Fokus PARADIGMA PEMBANGUNAN BERBASIS SUMBER DAYA ALAM PERTANIAN (Keluar dari Jebakan Neoliberalisme) Oleh: Prof. Dr. H. Didin S. Damanhuri, SE, MS, DEA Guru Besar Departemen Ilmu Ekonomi Fak. Ekonomi & Manajemen IPB, INDEF (Institute for Development of Economics & Finance), Ketua L-KEN (Lingkar Kajian Ekonomi Nusantara), Pengamat ekonomi 22 Volume 19 No. 1 Juni 2014 Agrimedia Pemerintahan beberapa kali mengeluarkan kebijakan mencabut subsidi bahan bakar minyak (BBM), disamping pencabutan subsidi lainnya (listrik, pupuk, dll) yang tentu saja langsung atau tidak langsung berdampak kepada pengurangan daya beli rakyat. Sudah dapat diperkirakan bahwa jumlah penduduk miskin akan bertambah akibat anjloknya daya beli tersebut dan pengangguranpun meruyak akibat PHK baik di sektor formal maupun informal. Ini akibat lebih mendalam dari adopsi pemerintah terhadap kebijakan yang makin berbasis pemikiran neoliberal yang menekankan peran Negara ”minimalis”, privatisasi BUMN (tak selektif termasuk yang berposisi bluechips seperti Telkom, Indosat, BCA dan banyak lagi), pencabutan proteksi dan subsidi meski yang menyentuh hajat hidup orang banyak seperti listrik dan BBM serta sektor pertanian dalam arti luas walau di negara-negara industri maju (NIM) seperti AS, EU dan Jepang, sektor pertanian amat diproteksi dan disubsidi. Secara lebih mendasar kebijakan ini patut dipertanyakan, terutama menyangkut peran negara di masa depan yang makin tak berdaulat terutama berhadapan dengan NIM terutama AS. Peran negara Setelah masuknya peran IMF dengan dokumen LOI (Letter of Intent) yang kemudian dilanjutkan dengan adanya white paper dengan sejumlah program besar untuk mengatasi krisis ekonomi sejak tahun 1998, maka ada berbagai perubahan signifikan di tingkat dasar di negeri ini bahkan berimplikasi kepada amandemen UUD 45. Antara lain dirumuskan tentang peran negara yang lebih “minimalis” karena “ekonomi disusun berdasarkan ekonomi pasar yang berkeadilan”. Memang makna tersebut belum dijabarkan secara terperinci seperti apa nantinya. Namun jargon tersebut merupakan bahasa khas kaum neoliberal yang berbasiskan teori ekonomi neoklasik dan neoliberal. Karena kata ‘’keadilan’’ tersebut biasanya diterjemahkan dalam konteks pasar kapitalis. Yakni ada semacam mekanisme redistribusi pendapatan yang disesuaikan dengan kontribusinya masing-masing individu dalam kapasitas sebagai faktor produksi. Apakah dia masuk kelas pemilik aset produktif (sumber daya finansial, alam, intelektual, dst) atau sekedar kelas buruh pemilik tenaga fisik semata yang powerless. Maka secara struktural makin amat sulitlah kalau tak mau disebut tak mungkin, pencapaian sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat (sila ke 5 dari Pancasila) secara kongkrit dan bertahap di masa datang, karena dengan mekanisme redistribusi yang hanya Agrimedia bertumpu kepada mekanisme pasar kapitalis dalam sejarah pembangunan di dunia selalu gagal bahkan memperparah proses ketimpangan. Sementara untuk mengatasi kemiskinan dari masyarakat yang tak masuk kelompok ekonomi produktif - seperti yang berjalan di AS - biasanya lalu diserahkan kepada lembaga-lembaga karitatif yang sangat terbatas daya jangkaunya, karena negara harus semakin membatasi peran tertentu saja. Ini bukan hanya tuntutan mekanisme pasar kapitalis di tingkat nasional saja, tapi juga tuntutan pasar kapitalis global yang dalam kenyataanya jauh lebih menentukan. Misalnya sekarang Indonesia dan negara berkembang lain sering dituduh oleh negara-negara maju mempraktekkan dumping, karena dianggap mengerjakan buruh anak-anak. Juga tuntutan ecolabelling bahkan bioterrorism untuk produk ekspor. Ujung-ujungnya lebih merupakan siasat proteksi negara maju – yang selalu mengkhotbahkan pasar bebas – terhadap negara berkembang. Yang lebih spektakuler lagi, dampak pemberlakuan ekonomi pasar kapitalis di tingkat nasional dan terutama di tingkat global (dengan kekuatan mahabesar dari WTO ditambah IMF dan Bank Dunia) bagi nasib untuk sekitar 99,98% pelaku ekonomi di Indonesia yang masuk kategori sektor informal dan UKM – yang sebagian besar berada di sektor pertanian dan pedesaan - karena peran minimalisnya dari negara. Yakni untuk promosi dalam pelbagai manifestasi subsidi. Dengan jargon untuk mencapai kemakmuran dunia yang mensyaratkan kebebasan lalu lintas barang, jasa dan produk intelektual secara global (borderless) maka semua negara di dunia harus melakukan structural adjustment yang intinya membatasi peran negara, mengedepankan peran swasta dan menciptakan ekonomi pasar kapitalis. Maka peran sektor pertanian dalam arti luas, UKM dan sektor informal yang menginginkan memperbesar skala ekonominya untuk masuk kepada dinamika pertumbuhan ekonomi modern apalagi di pasar global menjadi hal yang hampir mustahil. Volume 19 No. 1 Juni 2014 23 Fokus Dengan begitu, yang terjadi pasca krisis di negeri ini, kemiskinan dan pengangguran (terbuka maupun setengah pengangguran) makin masif dan meruyak. Lebih jauh, dampak setelah hampir satu dekade peran WTO mengemukan, maka terjadilah piramida kurban manusia - meminjam istilah Peter Berger – di tingkat global. Yakni mayoritas negara-negara miskin yang tidak manjalankan ekonomi pasar kapitalis dan kurang bersahabat secara politik dengan AS, menjadi “kaum proletar” secara berkelanjutan. Sementara, yang berada di puncak dari piramida tersebut adalah negara super makmur yang memiliki segalanya: power ekonomi, politik dan militer, yakni AS, kemudian disusul Jepang dan Uni Eropa. Uraian di atas bukanlah sebuah ungkapan untuk mengkampanyekan anti ekonomi pasar dan menolak langkah menciptakan daya saing ekonomi dalam kerangka interdependensi ekonomi global (bukan istilah globalisasi yang lebih mengesankan adanya dominasi bahkan hegemoni). Bagi negeri ini yang mayoritas rakyatnya masih hidup di sektor agraris dan ekonomi informal serta proses pembelajaran awal demokrasi politik, kiranya harus menyikapi dinamikan ekonomi dan politik global dewasa ini secara selektif dan cerdas. Antara lain kita harus berani me-review berbagai penetapan tentang peran negara dalam ekonomi dalam konteks interdependensi ekonomi dan politik global dewasa ini. Juga termasuk keberanian mengkaji ulang white paper IMF, terutama menyusun politik subsidi yang relevan. Dalam waktu yang sama, pemberatasan KKN, reformasi birokrasi dan penegakan hukum serta proses demokratisasi politik, secara serius dan berkelanjutan terus dilaksanakan. Dengan belajar terus dari pengalaman termasuk bagaimana terjadinya kegagalan negara di masa pemerintahan Orde Baru dan kegagalan swasta pascaOrba, akhirnya kita harus mampu menempatkan format negara yang efektif dan civil society yang elegan dalam konteks untuk memecahkan kemiskinan dan pengangguran yang besar ke depan. 24 Volume 19 No. 1 Juni 2014 Proses Demokratisasi Politik Indonesia memang telah ditasbihkan menjadi negara besar ketiga (setelah AS dan India) yang berhasil dengan penduduk yang raksasa menjalankan demokratisasi politik (pemilu legislatif di pusat dan daerah serta presiden) secara damai dan luber pasca-otoritarianisme selama empat dekade. Bahkan dalam Pemilu Legislatif dan Presiden tahun ini, dan sekian banyak Pilkada secara langsung tahun sebelumnya menyusul pemberlakuan otonomi daerah dan desentralisasi pemerintahan. Dengan segala kekurangan yang ada, bagaimanapun ini prestasi rakyat terbesar yang mampu dipersembahkan ke panggung dunia. Namun dengan prestasi spektakuler tersebut harus direnungkan juga kenyataan lain untuk masa depan. Bahwa dalam kenyataan, perbandingan pengalaman di dunia, tidak setiap sukses demokratisasi politik lantas diikuti oleh sukses menciptakan tingkat kesejahteraan ekonomi dan keadilan sosial bagi rakyat banyak. Setidaknya ada empat kategori di dunia dalam hubungan antara demokrasi politik dan