transfer dana desentralisasi lampaui rp500 triliun

advertisement
TRANSFER DANA DESENTRALISASI LAMPAUI RP500 TRILIUN
beritahukum.com
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan, dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) i 2013, dana transfer ii ke daerah dari pemerintah pusat akan
melampaui Rp500 triliun. "Kita terus mengalirkan dana desentralisasi, iii Insya Allah akan
melampaui Rp500 triliun pada 2013 mendatang. Saya mengajak ini kita kawal, jangan
sampai ada penyelewengan," kata Presiden di Jakarta.
Presiden mengemukakan, aliran dana ke daerah tersebut sebagai salah satu wujud
asas desentralisasi dan otonomi daerah yang dianut oleh Indonesia. Kepala Negara
menyatakan, desentralisasi dan otonomi daerah merupakan koreksi atas pembangunan
sentralistik yang telah gagal memberikan keadilan dan pemerataan.
Untuk itu, Presiden menyatakan, desentralisasi dan otonomi daerah harus diteruskan
dan tidak bisa dibalik, meskipun banyak tantangan dan hambatan yang terjadi mengingat
usia
desentralisasi
dan
otonomi
daerah
yang
masih
muda
dan
belum
matang.
"Desentralisasi dan otonomi daerah adalah pilihan kita, koreksi pada masa lalu ketika
pembangunan
yang
terlalu
sentralistik.
Jangan
kita
goyah,
jangan
berbalik
arah,
desentralisai dan otonomi daerah yang benar akan lebih membawa keadilan dan
pemerataan," kata Presiden.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI),
Isran Noor menyatakan bahwa meskipun dana pembangunan dari pusat ke daerah terus
mengucur ternyata cara pengucurannya justru membuat daerah terhimpit kesulitan pada
hampir seluruh jenis transfernya.
"Hampir semua jenis transfer dana pusat ke daerah menghadapi masalah yang
menyulitkan daerah, setidaknya kami menginventarisasi ada 21 masalah dalam proses
transfer dana pusat ke daerah" kata Isran Noor, Bupati Kutai Timur selaku ketua APKASI
saat rapat dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR.
Kesulitan itu, katanya, mencakup proses transfer dana dalam berbagai bentuk,
seperti Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam (DBH SDA) iv , Dana Alokasi Khusus (DAK), v
Dana Anggaran Umum (DAU), vi Dana Penyesuaian, Dana Insentif Daerah (DID) dan Dana
Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPPID).
Seksi Informasi Hukum – Ditama Binbangkum
Page 1
Isran
menegaskan
rumitnya
urusan
pembangunan di daerah menjadi tidak optimal.
transfer
daerah
itu
membuat
proses
"Pada saat yang sama, daerah sebagai
pelaksana otonomi justru seringkali dianggap belum mampu mengelola dana transfer yang
sudah diberikan Pemerintah," ungkapnya.
Isran mengatakan transfer DBH SDA misalnya, tidak transparan dari pusat
(Kementerian Keuangan) menyangkut jumlah yang diterima dan yang harus dibagi ke
Pemerintah Daerah. Setiap tahun Daerah hanya menerima sejumlah dana tanpa penjelasan.
Proses transfernya bahkan juga menyalahi aturan dalam Peraturan Menteri Keuangan. "Hal
ini menyulitkan posisi pemerintah daerah. Di satu sisi membutuhkan dana tambahan
pembangunan, namun di sisi lain harus mengeluarkan dana pendamping," kata Isran.
Dari rujukan istilah (TOR) yang diberikan oleh Banggar DPR kepada APKASI, Asosiasi
ini menerima kesan bahwa daerah sebagai pelaksana otonomi dianggap masih belum
mampu mengelola dana transfer dari pemerintah. Upaya peningkatan Pendapatan Asli
Daerah (PAD) vii juga disebutkan tidak sejalan dengan kebijakan pusat sehingga menggangu
perencanaan anggaran penerimaan pusat. Selain itu, kualitas belanja daerah juga dianggap
tidak terjaga karena rendahnya belanja daerah dibanding belanja pegawai serta rendahnya
transparansi dan akuntabilitas.
