BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Kebijakan Dividen Kebijakan dividen adalah kebijakan yang berhubungan dengan pembayaran dividen oleh pihak perusahaan, berupa penentuan besarnya dividen yang dibagikan dan besarnya saldo laba yang ditahan untuk kepentingan perusahaan (Sutrisno, 2001). Kebijakan dividen sangatlah vital terhadap keberlangsungan hidup suatu perusahaan. Menurut Murhadi (2008), kebijakan dividen merupakan kebijakan yang mahal, karena perusahaan harus menyediakan dana dalam jumlah yang besar untuk keperluan pembayaran dividen. Dividen merupakan pembayaran dari perusahaan kepada para pemegang saham atas keuntungan yang diperolehnya, besarnya dividen yang dibagikan perusahaan ditentukan oleh para pemegang saham pada saat berlangsungnya RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham). Menurut Adelosa dan Okwong (2009), kebijakan dividen suatu perusahaan menunjukkan kepada pemegang saham bahwa perusahaan mengalami keuntungan dan dengan status finansial yang kuat. Kebijakan dividen merupakan keputusan setelah perusahaan beroperasi dan memperoleh laba, kebijakan dividen menyangkut masalah penggunaan laba yang menjadi hak para pemegang saham atau keputusan apakah laba yang diperoleh perusahaan akan dibagikan pada pemegang saham sebagai dividen atau ditahan guna pembiayaan investasi di masa yang akan datang (Wiagustini, 2010:255). Menurut preferensi investor ada tiga teori yang mendasari kebijakan dividen (Brigham dan Houston, 2010:211), yaitu : 1) Dividend irrelevance theory Dividend irrelevance theory menyatakan bahwa kebijakan deviden tidak mempunyai pengaruh baik terhadap nilai perusahaan maupun biaya modalnya. Teori ini mengikuti pendapat Modigliani dan Miller (M-M) yang menyatakan bahwa nilai suatu perusahaan tidak ditentukan oleh besar kecilnya dividend payout ratio, tetapi ditantukan oleh laba bersih sebelum pajak (EBIT) dan risiko bisnis dengan asumsi bahwa tidak ada pajak yang dibayarkan atas dividen. Kebijakan dividen tidak relevan terhadap kemakmuran pemegang saham karena pembayaran dividen berarti mengurangi laba ditahan yang seharusnya untuk investasi, sehingga perusahan akan mencari dana baru untuk memenuhi kebutuhan dana tersebut. 2) Bird in the hand-Theory Gordon dan Lintner menyatakan bahwa biaya modal sendiri akan naik jika dividend payout ratio rendah. Dividen memiliki risiko yang rendah dibandingkan dengan capital gain, hal ini dikarenakan investor lebih suka menerima deviden daripada capital gains. 3) Tax Preference Theory Teori ini didasarkan atas adanya pajak, maka pendapatan yang relevan adalah pendapatan setelah pajak. Teori ini merujuk pada pengenaan pajak yang diberlakukan bagi setiap investor yang mendapat capital gain atau dividen. Pada umumnya besarnya pajak yang diberlakukan berbeda dimana pajak untuk dividen lebih besar dibandingkan pajak untuk capital gain. Investor akan lebih menyukai capital gain karena dapat menunda pembayaran pajak. Menurut Wiagustini (2010:257) faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan dividen pada umumnya meliputi : 1) Posisi Kas atau Likuiditas Perusahaan Perusahaan yang memiliki laba ditahan yang cukup, tetapi manajemen memutuskan untuk menginvestasikan ke dalam aktiva nyata, maka perusahaan tidak dapat membayar dividen dalam bentuk kas. 2) Kebutuhan Dana untuk Membayar Hutang perusahaan menetapkan bahwa pelunasan hutangnya akan dikembalikan dari laba ditahan berarti perusahaan harus menahan sebagian besar dari pendapatannya untuk keperluan tersebut, dividen akan dibayarkan sebagian kecil dari pendapatan. 