Pengembangan Model DSGE untuk Asesmen

advertisement
WP/3/2016
LHP/
/DKEM/2015
WORKING PAPER
Pengembangan Model DSGE untuk Asesmen
Dampak Reformasi Struktural terhadap
Perekonomian Indonesia
Sahminan
Ginanjar Utama
Robbi Nur Rakhman
Idham
2016
Ke s i mp u la n , pe n da pa t , da n pa n da n ga n ya n g d isa m pa ik a n o le h pe nu l i s da la m pa pe r i ni
me r upa k a n k e si m p ula n, pe n da pa t da n p a nda n ga n pe nu l i s da n b uk a n me r u pa k a n
k e s im p u la n , pe nda pa t da n pa n da nga n re s m i B a nk I nd o ne s ia .
Pengembangan Model DSGE untuk Asesmen Dampak Reformasi
Struktural terhadap Perekonomian Indonesia 1
Sahminan, Ginanjar Utama, Robbi Nur Rakman, Idham2
Abstrak
Salah satu program Pemerintah untuk memacu pertumbuhan ekonomi adalah
meningkatkan ketersediaan infrastruktur yang berkualitas melalui peningkatan pengeluaran
Pemerintah untuk pembangunan infrastruktur.Dalam penelitian itu dibangun suatu model
DSGE perekonomian terbuka (small open economy) untuk memperkirakan dampak
pengeluaran Pemerintah terhadap output dan welfare di Indonesia. Model DSGE yang
dibangun menggunakan parameter yang disesuaikan dengan kondisi perekonomian Indonesia.
Hasil simulasi menunjukkan bahwa kenaikan investasi pemerintah sebesar 1% mengakibatkan
peningkatan pertumbuhan output sebesar 0,05% dalam jangka pendek, dan output multiplier
sebesar 0,20. Kenaikan investasi pemerintah juga mengakibatkan kenaikan welfare dengan
multiplier sebesar 0,05. Sementara itu, dalam jangka pendek peningkatan pengeluaran
pemerintah untuk konsumsi sebesar 1% berpotensi mendorong peningkatan pertumbuhan
ekonomi sebesar 0,04%, tetapi output multiplier hanya sebesar 0,03, jauh lebih kecil daripada
output multiplier dari pengeluaran pemerintah untuk investasi. Di sisi lain, peningkatan
pengeluaran pemerintah untuk konsumsi mengakibatkan penurunan welfare dengan multiplier
sebesar -0.001.
Keywords
: fiscal policy , DSGE, output multiplier , welfare mulipler
JEL Classification
: C5, E1
1Penulis
mengucapkan terima kasih kepada Pimpinan DKEM, peserta Seminar Hasil Riset GRE dan
Aditya Rachmanto atas berbagai masukan yang diberikan.
2 Peneliti Ekonomi di DKEM, Bank Indonesia. Pandangan dalam paper itu merupakan pandangan
penulis dan tidak serta merta mencerminkan pandangan Bank Indonesia.
E-mail penulis: [email protected]; [email protected]; [email protected]; [email protected]
i
I.
I.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Salah satu masalah utama yang dihadapi perekonomian Indonesia adalah keterbatasan
infrastruktur, baik dari sisi ketersediaan maupun kualitas. Hal itu terlihat dari peringkat
infrastruktur Indonesia yang masih rendah. Data dari Global Competitiveness Index 2016-2017
menunjukkan bahwa kondisi infrastruktur Indonesia hanya menduduki peringkat ke-80, jauh di
bawah Malaysia dan Thailand yang masing-masing menduduki peringkat ke-19 dan ke-49.
Rendahnya kondisi infrastruktur telah menjadi penghambat dalam upaya mencapai
pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkesinambungan serta dalam upaya meningkatkan
daya saing perekonomian Indonesia. Keterbatasan infrastruktur telah mengakibatkan biaya
logistik yang tinggi serta menurunkan daya saing perekonomian dan iklim investasi Indonesia.
Faktor utama di balik keterbatasan infrastruktur adalah pengeluaran pemerintah untuk
infrastruktur yang cukup terbatas, terutama sejak krisis finansial Asia tahun 1997/98.
Pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur selama periode 2000-2014 secara rata-rata sekitar
2%dari PDB, jauh di bawah sebelum krisis yang mencapai 6% dari PDB (Tabor, 2015). Di
negara-negara peer di kawasan, rasio pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur terhadap
PDB dapat mencapai tiga kali lipat dari Indonesia. Pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur
di Tiongkok dan India bahkan mencapai sekitar 10% dari PDB.3 Rendahnya pengeluaran
pemerintah Indonesia untuk infrastruktur terutama disebabkan oleh keterbatasan sumbersumber pembiayaan dan beban pengeluaran yang tinggi untuk subsidi, fungsi administratif dan
belanja pegawai.
Untuk mendorong peningkatan kinerja perekonomian, pemerintahsaat itu telah
mengambil langkah-langkah reformasi struktural.4 Salah satu bagian dari reformasi
strukturaltersebut adalah memperbaiki kondisi infrastruktur melalui peningkatan pengeluaran
untuk investasi dan pengurangan subsidi. Sebagaimana dituangkan dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, pemerintah telah menetapkan
target infrastruktur yang akan dicapai tahun 2015-2019. Proyek infrastruktur yang menjadi
proyek strategis nasional berjumlah 225 dengan cakupan yang cukup luas, yang terdiri atas
3
http://www.indonesia-investments.com/business/risks/infrastructure/item381
Reformasi struktural dapat diartikan sebagai upaya memperbaiki regulasi dan institusi agar pasar
menjadi lebih efisien (misalnya pasar tenaga kerja dan barang), atau upaya untuk mendorong
perekonomian tumbuh lebih tinggi dari kondisi potensialnya (Rodrik, 2015). Area kebijakan reformasi
struktural memiliki cakupan yang cukup luas, antara lain pembangunan infrastruktur, pengaturan pajak
dan subsidi, peningkatan kualitas SDM, pengaturan upah dan tenaga kerja serta perbaikan birokrasi.
4
2
infrastruktur dasar, konektivitas, kelistrikan, komunikasi, air, dan perumahan. Pembangunan
infrastruktur tersebut tidak hanya terbatas dilakukan oleh pemerintah tetapi juga dilakukan oleh
swasta melalui berbagai skema. Meskipun begitu, dalam upaya mencapai target pembangunan
infrastruktur tersebut, investasi pemerintah tetap memiliki porsi yang cukup besar.
Secara teoritis, kenaikan investasi pemerintah untuk infrastruktur dapat mendorong
perekonomian melalui dua jalur (IMF, 2014). Dalam jangka pendek, investasi pemerintah akan
meningkatkan permintaan agregat melalui fiscal multiplier. Besarnya dampak investasi
pemerintah untuk infrastruktur tergantung pada faktor-faktor, antara lain besarnya economic
slack dan monetary accomodation. Dalam jangka menengah-panjang, investasi pemerintah
dalam infrastruktur akan mempengaruhi output dari sisi penawaran melalui peningkatan
kapasitas perekonomian. Besarnya dampak sisi penawaran dari investasi pemerintah untuk
infrastruktur tergantung pada efisiensi dari investasi tersebut.
Dengan perkembangan di atas, serta karena pentingnya peranan infrastruktur dalam
mendorong perekonomian, analisis kuantitatif terhadap dampak kenaikan investasi infrastruktur
pemerintah sangat dibutuhkan untuk memperkirakan dampakpeningkatan infrastruktur
terhadap output dan kesejahteraan (welfare). Secara sederhana, dampak kenaikan investasi
infrastruktur pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi pada dasarnya dapat dilakukan
dengan melihat output multiplier dari pengeluaran pemerintah. Namun, pendekatan tersebut
mempunyai kelemahan, seperti keterbatasan data time series yang cukup,terutama terkait
dengan adanya kebijakan yang bersifat struktural. Selain itu, pendekatan sederhana juga
mempunyai kekurangandalam landasan mikro perilaku agen-agen ekonomi serta keterbatasan
dalam menangkap keterkaitan antar variabel makro.
I.2
Tujuan dan Metodologi
Penelitian itu bertujuan untuk melakukan analisis kuantitatif terhadap dampak reformasi
struktural khususnya peningkatan investasi infrastruktur oleh pemerintah terhadap output
dan kesejahteraan di Indonesia dengan menggunakan model Dynamic Stochastic General
Equilbrium (DSGE). Dengan menggunakan model DSGE, perilaku agen-agen ekonomi dan
keterkaitan antar-pelaku ekonomi diformulasikan secara eksplisit. Selain itu, dengan
menggunakan model DSGE tidak hanya dampak terhadap output yang akan diperoleh, tetapi
juga dampak terhadap welfare. Model DSGE yang akan dikembangkan terdiri atas lima sektor,
yaitu rumah tangga, perusahaan, moneter, fiskal dan eksternal.
Model yang dibangun melengkapi model-model DSGE yang telah ada di Bank Indonesia
yang secara umum lebih memfokuskan pada pemodelan perbankan dan sektor keuangan, serta
yang bertujuan untuk analisis simulasi kebijakan moneter, makroprudensial, dan bauran
3
kebijakan moneter-makroprudensial. Model dalam studi itu juga melengkapi model Growth
Diagnosticyang digunakan Bank Indonesia untuk menganalisis hambatan utama pertumbuhan
dan dampak reformasi struktural dengan menggunakan model Computable General
Equilibrium (CGE)-INDOTERM (Anugrah et al, 2015). Model CGE yang digunakan dalam Growth
Diagnostic belum menangkap dinamika sektor moneter, fiskal, dan/atau eksternal. Di samping
itu, model CGE yang digunakan juga tidak memiliki keterkaitan antar waktu dalam hubungan
antar variabel.
I.3
Sistematika Penulisan
Hasil penelitian itu disusun dengan sistematika sebagai berikut. Bagian I menjelaskan
latar belakang perlunya pengembangan model serta tujuan dari pengembangan tersebut.
Bagian II berisi tinjauan literatur. Bagian III menguraikan kondisi infrastruktur fisik di Indonesia.
Bagian IV menjelaskan struktur dan spesifikasi model. Bagian V menganalisis hasil simulasi
kebijakan dari model. Sementara itu, bagian VI berisi simpulan.
4
II.
Tinjauan Pustaka
Paper itu mempunyai keterkaitan dengan beberapa studi yang terdapat dalam literatur.
Di satu sisi, paper itu merujuk pada studi-studi yang menganalisis dampak reformasi struktural
terhadap perekonomian di negara-negara lain, terutama yang menggunakan model-model
DSGE. Di sisi lain, dari sisi pemodelan di Bank Indonesia paper itu berhubungan dengan
beberapa studi di Bank Indonesia yang menggunakan model-model DSGE.
II.1
Model DSGE untuk Menganalisis Dampak Pengeluaran Pemerintah terhadap
Perekonomian
Salah satu model yang digunakan untuk menganalisis dampak reformasi struktural
berupa pengeluaran pemerintah adalah model DSGE. Ganelli dan Tervalla (2015) menganalisis
dampak pembangunan infrastruktur (public investment) terhadap output dan kesejahteraan
dengan menggunakan model DSGE New Keynesian dengan struktur model dua negara. Dalam
model itu, konsumsi pemerintah dimasukkan ke dalam fungsi utilitas rumah tangga.
Pengeluaran pemerintah terdiri atas dua jenis, yaitu pengeluaran konsumsi dan pengeluaran
investasi, sedangkan pendapatan pemerintah berasal dari pajak. Investasi pemerintah itu akan
mengakumulasi public capital good. Perusahaan memaksimalisasi profit dengan Calvo Pricing
berdasarkan fungsi produksi bergantung pada labor input dan juga bergantung pada stok
kapital infrastruktur publik. Hasil penelitian Ganeli dan Tervalla menunjukkan bahwa investasi
pemerintah meningkatkan output jangka menengah. Investasi pemerintah secara efisien
diperlukan untuk memastikan multiplier kesejahteraan yang positif.
