
Mutu surimi yang berasal dari ikan air tawar lebih baik daripada surimi
yang berasal dari ikan laut. Hal ini disebabkan kandungan daging berwarna gelap
di dalam ikan laut lebih banyak. Daging ikan yang berwarna gelap sangat rentan
kestabilan mutunya karena tingginya kandungan histidin yang dengan cepat dapat
berubah menjadi histamin setelah ikan mati. Selain itu di dalam daging berwarna
gelap banyak terdapat hemoglobin dan myoglobin yang dapat mempengaruhi
kualitas mutu surimi yang dihasilkan (Suzuki 1981).
Protein pada daging ikan cukup tinggi yakni mencapai 20% dan tersusun
atas sejumlah asam amino esensial maupun non esensial (Adawyah 2008). Asam
amino esensial terdiri dari leusin, isoleusin, valin, triptofan, fenilalanin, metionin,
treonin, lisin dan histidin. Sedangkan asam amino tidak esensial yakni glutamat,
alanin, aspartat dan glutamin. Asam amino non esensial tidak bersyarat yaitu
prolin, serin, arginin, tirosin, sistein, trionin dan glisin. Dikatakan asam amino
esensial tidak bersyarat karena asam amino ini diperlukan dalam makanan sehari
– hari,
kecuali bila prekusornya berada dalam jumlah banyak dalam tubuh
sehingga memungkinkan sintesisnya pada saat dibutuhkan (Almatsier 2006).
Komposisi asam amino pada beberapa ikan tawar dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Kandungan asam amino pada beberapa ikan air tawar
Asam amino
Alanin
Arginin
Asam Aspartat
Asam Glutamat
Glisin
Histidin
Isoleusin
Leusin
Lisin
Metionin
Fenilalanin
Prolin
Serin
Treonin
Valin
Tirosin
Sistein
Triptofan
C. angulliaris*
(mg/g)
24,8
47,8
70,4
118
31,1
11,8
25,8
64,7
50,2
23,4
38,7
24,5
19,2
20,8
28,0
24,6
7,3
-
Sumber : * : Adeyeye (2009)
** : Suryanti (2009)
O. niloticus *
(mg/g)
30,8
49,5
60,1
108
25,9
21,4
29,8
60,0
43,2
24,0
40,6
24,5
21,8
22,8
21,9
32,1
9,5
-
P. hypothalamus **
(mg/g)
8,8
2,6
11,3
16,1
7
3,1
4,6
5,3
4,9
3
3,6
4,5
4,1
8,8
5,5
3,2
1,5
8
2.3
Asam Amino Bebas
Asam amino bebas memproduksi senyawa volatil yang berperan dalam
karakteristik flavor pada dry sausage. Toldra (2006) mengemukakan bahwa
selama proses ripening, aktivitas enzim endopeptidase (catepcin) terlibat dalam
pemecahan sarkoplasma dan protein myofibril, sedangkan exopeptidase (di dan
tri-peptidyl peptidase, amino peptidase) melakukan degradasi protein yang
umumnya menghasilkan peptida dan asam amino bebas. Cordoba et al. (1994)
dan Martuscelli et al. (2009) mengatakan bahwa dari sudut pandang sensori, asam
amino bebas berpengaruh terhadap rasa produk daging yang telah matang, sebab
senyawa tersebut bertindak sebagai prekusor yang berkontribusi terhadap
pembentukan rasa asam, manis dan pahit.
Martuscelli et al. (2009) mengatakan bahwa asam amino bebas utama yang
merupakan hasil dari proses curing diantaranya adalah alanin, leusin, valin,
arginin, lisin, glutamin dan asam aspartat. Nilai asam amino bebas tergantung
pada aktivitas aminopeptidase dan tipe dari produk daging. Senyawa ini tidak
hanya langsung berhubungan dengan atribut karakteristik flavor dan rasa pada
produk daging, tetapi juga sebagai prekusor flavor yang terlarut dalam air.
2.4
Asam Lemak
Asam lemak adalah senyawa alifatik dengan gugus karboksil. Bersamaan
dengan gliserol, merupakan penyusun utama minyak nabati atau lemak dan
merupakan bahan baku untuk semua lipida pada makhluk hidup. Asam lemak bisa
berbentuk bebas (lemak yang terhidrolisis) maupun terikat sebagai gliserida.
Asam lemak terdiri dari asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh. Asam
lemak jenuh memiliki ikatan tunggal di antara atom karbon penyusunnya,
sedangkan asam lemak tak jenuh memiliki paling sedikit satu ikatan ganda di
antara atom karbon penyusunnya (http://id.wikipedia.org/wiki/asam lemak).
Asam stearat atau asam oktadekanoat adalah asam lemak jenuh yang
terdapat dalam lemak dan minyak dari hewan. dengan rumus kimia C 18 H 36 O 2 ,
mudah
diperoleh
dari
lemak
hewani.
Asam
stearat
diproses
dengan
memperlakukan lemak hewan dengan air pada suhu dan tekanan tinggi. Asam ini
dapat pula diperoleh dari hidrogenasi minyak nabati. Reduksi asam stearat
menghasilkan stearil alkohol (http://id.wikipedia.org/wiki/asam_stearat). Asam
9
palmitat adalah asam lemak jenuh yang tersusun dari 16 atom karbon
(CH 3 (CH 2 ) 14 COOH). Asam palmitat merupakan produk awal dalam proses
biosintesis asam lemak (http://id.wikipedia.org/wiki/asam_palmitat).
Asam lemak oleat tersusun dari 18 atom C dengan satu ikatan rangkap di
antara atom C ke-9 dan ke-10, rumus kimia CH3(CH2)7CHCH(CH2)7)COOH,
dihasilkan dari fraksinasi asam lemak yang diperoleh dari proses pengubahan
minyak menjadi asam lemak. Dalam hal ini proses yang digunakan adalah proses
hidrolisa. Asam Oleat dapat juga dihasilkan dari fraksinasi asam lemak yang
diperoleh dari hidrolisis lemak. Asam oleat mudah terhidrogenisasi, bersifat
hidrolisis dan memiliki aroma yang khas. Sedangkan asam linoleat adalah asam
lemak tak jenuh omega-6. secara fisiologis disebut 18:2 (n-6). Secara kimiawi
asam linoleat adalah asam yang berantai karbon 18 pada rantai karbon dan 2 cis
ikatan rangkap. Rumus Kimia Asam Linoleat : C18H32O2
(http://id.wikipedia.org/wiki/asam_lemak).
Mikroba yang terdapat pada bahan pangan berlemak termasuk jenis mikroba
non patogen. Bahan pangan yang mengalami perubahan dengan menghasilkan
citarasa tidak enak, disebabkan mikroba tersebut menghasilkan enzim yang dapat
memecahkan protein dalam bahan pangan berlemak, seperti senyawa indol,
skatol, hydrogen sulfit, metilamin dan ammonia. Selain itu pada bahan pangan
tersebut juga dapat mengalami perubahan warna (discoloration) (Ketaren 2005).
Sosis fermentasi umumnya mengandung lemak tinggi sekitar 50% dari
bahan kering. Beberapa produk sosis fermentasi lainnya mempunyai kandungan
lemak yang rendah yaitu sekitar 5%. Penggunaan lemak yang berasal dari pangan
hewani dan nabati pada sosis fermentasi sebaiknya masih dalam keadaan segar,
sebab bila terjadi proses oksidasi akan sangat mempengaruhi masa simpan dan
menyebabkan ketengikan awal pada produk berbahan lemak tersebut apabila tidak
dalam keadaan segar (Hammes et al. 2003).
Pada sosis fermentasi menggunakan minyak jagung yang termasuk pada
asam lemak tidak jenuh salah satunya bertujuan untuk memperbaiki tekstur dan
citarasa. Asam lemak tidak jenuh seperti asam oleat banyak terkandung pada
minyak jagung, yakni 30,1% dan asam linoleat yakni 56,8%. Sedangkan asam
10
lemak jenuh yang menyusun trigliserida minyak jagung adalah asam palmitat dan
asam stearat yakni sekitar 13% (Ketaren 2005).
Asam lemak tidak jenuh seperti minyak jagung mudah mengalami oksidasi.