3) Tingkat Ekspansi / Pertumbuhan Perusahaan Semakin cepat tingkat pertumbuhan perusahaan maka semakin besar dana yang dibutuhkan sehingga semakin besar bagian dari pendapatan yang ditahan dalam perusahaan. Stabilitas earning memungkinkan perusahaan untuk mempertahankan payout ratio yang tinggi. 4) Akses Perusahaan di Pasar Modal Aksesibilitas perusahaan ini dipengaruhi oleh usia dan skala perusahaan, bagi perusahaan yang sudah established lebih mudah mempertahankan payout ratio yang tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang kecil. 5) Posisi Pemegang Saham dalam Kelompok Pajak Kepemilikan perusahaan oleh investor yang kecil cenderung untuk memiliki payout yang tinggi. Sedangkan kepemilikan perusahaan oleh pemegang saham yang termasuk dalam kelompok pembayar pajak besar akan lebih menyukai untuk mempertahankan payout yang rendah. Lebih lanjut posisi pembayaran pajak perusahaan berpengaruh pula terhadap kebijakan dividen. Kemungkinan adanya penalti atas kelebihan akumulasi laba ditahan mungkin akan mendorong untuk memilih payout yang lebih tinggi. 6) Keadaan Pemegang Saham Jika perusahaan itu kepemilikan sahamnya relatif tertutup, manajemen biasanya mengetahui dividen yang diharapkan oleh pemegang saham dan dapat bertindak dengan tepat. Jika hampir semua pemegang saham berada dalam golongan high tax (pajak yang lebih tinggi) dan lebih suka memperoleh capital gains, maka perusahaan dapat mempertahankan dividend payout yang rendah. Dengan dividend payout yang rendah tentunya dapat diperkirakan apakah perusahaan akan menahan laba untuk kesempatan investasi yang profitable, untuk perusahaan yang jumlah pemegang sahamnya besar hanya dapat menilai dividen yang diharapkan pemegang saham dalam konteks pasar. 7) Tingkat Keuntungan Tingkat hasil pengembalian atas aktiva diharapkan hal ini menentukan perusahaan untuk membayar dividen kepada pemegang saham atau menggunakannya dalam perusahaan yang bersangkutan. Menurut Riyanto (2001:267) faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan dividen yaitu : 1) Perjanjian Hutang Perjanjian hutang antara perusahaan dengan kreditur dapat membatasi pembayaran dividen sebab seringkali dividen hanya dapat dibayarkan jika kewajiban hutang kepada kreditur telah dipenuhi perusahaan. Rasio-rasio keuangan yang menunjukan perusahaan dalam kondisi sehat juga merupakan faktor yang mempengaruhi kebijakan dividen. 2) Pengendalian terhadap Perusahaan Faktor yang penting khususnya pada perusahaan-perusahaan yang relatif kecil adalah apabila pihak manajemen ingin mempertahankan kontrol terhadap perusahaan. Keadaan demikian menyebabkan kecenderungan perusahaan segan menjual saham baru dan lebih suka menahan laba guna memenuhi kebutuhan pendanaan perusahaan. Akibatnya dividen yang dibayarkan dalam bentuk kas menjadi kecil. 3) Pengawasan terhadap Perusahaan Beberapa perusahaan yang mempunyai kebijakan hanya membiayai ekspansinya dengan dana yang berasal dari sumber intern saja. Kebijakan tersebut dijalankan atas dasar pertimbangan bahwa, jika ekspansinya dibiayai dengan dana yang berasal dari hasil penjualan saham baru akan melemahkan control dari kelompok dominan di dalam perusahaan. Perusahaan yang membiayai ekspansinya dengan hutang, maka akan memperbesar risiko finansial perusahaan. Mempercayakan pada pembelanjaan intern dalam rangka usaha mempertahankan control terhadap perusahaan, berarti mengurangi dividend payout ratio. 