Bom dan Ligthart (2014) melihat dampak pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur
terhadap output dan kesejahteraan untuk small open economy anggota OECD dengan
menggunakan model Real Business Cycle (RBC). Studi Bom dan Lighthart mencoba menjawab
pertanyaan apakah investasi pemerintah dapat secara efektif medorong output dan
meningkatkan kesejahteraan pada saat pemerintah harus terikat pada balanced-budget fiscal
rule. Selain itu, mereka juga melihat dinamika dari dampak investasi pemerintah tersebut.Salah
satu karakteristik dari spesifikasi model yang mereka bangun adalah preferensi yang
digambarkan dengan constant elasticity of substitution (CES), yaitu intratemporal susbstitution
effect dari labor supply dapat dipisahkan dari intertemporal substitution effect-nya. Dalam
modelnya, investasi pemerintah dibiayai dengan distortionary labor tax. Bom dan Lighthart
menemukan bahwa pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur mempunyai multiplier negatif
dalam jangka pendek, tetapi berdampak positif dalam jangka panjang dan kesejahteraan secara
keseluruhan. Dampak negatif dalam jangka pendek terjadi karena penurunan labor supply yang
disebabkan oleh distortionary labor tax.
5
Untuk Indonesia, studi terkait dampak pengeluaran pemerintah terhadap output telah
dilakukan antara lain oleh Jha et al (2010) dan Tang et al (2013). Kedua paper tersebut
difokuskan pada estimasi fiscal multiplier di beberapa negara Asia, termasuk Indonesia.5 Jha et
al menggunakan model SVAR untuk mengestimasi efektivitas kebijakan fiskal di 10 negara
berkembang di Asia. Hasil penelitian Jha et al menemukan bahwa peningkatan pengeluaran
Pemerintah dapat memberikan dampak yang positif terhadap PDB negaa masing-masing.
Sementara itu, kebijakan fiskal kontraktif melalui kenaikan pajak justru mendorong
pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi untuk beberapa negara,antara lain Singapura dan
Taiwan. Hasil penelitian Jha et al menunjukkan bahwa cumulative fiscal multiplier dari
pengeluaran pemerintah di Indonesia adalah 0,19 lebih tinggi daripada fiscal multiplier akibat
penurunan pajak (0,18).
Tang et al (2013) melakukan estimasi fiscal multiplier untuk 5 negara ASEAN (Indonesia,
Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand) dengan menggunakan model SVAR. Hasil estimasi
Tang et al menunjukkan bahwa kebijakan fiskal berupa penurunan pajak dapat memberikan
dampak yang positif untuk kelima negara ASEAN. Untuk Indonesia, fiscal multiplier dari
penurunan pajak dapat mencapai 0,43. Sebaliknya, kebijakan peningkatan pengeluaran
pemerintah dapat memberikan dampak multiplier negatif khususnya bagi Indonesia (-0,34),
Singapura (-0,16), dan Thailand (-0,27). Faktor utama yang diduga menjadi penyebab dampak
negatif adalah impor yang meningkat karena tergolong small dan highly open economy.
Berbeda dengan kedua studi di atas yang melihat dampak pengeluaran pemerintah
secara total terhadap output, dalam penelitian itu pengeluaran pemerintah yang dilihat bukan
secara agregat tetapi dari tiap-tiap komponen, yaitu pengeluaran untuk investasi dan
pengeluaran untuk konsumsi. Dengan demikian, dampak dari upaya pemerintah meningkatkan
pengeluaran investasi dapat dikuantifisir dengan model DSGE yang dibangun.Selain itu,
mengingat model DSGE adalah model yang berlandaskan pada ekonomi mikro (microfounded
model), besarnya dampak pengeluaran pemerintah tidak hanya dapat dilihat terhadap output,
tetapi juga terhadap besaran makro lainnya (seperti inflasi dan trade balance) serta
kesejahteraan.
5
Fiscal multiplier merupakan indikator yang sering digunakan untuk mengukur dampak kebijakan
fiskal terhadap kondisi perekonomian. Konsep multiplier pertama sekali diperkenalkan oleh Kahn
(1931) dan Keynes (1936). Fiscal multiplier dapat dihitung dari rasio perubahan pendapatan nasional
terhadap perubahan pengeluaran Pemerintah atau penerimaan pajak.
6
II.2
Model-model DSGE di Bank Indonesia
Sebagaimana banyak bank sentral lain, Bank Indonesia juga telah mengembangkan
model-model berbasis DSGE. Penelitian itu menambahkan penggunaan model DSGE yang telah
ada di Bank Indonesia. Pasca-krisis keuangan global, pemodelan DSGE di Bank Indonesia lebih
difokuskan pada penambahan sektor finansial. Tjahjono dan Waluyo (2010) mengembangkan
model DSGE dengan memasukkan faktor financial accelerator (efek procyclicality). Penelitian
tersebut bertujuan untuk menangkap financial accelerator dan dampaknya terhadap
makroekonomi ketika terjadi shock, menangkap keterkaitan antara sektor moneter dan
makroprudensial, melakukan simulasi dampak kenaikan harga BBM dan menganalisis bauran
kebijakan dalam menghadapi resesi ekonomi dan krisis perbankan. Hasil simulasinya
menunjukkan kekonsistenan jika dibandingkan dengan model VAR. Ketika terjadi monetary
shocks, model dengan financial accelerator memiliki dampak makroekonomi yang lebih besar
daripada tanpa financial accelerator. Kenaikan harga minyak berpotensi memberikan dampak
negatif berupa penurunan output, peningkatan inflasi, dan depresiasi rupiah. Dampak
kebijakan moneter tercatat lebih besar dari kebijakan perbankan berupa Aktiva Tertimbang
Menurut Risiko (ATMR). Namun, bauran kebijakan tetap diperlukan untuk menjaga besaran
rasio kecukupan modal dan menghindari risiko sistemik.
Harmanta et al (2012) mengembangkan model DSGE yang dilengkapi dengan sektor
perbankan dan menggunakan financial friction pada sektor rumah tangga, yaitu berupa
collateral constraints. Model itu dapat digunakan sebagai salah satu alat bantu dalam
melakukan formulasi bauran kebijakan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Hasil simulasinya
menunjukkan bahwa peningkatan BI rate akanmeningkatkan suku bunga retail perbankan,
mengurangi penyaluran pinjaman, dan meningkatkan risk-free aset, sehingga pada akhirnya
menurunkan PDB dan inflasi. Peningkatan rasio reserve requirement (GWM) tidak memiliki
dampak yang signifikan karena ekses likuiditas perbankan Indonesia. Peningkatan rasio loan to
value (LTV) untuk kredit rumah tangga/perusahaan dapat mendorong peningkatan output dan
inflasi.
Harmanta et al (2013) menyempurnakan model sebelumnya dengan menambah
financial frictions pada sisi entrepreneurs berupa financial accelerator, disamping frictions pada
sisi household berupa collateral constraints. Hasil simulasinya menunjukkan bahwa peningkatan
BI rate akan meningkatkan suku bunga retail perbankan, mengurangi penyaluran pinjaman,
dan meningkatkan risk-free aset, sehingga pada akhirnya menurunkan PDB dan inflasi. Bank
juga menanggung risiko akibat tergerusnya modal karena peningkatan non-performing loans
(NPL). Peningkatan rasio LTV rumah tangga akan meningkatkan pembelian aset, output, dan
inflasi. Peningkatan capital adequacy ratio (CAR) akan menurunkan loan to deposit ratio (LDR),
7
investasi, dan produksi, sehingga PDB dan inflasi mengalami penurunan. Bauran kebijakan
antara moneter dan makroprudensial akan menghasilkan PDB dan inflasi yang stabil
sertamengendalikan konsumsi dan permintaan impor.
Harmanta et al (2014) melengkapi model sebelumnya dengan mekanisme interbank
market sebagai financial frictions dari sisi supply, sedangkan dari sisi demand digunakan
financial frictions berupa collateral constraint dan financial accelerator. Hasil simulasinya
menunjukkan bahwa shock yang terjadi pada interbank market akan memengaruhi kondisi
bank secara umum, terutama pada modal bank, rasio kecukupan modal, dan LDR. Model
mereka mampu menangkap prosiklikalitas dan financial accelerator yang terjadi. Bauran
kebijakan moneter dan makroprudensial akan menghasilkan dinamika PDB dan inflasi yang
cenderung lebih stabil daripada menggunakan hanya satu instrumen kebijakan.
II.3
Kondisi Infrastruktur Indonesia
Dalam beberapa tahun terakhir kondisi infrastruktur Indonesia telah mengalami
perbaikan. Perbaikan tersebut tercermin dari indeks daya saing infrastruktur Indonesia yang
diterbitkan oleh World Economic Forum (WEF) yang mengalami perbaikan selama lima tahun
terakhir, yaitu meningkat pesat dari peringkat 81 pada tahun 2015 menjadi peringkat 60 pada
tahun 2016 (Gambar 1a). Perbaikan menonjol terjadi pada kualitas rel kereta api, jalan, dan
pelabuhan (Gambar 1b).
Gambar 1(a)
Gambar 1(b)
Sumber: WEF The Global Competitiveness Report 2010-2016
Catatan: Indeks yang lebih kecil menunjukkan peringkat yang semakin baik sedangkan nilai menggunakan skala 1-7
dan semakin besar semakin baik.
Gambar 1.Indeks Infrastruktur Indonesia
Meskipun telah mengalami perbaikan, dalam beberapa aspek infrastruktur Indonesia
masih tertinggal dibandingkan dengan beberapa negara peer di kawasan. Data dari The Global
Competitiveness Report tahun 2016-2017 yang dirilis oleh World Economic Forum
menunjukkan bahwa skor infrastruktur Indonesia secara keseluruhan sebesar 3,8 (peringkat 80)
8
masih jauh di bawah Malaysia dan Thailand, yang masing-masing memiliki skor 5,5, (peringkat
19) dan 4,0 (peringkat 72) (Gambar 2). Secara terperinci, untuk kualitas jalan raya Indonesia
mendapatkan skor 3,9 (peringkat 75 dunia), berada di bawah Malaysia dengan skor 5,5
(peringkat 20) dan Thailand dengan skor 4,4 (peringkat 60). Sementara itu, kualitas
infrastruktur rel kereta api Indonesia mendapat skor 3,8 (peringkat 39) juga berada di bawah
Malaysia sebesar 5,1 (peringkat 15). Skor kualitas infrastruktur pelabuhan Indonesia sebesar 3,9
(peringkat 75) juga di bawah Malaysia dengan skor 5,4 (peringkat 17) dan Thailand dengan
skor 4,2 (peringkat 65). Untuk kualitas infrastruktur bandara Indonesia mendapatkan skor 4,5
(peringkat 62), sementara Malaysia dan Thailand masing-masing telah mencapai skor 5,7
(peringkat 20) dan skor 5,0 (peringkat 42).
140
120
100
80
60
40
20
0
Infrastruktur
Jalan
Kereta Api
Indonesia
Pelabuhan Transportasi
udara
Malaysia
Thailand
Vietnam
Listrik
Telepon
bergerak
Telepon
tetap
Philippines
Sumber: WEF The Global Competitiveness Report 2016-2017
Gambar 2. Indeks Infrastruktur Beberapa Negara ASEAN
Laporan WEF juga menyebutkan bahwa minimnya penyediaan infrastruktur menempati
urutan ketiga sebagai penghambat utama berkembangnya dunia usaha selama beberapa tahun
terakhir, setelah faktor korupsi dan inefisiensi birokrasi pemerintah (Gambar 3).
9
Sumber: WEF The Global Competitiveness Report 2016-2017
Gambar 3. Problem Utama Dunia Usaha di Indonesia
Salah satu infrastruktur yang jadi perhatian Pemerintah adalah konektivitas antar
wilayah.Permasalahan infrastruktur terkait dengan konektivitas seperti keterbatasan pelabuhan
dan kualitas jalan yang rendah yang menyebabkan tingginya biaya logistik merupakan
permasalahan mendasar yang banyak ditemukan di Indonesia. Penyediaan infrastruktur itu akan
mendorong penurunan biaya transportasi dan biaya logistik sehingga dapat meningkatkan daya
saing produk, dan mempercepat daya gerak ekonomi. Hasil Indeks Kinerja Logistik atau
Logistics Performance Index (LPI) 2016 yang dirilis Bank Dunia menunjukkan bahwa Indonesia
menempati peringkat ke-63 dari 160 negara yang dipantau, dengan skor 2,98 dan turun 10
peringkat jika dibandingkan pada LPI 2014.