Menurut APKASI, daerah memiliki keterbatasan anggaran. Usaha untuk menggali
sumber PAD tidak dapat dilakukan mengingat sumber-sumber penerimaan daerah telah
dicatat oleh Pusat sesuai dengan batasan peraturan perundang-undangan. Sebagai
implikasinya, daerah tidak mampu melepaskan ketergantungan diri terhadap Pusat.
Untuk itu, APKASI berharap perlu ada dikotomi jelas antara sumber penerimaan
daerah (PAD) dengan sumber-sumber penerimaan APBN, sehingga cap bahwa pemerintah
daerah selau memiiliki ketergantungan kepada pemerintah pusat dapat dihindari.
Persoalan lainnya menurut APKASI adalah Pemerintah Pusat tidak partisipatif dalam
menyusun rumusan kebijakan tersebut karena daerah hanya dianggap sebagai faktor obyek
saja. Regulasi atau kebijakan yang ada saat ini menurut APKASI tidak sesuai dengan kondisi
daerah karena membelenggu daerah dalam melaksanakan otonomi, sehingga mematikan
inisiatif daerah. Hal ini berakibat kepada berkurangnya pelayanan terhadap masyarakat dan
membuat dana daerah menumpuk pada Bank Indonesia.
Sehubungan berbagai persoalan itu, APKASI menyarankan sejumlah jalan keluar.
Dalam hal DBH SDA, misalnya, disarankan adanya transparansi perhitungannya dan
sebaiknya ditetapkan cara perhitungan DBH dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
Selain itu, DBH ditransfer sesuai dengan PMK, sehingga tidak ada lagi kurang bayar.
Menurut APKASI, selama ini daerah penghasil tidak mengetahui berapa sebenarnya
SDA yang dihasilkan dari daerahnya sebagai dasar perhitungan DBH SDA yang diterima.
Dengan demikian, daerah hanya menerima berapapun alokasi DBH SDA yang ditetapkan
oleh Menteri Keuangan dan daerah sulit memproyeksikan DBH SDA yang akan diterima di
tahun yang akan datang.
Menyangkut DAK, APKASI mengeluhkan adanya kewajiban dari daerah untuk
menyediakan dana pendamping yang membebani daerah. Ketentuan DAK mewajibkan
Seksi Informasi Hukum – Ditama Binbangkum
Page 2
daerah untuk menyediakan dana pendamping sekurang-kurangnya 10 persen dari alokasi
DAK, dan apabila daerah tidak dapat menyediakan dana pendamping maka DAK tidak dapat
dicairkan. “Ini dilematis, di satu sisi perlu tambahan dana pembangunan, namun di sisi lain
harus ada dana pendamping,” ujar Isran.
Ketentuan
ini
dipandang
memberatkan
daerah
yang
kemampuan
keuangan
daerahnya rendah, karena di samping dana pendamping 10 persen yang digunakan untuk
menambah dana DAK, daerah juga harus menyediakan dana penunjang (operasional)
sebesar 30 persen untuk perencanaan, pengawasan dan koordinasi.
Isran berharap jika tetap ada dana pendamping maka dana pendamping tersebut
tidak untuk ditambahkan ke dana DAK tetapi untuk penunjang (perencanaan, pengawasan
dan koordinasi) sebesar 5 persen.
Dalam Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPPID), selalu ada
keterlambatan penetapan ke daerah (sekitar Juli) sehingga pelaksanaan tidak dapat
menyerap 100 persen. Jika dana tidak terserap 100 persen, dana tersebut harus
dikembalikan ke Pusat.
Agar terserap 100 persen, APKASI menyarankan agar dana DPPID ditetapkan pada
awal tahun anggaran. Jika sudah diterima daerah tetapi tidak terserap 100 persen karena
gagal tender maka tidak perlu dikembalikan ke Pusat dan dilanjutkan tahun depan seperti
pola DAK.