4) Stabilitas Perusahaan Perusahaan yang telah mapan dan labanya stabil akan mampu mengestimasi besarnya laba di tahun-tahun mendatang sehingga berani menetapkan dividend payout ratio yang relatif tinggi karena tingkat kepastian untuk memperoleh laba yang diharapkan tinggi. Proksi kebijakan dividen yang dipakai dalam penelitian ini adalah dividend payout ratio (DPR). Menurut Sutrisno (2001) dividend payout ratio adalah presentase laba yang dibagikan sebagai dividen, dimana semakin besar dividend payout ratio semakin kecil porsi dana yang tersedia untuk ditanam kembali ke perusahaan sebagai laba ditahan. Dividend payout ratio adalah rasio perbandingan antara total dividen yang dibayarkan dengan laba bersih yang didapatkan dan biasanya di sajikan dalam bentuk persentase. Rasio ini akan menentukan antara jumlah laba yang akan dibagi dalam bentuk dividen kepada para pemegang saham dan laba yang akan ditahan sebagai sumber pendanaan perusahaan (Umi,2014). Menurut Ang (1997:156), secara sistematis dividend payout ratio dapat dinyatakan dengan rumus (dengan satuan persentase) : π·ππ£πππππ πππ π βπππ π·ππ£πππππ πππ¦ππ’π‘ π ππ‘ππ = πΈπππππππ πππ π βπππ x 100% … … … .. (1) 2.1.2 Pertumbuhan Penjualan Pertumbuhan dinyatakan sebagai pertumbuhan total aset diamana pertumbuhan aset masa lalu akan menggambarkan profitabilitas yang akan datang dan pertumbuhan yang datang (Taswan, 2003). Perusahaan yang memiliki pertumbuhan yang tinggi harus menyediakan modal yang cukup untuk membiayai belanja perusahaan. Rozeff (1982) berpendapat bahwa bilamana faktor lain tetap konstan sedangkan perusahaan mengalami pertumbuhan yang pesat maka perusahaan membutuhkan dana investasi untuk menciptakan angka jualan. Penjualan (sales) merupakan kegiatan utama suatu perusahaan yang memiliki pengaruh strategis terhadap perusahaan dan berkaitan dengan kompetisi dalam industri. Agar dapat melakukan penjualan perusahaan membutuhkan aktiva perusahaan. Peningkatan penjualan harus diikuti dengan peningkatan aktiva perusahaan (Weston dan Brigham, 2001:115). Angka penjualan yang tinggi mempengaruhi keuntungan yang diperoleh perusahaan. Nilai perusahaan yang tinggi tercermin dalam harga saham yang tinggi. Investor akan tertarik menanamkan modalnya ke perusahaan jika harga saham pada perusahaan itu tinggi sehingga memicu pertumbuhan angka penjualan perusahaan. Riyanto (2001:267) makin cepat tingkat pertumbuhan suatu perusahaan, makin besar kebutuhan dana untuk waktu mendatang untuk membiayai pertumbuhanya. Perusahaan tersebut biasanya akan lebih senang untuk menahan pendapatanya daripada dibayarkan sebagai deviden dengan mengingat batasan-batasan biayanya. Pertumbuhan penjualan mencerminkan keberhasilan investasi periode masa lalu dan dapat dijadikan sebagai prediksi pertumbuhan masa yang akan datang (Barton et al., 1989). Menurut Devie (2003) Pertumbuhan perusahaan dalam manajemen keuangan diukur berdasar perubahan penjualan, bahkan secara keuangan dapat dihitung berapa pertumbuhan yang seharusnya dengan melihat keselarasan keputusan investasi dan pembiayaan. Pertumbuhan perusahaan akan menimbulkan konsekuensi pada peningkatan investasi atas aktiva peruahaan dan akhirnya membutuhkan penyediaan dana untuk membeli aktiva. Secara keuangan tingkat pertumbuhan dapat ditentukan dengan mendasarkan pada kemampuan keuangan perusahaan, tingkat pertumbuhan yang ditentukan dengan melihat kemampuan keuangan dapat dibedakan menjadi dua yaitu tingkat pertumbuhan atas kekuatan sendiri dan tingkat pertumbuhan berkesinambungan. Tingkat pertumbuhan atas kekuatan sendiri merupakan tingkat pertumbuhan maksimum yang dapat dicapai perusahaan tanpa membutuhkan dana eksternal atau tingkat pertumbuhan yang hanya dipicu oleh tambahan atas laba ditahan. Tingkat pertumbuhan berkesinambungan yaitu tingkat pertumbuhan maksimum yang dapat dicapai perusahaan tanpa melakukan pembiayaan