Menurut Gordon (2001) asam lemak tidak jenuh sangat berpotensi mengalami
dekomposisi secara autooksidasi (Gordon 2001). Zhang et al. (2010) mengatakan
bahwa oksidasi lemak pada produk daging merupakan reaksi yang memperburuk
flavor, warna, tekstur dan nilai nutrisi pada produk tersebut. Salah satu cara
mengantisipasi hal tersebut adalah pemakaian bumbu yang mengandung
antioksidan untuk memperlambat oksidasi lemak.
2.5
Bakteri Asam Laktat
Bakteri asam laktat terdiri dari genus Lactobacillus, Leuconostoc,
Pediococcus dan Streptococcus. Bakteri tersebut termasuk bakteri Gram positif,
tidak berspora, anaerobik, bentuk coccus (bulat) dan basil (batang) serta
umumnya menghasilkan asam laktat selama fermentasi karbohidrat, dapat
berasosiasi dengan bakteri lain pada makanan dan makanan fermentasi, termasuk
dengan bakteri lain yang menempel pada permukaan mukosa di tubuh manusia
dan hewan (Axelsson 2004).
Berdasarkan aktivitas metabolisme, bakteri asam laktat dikelompokkan ke
dalam dua sub grup yaitu homofermentatif dan heterofermentatif. Bakteri asam
laktat homofermentatif melibatkan jalur Embden Meyerhof, yaitu glikolisis,
menghasilkan asam laktat, 2 mol Adenosin Tri Phosphate (ATP) dari 1 molekul
glukosa/heksosa
dalam
kondisi
normal,
tidak
menghasilkan
CO 2
dan
menghasilkan biomassa dua kali lebih banyak daripada bakteri asam laktat
heterofermentatif. Sedangkan bakteri asam laktat yang termasuk pada sub grup
heterofermentatif menghasilkan asam laktat bersamaan dengan asam asetat,
karbon dioksida dan senyawa diasetil (Surono 2004). Caplice dan Fitzgerald
(1999) mengemukakan bahwa fermentasi melalui jalur Embden–Meyerhof–
Parnas menghasilkan dua mol laktat pada bakteri asam laktat homofermentatif
dibandingkan dengan bakteri asam laktat heterofermentatif yang hanya
menghasilkan asam laktat dan etanol.
11
Jalur Embden–Meyerhof–Parnas pada bakteri asam laktat homofermentatif
dan heterofermentatif ditunjukkan pada Gambar 2.
Gambar 2 Jalur Embden–Meyerhof–Parnas pada bakteri asam laktat
homofermentatif dan heterofermentatif (Caplice & Fitzgerald
1999).
Bakteri asam laktat digolongkan berdasarkan fermentasi yang dilakukan
terdiri dari homofermentatif dan heterofermentatif. Perbedaan genus pada
beberapa bakteri asam laktat dikaitkan dengan sifat fermentasinya dapat dilihat
pada Tabel 2.
Tabel 2 Perbedaan antara genus dalam bakteri asam laktat
Genus
Streptococcus
Leuconostoc
Pediococcus
Lactobacillus
Enterococcus
Lactococcus
Bentuk sel
bulat berantai
bulat berantai
bulat dalam empat
batang berantai
batang berantai
bulat berantai
bulat berantai
Sumber : Madigan et al. (1997) diacu dalam Surono (2004)
Fermentasi
homofermentatif
heterofermentatif
homofermentatif
homofermentatif
heterofermentatif
homofermentatif
homofermentatif
12
Bakteri asam laktat dikenal sebagai bakteri yang aman untuk pangan
(Generally Recognised As Safe (GRAS)) dan banyak dimanfaatkan sebagai kultur
starter pada produk pangan fermentasi, salah satunya pada produk fermentasi
daging. Bakteri ini berperan penting sebagai pengawet juga berkemampuan
membentuk produk yang bercitarasa khas (Hammes et al. 2003).
Hasil penelitian Todorov et al. (2007) melaporkan bahwa bakteri asam
laktat L. plantarum dapat digunakan sebagai kultur starter untuk pembuatan sosis
fermentasi daging dengan jumlah koloni bakteri 106 CFU/mL. Selanjutnya
dikatakan bahwa kultur starter selain dari genus Lactobacillus, juga dapat berasal
dari genus Pediococcus, Leuconostoc dan Carnobacterium yang bersifat sebagai
bakteriosinogenik. Hal ini didukung penelitian sebelumnya oleh Ishibashi dan
Shimamura (1993) diacu dalam Rebucci et al. (2007) yang mengatakan bahwa
bakteri asam laktat yang digunakan pada produk daging akan dapat menghambat
bakteri patogen dengan jumlah koloni bakteri ±107 CFU/g atau /mL.
Molin (2003) di Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology
mendeskripsikan bakteri L. plantarum berbentuk batang, tumbuh pada suhu 15oC
sampai pada 45oC, dinding sel mengandung asam teikoat, peptidoglikan tipe mdiaminopalemik, isomer dari asam laktat (DL asam laktat). Bakteri L. plantarum
tidak mampu memproduksi NH 3 dari arginin serta memanfaatkan pentosa melalui
induksi dari fosfoketolase. Beberapa jenis strain bakteri L. plantarum yang
berbeda, berkemampuan untuk memfermentasi karbohidrat yang berbeda pula.
Menurut Hamm et al. (2008) bakteri L. plantarum berbentuk basil (batang)
pendek, Gram positif, katalase negatif, tidak membentuk spora, tidak membentuk
sitokrom, aerotoleran, anaerobik, membutuhkan nutrisi yang kompleks (asam
amino, vitamin B 1 , B 2 , B 12 , biotin, purin dan pirimidin. Selain itu tergolong
homofermentatif dengan memproduksi utama asam laktat (>85% dari glukosa),
tidak menghasilkan gas dari glukosa, mempunyai enzim aldolase, tidak
mempunyai fosfoketolase, mampu tumbuh pada suhu minimum 15oC, maksimum
45oC dan optimum 37oC (Hamm et al. 2008). Menurut Molin et al. (2003) bakteri
L. plantarum mengandung mol % DNA guanin sitosin (G+C) yaitu 44-46%.
Selain itu bakteri L. plantarum tidak hanya mampu memfermentasi heksosa dan
13
pentose dengan memproduksi ± 1 mol laktat, asetat dan CO 2 /mol pentosa, namun
juga memanfaatkan beberapa asam organik seperti malat, tartarat dan asam sitrat.
Vries et al. (2006) mengemukakan bahwa beberapa spesies Lactobacillus
yang digunakan pada fermentasi pangan, dapat hidup dalam usus manusia,
termasuk bakteri asam laktat spesies L. crispatus, L. gasseri dan L. plantarum.
Bakteri L. plantarum mampu hidup pada saluran pencernaan manusia (GI-tract).
Misalnya L. plantarum strain WCFSI. Pada beberapa strain L. plantarum dapat
berfungsi sebagai probiotik, misalnya pada produk yang sudah dikomersilkan
dalam bentuk kapsul (IFlora Acidophilus Formula, Probiotic Eleven), minuman
(Proviva, Lactovitale), dan powder/gel (Probios).
Menurut World Health Organization, probiotik merupakan mikroorganisme
hidup yang apabila dikonsumsi dapat memberikan manfaat pada inang (host).
Salah satu syarat mikroorganisme dikatakan memiliki fungsi probiotik apabila
berkelangsungan hidup pada saluran pencernaan dan aman dikonsumsi (Gilliland,
Morelli & Reid 2001 diacu dalam Vries et al. (2006).
Molenaar et al. (2005) mengemukakan bahwa bakteri L. plantarum memiliki
strain yang berbeda, namun mampu menghasilkan antimikroba plantaricin, nonribosom peptida atau exopolysakarida yang dapat dideteksi melalui DNA-mikroarray. Misalnya deteksi dengan membandingkan 20 strain L. plantarum yang
menunjukkan ada dan tidak terdapatnya DNA yang berbeda.
Saisithi et al. (1986) diacu dalam Riebroy et al. (2008) mengemukakan
bahwa bakteri asam laktat L .plantarum selain L. brevis, L. fermentum dan
Pediococcus pentosaceus berperan dalam menghambat pertumbuhan bakteri
Listeria monocytogenese dan E.coli O157:H7, sebab menghasilkan senyawa
antimikroba bacteriocin.
Bakteri L. plantarum strain 299 (DSM 6595) and 299v (DSM 9843) dapat
hidup pada mukosa saluran pencernaan, yang diperlihatkan secara in vitro
memiliki aktivitas antimikroba, berpotensi menghambat pertumbuhan bakteri
Listeria monocytogenes, Bacillus cereus, E. coli, Yersinia enterocolitica,
Citrobacter freundii, Enterobacter cloacae dan Enterococcus faecalis.
