BAB II KAJIAN PUSTAKA

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Kebijakan Dividen
Kebijakan
dividen
adalah
kebijakan
yang
berhubungan
dengan
pembayaran dividen oleh pihak perusahaan, berupa penentuan besarnya dividen
yang dibagikan dan besarnya saldo laba yang ditahan untuk kepentingan
perusahaan (Sutrisno, 2001). Kebijakan dividen sangatlah vital terhadap
keberlangsungan hidup suatu perusahaan. Menurut Murhadi (2008), kebijakan
dividen merupakan kebijakan yang mahal, karena perusahaan harus menyediakan
dana dalam jumlah yang besar untuk keperluan pembayaran dividen.
Dividen merupakan pembayaran dari perusahaan kepada para pemegang
saham atas keuntungan yang diperolehnya, besarnya dividen yang dibagikan
perusahaan ditentukan oleh para pemegang saham pada saat berlangsungnya
RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham). Menurut Adelosa dan Okwong (2009),
kebijakan dividen suatu perusahaan menunjukkan kepada pemegang saham bahwa
perusahaan mengalami keuntungan dan dengan status finansial yang kuat.
Kebijakan dividen merupakan keputusan setelah perusahaan beroperasi dan
memperoleh laba, kebijakan dividen menyangkut masalah penggunaan laba yang
menjadi hak para pemegang saham atau keputusan apakah laba yang diperoleh
perusahaan akan dibagikan pada pemegang saham sebagai dividen atau ditahan
guna pembiayaan investasi di masa yang akan datang (Wiagustini, 2010:255).
Menurut preferensi investor ada tiga teori yang mendasari kebijakan
dividen (Brigham dan Houston, 2010:211), yaitu :
1)
Dividend irrelevance theory
Dividend irrelevance theory menyatakan bahwa kebijakan deviden tidak
mempunyai pengaruh baik terhadap nilai perusahaan maupun biaya
modalnya. Teori ini mengikuti pendapat Modigliani dan Miller (M-M) yang
menyatakan bahwa nilai suatu perusahaan tidak ditentukan oleh besar
kecilnya dividend payout ratio, tetapi ditantukan oleh laba bersih sebelum
pajak (EBIT) dan risiko bisnis dengan asumsi bahwa tidak ada pajak yang
dibayarkan atas dividen. Kebijakan dividen tidak relevan terhadap
kemakmuran pemegang saham karena pembayaran dividen berarti
mengurangi laba ditahan yang seharusnya untuk investasi, sehingga
perusahan akan mencari dana baru untuk memenuhi kebutuhan dana
tersebut.
2)
Bird in the hand-Theory
Gordon dan Lintner menyatakan bahwa biaya modal sendiri akan naik jika
dividend payout ratio rendah. Dividen memiliki risiko yang rendah
dibandingkan dengan capital gain, hal ini dikarenakan investor lebih suka
menerima deviden daripada capital gains.
3)
Tax Preference Theory
Teori ini didasarkan atas adanya pajak, maka pendapatan yang relevan
adalah pendapatan setelah pajak. Teori ini merujuk pada pengenaan pajak
yang diberlakukan bagi setiap investor yang mendapat capital gain atau
dividen. Pada umumnya besarnya pajak yang diberlakukan berbeda dimana
pajak untuk dividen lebih besar dibandingkan pajak untuk capital gain.
Investor akan lebih menyukai capital gain karena dapat menunda
pembayaran pajak.
Menurut Wiagustini (2010:257) faktor-faktor yang mempengaruhi
kebijakan dividen pada umumnya meliputi :
1)
Posisi Kas atau Likuiditas Perusahaan
Perusahaan yang memiliki laba ditahan yang cukup, tetapi manajemen
memutuskan untuk menginvestasikan ke dalam aktiva nyata, maka
perusahaan tidak dapat membayar dividen dalam bentuk kas.
2)
Kebutuhan Dana untuk Membayar Hutang
perusahaan menetapkan bahwa pelunasan hutangnya akan dikembalikan dari
laba ditahan berarti perusahaan harus menahan sebagian besar dari
pendapatannya untuk keperluan tersebut, dividen akan dibayarkan sebagian
kecil dari pendapatan.