modal tetapi dengan memelihara perbandingan antara hutang dengan modal. Menurut Brigham dan Houston (2010:39) perusahaan dengan penjualan relatif stabil dapat lebih aman memperoleh lebih banyak pinjaman dan menanggung beban tetap yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan dengan penjualannya yang tidak stabil. Horne dan Machowicz (2010:223) mengemukakan teori bahwa tingkat pertumbuhan penjualan adalah hasil perbandingan antara selisih penjualan tahun berjalan dan penjualan di tahun sebelumnya dengan penjualan ditahun sebelumnya. Menurut Khoirul dan Ririn (2013), secara sistematis pertumbuhan penjualan dapat dinyatakan dengan rumus (dengan satuan persentase) : Perumbuhan Penjualan = Penjualant − Penjualan t−1 x 100 % … … … … . (2) Penjualant−1 2.1.3 Jaminan Aset Jaminan aset adalah asset perusahaan yang dapat digunakan sebagai jaminan pinjaman. Wahyudi dan Baidori (2008) berargumen bahwa perusahaan dengan jaminan aset yang tinggi akan mengurangi konflik kepentingan antara pemegang saham dengan kreditor sehingga perusahaan dapat membayar dividen dalam jumlah besar, sebaliknya jaminan aset yang dimiliki perusahaan semakin rendah akan meningkatkan konflik kepentingan antara pemegang saham dengan kreditor sehingga kreditor akan menghalangi perusahaan untuk membayar dividen dalam jumlah besar kepada pemegang saham karena takut piutang mereka tidak dibayar. Jaminan aset adalah aset yang dapat dijaminkan kepada kreditor untuk meminjam pinjaman perusahaan. Timtam dan Wessels (1988) menyatakan bahwa perusahaan yang memiliki lebih banyak aset yang bersifat collateral memiliki agency problem yang lebih kecil antara kreditor dengan dengan pemegang saham karena aset demikian bisa berfungsi sebagai jaminan utang. Mengingat jaminan aset berfungsi memperkecil agency problem maka diharapkan besarnya jaminan aset yang dimiliki oleh perusahaan akan berfungsi positif dengan dividen. Fungjie dan Wei (2012), teori agensi mengemukakan bahwa adanya pemisahan antara kepemilikan dan pengelolaan perusahaan dapat menyebabkan konflik. Konflik tersebut dikarenakan principal yang diwakili oleh share holder dan agent yang direpresentasikan oleh manajer dan direksi memiliki perbedaan kepentingan, keinginan, motivasi dan kepentingan yang tidak sama antara manajemen dan pemegang saham menimbulkan kemungkinan manajemen bertindak merugikan pemegang saham, antara lain berperilaku tidak etis dan cenderung melakukan kecurangan akuntansi. Oleh karena itu, diperlukan tata kelola perusahaan yang baik yang berperan sebagai efektivitas mekanisme yang bertujuan meminimalisasi konflik keagenan, dengan penekanan khusus pada mekanisme legal yang mencegah dilakukannya ekspropriarsi atas pemegang saham baik mayoritas maupun minoritas (Sari, 2010). Jiraporn et al. (2011) menjelaskan bahwa tujuan utama dari tata kelola perusahaan adalah untuk mencapai keseimbangan diantara investor dan manajemen. Mereka menekankan bahwa perusahaan yang mempunyai tim tata kelola perusahaan yang berkualifikasi dan berkualitas akan berhasil mengendalikan biaya agensi dan dapat menguranginya. Jika perusahaan mempunyai tim tata kelola perusahaan yang baik, perusahaan dapat membayar dividen yang lebih tinggi. Pernyataan ini konsisten dengan Jensen dan Meckling (1976) yang menyatakan bahwa perusahaan yang memiliki tim tata kelola yang lemah memiliki kemungkinan yang lebih kecil untuk mendistribusikan dividen kepada para pemilik saham. Hal ini disebabkan manajer akan menyimpan kas dan membelanjakannya yang akan memberikan manfaat untuk tujuan mereka sendiri, para pemilik saham akan mengharapkan dividen jika perusahaan