Jika dibandingkan dengan negara-negara peer di kawasan, Indonesia masih berada di
bawah Malaysia dan Thailand dalam semua aspek LPI, yaitu bea cukai, infrastruktur, pengiriman
internasional, kompetensi logistik, pelacakan dan pencatatan, serta aktualitas waktu. Indonesia
mencatat nilai 2,69 untuk bea cukai, sedangkan Malaysia dan Thailand masing-masing memiliki
skor 3,17 dan 3,11. Untuk infrastruktur, Indonesia mencatat skor 2.65, sedangkan Malaysia dan
Thailand masing-masing sebesar 3,45 dan 3,12.Sementara itu, dalam aspek pengiriman
internasional skor Indonesia adalah 2,90 juga di bawah Malaysia sebesar 3,48, dan Thailand
sebesar 3,37. Dalam aspek kompetensi logistik, Indonesia memperoleh nilai 3,00 sementara
Malaysia dan Thailand masing-masing memiliki skor 3,34, dan 3,14 (Gambar 4).
10
Sumber: World Bank
Gambar 4.Perbandingan Kinerja Logistik Dengan Negara Tetangga
II.4
Investasi Pemerintah untuk Infrastruktur
Salah satu penyebab utama keterbatasan infrastruktur Indonesia adalah relatif
rendahnya investasi pemerintah.Rasio investasi pemerintah terhadap PDB di Indonesia selama
2006-2014 secara rata-rata hanya sebesar 2%, jauh berada di bawah Malaysia dan Thailand
yang masing-masing mecapai 9.9% dan 6.4% (Gambar 5). Pada tahun 2015, investasi
Pemerintah telah mengalami peningkatan yang cukup signifikan, yaitu dari 2.41% PDB menjadi
3,23% PDB, sedikit melampaui investasi pemerintah di Filipina yang hanya sebesar 2,81%.
Namun, masih jauh lebih rendah dari Malaysia dan Thailand.
12
% thd PDB
10
8
6
4
2
0
2006
2007
Indonesia
2008
2009
2010
Malaysia
2011
2012
Thailand
2013
2014
2015
Philippines
Sumber: World Bank
Gambar 5.Perbandingan Investasi Pemerintah dengan Negara Tetangga
Untuk mencapai pertumbuhan yang tinggi dan berkesinambungan, Pemerintah
berkomitmen untuk memperbaiki ketersediaan dan kualitas infrastruktur. Hal itu terlihat dari
berbagai sasaran pembangunan infrastruktur yang akan dicapai akhir tahun 2019, sebagaimana
tertuang dalam RPJMN 2014-2019 (Tabel 1).
11
Tabel 1. Sasaran Infrastruktur dalam RPJMN (2015-2019)
INDIKATOR
Kondisi 2014
KEDAULATAN ENERGI
Rasio Elektrifikasi (%)
84.1
Konsumsi listrik per kapita (kWh)
843
Pembangunan FSRU (unit)
2
Jaringan pipa gas (km)
11,960
Pembangunan SPBG (unit)
40
Jaringan gas kota (sambungan
102 ribu
rumah)
Pembangunan kilang baru (unit)
INFRASTRUKTUR DASAR
Akses Air Minum layak
68.5%
Akses Sanitasi Layak
60.5%
Kawasan Kumuh Perkotaan
37.407 Ha
Backlog Kebutuhan Rumah
13.5 Juta
KONEKTIVITAS
Kemantapan Jalan Nasional
94%
Biaya Logistik
23.5%
Pangsa Angkutan Umum
23%
Kab/Kota yang dijangkau pitalebar
72%
KETAHANAN AIR
Kapasitas Air Baku
51.4 M3/Detik
Storage Per Kapita
62.3 M3/Kapita
Irigasi yang diairi waduk
11%
Jaringan Irigasi Permukaan
7,145 Juta Ha
Kapasitas Desain Banjir
5-25 Tahunan
Target Akhir 2019
96.6
1200
3
17,690
118
1 jt
2
100%
100%
0 Ha
6.8 Juta
100%
19.2 %
32%
100%
118.6M/Detik
78.36 M3/Kapita
20%
7,914 Juta Ha
10-100 Tahunan
Sumber: RPJMN 2015-2019
Untuk mencapai target-target tersebut Pemerintah telah menetapkan infrastruktur yang
akan dibangun dalam periode 2015-2019 (Tabel 2). Proyek infrastruktur yang menjadi proyek
strategis nasional pemerintahan sekarang berjumlah 225 proyek. Di samping itu, terdapat satu
proyek kelistrikan nasional sebesar 35,000 megawatt (MW) yang terpisah dari jumlah tersebut,
tetapi tetap masuk dalam proyek strategis nasional. Dari keseluruhan proyek tersebut,
setidaknya 46 proyek tersebar di wilayah Sumatera, 89 proyek berada di Jawa, 24 proyek ada di
Kalimantan, serta 16 proyek berada di Bali dan Nusa Tenggara. Selain itu, Sulawesi juga
mendapat 28 proyek, Maluku dan Papua memperoleh 13 proyek,
serta 10 proyek yang
tersebar di beberapa provinsi. Proyek strategis nasional itu didasarkan pada Peraturan Presiden
Nomor 3/2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, serta Intruksi
Presiden Nomor 1/2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.
12
Tabel 2.Target Infrastruktur 2015-2019
Jalan
Kereta api
Pelabuhan
Transportasi
udara
Angkutan
darat
Bendungan
dan irigasi
Teknologi
Komunikasi
dan Informasi
Perumahan
Pengelolaan air
minum
Sanitasi layak
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
Jalan baru 2,650 Km
Jalan tol 1,000 Km
Pemeliharaan jalan 46,770 Km
Pembangunan Jalur KA 3,258 km di Jawa, Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan
terdiri dari: KA Antar kota 2,159 km dan KA Perkotaan 1,099 km
Pembangunan 24 Pelabuhan baru
Pengadaan 26 Kapal Barang Perintis
Pengadaan 2 Kapal Ternak
Pengadaan 500 unit kapal Rakyat
Pembangunan Pelabuhan Penyeberangan di 60 lokasi
Pengadaan kapal penyeberangan (terutama perintis) sebanyak50 unit
Pembangunan 15 Bandara baru
Pengadaan 20 Pesawat Perintis
Pengembangan Bandara untuk pelayanan Cargo Udara di 6 Lokasi
Pembangunan BRT di 29 kota
Pembangunan angkutan massal cepat di kawasan perkotaan (6 Kota
metropolitan, 17 Kota besar)
Pembangunan 49 Waduk Baru dan 33 PLTA
Pembangunan/Peningkatan jaringan irigasi 1 Juta Ha
Rehabilitasi 3Juta Ha Jaringan Irigasi
Jangkauan Pitalebar/broadbanddi 100% kab/kota
Indeks e-government mencapai 3.4 (skala 4.0)
Pengembangan e-pengadaan, e-kesehatan, e-pendidikan, dan e-logistik
Pembangunan Rusanawa 5,257 Twinblok (515,711 rumah tangga)
Bantuan stimulan perumahan swadaya 5.5 Juta rumah tangga
Penanganan kawasan kumuh 37,407 Ha
Fasilitasi kredit perumahan untuk MBR 2.5 Juta rumah tangga
Pembangunan SPAM di perkotaan 21.4 juta sambungan rumah (268,680
liter/detik)
Pembangunan SPAM di perdesaan 11.1 juta sambungan rumah (22,647 desa)
Pembangunan sistem air limbah komunal di 227 kota/kab dan terpusat di 430
kota/kab
Pembangunan IPLT untuk pengelolaan lumpur tinja perkotaan di 409 kota/kab
Pembangunan TPA sanitary landfill dan fasilitas 3R di 341 kota/kab dan
fasilitas 3R terpusat & komunal di 294 kota/kab
Pengurangan genangan seluas 22,500 Ha di kawasan permukiman
Sumber: RPJMN 2015-2019
Percepatan pelaksanaan proyek strategis nasional diatur dalam Peraturan Presiden No. 3
Tahun 2016. Hal-hal yang diatur antara lain berupa perizinan dan non perizinan, pengadaan
barang/jasa
oleh
pemerintah,
diskresi
dalam
penyelesaian
masalah
dan
hambatan
(debottlenecking), rencana tata ruang, penyediaan/pembebasan lahan, pendanaan dan jaminan
pemerintah, serta penggunaan komponen dalam negeri. Data Kementerian Perekonomian
(Kemenko) menyebutkan bahwa pada Juni 2016, 86 (44%) proyek di antaranya sudah masuk
tahap konstruksi dan telah dilakukan groundbreaking, sedangkan 139 sisanya masih dalam
tahap perencanaan atau baru akan dilaksanakan.Selain itu,hingga Juni 2016, 17,800 MW
kontrak proyek kelistrikantelah ditandatangani dari total proyek 35,000 MW.
13
Untuk percepatan pembangunan infrastruktur, Pemerintah telah melakukan reformasi
fiskal, institusi, dan regulasi.Reformasi institusi yang dilakukan di antaranya adalah penguatan
KPPIP (Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas), dan Perpres Proyek Strategis
Nasional. Selain itu, Pemerintah juga melakukan reklasifikasi proyek-proyek agar penyelesaian
proyek lebih fokus. Dari 225 proyek strategis nasional dan 1 program listrik yang ada,
berdasarkan Permenko Ekonomi No.12 Tahun 2015, pemerintah menetapkan 30 proyek
prioritas yang akan dikawal khusus oleh KPPIP.
Investasi infrastruktur yang menjadi prioritas pemerintah masih terkendala kurangnya
pendanaan. Data Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas) dalam RPJMN 20152019 menyebutkan kebutuhan pendanaan infratsruktur prioritas pada periode 2015-2019
diperkirakan senilai Rp5,519.4 triliun. Kebutuhan dana tersebut terdiri atas kebutuhan belanja
kementerian/lembaga dan transfer daerah (APBN dan APBD) mencapai Rp 2,760.9 triliun atau
sekitar 50.02 persen, juga Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebesar Rp 1,066.2 triliun atau
sekitar 19.32 persen, dan partisipasi swasta senilai Rp 1,692.3 triliun atau sekitar 30.66 persen
(Tabel 3).
Tabel 3.Kebutuhan Pendanaan Infrastruktur RPJMN 2015-2019
Sektor
APBN 1
APBD
BUMN 2
Swasta 3
Total
Jalan
340.0
200.0
65.0
200.0
805.0
Kereta Api
150.0
-
11.0
122.0
283.0
Perhubungan Laut4
498.0
-
238.2
163.8
900.0
Udara
85.0
5.0
50.0
25.0
165.0
Darat (termasuk ASDP)
50.0
-
10.0
-
60.0
Transportasi Perkotaan 5
90.0
15.0
5.0
5.0
115.0
Ketenagalistrikan6
100.0
-
445.0
435.0
980.0
Energi (Migas)
3.6
-
151.5
351.5
506.6
Teknologi Komunikasi dan
Informatika
12.5
15.3
27.0
223.0
277.8
Sumber Daya Air
275.5
68.0
7.0
50.0
400.5
Air Minum dan Limbah
227.0
198.0
44.0
30.0
499.0
Perumahan
384.0
44.0
12.5
87.0
527.5
545.3
1,066.2
Total Infrastruktur
1,692.3
5,519.4
2,215.6
Persentase
40.14%
9.88%
19.32
%
30.66%
100.00%
Sumber: BAPPENAS
Catatan:
1) Dukungan pendanaan APBN yang diharapkan
2) Dukungan pendanaan BUMN yang diharapkan.
3) Kemampuan maksimal swasta melalui percepatan kerjasama pemerintah dan swasta termasuk business to
business
14
4)
5)
6)
Kenaikan karena pertambahan komponen tol laut serta biaya rutin
Alokasi tersebut terdiri untuk kegiatan Angkutan Perkotaan Berbasis Rel dan Jalan.
Kemampuan PT PLN hanya sekitar Rp 250 T, selebihnya memerlukan PMN
Sejalan dengan upaya pemerintah untuk memperbaiki ketersediaan dan kualitas
infrastruktur, anggaran pemerintah untuk infrastruktur juga mengalami peningkatan yang
signifikan. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, pengeluaran Pemerintah untuk
infrastruktur pada tahun 2015 mencapai Rp 290,3 triliun (3,23% dari PDB), dan mengalami
peningkatan sebesar 40,5% dari tahun sebelumnya. Kenaikan masih terlihat di tahun 2016
dimana alokasi anggaran infrastruktur mencapai angka Rp 313,5 triliun, sedangkan pada tahun
2017, anggaran infrastruktur dipatok sebesar Rp 346,6 triliun. Dengan peningkatan anggaran
untuk infrastruktur sampai dengan tahun 2019, belanja pemerintah untuk infrastruktur
diperkirakan akan mencapai 4.21 % terhadap PDB (Gambar 6). Secara total tahun 2015-2019
anggaran infrastruktur pemerintah diperkirakan sekitar Rp 1.796,2 triliun.