kesejahteraan ekonomi rakyat. Pertama, bersamaan dengan sukses demokratisasi politik juga diikuti oleh tingkat kesejahteraan ekonomi rakyat yang signifikan seperti dipertotonkan oleh negara-negara Barat. Meski harus diberi catatan bahwa kemakmuran mereka tak lepas dari politik kolonialiame dan imperalisme terhadap negara berkembang di masa lalu disamping standar ganda yang tak demokratis di tingkat hubungan internasional visà-vis negara berkembang sekarang ini. Di luar negaranegara Barat tersebut, juga terdapat Jepang, Turki dan negara-negara industri baru Asia (Korea, Malaysia, dan Thailand). Kedua, negara-negara yang tak demokratis secara politik namun tingkat kesejahteraan ekonomi rakyatnya relatif tinggi dan merata seperti diperlihatkan Cina dan Singapura. Ketiga, negara-negara yang tradisi demokrasi politiknya maju namun kesejahteraan ekonomi sebagian besar rakyatnya rendah seperti dicontohkan India dan Filipina serta banyak negaranegara Amerika Latin. Keempat, negara yang demokrasi politik dan kesejahteraan ekonomi rakyatnya buruk dan rendah seperti yang terjadi di Pakistan, Bangladesh, dan hampir semua negara-negara Afrika. Agrimedia Di mana tempat Indonesia dalam peta hubungan tersebut akan menempatkan diri? Sementara ini kita baru masuk dalam kategori ketiga. Bahkan kalau gejala perpecahan internal partai terus menerus tanpa terselesaikan, kemudian konflik yang tak terkendali dalam Pemilu Legislatif dan Presiden serta berbagai pilkada, juga KKN oleh pemerintahan tak terpecahkan, yang akan terjadi bukan hanya tingkat kesejahteraan ekonomi rakyat dalam alam globalisasi dengan hegemoni AS yang akan semakin bertambah buruk, demokrasi politik pun akan mengalami kemunduran besar. Pemecahan kemiskinan dan pengangguran yang masif dan besar yang dialami dewasa ini, akan semakin jauh panggang dari api. Selanjutnya dengan budaya paternalistik yang kita miliki, sebagaimana negara-negara Asia lainnya, maka nasib Indonesia akan sangat tergantung elitenya untuk memecahkan teka-teki seperti diuraikan tadi. Rakyat sudah membutikan dirinya secara spektakuler berhasil, baik itu dalam proses demokrasi politik seperti diperlihatkan dalam Pemilu legislatif dan Pilpres secara langsung tahun 2009, maupun kemandirian dan ketahanan ekonomi yang dipertontonkan selama krisis ekonomi yang telah berlangsung 10 tahun ini. Kembali ke Pertanian Salah satu jalan radikal yang harus ditempuh bangsa Indonesia agar memiliki kemampuan dalam menanggulangi kemiskinan dan pengangguran massal Agrimedia seperti yang dialami dewasa ini - secara makro struktural - haruslah melakukan paradigm shift dengan pembangunan berbasis SDA pertanian dalam arti luas yang memasukan konten IPTEK dan SDM yang handal. Dalam saat yang sama ditata kembali peran Negara, pasar dan civil society secara rasional dan proporsional untuk menegakan kedaulatan ekonomi serta mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat di masa depan. Kalau dengan basis pembangunan lebih bertumpu kepada paradigma ekonomi neoliberalisme seperti sekarang ini, maka yang akan terjadi adalah kemskinan dan pengangguran akan semakin masif dan meruyak serta hanya sebagian kecil elit saja yang akan mencapai kemakmuran meski demokrasi politik mungkin saja akan mengalami kemajuan secara prosedural, tapi hakikat sesungguhnya adalah juga anti-demokrasi, karena rakyat banyak menderita karenanya. Wallahu ’alam bissawab. Referensi Damanhuri DS. 2009. Indonesia: Negara, Civil Society dan Pasar dalam kemelut Globalisasi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fak.Ekonomi UI. Damanhuri DS. 2006. Korupsi, Reformasi Birokrasi dan Masa Depan Ekonomi Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit Fak.Ekonomi UI. Damanhuri DS. 1999. Pilar-Pilar Reformasi EkonomiPolitik: Upaya Memahami Krisis Ekonomi dan Menyongsong Indonesia Baru. Bandung: CIDESJakarta dan Pustaka Hidayah. Volume 19 No. 1 Juni 2014 25