memiliki tata kelola yang kuat. Salah satu faktor yang mempengaruhi keputusan keuangan jangka panjang adalah tersedianya agunan. Weston dan Brigham (2001:309) menyatakan bahwa pada umumnya utang jangka panjang yang berjaminan akan lebih murah daripada utang tanpa jaminan. Selain itu, keputusan pembiayaan setiap tahun akan dipengaruhi oleh jumlah aktiva yang baru diperoleh yang tersedia untuk jadi jaminan bagi obligasi baru. Adanya pembayaran dividen yang tinggi akan mengakibatkan laba ditahan kemungkinan berkurang, sehingga perusahaan perlu untuk melakukan pembiayaan melalui utang kepada kreditor. Fungsi jaminan aset yaitu memperkecil agency problem maka diharapkan besarnya jaminan aset yang dimiliki oleh perusahaan akan berhubungan positif dengan dividen. Menurut Showalter (1999), secara matematis jaminan aset dapat dirumuskan sebagai berikut (dengan satuan persentase) : Jaminan Aset = Aset Tetap x 100% … … … … (3) Total Aset 2.1.4 Ukuran Perusahaan Ukuran perusahaan adalah ukuran besarnya perusahaan, umur dan besaran perusahaan tergantung dari kemampuan seorang manajer dan kemudahan aksesnya yang mudah menuju pasar modal. Karena kemudahan tersebut fleksibilitas serta kemampuannya untuk memperoleh dana yang lebih besar dianggap lebih aman daripada perusahaan yang masih baru sehingga perusahaan mampu memiliki ratio pembayaran dividen yang lebih tinggi daripada perusahaan kecil (Handayani dan Hadinugroho, 2009). Menurut Khasanah (2009), ukuran perusahaan adalah skala besar kecilnya perusahaan yang ditentukan dari total aset. Ukuran perusahaan merupakan simbol yang berhubungan dengan peluang dan kemampuan perusahaan untuk masuk ke pasar modal dan jenis pembiayaan lainnya yang menunjukkan kemampuan meminjam. Perusahaan yang dapat dengan mudah mengakses ke pasar modal maka perusahaan tersebut akan mampu mendapatkan dana dalam waktu yang relatif cepat. Oleh karena itu, perusahaan dengan ukuran yang lebih besar diperkirakan akan memiliki kemampuan untuk menghasilkan earning yang lebih besar, sehingga akan mampu membayar dividen yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan kecil. Ukuran perusahaan dilihat dari total assets yang dimiliki oleh perusahaan, yang dapat dipergun akan untuk kegiatan operasi perusahaan. Jika perusahaan memiliki total asset yang besar, pihak manajemen lebih leluasa dalam mempergunakan aset yang ada di perusahaan tersebut. Kebebasan yang dimiliki manajemen ini sebanding dengan kekhawatiran yang dilakukan oleh pemilik atas asetnya. Jumlah asset yang besar akan menurunkan nilai perusahaan jika dinilai dari sisi pemilik perusahaan. Akan tetapi jika dilihat dari sisi manajemen, kemudahan yang dimilikinya dalam mengendalikan perusahaan akan meningkatkan nilai perusahaan. Ukuran perusahaan menjelaskan bahwa suatu perusahaan yang mapan dan besar memiliki akses yang lebih mudah ke pasar modal karena untuk mendapat sumber pendanaan dari berbagai sumber, sehingga untuk memperoleh pinjaman dari krediturpun akan lebih mudah karena perusahaan dengan ukuran besar memiliki probabilitas lebih besar untuk memenangkan persaingan atau bertahan dalam industri. Yuliana (2011) mengemukakan bahwa semakin besar perusahaan dan semakin dikenal oleh masyarakat, maka semakin banyak informasi yang bisa diperoleh investor dan semakin kecil pula ketidakpastian yang dimiliki oleh investor. Ukuran perusahaan menunjukkan besar kecilnya perusahaan berdasarkan kapitalisasi pasarnya. Ukuran perusahaan sangat berpengaruh kepada kebijakan dividen dengan didasarkan pada kenyataan bahwa semakin besar ukuran perusahaan maka akan ada kecenderungan untuk menggunakan jumlah