Slide 1 - Blog UNPAD

advertisement
Tidak Ada Seribu Jalan ke Wamena
Di antara yang mahal-mahal itu, di manakah produksi listrik paling mahal se-Indonesia? Tanpa survey mengatakan : wamena. Yakni ibukota kabupaten Jayawijaya di pegunungan tengah Papua. Ini karena
listrik di Wamena dibangkitkan dengan PLTD (Pembangkit Listrik Tenaga Diesel). Padahal tidak ada jalan untuk mengangkut solar ke Wamena.
Memang ada seribu jalan menuju Roma, tapi hanya ada satu cara mengangkut solar menuju Wamena: dengan pesawat udara. Maka tak ayal bila harga solar yang Rp. 6.000/liter itu, ongkos angkutnya Rp
10.000/liter.
Maka sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya harus memikirkan juga Wamena. Kalau tidak, seumur hidup PLN akan tersandera persoalan pengangkutan solar yang amat rumit itu. Padahal tidak ada
pesawat besar yang rutin terbang ke Wamena. Padahal lainnya, PLTD PLN di pegunungan Jayawijaya itu bukan PLTD kecil yang keperluan solarnya sedikit. PLTD kita di situ 2 MW. Bayangkan betapa
rumitnya persoalan membangkitkan listrik di Wamena.
Memang kedengarannya agak tidak logis. Menurut peraturan penerbangan, pesawat penumpang tidak boleh mengangkut bahan cair. Membawa parfum melebihi 100 mili saja disita. Di Papua sudah biasa
pesawat penumpang membawa solar berdrum-drum. Kenyataan yang hampir tidak masuk akal inilah yang jadi salah satu agenda pembahasan penting selama tiga hari kunjungan saya ke Papua.
Pimpinan PLN Wamena yang kelahiran Merauke yang bernama (jangan kaget!) Darmono itu, menceritakan biaya pengiriman solar ke Wamena saja tiap bulan sebesar Rp. 1.132.362.000,00. Maka kalau di
Jawa listrik diproduksi dengan biaya rata-rata sekitar Rp 800/kwh, di Wamena menjadi Rp 6.000/kwh. Padahal harga jual listriknya sama dengan di Jawa: sekitar Rp 670/kwh. Sudah bisa dihitung sendiri
berapa besar defisit PLN Wamena setiap tahun.
Bupati wamena sendiri tahu kesulitan PLN itu. Menurut Darmono, Pak Bupati pernah usul agar di Wamena diterapkan tarif khusus yang lebih mahal. Asal listrik untuk kota itu cukup. Sebab semua hal
memang mahal di Wamena. Semen dan besi apalagi. Bahkan hasil bumi setempat juga ikut mahal. Padahal tidak ada urusan dengan transportasi. Tapi PLN tidak bisa ikut-ikutan mahal. Ada peraturan yang
tidak membolehkannya.
Tentu saya tidak akan cengeng. Semua orang PLN juga tidak akan cengeng. Persoalan ini masih bisa diatasi asal ada tekad yang kuat untuk untuk mencari jalan keluar. Dan merealisasikannya dengan
nyata. Memperdebatkan murah-mahal itu hanya akan buang-buang energi. Saya memilih lebih fokus pada mencari bentuk penyelesaian yang tuntas. Bukan hanya mencari cara agar bisa mengirim solar
ke Wamena dengan murah, tapi lebih baik sekaligus mencari cara bagaimana agar tidak perlu kirim solar sama sekali ke Wamena.
Caranya pun sebenarnya tidak sulit. Di Wamena banyak sekali sumber air terjun yang bisa dimanfaatkan untuk pembangkit listrik. Bahkan sejak zaman Belanda dulu sudah ada pembangkit listrik tenaga air
kecil-kecilan. Hanya cukup untuk beberapa rumah. PLN sendiri juga sudah punya satu pembangkit sejenis yang sudah lama beroperasi. Hanya saja masih terlalu kecil dibanding dengan kebutuhan zaman
modern saat ini. Total kebutuhan listrik di Wamena kini sudah mencapai 3,5 MW. Padahal masih ada 800 rumah lagi yang masih menunggu giliran mendapatkan listrik. Kota itu juga masih redup karena
baru ada 30 titik lampu penerangan jalan. Ke depan, seluruh kota Wamena yang konon amat indah itu harus terang-benderang. Dengan terang-benderang segala hal yang negatif juga akan bisa jauh
berkurang.
Bagaimana agar ide membangun pembangkit listrik tenaga air itu bisa dilaksanakan segera? Cara inilah yang selama perjalanan di Papua, saya dan pimpinan wilayah PLN Papua Pak Ferdinand Siahaan
terus membicarakannya. Kami juga mengundang pimpinan PLN Wamena untuk bertemu di Jayapura. Di akhir perjalanan darat selama tiga jam dari Jayapura ke Oriya kesimpulan sudah bisa diambil. Akhir
November 2010 ini PLN mengirim tim desain konstruksi ke Wamena. Tim ini akan dipimpin PLN Engineering. Tugasnya melakukan survey dan membuat desain engineering. Dalam waktu sebulan, tim
sudah harus pulang dengan desain yang pasti. Yakni di mana bisa dibangun pembangkit listrik tenaga air, berapa besar ukurannya dan berapa biayanya. Tim yang bertugas ke
Wamena ini harus menemukan sumber listrik dari air minimal 5 MW. Kalau masing-masing unit berkekuatan 0,5 MW, berarti tim harus menemukan beberapa lokasi sekaligus.