500
450
400
350
300
250
200
150
100
50
0
4.21%
3.23% 3.33%
3.50%
3.67%
4.00%
3.50%
3.00%
2.41%
1.93%
4.50%
2.50%
1.81% 1.87% 1.89% 1.79%
1.66% 1.70%
1.90%
2.00%
1.50%
1.18%
% thd PDB
Rp triliun
Belanja Infrastruktur Pemerintah
1.00%
0.50%
0.00%
Total Belanja Infrastruktur
% terhadap PDB
Sumber: BAPPENAS, Kemenkeu, BI diolah.
Gambar 6.Belanja Infrastruktur Pemerintah 2015-2019
15
III.
Model DSGE dengan Sektor Fiskal
Model yang dikembangkan untuk penelitian itu didasarkan pada model Ganelli dan
Tervala (2015), karena konsumsi dan investasi pemerintah dimasukkan secara terpisah ke dalam
New Keynesian DSGE Model. Modifikasi utama dilakukan dengan menerapkan asumsi small
open economy untuk memperkaya asesmen dampak reformasi struktural di Indonesia. Secara
umum, model yang dikembangkan juga telah memuat fitur standar model DSGE berdasarkan
model Gali dan Monacelli (2005). Skema model secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Skema Model
III.1 Sisi Permintaan: Rumah Tangga
III.1.1 Maksimisasi UtilitasRumah Tangga
Seluruh rumah tangga diasumsikan memiliki preferensi yang sama. Rumah tangga
memaksimalkan fungsi utilitasnya berdasarkan pilihan tingkat konsumsi ๐ถ๐‘ก dan waktu yang
digunakan untuk istirahat (di luar waktu bekerja ๐‘๐‘ก ), dengan mempertimbangkan public
goods ๐บ๐‘ก๐ถ yang sudah disediakan oleh Pemerintah.
๐ถ 1−๐œŽ
๐‘ก ๐‘ก
max ๐ธ๐‘ก ∑∞
๐‘ก=0 ๐›ฝ [ 1−๐œŽ −
{๐ถ๐‘ก ,๐‘๐‘ก }
(๐‘๐‘ก )1+๐œ‘
1+๐œ‘
+ ๐œˆ log ๐บ๐‘ก๐ถ ]
…(3.1)
di mana ๐›ฝ adalah discount factor, ๐œŽ adalah wealth effect, ๐œ‘ adalah elastisitas labor supply, dan
๐œˆ adalah pangsa konsumsi pemerintah relatif terhadap konsumsi swasta.
16
Rumah tangga memiliki pendapatan yang bersumber dari penghasilan atas penyediaan
tenaga kerja kepada perusahaan ๐‘Š๐‘ก ๐‘๐‘ก , pendapatan deposito (1 + ๐‘–๐‘ก )๐ท๐‘ก, dan dividen dari
perusahaan yang dimilikinya Π๐‘ก . Penghasilan tersebut digunakan untuk membayar pajak ๐‘‡๐‘ก dan
membiayai pengeluaran konsumsi. Dengan demikian, budget constraint yang dihadapi oleh
rumah tangga adalah:
๐‘ƒ๐‘ก ๐ถ๐‘ก + ๐‘„๐‘ก+1 ๐ท๐‘ก+1 = ๐ท๐‘ก + ๐‘Š๐‘ก ๐‘๐‘ก + Π๐‘ก − ๐‘ƒ๐‘ก ๐‘‡๐‘ก
๐‘„๐‘ก+1 =
1
1+๐‘–๐‘ก
…(3.2)
adalah stochastic discount factor. Dalam budget constraint, pengeluaran konsumsi
dan pajak dikalikan dengan tingkat harga untuk mendapatkan bentuk nominalnya.
Pengoptimalan fungsi tujuan (3.1) dengan budget constraint (3.2) akan menghasilkan
solusi optimum (First Order Condition) untuk konsumsi ๐ถ๐‘ก dan waktu kerja ๐‘๐‘ก sebagai berikut:
๐ถ๐œŽ๐‘ก = ๐‘„๐‘ก+1 ๐ธ๐‘ก {๐ถ๐œŽ๐‘ก+1
๐œ‘
๐‘๐‘ก =
๐‘ƒ๐‘ก+1 1
๐‘ƒ๐‘ก
}๐›ฝ
…(3.3)
๐‘Š๐‘ก
๐ถ๐‘ก๐œŽ ๐‘ƒ๐‘ก
…(3.4)
Rumah tangga menetapkan besaran konsumsi pada waktu ๐‘ก (๐ถ๐‘ก ), dengan memperhatikan
ekspektasi pengeluaran konsumsi pada waktu yang akan datang ๐ถ๐œŽ๐‘ก+1 , perubahan harga
๐‘ƒ๐‘ก+1
๐‘ƒ๐‘ก
,
๐œ‘
dan discount factor. Sementara itu, rumah tangga memilih waktu bekerja sebanyak ๐‘๐‘ก sesuai
dengan upah yang diterima sebesar ๐‘Š๐‘ก untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya.
III.1.2 Alokasi Optimum Konsumsi Rumah Tangga
Konsumsi rumah tangga ๐ถ๐‘ก merupakan indeks komposit dari konsumsi barang domestik
๐ถ๐ป,๐‘ก dan barang luar negeri ๐ถ๐น,๐‘ก .
๐œ‚−1
๐œ‚
1
๐œ‚
๐ถ๐‘ก = [(1 − ๐›ผ) (๐ถ๐ป,๐‘ก )
๐œ‚
๐œ‚−1 ๐œ‚−1
๐œ‚
1
๐œ‚
+ ๐›ผ (๐ถ๐น,๐‘ก )
]
di mana (1 − ๐›ผ) adalah derajat home bias konsumsi dan ๐œ‚ adalah elastisitas substitusi antara
barang produksi domestik dan luar negeri. Tiap-tiap konsumsi barang domestik ๐ถ๐ป,๐‘ก dan luar
negeri ๐ถ๐น,๐‘ก merupakan konsumsi agregat dari berbagai jenis barang ๐‘—, yaitu sebagai berikut:
1
๐œ€−1
๐œ€
๐ถ๐ป,๐‘ก = (∫ ๐ถ๐ป,๐‘ก (๐‘—)
๐œ€
๐œ€−1
๐‘‘๐‘—)
0
1
๐›พ−1
๐›พ
๐ถ๐น,๐‘ก = (∫ ๐ถ๐น,๐‘ก (๐‘—)
๐›พ
๐›พ−1
๐‘‘๐‘—)
0
17
di mana ๐œ€ adalah elastisitas substitusi antar barang di dalam negeri dan ๐›พ adalah elastisitas
substitusi antar barang di luar negeri.
Rumah tangga memaksimalkan konsumsi total dengan menetapkan alokasi konsumsi
berbagai jenis barang ๐‘—, untuk setiap level pengeluaran ๐‘๐‘ก .
1
1
๐œ—
1−
max (∫ ๐ถ๐‘ฅ,๐‘ก (๐‘–)
{๐ถ๐‘ฅ,๐‘ก }
๐œ—
๐œ—−1
๐‘‘๐‘–)
0
1
๐‘ . ๐‘ก ∫ ๐‘ƒ๐‘ฅ,๐‘ก (๐‘–)๐ถ๐‘ฅ,๐‘ก (๐‘–)๐‘‘๐‘– = ๐‘๐‘ก
0
๐‘ฅ = ๐ป, ๐น, dan ๐œ— = ๐œ€, ๐›พ. Solusi optimum (FOC) dari permasalahan itu adalah rumah tangga
menetapkan konsumsi barang ๐‘— sesuai dengan perbandingan harga relatif terhadap barang
lainnya dan elastisitas substitusi antar barang, sebagaimana dapat dituliskan dalam persamaan
berikut:
−๐œ—
๐ถ๐‘ฅ,๐‘ก (๐‘—) = (
๐‘ƒ๐‘ฅ,๐‘ก (๐‘—)
)
๐‘ƒ๐‘ก
๐ถ๐‘ก
Lebih jauh, rumah tangga juga akan memaksimalkan alokasi konsumsi antara barang
domestik dan luar negeri. Dengan langkah penyelesaian yang sama seperti sebelumnya,
diperoleh solusi optimum konsumsi barang domestik dan kondumsi barang lar negeri sebagai
berikut:
๐‘ƒ๐ป,๐‘ก −๐œ‚
๐ถ๐ป,๐‘ก = (1 − ๐›ผ) (
) ๐ถ๐‘ก
๐‘ƒ๐‘ก
๐‘ƒ๐น,๐‘ก −๐œ‚
๐ถ๐น,๐‘ก = ๐›ผ (
) ๐ถ๐‘ก
๐‘ƒ๐‘ก
di mana
1−๐œ‚
๐‘ƒ๐‘ก = [(1 − ๐›ผ)(๐‘ƒ๐ป,๐‘ก )
1
1−๐œ‚ ๐œ‚−1
+ ๐›ผ(๐‘ƒ๐น,๐‘ก )
]
…(3.5)
adalah indeks harga konsumen.
III.1.3 Hubungan antara Harga dan Konsumsi Domestik dengan Luar Negeri
Perbandingan harga antara barang domestik dan luar negeri (terms of trade)
๐‘ƒ
dinotasikan dengan ๐‘†๐‘ก = ๐‘ƒ๐น,๐‘ก , atau dalam bentuk log-linear menjadi ๐‘ ๐‘ก = ๐‘๐น,๐‘ก − ๐‘๐ป,๐‘ก . Sementara
๐ป,๐‘ก
itu, log-linear dari persamaan indeks harga konsumen (3.5) pada kondisi steady state
menghasilkan ๐‘๐‘ก = (1 − ๐›ผ)๐‘๐ป,๐‘ก + ๐›ผ๐‘๐น,๐‘ก , sehingga ๐‘๐‘ก = ๐‘๐ป,๐‘ก + ๐›ผ๐‘ ๐‘ก . Dalam terminologi inflasi,
perubahan indeks harga konsumen ditentukan oleh perubahan harga dalam negeri dan
perubahan terms of trade.
18
๐œ‹๐‘ก = ๐œ‹๐ป,๐‘ก − ๐›ผ(๐‘ ๐‘ก − ๐‘ ๐‘ก−1 )
Harga barang luar negeri dalam mata uang domestik (๐‘๐น,๐‘ก ) sama dengan harga barang
dunia dalam mata uang luar negeri (๐‘๐‘ก∗ ) dikalikan dengan nilai tukar nominal ๐‘๐น,๐‘ก = ๐‘’๐‘ก + ๐‘๐‘ก∗ .
Dengan demikian,terms of trade juga dapat diformulasikan dengan:
๐‘ ๐‘ก = ๐‘’๐‘ก + ๐‘๐‘ก∗ − ๐‘๐ป,๐‘ก
Sementara itu, nilai tukar riil dapat didefinisikan sebagai perubahan harga luar negeri dalam
nilai domestik dibagi dengan harga domestik (indeks harga konsumen):
๐‘ž๐‘ก = ๐‘’๐‘ก + ๐‘๐‘ก∗ − ๐‘๐‘ก
sehingga diperoleh hubungan antara nilai tukar riil dan terms of trade sebagai berikut:
๐‘ž๐‘ก = (1 − ๐›ผ)๐‘ ๐‘ก
Lebih jauh, dengan asumsi linearitas, perubahan nilai tukar riil dan pertumbuhan dunia untuk
memenuhi kebutuhan dalam negeri akan menentukan besarnya perubahan konsumsi domestik:
1
๐‘๐‘ก = ๐‘๐‘ก∗ + ๐‘ž๐‘ก
๐œŽ
(1
−
๐›ผ)
๐‘๐‘ก = ๐‘๐‘ก∗ +
๐‘ ๐‘ก .