Ketua Badan Anggaran DPR RI Melchias Markus Mekeng yang memimpin rapat
menyatakan akan menindaklanjuti berbagai pandangan dan saran dan solusi permasalahan
yang diusulkan APKASI. "Kami akan mengundang Menteri Keuangan, Menteri Bapenas, dan
Mendagri dalam Rapat Panja Daerah. Kami harapkan juga APKASI dapat hadir dalam rapat
tersebut," kata Mekeng.
Rapat mediasi oleh DPR antara Pusat dan Daerah itu nantinya merupakan salah satu
upaya mewujudkan pembahasan APBN lebih transparan dan terbuka, di mana semua pihak
dapat langsung mengawasi proses pembahasan alokasi uang negara yang dilakukan
bersama.
Dalam hal jumlah, menurut catatan, besaran dana transfer terus meningkat dari
tahun ke tahun. Pada tahun 2005 sebesar Rp150,5 triliun atau 5.4 persen terhadap Produk
Domestik Brutto (PDB), dan pada tahun 2012 menjadi Rp478,8 Triliun atau 5,7 persen
terhadap PDB dengan peningkatan sebesar 174,2 persen. Menurut Dirjen Perimbangan
Keuangan Marwanto Harjowiryono, dana transfer daerah selama 10 tahun mencapai Rp
1.200 triliun.
Menurut Staf Khusus Presiden (SKP) bidang ekonomi Firmanzah sampai dengan
Triwulan I tahun anggaran 2012, transfer dana dari Pemerintah Pusat masih mendominasi
Pendapatan Asli Daerah (PAD) di seluruh tanah air. "Di tingkat propinsi, secara kumulatif
transfer pusat mencapai lebih 51% dari seluruh penerimaan. Sementara Kabupaten
menerima transfer pusat sebesar 87.1% dari total penerimaannya, dan Pemerintah Kota
menerima sebesar 71.8%," kata Firmanzah di Jakarta, akhir pekan lalu.
Seksi Informasi Hukum – Ditama Binbangkum
Page 3
Sebelumnya, Menteri Keuangan Agus Martowardojo menilai, kebijakan desentralisasi
fiskal
dinilai
kurang
efektif
di
beberapa
daerah
selama
satu
dasawarsa
terakhir.
Menurutnya, untuk beberapa daerah, seperti Papua, Papua Barat dan Aceh, realisasi
transfer daerah belum optimal. Kurang optimalnya dana transfer daerah karena pemerintah
daerah tidak memiliki perencanaan anggaran yang baik.
Sumber:
www.antaranews.com, 30 Juli 2012
www.apkasi.or.id, 4 Juli 2012
www.antaranews.com, 10 Juni 2012
www.rmol.co, 8 Juni 2012
Catatan:
Di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, diatur
bahwa kekuasaan pengelolaan keuangan negara dari presiden sebagian diserahkan kepada
gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintah daerah untuk mengelola keuangan
daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang
dipisahkan. Ketentuan tersebut berimplikasi pada pengaturan pengelolaan keuangan
daerah,
yaitu
bahwa
gubernur/bupati/walikota
bertanggungjawab
atas
pengelolaan
keuangan daerah sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan daerah.
Penyelenggaraan fungsi pemerintahan daerah akan terlaksana secara optimal
apabila diikuti dengan pemberian sumber-sumber penerimaan yang cukup kepada daerah,
dengan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Sementara itu, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menjamin bahwa dengan
otonomi daerah, daerah diberikan hak untuk mendapatkan sumber keuangan yang antara
lain berupa: kepastian tersedianya pendanaan dari Pemerintah sesuai dengan urusan
pemerintah yang diserahkan; kewenangan memungut dan mendayagunakan pajak dan
retribusi daerah dan hak untuk mendapatkan bagi hasil dari sumber-sumber daya nasional
yang berada di daerah dan dana perimbangan lainnya; hak untuk mengelola kekayaan
daerah dan mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah serta sumber-sumber
pembiayaan.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 126 /PMK.07/2010 tentang Pelaksanaan dan
Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah dalam Pasal 3 mengatur bahwa
Anggaran Transfer ke Daerah meliputi transfer Dana Perimbangan dan transfer Dana
Otonomi Khusus dan Penyesuaian.