3)
Tingkat Ekspansi / Pertumbuhan Perusahaan
Semakin cepat tingkat pertumbuhan perusahaan maka semakin besar dana
yang dibutuhkan sehingga semakin besar bagian dari pendapatan yang
ditahan dalam perusahaan. Stabilitas earning memungkinkan perusahaan
untuk mempertahankan payout ratio yang tinggi.
4)
Akses Perusahaan di Pasar Modal
Aksesibilitas perusahaan ini dipengaruhi oleh usia dan skala perusahaan,
bagi perusahaan yang sudah established lebih mudah mempertahankan
payout ratio yang tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang kecil.
5)
Posisi Pemegang Saham dalam Kelompok Pajak
Kepemilikan perusahaan oleh investor yang kecil cenderung untuk memiliki
payout yang tinggi. Sedangkan kepemilikan perusahaan oleh pemegang
saham yang termasuk dalam kelompok pembayar pajak besar akan lebih
menyukai untuk mempertahankan payout yang rendah. Lebih lanjut posisi
pembayaran pajak perusahaan berpengaruh pula terhadap kebijakan dividen.
Kemungkinan adanya penalti atas kelebihan akumulasi laba ditahan
mungkin akan mendorong untuk memilih payout yang lebih tinggi.
6)
Keadaan Pemegang Saham
Jika perusahaan itu kepemilikan sahamnya relatif tertutup, manajemen
biasanya mengetahui dividen yang diharapkan oleh pemegang saham dan
dapat bertindak dengan tepat. Jika hampir semua pemegang saham berada
dalam golongan high tax (pajak yang lebih tinggi) dan lebih suka
memperoleh capital gains, maka perusahaan dapat mempertahankan
dividend payout yang rendah. Dengan dividend payout yang rendah tentunya
dapat diperkirakan apakah perusahaan akan menahan laba untuk kesempatan
investasi yang profitable, untuk perusahaan yang jumlah pemegang
sahamnya besar hanya dapat menilai dividen yang diharapkan pemegang
saham dalam konteks pasar.
7)
Tingkat Keuntungan
Tingkat hasil pengembalian atas aktiva diharapkan hal ini menentukan
perusahaan untuk membayar dividen kepada pemegang saham atau
menggunakannya dalam perusahaan yang bersangkutan.
Menurut Riyanto (2001:267) faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan
dividen yaitu :
1)
Perjanjian Hutang
Perjanjian hutang antara perusahaan dengan kreditur dapat membatasi
pembayaran dividen sebab seringkali dividen hanya dapat dibayarkan jika
kewajiban hutang kepada kreditur telah dipenuhi perusahaan. Rasio-rasio
keuangan yang menunjukan perusahaan dalam kondisi sehat juga
merupakan faktor yang mempengaruhi kebijakan dividen.
2)
Pengendalian terhadap Perusahaan
Faktor yang penting khususnya pada perusahaan-perusahaan yang relatif
kecil adalah apabila pihak manajemen ingin mempertahankan kontrol
terhadap perusahaan. Keadaan demikian menyebabkan kecenderungan
perusahaan segan menjual saham baru dan lebih suka menahan laba guna
memenuhi kebutuhan pendanaan perusahaan. Akibatnya dividen yang
dibayarkan dalam bentuk kas menjadi kecil.
3)
Pengawasan terhadap Perusahaan
Beberapa perusahaan yang mempunyai kebijakan hanya membiayai
ekspansinya dengan dana yang berasal dari sumber intern saja. Kebijakan
tersebut dijalankan atas dasar pertimbangan bahwa, jika ekspansinya
dibiayai dengan dana yang berasal dari hasil penjualan saham baru akan
melemahkan control dari kelompok dominan di dalam perusahaan.
Perusahaan yang membiayai ekspansinya dengan hutang, maka akan
memperbesar
risiko
finansial
perusahaan.
Mempercayakan
pada
pembelanjaan intern dalam rangka usaha mempertahankan control terhadap
perusahaan, berarti mengurangi dividend payout ratio.
4)
Stabilitas Perusahaan
Perusahaan yang telah mapan dan labanya stabil akan mampu mengestimasi
besarnya laba di tahun-tahun mendatang sehingga berani menetapkan
dividend payout ratio yang relatif tinggi karena tingkat kepastian untuk
memperoleh laba yang diharapkan tinggi.