๐œŽ
III.1.4 Market Clearing antara Konsumsi dan Produksi
Dalam keseimbangan pasar, perusahaan memproduksi barang dengan jumlah yang
sama dengan pengeluaran pemerintah dan konsumsi rumah tangga sedemikian sehingga:
๐‘Œ๐‘ก =
๐บ๐ถ๐‘ก
+
๐บ๐ผ๐‘ก
๐‘ƒ๐ป,๐‘ก
+ (1 − ๐›ผ) (
๐‘ƒ๐‘ก
−๐œ‚
)
1
( ๐ถ๐‘ก ) + ๐›ผ ∫ (
0
๐‘ƒ๐ป,๐‘ก
−๐›พ
)
โ„ฐ๐‘–,๐‘ก ๐‘ƒ๐‘–๐น,๐‘ก
๐‘ƒ๐‘–๐น,๐‘ก
(
๐‘ƒ๐‘–๐‘ก
−๐œ‚
๐ถ๐‘–๐‘ก ๐‘‘๐‘–
)
Dengan menggunakan persamaan terms of trade dan nilai tukar, persamaan di atas dapat
ditulis kembali dalam bentuk seperti berikut:
1
๐‘Œ๐‘ก =
๐บ๐‘ก๐ถ
+
๐บ๐‘ก๐ผ
+
(๐’ฎ๐‘ก−๐›ผ )−๐œ‚ [(1 −
๐›ผ)๐ถ๐‘ก + ๐›ผ๐ถ๐‘ก ∫
0
1
๐›พ−๐œ‚ ๐œ‚−
(๐’ฎ๐‘ก๐‘– ๐’ฎ๐‘–,๐‘ก ) ๐’ฌ๐‘–,๐‘ก ๐œŽ ๐‘‘๐‘– ]
III.2 Sisi Penawaran: Perusahaan
III.2.1 Minimisasi Biaya Produksi
Perusahaan diasumsikan memiliki faktor produksi tenaga kerja dan infrastruktur publik
yang telah disediakan oleh Pemerintah.Fungsi produksi juga diasumsikan linear dengan
perkembangan teknologi. Setiap perusahaan menghasilkan berbagai produk ๐‘— yang berbeda:
๐‘Œ๐‘ก (๐‘—) = ๐ด๐‘ก (๐พ๐‘ก๐บ )Φ ๐‘๐‘ก (๐‘—)
…(3.6)
19
karena Φ adalah elastisitas output terhadap infrastruktur publik. Parameter Φ diasumsikan
bernilai positif, yang berarti bahwa fungsi produksi memiliki sifat increasing return seiring
dengan penambahan kapital. Masalah yang dihadapi oleh perusahaan dalam mencari real
marginal cost adalah dengan meminimalkan real total cost dengan kendala produksi barang
pada level tertentu. Perusahaan memiliki opsi penggunaan tenaga kerja untuk meminimalkan
real total cost tersebut, yaitu sebagai berikut:
min ๐‘‡๐ถ(๐‘–) =
{๐‘๐‘ก }
๐‘Š๐‘ก ๐‘๐‘ก (๐‘–)
.
๐‘ƒ๐‘ก
…(3.7)
Optimalisasi fungsi tujuan (3.7) dengan kendala (3.6) menghasilkan fungsi optimum dari
biaya marginal ๐‘€๐ถ๐‘ก sebagai berikut:
๐‘€๐ถ๐‘ก (๐‘–) =
๐‘Š๐‘ก
Φ
๐‘ƒ๐‘ก ๐ด๐‘ก (๐พ๐‘ก๐บ )
(3.8)
Dengan demikian, diperoleh bahwa biaya marginal setara dengan pengeluaran upah riil
๐‘Š๐‘ก
๐‘ƒ๐‘ก
dibagi dengan marginal produksi tenaga kerja ๐ด๐‘ก (๐พ๐‘ก๐บ )Φ .
III.2.2 Maksimisasi Profit dengan Price Setting
Pada model ini, setiap perusahaan diasumsikan menghasilkan berbagai jenis produk ๐‘—
yang berbeda, sehingga perusahaan memiliki bargaining power untuk mengubah harga
produknya ๐‘ƒ๐‘ก (๐‘—). Diasumsikan bahwa sebagian perusahaan menentukan harga secara fleksibel
dengan menerima indeks harga ๐‘ƒ๐‘ก , dan sebagian perusahaan berusaha mencari harga optimum
๐‘ƒ∗๐‘ก . Untuk memasukkan konsep rigiditas harga, penentuan harga optimal akan mengikuti
framework yang diperkenalkan oleh Calvo (1983).
๐‘˜
∗
∑∞
max
๐‘˜=0 ๐œƒ ๐ธ๐‘ก [๐‘„๐‘ก,๐‘ก+๐‘˜ (๐‘ƒ๐‘ก ๐‘Œ๐‘ก+๐‘˜|๐‘ก − ๐‘ƒ๐‘ก+๐‘˜ ๐‘€๐ถ๐‘ก+๐‘˜|๐‘ก ๐‘Œ๐‘ก+๐‘˜|๐‘ก )]
∗
{๐‘ƒ๐‘ก }
…(3.9)
๐‘ƒ๐‘ก∗ −๐œ€
๐‘ . ๐‘ก ๐‘Œ๐‘ก+๐‘˜|๐‘ก = (
) ๐‘Œ๐‘ก+๐‘˜
๐‘ƒ๐‘ก+๐‘˜
๐‘ƒ๐‘ก∗
๐‘Œ๐‘ก+๐‘˜|๐‘ก = (๐‘ƒ
๐‘ก+๐‘˜
−๐œ€
)
๐ถ
๐ผ
+ ๐บ๐‘ก+๐‘˜
(๐ถ๐‘ก+๐‘˜ + ๐บ๐‘ก+๐‘˜
)
…(3.10)
Solusi optimum dari fungsi tujuan (3.9) dengan kendala (3.10) menghasilkan persamaan
sebagai berikut:
๐œ€
๐‘ƒ๐‘ก∗ = (๐œ€−1)
Nilai
๐œ€
(๐œ€−1)
๐œ€
๐ถ
๐ผ
๐‘˜
๐‘˜ −๐œŽ
∑∞
๐‘˜=0 ๐œƒ ๐ธ๐‘ก [๐›ฝ ๐ถ๐‘ก+๐‘˜ ๐‘€๐ถ๐‘ก+๐‘˜ ๐‘ƒ๐‘ก+๐‘˜ (๐ถ๐‘ก+๐‘˜ +๐บ๐‘ก+๐‘˜ +๐บ๐‘ก+๐‘˜ )]
๐ถ
๐ผ
๐‘˜
๐‘˜ −๐œŽ ๐œ€−1
∑∞
๐‘˜=0 ๐œƒ ๐ธ๐‘ก [๐›ฝ ๐ถ๐‘ก+๐‘˜ ๐‘ƒ๐‘ก+๐‘˜ (๐ถ๐‘ก+๐‘˜ +๐บ๐‘ก+๐‘˜ +๐บ๐‘ก+๐‘˜ )]
…(3.11)
disebut sebagai price markup yang ditentukan berdasarkan elastisitas substitusi antar
barang domestik ๐œ€.
20
Setiap perusahaan dapat mengoptimalkan atau mengubah harga dengan probabilitas
1 − ๐œƒ (independen) di setiap periode, sehingga ๐œƒ< 1 dapat diartikan sebagai indeks rigiditas
harga. Dengan demikian, harga agregat ๐‘ƒ๐‘ก adalah sebagai berikut:
1−๐œ€
๐‘ƒ๐‘ก1−๐œ€ = ๐œƒ๐‘ƒ๐‘ก−1
+ (1 − ๐œƒ)(๐‘ƒ๐‘ก∗ )1−๐œ€
Dengan menotasikan bahwa inflasi Π๐‘ก =
๐‘ƒ๐‘ก
๐‘ƒ๐‘ก−1
, persamaan (3.11) dapat ditulis kembali dalam
bentuk akhir log-linear sebagai berikut:
๐œ‹๐‘ก =
(1 − ๐œƒ)(1 − ๐›ฝ๐œƒ)๐‘š๐‘
ฬ‚๐‘ก
+ ๐›ฝ๐ธ๐‘ก {๐œ‹๐‘ก+1 }
๐œƒ
…(3.12)
Persamaan (3.12) di atas menggambarkan bahwa perubahan harga optimum pada waktu ๐‘ก (๐œ‹๐‘ก )
adalah rata-rata tertimbang dari biaya marginal saat itu dan perubahan harga masa yang akan
datang. Disamping itu, persamaan (3.8) juga menggambarkan bahwa peningkatan stok
infrastruktur publik akan menurunkan besaran harga optimum.
III.3 Kebijakan Fiskal dan Moneter
III.3.1 Kebijakan Fiskal
Pemerintah memiliki pendapatan dari penerimaan pajak, yang kemudian digunakan
untuk pengeluaran konsumsi dan investasi.
๐‘ƒ๐‘ก ๐‘‡๐‘ก = ๐บ๐‘ก๐ผ + ๐บ๐‘ก๐ถ
Untuk menyederhanakan, pajak ๐‘‡๐‘ก bersifat non-distortionary.Jika pengeluaran pemerintah
diperoleh dari pajak yang bersifat distortionary, dampak dari ekspansi kebijakan fiskal akan
menjadi lebih kecil, yang kemudian mempengaruhi dampak terhadap kesejahteraan (welfare).
Pengeluaran konsumsi dan investasi pemerintah dimodelkan dengan dinamika AR(1):
๐‘”ฬ‚๐‘ก๐ถ = ๐œŒ๐ถ ๐‘”ฬ‚๐‘ก๐ถ + ๐œ€๐‘ก๐ถ
๐‘”ฬ‚๐‘ก๐ผ = ๐œŒ๐ผ ๐‘”ฬ‚๐‘ก๐ผ + ๐œ€๐‘ก๐ผ
Parameter ๐œŒ๐ถ dan ๐œŒ๐ผ adalah persistensi dari shock konsumsi dan investasi pemerintah.
Sementara itu, ๐œ€๐‘ก๐ถ dan ๐œ€๐‘ก๐ผ merupakan shock i.i.d terhadap pengeluaran pemerintah dengan
distribusi normal dan standar deviasi ๐œŽ๐‘” .
Jika mengikuti Ganelli dan Tervala (2015), dalam model ini, kapital swasta diabaikan,
sehingga lebih difokuskan pada pengukuran dampak pengeluaran investasi pemerintah. Stok
infrastruktur publik dimodelkan dengan persamaan sebagai berikut:
๐บ
๐พ๐‘ก+1
= (1 − ๐œ†)๐พ๐‘ก๐บ + ๐บ๐‘ก๐ผ
21
Stok infrastruktur publik mengalami depresiasi sebesar ๐œ† dan bertambah sesuai dengan
pengeluaran investasi pemerintah.
III.3.2 Kebijakan Moneter
Penetapan suku bunga kebijakan (๐‘–๐‘ก ) oleh bank sentral dimodelkan dalam bentuk
persamaan log-linear Taylor Rule sebagaimana diperkenalkan oleh Clarida, Gali, dan Gertler
(2001) berikut:
…(3.13)
๐‘–ฬ‚๐‘ก = ๐œŒ๐‘– ๐‘–ฬ‚๐‘ก−1 + (1 − ๐œŒ๐‘– )(๐œ™๐œ‹ ๐œ‹๐‘ก + ๐œ™๐‘ฆ ๐‘ฆฬ‚๐‘ก ) + ๐œ€๐‘–
Parameter ๐œŒ๐‘– adalah interest rate smoothing, ๐œ™๐œ‹ dan ๐œ™๐‘ฆ adalah bobot yang dikenakan terhadap
inflasi dan stabilisasi output.๐œ€๐‘– adalahshock i.i.d terhadap kebijakan moneter.
III.4 Neraca Perdagangan
Trade balance dinotasikan dengan ๐‘›๐‘ฅ๐‘ก , dengan menggambarkan net ekspor dari
ฬ….
produksi domestik, sebagai rasio dari steady state output ๐‘Œ
1
๐‘ƒ
๐‘›๐‘ฅ๐‘ก = ๐‘Œฬ… (๐‘Œ๐‘ก − ๐‘ƒ ๐‘ก ๐ถ๐‘ก − ๐บ๐‘ก๐ผ − ๐บ๐‘ก๐ถ )
…(3.14)
๐ป,๐‘ก
Hasil log-linearisasi dari persamaan (3.14) adalah sebagai berikut:
ฬ‚๐ผ − ๐‘”
ฬ‚๐‘
๐‘›๐‘ฅ๐‘ก = ๐‘Œฬ…๐‘ฆฬ‚๐‘ก − ๐ถฬ… ๐‘ฬ‚๐‘ก − ๐›ผ๐ถฬ… ๐‘ ฬ‚๐‘ก − ๐‘”
๐‘ก
๐‘ก
…(3.15)
Persamaan (3.15) menggambarkan bahwa peningkatan pengeluaran pemerintah baik konsumsi
maupun investasi secara langsung akan membebani trade balance, sehingga perlu diimbangi
dengan selisih antara kenaikan output domestik dan pengeluaran konsumsi.