Bakteri asam laktat yang ditambahkan pada pembuatan sosis fermentasi
menghasilkan senyawa antimikroba atau bacteriocin yang dapat menghambat
14
pertumbuhan bakteri Gram negatif atau bakteri yang termasuk pada kelompok
Enterobacteriaceae (Vuyst & Vandamme 1994 & Charlier et al. (2009). Hasil
penelitian Todorrov et al. (2010) melaporkan bakteri L. plantarum menghasilkan
bacteriocin bacST202Ch dan bacST216Ch yang diisolasi dari sosis fermentasi
Beloura and Chouriço yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk
pada daging berupa bakteri Gram positif dan Gram negatif.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Vuyst dan Leroy (2007) melaporkan
bahwa bacteriocin adalah antimikroba berupa peptida atau protein yang dihasilkan
dari bakteri asam laktat yang memiliki kemampuan untuk membunuh atau
menghambat pertumbuhan pada beberapa bakteri. Dalam hal ini termasuk
menghambat mikroba pembusuk seperti Listeria monocytogenes dan mikroba
patogen seperti S. aureus, E. coli dan Salmonella sp. Selanjutnya dikatakan bahwa
bacteriocin terdiri atas tiga klasifikasi yaitu: kelas I berupa lantibiotik, berukuran
kecil (<5kDa), peptida mengandung asam amino lantionin, a-methyl lantionin,
dehydroalanin dan dehydrobutyrin ; kelas II berukuran kecil (<10 kDa), stabil
terhadap panas, non-lantionin, mengandung peptida, pada kelas IIa termasuk
pediocin-bacteriocin aktif, kelas IIb memiliki dua-peptida bacteriocin dan kelas
IIc bacteriocin berbentuk bulat; kelas III berukuran besar (>30 kDa), labil
terhadap panas, proteolitik, hidrolase murein. Sebagian besar kelas I dan II
merupakan bacteriocin yang aktif berukuran nano
yang
menyebabkan
permeabilisasi membran yang mengarah pada disipasi membran potensial dan
kebocoran ion, ATP dan molekul penting lainnya.
Srionnual et al. (2007) mengatakan bahwa bacteriocin yang dihasilkan
oleh bakteri asam laktat berasal dari genus Lactobacillus, Enterococcus dan
Leuconostoc. Bakteri asam laktat L. plantarum strain tertentu dapat menghasilkan
antimikroba bacteriocin yaitu plantaricin AS EF dan plantaricin JK.
Rantsiou et al. (2005) mengemukakan bahwa bakteri asam laktat berperan
sebagai bioproteksi dan biopreservasi yang dapat meningkatkan keamanan pada
sosis fermentasi daging sebab menghasilkan antimikroba bacteriocin. Hal ini
didukung oleh Khan et al. (2010) yang mengemukakan bahwa bacteriocin
digunakan untuk pengawetan produk daging dan sayuran dengan cara
menghambat bakteri patogen dan pembusukan makanan.
15
Espinoza dan Navarro (2008) mengemukakan bahwa bakteri asam laktat
L.plantarum selain memanfaatkan karbohidrat untuk melakukan fermentasi, juga
memanfaatkan asam amino esensial dan vitamin untuk pertumbuhannya. Rowan
et al. (1998) diacu dalam Visessanguan et al. (2006) menyatakan bahwa hasil
metabolism fermentasi bakteri asam laktat
ditandai dengan menurunnya pH,
disebabkan oleh senyawa rantai pendek asam organik, karbondioksida, hidrogen
peroksida, diasetil yang berfungsi sebagai senyawa antimikroba.
2.6
Bakteri Patogen
Even et al. (2010) mengemukakan bahwa Staphylococci yang terdiri dari 41
jenis, dikelompokkan ke dalam grup Koagulase-Positif (CPS) dan KoagulaseNegatif (CNS). Salah satu grup CPS adalah bakteri Staphylococcus aureus,
bersifat patogen pada manusia dan menyebabkan terjadinya berbagai penyakit
terutama keracunan makanan yang terkontaminasi oleh bakteri ini, sebab bakteri
tersebut akan memproduksi Staphylococcal Enterotoksin (SEs) yang mencemari
bahan makanan. Charlier et al. (2009) mengemukakan bahwa bakteri S. aureus
dapat tumbuh pada kisaran pH 4,6-10 dengan pertumbuhan optimum pada pH
netral yaitu 6-7. Bakteri ini dapat tumbuh pada kisaran nilai a w 0,83-0,99 dan
tumbuh optimum pada a w 0,99.
Sosis fermentasi dapat terkontaminasi dengan bakteri Staphylococcus
aureus, misalnya pada jenis salami Genoa, dry sausage dan semi dry sausage.
Kaban dan Kaya (2006) dikemukakan bahwa bakteri S. aureus memiliki toleransi
hidup pada sosis fermentasi yang mengandung garam dan nitrat serta mampu
tumbuh pada kondisi anaerobik. Pada kondisi demikian, bakteri tersebut dapat
tumbuh dan memproduksi toksin pada makanan, sehingga terjadi keracunan
makanan.
Sinergisme asam organik tertentu misalnya asam asetat dan asam laktat
yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat akan menghambat pertumbuhan bakteri
Escherichia coli dan Salmonella sp. Penghambatan ini disebabkan oleh bakteri
asam laktat L. plantarum yang menghasilkan senyawa antimikroba hidrogen
peroksida. Melalui mekanisme laktoperoksidase, hidrogen peroksida dapat
menghambat pertumbuhan bakteri patogen seperti bakteri E.coli, Salmonella sp.
dan Staphylococcus (Vuyst & Vandamme 1994).
16
2.7
Kapang/Khamir
Kapang/khamir merupakan salah satu mikroorganisme yang dipengaruhi
oleh beberapa faktor pertumbuhan. Menurut Syarief dan Halid (1993) faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan kapang/khamir adalah aktivitas air (a w ), suhu
penyimpanan dan suhu pengolahan, ketersediaan oksigen, pH dan kandungan zat
gizi bahan pangan. Khamir pada umumnya menyukai bahan pangan yang
mempunyai kisaran a w 0,87-0,91, bahan pangan berkadar gula 65% atau
mengandung 15% NaCl.
Kapang/khamir dapat tumbuh pada sosis fermentasi selama penyimpanan.
Hal ini didukung oleh hasil penelitian Yin et al. (2002) dan Hu et al. (2008) yang
melaporkan bahwa kapang/khamir ditemukan pada sosis fermentasi ikan mackerel
dan silver carp selama penyimpanan.
Mikroflora biasanya yang mendominasi pada produk fermentasi daging
adalah jenis khamir dari genus Saccharomyces, Hansenula, Candida, Torulopsis,
Debaryomyces, Pichia, Kluyveromyces dan Cryptococcus. Khamir berkemampuan
untuk tumbuh pada a w yang rendah pada konsentrasi gula dan garam yang tinggi,
misalnya strain dari Hansenula anomala dan Debaryomyces hansenii yang
diisolasi dari produk daging asin dan sosis fermentasi ( Adams & Moss 2008).
Hasil penelitian sebelumnya oleh Abunyewa et al. (2000) melaporkan
bahwa jenis khamir yang terdapat pada sosis kering (salami) adalah Candida
parapsilosis, C. tropicalis, Debaryomyces hansenii, Rhodotorula mucilaginosa,
Yarrowia lipolytica, Cryptococcus albidus dan Crypt. Neoformans ditemukan
selama proses pembuatan dan pematangan.
Pada fermentasi daging koloni khamir dapat mencapai 2x105 cfu/g pada
pada hari ke-20. Khamir berkontribusi terhadap flavor pada produk tersebut.
Adanya aktivitas proteolisis pada proses fermentasi akan menghasilkan biogenik
amin (terdapat kandungan tiramin, histamin, putresin, kadaverin, feniletilamin dan
triptamin). Apabila pada produk tersebut juga terbentuk alkohol, maka keberadaan
keduanya secara bersamaan akan menyebabkan terjadinya keracunan makanan.
Hal ini disebabkan alkohol berpotensi member fasilitas terjadinya difusi
komponen amin melalui dinding usus dan ikut berperan dalam pemecahan
17
histamin. Kandungan histamin pada sosis fermentasi belum diatur dengan Standar
Internasional (Pais et al. 1999 & Abunyewa et al. 2000).