Proksi kebijakan dividen yang dipakai dalam penelitian ini adalah dividend
payout ratio (DPR). Menurut Sutrisno (2001) dividend payout ratio adalah
presentase laba yang dibagikan sebagai dividen, dimana semakin besar dividend
payout ratio semakin kecil porsi dana yang tersedia untuk ditanam kembali ke
perusahaan sebagai laba ditahan. Dividend payout ratio adalah rasio perbandingan
antara total dividen yang dibayarkan dengan laba bersih yang didapatkan dan
biasanya di sajikan dalam bentuk persentase. Rasio ini akan menentukan antara
jumlah laba yang akan dibagi dalam bentuk dividen kepada para pemegang saham
dan laba yang akan ditahan sebagai sumber pendanaan perusahaan (Umi,2014).
Menurut Ang (1997:156), secara sistematis dividend payout ratio dapat
dinyatakan dengan rumus (dengan satuan persentase) :
𝐷𝑖𝑣𝑖𝑑𝑒𝑛𝑑 π‘π‘’π‘Ÿ π‘ β„Žπ‘Žπ‘Ÿπ‘’
𝐷𝑖𝑣𝑖𝑑𝑒𝑛𝑑 π‘ƒπ‘Žπ‘¦π‘œπ‘’π‘‘ π‘…π‘Žπ‘‘π‘–π‘œ = πΈπ‘Žπ‘Ÿπ‘›π‘–π‘›π‘”π‘  π‘π‘’π‘Ÿ π‘ β„Žπ‘Žπ‘Ÿπ‘’ x 100% … … … .. (1)
2.1.2 Pertumbuhan Penjualan
Pertumbuhan dinyatakan sebagai pertumbuhan total aset diamana
pertumbuhan aset masa lalu akan menggambarkan profitabilitas yang akan datang
dan pertumbuhan yang datang (Taswan, 2003). Perusahaan yang memiliki
pertumbuhan yang tinggi harus menyediakan modal yang cukup untuk membiayai
belanja perusahaan. Rozeff (1982) berpendapat bahwa bilamana faktor lain tetap
konstan sedangkan perusahaan mengalami pertumbuhan yang pesat maka
perusahaan membutuhkan dana investasi untuk menciptakan angka jualan.
Penjualan (sales) merupakan kegiatan utama suatu perusahaan yang memiliki
pengaruh strategis terhadap perusahaan dan berkaitan dengan kompetisi dalam
industri. Agar dapat melakukan penjualan perusahaan membutuhkan aktiva
perusahaan. Peningkatan penjualan harus diikuti dengan peningkatan aktiva
perusahaan (Weston dan Brigham, 2001:115). Angka penjualan yang tinggi
mempengaruhi keuntungan yang diperoleh perusahaan.
Nilai perusahaan yang tinggi tercermin dalam harga saham yang tinggi.
Investor akan tertarik menanamkan modalnya ke perusahaan jika harga saham
pada perusahaan itu tinggi sehingga memicu pertumbuhan angka penjualan
perusahaan. Riyanto (2001:267) makin cepat tingkat pertumbuhan suatu
perusahaan, makin besar kebutuhan dana untuk waktu mendatang untuk
membiayai pertumbuhanya. Perusahaan tersebut biasanya akan lebih senang untuk
menahan pendapatanya daripada dibayarkan sebagai deviden dengan mengingat
batasan-batasan biayanya.
Pertumbuhan penjualan mencerminkan keberhasilan investasi periode
masa lalu dan dapat dijadikan sebagai prediksi pertumbuhan masa yang akan
datang (Barton et al., 1989). Menurut Devie (2003) Pertumbuhan perusahaan
dalam manajemen keuangan diukur berdasar perubahan penjualan, bahkan secara
keuangan dapat dihitung berapa pertumbuhan yang seharusnya dengan melihat
keselarasan keputusan investasi dan pembiayaan. Pertumbuhan perusahaan akan
menimbulkan konsekuensi pada peningkatan investasi atas aktiva peruahaan dan
akhirnya membutuhkan penyediaan dana untuk membeli aktiva. Secara keuangan
tingkat pertumbuhan dapat ditentukan dengan mendasarkan pada kemampuan
keuangan perusahaan, tingkat pertumbuhan yang ditentukan dengan melihat
kemampuan keuangan dapat dibedakan menjadi dua yaitu tingkat pertumbuhan
atas kekuatan sendiri dan tingkat pertumbuhan berkesinambungan.