III.5 Mengukur Output
Pemerintah
Multiplier dan
Welfare
Multiplier dari
Pengeluaran
Jika mengikuti Ganelli dan Tervala (2015), output mulitplierdari pengeluaran pemerintah
dapat dilihat dengan menggunakan cumulative multiplier(๐ถ๐‘€)yang dihitung berdasarkan
perubahan kumulatif output dibagi dengan perubahan kumulatif dari pengeluaran pemerintah
pada jangka waktu tertentu sebagai berikut:
๐ถ๐‘€ =
∑โ„Ž๐‘ก=0 ๐‘ฆฬ‚๐‘ก
∑โ„Ž๐‘ก=0 ๐‘”ฬ‚๐‘ก๐‘ฅ
๐‘ฅ = ๐ถ, ๐ผ.
Selain itu, output multiplier juga dapat diukur berdasarkan net present value fiscal
multiplier (NPVM) yang dihitung dari rasio net present value dari perubahan output terhadap
net present value dari pengeluaran pemerintah dalam rentang waktu tertentu. Dalam penelitian
22
ini, rentang waktu yang digunakan adalah 2.000 kuartal sebagaimana diungkapkan dalam
Ganelli dan Tervala (2015).
∑โ„Ž๐‘ก=0 ๐›ฝ๐‘ก ๐‘ฆฬ‚๐‘ก
๐‘๐‘ƒ๐‘‰๐‘€ = โ„Ž
∑๐‘ก=0 ๐›ฝ๐‘ก ๐‘”ฬ‚๐‘ก๐‘ฅ
๐‘ฅ = ๐ถ, ๐ผ.
Untuk mengukur dampak pengeluaran pemerintah terhadap kesejahteraan (welfare),
digunakan net present valueuntuk dampak welfaredari ekspansi fiskal (๐œ๐‘ก )yang diukur sebagai
bagian dari konsumsi rumah tangga. Mereka bersedia untuk dilepaskan dengan adanya
ekspansi fiskal.Nilai ๐œ๐‘ก diperoleh sebagai berikut. Berdasarkan fungsi utilitas rumah tangga, net
present value dari welfare rumah tangga tanpa ekspansi fiskal adalah:
๐‘ก
๐‘ˆ๐‘ก๐‘Š๐น๐ธ = ∑∞
๐‘ก=0 ๐›ฝ [
๐ถ๐‘ก1−๐œŽ
1−๐œŽ
−
(๐‘๐‘ก )1+๐œ‘
1+๐œ‘
+ ๐œˆ log ๐บ๐‘ก๐ถ ]
…(3.16)
Net present value dari welfare rumah tangga dengan ekspansi fiskal adalah:
1−๐œŽ
๐‘ก
๐‘ˆ๐‘ก๐น๐ธ = ∑∞
๐‘ก=0 ๐›ฝ [
((1+๐œ)๐ถ๐‘ก )
1−๐œŽ
−
(๐‘๐‘ก )1+๐œ‘
1+๐œ‘
+ ๐œˆ log ๐บ๐‘ก๐ถ ]
…(3.17)
Dari persamaan (3.16) dan (3.17) diperoleh solusi untuk net present value dampak welfare dari
ekspansi fiskal sebagai berikut:
๐œ ≈ 100 × [(1 − ๐›ฝ) (๐ถฬ‚๐‘ก −
ฬ…)1+๐œ‘
(๐‘
๐œˆ
ฬ‚๐‘ก +
๐‘
๐บฬ‚ ๐ถ )]
1
−๐œŽ
1
ฬ…
ฬ…
๐ถ
๐ถ −๐œŽ ๐‘ก
Dengan demikian, dampak welfare multiplier diperoleh berdasarkan kumulatif perubahan
utilitas (yang telah dikalikan dengan discount factor) dan dibagi dengan kumulatif pengeluaran
pemerintah.
1+๐œ‘
๐‘€๐‘ˆ ≈
ฬ…)
(๐‘
๐œˆ
๐‘ก ฬ‚
ฬ‚๐ถ
ฬ‚
100 × (1 − ๐›ฝ) ∑∞
๐‘ก=0 ๐›ฝ [๐ถ๐‘ก − ๐ถฬ… 1−๐œŽ ๐‘๐‘ก + ๐ถฬ… 1−๐œŽ ๐บ๐‘ก ]
ฬ‚ ๐‘ฅ๐‘ก
∑โ„Ž๐‘ก=0 ๐‘”
III.6 Sistem Persamaan Model
Sistem persamaan yang telah dibangun berdasarkan kondisi rumah tangga, perusahaan,
bank sentral, pemerintah, dan eksternal sebagaimana diuraikan di atas dapat dirangkum di
dalam Tabel 4 berikut:
Tabel 4. Solusi Optimum dan Log-linearisasi
No
1
Solusi Optimum
(First Order Condition)
Bentuk log-linear
Euler Equation:
23
1
๐‘๐‘ก = ๐ธ๐‘ก {๐‘๐‘ก+1 } − (๐‘–๐‘ก − ๐ธ๐‘ก {๐œ‹๐ป,๐‘ก+1 } − ๐œŒ)
๐œŽ
1
๐‘ฬ‚๐‘ก = ๐ธ๐‘ก {๐‘ฬ‚๐‘ก+1 } − (๐‘–๐‘ก − ๐ธ๐‘ก {๐œ‹๐ป,๐‘ก+1 })
๐œŽ
Philips Curve:
2
∞
๐‘ƒ๐‘ก∗
๐œ€ Ψ๐‘ก1
=(
)
(๐œ€ − 1) Ψ๐‘ก2
๐‘ƒ๐‘ก
−๐œŽ
Ψ๐‘ก1 = ∑ ๐œƒ ๐‘˜ ๐ธ๐‘ก [๐›ฝ๐‘˜ ๐ถ๐‘ก+๐‘˜
๐‘€๐ถ๐‘ก+๐‘˜ (
๐‘˜=0
∞
๐œ‹๐ป,๐‘ก = ๐›ฝ๐ธ๐‘ก (๐œ‹๐ป,๐‘ก+1 ) + ๐œ…๐‘š๐‘
ฬ‚๐‘ก
(1 − ๐œƒ)(1 − ๐›ฝ๐œƒ)
๐œ…=
๐œƒ
๐‘ƒ๐‘ก+๐‘˜ ๐œ€
๐ถ
๐ผ
) (๐ถ๐‘ก+๐‘˜ + ๐บ๐‘ก+๐‘˜
+ ๐บ๐‘ก+๐‘˜
)]
๐‘ƒ๐‘ก
๐‘ƒ๐‘ก+๐‘˜ ๐œ€−1
๐ถ
−๐œŽ
๐ผ
Ψ๐‘ก2 = ∑ ๐œƒ ๐‘˜ ๐ธ๐‘ก [๐›ฝ๐‘˜ ๐ถ๐‘ก+๐‘˜
(
)
(๐ถ๐‘ก+๐‘˜ + ๐บ๐‘ก+๐‘˜
+ ๐บ๐‘ก+๐‘˜
)]
๐‘ƒ๐‘ก
๐‘˜=0
3
4
5
6
7
Marginal cost:
๐‘€๐ถ๐‘ก (๐‘–) =
๐‘Š๐‘ก
๐‘ƒ๐‘ก ๐ด๐‘ก (๐พ๐‘ก๐บ )Φ
๐‘๐‘ก = ๐‘๐‘ก∗ +
(1 − ๐›ผ)
๐‘ ๐‘ก
๐œŽ
Consumption:
Inflation:
๐‘”
๐‘š๐‘
ฬ‚ ๐‘ก = ๐œŽ๐‘ฬ‚๐‘ก + ๐œ‘๐‘›ฬ‚๐‘ก − ๐‘Žฬ‚๐‘ก − Φ๐‘˜ฬ‚๐‘ก
๐‘๐‘ก = ๐‘๐‘ก∗ +
๐œ‹๐‘ก = ๐œ‹๐ป,๐‘ก + ๐›ผ(๐‘ ๐‘ก − ๐‘ ๐‘ก−1 )
Terms of trade:
๐‘ ๐‘ก = ๐‘ ๐‘ก−1 + (๐‘’๐‘ก − ๐‘’๐‘ก−1 ) + ๐œ‹๐‘ก∗ + ๐œ‹๐ป,๐‘ก
Taylor rule:
๐‘–ฬ‚๐‘ก = ๐œŒ๐‘– ๐‘–ฬ‚๐‘ก−1 + (1 − ๐œŒ๐‘– )(๐œ™๐œ‹ ๐œ‹๐‘ก + ๐œ™๐œ‹ ๐‘ฆ๐‘ก ) + ๐œ€๐‘–
Market Clearing:
8
0
10
11
12
13
14
15
๐‘ ๐‘ก = ๐‘ ๐‘ก−1 + (๐‘’๐‘ก − ๐‘’๐‘ก−1 ) + ๐œ‹๐‘ก∗ + ๐œ‹๐ป,๐‘ก
๐‘–ฬ‚๐‘ก = ๐œŒ๐‘– ๐‘–ฬ‚๐‘ก−1 + (1 − ๐œŒ๐‘– )(๐œ™๐œ‹ ๐œ‹๐‘ก + ๐œ™๐œ‹ ๐‘ฆ๐‘ก ) + ๐œ€๐‘–
1 ฬ…ฬ…ฬ…ฬ…
ฬ‚๐ถ + ฬ…ฬ…ฬ…
ฬ‚๐ผ + ๐ถฬ… ๐‘ฬ‚
๐บ๐‘ก๐ผ ๐‘”
(๐บ ๐ถ ๐‘”
๐‘ก
๐‘ก
๐‘Œฬ… ๐‘ก ๐‘ก
๐‘Œ๐‘ก = ๐บ๐‘ก๐ถ + ๐บ๐‘ก๐ผ + (๐’ฎ๐‘ก−๐›ผ )−๐œ‚ [(1 − ๐›ผ)๐ถ๐‘ก
1
9
๐œ‹๐‘ก = ๐œ‹๐ป,๐‘ก + ๐›ผ(๐‘ ๐‘ก − ๐‘ ๐‘ก−1 )
๐‘ฆฬ‚๐‘ก =
๐›พ−๐œ‚
+ ๐›ผ๐ถ๐‘ก ∫ (๐’ฎ๐‘ก๐‘– ๐’ฎ๐‘–,๐‘ก )
(1 − ๐›ผ)
๐‘ ๐‘ก
๐œŽ
+ ๐ถฬ… (๐›ผ๐›พ + ๐›ผ๐œ‚ − ๐œ‚๐›ผ 2 −
๐œ‚−
1
๐’ฌ๐‘–,๐‘ก ๐œŽ ๐‘‘๐‘– ]
Capital Law of Motion:
๐บ
๐พ๐‘ก+1
= (1 − ๐œ†)๐พ๐‘ก๐บ + ๐บ๐‘ก๐ผ
Employment:
๐‘Œ๐‘ก (๐‘—) = ๐ด๐‘ก (๐พ๐‘ก๐บ )Φ ๐‘๐‘ก (๐‘—)
Trade Balance:
1
๐‘ƒ๐‘ก
๐‘›๐‘ฅ๐‘ก = (๐‘Œ๐‘ก −
๐ถ − ๐บ๐‘ก๐ผ − ๐บ๐‘ก๐ถ )
๐‘ƒ๐ป,๐‘ก ๐‘ก
๐‘Œฬ…
Inflation:
๐œ‹๐‘ก = ๐‘๐‘ก − ๐‘๐‘ก−1
๐œ‹๐ป,๐‘ก = ๐‘๐ป,๐‘ก − ๐‘๐ป,๐‘ก−1
๐œ‹๐‘ก∗ = 0
Technology Shock:
๐‘Ž๐‘ก = ๐œŒ๐‘Ž ๐‘Ž๐‘ก−1 + ๐œ€๐‘ก๐‘Ž
Government Investment Shock:
๐‘”
ฬ‚ ๐ผ๐‘ก = ๐œŒ๐ผ ๐‘”ฬ‚ ๐ผ๐‘ก + ๐œ€๐ผ๐‘ก
Government Investment Shock:
๐‘”ฬ‚๐‘ก๐ถ = ๐œŒ๐ถ ๐‘”ฬ‚๐‘ก๐ถ + ๐œ€๐‘ก๐ถ
+
๐›ผ
๐œŽ
๐›ผ2
) ๐“ˆฬ‚๐‘ก )
๐œŽ
๐บ
๐ผ
๐‘˜ฬ‚๐‘ก๐บ = (1 − ๐œ†)๐‘˜ฬ‚๐‘ก−1
+ ๐œ†๐‘”ฬ‚๐‘ก−1
๐‘”
๐‘ฆฬ‚๐‘ก = ๐‘Žฬ‚๐‘ก + Φ๐‘˜ฬ‚๐‘ก + ๐‘›ฬ‚๐‘ก
๐‘›๐‘ฅ๐‘ก = ๐‘Œฬ…๐‘ฆฬ‚๐‘ก − ๐ถฬ… ๐‘ฬ‚๐‘ก − ๐›ผ๐ถฬ… ๐‘ ฬ‚๐‘ก
๐œ‹๐‘ก = ๐‘๐‘ก − ๐‘๐‘ก−1
๐œ‹๐ป,๐‘ก = ๐‘๐ป,๐‘ก − ๐‘๐ป,๐‘ก−1
๐œ‹๐‘ก∗ = 0
๐‘Ž๐‘ก = ๐œŒ๐‘Ž ๐‘Ž๐‘ก−1 + ๐œ€๐‘ก๐‘Ž
๐ผ
๐ผ
๐‘”
ฬ‚ ๐‘ก = ๐œŒ๐ผ ๐‘”ฬ‚ ๐‘ก + ๐œ€๐ผ๐‘ก
๐‘”ฬ‚๐‘ก๐ถ = ๐œŒ๐ถ ๐‘”ฬ‚๐‘ก๐ถ + ๐œ€๐‘ก๐ถ
24
III.7 Nilai Steady State
ฬ… = 1/3, yang berarti
Dalam penelitian ini, steady state dari waktu kerja diasumsikan ๐‘
bahwa tenaga kerja menggunakan 1/3 dari waktunya untuk bekerja. Nilai itu sesuai dengan
hasil penelitian Cooley (1995). Sementara itu, steady state dari kapital publik dinormalisasi
ฬ….