Keberadaan khamir yang melebihi 2x105 cfu/g (overgrowth) pada produk
sosis fermentasi, apabila dikonsumsi manusia dapat menimbulkan alergi, asma,
mudah lelah, berkurangnya daya ingat, gangguan pencernaan, diare, konstipasi
dan kembung (Abbas et al. 2000). Hal ini disebabkan tidak ada keseimbangan
antara bakteri di usus dan khamir (terjadi disbiosis), yang mengakibatkan
kemampuan penyerapan zat pada usus terganggu. Komponen berbobot molekul
besar yang harusnya tinggal dalam usus menjadi masuk kedalam dinding usus
tanpa hambatan. Potongan molekul yang besar ini dianggap sebagai antigen
(benda asing) oleh tubuh sehingga tubuh memproduksi suatu reaksi pertahanan
yang dikatakan sebagai reaksi alergi (Williamson 1998).
2.8
Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Mikroorganisme
Salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme adalah
pH, a w, suhu, suplai makanan, dan ketersediaan oksigen. Mikroorganisme
membutuhkan suplai makanan yang akan menjadi sumber energi dan unsur
lainnya seperti karbon, nitrogen, hidrogen, oksigen, sulfur, fosfor, magnesium, zat
besi untuk pertumbuhan sel. Karbon dapat diperoleh dari jenis gula karbohidrat
sederhana seperti glukosa. Kebutuhan nitrogen dapat diperoleh dari sumber
anorganik seperti (NH 4 ) 2 SO 4 atau NaNO 3 atau sumber organik seperti asam
amino dan protein (Buckle et al. 2009).
Mikroba lebih banyak membutuhkan air yaitu sekitar 70-80% untuk
beraktivitas. Air yang dibutuhkan oleh mikroorganisme dapat diperoleh melalui
a w (water activity), yaitu rasio antara tekanan uap air dalam larutan disekitar
mikroorganisme (kelembaban relatif tertentu) dengan tekanan uap air murni
(Bamforth 2005). Buckle et al. (2009) mengemukakan bahwa a w adalah jumlah
air yang terdapat dalam bahan pangan atau larutan. Jenis mikroba yang berbeda
membutuhkan jumlah air yang berbeda pula untuk pertumbuhannya.
Fermentasi salah satunya berfungsi untuk menghambat pertumbuhan bakteri
yang tidak diinginkan. Menurut Hammes et al. (2003) penghambatan oleh bakteri
asam laktat terhadap bakteri lain, ditandai dengan pertumbuhannya melalui
aktivitas air (a w) dan pH yang rendah. Kisaran a w bakteri asam laktat yaitu 0,85-
18
0,95 dan kisaran nilai pH yaitu 4,7-5,6. Hasil penelitian Spaziani et al. (2008)
melaporkan bahwa pada sosis fermentasi yang melibatkan bakteri asam laktat,
nilai a w menurun dengan kisaran 0,87-0,88 yang diamati selama produksi tahun
2006 s/d 2007.
Mikroorganisme umumnya tumbuh pada pH sekitar 5,0-8,0 dan hanya
beberapa mikroorganisme jenis tertentu yang ditemukan pada bahan pangan yang
hidup pada pH rendah. Bakteri yang tidak tahan asam seperti bakteri proteolitik,
Gram negatif bentuk batang tidak dapat tumbuh pada bahan pangan yang bersifat
asam. Bakteri yang tahan asam dari golongan Lactobacillus dan Streptococcus
berperan sangat penting dalam fermentasi produk (Buckle et al. 2009). Hasil
penelitian Todorov et al. (2007) melaporkan bahwa pada produk salami (sosis
fermentasi daging) dengan aplikasi kultur starter L. plantarum, mengalami
penurunan pH dengan kisaran 4,4-4,5.
Vuyst et al. (2008) mengemukakan bahwa produk fermentasi daging dengan
bakteri tertentu yang menghambat pertumbuhan bakteri patogen, ditandai dengan
menurunnya nilai pH akibat keasaman dan rendahnya nilai a w . Menurut Bamforth
(2005) untuk dapat mencegah pertumbuhan bakteri patogen salah satu syarat
adalah dengan menurunnya nilai pH harus dibawah 5,8. Hal ini sejalan dengan
laporan Riebroy et al. (2007) bahwa nilai pH yang rendah dapat meminimalkan
pertumbuhan mikroorganisme.
2.9
Sosis Fermentasi
Fontana et al. (2005) mengemukakan bahwa sosis fermentasi adalah produk
olahan berupa campuran daging dan lemak, garam, bahan pengawet, bumbu dan
lainnya yang dimasukkan ke dalam casing kemudian dilakukan proses fermentasi
dan pengeringan.
Pada sosis fermentasi, terjadi keasaman (asidifikasi) yang dilakukan oleh
bakteri asam laktat salah satunya menghasilkan asam laktat. Produk sosis yang
diinginkan (dry atau semi dry) tergantung dari waktu tahapan pematangan
(ripening) yang menghasilkan a w yang lebih rendah dan terbentuknya flavor. Pada
akhir proses fermentasi dapat juga dilakukan pengasapan atau pemanasan.
Pemanasan dilakukan pada suhu 58,3 oC sebelum produk dijual (Leroy & Vuyst
2006).
19
Bakteri asam laktat yang digunakan pada sosis fermentasi biasanya berupa
kultur starter. Menurut Hammes (1996) diacu dalam Espinoza dan Navarro (2008)
kultur starter adalah persiapan kultur bagi mikroorganisme untuk hidup dan
berkembang biak agar diperoleh aktivitas metabolisme yang diinginkan. Kultur
starter lebih bermanfaat dibandingkan kultur secara spontan pada proses
fermentasi, sebab dapat meningkatkan dan mengoptimalkan proses fermentasi dan
menghasilkan sosis yang lebih enak, lebih aman dan sehat.
Mikroba yang digunakan sebagai starter pada proses pengolahan fermentasi
daging, ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 3 Mikroba sebagai kultur starter pada proses pengolahan daging
fermentasi
Bakteri Asam Laktat
Actinobacteria
Staphylococci
Halomonadaceae
Jamur
Ragi
Lactobacillus acidophilus,
L. alimentarius, L. paracasei, L. ramnosus,
L. curvatus, L. plantarum, L. pentosus, L. sakei,
Lactococcus lactis, Pediococcus acidilactici,
P.pentosaceus
Kocuria varians, Streptomyces giseus
Bifidobacterium spp.
Staphylococcus xylosus, S.carnosus spp., S. Equorum
Halomonas elongata
Penicillium nalgiovence, P. chrysogenum,
P.camemberti
Debaryomyces hanseni, Candida famata
Sumber : Hammes et al. (2003)
Prinsip proses fermentasi berbahan daging sapi dan babi yang telah melalui
pendinginan dan pembekuan selanjutnya dilakukan proses penggilingan. Tahap
berikutnya dilakukan proses pencampuran yang ditambahkan nitrat, glucono-δlactone, askorbat dan glutamat. Namun pada proses secara tradisional tidak
menggunakan glucono-δ-lactone. Selain itu juga dilakukan penambahan garam,
gula, bumbu dan starter bakteri. Setelah tahapan pencampuran tersebut, adonan
dimasukkan ke dalam selongsong (proses stuffing) dan selanjutnya dilakukan
fermentasi dan pengasapan. Temperatur pada ruang fermentasi umumnya >20oC
dan <28oC. Namun pada produk semidry sausage menggunakan temperatur
berkisar antara 32-38oC misalnya pada sosis fermentasi di Jerman, Netherland dan
Scandinavia (Hammes et al. 2003). Proses pengolahan daging menjadi produk
fermentasi daging ditunjukkan pada Gambar 3.
20
Daging
sapi
Daging
sapi
Lemak
punggung
Daging
babi
Pendinginan
Pembekuan
Pembekuan
Pembekuan
Garam, Gula
Penggilingan
Pencampuran
Bumbu
Nitrat, Askorbat, Glutamat
Glucono- δ-lactone
Starter bakteri
Stuffing
Fermentasi
Pengasapan
Gambar 3 Skema pembuatan sosis fermentasi kering (dry fermented sausage)
secara tradisional dari berbagai jenis sosis Jerman
(Hammes et al. 2003).