Tingkat
pertumbuhan
atas
kekuatan
sendiri
merupakan
tingkat
pertumbuhan maksimum yang dapat dicapai perusahaan tanpa membutuhkan dana
eksternal atau tingkat pertumbuhan yang hanya dipicu oleh tambahan atas laba
ditahan. Tingkat pertumbuhan berkesinambungan yaitu tingkat pertumbuhan
maksimum yang dapat dicapai perusahaan tanpa melakukan pembiayaan modal
tetapi dengan memelihara perbandingan antara hutang dengan modal. Menurut
Brigham dan Houston (2010:39) perusahaan dengan penjualan relatif stabil dapat
lebih aman memperoleh lebih banyak pinjaman dan menanggung beban tetap
yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan dengan penjualannya yang
tidak stabil.
Horne dan Machowicz (2010:223) mengemukakan teori bahwa tingkat
pertumbuhan penjualan adalah hasil perbandingan antara selisih penjualan tahun
berjalan dan penjualan di tahun sebelumnya dengan penjualan ditahun
sebelumnya. Menurut Khoirul dan Ririn (2013), secara sistematis pertumbuhan
penjualan dapat dinyatakan dengan rumus (dengan satuan persentase) :
Perumbuhan Penjualan =
Penjualant − Penjualan t−1
x 100 % … … … … . (2)
Penjualant−1
2.1.3 Jaminan Aset
Jaminan aset adalah asset perusahaan yang dapat digunakan sebagai
jaminan pinjaman. Wahyudi dan Baidori (2008) berargumen bahwa perusahaan
dengan jaminan aset yang tinggi akan mengurangi konflik kepentingan antara
pemegang saham dengan kreditor sehingga perusahaan dapat membayar dividen
dalam jumlah besar, sebaliknya jaminan aset yang dimiliki perusahaan semakin
rendah akan meningkatkan konflik kepentingan antara pemegang saham dengan
kreditor sehingga kreditor akan menghalangi perusahaan untuk membayar dividen
dalam jumlah besar kepada pemegang saham karena takut piutang mereka tidak
dibayar. Jaminan aset adalah aset yang dapat dijaminkan kepada kreditor untuk
meminjam pinjaman perusahaan. Timtam dan Wessels (1988) menyatakan bahwa
perusahaan yang memiliki lebih banyak aset yang bersifat collateral memiliki
agency problem yang lebih kecil antara kreditor dengan dengan pemegang saham
karena aset demikian bisa berfungsi sebagai jaminan utang. Mengingat jaminan
aset berfungsi memperkecil agency problem maka diharapkan besarnya jaminan
aset yang dimiliki oleh perusahaan akan berfungsi positif dengan dividen.
Fungjie dan Wei (2012), teori agensi mengemukakan bahwa adanya
pemisahan antara kepemilikan dan pengelolaan perusahaan dapat menyebabkan
konflik. Konflik tersebut dikarenakan principal yang diwakili oleh share holder
dan agent yang direpresentasikan oleh manajer dan direksi memiliki perbedaan
kepentingan, keinginan, motivasi dan kepentingan yang tidak sama antara
manajemen dan pemegang saham menimbulkan kemungkinan manajemen
bertindak merugikan pemegang saham, antara lain berperilaku tidak etis dan
cenderung melakukan kecurangan akuntansi. Oleh karena itu, diperlukan tata
kelola perusahaan yang baik yang berperan sebagai efektivitas mekanisme yang
bertujuan meminimalisasi konflik keagenan, dengan penekanan khusus pada
mekanisme legal yang mencegah dilakukannya ekspropriarsi atas pemegang
saham baik mayoritas maupun minoritas (Sari, 2010).
Jiraporn et al. (2011) menjelaskan bahwa tujuan utama dari tata kelola
perusahaan adalah untuk mencapai keseimbangan diantara investor dan
manajemen. Mereka menekankan bahwa perusahaan yang mempunyai tim tata
kelola
perusahaan
yang
berkualifikasi
dan
berkualitas
akan
berhasil
mengendalikan biaya agensi dan dapat menguranginya. Jika perusahaan
mempunyai tim tata kelola perusahaan yang baik, perusahaan dapat membayar
dividen yang lebih tinggi. Pernyataan ini konsisten dengan Jensen dan Meckling
(1976) yang menyatakan bahwa perusahaan yang memiliki tim tata kelola yang
lemah memiliki kemungkinan yang lebih kecil untuk mendistribusikan dividen
kepada para pemilik saham. Hal ini disebabkan manajer akan menyimpan kas dan
membelanjakannya yang akan memberikan manfaat untuk tujuan mereka sendiri,
para pemilik saham akan mengharapkan dividen jika perusahaan memiliki tata
kelola yang kuat.