menjadi ฬ…ฬ…ฬ…ฬ…
๐พ ๐บ = 1, sehingga berdasarkan fungsi produksi (3.6), steady state dari output ๐‘Œฬ… = ๐‘
Selanjutnya, berdasarkan persamaan market clearing, steady state dari konsumsi adalah ๐ถฬ… =
๐‘Œฬ… − ฬ…ฬ…ฬ…ฬ…
๐บ๐‘ก๐ถ − ฬ…ฬ…ฬ…
๐บ๐‘ก๐ผ . Berdasarkan persamaan depresiasi kapital, nilai steady state investasi pemerintah
sama dengan tingkat depresiasi ฬ…ฬ…ฬ…
๐บ๐‘ก๐ผ = ๐œ†.
III.8 Parameterisasi
Nilai parameter yang digunakan dalam model ditentukan melalui proses kalibrasi dan
estimasi. Discount factor ๐›ฝditetapkan sebesar 0.99.Karena model diinterpretasikan sebagai
model kuartalan, asumsi itu setara dengan suku bunga 4% dalam satu tahun. Elastisitas
substitusi antara barang domestik dan luar negeri diasumsikan sebesar ๐œ‚ = 3.5, sehingga sesuai
dengan hasil temuan Obstfeld dan Rogoff (1998). Sementara itu, elastisitas substitusi antara
barang di luar negeri diasumsikan
๐›พ = 1 sebagaimana dalam Gali dan Monacelli (2005).
Elastisitas substitusi dari labor supply diasumsikan ๐œ‘ = 1.97, seperti pada Sin (2016) dan tidak
jauh berbeda dengan Ganelli dan Tervala (2015). Wealth effect dari labor suppy diasumsikan
sebesar ๐œŽ = 2.
Nilai parameter Calvo diasumsikan ๐œƒ = 0.5, sebagaimana sering digunakan dalam
banyak model New Keynessian dan sama dengan hasil estimasi Tjahjono et al (2009) untuk
model Bank Indonesia Structural Macromodel (BISMA). Asumsi itu mengakibatkan penundaan
penyesuaian harga selama dua periode (enam bulan). Nilai parameter home bias ๐›ผ diperoleh
dengan pendekatan rasio impor terhadap PDB Indonesia rata-rata tahun 2005-2015, yaitu ๐›ผ =
0,2. Interest rate smoothing diasumsikan bernilai ๐œŒ๐‘– = 0,75, sementara bobot inflasi dan output
masing-masing bernilai ๐œ™๐œ‹ = 1,9 dan ๐œ™๐‘ฆ = 0,25. Parameter Taylor Rule tersebut merupakan
hasil estimasi Harmanta et al (2012).
Kebijakan fiskal diasumsikan memiliki persistensi shock investasi dan konsumsi masingmasing sebesar ๐œŒ๐ผ = ๐œŒ๐ถ = 0,75, mengikuti hasil temuan Iwata (2013). Sementara itu, pangsa
konsumsi pemerintah relatif terhadap konsumsi domestik diasumsikan bernilai ๐œˆ = 0,15, sesuai
dengan nilai rata-rata untuk Indonesia dalam kurun waktu 2011-2015. Infrastruktur publik
diasumsikan mengalami depresiasi sebesar ๐œ† = 0,025 setiap kuartal. Nilai itu sama dengan
tingkat depresiasi yang digunakan dalam model Bom dan Ligthart (2014) yang juga memuat
stok infrastruktur publik. Elastisitas output terhadap stok infrastruktur publik ๐œ™๐‘˜ merupakan
25
salah satu parameter kunci dari penelitian ini. Dalam studi itu diasumsikan ๐œ™๐‘˜ = 0,24, sejalan
dengan hasil penelitian Aschauer (2000) untuk kasus negara berpendapatan rendah dan
menengah. Ringkasan parameter-parameter dari model dapat dilihat pada Tabel 5 berikut.
Tabel 5.Nilai Parameter Hasil Kalibrasi
Parameter
๐›ฝ
๐œ‚
Baseline value
0.99
3.5
๐›พ
๐œ‘
๐œŽ
๐œƒ
๐›ผ
๐œŒ๐‘–
๐œ™๐œ‹
๐œ™๐‘ฆ
๐œŒ๐ผ
๐œŒ๐‘
๐œˆ
1
1.97
2
0.5
0.2
0.75
1.9
0.25
0.75
0.75
0.15
๐œ†
๐œ™๐‘˜
0.025
0.24
Deskripsi
Discount factor
Elastisitas substitusi antara barang domestik dengan
luar negeri
Elastisitas substitusi antar barang di luar negeri
Elastitisitas substitusi dari labor supply
Intertemporal elasticity of substitution of household
Parameter Calvo
Home bias konsumsi
Interest rate smoothing
Koefisien Taylor Rule untuk inflasi
Koefisien Taylor Rule untuk output
Persistensi shock investasi
Persistensi shock konsumsi
Rasio konsumsi pemerintah relatif terhadap konsumsi
domestik
Rate depresiasi infrastruktur publik
Elastisitas output terhadap stok infrastruktur publik
Selanjutnya, hasil kalibrasi parameterdi atas digunakan sebagaiprior untuk melakukan
estimasi dengan pendekatan Bayesiansebagaimana dijelaskan dalam Quintana (2012).Dalam
penelitian ini, parameter yang diestimasiadalah ๐œŽ, ๐œ‘, ๐›พ, ๐œƒdan ๐œ‚.Secara lengkap, prior
distribution, jenis distribusi, dan posterior distribution dari hasil estimasi parameterdapat dilihat
pada Tabel 6 berikut.
Tabel 6.Nilai Parameter Hasil Estimasi
Distribusi
Parameter
๐œƒ
๐œŽ
๐œ‘
๐›พ
๐œ‚
Deskripsi
Parameter Calvo
Intertemporal elasticity of
substitution of household
Elastitisitas substitusi dari
labor supply
Elastisitas substitusi antar
barang di luar negeri
Elastisitas substitusi antara
barang domestik dengan
luar negeri
Prior distribution
Mean
Std.
Dev.
Posterior
distribution
beta
gamma
0.67
2.0
0.1
0.1
0.51
2.7
gamma
1.97
0.1
2.67
gamma
1
0.2
2.24
gamma
3.5
0.8
1.75
26
IV.
HASILSIMULASI
Pada bagian itu akandiuraikan dinamika dari impulse response yang dihasilkan oleh
model. Pembahasan akan difokuskan pada simulasi dari kebijakan fiskal berupa shock konsumsi
pemerintah dan shock investasi pemerintah. Sesuai dengan desain model, selain dampak
kebijakan fiskal terhadap besaran-besaran makroekonomi, juga diukur dampak terhadap
kesejahteraan rumah tangga. Gambar 8 menunjukan hasil simulasi ekspansi fiskal, garis solid
menunjukkan dampak dari shock konsumsi pemerintah, sedangkan garis putus-putus
menggambarkan dampak dari shock investasi.Secara umum, hasil shock merupakan deviasi
terhadap kondisi steady state tiap-tiap variabel, terkecuali trade balance yang merupakan
deviasi terhadap steady state output, dan inflasi dalam persen y on y.
IV.1 Konsumsi Pemerintah
Dalam jangka pendek, peningkatan konsumsi Pemerintah sebesar 1% berpotensi
mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,04% di atas pertumbuhan baseline
tanpa kebijakan (Gambar 9). Hal itu terutama didorong oleh peningkatan permintaan agregat,
wealth effect, dan jam kerja. Pemerintah meningkatkan pajak untuk membiayai peningkatan
konsumsi, sementara tenaga kerja mengimbanginya dengan meningkatkan jam kerja untuk
memperoleh pendapatan yang lebih besar. Meskipun rumah tangga mengurangi konsumsi,
secara agregat dampak peningkatan konsumsi Pemerintah masih positif. Peningkatan konsumsi
Pemerintah secara kumulatif mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 0,03 (Tabel 7).
Surplus neraca perdagangan pada awalnya mengalami penurunan, terutama didorong
oleh peningkatan impor akibat konsumsi Pemerintah. Namun, penurunan konsumsi rumah
tangga akibat peningkatan pajak dan perbaikan terms of trade dalam jangka menengah
panjang akan memperbaiki neraca perdagangan. Perilaku hump-shaped
daritrade balance
tersebut sejalan dengan hasil penelitian empiris yang telah dilakukan oleh Iwata (2013).
27
Gambar 8. Dampak Ekspansi Fiskal
Pemerintah terhadap kesejahteraan (welfare) dipengaruhi oleh dua proses yang saling
berlawanan. Pada satu sisi, peningkatan pajak akan mempengaruhi konsumsi rumah tangga
sehingga menurunkan utilitas, begitu juga dengan jam kerja yang harus ditingkatkan untuk
mengimbangi beban pengeluaran. Di sisi lain, konsumsi pemerintah merupakan bagian dari
utilitas, sehingga secara langsung mempengaruhi peningkatan welfare.
28
Tabel 7. Dampak Terhadap Output dan Welfare Multiplier
Consumption
Investment
CM
4
0.03
0.04
CM
8
0.03
0.06
CM
12
0.03
0.07
CM
16
0.03
0.09
CM
20
0.03
0.11
NPV Output Welfare
Multiplier Multiplier
0.03
-0.001
0.20
0.045
Hasil simulasi menunjukkan bahwa welfare multiplier dari peningkatan konsumsi
Pemerintah bernilai -0,001. Hal itu berarti bahwa rumah tangga harus mengorbankan konsumsi
sebesar Rp0,001 untuk setiap pengeluaran konsumsi pemerintah sebesar Rp1,00 Hasil itu masih
sejalan dengan penelitian Ganelli dan Tervala (2015), bahwa peningkatan konsumsi pemerintah
akan menurunkan kesejahteraan rumah tangga. Namun, model yang digunakan juga dapat
memberikan dampak welfare multiplier yang positif apabila nilai rasio pengeluaran konsumsi
pemerintah terhadap konsumsi rumah tangga (parameter ๐œˆ) ≥ 0,2. Hal itu berarti bahwa rasio
konsumsi pemerintah minimal adalah 20% dari konsumsi rumah tangga untuk dapat
menetralisir dampak negatif dari kenaikan konsumsi Pemerintah.