Fermentasi pada daging akan menyebabkan terjadinya perubahan secara
fisik, biokimia dan mikrobiologi yang menghasilkan karakteristik fungsional pada
produk fermentasi. Hamm et al. (2008) mengemukakan bahwa perubahan akibat
proses fermentasi termasuk pengasaman (katabolisme karbohidrat), solubilisasi
dan gelasi myofibril dan protein sarkoplasma, degradasi protein dan lemak,
reduksi nitrat menjadi nitrit serta pembentukan nitrosomioglobin dan dehidrasi.
Proses ini terutama disebabkan oleh endogeneous dan aktivitas enzim mikroba.
Produk fermentasi berbahan baku daging, bertujuan untuk mengubah daging
yang mudah rusak (highly perishable) menjadi produk fermentasi yang memiliki
masa simpan yang lebih lama dan menghasilkan karakteristik sensori dari produk
tersebut (Hammes et al. 2003). Riebroy et al. (2008) mengemukakan bahwa
penggunaan bakteri asam laktat salah satunya untuk meningkatkan karakteristik
sensoris (flavor dan rasa), mempersingkat waktu fermentasi, dan mutu
mikrobiologi (menghambat pembentukan bakteri patogen).
21
Zhang et al. (2010) mengemukakan bahwa perubahan biokimia yang terjadi
selama proses fermentasi salah satunya menghasilkan senyawa flavor. Hal ini
berhubungan dengan proses fermentasi yaitu sangat kompleks dan beragam,
tergantung pada bahan baku (daging, bumbu dan kultur starter) dan teknologi
(penggaraman, fermentasi, ripening drying, proses fermentasi dan drying) yang
digunakan pada produk daging.
Vries et al. (2006) mengemukakan bahwa Lactobacillus dapat digunakan
sebagai kultur starter pada fermentasi pangan. Pada proses fermentasi
mengkonversi gula yang terdapat pada bahan menjadi asam laktat, menghasilkan
antimikroba, eksopolisakarida dan hasil metabolit lainnya.
2.10 Bahan Penyusun Sosis Fermentasi Ikan Patin
Bahan penyusun yang digunakan dalam pembuatan sosis fermentasi ikan
patin meliputi bahan dasar (bahan baku), bahan pembantu (tambahan) dan bahan
pelengkap yang merupakan bahan penunjang pada produk sosis tersebut. Surimi
mentah ikan patin merupakan bahan dasar pembuatan sosis fermentasi. Bahan
tambahan berupa minyak nabati (minyak jagung), garam, bahan pemanis (gula),
karagenan, bumbu dan bakteri L. plantarum. Bahan penunjang berupa casing
(selongsong).
Pembuatan sosis memerlukan bahan pengisi dan bahan pengikat. Bahan
pengisi bertujuan untuk membentuk tekstur yang padat dan kompak, menstabilkan
emulsi, mengikat air dan memperbaiki sifat adonan. Penambahan bahan pengisi
juga dapat menambah volume bahan sehingga dapat mengurangi biaya produksi.
Bahan pengisi yang biasa digunakan adalah tepung tapioka, tepung jagung, tepung
beras dan tepung terigu. Bahan pengikat adalah bahan bukan daging yang dapat
mengemulsi lemak dan meningkatkan kapasitas mengikat air. Air dan lemak akan
terikat oleh protein untuk membentuk suatu emulsi. Bahan pengikat yang umum
digunakan salah satunya adalah susu skim dan Isolate Soy Protein (ISP). USDA
membatasi penambahan bahan pengisi dan bahan pengikat pada emulsi daging
maksimal 3,5% (Heinz et al. 2007).
22
2.10.1 Tepung tapioka
Bahan pengisi yang ditambahkan pada sosis fermentasi umumnya berasal
dari karbohidrat misalnya tepung tapioka. William et al. (2006) mengemukakan
bahwa tepung tapioka digunakan pada produk pangan disebabkan mengandung
pati. Pati berbentuk granula terdiri atas amilosa dan amilopektin. Pati tapioka
digunakan pada produk daging, sebab dapat mengikat air dan memiliki suhu
gelatinasi adalah 52-64 oC (Winarno 2008).
2.10.2 Garam
Garam (sodium klorida) merupakan salah satu bahan pengawet alami yang
telah digunakan masyarakat
luas selama bertahun-tahun. Garam selain
mempunyai fungsi sensori yakni sebagai pembentuk citarasa pada produk pangan
juga berfungsi mengawetkan produk olahan daging sebagai bahan pengikat pada
produk berbahan baku daging (nugget, sosis, dan bakso) (Suryanto 2009). Selain
memperbaiki tekstur dan sebagai pengawet pada produk, menurut Nakai dan
Modler (2000) garam dalam pembuatan sosis berfungsi; 1) mengekstraksi protein
myofibril dari serabut daging selama penggilingan, 2) membentuk tekstur produk,
3) memberikan citarasa asin pada produk dan 4) sebagai antimikroba.
Garam berfungsi sebagai ingredient yang terpenting dalam campuran bahan
curing daging, untuk 1) pemberi rasa produk, 2) menurunkan aktivitas air dan
meningkatkan ionic strength (meningkatnya kekuatan ionik/tekanan osmotik)
yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba, 3) membantu solubilisasi protein
otot yang berfungsi sebagai pengikat partikel daging, 4) menurunkan kadar otot
pada konsentrasi tinggi (5-8%), 5) bersinergis dengan sodium nitrit untuk
mencegah pertumbuhan Clostridium botulinum (Suryanto 2009).
2.10.3 Gula
Gula atau disebut dengan sukrosa merupakan karbohidrat golongan
disakarida yang dibentuk dari monomer glukosa dan fruktosa dengan rumus
molekul C 12 H 22 O 11 (Ophardt 2003). Zhang et al. (2010) mengatakan bahwa
dalam pembuatan sosis fermentasi biasanya ditambahkan gula. Gula berfungsi
sebagai salah satu sumber karbohidrat dalam proses fermentasi, oleh bakteri asam
laktat dirubah menjadi asam laktat.
23
Bakteri asam laktat yang tergolong homofermentatif seperti Lactobacillus
pada fermentasi karbohidrat menggunakan jalur Embden Meyerhof Parnas,
menghasilkan dua molekul asam laktat sebagai produk akhir yang diawali dari
penguraian glukosa (Girard & Bucharles 1992). Ross et al. (2002) dan Tamime
(2002) diacu dalam Vries et al. (2006) mengemukakan bahwa gula yang
ditambahkan pada adonan sosis fermentasi berfungsi untuk mendukung proses
fermentasi yang hasil akhirnya adalah asam laktat, memproduksi antimikroba
peptida, exopolisakarida dan metabolit lainnya.
2.10.4 Bumbu
Hui et al. (2001) mengemukakan bahwa bumbu adalah bahan tambahan
pangan yang dihasilkan dari tumbuhan untuk memberikan aroma pada produk
tersebut. Ellmore dan Fieldberg (1994) mengatakan bahwa salah satu bumbu yang
bersifat sebagai antimikroba adalah bawang putih, karena mengandung senyawa
allisin, yang menghambat pertumbuhan Gram positif dan bakteri Gram negatif.
Allisin adalah senyawa enzimatis yang dihasilkan dari aliin sebagai prekusor
melalui produk intermediate asam allylsulfenat.
Yang et al. (2004) mengemukakan bahwa bawang bombay merupakan
salah satu tanaman utama di negara Eropa. Bawang bombay mengandung
senyawa flavonol quersetin dan derivatnya. Selain itu, menurut Kim et al. (2006)
bawang bombay mengandung senyawa fruktooligosakarida dan sulfur yang
bersifat sebagai antioksidan. Berdasarkan studi epidemiologi menunjukkan bahwa
mengkonsumsi buah dan sayur yang dipadukan dengan bawang bombay dapat
mengurangi penyakit kronis, seperti penyakit jantung dan kanker.
2.10.5 Nitrit dan Angkak
Fungsi utama nitrit dalam pembuatan sosis adalah untuk memperbaiki warna
daging. Perbaikan warna daging dicapai ketika pigmen otot (myoglobin) berikatan
dengan natrium oksida (NO) yang berasal dari nitrit membentuk NO-myoglobin,
sehingga terbentuk warna daging yang khas. Selain itu nitrit berfungsi sebagai
penambah citarasa, mencegah pertumbuhan bakteri dan sebagai antioksidan.