Salah satu faktor yang mempengaruhi keputusan keuangan jangka panjang
adalah tersedianya agunan. Weston dan Brigham (2001:309) menyatakan bahwa
pada umumnya utang jangka panjang yang berjaminan akan lebih murah daripada
utang tanpa jaminan. Selain itu, keputusan pembiayaan setiap tahun akan
dipengaruhi oleh jumlah aktiva yang baru diperoleh yang tersedia untuk jadi
jaminan bagi obligasi baru. Adanya pembayaran dividen yang tinggi akan
mengakibatkan laba ditahan kemungkinan berkurang, sehingga perusahaan perlu
untuk melakukan pembiayaan melalui utang kepada kreditor. Fungsi jaminan aset
yaitu memperkecil agency problem maka diharapkan besarnya jaminan aset yang
dimiliki oleh perusahaan akan berhubungan positif dengan dividen. Menurut
Showalter (1999), secara matematis jaminan aset dapat dirumuskan sebagai
berikut (dengan satuan persentase) :
Jaminan Aset =
Aset Tetap
x 100% … … … … (3)
Total Aset
2.1.4 Ukuran Perusahaan
Ukuran perusahaan adalah ukuran besarnya perusahaan, umur dan besaran
perusahaan tergantung dari kemampuan seorang manajer dan kemudahan
aksesnya yang mudah menuju pasar modal. Karena kemudahan tersebut
fleksibilitas serta kemampuannya untuk memperoleh dana yang lebih besar
dianggap lebih aman daripada perusahaan yang masih baru sehingga perusahaan
mampu memiliki ratio pembayaran dividen yang lebih tinggi daripada perusahaan
kecil (Handayani dan Hadinugroho, 2009). Menurut Khasanah (2009), ukuran
perusahaan adalah skala besar kecilnya perusahaan yang ditentukan dari total aset.
Ukuran perusahaan merupakan simbol yang berhubungan dengan peluang dan
kemampuan perusahaan untuk masuk ke pasar modal dan jenis pembiayaan
lainnya yang menunjukkan kemampuan meminjam. Perusahaan yang dapat
dengan mudah mengakses ke pasar modal maka perusahaan tersebut akan mampu
mendapatkan dana dalam waktu yang relatif cepat. Oleh karena itu, perusahaan
dengan ukuran yang lebih besar diperkirakan akan memiliki kemampuan untuk
menghasilkan earning yang lebih besar, sehingga akan mampu membayar dividen
yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan kecil. Ukuran perusahaan
dilihat dari total assets yang dimiliki oleh perusahaan, yang dapat dipergun akan
untuk kegiatan operasi perusahaan. Jika perusahaan memiliki total asset yang
besar, pihak manajemen lebih leluasa dalam mempergunakan aset yang ada di
perusahaan tersebut. Kebebasan yang dimiliki manajemen ini sebanding dengan
kekhawatiran yang dilakukan oleh pemilik atas asetnya. Jumlah asset yang besar
akan menurunkan nilai perusahaan jika dinilai dari sisi pemilik perusahaan. Akan
tetapi jika dilihat dari sisi manajemen, kemudahan yang dimilikinya dalam
mengendalikan perusahaan akan meningkatkan nilai perusahaan.