IV.2 Investasi Pemerintah
Hasil simulasi menunjukkan bahwa dalam jangka pendek, peningkatan investasi
pemerintah sebesar 1% berpotensi mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar
0.05% di atas pertumbuhan ekonomi baseline. Hasil itu lebih tinggi jika dibandingkan dengan
dampak dari peningkatan konsumsi pemerintah, bahkan dalam jangka menengah-panjang
dampak dari peningkatan investasi pemerintah menjadi semakin besar, yang ditunjukkan oleh
kumulatif output multiplier sebesar 0,20 (Tabel 7). Dampak peningkatan output tersebut
berasal dari dua sumber, yaitu peningkatan permintaan temporer (temporary demand) dan efek
sisi supply. Permintaan temporer mengalami kenaikan akibat dampak langsung dari investasi.
Sementara itu, efek sisi supply bersumber dari ketersediaan kapital (infrastruktur) publik yang
terus mendukung kapasitas industri untuk berproduksi, meskipun secara perlahan kapital
tersebut mengalami depresiasi hingga ke level steady state (baseline).
Dampak output multiplier yang diperoleh dalam penelitian itu masih relatif jika kecil
dibandingkan dengan hasil penelitian Ganelli dan Tervala (2015). Namun masih lebih tinggi
daripada hasil penelitian Jha et al (2010) dengan multiplier sebesar 0,19 dan Tang et al (2013)
dengan multiplier -0,34. Berdasarkan hasil simulasi, output multiplier terus mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun, disebabkan oleh investasi yang terus menurun dengan cukup
cepat, sehingga tidak membebani rumah tangga, tetapi infrastruktur publik masih tersedia
untuk mendukung kapasitas industri. Hasil tersebut konsisten dengan hasil penelitian Bom dan
Lighhart (2013), yang menyatakan bahwa kapital publik lebih produktif dalam jangka panjang
29
daripada dalam jangka pendek. Hasil simulasi juga menunjukkan bahwa output kembali pada
level baseline setelah sepuluh tahun, sejalan dengan hasil penelitian Leduc dan Wilson (2013).
Sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 9, konsumsi mengalami penurunan dalam
jangka pendek. Hal itu didorong oleh peningkatan pajak untuk membiayai pengeluaran
investasi pemerintah. Peningkatan investasi juga mendorong kenaikan terms of trade, sehingga
menambah daya beli dan meningkatkan konsumsi, tetapi secara agregat masih negatif akibat
dominasi efek kenaikan pajak. Hal yang sama juga dapat dilihat pada neraca perdagangan.
Meskipun konsumsi mengalami penurunan, investasi yang cukup besar menyebabkan neraca
perdagangan menjadi defisit. Namun, dalam jangka panjang konsumsi dan neraca
perdagangan akan terus membaik akibat industri yang semakin produktif. Hasil itu sejalan
dengan Iwata (2013), yaitu shock investasi pemerintah akan memperburuk neraca perdagangan
dalam jangka pendek dan kemudian membaik dalam jangka menengah-panjang.
Hasil simulasi menunjukkan bahwa dampak investasi Pemerintah terhadap welfare
adalah sebesar 0.05. Hal itu menggambarkan bahwa rumah tangga mendapatkan net-benefit
tambahan konsumsi Rp0,05 untuk setiap investasi pemerintah sebesar Rp1,00. Net benefit yang
diperoleh tersebut adalah kenaikan konsumsi akibat peningkatan produktivitas tanpa harus
menambah jam kerja, sehingga kesejahteraan rumah tangga mengalami peningkatan.
Gambar 10 menunjukkan bahwa dampak peningkatan investasi pemerintah terhadap
kondisi makroekonomi masih tetap konsisten seiring dengan peningkatan besaran investasi.
Makin tinggi nilai investasi, makin besar pula dampak terhadap kenaikan output baik dalam
jangka pendek maupun menengah-panjang. Hasil simulasi juga menunjukkan bahwa untuk
mencapai peningkatan output sebesar 0,5%, dibutuhkan kenaikan investasi lebih besar dari
10%. Dampak terhadap kondisi makro lainnya seperti konsumsi, neraca perdagangan, inflasi,
dan welfare juga menunjukkan hasil yang sama.
30
Gambar 9. Dampak Shock Investasi Pemerintah
Bom dan Ligthart (2014) menunjukkan bahwa dampak terhadap kesejahteraan cukup
sensitif atas perubahan elastisitas output dari kapital publik. Untuk itu, guna mempelajari hal
tersebut, studi itu juga melakukan analisis yang sama seperti pada Tabel 8. Hasil simulasi
menunjukkan bahwa apabila infrastruktur publik yang dibangun semakin produktif, potensi
kenaikan pertumbuhan ekonomi dan dampak terhadap kesejahteraan juga semakin besar.Hal
itu menggambarkan bahwa prioritas pembangunan infrastruktur perlu memperhatikan aspek
perbaikan produktivitas sehingga dapat memberikan dampak yang optimal terhadap
perekonomian.
Tabel 8.Produktivitas Infrastruktur Publik dan Dampak Multiplier
CM
CM
16
20
๐œ™๐‘˜ = 0.08
0.05
๐œ™๐‘˜ = 0.15
Ouput elasticity
of public capital
NPV Output
Multiplier
Welfare
Multiplier
0.05
0.08
0.00
0.07
0.08
0.13
0.02
๐œ™๐‘˜ = 0.20
0.09
0.11
0.20
0.04
๐œ™๐‘˜ = 0.35
0.12
0.15
0.28
0.07
31
V.
SIMPULAN
Salah satu permasalahan utama yang dihadapi perekonomian Indonesia adalah
keterbatasan infrastruktur, baik dari sisi ketersediaan maupun kualitas. Hal itu telah menjadi
penghambat pertumbuhan ekonomi dan membuat daya saing ekonomi Indonesia yang relatif
rendah.Untuk mengatasi tantangan tersebut, pemerintah sekarang itu berupaya memacu
pembangunan infrastruktur sebagai salah satu bagian dari reformasi struktural perekonomian
Indonesia. Seberapa besar dampak investasi pemerintah dalam infrastruktur agar perekonomian
dan kesejahteraan masyarakat diperlukan analisis kuantitatif untuk dapat memberikan
gambaran yang lebih akurat dari dampak investasi pemertintah tersebut.
Dalam penelitian itu telah dibangunmodel DSGE untuk mengestimasi dampak
pengeluaran investasi dan konsumsi pemerintah terhadap output dan welfare di Indonesia.
Secara garis besar, model yang dibangun terdiri atas rumah tangga, perusahaan, Pemerintah
dan bank sentral.Rumah tangga memaksimalkan utilitasnya yang dibentuk oleh konsumsi
rumah tangga sendiri, leisure, dan konsumsi pemerintah.Perusahaan memaksimalkan profit,
yang output-nya merupakan fungsi dari teknologi, tenaga kerja dan kapital pemerintah.
Sementara itu, pemerintah diasumsikan membiayai pengeluaran konsumsi dan investasi
sepenuhnya dari penerimaan pajak.
Model dikalibrasi dengan menggunakan parameter yang sesuai dengan kondisi
perekonomian Indonesia. Hasil impulse response functions menunjukkan bahwa dalam jangka
pendek peningkatan konsumsi pemerintah sebesar 1% berpotensi mendorong peningkatan
pertumbuhan ekonomi sebesar 0,04% di atas pertumbuhan ekonomi baseline. Hal itu terutama
didorong oleh peningkatan permintaan agregat, wealth effect, dan jam kerja. Secara kumulatif,
output multiplier dari peningkatan konsumsi pemerintah mencapai 0,03. Di sisi lain,
peningkatan konsumsi pemerintah mengakibatkan penurunan welfaredengan welfare multiplier
sebesar -0,001.
Dalam jangka pendek, kenaikan investasi Pemerintah sebesar 1% mengakibatkan
peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,05% di atas pertumbuhan ekonomi baseline.
Dalam jangka menengah-panjang dampak tersebut semakin besar, dan output multiplier dari
pengeluaran investasi pemerintah mencapai 0,20. Peningkatan output tersebut berasal dari
peningkatan permintaan temporer (temporary demand) dan efek sisi supply. Permintaan
temporer mengalami kenaikan akibat dampak langsung dari investasi, sedangkan efek sisi
supply bersumber dari ketersediaan kapital (infrastruktur) publik yang terus mendukung
kapasitas industri untuk berproduksi. Kenaikan investasi pemerintah juga mengakibatkan
kenaikan welfare dengan welfare multiplier sebesar 0,05. Kenaikan tersebut berasal dari
32
kenaikan konsumsi akibat peningkatan produktivitas tanpa harus menambah jam kerja,
sehingga kesejahteraan rumah tangga mengalami peningkatan.
Dari hasil simulasi terhadap model DSGE yang dibangun terlihat bahwa kebijakan
pemerintah untuk mendorong perekonomian jauh lebih efektif melalui pengeluaran investasi
daripada pengeluaran konsumsi. Berdasarkan angka-angka hasil simulasi yang diperoleh,
reformasi struktural yang dilakukan pemerintah akhir-akhir itu yang salah satunya melalui
peningkatan pengeluaran investasi dan mengurangi pengeluran konsumsi, termasuk subsidi,
diharapkan akan memberikan dampak positif yang signifikan terhadap perekonomian
Indonesia.
Sejauh ini, model yang telah dibangun didasarkan pada asumsi bahwa pengeluaran
pemerintah sepenuhnya dibiayai dari pajak. Dalam praktiknya, pemerintah bisa saja membiayai
pengeluaran pemerintah melalui pinjaman.Bagaimana implikasi dari pengeluaran pemerintah
yang dibiayai dari pinjaman tidak ditangkap dalam studi ini, dan dapat menjadi salah satu topik
untuk penelitian berikutnya.
33
DAFTAR PUSTAKA
Anugrah D.F., R.N.Rakhman, R.Anglingkusumo, L.Fawaqa, J.Oseva
Laporan Hasil Penelitian BI-DKEM.
Aschauer, D. Aschauer
Economic Development and Cultural Change Vol. 48(2): 391-
406.
Bom, P.R.D.,
Journal of Economic Dynamics & ControlVol. 40: 334
354.
Journal of Monetary
Calvo, G.
EconomicsVol. 12: 383 398.
Cooley, editor. 1995. Frontiers of Business Cycle Research
Princeton University Press.
Gali, Jordi and T. Monacelli. 2005. "Monetary Policy and Exchange Rate Volatility In A Small
Open Economy". Review of Economic StudiesVol. 72(252): 707-734.
Ganelli, Giovanni and J.
IMF Working Paper No.16/40.
BI Working Paper.
Pemodelan Financial Frictions pada Model DSGE-
BI Working Paper.
BI Working Paper.
IMF. 2014. World Economic Outlook: Legacies, Clouds and Uncertainties. IMF, Washington, DC.
Iwata, Y., 2013. Two fiscal policy puzzles revisited: New evidence and an explanation . Journal
of International Money and Finance 33: 188-207.
Jha, S., S. Mallick, D. Park, andP. Quising. 2010. Effectiveness of countercyclical fiscal policy:
Time-series evidence from developing Asia . ADB Economics Working Paper Series,
211.
The Economic Journal
Vol.41(162): 173-198.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
2014. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019.
10, Macmillan & Co. LTD: London.
Book III Chapter
NBER Macroeconomics
Evide
Annual 27: 89-142.
Obstfeld M., Rogoff K. 1998. Risk and exchange rates .NBER Working Paper No. 6694.
Structural Reform and Greece: Lessons from Other Lands Diunduh dari
website Dani Rodrik John F. Kennedy School of Government Harvard University tanggal
27 Maret 2017 Pukul 14.00 WIB, link: http://drodrik.scholar.harvard.edu/links/structural-
Rodrik, Dani. 2015
reform-greece-lessons-other-lands.
Sin, Jasmin. 2016
tiplier in a Small Open Economy:The Role of Liquidity
IMF Working Paper.
Indonesia, No.10.
ADB Papers on
34
Journal of Asian Economics 24: 103-116.
Policy on Selected ASEAN
BI Working Paper.
Tjahjono, E.D., danJ.
BI Working Paper.
Quintana P.G., James M.N
Paper No 12-4.
Accelerator pada Model
FRB of Philadelphia Working
World Economic Forum. 2016. Global Competitiveness Index 2016-2017: Geneva.
35
Download