Pimpinan PLN Wamena kebagian tugas mengurus lokasi itu ke Pemda. Sebagai orang yang sudah lima tahun bertugas di Wamena, Darmono dianggap mampu meyakinkan Pemda setempat akan
pentingnya membangun pembangkit listrik tenaga air dengan cepat. Soal meyakinkan Pemda ini kelihatannya gampang, tapi bisa juga menjadi rumit. Di Papua yang luas ini sejengkal tanah bisa bisa- bisa
menjadi hambatan yang utama.
Yang juga hebat, meski sudah lima tahun bertugas di Wamena Darmono bertekad untuk bersedia tidak meninggalkan Wamena sampai kapan pun sampai proyek ini terwujud. Inilah tekad yang membuat
saya terharu di tengah-tengah keinginan banyak karyawan PLN yang ingin cepat-cepat pindah ke Jawa.
Orang-orang yang hatinya untuk Papua seperti Darmono itulah yang kini sedang kami cari sebanyak-banyaknya. Membangun Papua tidak bisa dilakukan oleh crang yang ke Papua dengan tujuan hanya
untuk mencari gaji dan menumpuk harta. Papua memerlukan orang yang berhati Papua tanpa memandang dari mana asal dan sukunya.
Kini PLN juga sedang mencari 11 orang warga PLN yang berhati Papua. Silakan, teman-teman PLN dari seluruh Indonesia mengajukan diri. Untuk apa?
Ternyata, sampai saat ini masih ada 11 kabupaten di Papua (umumnya hasil pemekaran) yang belum ada listriknya sama sekali. Belum ada PLN di 11 kabupaten itu. PLN ingin dalam waktu kurang dari
enam bulan kesebelas kabupaten itu sudah harus berlistrik.
Untuk itu diperlukan 11 orang perintis PLN di 11 kabupaten itu. Tugasnya membawa peralatan listrik ke sana, mengoperasikannya, membuat perencanaan listrik ke depan, mencari kader-kader setempat
yang bisa dibina untuk menjadi karyawan PLN setempat di kemudian hari, menyusun system dan model operasinya dan seterusnya. Dan lebih penting, dia harus bersedia tidak pindah selama PLN
menganggap tugas tersebut belum selesai. Dia juga harus berwatak Pembina karena akan mendapat tugas mengkader putra-putra daerah untuk menjadi orang PLN yang baik.
Saya yakin dari 50.000 karyawan PLN pasti kita bisa menemukan 11 crang yang berhati Papua dan berjiwa kepeloporan. PLN sudah berhasil membina orang seperti Pak Tinus Rouw, yang kelahiran Serui itu
yang kini sudah menjadi kepala PLN di Kaimana. PLN juga punya putra Papua yang matang seperti Richard Safkaur yang kini menduduki jabatan cukup penting di wilayah Papua. Bahkan PLN punya
Srikandi Papua seperti Merry Lauw yang prestasi kerjanya juga hebat. PLN terus bertekad untuk memperbanyak Richard-Richard yang lain, Merry-Merry yang lain dan Tinus-Tinus yang lain.
Sebelas kabupaten belum ada listriknya sama sekali. Meski keadaannya amat sulit, alangkah menantangnya kenyataan ini.
Saya sendiri sudah berkali-kali ke Papua. Tapi, baru kali ini ke Papua sebagai Dirut PLN. Saya dan rombongan mendarat pertama di Sorong. Di sinilah saya melihat betapa majunya perkembangan
pembangunan di Sorong. Ini berarti ketersediaan listrik juga sangat mendesak. Karena itu, kami akan membangun PLTU 2 x 15 MW di Sorong. Tentu membangun PLTU memerlukan waktu paling tidak dua
tahun. Itu pun kalau tanahnya segera bisa beres.
Sebagai terobosan, sambil menunggu PLTU itu selesai, kami memutuskan untuk menerima kerja sama dengan pemilik gas di Sorong. Membangun pembangkit listrik berbahan gas bisa lebih cepat. Setelah
meninjau lapangan gas itu, saya lebih optimistis. Saya lihat gasnya sudah siap. Lahan pembangkitnya juga sudah tersedia. Bahkan, para pekerjanya sudah berdatangan untuk membuat fondasi. Saya
berharap, pertengahan tahun depan sudah ada tambahan listrik 8 MW dari gas ini di Sorong.
Dari kawasan Kepala Burung (Provinsi Papua Barat) ini saya terbang ke Kaimana dengan transit di Fakfak. Pesawat kecil ini melintas di atas Teluk Bintuni. Saya ingin sekali melihat terminal LNG Tangguh
dari ketinggian pesawat. Namun, karena mendung, instalasi itu tertutup awan.
Di Bintuni inilah ternyata sudah ditemukan lokasi tambang batu bara. Bahkan, pemilik KP (konsesi pertambangan)-nya sudah mulai melakukan kegiatan. Kami agak lega. Berarti untuk PLTU-PLTU di Papua
tidak perlu lagi mendatangkan batu bara dari Kalimantan.
Saya pun segera mengontak pengusaha tersebut. Berbagai kemungkinan kerja sama kami bicarakan. Ternyata pengusaha ini dulu rekanan PLN juga. Yakni, perusahaan persewaan genset. Lebih dari 15
tahun dia bergerak di bidang persewaan genset, namun sudah lama sekali menghentikan usahanya. Mengapa? “Labanya kecil sekali. Marginnya tipis. Padahal, pengoperasiannya rumit,” katanya.
Selain itu, dia yakin bahwa suatu saat PLN pasti akan menghentikan pengoperasian genset karena mahal. Sejak itulah dia terus mencari sumber batu bara di Papua yang akhirnya dia dapatkan di Bintuni
itu. “Saya biasa jalan ke hutan berhari-hari,” katanya.
Download