Ukuran perusahaan menjelaskan bahwa suatu perusahaan yang mapan dan
besar memiliki akses yang lebih mudah ke pasar modal karena untuk mendapat
sumber pendanaan dari berbagai sumber, sehingga untuk memperoleh pinjaman
dari krediturpun akan lebih mudah karena perusahaan dengan ukuran besar
memiliki probabilitas lebih besar untuk memenangkan persaingan atau bertahan
dalam industri. Yuliana (2011) mengemukakan bahwa semakin besar perusahaan
dan semakin dikenal oleh masyarakat, maka semakin banyak informasi yang bisa
diperoleh investor dan semakin kecil pula ketidakpastian yang dimiliki oleh
investor. Ukuran perusahaan menunjukkan besar kecilnya perusahaan berdasarkan
kapitalisasi pasarnya. Ukuran perusahaan sangat berpengaruh kepada kebijakan
dividen dengan didasarkan pada kenyataan bahwa semakin besar ukuran
perusahaan maka akan ada kecenderungan untuk menggunakan jumlah pinjaman
yang lebih besar pula. Hal ini disebabkan karena perusahaan besar memiliki
kebutuhan dana yang besar, salah satu pemenuhan dana yang tersedia adalah
dengan pendanaan eksternal. Pendanaan eksternal ini dapat diperoleh dari
penerbitan saham, penerbitan obligasi dan hutang, sehingga dalam rangka
pemenuhan kebutuhan pendanaan tersebut perusahaan akan lebih meningkatkan
kualitas implementasi dalam menjalankan perusahaan. Usia perusahaan dapat
menjelaskan adanya pola life cycle pembayaran dividen pada setiap perusahaan,
dimana ketika sebuah perusahaan masih muda, perusahaan tersebut cenderung
akan membagikan dividen dalam jumlah yang lebih kecil namun ketika
perusahaan sudah mencapai tahap dewasa maka dividen yang dibayarkan akan
meningkat. Usia perusahaan diukur berdasarkan pada usia sejak berdiri hingga
data tahun laporan keuangan yang digunakan dalam analisis (Sulistiyowati, 2010).
Ukuran perusahaan didefinisikan sebagai logaritma natural dari nilai pasar
ekuitas pada awal tahun (Rashid dan Anisur, 2007). Menurut Sanjaya (2009),
pada dasarnya ukuran perusahaan hanya terbagi kedalam tiga kategori yaitu
perusahaan besar, perusahaan menengah dan perusahaan kecil. Dalam hal ini
penjualan lebih besar daripada biaya variabel dan biaya tetap, maka akan
diperoleh jumlah pendapatan sebelum pajak. Sebaliknya jika penjualan lebih kecil
daripada biaya variabel dan biaya tetap maka perusahaan akan menderita
kerugian. Menurut Nadeem dan Wang (2011), secara sistematis ukuran
perusahaan dapat dinyatakan dengan rumus sebagai berikut (dengan satuan
rupiah) :
Ukuran Perusahaan = Ln (Total Aset) ............. (4)
2.2 Hipotesis Penelitian
2.2.1 Pengaruh Pertumbuhan Penjualan terhadap Kebijakan Dividen
Riyanto (2001:267) makin cepat tingkat pertumbuhan suatu perusahaan,
makin besar pula kebutuhan dana waktu mendatang untuk membiayai
pertumbuhanya. Semakin besar kebutuhan dana untuk waktu mendatang maka
perusahaan lebih senang untuk menahan labanya daripada membayarkannya
sebagai dividen kepada pemegang saham. Pertumbuhan penjualan mencerminkan
keberhasilan investasi periode masa lalu dan dapat dijadikan sebagai prediksi
pertumbuhan masa yang akan datang. Nilai perusahaan yang tinggi tercermin
dalam harga saham yang tinggi, harga saham yang tinggi pada suatu perusahaan
akan menarik investor untuk menanamkan modal pada perusahaan tersebut dan
dapat memicu pertumbuhan angka penjualan perusahaan.
Menurut Damayanti dan Achyani (2006), semakin tinggi tingkat
pertumbuhan suatu perusahaan akan semakin besar kebutuhan dana untuk
membiayai ekspansi perusahaan. Potensi pertumbuhan perusahaan menjadi faktor
penting yang menentukan kebijakan dividen. Hasil penelitian ini didukung oleh
hasil penelitian Darminto (2007), Khoirul dan Ririn (2013), Kania dan Bacon
(2005), Leon dan Putra (2014), Maladjian dan El (2014) menunjukan bahwa
pertumbuhan penjualan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kebijakan
dividen. Berdasarkan dengan teori dan hasil penelitian empiris tersebut maka
dapat dibuat hipotesis penelitian sebagai berikut.
H1 : Pertumbuhan Penjualan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap
kebijakan dividen pada industri barang konsumsi di BEI.