Penggunaan nitrit pada produk daging dimaksudkan sebagai antimikroba untuk
24
menghambat pembentukan toksin oleh mikroorganisme Clostridium botulinum
(Sebranek & Bacus 2007).
Penggunaan nitrit pada produk pangan berdampak negatif bagi tubuh.
Peters et al. 1994 ; Sebranek dan Bacus (2007) mengemukakan bahwa nitrosamin
yang terbentuk dari nitrit untuk mengawetkan daging menimbulkan kanker. Pada
tahun 1990, studi epidemiologi melaporkan bahwa pemakaian nitrit berhubungan
dengan penyakit leukimia dan kanker otak.
Nitrit
mulai dibatasi penggunaannya sebab berpotensi membentuk
nitrosamin sebagai pemicu karsinogenik Sebranek dan Bacus (2007) menyatakan
bahwa kadar sodium nitrit yang diizinkan pada produk daging maksimum adalah
200 ppm. Sedangkan menurut USDA 1995 kadar sodium nitrit atau potassium
nitrit yang diijinkan pada produk daging adalah 156 ppm. Menurut Winarno
(1997) Dirjen POM Depkes mensyaratkan penambahan nitrit dalam bahan
makanan maksimum 170 ppm dan nitrit tersisa pada produk akhir adalah 200
ppm.
Pada sosis fermentasi ikan patin dengan memanfaatkan bakteri L. plantarum
1B1 tidak perlu ditambahkan nitrat sebagai pewarna dan pengawet pada sosis. Hal
ini didukung oleh Casaburi et al. (2005) yang mengemukakan bahwa bakteri asam
laktat berupa kultur starter yang digunakan pada sosis fermentasi, khususnya
bakteri L. plantarum dan Pediococcus acidilactici, tidak dapat mereduksi nitrat
menjadi nitrit. Bakteri yang mampu mereduksi nitrat adalah bakteri coccus seperti
Kocuria (Micrococcus), Staphylococcus xylosus, S.carnosus dan bakteri lainnya.
Angkak atau beras merah cina adalah salah satu bahan pengawet dan
pewarna makanan alami, tidak beracun dan aman dikonsumsi dibandingkan
dengan pewarna sintetik. Angkak dapat digunakan sebagai pengganti nitrit pada
bahan pangan seperti pada produk sosis, daging asap dan kornet (Astawan 2008).
Menurut Pattanagul et al. (2007) angkak digunakan untuk meningkatkan
mutu pada produk daging sebagai pengganti nitrat atau nitrit. Angkak
mengandung pigmen merah monascorubramine dan rubropuntamine yang
dihasilkan dari kapang Monascus sp. Kadar optimum penggunaan angkak pada
produk daging adalah 1,6% (w/w).
25
Pattanagul et al. (2007) mengatakan bahwa kapang Monascus sp.
menghasilkan 6 jenis pigmen yang dikategorikan terdiri atas 3 jenis warna yaitu
pigmen kuning, orange dan merah. Pigmen kuning terdiri dari monascin
(C 21 H 26 O 5 )
dan
ankaflavin
(C 23 H 30 O 5 ),
pigmen
orange
terdiri
dari
monascorubrin (C 23 H 26 O 5 ) dan rubropunctatin (C 21 H 22 O 5 ) dan pigmen merah
terdiri dari monascorubramine (C 23 H 27 NO 4 ) dan rubropuntamine (C 21 H 23 NO 4 ).
Struktur kimia pigmen yang dihasilkan dari Monascus sp. ditunjukkan pada
Gambar 4.
Gambar 4 Struktur kimia pigmen dari kapang Monascus sp.
(Pattanagul et al. 2007).
Angkak atau beras merah cina yang digunakan sebagai pewarna alami pada
makanan, dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5 Angkak (beras merah cina) sebagai pewarna alami
(Astawan 2008).
26
Heber et al. (1999) mengemukakan bahwa mengkonsumsi makanan yang
mengandung angkak dapat menurunkan Total Colesterol (TC), Low Density
Lipoprotein (LDL) dan Total Triacylglycerol (TG). Angkak juga digunakan untuk
mengobati hiperlipidemia dan cardiocerebro-vascular yaitu penyakit yang
disebabkan oleh kolesterol darah tinggi adalah 5-10 mg/hari/berat badan.
2.10.6 Karagenan
Karagenan merupakan sulfat polimer galaktosa dan anhidrogalaktosa yang
dihasilkan dari alga merah yang terdiri atas tiga fraksi utama yaitu iota (ι), lambda
(λ) dan kappa (κ) karagenan (Koutsopoulos et al. 2007). Imeson (2007)
mengemukakan bahwa karagenan bersumber dari agar merah (Rhodophyceae),
menghasilkan jenis karagenan yang berbeda tergantung jenis alga tersebut. Alga
merah Eucheuma cottonii menghasilkan kappa karagenan (κ), dan E. spinosum
menghasilkan iota karagenan (ι) yang diperoleh melalui ekstraksi. Jenis kappa (κ)
dan iota (ι) karagenan ini digunakan pada produk pangan sebab berkemampuan
membentuk gel yang termoreversible.
Ayadi et al. (2009) mengemukakan bahwa karagenan merupakan suatu
hidrokoloid yang digunakan pada pengolahan daging sebab berkemampuan untuk
mengikat air dan membentuk gel.
2.10.7 Susu bubuk skim
Susu skim termasuk pada Nonfat Milk Solid (NFMS) yang mengandung
protein, gula (laktosa) dan mineral (Xiong diacu dalam Tarte 2009). Susu skim
berfungsi sebagai bahan pengisi yang mampu mengikat air pada produk pangan.
Selain itu dapat meningkatkan kapasitas emulsifikasi dan stabilitas emulsi.
Penggunaan susu skim yang mengandung laktosa tinggi, dapat menyebabkan
reaksi pencoklatan (browning) akibat reaksi Maillard selama perlakuan
pemanasan (Kurt & Zorba 2005 diacu dalam Tarte 2009).
Susu bubuk skim adalah produk yang telah mengalami pengurangan kadar
air dan tanpa lemak, bebas dari bahan pengawet, bahan kimia, dan kotoran
lainnya.
Susu
berfungsi
untuk
mempertahankan
stabilitas
emulsi
dan
meningkatkan flavor serta mouthfeel pada salad, sup, saus, sosis dan krim asam.
Selain itu mengandung kalsium dan nutrisi (Anonim 2010).
27
Susu skim berfungsi membantu proses pembentukan gel oleh karagenan.
Susu skim akan menyumbang ion Ca2+ yang dibutuhkan karagenan untuk
pembentukan gel. Chaplin (2007) menyatakan bahwa kappa dan iota karagenan
memiliki kemampuan untuk pembentukan gel dengan adanya kation seperti
kalium (K+) dan kalsium (Ca2+).
Susu skim mengandung laktosa yang termasuk dalam golongan disakarida
selain sukrosa. Laktosa terbentuk dari dua monomer yakni 1 molekul glukosa dan
galaktosa. Melalui fermentasi gula susu (laktosa) yang dilakukan oleh bakteri
asam laktat dapat menghasilkan asam laktat dan flavor yang khas pada produk
fermentasi (http://id.wikipedia.org/wiki/Yoghurt).
Liu et al. (2011) mengemukakan bahwa asam laktat yang dihasilkan oleh
bakteri asam laktat dari hasil proses fermentasi, membantu dalam penyerapan
kalsium, fosfor, besi dan vitamin D. Selain itu laktosa yang terdiri dari glukosa
dan galaktosa bermanfaat untuk mendukung pertumbuhan otak.
2.10.8 Isolate soy protein (isolat protein kedelai)
Isolate Soy Protein (ISP) merupakan produk dari protein kedelai bebas
lemak atau berlemak rendah yang memiliki kandungan protein tinggi. Kandungan
protein pada ISP minimum 95%. ISP sangat diperlukan dalam industri pangan dan
formulasi berbagai produk pangan, sebab ISP berfungsi sebagai bahan pengikat
dan pengemulsi (Koswara 2005).
Zhang et al. (2010) mengemukakan bahwa soy protein (protein kedelai)
secara luas digunakan pada produk daging dalam bentuk tepung, dengan tujuan
untuk meningkatkan kemampuan mengikat air dan lemak, meningkatkan stabilitas
emulsi, meningkatkan kandungan nutrisi dan menghasilkan nilai tambah.