pinjaman yang lebih besar pula. Hal ini disebabkan karena perusahaan besar memiliki kebutuhan dana yang besar, salah satu pemenuhan dana yang tersedia adalah dengan pendanaan eksternal. Pendanaan eksternal ini dapat diperoleh dari penerbitan saham, penerbitan obligasi dan hutang, sehingga dalam rangka pemenuhan kebutuhan pendanaan tersebut perusahaan akan lebih meningkatkan kualitas implementasi dalam menjalankan perusahaan. Usia perusahaan dapat menjelaskan adanya pola life cycle pembayaran dividen pada setiap perusahaan, dimana ketika sebuah perusahaan masih muda, perusahaan tersebut cenderung akan membagikan dividen dalam jumlah yang lebih kecil namun ketika perusahaan sudah mencapai tahap dewasa maka dividen yang dibayarkan akan meningkat. Usia perusahaan diukur berdasarkan pada usia sejak berdiri hingga data tahun laporan keuangan yang digunakan dalam analisis (Sulistiyowati, 2010). Ukuran perusahaan didefinisikan sebagai logaritma natural dari nilai pasar ekuitas pada awal tahun (Rashid dan Anisur, 2007). Menurut Sanjaya (2009), pada dasarnya ukuran perusahaan hanya terbagi kedalam tiga kategori yaitu perusahaan besar, perusahaan menengah dan perusahaan kecil. Dalam hal ini penjualan lebih besar daripada biaya variabel dan biaya tetap, maka akan diperoleh jumlah pendapatan sebelum pajak. Sebaliknya jika penjualan lebih kecil daripada biaya variabel dan biaya tetap maka perusahaan akan menderita kerugian. Menurut Nadeem dan Wang (2011), secara sistematis ukuran perusahaan dapat dinyatakan dengan rumus sebagai berikut (dengan satuan rupiah) : Ukuran Perusahaan = Ln (Total Aset) ............. (4) 2.2 Hipotesis Penelitian 2.2.1 Pengaruh Pertumbuhan Penjualan terhadap Kebijakan Dividen Riyanto (2001:267) makin cepat tingkat pertumbuhan suatu perusahaan, makin besar pula kebutuhan dana waktu mendatang untuk membiayai pertumbuhanya. Semakin besar kebutuhan dana untuk waktu mendatang maka perusahaan lebih senang untuk menahan labanya daripada membayarkannya sebagai dividen kepada pemegang saham. Pertumbuhan penjualan mencerminkan keberhasilan investasi periode masa lalu dan dapat dijadikan sebagai prediksi pertumbuhan masa yang akan datang. Nilai perusahaan yang tinggi tercermin dalam harga saham yang tinggi, harga saham yang tinggi pada suatu perusahaan akan menarik investor untuk menanamkan modal pada perusahaan tersebut dan dapat memicu pertumbuhan angka penjualan perusahaan. Menurut Damayanti dan Achyani (2006), semakin tinggi tingkat pertumbuhan suatu perusahaan akan semakin besar kebutuhan dana untuk membiayai ekspansi perusahaan. Potensi pertumbuhan perusahaan menjadi faktor penting yang menentukan kebijakan dividen. Hasil penelitian ini didukung oleh hasil penelitian Darminto (2007), Khoirul dan Ririn (2013), Kania dan Bacon (2005), Leon dan Putra (2014), Maladjian dan El (2014) menunjukan bahwa pertumbuhan penjualan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kebijakan dividen. Berdasarkan dengan teori dan hasil penelitian empiris tersebut maka dapat dibuat hipotesis penelitian sebagai berikut. H1 : Pertumbuhan Penjualan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kebijakan dividen pada industri barang konsumsi di BEI. 2.2.2 Pengaruh Jaminan Aset terhadap Kebijakan Dividen Jaminan aset adalah aset perusahaan yang dapat dijaminkan oleh perusahaan kepada kreditor. Salah satu faktor yang mempengaruhi keputusan keuangan jangka panjang adalah tersedianya agunan. Weston dan Brigham (2001:309) menyatakan bahwa pada umumnya utang jangka panjang yang berjaminan akan lebih murah daripada utang tanpa jaminan. Selain itu, keputusan pembiayaan setiap