2.2.2 Pengaruh Jaminan Aset terhadap Kebijakan Dividen
Jaminan aset adalah aset perusahaan yang dapat dijaminkan oleh
perusahaan kepada kreditor. Salah satu faktor yang mempengaruhi keputusan
keuangan jangka panjang adalah tersedianya agunan. Weston dan Brigham
(2001:309) menyatakan bahwa pada umumnya utang jangka panjang yang
berjaminan akan lebih murah daripada utang tanpa jaminan. Selain itu, keputusan
pembiayaan setiap tahun akan dipengaruhi oleh jumlah aktiva yang baru diperoleh
yang tersedia untuk jadi jaminan bagi obligasi baru. Perusahaan cenderung kurang
mengandalkan laba ditahan dalam kegiatan pendanaannya sehingga kecil
kemungkinan pemegang obligasi akan membatasi kebijakan dividen perusahaan
(Santoso, 2012).
Tingginya jaminan aset yang dimiliki perusahaan akan mengurangi konflik
kepentingan antara pemegang saham dengan kreditor sehingga perusahaan dapat
membayar dividen dalam jumlah besar. Sebaliknya, semakin rendah jaminan aset
yang dimiliki perusahaan akan meningkatkan konflik kepentingan antara
pemegang saham dengan kreditor sehingga kreditor akan menghalangi perusahaan
untuk membiayai dividen dalam jumlah besar kepada pemegang saham karena
takut piutang mereka tidak akan terbayar (Latiefasari, 2011). Titman dan Wessels
(1988) menyatakan bahwa perusahaan yang memiliki lebih banyak aset yang
bersifat collateral memiliki agency problem yang lebih kecil antara kreditor
dengan pemegang saham karena aset demikian bisa berfungsi sebagai jaminan
atas utang.
Semakin besar jaminan aset, semakin besar pula dividen yang akan
dibagikan. Hasil penelitian ini didukung oleh hasil penelitian Wahyudi dan
Baidori (2008), Hadiatmo (2013), Johari dan Hassan (2008) serta Pujiastuti (2008)
dalam penelitiannya ditemukan bahwa jaminan aset memiliki pengaruh yang
positif dan signifikan terhadap kebijakan pembayaran dividen perusahaan.
Tingginya jaminan aset akan mengurangi konflik kepentingan antara pemegang
saham dan kreditor sehingga perusahaan dapat membayar dividen dalam jumlah
besar. Semakin tinggi jaminan aset semakin tinggi pula tingkat proteksi kreditor
menerima pembayaran mereka. Hal ini akan mengurangi agency cost antara
pemegang saham dengan kreditor. Berdasarkan dengan teori dan hasil penelitian
empiris tersebut maka dapat dibuat hipotesis penelitian sebagai berikut.
H2 : Jaminan Aset berpengaruh positif dan signifikan terhadap kebijakan dividen
pada industri barang konsumsi di BEI.
2.2.3. Pengaruh Ukuran Perusahaan terhadap Kebijakan Dividen
Ukuran perusahaan juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi
keputusan pembagian dividen. Suatu perusahaan yang sudah berkembang dan
mampu bertahan dalam persaingan usaha selama kurun waktu tertentu akan
memiliki akses yang lebih mudah menuju pasar modal dibandingkan perusahaan
kecil yang masih baru dan tidak stabil sehingga mampu memperoleh dana yang
lebih besar sehingga perusahaan mampu memiliki rasio pembayaran dividen yang
lebih tinggi (Suherli dan Harahap, 2004).
Perusahaan yang memiliki ukuran besar akan lebih mudah memasuki pasar
modal sehingga dengan kesempatan ini perusahaan mampu memperoleh dana
yang lebih besar dan mampu memiliki rasio pembayaran dividen yang lebih tinggi
bagi pemegang saham (Nuringsih, 2005). Penelitian yang dilakukan Dyah (2010),
Hatta (2002) dan Puspita (2009) menunjukkan bahwa ukuran perusahaan memiliki
pengaruh positif dan signifikan terhadap kebijakan dividen. Sejalan dengan
penelitian Irman (2011), ukuran perusahaan memiliki pengaruh positif signifikan
terhadap pembagian dividen tunai. Menurut Dyah (2010), ukuran perusahaan yang
besar biasanya mempunyai akses yang lebih baik ke pasar modal dan lebih mudah
untuk meningkatkan dananya dan biaya yang lebih rendah serta lebih sedikit
menghadapi kendala dibanding perusahaan yang lebih kecil. Berdasarkan dengan
teori dan hasil penelitian empiris tersebut maka dapat dibuat hipotesis penelitian
sebagai berikut.
H3 : Ukuran Perusahaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kebijakan
dividen pada industri barang konsumsi di BEI.
Download