1. Transfer Dana Perimbangan meliputi:
a. Transfer Dana Bagi Hasil Pajak (DBH Pajak);
b. Transfer Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT);
c. Transfer Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam (DBH SDA);
d. Transfer Dana Alokasi Umum (DAU); dan
e. Transfer Dana Alokasi Khusus (DAK).
Seksi Informasi Hukum – Ditama Binbangkum
Page 4
2. Transfer Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian meliputi Transfer Dana Otonomi
Khusus dan Transfer Dana Penyesuaian.
Dana Perimbangan selain dimaksudkan untuk membantu Daerah dalam mendanai
kewenangannya, juga bertujuan untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan
pemerintahan antara Pusat dan Daerah serta untuk mengurangi kesenjangan pendanaan
pemerintahan antar-daerah. Ketiga komponen Dana Perimbangan ini merupakan sistem
transfer dana dari Pemerintah serta merupakan satu kesatuan yang utuh.
DAU bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah, yang
dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antar daerah melalui
penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah. DAU suatu
daerah ditentukan atas besar kecilnya celah fiskal (fiscal gap) suatu daerah, yang
merupakan selisih antara kebutuhan daerah (fiscal need) dan potensi daerah (fiscal
capacity).
Daerah yang potensi fiskalnya besar tetapi kebutuhan fiskal kecil akan memperoleh
alokasi DAU relatif kecil. Sebaliknya, Daerah yang potensi fiskalnya kecil, namun kebutuhan
fiskal besar akan memperoleh alokasi DAU relatif besar. Secara implisit, prinsip tersebut
menegaskan fungsi DAU sebagai faktor pemerataan kapasitas fiskal.
DAK dimaksudkan untuk membantu membiayai kegiatan-kegiatan khusus di daerah
tertentu yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional, khususnya
untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat yang
belum mencapai standar tertentu atau untuk mendorong percepatan pembangunan daerah.
DPPID adalah dana yang bersumber dari APBN dan merupakan bagian dari Dana
Penyesuaian. DPPID dialokasikan kepada daerah dalam rangka peningkatan pelayanan
publik melalui penyediaan infrastruktur dan prasarana daerah, seperti infrastruktur bidang
pendidikan, transmigrasi, dan bidang lainnya, yang bertujuan mendorong percepatan
pembangunan daerah.
Pemberian dana transfer secara berkeadilan diharapkan mampu mengurangi
permasalahan keuangan di daerah. Sebagaimana diketaui, seringkali kewenangan daerah
untuk memungut dan mendayagunakan pajak dan retribusi digunakan sebagai kesempatan
mengejar Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang sebanyak-banyaknya. Hal itu pada akhirnya
justru membebani masyarakat dan mengurangi tingkat investasi di darah tersebut. i
Menurut Pasal 1 Angka 7 Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, APBN adalah rencana
keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
ii
Menurut Pasal 1 Angka 3 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 126 /PMK.07/2010 tentang Pelaksanaan dan
Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah, transfer ke Daerah adalah dana yang bersumber APBN yang
dialokasikan kepada daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi yang terdiri dari Dana Perimbangan dan
Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian.
iii
Menurut Pasal 1 Angka 8 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, desentralisasi adalah penyerahan wewenang
pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam
sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
iv
Menurut Pasal 1 Angka 20 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, DBH adalah dana yang bersumber dari
pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan
Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.
Seksi Informasi Hukum – Ditama Binbangkum
Page 5
v
Menurut Pasal 1 Angka 23 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, DAK adalah dana yang bersumber dari
pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan
khusus yang merupakan urusan Daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.
vi
Menurut Pasal 1 Angka 21 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, DAU adalah dana yang bersumber dari
pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-Daerah untuk
mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.
vii
Menurut Pasal 1 Angka 18 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, PAD adalah pendapatan yang diperoleh
Daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Seksi Informasi Hukum – Ditama Binbangkum
Page 6
Download