tahun akan dipengaruhi oleh jumlah aktiva yang baru diperoleh yang tersedia untuk jadi jaminan bagi obligasi baru. Perusahaan cenderung kurang mengandalkan laba ditahan dalam kegiatan pendanaannya sehingga kecil kemungkinan pemegang obligasi akan membatasi kebijakan dividen perusahaan (Santoso, 2012). Tingginya jaminan aset yang dimiliki perusahaan akan mengurangi konflik kepentingan antara pemegang saham dengan kreditor sehingga perusahaan dapat membayar dividen dalam jumlah besar. Sebaliknya, semakin rendah jaminan aset yang dimiliki perusahaan akan meningkatkan konflik kepentingan antara pemegang saham dengan kreditor sehingga kreditor akan menghalangi perusahaan untuk membiayai dividen dalam jumlah besar kepada pemegang saham karena takut piutang mereka tidak akan terbayar (Latiefasari, 2011). Titman dan Wessels (1988) menyatakan bahwa perusahaan yang memiliki lebih banyak aset yang bersifat collateral memiliki agency problem yang lebih kecil antara kreditor dengan pemegang saham karena aset demikian bisa berfungsi sebagai jaminan atas utang. Semakin besar jaminan aset, semakin besar pula dividen yang akan dibagikan. Hasil penelitian ini didukung oleh hasil penelitian Wahyudi dan Baidori (2008), Hadiatmo (2013), Johari dan Hassan (2008) serta Pujiastuti (2008) dalam penelitiannya ditemukan bahwa jaminan aset memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kebijakan pembayaran dividen perusahaan. Tingginya jaminan aset akan mengurangi konflik kepentingan antara pemegang saham dan kreditor sehingga perusahaan dapat membayar dividen dalam jumlah besar. Semakin tinggi jaminan aset semakin tinggi pula tingkat proteksi kreditor menerima pembayaran mereka. Hal ini akan mengurangi agency cost antara pemegang saham dengan kreditor. Berdasarkan dengan teori dan hasil penelitian empiris tersebut maka dapat dibuat hipotesis penelitian sebagai berikut. H2 : Jaminan Aset berpengaruh positif dan signifikan terhadap kebijakan dividen pada industri barang konsumsi di BEI. 2.2.3. Pengaruh Ukuran Perusahaan terhadap Kebijakan Dividen Ukuran perusahaan juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi keputusan pembagian dividen. Suatu perusahaan yang sudah berkembang dan mampu bertahan dalam persaingan usaha selama kurun waktu tertentu akan memiliki akses yang lebih mudah menuju pasar modal dibandingkan perusahaan kecil yang masih baru dan tidak stabil sehingga mampu memperoleh dana yang lebih besar sehingga perusahaan mampu memiliki rasio pembayaran dividen yang lebih tinggi (Suherli dan Harahap, 2004). Perusahaan yang memiliki ukuran besar akan lebih mudah memasuki pasar modal sehingga dengan kesempatan ini perusahaan mampu memperoleh dana yang lebih besar dan mampu memiliki rasio pembayaran dividen yang lebih tinggi bagi pemegang saham (Nuringsih, 2005). Penelitian yang dilakukan Dyah (2010), Hatta (2002) dan Puspita (2009) menunjukkan bahwa ukuran perusahaan memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap kebijakan dividen. Sejalan dengan penelitian Irman (2011), ukuran perusahaan memiliki pengaruh positif signifikan terhadap pembagian dividen tunai. Menurut Dyah (2010), ukuran perusahaan yang besar biasanya mempunyai akses yang lebih baik ke pasar modal dan lebih mudah untuk meningkatkan dananya dan biaya yang lebih rendah serta lebih sedikit menghadapi kendala dibanding perusahaan yang lebih kecil. Berdasarkan dengan teori dan hasil penelitian empiris tersebut maka dapat dibuat hipotesis penelitian sebagai berikut. H3 : Ukuran Perusahaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kebijakan dividen pada industri barang konsumsi di BEI.