Isolate Soy Protein (ISP) berasal dari protein kedelai yang terdiri dari 90%
protein kedelai dan Textured Vegetable Protein (TVP) yang berbentuk serat atau
granula. ISP ini banyak digunakan sebagai campuran produk olahan daging
seperti sosis, bakso, meat ball dan lainnya. ISP secara fisiologis dapat
menurunkan trigliserida darah (68%) bila dikonsumsi 7,3 g/hari/kg berat badan
setelah satu bulan. Konsumsi sosis yang menggunakan ISP sebanyak 9,9 g/hari/kg
berat badan selama 2 minggu dilaporkan dapat menurunkan kolesterol dan
28
meningkatkan High Density Lipoprotein (HDL) serta menurunkan trigliserida
(Winarno & Kartawidjajaputra 2007).
2.10.9 Minyak nabati
Minyak nabati yang digunakan pada sosis fermentasi salah satunya adalah
minyak jagung. Menurut Ketaren (2005) minyak jagung merupakan trigliserida
yang disusun oleh gliserol dan asam lemak. Persentase trigliserida sekitar 98,6 %
dan sisanya merupakan bahan non minyak, seperti abu, air, zat warna atau lilin.
Asam lemak yang menyusun minyak jagung terdiri dari asam lemak jenuh dan
asam lemak tidak jenuh. Asam lemak tidak jenuh yang menyusun trigliserida
minyak jagung berkisar 86% yang terdiri dari asam oleat (30,1%) dan asam
linoleat (56,8%). Asam lemak jenuh dalam minyak jagung berkisar 13% berupa
asam palmitat dan asam stearat.
Penambahan minyak nabati atau lemak hewani pada pembuatan sosis
bertujuan untuk membentuk sosis yang kompak, empuk dan lezat. Minyak nabati
yang ditambahkan pada sosis salah satunya adalah minyak jagung. Minyak ini
digolongkan sebagai semi drying oil selain minyak biji kapas dan minyak bunga
matahari, mengandung senyawa fitosterol dan mengandung lebih banyak asam
lemak tak jenuh. Penambahan minyak ke dalam sosis fermentasi dimaksudkan
untuk menambah kalori, memperbaiki tekstur dan sebagai citarasa pada produk
pangan (Winarno 2008).
Minyak jagung digunakan pada produk pangan sebab memiliki nilai gizi
yang sangat tinggi yaitu 250 kkal/ons. Selain itu, minyak jagung mengandung
sitosterol sehingga bila dikonsumsi dapat terhindar dari gejala atherosclerosis
(endapan pada pembuluh darah) yang mengakibatkan terjadinya ikatan kompleks
antara sitosterol dan Ca++ dalam darah (Ketaren 2005).
2.10.10 Es batu
Fungsi pemakaian es batu pada produk pengolahan daging bertujuan untuk
menurunkan suhu selama proses cuttering (pencacahan), memperbaiki sifat
fluiditas emulsi sehingga mudah diisi ke dalam selongsong dan mempengaruhi
tekstur pada produk akhir (Hui et al. 2001).
2.11 Pengasapan
29
Pengasapan merupakan proses pemanasan dengan berbagai variasi suhu di
dalam smokehouse yang umumnya digunakan pada produk daging. Kombinasi
antara panas dan asap, sangat efektif untuk menurunkan populasi bakteri pada
produk yang diasap (Suryanto 2009).
Asap lebih banyak dihasilkan dari pembakaran kayu dalam bentuk serbuk
gergaji. Kayu yang digunakan dalam pengasapan berasal dari kayu keras (non
resinous) dengan kandungan selulosa 40-60%, hemiselulosa 20-30% dan lignin 2030%. Asap berfungsi untuk menghambat pertumbuhan bakteri, menghambat oksidasi
lemak dan memberi flavor pada produk daging (Lawrie 2003).
Menurut Velho (2003) pengasapan selain digunakan untuk menghasilkan
flavor pada produk pangan, juga dapat sebagai pengawet. Hal ini disebabkan asap
kayu mengandung fenol yang bersifat sebagai antioksidasi dan antimikroba.
Selain itu terbentuknya senyawa formaldehid yang dapat meningkatkan stabilitas
pada produk makanan yang diasap.
Cold smoking (pengasapan dingin) adalah proses dengan menggunakan asap
dengan kisaran suhu antara 15-25oC. Proses pengasapan ini dilakukan selama
beberapa jam atau sampai beberapa hari. Proses pengasapan ini sangat cocok
digunakan sebagai salah satu metode pemasakan pada produk daging mentah yang
difermentasi dan juga pada produk kering (dry product). Beberapa produk yang
memanfaatkan proses pengasapan ini antara lain ham mentah, bacon, salami dan
sosis kering (Velho 2003).
Proses pengasapan akan menghasilkan senyawa karbonil dari proses pirolisis
selulosa dan hemiselulosa, dan pembentukan warna diawali ketika karbonil
diserap pada permukaan produk. Pirolisis pada lignin akan memproduksi senyawa
fenol, yang berfungsi untuk menghasilkan aroma. Senyawa fenol berupa guaiacol
akan menghasilkan rasa asap, sedangkan senyawa fenol berupa syringol,
menghasilkan bau asap pada produk yang diasap (Ellis 2001).
Conde et al. (2005) diacu dalam Lorenzo et al. (2009) mengemukakan
bahwa teknologi pengasapan digunakan untuk memberikan pengaruh pada sensori
aroma dari produk daging asap, dengan terbentuknya senyawa aktif yang
terkandung pada asap.
30
Mekanisme keseluruhan komponen flavor (rasa dan aroma) yang juga
melibatkan pengasapan selama fermentasi sosis dapat dilihat pada Gambar 6.
\
Karbohidrat
Protein
metabolisme
mikroba
surface molds
Asam Organik
Lemak phospholipid
proteolisis
enzim daging
surface molds
Peptida, Asam amino
Metabolisme mikroba
Senyawa rasa
(bakteri asam laktat
Micrococcaceae
Ragi dan jamur
Senyawa flavor
lipolisis
enzim daging (homolaktat)
Asam lemak bebas
Autooksidasi
Lipolisis,Besi,
a w , Nitrit,Katalase
Modifikasi produk
oksidasi mikroba
Garam, bumbu
Pengasapan
Gambar 6 Skema keseluruhan mekanisme turunan senyawa flavor selama
fermentasi sosis (Hammes et al. 2003).
2.12 Evaluasi Sensori
Evaluasi sensori merupakan suatu metode ilmiah yang digunakan untuk
mengukur, menganalisis dan menginterpretasikan respon terhadap suatu produk
berdasarkan yang ditangkap oleh indera manusia seperti penglihatan, penciuman,
perasa, peraba dan pendengaran (Lawless & Heymann 1999).
Tiga jenis metode yang terdapat pada evaluasi sensori yaitu uji diskriminatif
(pembedaan), uji deskriptif dan uji afektif. Penggunaan uji diskriminatif salah
satunya uji rating intensitas dilakukan sebelum uji penerimaan (uji hedonik). Uji
rating intensitas bertujuan untuk menentukan karakteristik atribut sensori tertentu
seperti kategori tekstur, warna, aroma dan rasa yang bervariasi dari sejumlah
sampel (3-6 sampel) (Meilgaard et al. 1999).
Panelis yang digunakan pada uji rating intensitas dapat berupa panelis
terlatih sebanyak 8-12 orang dan panelis tidak terlatih minimum 30 orang
(Lawless & Heymann 1999). Menurut SNI 01-2346-2006 panelis terlatih yang
digunakan dalam uji sensori adalah sebanyak 6 orang dan panelis tidak terlatih
31
sebanyak 30 orang. Selanjutnya, syarat – syarat panelis adalah tertarik terhadap uji
sensori, konsisten dalam mengambil keputusan, berbadan sehat, bebas dari
penyakit THT (Telinga Hidung Tenggorokan), tidak buta warna serta gangguan
psikologis, tidak menolak makanan yang akan diuji (tidak alergi), tidak
melakukan uji 1 jam sebelum makan dan menunggu minimal 20 menit setelah
merokok, makan permen karet, makanan dan minuman ringan.
Uji afektif adalah uji yang dilakukan untuk mengetahui produk mana yang
disukai dan yang tidak disukai oleh panelis. Salah satu uji ini adalah uji hedonik
dengan menggunakan panelis yang terlatih atau tidak terlatih. Skala yang tersedia
pada uji hedonik adalah mulai dari sangat tidak suka sampai sangat suka terhadap
sampel yang diberikan. Panelis diminta untuk mengevaluasi setiap sampel produk
dan menentukan skala kesukaannya terhadap sampel produk tersebut (Lawless &
Heymann 1999). Panelis yang digunakan pada uji tidak terlatih adalah sebanyak
30 orang (SNI 01-2346-2006).
Uji afektif salah satunya adalah uji secara kuantitatif yang terdiri dari uji
pemilihan (preference) dan uji penerimaan (acceptance) (Meilgaard et al. 1999).
Uji penerimaan (acceptance) digunakan untuk mengukur tingkat kesukaan panelis
terhadap suatu produk, sedangkan uji preferensi menunjukkan ekspresi dipilihnya
satu produk yang menonjol dibandingkan dengan produk yang lain. Uji preferensi
dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Uji secara langsung
dilakukan
dengan
cara
memberikan
instruksi
pada
responden
untuk
membandingkan dua atau lebih produk secara langsung dan memilih satu yang
paling disukai. Uji secara tidak langsung ditentukan berdasarkan skor hasil uji dan
produk yang memiliki skor tertinggi adalah produk yang paling disukai bila
dibandingkan dengan produk yang lain (Stone & Sidel 2004).
Penilaian terhadap suatu produk pangan supaya diterima panelis atau
konsumen dapat berupa penilaian produk berdasarkan tekstur, warna, aroma dan
rasa.
2.12.1 Tekstur
Salah satu yang mempengaruhi rasa dan bau adalah tekstur. Menurut
Winarno (2008) perubahan nilai tekstur atau viskositas bahan dapat mengubah
rasa dan bau yang timbul sebab dapat mempengaruhi kecepatan timbulnya
32
rangsangan terhadap sel reseptor olfaktori pada indera penciuman. Sedangkan
menurut Hamm et al. 2008 salah satu perubahan yang diakibatkan oleh fermentasi
adalah perubahan secara fisik. Perubahan tersebut menyangkut solubilisasi dan
gelasi myofibril.
Xu et al. (2010) mengemukakan bahwa kekerasan (hardness) pada sosis
ikan carp disebabkan adanya cross-linking protein. Hal ini didukung oleh Riebroy
et al. (2008) yang menyatakan bahwa kekerasan pada sosis diukur dari
kematangan (maturasi) yang diakibatkan terjadi denaturasi protein, gelasi jaringan
protein dan kehilangan air. Fretheim et al. (1985) ; Xu et al. (2010)
mengemukakan bahwa penurunan pH secara lambat secara lambat mempengaruhi
agregasi protein yang mengarah pada pembentukan jaringan protein dan
kepadatan. Hasil penelitian Riebroy et al. (2007) melaporkan bahwa penurunan
pH dapat meningkatkan kepadatan dan mouthfeel disebabkan adanya asam dan
denaturasi protein.
2.12.2 Warna
Penilaian atau penglihatan terhadap warna dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain pencahayaan (jenis dan intensitas seragam), free from shadow, kondisi
seperti siang hari, uji konsumen dekorasi dan ukuran/bentuk (Meilgaard 1999).
Warna pada sosis fermentasi ikan patin salah satunya terbentuk dari proses
pengasapan yang diberikan. Rozum (2009) mengemukakan bahwa senyawa yang
terbentuk dari hasil proses pengasapan yang berasal dari pyrolisis selulosa dan
hemiselulosa
adalah
senyawa
aldehid
(terutama
glicoalaldehid
dan
pyruvalaldehid), berkontribusi dalam pembentukan warna pada permukaan
daging. Selanjutnya dikatakan bahwa pencoklatan pada produk yang diasap
merupakan salah satu dari reaksi Maillard, yaitu senyawa karbonil dari proses
asap bereaksi dengan asam amino yang berasal dari pangan tersebut. Warna yang
terbentuk pada produk pangan yang diasap berhubungan dengan suhu, humaditas,
kandungan protein dan sumbernya serta waktu. Reaksi ini berlangsung selama
suhu ruang namun sangat lambat.
2.12.3 Aroma
Aroma pada produk pangan terdeteksi oleh indera penciuman apabila dalam
bentuk uap dan molekul komponen aroma tersebut menyentuh silika sel olfaktori
33
dan diteruskan ke otak dalam bentuk impuls listrik oleh ujung-ujung syaraf
olfaktori. Adanya penerima (reseptor) khas dalam sel olfaktori yang akan
menangkap molekul senyawa aroma tersebut sehingga timbul impuls yang
menyatakan aroma atau bau tersebut (Winarno 2008).
Aroma yang diperoleh pada sosis fermentasi (salami) Prancis, Italia dan
Spanyol berasal dari penambahan bumbu bawang putih yang mengandung
senyawa sulfur diallysulfida dan senyawa eugenol yang berasal dari bumbu pala.
Flavor pada sosis fermentasi daging juga berasal dari oksidasi lemak, asam lemak
dan senyawa volatil hasil fermentasi seperti asam asetat, diasetil dan feniletanol.
(Hammes et al. 2003). Hal ini sesuai dengan laporan Ordonez et al. (2004) dan
Zhang et al. (2010) yang mengemukakan bahwa oksidasi lipid menghasilkan
senyawa flavor berupa asam lemak bebas, dan senyawa volatil. Walaupun
demikian, asam laktat merupakan senyawa flavor utama yang berperan penting
pada produk fermentasi daging.
Komponen senyawa flavor yang terbentuk selama proses fermentasi
disebabkan
oleh
mikroorganisme
dengan
menghasilkan
asam
organik,
mengkonversi asam amino dan peptida menjadi flavor senyawa alkohol, aldehid
dan asam. Selain itu, senyawa flavor atau aroma yang dihasilkan pada sosis
fermentasi daging diperoleh melalui penambahan bumbu, pengasapan, adanya
kapang/khamir pada saat proses ripening (Hammes et al. 2003).
Visessanguan et al. (2006) mengemukakan bahwa degradasi asam amino
menghasilkan senyawa volatil, berperan penting membentuk karakteristik flavor
pada sosis fermentasi. Senyawa aldehid, alkohol dan asam dihasilkan dari
degradasi leusin, valin, fenilalanin atau metionin. Asam amino bebas dari protein
dan peptida berperan penting untuk meningkatkan flavor pada sosis fermentasi.
Hal ini juga didukung oleh Hughes et al. (2002) dan Zhang et al. (2010) yang
menyatakan
bahwa
peptida
hasil
proteolisis
yang
didegradasi
oleh
mikroorganisme yaitu asam amino dikonversi menjadi senyawa aromatik.
Degradasi asam amino bebas berperan penting menghasilkan senyawa volatil
yang membentuk flavor pada dry sausage (sosis kering).
2.12.4 Rasa
34
Suatu senyawa pada produk pangan dapat dikenali rasanya apabila senyawa
tersebut larut dalam air liur sehingga dapat berhubungan dengan mikrovilus dan
impuls dan dikirim melalui syaraf ke pusat susunan syaraf. Rasa manis dan asin
paling banyak dideteksi oleh kuncup pada ujung lidah. Kuncup pada sisi lidah
paling peka asam, sedangkan kuncup dibagian pangkal lidah peka terhadap pahit.
Selanjutnya dikatakan bahwa rasa dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya
senyawa kimia, suhu, konsentrasi, dan interaksi dengan komponen bahan yang
menimbulkan rasa pada produk pangan (Winarno 2008).
Menurut Hammes et al. (2003) bahwa sosis fermentasi daging dengan
penambahan garam serta terbentuknya asam laktat pada proses fermentasi daging,
turut berkontribusi terhadap rasa pada produk tersebut. Naes et al. (1995) ; Zhang
et al. (2010) mengemukakan bahwa rasa pada produk fermentasi daging terutama
disebabkan oleh asam laktat dan senyawa flavor berat molekul rendah seperti
peptida dan asam amino bebas, aldehid, asam organik dan amina yang dihasilkan
dari proteolisis. Rantsiou et al. (2005) mengemukakan bahwa pada sosis
fermentasi daging, Bakteri Asam Laktat selain menghasilkan asam laktat, sedikit
asam asetat, etanol, asetoin, karbondioksida dan asam piruvat juga menghasilkan
flavor (aroma dan rasa) tangy pada sosis, tergantung pada aplikasi kultur, substrat
karbohidrat, sumber protein daging dan senyawa aditif yang digunakan.
Download